Kelompok :
1. Andi Idil Sangiang Samang (f5)
2. Andi Ima Nur Ilmi(f6)
3. Andi Dedi Risandi(f5)
4. Abdul mutakhir(f5)
1
SUKU KAJANG
BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas izin Allah
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah Antropologi ini tepat pada
waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh ibu
dosen dengan mengambil judul “SUKU KAJANG , BULUKUMBA ”.
Makalah ini mengulas segala hal yang terdapat dalam suku kajang, baik
itu mengenai kebudayaan, pemerintahan, sistem kekerabatan maupun
keseniannya. Dimana hal tersebut terasa perlu agar para pembaca lebih
mengenal keanekaragaman budaya pada suku di Indonesia dalam hal ini
negara kita merupakan negara majemuk dan multikultural.
Penulis menyadari sepenuhnya akan kelemahan-kelemahan
isinya,oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca merupakan sesuatu
yang sangat berharga dan sangat diharapkan untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan tersebut. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ibu
Dra. Nur Handayani M.si selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jatinangor, 2013
3
Kelompok
DAFTAR ISI
Kata pengantar i
Daftar isi ii
1.1 pendahuluan
1.1 latar belakang 1
1.2 rumusan masalah 2
1.3 tujuan 3
1.2 pembahasan
2.1 kehidupan di suku kajang 4
2.2 budaya suku kajang 6
2.3 kesenian suku kajang 8
2.4 Sistem pemerintahan 9
2.5 Bangunan / rumah adat suku kajang 11
1.3 penutup
4.1 kesimpulan 13
4.2 saran 13
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin bertambahnya tahun, semakin bertambah pula tingkat
globalisasi dunia, semakin modern pula suatu bangsa, biasanya hal ini
menyebabkan pudarnya budaya budaya suatu bangsa. Indonesia pada
dasarnya merupakan negara multikultural yang memiliki beranekaragam
suku dan budaya, namun pada kenyataanya keanekaragaman suku dan
budaya di Indonesia masih tetap terjaga dan dilestarikan.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini jelas
menunjukkan pentingnya kebudayaan suatu bangsa dalam suatu
daerah/wilayah. Kebudayaan pada masa sekarang ini, sebagian masih
tetap terpelihara namun sebagian lagi sudah tidak diperhatikan
dikarenakan kurangnya kesadaran individu atau suatu kelompok terhadap
kebudayaan yang dimilikinya.
Selain kebudayaan,keanekaragaman suku bangsa khususnya di
negara kita ini sangat terjaga, baik itu suku pedalaman maupun suku yang
sudah tidak kental dengan tradisional dan primitif lagi. Namun pada suku
padalaman masih sangat memegang teguh kebudayaan mereka.
Terdapat beragam suku seperti suku batak, suku bugis, suku kajang, dan
masih banyak lagi . Dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia ini,
masih ada orang orang yang belum mengenal secara mendalam dan
secara keseluruhan terhadap kebudayaan suku tersebut bahkan terhadap
keberadaan suku tersebut. Salah satu diantara banyaknya suku bangsa di
Indonesia adalah suku Kajang yang terletak di Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Pada makalah ini Kami membahas dan mengulas secara
mendalam mengenai suku kajang dari semua aspek yang ada seperti
sistem kekerabatan, sistem pemerintahan, budaya dan keseniannya.
5
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat
merumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kehidupan di suku kajang (pengenalan suku
kajang)?
2. Apa saja budaya suku kajang?
3. Apa saja kesenian masyarakat kajang?
4. Bagaimana sistem pemerintahan dalam masyarakat kajang?
5. Seperti apa bengunan tempat tinggal atau rumah adat
masyarakat suku kajang?
6
1.3 tujuan penulisan
adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
mampu mengenali lebih dalam mengenai suku bangsa di indonesia,
khususnya suku kajang
mampu menambah wawasan pembaca mengenai keanekaragaman
budaya di suku kajang
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 kehidupan di suku kajang
Suku Kajang terletak di desa Tana Toa kabupaten Bulukumba
Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur Makassar.
