Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

BUDAYA SUKU KAJANG , BULUKUMBA ”.


____________________________________
__________________________
MATA KULIAH : ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
DOSEN PENGAMPUH : SYAHBAN NUR

OLEH:
NAMA: SARDEDI

NIM:105721127823

PROGRAM STUDI EKONOMI DAN BISNIS


FAKULTAS MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

1
SUKU KAJANG
BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN

Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase,


a‘dakkako nu kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase (berdiri
engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau
sederhana, dan berbicara engkau sederhana) – Filosofi masyarakat
kampung adat suku Kajang.

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas izin Allah
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah Antropologi ini tepat pada
waktunya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak
dosen dengan mengambil judul “BUDAYA SUKU KAJANG , BULUKUMBA
”.
Makalah ini mengulas segala hal yang terdapat dalam suku kajang, baik itu
mengenai kebudayaan, pemerintahan, sistem kekerabatan maupun keseniannya.
Dimana hal tersebut terasa perlu agar para pembaca lebih mengenal
keanekaragaman budaya pada suku di Indonesia dalam hal ini negara kita
merupakan negara majemuk dan multikultural.
Penulis menyadari sepenuhnya akan kelemahan-kelemahan isinya,oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca merupakan sesuatu yang sangat berharga
dan sangat diharapkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada Bapak Syahban Nur selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Amin.

3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................
A. LATAR BELAKANG...................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................... 2
C. TUJUAN......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
A. KEHIDUPAN DI SUKU KAJANG.............................................................4
B. BUDAYA SUKU KAJANG........................................................................6
C. KESENIAN SUKU KAJANG.....................................................................8
D. SISTEM PEMERINTAHAN........................................................................9
E. SISTEM PEMERINTAHAN........................................................................11

BAB III PENUTUP...................................................................................................


4.1 KESIMPULAN................................................................................................13
4.2 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................13

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin bertambahnya tahun, semakin bertambah pula tingkat globalisasi
dunia, semakin modern pula suatu bangsa, biasanya hal ini menyebabkan
pudarnya budaya budaya suatu bangsa. Indonesia pada dasarnya merupakan
negara multikultural yang memiliki beranekaragam suku dan budaya, namun pada
kenyataanya keanekaragaman suku dan budaya di Indonesia masih tetap terjaga
dan dilestarikan.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini jelas menunjukkan pentingnya
kebudayaan suatu bangsa dalam suatu daerah/wilayah. Kebudayaan pada masa
sekarang ini, sebagian masih tetap terpelihara namun sebagian lagi sudah tidak
diperhatikan dikarenakan kurangnya kesadaran individu atau suatu kelompok
terhadap kebudayaan yang dimilikinya.
Selain kebudayaan,keanekaragaman suku bangsa khususnya di negara kita
ini sangat terjaga, baik itu suku pedalaman maupun suku yang sudah tidak kental
dengan tradisional dan primitif lagi. Namun pada suku padalaman masih sangat
memegang teguh kebudayaan mereka. Terdapat beragam suku seperti suku batak,
suku bugis, suku kajang, dan masih banyak lagi . Dengan banyaknya suku bangsa
di Indonesia ini, masih ada orang orang yang belum mengenal secara mendalam
dan secara keseluruhan terhadap kebudayaan suku tersebut bahkan terhadap
keberadaan suku tersebut. Salah satu diantara banyaknya suku bangsa di Indonesia
adalah suku Kajang yang terletak di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pada makalah
ini Kami membahas dan mengulas secara mendalam mengenai suku kajang dari
semua aspek yang ada seperti sistem kekerabatan, sistem pemerintahan, budaya
dan keseniannya.

5
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kehidupan di suku kajang (pengenalan suku kajang)?
2. Apa saja budaya suku kajang?
3. Apa saja kesenian masyarakat kajang?
4. Bagaimana sistem pemerintahan dalam masyarakat kajang?
5. Seperti apa bengunan tempat tinggal atau rumah adat masyarakat suku
kajang?

