Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

WILAYAH KEBUDAYAAN JAWA TIMUR

Dosen Pengampu : Dr. Warsiman S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Nicky Lintang Kalvanesia 215110401111026


Yasmin Nurhaliza 215110401111022

PROGRAM STUDI SASTRA CINA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022

i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya, tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafaatnya di akhirat nanti.
Kami ucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Manusia dan
Kebudayaan Indonesia dengan judul “Wilayah Kebudayaan Jawa Timur”. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Pak
Warsiman, selaku Dosen mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang
telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Penulis juga
menekankan bahwa makalah ini tidak bertujuan untuk menyudutkan salah satu
pihak dan murni semata-mata untuk mengkaji mengenai isu yang berkembang di
tengah masyarakat tersebut. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jakarta, 17 Maret 2022

Nicky Lintang
Kalvanesia & Yasmin
Nurhaliza

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2
A. Definisi Kebudayaan................................................................................ 2
B. Wilayah Kebudayaan Jawa Timur.......................................................... 3
C. 10 Wilayah Kebudayaan Jawa Timur..................................................... 3
1. Kebudayaan Jawa Mataraman............................................................... 3
2. Kebudayaan Jawa Panaragan............................................................... 4

3. Kebudayaan Arek..................................................................................... 4

4. Kebudayaan Samin.................................................................................. 5

a. Asal Muasal Masyarakat Samin........................................................... 5

b. Ajaran Samin......................................................................................... 7

c. Kebudayaan Masyarakat Samin........................................................... 8

d. Perkembangan Ajaran Samin............................................................... 10

5. Kebudayaan Tengger.............................................................................. 6

a. Identitas dan Kebudayaan Orang Tengger........................................... 6

b. Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger......................................... 8

6. Kebudayaan Osing................................................................................ 11

a. Masyarakat Osing.......................................................................... 11

b. Wujud Budaya Idea........................................................................ 11

c. Wujud Budaya Tindakan................................................................. 13

d. Wujud Budaya Artefak.................................................................... 15

iii
7. Kebudayaan Pandalungan.................................................................... 21

a. Masyarakat Pandalungan.............................................................. 21

b. Budaya Pandalungan...................................................................... 22

c. Produk-produk Kesenian di Wilayah Pandalungan...................... 25

8. Kebudayaan Madura Pulau................................................................... 26

a. Sejarah Madura Pulau.................................................................... 27

b. Budaya Madura Pulau..................................................................... 27

9. Kebudayaan Madura Bawean .............................................................. 32

a. Identitas Masyarakat Madura Bawean................................................ 32

10. Kebudayaan Madura Kangean ........................................................... 33

BAB III PENUTUP............................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 32

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dalam wilayah negara


Republik Indonesia yang terletak di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Dengan
luas wilayah 47.922 km², dan jumlah penduduk 37.070.731 jiwa (2005),
menjadikan Jawa Timur merupakan wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau
Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia. Jawa Timur
berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di
selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat.

Budaya masyarakat di Provinsi Jawa Timur memiliki keunikan tersendiri.


Tidak seperti Jawa Tengah yang merupakan pusat budaya Jawa dan Jawa Barat
dan Banten yang dihuni oleh etnis yang berbeda, sebagian besar populasi Jawa
Timur adalah orang Jawa seperti di Jawa Tengah, tetapi memiliki ciri-ciri yang
berbeda. Etnis Jawa yang tinggal di Jawa Timur sangat bervariasi, yang secara
umum bisa digolongkan menjadi orang Jawa “Kulon/Kilen” dan Jawa
“Etan/Wetan.” Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur
daratan. Di samping itu, ada etnis dan sub etnis lain yang tinggal di Jawa Timur.
Sebagai contoh ada Suku Madura mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal
Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan.

Keberagaman budaya yang ada dipengaruhi faktor historis Jawa Timur


yang dahulu merupakan pusat kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Tanah
Jawa. Nama raja-raja besar dalam sejarah nasional, seperti Airlangga, Jayabaya,
Kertanegara, Ken Arok dan Hayam Wuruk merupakan nama besar dalam sejarah
Jawa Timur yang mempunyai perspektif nasional. Jawa Timur juga menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Para penyiar Islam atau biasa disebut Wali/Sunan
sebagian besar mendiami wilayah Jawa Timur.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kebudayaan
Sebelum membahas lebih dalam mengenai wilayah kebudayaan Jawa
Timur, kita harus memahami terlebih dahulu apa itu definisi kebudayaan.
Kebudayaan seringkali diartikan sebagai kesenian. Padahal,
kebudayaan dan kesenian memiliki arti yang berbeda. Kebudayaan memiliki
cakupan yang lebih luas daripada kesenian. Dan kesenian hanya salah satu
unsur dari kebudayaan.
Dilansir dari buku Pengantar Antropologi (1991) karya
Koentjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki
manusia dengan belajar. Adapun pengertian kebudayaan menurut para ahli
yang lain, ialah sebagai berikut:
- Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
- E. B Taylor
Mengidentifikasi bahwa kebudayaan sebagai komplikasi (jalinan) dalam
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral
keagamaan, hukum, adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
manusia sebagai anggora masyarakat.

Kemudian dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta


karya manusia yang terus berkembang dari generasi ke generasi. Kebudayan
juga dapat berbentuk seperti pengetahuan, norma, keagamaan, kesenian,
kepercayaan, hukum adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam
masyarakat.

B. Wilayah Kebudayaan Jawa Timur


Ayu Sutarto, seorang antropolog, menganggap wilayah Jawa Timur secara
kultural dapat dibagi menjadi 10 wilayah kebudayaan yang mana diantaranya
kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin (Sedulur Sikep),

2
Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan
Madura Kengean (Ayu Sutarto dan Setyo Yuwono Sudikan, 2004).
C. 10 Wilayah Kebudayaan Jawa Timur
1. Masyarakat Jawa Mataraman
Masyarakat Jawa Mataraman memiliki produk kebudayaan yang
tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan
Yogyakarta. Masyarakat Jawa Mataraman mempunyai pola kehidupan
sehari-hari sebagaimana pola kehidupan orang Jawa pada umumnya.
Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus masyarakat
Surakarta dan Yogyakarta, tetapi terpengaruh bahasa Jawa yang
digunakan kerajaan Mataram di Yogyakarta. Begitu pula pola cocok
tanam dan sistem sosial yang dianut sebagaimana pola masyarakat
Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam dan pola hidup di
pedalaman Jawa Timur, memberi warna budaya Mataraman tersendiri
bagi masyarakat ini. Sedangkan selera berkesenian masyarakat ini
sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada umumnya.
Dalam masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian
seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang,
dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedhaya
Keraton. Masyarakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyarakat
yang tinggal di wilayah kabupaten Ngawi, kabupaten dan kota
Madiun, kabupaten Pacitan, kabupaten Magetan, kabupaten dan kota
Kediri, kabupaten Nganjuk, kabupaten Tulungagung, kabupaten dan
kota Blitar, kabupaten Trenggalek, kabupaten Tuban, kabupaten
Lamongan, dan kabupaten Bojonegoro.

2. Jawa Panaragan
Jawa Panaragan tinggal di kabupaten Ponorogo. Secara kultural
masyarakat Jawa Panaragan dikenal sangat menghormati tokoh-tokoh
formal yang berposisi sebagai pangreh praja, tetapi tokoh informal
seperti warok dan ulama juga memiliki status sosial cukup penting di
daerah ini. Jenis kesenian di wilayah ini sangat terkenal yaitu Reog

3
Ponorogo. Banyak kesenian yang dikenal di daerah ini, seperti lukisan
kaca, Tari Tayub (tandakan), dan yang sangat terkenal adalah Reog
Ponorogo.