Suku ini mendiami sebuah kecamatan yaitu kecamatan Kajang, yang
merupakan bagian dari kabupaten Bulukumba (Bulukumba merupakan
daerah yang terkenal dengan pembuat perahu pinisi dengan pelaut-pelaut
ulung) Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu,
masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau
lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan
tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat
kajang luar merupakan masyarakat kajang yang tinggal di luar
perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan
dapat menerima hal baru dari luar , tidak semua aturan-aturan masyarakat
kajang yang mereka ikuti dibanding masyarakat kajang dalam yang
sifatnya masih sangat tradisional.
A.1 Pakaian Adat Suku Kajang
Dalam kehidupan masyarakat Kajang, wanita diwajibkan bisa
membuat kain dan memasak. Sedangkan pria diwajibkan untuk bekerja di
ladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat
perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria
untuk berumah tangga. Bagi wanita membuat pakaian merupakan syarat
untuk melangsungkan pernikahan, jika tidak mempunyai keahlian
membuat pakaian, maka tidak diperbolehkan melangsungkan pernikahan.
Proses pembuatannya dilakukan dengan cara tradisional mulai dari
pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi
selembar kain. jika kita berkunjung ke daerah tanah toa , kita akan
bertemu dengan orang orang dengan pakaian serba hitam, mulai dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki baik perempuan maupun laki laki. Baju
, sarung hitam ( tope leleng), sorban atau penutup kepala(passapu) yang
8
semuanya berwarna hitam bagi laki laki, sedangkan untuk perempuan
digunakan pakaian yang juga berwarna hitam. selain itu, penggunaan alas
kaki juga dilarang. Bagi masyarakat kajang warna hitam merupakan
kesakralan, selain itu warna hitam dianggap sebagai lambang
kesederhanaan, persamaan derajat setiap orang dihadapan Tuhan Yang
Maha Esa, berbeda dengan warna warna mencolok seperti merah, biru
dan kuning yang dianggap suatu kemewahan dan tidak sesuai dengan
identitas masyarakat kajang. Jika kita memasuki daerah Suku Kajang,
maka kita harus berpakaian serba hitam jg. Bagi mereka warna hitam
merupakan bentuk persamaan dalam segala hal. tidak ada warna hitam
yg lebih baik dari hitam lainnya.
A.2 Bahasa dan agama masyarakat suku kajang
Bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang
selama ini sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku
kajang. Adapun contoh dari bahasa yang biasa mereka gunakan seperti
dibawah ini.
Ada pun Galla Pantama dan anak dari Ammatoa (Ramlah) yang
tahu berbahasa Indonesia, jadi merekalah yang menerjemahkan apa yang
disampaikan oleh Ammatoa.
Agama yang dianut adalah “Sallang dalam dialek Konjo” yang
artinya Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na (Allah
SWT).
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na, yaitu :
1. Leteanng Dalle’ : Titian rejeki.
2. Bala Tannisanna - sanna : Bencana yang tak disangka-sangka.
3. Sura’ Nikka : Surat nikah.
9
4. Cappa’ Umuru : Ujung usia.
Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang “
Je’ne Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat
dan melunturkan Wudhu”. Masjidnya berada di luar kawasan adat
Ammatoa yang bertempat di dekat pintu gerbang kawasan adat tersebut.
Masjid ditempatkan di luar kawasan adat karena mereka tidak ingin
peradaban yang mereka miliki berbaur dengan peradaban yang lain.
Adapun imam dalam kawasan adat yang disebut Kali yang juga sebagai
perangkat tambahan dalam membantu tugas Ammatoa khusus dalam
bidang keagamaan.
A.3 Sistem Kekerabatan
Pada Komunitas Ammatoa Kajang (KAK) hubungan kekerabatan ini
tampak jelas pada pengaturan ruang dan tatanan massa rumah mereka
(Wiwik, 2000). Untuk keseluruhan tatanan massa pada permukiman
Komunitas Ammatoa (Kajang Dalam), pada dasarnya bermakna: „yang
muda berkewajiban melindungi yang tua‟. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan yang muda bisa saja anak/menantu, keponakan, ataupun adik.
Bila dalam silsilah mempunyai kedudukan yang sama, maka yang diambil
sebagai patokan adalah usia, yang muda berdasarkan usia adalah yang
telah dewasa dan berumah tangga. Selama ia belum berumah tangga,
maka keselamatannya masih dalam tanggungjawab orangtuanya.
