Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan


Sosial
Guru Mata Pelajaran : Kusminah S.Pd.

Disusun oleh : Ananda Azkiya Nur Habiba (03)


Kelas 9H

SMPN 1 TRENGGALEK

{1}
SUKU KAJANG
BALUKUMBA, SULAWESI SELATAN

Ammentengko tidak kamase-mase, accidongko tidak kamase-mase, a’dakkako


tidak kamasmase, a'meako tidak kamasmase (berdiri engkau sederhana, duduk
engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau
sederhana – Filosofi masyarakat kampung adat suku Kajang.

{2}
Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat
serta karunia nya kepada saya sehingga berhasil menyelesaikan Makalah ini
yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Suku Kajang ”.

Di harapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari mata sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam memberikan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga Alloh selalu meridhoi segala usaha kita. Amin.

Pada, November 2021

Ananda Azkiya N. H
{3}

Daftar isi

Kata pengantar Saya


Dafta isi. ii
1. 1 pendahuluan
1 1 Latar belakang 1
1 2 Rumusan masalah 2
1 3 Tujuan. 3
1. 2 pembahasan
2 1 Kehidupan di suku Kajang 4
2 2 Budaya suku Kajang 6
2 3 Kesenian suku Kajang 8
2 4 Sistem pemerintahan 9
2 5 Bangunan / rumah adat suku Kajang 11
1. 3 kesimpulan
4 1 Kesimpulan 13
4 2 Saran 13
{4}

BAB I

1 1 Latar belakang
Semakin bertambahnya tahun, semakin bertambah pula tingkat globalisasi
dunia, semakin modern pula suatu bangsa, biasanya hal ini menyebabkan
habisnya budaya-budaya suatu bangsa. Indonesia pada dasar merupakan
negara multikuktur yang memiliki beranekaragam suku dan budaya, namun
pada kenyataanya keanekaragaman suku dan budaya di Indonesia masih tetap
terjaga dan dilestarikan.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski dikemukakan bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh budaya yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini jelas menunjukkan pentingnya
budaya suatu bangsa dalam suatu daerah/wilayah. Kebudayaan pada masa
sekarang ini, sebagian masih tetap terpelihara namun sebagian lagi sudah tidak
diperhatikan karena kurang kesadaran individu atau suatu kelompok terhadap
budaya yang untuk selain kebudayaan, keanekaragaman suku bangsa
khususnya di negara kita ini sangat terjaga, baik itu suku pedalaman maupun
suku yang sudah tidak kental dengan tradisional dan primitif lagi. Namun pada
suku pedalaman masih sangat memegang teguh budaya mereka. Terdapat
beragam suku seperti suku batak, suku orang Bugis, Suku Kajang yang
lokasinya di Balukumba, Sulawesi Selatan. Dengan banyak suku bangsa di
Indonesia ini, masih ada orang orang yang belum mengenal secara mendalam
dan secara total terhadap budaya suku tersebut bahkan terhadap keberadaan
suku tersebut. Salah satu diantara banyak suku bangsa di Indonesia adalah
suku Kajang yang lokasinya di Balukumba, Sulawesi Selatan. Pada makalah ini,
kami membahas dan mengulas secara mendalam mengenai suku Kajang dari
semua aspek yang ada seperti sistem kekerabatan, sistem pemerintahan,
budaya dan kesenianya.
{5}

1 2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat


merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kehidupan di suku Kajang (pengenalan suku
Kajang)?
2. Apa saja budaya suku Kajang?
3. Apa saja kesenian masyarakat Kajang?
4. Bagaimana sistem pemerintahan dalam masyarakat Kajang?
5. Seperti apa bangunan tempat tinggal atau rumah adat
masyarakat Suku Kajang?
{6}

1 3 Tujuan penulisan

Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:


Mampu mengenali lebih dalam mengenai suku bangsa di Indonesia,
khususnya suku Kajang mampu menambah wawasan pembaca
mengenai keanekaragaman budaya di suku Kajang.
{7}

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kehidupan di Suku Kajang
Suku Kajang terletak di desa Tana Toa kabupaten Balukumba Provinsi
Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 Km arah timur Makassar. Suku ini
mendiami sebuah kecamatan Balukumba (Balukumba merupakan daerah yang
terkenal dengan pembuat perahu pinisi dengan pelaut-pelaut ulung)
masyarakat Kajang dalam (tau kajang) dan masyarakat Kajang luar (tau
lembang). Masyarakat Kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi
tradisi yang berlaku di lingkungan. Sedangkan, masyarakat Kajang luar ini
sudah merupakan masyarakat Kajang yang tinggal di luar perkampungan,
masyarakat Kajang luar ini bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari
luar, tidak semua aturan-aturan masyarakat Kajang yang mereka ikuti
dibanding masyarakat Kajang dalam yang seperti masih sangat tradisional.
A. 1 Pakaian Adat Suku Kajang