3. Arek
Budaya Arek merupakan salah satu sub kultur terpenting di Jawa
Timur. Budaya Arek memberikan pengaruh yang sangat luas,
terutama setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan besar yang mewarnai
relasi kebudayaan di Jawa Timur, maupun tanah Jawa dan Nusantara
pada umumnya. Komunitas Arek dikenal mempunyai semangat juang
tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi.
Komunitas Arek juga dikenal dengan sikap keterbukaaannya itu bisa
menerima berbagai model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke
wilayah ini. Berbagai kesenian tradisional hingga modern cepat
berkembang di wilayah ini. Kesenian tradisional (rakyat) yang banyak
berkembang di sini adalah Ludruk, wayang purwa Jawa Timuran
(Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian China),
Tayub, Tari Jaranan, dan sebagainya. Wilayah kebudayaan Arek
meliputi Surabaya, Malang, Mojokerjo, Gresik, dan Sidoarjo. Bila
ditelusuri, asal kata “Arek” dapat diidentifikasi dari beberapa
pernyataan berikut:
a. Arek diperkirakan berasal dari kata Lare atau anak-anak.
b. Arek mengacu pada arti yang lebih luas daripada sekedar anak
kecil. Sampai umur pemuda pun masih lazim di sebut arek
(Boedhimartono, 2003: 57)
c. Arek berasal dari kata dalam bahasa Jawa Kuna, yakni Ari-ika
yang berarti saudara yang lebih muda atau bisa pula anak.
d. Ari berarti adik laki-laki atau perempuan; juga sebagai istilah
sapaan bagi kerabat yang lebih jauh atau bahkan bagi orang-orang
yang bukan kerabat (Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 1995:
62).

4
e. Ari merupakan kata benda kawi yang berarti adhi, rayi; ari-ari:
aruman, sing metu sakbare bayi lahir atau plasenta (latin), embing-
embing (Sudaryanto dan Pranowo, Kamus Pepak Bahasa Jawa, 2001:
41). Ari-ika atau arika (ariika dalam Jawa Kuna) berubah lafal
menjadi Arek (bentuk sapaan bahasa Jawa Baru di wilayah budaya
Arek).
Berdasarkan kelima pengertian di atas, Ari-ika atau arika (ariika
dalam Jawa Kuna) berubah lafal menjadi Arek merupakan bentuk
sapaan bahasa Jawa Baru di wilayah budaya Arek. Sebagai bentuk
sapaan, maka kata Arek merupakan identitas budaya yang berangkat
dari pergaulan atau adanya interaksi sosial bermakna solidiaritas yang
tinggi. Dengan demikian, pergaulan yang terbentuk dari budaya Arek
dapat ditelusuri dari asal mula adanya manusia atau terbentuknya
masyarakat Arek.

4. Samin (Sedulur Sikep)


a. Asal Muasal Masyarakat Samin
Suku Samin atau biasanya disebut sebagai Masyarakat Samin
adalah salah satu masyarakat yang menganut ajaran dari Samin
Surentiko yang nama aslinya Raden Kohar. Ia dilahirkan di desa Ploso
Kedhiren, Randublatung, pada 1859, dan meninggal saat diasingkan
ke Padang pada tahun 1914. Ayahnya bernama Raden Surowijaya
atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Masyarakat Samin pada
umumnya bertempat tinggal di perbatasan provinsi Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Bojonegoro dan Blora adalah wilayah konsentrasi suku
Samin. Masyarakat Samin pada umumnya menyebut diri mereka
dengan istiah wong sikep karena mereka menganggap Samin
mengandung makna negatif yaitu orang-orang nyeleneh atau orang-
orang menyimpang.
Semula ajaran itu tidak serta merta menarik minat pemerintah dan
tidak juga menimbulkan persoalan bagi pemerintahan kolonial.
Namun sekitar tahun 1905 terjadi perubahan, karena para pengikut

5
Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum di desanya, menolak
memberikan sumbangan pada lumbung desa dan menggembalakan
ternaknya bersama ternak yang lain, sehingga pada waktu itu
masyarakat Samin dapat diidentifikasikan sebagai masyarakat yang
ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai
oleh elit penguasa masa itu yaitu pemerintahan kolonial.
Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu sekali, berbicara apa
adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam berbahasa karena
bagi mereka tindak tanduk orang jauh lebih penting daripada halusnya
tutur kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Samin Lugu, dan Samin
Sangkak, yang mempunyai sikap melawan dan pemberani. Kelompok
ini mudah curiga pada pendatang dan suka membantah dengan cara
yang tidak masuk akal. Ini yang sering menjadi stereotip dikalangan
masyarakat Bojonegoro dan Blora.
Suku Samin memiliki kitab suci yang popular dan dimuliakan
bernama Serat Jamus Kalimasada. Kitab tersebut terdiri atas beberapa
buku, yakni Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat
Uri-Uri Pembudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.
Mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat pada umumnya
merupakan bentuk penolakan Masyarakat Samin terhadap
pendudukan Belanda. Penjajahan Belanda yang memakan waktu
sangat lama semakin melunturkan nilai dan tradisi masyarakat dan
membuat bangsa Indonesia terpaksa harus menelan mentah-mentah
apa yang dianut oleh kolonial sebagai penguasanya. Oleh karena itu,
Masyarakat Samin berusaha untuk tetap menjaga dan melestarikan
nilai-nilainya meski harus terisolasi dari kehidupan luar. Masyarakat
Samin pada perkembangannya menjadi masyarakat yang terpencil dan
jauh dari sentuhan pendidikan dan teknologi. Akibat terlalu kuatnya
mempertahankan nilai dan tradisi, Masyarakat Samin justru
mengalami ketertinggalan. Namun, dibalik ketertinggalan tersebut,
Masyarakat Samin memiliki nilai dan norma luhur yang menjadi citra
budaya bangsa Indonesia.

6
b. Ajaran Samin
Ajaran Samin merupakan ajaran lelakon tentang kehidupan
manusia di dunia untuk selalu hidup dengan baik, gotong royong,
saling membantu sesama. Dalam ajaran itu juga disebutkan adanya
ajaran milik bersama. Karena adanya prinsip untuk selalu bersama-
sama dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga orang yang menganut
ajaran tersebut dinamakan Samin. Jadi, timbulnya sebutan itu berasal
dari kata sami-sami atau sama-sama, berarti bahwa manusia berasal
dari dzat yang sama. Oleh karena itu, manusia memiliki hak dan
derajat yang sama di dalam segala kehidupan, baik dalam bidang
sosial maupun bidang pemerintahan.
Ajaran Samin mempunyai tujuan untuk membentuk manusia
Jawata atau manusia yang sempurna. Untuk menjadi manusia yang
sempurna terlebih dahulu harus menjadi . Sikep juga diartikan sebagai
sikap atau perbuatan yang harus sesuai dengan kata-kata yang
diucapkan. Hal-hal yang tercermin dalam ajarannya yaitu:
• “Jujur marang awake dhewe”, artinya jujur pada diri sendiri
(tidak berbohong).
• “Sing dititeni wong iku rak unine”, artinya yang dipercaya
orang itu adalah ucapannya.
• “Sing perlu rak isine dudu njabane”, artinya yang
terpenting adalah batin seseorang bukan lahirnya saja.

c. Kebudayaan Masyarakat Samin


Masyarakat Samin cenderung polos tetapi tidak mempercayai
pemerintah. Walaupun masa kolonial Belanda berakhir, mereka masih
belum mempercayai negara Indonesia. Walaupun begitu, seiring
perkembangan jaman, masyarakat Samin mulai menaruh kepercayaan
kepada Indonesia. Pakaian masyarakat Samin menggunakan baju
lengan panjang berwarna hitam tanpa kerah dengan ikat kepala untuk
pria, sedangkan wanita menggunakan kebaya lengan panjang.