1.4 budaya suku kajang
A.1 Budaya Kamase-masea Masyarakat Kajang
Masyarakat kajang memegang teguh budaya dan tradisi dari nenek
moyang mereka yang berupa hukum tidak tertulis dalam daerah tersebut
yang oleh masyarakat kajang disebut pappasang atau pasang (pesan,
petuah). Salah satu isi dari pappasang tersebut yaitu, kajang tanah yang
sederhana ( tana kamase-masea) hal ini yang menyebabkan masyarakat
kajang tidak menerima adanya moderenisasi dan cenderung menolak
perubahan karena mereka menganggap hal itu sebagai kemegahan atau
kemewahan dunia, termaksud program dan kebijakan pemerintah yang
10
dianggap mampu mengancam keberadaan mereka. Prinsip tersebut
mereka yakini sebagai jalan menuju hidup hakiki , berdasarkan isi dari
pappasang bahwa dengan hidup miskin di dunia akan mendapatkan
ganjaran kekayaan di akhirat. Masyarakat Kajang berpegang teguh pada
prinsip kamase-masea dengan sistem nilai lambusu’ (jujur), gattang
(tegas), sabbara (sabar), dan appisona (pasrah) di dalamnya.nilai nilai
yang ada pada budaya kamase-masea itulah yang menjadi pegangan dan
pedoman hidup masyarakat kajang.
11
penerangan lampu tembok yang dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi
sekarang sudah memakai minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat
elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat, penduduk tidak boleh
memakai alas kaki, termasuk tamu yang datang dari luar, karena itu
merupakan suatu penghinaan. Atau jangan sekali-kali memakai pakaian
warna merah. Pakaian orang-orang Kajang adalah pakaian serba hitam,
yang ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai
jutaan rupiah.
1.5 kesenian suku kajang
- Pabitte Passapu
Tarian ini merupakan pesta adat Suku Kajang. Ini adalah tradisi
Suku Kajang, yaitu mengadu ikat kepala yang dibentuk simpul seperti
ayam.
Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat, acara
penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering ditampilkan di luar
kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang
mengundang para penari.
Komposisi Tari Pa’bitte yaitu sebagai berikut :
1. Passisengang (perkenalan)
2. Appasilele (pemanasan ayam aduan)
3. Assahung (penyabung ayam) : mengasah taji lalu menyabung
4. Appasicoco’ (mencocokkan pada ayam mana yang menang dan
kalah)
5. Sijallo (perkelahian antara dua kelompok penyabung)
6. Sibotto’ (saling menikam)
7. Sibajiki (berdamai)
Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka bernyanyi sambil
menari. Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina dan pemimpin
group tari.
Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan passapu
yang masing-masing berwarna hitam.
12
> Seni Suara berupa nyanyian (Kelong) :
Kelong diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari Pa’bitte
Passapu untuk acara kegembiraan.
> Seni Teater :
Menggambarkan sosok Ammatoa dan pendampingnya.
> Seni Drama :
Anggaru.
> Seni Musik :
Menggunakan alat berupa suling (Basing).
13
1. Ahli dalam hal pasang.
2. Tidak pernah dilihat oleh masyarakat melakukan sesuatu yang
dianggap tidak baik seperti berdusta, minum tuak, berjudi, ataupun
menipu serta perbuatan lain yang tercela.
3. Konsisten dengan apa yang pernah ia ucapkan.
4. Perbuatannya sesuai dengan ucapannya atau satunya kata dengan
perbuatan.
5. Diyakini oleh masyarakat memiliki kesaktian dan memiliki wibawa
serta disegani dan dihormati oleh masyarakat banyak.
14
Sifat demokrasi ini bukan hanya tercermin pada cara pelaksanaan
pemerintahan itu, tetapi dalam cara cara bertutur dan bertingkah laku.
Dalam percakapan sehari hari sering muncul adanya istilah apa nakua
toloheya yang artinya bahwa apa yang telah dikatakan dan diputuskan
oleh orang banyak atau kalau orang banyak yang menghendaki demikian
maka itlah yang harus diikuti. Selain itu berkembang pula prinsip le’rasa
pau ada tale’rasa pau pau aranang, yang artinya batal keputusan
pemerintah, tetapi keputusan yang diambil dalam musyawarah tidak boleh
dibatalkan secara sepihak.
