Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Laras Madya Dalam Aspek Keagamaan Dan Kebudayaan

Disusun guna memenuhi Ulangan Tengah Semester

Mata Kuliah: Antropologi Agama

Dosen: Drs. Djurban, M.Ag

Disusun Oleh:

Najata Hammada Jakti (2104036066)

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami semua sehingga kami dapat
menyelesaikan Ulangan Tengah Semester dengan bentuk makalah yang berjudul “Laras Madya
Dalam Aspek Keagamaan Dan Kebudayaan” . Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Drs.
Djurban, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Antropologi Agama yang telah memberi
tugas ini sehingga kami dapat menambah pengetahuan mengenai Laras Madya.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Studi Perdamaian. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
bagi para pembaca.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 12 April 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 4

BAB II........................................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6

A. Gambaran Kota Surakarta ............................................................................................... 6

B. Sejarah Singkat Kesenian Laras Madya ......................................................................... 7

C. Interelasi Agama, Budaya, dan Seni ............................................................................... 8

D. Aspek Keagamaan ........................................................................................................ 10

BAB III .................................................................................................................................... 12

PENUTUP................................................................................................................................ 12

E. Kesimpulan ................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara sosiologis, Kota Surakara memiliki penduduk yang multirasial, di kota ini
terdapat tiga suku yang memiliki pusat kawasannya masing-masing, seperti contohnya etnis
Tionghoa yang rata-rata penduduknya terdapat di wilayah Pasar Gede, dan etnis Arab yang
mendiami Pasar Kliwon. Walaupun demikian, suku Jawa juga tersebar di setiap wilayah dan
tetap mendominasi persebaran penduduk ini. Sehingga terdapat banyak sekali akuturasi,
asimilasi antarbudaya yang terjadi dan masih dapat dijumpai eksistensinya hingga saat ini.
Diantara akulturasi dan asimilasi yang dilakukan oleh masyarakat Surakarta adalah
Laras Madya, yang merupakan salah satu seni musik yang terdiri dari vokal dan instrumen,
dengan menggabungkan unsur budaya Jawa dan unsur-unsur Islam, kesenian yang
dikembangkan dari Santiswaran ini sudah ada sejak masa Sri Susuhunan Pakubuwono X.1
Dimana dalam kesenian Laras Madya ini, menggunakan instrumen Terbang yang
merupakan representasi dari unsur Islam.2
Di Pasar Kliwon, tempat asal instrumen Terbang yang dibawa oleh orang Arab dari
Hadhramaut, tradisi ini dikembangkan dengan cara menjadikannya media dakwah agama
Islam, dalam kelanjutannya, instrumen Terbang dipadukan dengan Gamelan dan
penggunaan teks-teks klasik Jawa seperti Serat Wulangreh, yang merupakan karya sastra
Susuhunan Pakubuwono IV. Didalamnya bersikan pedoman tuntunan hidup dan tidak lepas
dari tuntunan agama Islam.3

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana Pengertian dan Perkembangan Kesenian Laras Madya?


b. Bagaimana Interelasi Agama Islam dan Laras Madya serta Kebudayaan Lokal?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kesenian Laras Madya

1
Sagaf Faozata Adzkia, "Analisis Bentuk Musik Atas Kesenian Laras madya Dan Resistensinya Dalam Budaya
Jawa", dalam Jurnal Promusika, Vol. 4, No. 1/April 2016, Universitas Negeri Semarang, ha 1
2
Sumarsam, Interaksi Budaya Dan Perkembangan Musikal Di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 33.
3
Ibid, ha. 1
b. Untuk mengetahui Unsur-Unsur pembangun yang terdapat dalam Kesenian Laras
Madya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Kota Surakarta