7
Salah satu upacara dalam masyarakat Samin adalah upacara untuk
menyambut bulan Sura dalam kalender Jawa. Tradisi ini berupa
syukuran yang biasa disebut sebagai Suronan atau brokohan.
Brokohan masyarakat Samin tidak tersentuh konsep modern yang
menggunakan sajian prasmanan. Mereka pada umumnya
menyuguhkan tumpeng yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah
warga. Tradisi masyarakat Samin tersebut juga dilanjutkan dengan
pementasan Wayang Krucil dan pembawaan lakon Babat Blora.
Pagelaran tersebut dilakukan diiringi gamelan laras slendro.
Tradisi perkawinan dalam masyarakat Suku Samin merupakan
salah satu budaya masyarakat yang selalu dipegang teguh, pola
perkawinan menjadi pola dalam kehidupan masyarakat. Hampir 100%
masyarakat desa Klopoduwur juga beragama Islam, sehingga bagi
mereka yang telah dan akan melangsungkan perkawinan akan
dicatatkan di Kantor Urusan Agama, bukan di Kantor Catatan Sipil.
Perkawinan dalam masyarakat Suku Samin mempunyai beberapa
tahapan yaitu:
• Nakokke
Nakokke yaitu kedatangan keluarga calon pengantin laki-laki ke
keluarga calon pengantin wanita untuk menanyakan kesediaan calon
pengantin wanita, apakah sudah mempunyai calon suami atau masih
gadis.
• Mbalesi Gunem
Mbalesi Gunem adalah ketika keluarga dari calon pengantin wanita
bergantian datang ke kediaman calon pengantin laki-laki untuk
menjawab proses nakokke.
• Ngendek
Ngendek adalah pernyataan calon besan dan keluarga pengantin laki-
laki kepada bapak ibu calon pengantin wanita.
• Nyuwito

8
Nyuwito adalah hari dilangsungkannya perkawinan didasari niat
pengantin laki-laki untuk meneruskan keturunan (wiji sejati, titise
anak Adam).
• Ngenger
Calon suami akan tinggal di rumah calon istri sebelum memasuki
jenjang pernikahan secara sah bagi masyarakat. Ini merupakan
kewajiban kedua calon mempelai.
• Paseksen
Paseksen adalah forum ungkapan pengantin pria di hadapan orang tua
(mertua) yang dihadiri pengantin wanita, keluarga, dan tamu.

d. Perkembangan Ajaran Samin


Selama periode kolonial bermunculan gerakan protes di Jawa,
bentuk gerakan protes tersebut bermacam-macam di berbagai daerah.
Permasalahan tanah komunal dan tanah hutan pada periode akhir abad
ke 19 dan awal abad ke 20 memegang peranan penting dalam
mendorong timbulnya gerakan protes petani. Masalah tersebut
merupakan kenyataan akan adanya krisis akibat dominasi bangsa
Barat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di
Blora.
Tahun 1890 Samin Surosentiko memperhatikan keadaan
masyarakat sekitarnya hidup dalam kesulitan dan kekurangan yang
berkepanjangan. Maka, ia berkeinginan untuk mendapat petunjuk dari
Tuhan dengan jalan bertapa. Selama bertapa, Samin Surosentiko
mendapat wahyu yang berisi bahwa apabila hendak memberikan
pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan dan
kekurangan hendaknya membentuk suatu perkumpulan. Dalam 10
tahun perkumpulan tersebut mendapat simpati dari warga masyarakat
sekitarnya. Mereka datang dari desa Klopoduwur, Sambongrejo, dan
beberapa desa di daerah Blora untuk berguru tentang ajaran Samin
sebagai pengobat rasa frustasi yang disebabkan pelaksanaan politik
kolonial liberal yang telah merampas hak mereka.

9
Sebagai pendekatan ajaran Samin, metode yang dipakai adalah
dengan ceramah umum yang dilaksanakan di balai desa, tanah lapang.
Isi ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Samin Surosentiko
adalah tentang kebaikan, yakni sikap hidup yang tenang, teduh,
mandiri, dan pengabdian diri.
Dalam masa setelah tahun 1903, gerakan Samin mulai
menunjukkan corak dan sifatnya. Pada tahun 1905 pengikut Samin
mulai meninggalkan adat istiadat pedesaan. Mereka mulai menolak
untuk memberikan setoran padi di lumbung desa, mulai
membangkang untuk membayar pajak tetapi tetap membantu secara
sukarela, dan menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka
di kandang umum bersama orang-orang desa lainnya yang bukan
Masyarakat Samin. Sikap yang demikian itu sangat membingungkan
dan menjengkelkan para pamong desa. Sikap tersebut dipelopori oleh
Samin Surosentiko.

5. Kebudayaan Tengger
a. Identitas dan Kehidupan Orang Tengger
Sejak masa Majapahit, Tengger dikenal sebagai wilayah yang damai,
tenteram, dan bahkan rakyatnya terbebas dari membayar pajak yang disebut
titileman. Jenderal Thomas Stamford Raffles sangat mengagumi orang
Tengger. Dalam buku The History of Java ia mengemukakan bahwa pada saat
berkunjung ke Tengger, ia melihat orang-orang disana hidup dalam suasana
damai, teratur, tertib, jujur, rajin bekerja, dan selalu gembira. Mereka tidak
mengenal judi dan candu. Ketika Raffles bertanya tentang perzinahan,
perselingkuhan, pencurian, atau jenis-jenis kejahatan lainnya, mereka yang
biasa disebut sebagai orang gunung itu menjawab bahwa hal-hal tersebut tidak
ditemui di Tengger (dalam Sutarto, 2006:1).
Identitas orang Tengger terkesan problematis, mereka bukan suku primitif,
suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa. Jumlah mereka
tidak banyak, yakni sekitar 100.000 dari jumlah penduduk Jawa. Seperti halnya
populasi-populasi kecil yang berada di tengah-tengah masyarakat yang sedang