6
1.3 tujuan penulisan
adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
mampu mengenali lebih dalam mengenai suku bangsa di indonesia, khususnya
suku kajang
mampu menambah wawasan pembaca mengenai keanekaragaman budaya di
suku kajang

7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 kehidupan di suku kajang
Suku Kajang terletak di desa Tana Toa kabupaten Bulukumba Provinsi
Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur Makassar. Suku ini
mendiami sebuah kecamatan yaitu kecamatan Kajang, yang merupakan bagian
dari kabupaten Bulukumba (Bulukumba merupakan daerah yang terkenal dengan
pembuat perahu pinisi dengan pelaut-pelaut ulung) Masyarakat kajang secara
geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat kajang dalam ( tau kajang ) dan
masyarakat kajang luar ( tau lembang ). Masyarakat kajang dalam lebih
memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya.
Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan masyarakat kajang yang tinggal di
luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini sudah bersifat modern dan dapat
menerima hal baru dari luar , tidak semua aturan-aturan masyarakat kajang yang
mereka ikuti dibanding masyarakat kajang dalam yang sifatnya masih sangat
tradisional.

A.1 Pakaian Adat Suku Kajang


Dalam kehidupan masyarakat Kajang, wanita diwajibkan bisa membuat
kain dan memasak. Sedangkan pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan
membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari
kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Bagi
wanita membuat pakaian merupakan syarat untuk melangsungkan pernikahan, jika
tidak mempunyai keahlian membuat pakaian, maka tidak diperbolehkan
melangsungkan pernikahan. Proses pembuatannya dilakukan dengan cara
tradisional mulai dari pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya
menjadi selembar kain. jika kita berkunjung ke daerah tanah toa , kita akan
bertemu dengan orang orang dengan pakaian serba hitam, mulai dari ujung rambut
hingga ke ujung kaki baik perempuan maupun laki laki. Baju , sarung hitam ( tope

8
leleng), sorban atau penutup kepala(passapu) yang semuanya berwarna hitam
bagi laki laki, sedangkan untuk perempuan digunakan pakaian yang juga berwarna
hitam. selain itu, penggunaan alas kaki juga dilarang. Bagi masyarakat kajang
warna hitam merupakan kesakralan, selain itu warna hitam dianggap sebagai
lambang kesederhanaan, persamaan derajat setiap orang dihadapan Tuhan Yang
Maha Esa, berbeda dengan warna warna mencolok seperti merah, biru dan kuning
yang dianggap suatu kemewahan dan tidak sesuai dengan identitas masyarakat
kajang. Jika kita memasuki daerah Suku Kajang, maka kita harus berpakaian serba
hitam jg. Bagi mereka warna hitam merupakan bentuk persamaan dalam segala
hal. tidak ada warna hitam yg lebih baik dari hitam lainnya.
A.2 Bahasa dan agama masyarakat suku kajang
Bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini
sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku kajang. Adapun contoh
dari bahasa yang biasa mereka gunakan seperti dibawah ini.
Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a‘dakkako nu
kamase-mase, a‘meako nu kamase-mase (berdiri engkau sederhana, duduk
engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau
sederhana) – Filosofi masyarakat kampung adat suku Kajang.

Ada pun Galla Pantama dan anak dari Ammatoa (Ramlah) yang tahu
berbahasa Indonesia, jadi merekalah yang menerjemahkan apa yang disampaikan
oleh Ammatoa.
Agama yang dianut adalah “Sallang dalam dialek Konjo” yang artinya
Islam. Dan Tuhan yang mereka yakini adalah Turie’a A’ra’na (Allah SWT).
Menurut Ammatoa, ada 4 rahasia Turie’a A’ra’na, yaitu :
1. Leteanng Dalle’ : Titian rejeki.
2. Bala Tannisanna - sanna : Bencana yang tak disangka-sangka.
3. Sura’ Nikka : Surat nikah.
4. Cappa’ Umuru : Ujung usia.
Mereka juga menjalankan shalat 5 waktu seperti dalam Pasang “ Je’ne
Talluka, Sambayang Talatappu”, artinya “Jangan merusak Shalat dan