Dalam kehidupan masyarakat Kajang, wanita diwajibkan bisa


membuat kain dan memasak. Sedangkan pria diwajibkan untuk
bekerja di ladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu.
Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan
kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Bagi wanita
memebuat pakaian merupakan syarat untuk melangsungkan
pernikahan, jika tidak memiliki keahlian membuat pakaian, maka
tidak diperbolehkan melangsungkan pernikahan. Proses
{8}
pembuatannya dilakukan dengan cara tradisional mulai dari
pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi
selembar kain. Jika kita berkunjung ke daerah tanah Toa, kita akan
bertemu dengan orang orang dengan pakaian serba hitam, mulai dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki baik perempuan maupun laki-laki.
Baju, sarung hitam (atas elengkeng), sorban atau penutup kepala
(passapu) yang semuanya berwarna hitam bagi laki laki, sedangkan
untuk perempuan digunakan pakaian yang juga berwarna hitam.
Selain itu, penggunaan sarung kaki juga dilarang. Bagi masyarakat
Kajang warna hitam merupakan kesakralan, selain itu warna hitam
dianggap sebagai lambang kesederhanaan, persamaan derajat setiap
orang dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, berbeda dengan warna
warna mencolok seperti merah, biru dan kuning yang dianggap suatu
kemewahan dan tidak sesuai dengan identitas masyarakat Kajang.
Jika kita masuk daerah suku Kajang, maka kita harus berpakaian serba
hitam. Bagi mereka warna hitam merupakan bentuk persamaan
dalam segala hal. Tidak ada warna hitam yang lebih baik dari hitam
lainnya.
A. 2 Bahasa dan Agama Masyarakat Suku Kajang
Bahasa Bugis Konjo yang kental merupakan. Bahasa suku yang
selamat ini sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat Suku
Kajang. Adapun contoh dari bahasa yang biasa mereka gunakan seperti
di bawah ini.
Ammentengko tidak kamase-mase, accidongko tidak kamase-mase, a’dakkako
tidak kamasmase, a’meako tidak kamasmase (berdiri engkau sederhana, duduk
engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau
sederhana – Filosofi masyarakat kampung adat suku Kajang.
Ada permainan kata kata dan anak dari Ammatoa (Ramlah) yang tahu
berbahasa Indonesia, jadi merekalah yang menerjemahkan apa yang di
sampaikan oleh Ammatoa.
Agama yang dianut adalah “sallang dalam dialek Konjo” yang
artinya Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na
(Alloh SWT).
{9}
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na, yaitu:
1. Leteanng Dalle’ : titian rejeki.
2. Bala Tannisanna – sanna : bencana yang tak disangka – sangka.
3. Sura’ Nikka : surat nikah
4. Cappa’ Umuru : ujung usia

Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang “ Je’ne


Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat dan
melunturkan Wudhu”. Masjid ya berada diluar kawasan adat tersebut.
Masjid ditempatkan di luar kawasan adat karena mereka tidak ingin
peradaban yang mereka miliki berbaur dengan peradaban yang lain.
Adapun iman dalam kawasan adat yang disebut Kali yang juga sebagai
perangkat tambahan dalam membantu tugas Ammatoa khusus dalam
bidang keagamaan.
A. 3 Sistem Kekerabatan
Pada komunitas Ammatoa Kajang (Kak) hubungan
kekerabatan ini tampak jelas pada pengaturan ruang dan tatanan
massa rumah mereka. Untuk keseluruhan tatanan massa pada
permukiman Komunitas Ammatoa (Kajang Dalam), pada dasarnya
bermakna : “yang muda berkewajiban melindungi yang tua”.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan yang muda bisa saja
anak/menantu, keponakan, ataupun adik. Bila dalam sisirlah
mempunyai kedudukan yang sama, maka yang diambil sebagai
patokan adalah usia, yang muda berdasarkan usia adalah yang
telah dewasa dan berumah tangga. Selama ia belum berumah
tangga, maka keselamatannya masih dalam tanggung jawab
orangtuanya.
A. 4 Budaya Suku Kajang
A.1 Budaya Kamase-mase Masyarakat Kajang
Masyarakat Kajang memegang teguh budaya dan
tradisi dari nenek Moyang mereka yang berupa hukum tidak
tertulis dalam daerah tersebut yang oleh masyarakal Kajang
disebut papasang atau pasang (pesan, petuah). Salah satu isi dari
pappasang tersebut yaitu, kajang tanah yang sederhana (tana
kamase-masea) hal ini yang menyebabkan masyarakat Kajang
{10}
tidak menerima adanya modernisasi dan cenderung merolak
perubahan karena mereka mengarggap hal itu sebagai kemegahan
atau kemewahan dunia, termaksud program dan kebijakan
pemerintah yang dianggap mampu mengancam keberadaan
mereka. Prinsip tersebut mereka yakini sebagai jalan menuju
hidup hakiki, berdasarkan isi dari pappasang bahwa dengan hidup
miskin di dunia akan mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat.
Masyarakat Kajang berpegang teguh pada prinsip kemass-mesea
cengan sistem nilai lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sabbara
(sabar), dan appisona (pasrah) di dalamnya. Nilai nilai yang ada
pada budaya kamase-masea itulah yang menjadi pegangan dan
pedoman hidup masyarakat Kajang.
A.2 Upacara Rumatang Masyarakat Kajang