10
berkembang, Tengger kekurangan referensi untuk menemukan kembali jati diri
dan sejarah mereka. Sebelum munculnya gerakan reformasi Hindu pada tahun
1980-an, upaya orang Tengger untuk mendefinisikan kembali warisan
leluhurnya dalam kaitannya dengan masyarakat Jawa hanya besandar pada
sumber-sumber budaya setempatnya.
Sampai saat ini yang disebut “desa Tengger” sangat problematis karena
beberapa desa dulu dikenal sebagai “desa Tengger” sekarang tidak lagi
melaksanakan adat-istiadat Tengger. Anggapan yang berkembang akhir-akhir
ini, terutama yang muncul dalam tulisan, brosur, dan penelitian-penelitian
tentang Tengger, yang dimasukkan ke dalam “desa Tengger” adalah desa-desa
dalam wilayah 4 kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan
masih memegang teguh adat-istiadat Tengger. Desa-desa yang dimaksud
adalah Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (kecamatan
Sukapura, kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso
(kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng,
Ngadiwono, Podokoyo (kecamatan Tosari, kabupaten Pasuruan), Keduwung
(kecamatan Puspo, kabupaten Pasuruan), Ngadas (kecamatan Poncokusumo,
kabupaten Malang), dan Argosari serta Ranu Pani (kecamatan Senduro,
kabupaten Lumajang).
Orang Tengger dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh, bertempat
tinggal berkelompok-kelompok di bukit-bukit yang tidak jauh dari lahan
pertanian mereka. Suhu udara yang dingin membuat mereka betah bekerja di
ladang sejak pagi hingga sore hari. Persentase penduduk yang bermata
pencaharian sebagai petani sangat besar, yakni 95%, sedangkan sebagian kecil
dari mereka (5%) hidup sebagai pegawai negeri, pedagang, buruh, dan usaha
jasa. 4 Bidang jasa yang mereka tekuni antara lain menyewakan kuda tunggang
untuk para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, menjadi sopir jeep
(biasanya miliknya sendiri), dan menyewakan kamar untuk para wisatawan.
Hasil pertanian yang utama adalah sayur mayur, seperti kobis, kentang, wortel,
bawang putih, dan bawang prei. Lahan mereka juga cocok untuk tanaman
jagung.

11
Pada awalnya jagung adalah makanan pokok orang Tengger. Pada saat ini
mereka kurang suka menanam jagung karena nilai ekonominya rendah dan
menggantinya dengan sayur-sayuran yang nilai ekonominya tinggi. Meskipun
begitu, sebagian lahan pertanian mereka masih ditanami jagung karena tidak
semua orang Tengger mengganti makanan pokoknya dengan beras. Hanya saja,
untuk memanen jagung, orang Tengger harus menunggu cukup lama, hampir
satu tahun. Sampai sekarang nasi aron Tengger (nasi jagung) masih tercatat
sebagai makanan tradisional dalam khazanah kuliner Nusantara.

b. Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger


Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah
Tengger adalah sebagai berikut:
1. Upacara Kasada
Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang
sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang
diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat
bulan purnama. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur
orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa
Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan
dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya.
Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang
Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu
dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.
Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa,
melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung Bromo.
Permintaan itu ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan
(dilabuh) di Kawah Bromo.
2. Upacara Karo
Perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada
bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan
Lebaran atau hari raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia
tersebut orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara

12
maupun tetangga, untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-
maafan. Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama
waktu itu berpuluh-puluh ternak, kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi
disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga yang kurang mampu,
pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan.
Bagi orang Tengger, hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-
tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu tersebut merupakan
saat yang penuh suka cita dan pesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin
menebus seluruh kecapekan dan kejenuhan kerja seharian penuh di ladang
yang telah mereka jalani selama satu tahun. Seluruh lapisan masyarakat
Tengger, tua-muda, besar-kecil, Hindu, Kristen, Budha maupun Islam menyatu
dalam suka cita perayaan Karo. Hari raya Karo akan makin meriah apabila
hasil panen orang Tengger bagus.
3. Upacara Unan-Unan
Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu
menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini
dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan
menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal
yang sempurna, yaitu Nirwana. Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’,
maksudnya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang
diperbuat selama satu windu. Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih
kerbau sebagai kurban.
4. Upacara Entas-Entas
Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah
meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya
upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan
besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut
dimakan dan sebagian dikurbankan.
5. Upacara Pujan Mubeng
Upacara ini diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong
Kesanga, yakni pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger,
tua-muda, besar-kecil, berkeliling desa bersama dukun mereka sambil

13
memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi
empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari
gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan
bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan
warga desa.
6. Upacara Tugel Kuncung atau Tugel Gombak
Upacara ini diselenggarakan oleh orang Tengger ketika anak
mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang bersangkutan
dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa.
7. Upacara Barikan
Upacara ini diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam,
gerhana, atau peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger.
Jika kejadian-kejadian alam tersebut memberi pertanda buruk maka lima atau
tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang Tengger mengadakan upacara
barikan agar diberi keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak sengkala)
yang bakal datang. Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut
menurut ramalan berakibat baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda
terima kasih kepada Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh
warga berkumpul dipimpin oleh kepala desa dan dukun mereka. Biaya upacara
barikan ditanggung oleh seluruh warga desa.

6. Kebudayaan Osing (Using)


a. Masyarakat Osing
Dalam bahasa Osing, kata Osing (dibaca Using) itu sendiri berarti
“tidak” dan kata Osing” ini mewakili keberadaan orang Osing yang ada
di Banyuwangi. Suku Osing biasa disebut Wong Osing, Lare Osing,
dan Tiyang Osing yang berarti “saya orang Osing”.
Secara geografis, suku Osing mendiami daerah dalam kabupaten
Banyuwangi. Walaupun kehadiran suku-suku lain yang ada di
Banyuwangi seperti Jawa, Madura, dan Bugis, tidak merubah
pandangan umum termasuk orang Osing sendiri bahwa yang disebut
sebagai masyarakat Banyuwangi ialah masyarakat Osing. Kabupaten

14
Banyuwangi masyarakat Using tersebar di beberapa kecamatan seperti
Glagah, Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan
Genteng.
Sejarah terbentuknya suku Osing berawal dari akhir kekuasaan
Majapahit, dan dimulainya perang saudara dan pertumbuhan kerajaan
Islam di Jawa. Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan
Majapahit sejak awal abad ke-12, sejak tahun 1295 hingga tahun 1527.
Setelah kejatuhan Majapahit oleh kesultanan Malaka, kerajaan
Blambangan menjadi kerajaan sendiri. Namun dalam kurun waktu dua
abad lebih, antara tahun 1546 - 1764, kerajaan Blambangan menjadi
sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya. Perebutan kekuasaan inilah
yang berdampak pada terjadinya migrasi penduduk, perpindahan
ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru. Mereka mengungsi
ke berbagai tempat, yaitu ke lereng gunung Bromo (suku Tengger),
Bali, Blambangan (suku Osing) yang sekarang kita kenal sebagai
Banyuwangi.

b. Wujud Budaya Idea


- Kepercayaan Masyarakat Osing
Sebagian besar masyarakat Osing beragama Islam, dan
setengahnya lagi beragama Hindhu dan Budha. Penduduk suku Osing
masih menganut kepercayaan turun temurun dahulu sebelum datangnya
Islam. Suku Osing merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit yang
memiliki kepercayaan pada agama Hindhu dan Budha. Masyarakat
Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa, dan hukum
karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di
sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di bawah pohon atau
batu besar. Namun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah
Islam, hal tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah
Pantura (Pantai Utara).