9
melunturkan Wudhu”. Masjidnya berada di luar kawasan adat Ammatoa yang
bertempat di dekat pintu gerbang kawasan adat tersebut. Masjid ditempatkan di
luar kawasan adat karena mereka tidak ingin peradaban yang mereka miliki
berbaur dengan peradaban yang lain. Adapun imam dalam kawasan adat yang
disebut Kali yang juga sebagai perangkat tambahan dalam membantu tugas
Ammatoa khusus dalam bidang keagamaan.
A.3 Sistem Kekerabatan
Pada Komunitas Ammatoa Kajang (KAK) hubungan kekerabatan ini
tampak jelas pada pengaturan ruang dan tatanan massa rumah mereka (Wiwik,
2000). Untuk keseluruhan tatanan massa pada permukiman Komunitas Ammatoa
(Kajang Dalam), pada dasarnya bermakna: „yang muda berkewajiban melindungi
yang tua‟. Dalam hal ini yang dimaksud dengan yang muda bisa saja
anak/menantu, keponakan, ataupun adik. Bila dalam silsilah mempunyai
kedudukan yang sama, maka yang diambil sebagai patokan adalah usia, yang
muda berdasarkan usia adalah yang telah dewasa dan berumah tangga. Selama ia
belum berumah tangga, maka keselamatannya masih dalam tanggungjawab
orangtuanya.

1.4 budaya suku kajang


A.1 Budaya Kamase-masea Masyarakat Kajang
Masyarakat kajang memegang teguh budaya dan tradisi dari nenek
moyang mereka yang berupa hukum tidak tertulis dalam daerah tersebut yang oleh
masyarakat kajang disebut pappasang atau pasang (pesan, petuah). Salah satu isi
dari pappasang tersebut yaitu, kajang tanah yang sederhana ( tana kamase-masea)
hal ini yang menyebabkan masyarakat kajang tidak menerima adanya
moderenisasi dan cenderung menolak perubahan karena mereka menganggap hal
itu sebagai kemegahan atau kemewahan dunia, termaksud program dan kebijakan
pemerintah yang dianggap mampu mengancam keberadaan mereka. Prinsip
tersebut mereka yakini sebagai jalan menuju hidup hakiki , berdasarkan isi dari
pappasang bahwa dengan hidup miskin di dunia akan mendapatkan ganjaran

10
kekayaan di akhirat. Masyarakat Kajang berpegang teguh pada prinsip kamase-
masea dengan sistem nilai lambusu’ (jujur), gattang (tegas), sabbara (sabar), dan
appisona (pasrah) di dalamnya.nilai nilai yang ada pada budaya kamase-masea
itulah yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat kajang.

A.2 Upacara Rumatang Masyarakat Kajang


Upacara Rumatang merupakan upacara adat yang bertujuan sebagai
ungkapan rasa syukur, ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta yang dipimpin
langsung oleh pemimpin adat yang kerap disebut ammatoa. Persiapan upacara
dimulai pada pagi hari yang oleh kaum wanita dipersiapkan makanan khas dan
dipimpin oleh seorang wanita tua yang memberi petunjuk bahwa makanan apa
saja yang seharusnya disediakan. Nasi yang utama dipersiapkan harus dari beras
hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur
mereka. Dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi
Selatan yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas
yang sama sebagai simbol persaudaraan. Hal ini dilakukan pada saat makan siang
bersama sebelum dilaksanakannya upacara Rumatang. Ada juga delapan buah
sesaji yang disediakan berupa nasi empat warna, lauk pauk dan buah-buahan.
Sesaji ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin.
Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja
melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil,
juga ikut merasakan hasilnya.
Salah satu contoh program pemerintah adalah memberikan akses
penerangan (listrik) di daerah ini, ditolak oleh komunitas adat, sehingga sampai
saat ini, daerah adat Kajang Ammatoa masih menggunakan penerangan lampu
tembok yang dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai
minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah ini. Memasuki
kawasan Adat, penduduk tidak boleh memakai alas kaki, termasuk tamu yang
datang dari luar, karena itu merupakan suatu penghinaan. Atau jangan sekali-kali
memakai pakaian warna merah. Pakaian orang-orang Kajang adalah pakaian serba