Secara umum, Kota Surakarta atau yang biasa disebut “Solo” memang memiliki lima
kecamatan yakni Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasarkliwon, Jebres, dan
Banjarsari.beragam etnis mulai dari etnis Arab yang mayoritas menempati wilayah Pasar
Kliwon, dengan masih memegang budaya leluhurnya yang berasal dari Hadhramaut, Yaman
dan sekitarnya. Etnis Tionghoa yang pada umumnya menempati wilayah Pasar Gede, juga
masih memegang teguh kepercayaan dan kebudayaan asal mereka. Sedangkan suku Jawa
tersebar di setiap wilayah.
Hal ini sebenarnya telah ditetapkan dalam peraturan dari pemerintah Kolonial Hindia
Belanda sejak tahun 1899 yang mengatur penempatan pemukiman di kawasan Surakarta,
dimana pemukiman Arab dan Cina di khususkan di wilayah timur kota ini. Sehingga dalam
peraturan pemerintah Kolonial golongan selain Eropa tidak diperbolehkan menempati
wilayah sekitar benteng Vastenburg, dan golongan selain Abdi Dalem dilarang menempati
kawasan Keraton Kasunanan, sebaliknya, etnis Eropa juga dilarang menempati wilayah
yang bukan haknya. Usaha ini dilakukan pemerintah Hindia Belanda demi memisahkan
kelompok Pribumi dengan kelompok-kelompok pemukiman asing seperti Arab, Cina, dan
Eropa. Sehingga meminimalisir kontak sosial dan pergaulan antar etnis, selain itu,
digabungkannya perkampungan etnis menjadi satu ini bertujuan untuk mengawasi dan
mengendalikan kaum pribumi dengan non-pribumi, sehingga mempermudah pemerintah
Kolonial dalam emberikan kebijakan dan sebagainya. (Warto, 1985: 105)
Penduduk Arab mayoritas berdagang komoditas asal Timur Tengah, seperti kurma,
minyak wangi, kacang arab, hingga kebutuhan tekstil, seperti surban, kain beludru, sutra,
bahkan batik juga tersedia. Sehingga wilayah Pasar Kliwon dikenal sebagai sentra penjual
oleh-oleh haji dan kebutuhan keagamaan lainnya. Sementara itu para penghasil batik
umumnya berasal dari Laweyan dan sekitarnya, dimana terdapat banyak sekali tempat
pembuatan kain batik dan butik-butik bertebaran yang biasanya dimiliki oleh seorang
juragan dan memiliki banyak sekali pekerja. Sementara para pnghasil Blangkon umunya
terdapat di wilayah Serengan dan usaha ini kebanyakan dilakukan oleh perorangan.
Di kota Surakarta ini juga terdapat Keraton lain yang masih eksis selain Keraton
Kasunanan yang merupakan imbas dari Perjanjian Salatiga yaitu Pura Mangkunegaran, dan
merupakan kediaman resmi Adipati Mangkunegaran. Secara geografis, Pura
Mangkunegaran terletak di kecamatan Banjarsari dan di masa sebelum kemerdekaan
menguasai wilayah utara vasal Vorstenlanden.4 Etnis Cina secara umum terkumpul di
kawasan sekitar Pasar Gede dan masuk wilayah Jebres.

B. Sejarah Singkat Kesenian Laras Madya

Kesenian ini awalnya dilakukan para pendakwah dan penyiar agama Islam, agar islam
dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dan gambaran Islam tidak selalu tentang
paksaan, kekerasan, damai, dan tanpa gesekkan paham-paham yang berbahaya.
Sebagaimana kebudayaan dan adat istiadat orang jawa yang selalu mengutamakan kasih
sayang dan kelembutan. (Sulasman dan Gumilar, 2013:173)
Kini keberadaannya dinilai sebagai folk art dan tumbuh dengan keutuhan folk culture,
merupakan suatu keadaan dimana sebuah seni yang tumbuh ditengah-tengah kebudayaan
rakyat, sehingga unsur penyangga trsebut adalah kebudayaan rakyat itu sendiri.
Sebagaimana yang telah didasari oleh beberapa klasemen seni yang terbagi dalam 4
klasemen seni, yakni Seni Kaum Elit (The Art of Cultural Elite), Seni Rakyat (Folk art),
Seni Populer atau Seni Kaum Urban (popular art), dan seni yang dipertunjukkan media
massa (mass art). (Hauser, 1982:556)
Pada umumnya Laras Madya dibawakan menggunakan iringan instrumen kendhang,
terbang dhana (terbang kecil), terbang gong (terbang besar) dan saron hanya dengan dua
not nada. Perpaduan ansambel trsebut digunakan untuk mengiringi seorang penembang
utama yang disebut Bowo dan Koor pengiring yakni gerong. Perbedaannya dengan
Santiswaran adalah penggunaan cakepan Jawa daripada sebelumnya yang didominas
dengan bahasa Arab.5
Kesenian ini lahir di keraton Surakarta pada sekitar abad 20 atau abad 19 dan hanya
dipentaskan di lingkungan keraton dan tidak untuk umum. Hingga pada masa pemerintahan
Pakubuwono X (1893-1930) mulai dilakukannya penyebaran kesenian ini keluar
lingkungan keraton. Di Sleman diketahui telah ada kesenian Laras Madya yang disinyalir
disebarkan oleh Mohamad Salman, putra abdi dalem keraton bernama Faqih Ibrahim.
Hingga saat ini masih dapat ditemui keberadaannya di Sleman, Yogyakarta.