15
Masyarakat Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya
yang erat kaitannya dengan hal mistis, beberapa tradisi masyarakat
Osing yang dianggap dekat dengan dunia mistis antara lain:
 Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/Jaran
Goyang. Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang
kita sukai. Jika orang terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak
akan bisa menolak orang yang menyukainya.
 Selametan setiap hari Senin dan Kamis di makam Buyut Cili
yang dilakukan oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun
sehabis melaksanakan suatu acara.
 Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila
kita dianggap menyakiti orang yang berasal dari suku Osing.
Penggambaran tentang santet dan keterkaitannya dengan suku
Osing ini diperparah dengan pemberitaan besar-besaran oleh
media mengenai isu tentang penculikan dan pembunuhan yang
terjadi di wilayah kabupaten Banyuwangi.
 Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang
kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan yang
kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina.
Sistem kepercayaan di suku Osing mengandung unsur
Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme

c. Wujud Budaya Tindakan


- Bahasa Osing
Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang
dinamakan bahasa Osing, yang merupakan turunan langsung dari
bahasa Jawa Kuno atau Basa Kawi yang dahulu digunakan pada masa
kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam
kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup
sampai abad ke-20. Namun bahasa Osing menggunakan dialek yang
berbeda dengan bahasa Jawa, dengan penekanan pada beberapa huruf.

16
Masyarakat Osing tidak mengenal hierarki ataupun stratifikasi
bahasa, tetapi mengenal santun bahasa yang digunakan terhadap
lawan bicara berdasarkan kategori usia, kekerabatan sosial, dan
pencerminan rasa hormat pada seseorang. Penggunaan bahasa Osing
di masyarakat lebih dominan pertama, digunakan dalam rumah tangga
sebagai alat komunikasi dan interaksi antar anggota rumah tangga.
Dalam komunitas Osing, oleh anggotanya bahasa Osing digunakan
sebagai lambang identitas dan pengembangan seni budaya daerah,
Sedangkan dalam ranah umum seperti pemerintahan, pendidikan,
penyuluhan, politik dan lain-lain, bahasa Indonesia digunakan lebih
dominan sebagai alat berkomunikasi. Walau pada beberapa situasi
terjadi proses alih bahasa dan pencampuran dengan bahasa daerah
lain.
Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa
Osing memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing
dan ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (Besiki). Dalam dialek
bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan pada
huruf, kekhususan atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh
bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata. Berikut
beberapa contoh kosa kata bahasa osing yang memiliki perbedaan
dengan bahasa Jawa:
Penekanan
Jawa Baku Osing Indonesia
Siji Sijai Satu
Pitu Pitau Tujuh
Palatalisasi
Jawa Baku Osing Indonesia
Abang Abyang Merah
Kabeh Kabyeh Semua

- Adat dan Tradisi Masyarakat

17
Di Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang
hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas
dari pengaruh kepercayaan mistis yang diyakini dan kesenian yang
telah diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku
Osing selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair, dan lagu.
Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di
Banyuwangi:
a. Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas hasil
panen.
b. Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil
panen.
c. Perang Bangkat : Upacara adat saat prosesi perkawinan
d. Geredhoan : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku
Osing.
e. Barong Idher Bumi : Perayaan iring-iringan Barong untuk
menolak bala.
f. Tari Seblang : Pertunjukan tari untuk menolak bala.
g. Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh
nelayan dan penduduk di pesisir.

d. Wujud Budaya Artefak


- Motif batik Gajah Oling
Motif batik Gajah Oling ini merupakan motif batik khas dari
Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di
ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat,
seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten, Seblang, dan lain-
lain. Selain sebagai motif pada kain, Gajah Oling juga terdapat pada
ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing.
- Rumah Adat
Karakteristik rumah Osing terletak pada bentuk dasar rumah
tersebut sekaligus dalam susunan secara berurutan dari depan ke
belakang sesuai dengan susunan ruangnya. Bentuk atapnya juga

18
merupakan indikator utama dalam membedakan bentuk dasar rumah
Osing. Arsitektur rumah Osing dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu Tikel
Balung, Baresan dan Cerocogan. Pola ruanganya sendiri terbagi
menjadi 3 susunan ruang, yaitu Bale (ruang tamu), Jrumah (kamar)
dan Pawon (dapur). Sedangkan bagian luar rumah terdiri dari Amper
(teras), Ampok (teras samping kanan-kiri).
Struktur bangunan pada rumah Osing Struktur utama rumah Osing
berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding
tanpa paku, tetapi menggunakan paju (pasak pipih). Penutup atap
menggunakan genteng kampung (sebelumnya adalah welitan daun
kelapa), dan biasanya masih berlantai tanah. Dinding samping dan
belakang serta partisi rumah Osing menggunakan anyaman bambu
(gedheg).
Rumah Osing yang memiliki ornamen biasanya menunjukkan
status ekonomi pemiliknya lebih baik. Ornamen yang ada banyak
terbuat dari pahat dan ukiran kayu, dengan bentuk yang geometris dan
motif flora. Ornamen dengan motif flora terdiri dari Peciringan
(bunga matahari), Anggrek, dan Ukel (sulur-suluran) seperti pakis,
anggrek atau kangkung. Motif geometris antara lain Slimpet
(swastika) dan Kawung.

7. Kebudayaan Pandalungan
a. Masyarakat Pandalungan
Masyarakat Pandhalungan atau disebut Pandalungan adalah
wilayah masyarakat yang tinggal di kawasan daerah utara dan timur
Jawa Timur. Secara budaya, masyarakat Pandalungan adalah
masyarakat hibrida, yakni masyarakat berbudaya baru akibat
terjadinya percampuran dua budaya dominan. Budaya Pandalungan
adalah percampuran antara dua budaya dominan yaitu budaya Madura
dan Jawa Timur. Pada umumnya orang-orang Pandalungan bertempat
tinggal di daerah perkotaan. Secara administratif, kawasan

19
kebudayaan Pandalungan meliputi kabupaten Pasuruan, Probolinggo,
Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang.
Dalam konteks geopolitik dan geososio-kultural, masyarakat
Pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda.
Masyarakat tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
daerah tapal kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang
membentuk lekukan mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan
ini memiliki karakteristik tertentu dan telah lama menjadi kantong
pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam
kultural dimotori oleh para kiai dan ulama, sementara kaum abangan
dimotori oleh tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tergabung
dalam aliran kepercayaan.
Tulisan, buku, dan kajian tentang masyarakat Pandalungan masih
sangat terbatas. Tetapi tulisan tentang peristiwa-peristiwa sosial-
politik yang mencuat di kawasan “keras” ini telah cukup banyak,
terutama tulisan tentang kekerasan politik dan politik kekerasan, atau
kekerasan budaya dan budaya kekerasan. Tulisan ini akan
mendeskripsikan secara singkat apa dan siapa, serta kehidupan sehari-
hari masyarakat Pandalungan. Kawasan Pandalungan yang telah
secara jelas menunjukkan ciri-ciri budaya hibrida adalah wilayah
pantai utara dan bagian timur provinsi Jawa Timur. Pada umumnya,
orang-orang Pandalungan bekerja di sektor-sektor pertanian,
perkebunan, perdagangan informal, dan PNS.

b. Budaya Pandalungan
Wilayah tapal kuda adalah tanah tumpah darah kedua orang
Madura Pulau dan tempat “mengejar rezeki” orang-orang yang berasal
dari kawasan budaya Jawa Panaragan, Jawa Mataraman, dan kawasan
kebudayaan Arek. Kesulitan sosial ekonomi dan kondisi geografis
pulau Madura yang pada saat itu sangat gersang, telah mendorong
orang-orang Madura Pulau bermigrasi ke kawasan tapal kuda.
Kepentingan sosial-ekonomi merupakan faktor dominan yang