Upacara Rumatang merupakan upacara adat yang bertujuan


sebagai ungkapan rasa syukur, ucapan terima kasih kepada Sang
Pencipta yang dipimpin langsung oleh pemimpin adat yang kerap
disebut Ammatoa. Persiapan upacara dimulai pada pagi hari yang
oleh kaum wanita dipersiapkan makanan khas dan dipimpin oleh
seorang wanita tua yang memberi petunjuk bahwa makanan apa
saja yang seharusnya disediakan. Nasi yang utama dipersiapkan
harus cari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali
dapat ditanam oleh leluhur mereka. Dilanjutkan dengan
meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang
disebut “ballo”. Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas
yang sana sebagai simbol persaudaraan. Hal ini dilakukan pada
saat makan siang bersama sebelum dilaksanakannya upacara
Rumatang. Ada juga delapan buah sesaji yang disediakan berupa
{11}
nasi empat warna, lauk pauk dan buah-buahan. Sesaji ini dibawa
oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata argin.
Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati
oleh manusia saja melainkan tanah, angin dan semua unsur di
bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut merasakan
hasilnya. Salah satu contoh program pemerintah adalah
memberikan akses penerangan (listrik) di daerah ini, ditolak oleh
komunitas adat, sehingga sampai saat ini, daerah adat Kajang
Ammatoa masih menggunakan penerangan lampu tembok yang
dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai
minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah
ini. Memasuki kawasan Adat, penduduk tidak boleh memakai alas
kaki, termasuk tamu yang datang dari luar, karena itu merupakan
suatu penghinaan. Atau jangan sekali-kali memakai pakaian warna
merah. Pakaian orang-orang kajang adalah pakaian serba hitam,
yang ditenun sendiri yang konon harganya sangat mahal bahkan
sampai jutaan rupiah.
1.5 Kesenian suku Kajang
- Pabitte Passapu
Tarian ini merupakan pesta adat Suku Kajang. Ini adalah
tradisi Suku Kajang, yaitu mengadu ikat kepala yang dibentuk
simpul sseperti ayam.
Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat,
acara penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering
ditampilkan di luar kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai
kemampuan orang yang mengundang para penari.
Komposisi Tari Pa’bitte yaitu sebagai berikut :
1. Passisengang (perkenalan)
2. Appasiiclo (pemanasan ayam aduan)
3. Assahung (penyabung ayam) : mengasah taji lalu menyabung
4. Appasicoco’ (mencocokkan pada ayam mara yang menang dan
kalah)
{12}
5. Sijallo (perkelahian antara dua kelompok penyabung)
6. Sibotto’ (saling menikam)
7. Sibajiki (berdamai)
Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka berryanyi
sembil menari. Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina
dan pernimpin group tari.
Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan
passapu yang masing-masing berwarna hitam.
 Seni Suara berupa nyanyian (Kelong)
Kelong diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari
Pa’bitte Passapu untuk acara kegembiraan.
 Seni Teater
Monggambarkan sosok Ammatoa den pendampingnya.
 Seni Drama
Anggaru.
 Seni Musik
Menggunakan alat berupa suling (Basing)
1.6 Sistem pemerintahan
Suku Kajang memiliki sistem pemerintahan adanya sendiri.
Mereka dipimpin oleh seorang Ammatoa atau yang berarti
penimpin yang tertua (dituakan). Ammatoa dalam tugas-tugas
dan upacara adat juga didampingi oleh dua orang Anrong yang
disebut Anrongta ri Pangi dan Anrongta ni Bongkina. Ammatoa
juga dibantu oleh beberapa pemangku adat yang disebut dengan
Galla (ada Galla Kajang yang bertugas mengurusi masalah ritual,
ada Galla Pantama yang mengurusi pertanian Galla Puto sebagai
juru bicara Ammatoa dan seterusnya). Meskipun belakangan
masyarakat Kajang menyebut diri mereka sebagai penganut
Agama Islam, tetapi dalem kesehariannya mereka masih
berpegang pada Passang ri Kajang atau pesan-pesan suku Kajang
yang ada pada ajaran Panuntung (penuntun) mereka Tradisi dan
ajaran leluhur masih tetap dipegang teguh dan dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari mereka.
{13}
Ammatoa dipilih secara tradisional dan memerintah tidak pula
dalam batas waktu tertentu. Tetapi Ammatoa tidak dipilih
terbatas hanya dari kalangan keluarga Ammatoa sebelumnya,
tetapi siapa pun saja. Sebab yang bisa menjad Ammatoa hanyalah
orang orang yang naturungi prammase atau orang yang
mendapat rahmat dari yang kuasa.
Adapun syarat-syarat untuk dipilih menjadi Ammatoa adalah
sebagai berikut:
1. Ahli dalam hal pasang.
2. Tidak pernah dilihat oleh masyarakat melakukan sesuatu
melakukan sesuatu yang dianggap tidak baik seperti berdusta,
minum tuak, berjudi, ataupun menipu serta perbuatan lain
yang tercela.
3. Konsisten dengan apa yang pernah ia ucapkan.
4. Perbuatannya sesuai dengan ucapannya atau satunya kata
dengan perbuatan.
5. Diyakini oleh masyarakat memiliki kesaktian dan memiliki
wibawa serta disegani dan dihormati oleh masyarakat banyak
Ammatoa memiliki daerah kekuasaan yang terdiri atas kampung -
kampung dan kumpulan atas beberapa kampung yang dikepalai
oleh seorang Galla yang merupakan hasil dari pilihan rakyat. Galla
biasanya diambil dari kalangan turunan-turunan adat itu sendiri di
daerahnya masing masing. Selain itu seorang Galla harus memiliki
ilmu pengetahuan yang cukup sorta memiliki kharisma di
masyarakatnya. Selanjutnya seorang Ammatoa yang terpilih
memiliki kewajiban untuk mengayomi dan menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia tidak boleh melanggar aturan
aturan yang telah ditetapkan oleh pasang. Kalau Ammatoa
melanggar pasang maka ia ibaratnya seperti tunas yang
memanjang kemudian tiba tiba patah dan layu, kalau ia
menghindari Pasang maka lumpuh dan bila ia melangkahi
kehendak pasang maka ia Botak. Demikian ikrar itu begitu berat
tanggung jawab seorang Ammatoa yang betul betul memiliki
fungsi dalam melindungi rakyatnya.
Dalam sistem pemerintahan patuntung kekuasaan tidak
bersumber dari atas tetapi dari bawah, dari rakyat melalui
{14}
anggota anggota adat yang dikenal sebagai ada panroakki
bicarayya yang artinya hanya dewan adatlah yang berhak
mengambil keputusan. Anggota anggota dewan adat inilah yang
kemudian dimintai pendapat dan pertimbangannya dalam
memutuskan suatu perkara, karena mereka inilah yang dianggap
sebagai representasi dari rakyat banyak.
Sifat demokrasi ini bukan hanya tercermin pada cara pelaksanaan
Pemerintahan itu, tetapi dalam cara cara bertutur dan bertingkah
laku. Dalam percakapan sehari hari sering muncul adanya istilah
apa nakua toloheya yang artinya bahwa apa yang telah dikatakan
dan diputuskan oleh orang banyak atau kalau orang banyak yang
menghendaki demikian maka itulah yang harus diikuti. Selain itu
berkembang pula prinsip le’rasa pau ada tele ‘rasa pau
cauaranang, yang artinya batal keputusan pemerintah, tetapi
keputusan yang diambil dalam musyawarah tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.
Sedangkan perbuatan perbuatan yang mengambarkan adanya
demokrasi itu ialah adanya perbuatan rera atau sistem kerja
bergiliran. Setiap anggota rera mendapat giliran yang sama,
sistem ini biasanya dilaksanakan ketika dalam pengolahan sawah,
penanaman padi maupun dalam kegiatan membangun rumah.
Demikian pula setiap orang yang memiliki hak dalam menangkap
ikan dalam suatu sungai tidak boleh ada yang saling melarang.