Sedangkan perbuatan perbuatan yang mengambarkan adanya demokrasi
itu ialah adanya perbatan rera atau sistem kerja bergiliran. Setiap anggota
rera mendapat giliran yang sama. sistem ini biasanya dilaksanakan ketika
dalam pengolahan sawah, penanaman padi maupun dalam kegiatan
membangun rumah. Demikian pula setiap orang yang memiliki hak dalam
menangkap ikan dalam suatu sungai tidak boleh ada yang saling
melarang.
1.7 Bangunan / rumah adat suku kajang
Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan
tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan
makanan, bagian tengah disebut Kale Balla sebagai tempat manusia
menetap atau bertempat tinggal, bagian bawah disebut Siring sebagai
tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le’leng) merupakan
pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan
wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki.
Pada bagian badan (Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan
dengan bahu pada bagian badan manusia yakni berupa rak-rak selebar
60 cm yang berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang
menjorok keluar dan memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut
Para-para. Ketinggan para-para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang
dimaksudkan agar si pemilik rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang
bermaksud jahat. Para-para ini difungsikan sebagai tempat menyimpan
15
peralatan dapur .Sedang langit-langit rumah (Kajang: para) difungsikan
sebagai lumbung tempat menyimpan bahan makanan seperti padi dan
juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Kajang:
Ata’). Pada bagian muka dan belakang dari atap (ata‟) ini terdapat timpa
laja yakni atap pada bagian muka dan belakang berbentuk segitiga sama
kaki selain sebagai penutup para untuk melindungi bahan makanan dari
tempiasan air hujan juga terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan
Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan terdapat hanya pada Bola/Balla
Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini merupakan ciri khas
yang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi keturunan
Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah.
Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang
tidak lagi ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau
5 susun. Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun
Balagana) yang berjarak 2000 m dari Kawasan Adat Ammatoa.
Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan
analogi dari Pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio
dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci
Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan, selain
itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada
tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-
syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya.
Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai
dengan aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu
masuk hanya ada di depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari
lebar rumah. Sistem konstruksinya masih sangat sederhana berupa
sistem ikat dan pasak. Begitupula dengan desain pintu dan jendala yang
masih sangat sederhana dengan sistem konstruksi menggunakan sistem
geser (sliding doorl window).
16
BAB III
PENUTUP
4.3 Kesimpulan
Berdasarkan ulasan mengenai kebudayaan masyarakat suku kajang,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :
Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan
kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-
budaya mereka. Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu,
masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau
lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan
tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat
kajang luar merupakan masyarakat kajang yang tinggal di luar
perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan
dapat menerima hal baru dari luar.
Bagi masyarakat kajang warna hitam merupakan kesakralan, selain itu
warna hitam dianggap sebagai lambang kesederhanaan, persamaan
derajat setiap orang dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu,
masyarakat kajang menggunakan pakaian berwarna hitam , baik
itupakaian sehari hari mereka maupun pakaian adatnya. Masyarakat Tana
Toa atau suku Kajang memiliki sistem pemerintahan adatnya sendiri.
yang bisa menjadi Ammatowa hanyalah orang orang yang naturungi
pammase atau orang yang mendapat rahmat dari yang kuasa.
Ammatowa dipilih secara tradisional dan memerintah tidak pula dalam
batas waktu tertentu
4.4 saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat memberikan
saran kepada para pembaca agar sebaiknya mengetahui dan memahami
secara mendalam mengenai kebudayaan suku kajang, dan kepada
masyarakat kajang agar tetap mempertahankan adat istiadat dan
kebudayaan di suku kaja
17
DAFTAR PUSTAKA
http://bugiesmakassar.blogspot.com/2012/11/ciri-khas-bulukumba-visite-
ammatoa-suku.html
http://rahmanthevolves.wordpress.com/2012/04/15/mengenal-budaya-
unik-suku-kajang/
http://hanageoedu.blogspot.com/2011/12/suku-kajang.html
18