20
mewarnai peristiwa migrasi tersebut. Mereka datang dengan kemauan
sendiri atau direkrut oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Madura dikenal
sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian
mereka.
Tipe kebudayaan orang Pandalungan adalah kebudayaan agraris-
egaliter. Penanda simbolik yang tampak jelas dari tipe kebudayaan ini
terdapat pada seni pertunjukan yang digeluti dan penggunaan bahasa
sehari-hari yang secara dominan menggunakan ragam bahasa kasar
dan bahasa campuran. Konsep Pandalungan mirip dengan konsep
melting pot di Amerika Serikat, yakni kemenyatuan beberapa
kelompok etnik. Secara etimologis, kata pandhalungan berasal dari
bentuk dasar bahasa Jawa, dhalung yang berarti “periuk besar”.
Pengertian simbolik-kultural kata pandhalungan adalah kawasan yang
menampung beragam kelompok etnik dengan berbagai latar belakang
budaya, yang kemudian melahirkan tipologi kebudayaan baru yang
mengambil unsur-unsur budaya yang membentuknya.
Dilihat dari perilakunya sehari-hari, orang Pandalungan sangat
akomodatif dan menghargai perbedaan. Di kawasan ini hampir tidak
pernah terjadi konflik antar kelompok etnik. Jika terjadi konflik, akar
konflik lazimnya berupa kecemburuan sosial yang bernuansa pribumi
dan nonpribumi, atau bernuansa keagamaan. Orang Pandalungan juga
dikenal tidak suka basa-basi. Jika merasa tidak senang, mereka akan
segera mengungkapkannya. Sebaliknya, jika merasa senang, mereka
pun akan segera mengatakannya. Seperti halnya masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah kebudayaan Arek, orang Pandalungan
juga suka mengucapkan kata-kata makian, baik untuk mengungkapkan
kejengkelan atau kemarahan maupun untuk mengiringi ucapan
selamat atau ekspresi kegembiraan.
Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti
orang Pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua
kebudayaan yang mewarnainya, yakni kebudayaan Jawa dan

21
kebudayaan Madura. Dalam perkembangan selanjutnya, budaya orang
Pandalungan sangat sarat dengan nuansa Islam. Hal itu terjadi karena
di wilayah ini ulama dan kiai bukan hanya menjadi tokoh panutan,
melainkan juga tokoh yang memiliki akar kuat pada beberapa
kekuatan politik.
Secara garis besar, ciri-ciri masyarakat Pandalungan adalah sebagai
berikut:
A. Sebagian besar agraris tradisional, berada di pertengahan jalan
antara masyarakat tradisional dan masyarakat industri; tradisi dan
mitos mengambil tempat yang dominan dalam kesehariannya.
B. Sebagian besar masih terkungkung oleh tradisi lisan tahap
pertama (primary orality) dengan ciri-ciri suka mengobrol, ngrasani
(membicarakan aib orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan
pendapat yang berlaku umum.
C. Terbuka terhadap perubahan dan mudah beradaptasi.
D. Ekspresif, transparan, tidak suka memendam perasaan atau
berbasa basi.
E. Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang
diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan.
F. Ikatan kekeluargaan sangat solid sehingga penyelesaian masalah
seringkali dilakukan dengan cara keroyokan.
G. Sedikit keras dan temperamental.

c. Produk-produk Kesenian di Wilayah Pandalungan


1. Musik Patrol
Seni musik patrol merupakan jenis seni musik yang instrumennya
terbuat dari bambu. Secara historis seni ini terinspirasi oleh kegiatan
jaga malam yang dilakukan para peronda. Iramanya sangat dinamik
dan jenis musik ini dipakai untuk mengiringi lagu-lagu tradisional
Madura, Jawa, atau Banyuwangi. Dalam perkembangannya, para
seniman musik patrol banyak melakukan modifikasi, baik pada
perangkat instrumen maupun lagu-lagu yang dipilihnya. Bahkan, pada

22
seni patrol jenis hiburan, lagu-lagu pop yang sedang favorit pun
dibawakan.
2. Lengger
Lengger adalah tarian rakyat yang mirip tandhak atau tledhek yang
dikenal dalam wilayah kebudayaan Jawa Timur. Awalnya berupa
tarian ritual yang terkait dengan mitos Dewi Kesuburan/Dewi Padi.
Sekarang tarian ini hanya digunakan sebagai hiburan.
3. Singo Ulung
Tarian rakyat dari kabupaten Bondowoso. Dalam legendanya,
Singo Ulung merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang
bernama Juk Seng, bangsawan dari Blambangan yang suka
mengembara.
4. Kentrung
Pelantunan pantun Madura yang diiringi bunyi rebana atau terbang.
Seni ini banyak dijumpai di sekitar Madura. Salah satu tokoh yang
terkenal ialah Nur Subakti. Ia telah menjadi seniman kentrung sejak
tahun 1945.
5. Janger
Janger adalah sandiwara rakyat yang pementasannya mirip dengan
ketoprak yang terdapat dalam wilayah kebudayaan Jawa. Janger
berpentas hingga pagi hari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Madura.
6. Jaran Kencak
Jaran kencak atau kuda kencak adalah kuda yang dilatih menari.
Selain menari, kuda ini juga mengenakan aksesoris warna-warni.
Hewan-hewan yang pandai menari ini biasa ditanggap untuk
memeriahkan hajatan atau upacara-upacara tertentu.

8. Kebudayaan Madura Pulau


a. Sejarah Madura Pulau
Pada tahun 4000 hingga 2000 sebelum Masehi, terjadi perpindahan
besar-besaran orang-orang dari daratan Asia ke pulau-pulau di

23
kawasan nusantara. Perpindahan ini terjadi selama kurun waktu
kurang lebih 2000 tahun. Dengan perpindahan yang terjadi dalam
berbagai gelombang, bangsa yang tadinya memiliki bahasa dan
budaya sama menjadi terpecah belah. Perbedaan daerah yang didiami
juga membuat budaya, bahasa, dan adat istiadat masing-masing
kelompok semakin berbeda, demikian juga yang terjadi dengan suku
Madura.
Penduduk suku Madura juga diyakini sebagai orang-orang dari
daratan Asia besar yang bermigrasi karena ditemukannya peninggalan
purbakala berupa kapak dan bejana perunggu di Sampang, Madura
yang bertipe sama dengan yang ada di Cina Selatan.

b. Budaya Madura Pulau


- Ciri Khas
Pulau Madura memang sangat dekat dengan pulau Jawa, tapi sejak
dahulu orang Madura dikenal memiliki berbagai perbedaan yang
signifikan dari suku Jawa. Dari segi fisik, suku Madura terkenal
memiliki tubuh yang lebih berotot, tegap, tidak terlalu tinggi,
berwajah lebar, dan tulang pipi cenderung menonjol sehingga
memberikan kesan garang. Kemudian mengenai kepribadiannya,
orang-orang dari suku ini terkenal tangguh dan pemberani. Mungkin
hal ini disebabkan karena profesinya sebagai pelaut sehingga
kebanyakan dari mereka berjiwa petualang. Suku ini menganut sistem
kekerabatan parental, yaitu menghubungkan diri dengan kedua orang
tuanya dengan bobot yang sama.
- Rumah Adat
Tanean Lanjhang merupakan nama rumah adat dari suku Madura.
Berbeda dengan rumah adat suku lain, Tanean Lanjhang merupakan
kumpulan rumah yang dihuni beberapa keluarga. Susunan rumahnya
tak sembarangan, melainkan disusun berdasarkan kedudukannya
dalam keluarga. Umumnya, Tanean Lanjhang dibangun dekat mata
air, sungai, atau ladang. Kediaman khas Madura yang seperti ini

24
menggambarkan karakteristik hubungan kekerabatan mereka yang
sangat kuat.