11
hitam, yang ditenun sendiri, yang konon harganya sangat mahal, bahkan sampai
jutaan rupiah.
1.5 kesenian suku kajang
- Pabitte Passapu
Tarian ini merupakan pesta adat Suku Kajang. Ini adalah tradisi Suku
Kajang, yaitu mengadu ikat kepala yang dibentuk simpul seperti ayam.
Tari Pa’bitte Passapu ditampilkan pada acara-acara adat, acara
penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini sering ditampilkan di luar kawasan
adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang mengundang para
penari.
Komposisi Tari Pa’bitte yaitu sebagai berikut :
1. Passisengang (perkenalan)
2. Appasilele (pemanasan ayam aduan)
3. Assahung (penyabung ayam) : mengasah taji lalu menyabung
4. Appasicoco’ (mencocokkan pada ayam mana yang menang dan kalah)
5. Sijallo (perkelahian antara dua kelompok penyabung)
6. Sibotto’ (saling menikam)
7. Sibajiki (berdamai)
Jumlah penari terdiri atas 8 orang pria. Mereka bernyanyi sambil menari.
Pemain gendang 2 orang, serta 1 orang pembina dan pemimpin group tari.
Kostum penari berupa jas tutup, sarung, celana pokki’ dan passapu yang
masing-masing berwarna hitam.
> Seni Suara berupa nyanyian (Kelong) :
Kelong diiringi gendang dan dinyanyikan dalam rangkaian tari Pa’bitte Passapu
untuk acara kegembiraan.
> Seni Teater :
Menggambarkan sosok Ammatoa dan pendampingnya.
> Seni Drama :
Anggaru.
> Seni Musik :
Menggunakan alat berupa suling (Basing).

12
1.6 Sistem pemerintahan
suku Kajang memiliki sistem pemerintahan adatnya sendiri. Mereka dipimpin
oleh seorang Ammatoa atau yang berarti pemimpin yang tertua (dituakan).
Ammatoa dalam tugas-tugas dan upacara adat juga didampingi oleh dua orang
Anrong yang disebut Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina. Ammatoa juga
dibantu oleh beberapa pemangku adat yang disebut dengan Galla (ada Galla
Kajang yang bertugas mengurusi masalah ritual, ada Galla Pantama yang
mengurusi pertanian, Galla Puto sebagai juru bicara Ammatoa dan seterusnya).
Meskipun belakangan masyarakat Kajang menyebut diri mereka sebagai penganut
agama Islam, tetapi dalam kesehariannya mereka masih berpegang pada Passang
ri Kajang atau pesan-pesan suku Kajang yang ada pada ajaran Panuntung
(penuntun) mereka. Tradisi dan ajaran leluhur masih tetap dipegang teguh dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Ammatowa dipilih secara tradisional dan memerintah tidak pula dalam batas
waktu tertentu. Tetapi Ammatowa tidak dipilih terbatas hanya dari kalangan
keluarga Ammatowa sebelumnya, tetapi siapa pun saja. Sebab yang bisa menjadi
Ammatowa hanyalah orang orang yang naturungi pammase atau orang yang
mendapat rahmat dari yang kuasa. Adapun syarat syarat ntuk dipilih menjadi
Ammatowa adalah sebagai berikut :

1. Ahli dalam hal pasang.


2. Tidak pernah dilihat oleh masyarakat melakukan sesuatu yang dianggap
tidak baik seperti berdusta, minum tuak, berjudi, ataupun menipu serta
perbuatan lain yang tercela.
3. Konsisten dengan apa yang pernah ia ucapkan.
4. Perbuatannya sesuai dengan ucapannya atau satunya kata dengan
perbuatan.
5. Diyakini oleh masyarakat memiliki kesaktian dan memiliki wibawa serta
disegani dan dihormati oleh masyarakat banyak.