1.7 Bangunan rumah adat suku kajang


{15}
Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan
tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan
bahan makanan, bagian tengah disebut Kale Balla sebagai tempat
manusia menelap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut
Siring sebagai tempat menerun kain atau sarung hitam (topeh le
‘Teng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini
sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala,
badan, dan kaki. Pada bagian bacan (Kale balla) terdapat bagian
yang cianalogikan dengan bahu pada bagian badan menusia yakni
berupa rak-60 cm yang berada di bagian luar dinding tepat di
bawah atap yang menjorok keluar dan memanjang sepanjang
bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan Para-para
setinggi telinga’mata pemilik rumah yang dimaksudkan agar si
pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud
jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan
peralatan dapur Sodang langit-langit rumah (Kajang: para)
difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan
seperti padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
Bagian pagar atas adalah merupakan kesimpulan para/atap
(Kajang:Ata’). Pada bagian muka dan belakang dari atap (ata”) ini
terdapat timpa laja yakni atap pada bagian muka dan belakang
berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai kesimpulan para
untuk melindungi bahan makanan dari temporer udara hujan juga
terdapat lubang kecil sebagai pengahwaan Timpa laja ini terdiri
atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/Bola Hangeng (rumah
yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas yang
menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan
Ammatoa yang tidak memiliki lapisan sosial dari bentuk dan
model rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan
(Bola/Bola paleha), tiang yang tidak lagi ditanam, susunan timpak
laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun. Ini ditentukan
umumnya pada ibukota desa Tana Toa (dusun Balagana) yang
berjarak 2000 m dari kawasan Adat Ammatoa.
Bagian lain adalah tiang pusat (pocci bala) yang merupakan
analogi dari Pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer
{16}
ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh
karena itu pocci bala ini dianggap sebagai pusat yang membentuk
keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius,
dianggap keramat (suc!). Pada tiang ini mendapat perhatian yang
paling penting diikuti dengan syarat syarat termasuk bahan/jenis
kayu dan tata cara mencirikannya.
Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya ciukur
sesuai dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga
dan pintu masuk hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan
atau kekiri dari lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat
sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan
desain pintu dan jendala yang masih sangat sederhana dengan
sistem konstruksi menggunakan sistem geser (geser pintu
jendela).
{17}

BAB III
PENUTUP

4.3 Kesimpulan
Berdasarkan ulasan mengenai kebudayaan masyarakat suku Kajang, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa:
Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan
kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya
mereka. Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu: Masyarakat
Kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar (tau lembang ).
Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi
yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan masyarakat Kajang luar merupakan
masyarakat kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar
ini sudah bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari luar. Bagi
masyarakat Kajang warna hitam merupakan kesakralan, selain itu warna hitam
dianggap sebagai lambang kesederhanaan, persamaan derajat setiap orang
dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu, masyarakat kajang
menggunakan pakaian berwarna hitam, baik itu pakaian sehari hari mereka
maupun pakaian adatnya Masyarakat Tana Toa atau suku Kajang memiliki
sistem pemerintahan adatnya sendiri. Yang bisa menjadi Ammatoa hanyalah
orang orang yang naturungi pammase atau orang yang mendapat rahmat dari
yang kuasa. Ammatoa dipilih secara tradisional dan memerintah tidak pula
dalam batas waktu tertentu.

{18}

4.4 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat memberikan
Saran kepada para pembaca agar sebaiknya mengetahui dan memahami
secara mendalam mengenai kebudayaan suku kajang dan kepada masyarakat,
kajang agar tetap mempertahankan adat istiadat dan budaya di suku Kajang.
{19}

DAFTAR PUSTAKA

http://bugiesmakassar.blogspot.com/2012/11/ciri-khas-bulukumba-visite-
ammatoa-suku.html
http://rahmanthevolves.wordpress.com/2012/04/15/mengenal-budaya-
unik-suku-kajang/
http://hanageoedu.blogspot.com/2011/12/suku-kajang.html

Anda mungkin juga menyukai