- Tarian Adat
Suku Madura memiliki tiga jenis tarian adat, yaitu Rampak
Jidor, Topeng Gethak, dan Rondhing. Rampak Jidor adalah jenis
tarian religius karena diiringi dengan puji-pujian terhadap Allah SWT.
Tarian ini menggambarkan sistem religi masyarakat Madura yang
kental dengan budaya Islam. Topeng Gethak merupakan tarian yang
menggambarkan perjuangan warga Pamekasan di masa perjuangan
kemerdekaan. Sebelum dinamai Topeng Gethak, tari ini bernama
Klonoan yang artinya berkelana. Serta terakhir, yaitu Tari Rondhing
yang asalnya dari kata rot dan kot – konding. Rot artinya mundur,
sedangkan kot – konding maknanya bertolak pinggang. Tari ini
menggambarkan gerakan pasukan yang baris-berbaris.

- Pakaian Adat
Baju adat khas Madura untuk kaum laki-laki biasanya disebut
Pesa’an. Pakaian ini terdiri atas kaos belang merah hitam atau merah
putih yang dilengkapi celana dan baju hitam longgar. Pakaian tersebut
digunakan bersama penutup kepala bernama Odheng, sarung motif
kotak-kotak, dan sabuk Katemang. Sedangkan untuk kaum wanita,
pakaian adatnya disebut Kebaya Rancongan yang biasanya didominasi
warna-warna seperti merah, hijau, biru. Untuk menyempurnakan
penampilan, kebaya ini juga dipadukan dengan sarung batik motif
storjan, lasem, atau tabiruan.

- Upacara Adat
Seperti halnya suku lain, orang-orang Madura juga memiliki
berbagai upacara adat. Pertama, yaitu Tradisi Rokat atau petik laut
yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan
dengan cara melarung sesaji ke laut. Kedua adalah Nyadar yang

25
digelar tiga kali dalam setahun oleh warga desa Pinggir Papas.
Upacara ini dilakukan dengan tabur bunga di makam leluhur, berdoa,
hingga menginap di makam untuk kemudian diadakan selamatan
keesokan harinya. Ketiga, yaitu Ritual Ojung yang dilakukan oleh dua
orang laki-laki dengan saling beradu fisik menggunakan rotan sebagai
alat pemukul. Tradisi ini dilakukan untuk memohon agar hujan segera
turun.

- Makanan Khas
Orang Madura punya berbagai jenis makanan khas yang
menggugah selera. Beberapa di antara adalah sate Madura yang
terbuat dari daging ayam, kambing, atau sapi yang diguyur saus
kacang dan kecap. Tokak ladhe yang terdiri dari dari irisan daging,
jeroan sapi, telur, kacang panjang, dan pepaya muda. Makanan ini
biasanya disajikan bersama ketupat di hari raya Idul Fitri. Kemudian
ada bebek Songkem yang diberi bumbu dan dikukus dengan daun
pisang. Hidangan ini biasanya disajikan dengan sambal dan lalapan.

- Mata Pencaharian
Tinggal di sebuah pulau yang tergolong kecil membuat sebagian
besar masyarakat Madura berprofesi sebagai nelayan, pelaut, atau
petani garam. Meski demikian, banyak juga orang-orang yang
mengerjakan sawah atau ladang di bagian pedalaman pulau. Saat ini,
profesi dari masyarakat Madura sudah semakin beragam. Ada yang
menjadi pegawai swasta, guru, pegawai pemerintahan, petani,
nelayan, dan lain-lain.

- Agama
Penduduk Madura memiliki agama yang beragam. Ada yang Islam,
Kristen, Katholik, dan lain-lain. Namun, masyarakat Madura sejak
lama didominasi oleh orang-orang muslim. Jadi, tak heran jika
kebudayaannya pun banyak yang bernapaskan Islam. Di bidang seni,

26
mereka punya Tari Rampak Jidor atau biasa disebut Tari Sholawat
Badar. Lalu untuk kulinernya, mereka juga makanan yang khas hari
raya umat Islam.

- Alat Musik
Selain dalam bentuk tarian, kesenian khas Madura juga
ditunjukkan lewat alat-alat musiknya. Ada tiga alat musik khas suku
Madura. Pertama adalah saronen yang memilikin ciri-ciri terdiri dari
sembilan instrumen. Beberapa orang menyimpulkan bahwa sembilan
instrumen ini merupakan kepanjangan dari kalimat pembuka Alquran.
Kedua, yaitu Ul-Daul yang awalnya hanya sebagai kentongan, tapi
kini digunakan sebagai alat musik perkusi. Ketiga adalah Tong-Tong
yang bentunya mirip kentongan dan sering digunakan dalam acara
pawai.

- Bahasa
Masyarakat Madura bertutur dengan bahasa Madura. Bahasa
Madura sendiri banyak dipengaruhi bahasa Jawa ala Surabaya,
Melayu, Tionghoa, dan Arab. Bahasa Madura terbagi dalam tiga
tingkatan, yaitu enje’ – iya yang sama dengan ngoko, engghi – enten
yang sama dengan madya, dan engghi – bhunten yang sama dengan
krama. Sedangkan untuk dialeknya sendiri terbagi atas dialek
Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dan Kangean. Namun,
yang digunakan sebagai acuan standar adalah dialek Sumenep.

- Senjata Tradisional
Untuk mempertahankan diri dari marabahaya atau untuk kebutuhan
sehari-hari, masyarakat Madura memiliki senjata tradisional yang
disebut celurit. Celurit adalah senjata tajam yang berbentuk
melengkung. Bentuk lengkungannya sendiri bisa menyerupai bulan
sabit. Di masa lampau, celurit biasanya digunakan sebagai senjata

27
para preman. Kebiasaan para jagoan zaman dahulu adalah mengisi
senjata ini dengan makhluk gaib agar memiliki kesaktian.
Sebagai salah satu etnis dengan penduduk terbesar di Indonesia,
masyarakat Madura memiliki berbagai kebudayaan yang sama
menakjubkannya seperti suku-suku yang lain. Selain di atas, suku
Madura juga punya permainan khas yang terkenal hingga ke
mancanegara. Permainan ini bahkan bisa menjadi daya tarik
wisatawan asing untuk mengunjungi Indonesia.

9. Kebudayaan Madura Bawean


Kebudayaan suku Bawean cukup terkenal, adapun kebudayaan
suku Bawean yang menarik adalah sebagai berikut:
1. Kercengan
Kercengan biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan.
Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah. Penari
berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk
di barisan belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu
salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain kercengan terdiri dari
laki-laki dan perempuan.
2. Cukur Jambul
Bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur
jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan
barzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur
kepalanya.
3. Pencak Bawean
Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara hari besar, seperti hari
kemerdekan 17 Agustus maupun acara perkawinan orang bawean.
Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan
pedang.
4. Dikker
Dikker adalah alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang.