13
Ammatowa memiliki daerah kekuasaan yang terdiri atas kampung kampung dan
kumpulan atas beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang Galla yang
merupakan hasil dari pilihan rakyat. Galla biasanya diambil dari kalangan turunan
turunan adat itu sendiri di daerahnya masing masing. Selain itu seorang Galla
harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup serta memiliki kharisma di
masyarakatnya.
Selanjutnya seorang Ammatowa yang terpilih memiliki kewajiban untuk
mengayomi dan menciptakan kesejhteraan bagi rakyatnya. Ia tidak boleh
melanggar aturan aturan yang telah ditetapkan oleh pasang. Kalau Ammatowa
melanggar pasang maka ia ibaratnya seperti tunas yang memanjang kemudian tiba
tiba patah dan layu, kalau ia menghindari pasang maka lumpuh dan bila ia
melangkahi kehendak pasang maka ia botak. Demikian ikrar itu, begitu berat
tanggung jawab seorang Ammatowa yang betul betul memiliki fungsi dalam
melindungi rakyatnya.
Dalam sistem pemerintahan patuntung kekuasaan tidak bersumber dari
atas tetapi dari bawah, dari rakyat melalui anggota anggota adat yang dikenal
sebagai ada panroakki bicarayya yang artinya hanya dewan adatlah yang berhak
mengambil keputusan. Anggota anggota dewan adat inilah yang kemudian
dimintai pendapat dan pertimbangannya dalam memutuskan suatu perkara, karena
mereka inilah yang dianggap sebagai representasi dari rakyat banyak.
Sifat demokrasi ini bukan hanya tercermin pada cara pelaksanaan pemerintahan
itu, tetapi dalam cara cara bertutur dan bertingkah laku. Dalam percakapan sehari
hari sering muncul adanya istilah apa nakua toloheya yang artinya bahwa apa
yang telah dikatakan dan diputuskan oleh orang banyak atau kalau orang banyak
yang menghendaki demikian maka itlah yang harus diikuti. Selain itu berkembang
pula prinsip le’rasa pau ada tale’rasa pau pau aranang, yang artinya batal
keputusan pemerintah, tetapi keputusan yang diambil dalam musyawarah tidak
boleh dibatalkan secara sepihak.
Sedangkan perbuatan perbuatan yang mengambarkan adanya demokrasi itu ialah
adanya perbatan rera atau sistem kerja bergiliran. Setiap anggota rera mendapat

14
giliran yang sama. sistem ini biasanya dilaksanakan ketika dalam pengolahan
sawah, penanaman padi maupun dalam kegiatan membangun rumah. Demikia

pula setiap orang yang memiliki hak dalam menangkap ikan dalam suatu sungai
tidak boleh ada yang saling melarang.

1.7 Bangunan / rumah adat suku kajang


Terbagi dalam 3 tingkat. Bagian atas disebut Para merupakan tempat yang
dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian tengah
disebut Kale Balla sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal,
bagian bawah disebut Siring sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam
(topeh le’leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini
sekaligus merupakan wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan
kaki.
Pada bagian badan (Kale balla) terdapat bagian yang dianalogikan dengan
bahu pada bagian badan manusia yakni berupa rak-rak selebar  60 cm yang
berada di bagian luar dinding tepat di bawah atap yang menjorok keluar dan
memanjang sepanjang bangunan. Bagian ini disebut Para-para. Ketinggan para-
para setinggi telinga/mata pemilik rumah, yang dimaksudkan agar si pemilik
rumah bisa melihat/mendengar jika ada yang bermaksud jahat. Para-para ini
difungsikan sebagai tempat menyimpan peralatan dapur .Sedang langit-langit
rumah (Kajang: para) difungsikan sebagai lumbung tempat menyimpan bahan
makanan seperti padi dan juga sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
Bagian paling atas adalah merupakan penutup para/atap (Kajang: Ata’).
Pada bagian muka dan belakang dari atap (ata‟) ini terdapat timpa laja yakni atap
pada bagian muka dan belakang berbentuk segitiga sama kaki selain sebagai
penutup para untuk melindungi bahan makanan dari tempiasan air hujan juga
terdapat lubang kecil sebagai pengahawaan Timpa laja ini terdiri atas 2 susun dan
terdapat hanya pada Bola/Balla Hanggang (rumah yang tiangnya ditanam) dan ini
merupakan ciri khas yang menunjukkan keseragaman dan memberikan indikasi
keturunan Ammatoa yang tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model

15
rumah. Untuk rumah yang sudah mengalami perubahan (Bola/Balla paleha), tiang
tidak lagi ditanam, susunan timpak laja sudah ada yang terdiri atas 3 atau 5 susun.
Ini ditemukan umumnya pada ibukota desa Tanatoa (dusun Balagana) yang
berjarak  2000 m dari Kawasan Adat Ammatoa.
Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari
Pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang
ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai
pusat yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai
religius, dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling
penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara
mendirikannya.
Tiang rumah ditanam ke dalam tanah dan tingginya diukur sesuai dengan
aktivitas yang dapat dilakukan dibawahnya. Tangga dan pintu masuk hanya ada di
depan bagian tengah agak ke kanan atau kekiri dari lebar rumah. Sistem
konstruksinya masih sangat sederhana berupa sistem ikat dan pasak. Begitupula
dengan desain pintu dan jendala yang masih sangat sederhana dengan sistem
konstruksi menggunakan sistem geser (sliding doorl window).

16
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan ulasan mengenai kebudayaan masyarakat suku kajang, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa :
Masyarakat suku kajang merupakan masyarakat yang penuh dengan
kesederhanaan, mereka memegang teguh adat istiadat serta budaya-budaya
mereka. Masyarakat kajang secara geografis terdiri dari dua yaitu, masyarakat
kajang dalam ( tau kajang ) dan masyarakat kajang luar ( tau lembang ).
Masyarakat kajang dalam lebih memegang teguh budaya dan tradisi-tradisi yang
berlaku di lingkungannya. Sedangkan , masyarakat kajang luar merupakan
masyarakat kajang yang tinggal di luar perkampungan, masyarakat kajang luar ini
sudah bersifat modern dan dapat menerima hal baru dari luar.
Bagi masyarakat kajang warna hitam merupakan kesakralan, selain itu warna
hitam dianggap sebagai lambang kesederhanaan, persamaan derajat setiap orang
dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu, masyarakat kajang
menggunakan pakaian berwarna hitam , baik itupakaian sehari hari mereka
maupun pakaian adatnya. Masyarakat Tana Toa atau suku Kajang memiliki sistem
pemerintahan adatnya sendiri.
yang bisa menjadi Ammatowa hanyalah orang orang yang naturungi pammase
atau orang yang mendapat rahmat dari yang kuasa.
Ammatowa dipilih secara tradisional dan memerintah tidak pula dalam batas
waktu tertentu

1.2 saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis dapat memberikan saran kepada
para pembaca agar sebaiknya mengetahui dan memahami secara mendalam
mengenai kebudayaan suku kajang, dan kepada masyarakat kajang agar tetap
mempertahankan adat istiadat dan kebudayaan di suku kaja
DAFTAR PUSTAKA

17
http://bugiesmakassar.blogspot.com/2012/11/ciri-khas-bulukumba-visite-
ammatoa-suku.html
http://rahmanthevolves.wordpress.com/2012/04/15/mengenal-budaya-
unik-suku-kajang/
http://hanageoedu.blogspot.com/2011/12/suku-kajang.html

18

Anda mungkin juga menyukai