28
5. Mandiling
Mandiling adalah sebutan bagi suku Bawean, yaitu sejenis tari-tarian
disertai dengan pantun.

a. Identitas Masyarakat Madura Bawean


Suku Bawean, dikenal juga Boyan atau Babian, suku ini terbentuk
karena terjadi percampuran antara orang Bugis, Makassar, Banjar,
Madura dan Jawa selama ratusan tahun di pulau Bawean. Masyarakat
Melayu Malaka dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan
daripada Bawean dan dalam pandangan mereka Boyan berarti sopir
dan tukang kebun (kephun dalam bahasa Bawean) karena profesi
sebagian masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau
sebagai sopir. Orang-orang Bawean merupakan satu kelompok kecil
dari masyarakat Melayu yang berasal dari pulau Bawean yang terletak
di Laut Jawa antara dua pulau besar yaitu pulau Kalimantan di utara
dan pulau Jawa di selatan. pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke
arah utara Surabaya dan masuk kabupaten Gresik.
Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan
Sangkapura dan kecamatan Tambak. Diponggo adalah salah satu
kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya berbeda
jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi
Jawa yang merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah
menetap di desa itu, yaitu Waliyah Zainab, yang masih keturunan
Sunan Ampel.

10. Kebudayaan Madura Kangean


Masyarakat Kangean memiliki kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di
luar pulau Kangean), meskipun Kangean masih berada termasuk
bagian dari pulau Madura dan berada di wilayah Indonesia tapi karena
faktor wilayah membuat kebudayaan di Indonesia berbeda-beda.

29
Untuk kebudayaan masyarakat Kangean sendiri berbeda dengan
kebudayaan masyarakat lainnya. Masyarakat Kangean memiliki corak,
karakter, dan sifat yang berbeda dengan masyarakat Madura dan Jawa.
Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat kangean disegani,
dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.
Masyarakat Kangean masih mempercayai dengan kekuatan magis,
dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut
memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan
masyarakat kangean. Salah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang
berbau magis tersebut adalah benda pusaka yang berupa keris atau
jenis tosan aji dan ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau
Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).
Untuk bahasa, masyarakat Kangean memiliki bahasa daerahnya
sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarakat asli Kangean.
Bahasa Kangean banyak terpengaruh oleh bahasa Madura, Jawa,
Melayu, Bugis, bajo dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Madura
dan Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa
sebagai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas pulau Kangean
pada masa lampau.
Kesenian Kangean memiliki beberapa kesenian tradisional, yaitu
karapan sapi, topeng, gelok-gelok dan lombe (lomba kerapan
menggunakan kerbau). Karapan kerbau adalah perlombaan pacuan
kerbau yang sudah berlangsung sejak dulu. Karapan kerbau juga dapat
menaikkan status sosial pemilik kerbau bila kerbau miliknya bisa
juara dalam perlombaan tersebut.

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebudayaan memiliki pengertian yang luas. Sebagian pengertian
didasarkan oleh tingkah laku manusia dalam wujud kehidupannya.
Kebudayaan memiliki wujud yang beragam mulai dari sistem ide, aktivitas,
dan peninggalan. Unsur-unsur kebudayaan turut menjadi salah satu faktor
dalam ruang lingkup kebudayaan seperti sistem Bahasa, pengetahuan,
organisasi, peralatan penunjang hidup atau teknologi, kebutuhan dan ekonomi,
religi atau keagamaan, serta kesenian. Keberagaman budaya di Jawa Timur
sangat bermacam-macam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti latar
belakang historis, geografis, dan keterbukaan. Berbagai macam kebudayaan
sangat berharga dan dapat dianggap sebagai identitas nasional bangsa
Indonesia.
B. Saran

Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yaitu warga negara Indonesia
harus terus menjaga kebudayaan yang masih ada hingga saat ini. Kita harus
terus memperjuangkan keberadaan keanekaragaman kebudayaan agar terus
lestari dan tidak musnah. Meskipun saat ini adalah era teknologi modern hal itu
memungkinkan untuk kita melupakan jati diri kita dan terus maju dengan
memasang ingatan baru yang mengakibatkan identitas bangsa menjadi menciut
sampai beberapa tahun yang akan datang. Oleh karena itu marilah kita juga
saling menghargai dan memanfaatkan teknologi untuk menunjukan pada dunia
bahwa kebudayaan Indonesia dengan keanekaragamannya sangatlah indah
untuk diketahui sampai dipelajari dengan tujuan identitas nasional bangsa terus
lestari.

31
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Ribut. 2010. "Negosiasi Identitas dan Kekuasaan Dalam Wayang


Kulit Jawa Timuran". dalam: (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/132053-
D%2000917-Negosiasi%20identitas-Pendahuluan.pdf), diakses 2 Maret
2022.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:


Penerbit PT. Gramedia.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah Daerah
Jawa Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Jakarta. 313 hal.

Purwanto, Antonius. 2020. "Provinsi Jawa Timur". dalam:


(https://kompaspedia.kompas.id/baca/profil/daerah/provinsi-jawa-timur),
diakses 2 Maret 2022.

Sutarto, Ayu. 2006. "Sekilas Tentang Masyarakat Tengger". dalam:


(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/sekilas-tentang-
masyarakat-tengger/), diakses 3 Maret 2022.

Yuliatik, Eka dan Sofiya Puji R. 2014. "Suku Osing". dalam:


https://sipadu.isi-ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3422141203232733.pd
f, diunduh 3 Maret 2022.

Mina. 2012. "Tradisi Samin". dalam:


(https://www.inibaru.id/tradisinesia/begini-tradisi-sedulur-sikep-samin-
jelang-bulan-suro), diunduh 3 Maret 2022.

Tony. 2014. "Nilai-Nilai dan Sejarah Masyarakat Samin". dalam:


(https://www.researchgate.net/publication/330526748_MASYARAKAT
_SAMIN_DITINJAU_DARI_SEJARAH_DAN_NILAI-
NILAI_PENDIDIKAN_KARAKTER), diunduh 5 Maret 2022.

Saputra. 2011. "Perkawinan Adat Samin". dalam:


(https://media.neliti.com/media/publications/58769-ID-perkawinan-
masyarakat-adat-samin-di-desa.pdf), diunduh 9 Maret 2022.

Saleh, Mat. 2013. “KEBUDAYAAN MASYARAKAT KANGEAN


DENGAN CIRI KHAS YANG DIMILIKINYA”, dalam:
(https://kangeantour.wordpress.com/budaya-kangean/), diakses 9 Maret
2022.

32
Sutarto, Ayu. 2014. “Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan”, dalam:
(http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wpcontent/uploads/sites
/24/2014/06/Masyarakat_Pandhalungan.pdf), diunduh 10 Maret 2022.

Bistro. 2011. “Suku Madura, Budaya, dan Berbagai Fakta Menariknya”. dalam:
(https://www.artisanalbistro.com/suku-madura/), diakses 10 Maret 2022.
Dirga. 2012. “Mengurangi Simpul-Simpul Masalah”. dalam:
(http://www.bawean.net/2012/10/mengurai-simpul-simpul-masalah.html),
diakses 10 Maret 2022.

Abdillah, Autar. 2015. “Budaya Arek dan Malangan”. dalam:


(https://www.josstoday.com/read/2015/10/17/28021/BUDAYA_AREK_DA
N_MALANGAN__Tinjauan_Historis_dan_Diskursus_Kebudayaan_),
diakses 12 Maret 2022.

Sugianto, Alip. 2016. “Kebudayaan Masyarakat Jawa Etnik Panaragan”. dalam:


(http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo/article/download/178/293),
diakses 12 Maret 2022.

____. 2016. “Belajar Nilai dari Keluarga Jawa Mataraman”. dalam:


(https://www.uc.ac.id/library/belajar-nila-dari-keluarga), diakses 12 Maret
2022.

33

Anda mungkin juga menyukai