4
Negara di dalam Negara, merujuk pada empat Keraton yang masih berkuasa pada masa Kolonial. Kasunanan
Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman
5
Sagaf Faozata Adzkia, "Analisis Bentuk Musik Atas Kesenian Laras madya Dan Resistensinya Dalam Budaya
Jawa", dalam Jurnal Promusika, Vol. 4, No. 1/April 2016, Universitas Negeri Semarang, ha.2.
C. Interelasi Agama, Budaya, dan Seni

Laras Madya sering dimainkan dalam acara-acara besar masyarakat Jawa Tengah
seperti acara peringatan Maulid Nabi, khataman Al-Qur`an, Pengajian, bahkan dalam acara
Sunatan. Selain itu masyarakat Surakarta sering memainkannya diwaktu-waktu tertentu
seperti:
1. Upacara Malem Selikuran
Dalam Upacara ini, Laras Madya dapat dikatakan memiliki fungsi yang sangat penting,
dimana dalam pertunjukkannya yang diadakan pada malam ke-21 bulan Pasa (Ramadhan)
ia dimainkan pada saat maringaken zakat fitrah dalem dan saat penyambutan laelatul qadar,
oleh karena itu sejak tenggelamnya matahari di tanggal 20 Ramadhan Laras Madya sudah
mulai digaungkan.
Dimana sebelum dilaksanakannya sebah upacara maka perlu dilkukan segala persiapan
dan tahap-tahap pelaksanaan. Diantara tahapan pelaksanaan tersebut terdapat tiga tahap
yakni:
a. Persiapan Upacara
Terdapat beberapa kegiatan, piranti, ubo rampe, dalam melaksanakan hajad dalem
malem selikuran
- Gladen Laras madya
- Pembuatan Uborampe
- Pembuatan Piranti lampu ting
- Upacara Dhukutan
b. Pelaksanaan Upacara Malem Selikuran
Upacara ini diikuti oleh beberapa kelompok abdi dalem, biasanya mereka memakai
pakaian adat Jawa gaya Surakarta yang menyesuaikan gelar kepangkatannya, dan mereka
berkumpul di sekitaran Kompleks Kedhaton atau Kompleks Sri Manganti setelah sholat
isya` dan tarawih. Upacara ini memiliki tahapan, antara lain:
- Ngepung Hajad Dalem
Secara teknis, hal ini ditandai dengan membawa seribu tumpeng dan ubo rampe
didalam Kotak Cantokodan Kotak Jodang kemudian ditata di Bangsal
Smarakata oleh para abdi dalem. Yang pada akhirnya dibawa ke Masjid Agung
atau Taman Sriwedari dan mengelilingi seribu tumpeng dan ubo rampe lainnya.
- Arak-arakan Ting Ting Hik
Penamaan istilah arak-arakan ini berasal dari sebuah tembang yang dinyanyikan
pada saat upacara Malem Selikuran. Arak-arakan Ting Ting Hik pada masa
sebelum Sri Susuhunan Pakubuwono X dilaksanakan menuju Masjid Agug
Surakarta. Namun setelah masa Pakubuwono X tujuan arak-arakan diubah
menuju Taman Sriwedari. Kemudian masa pemerintahan Pakubuwono XIII
arak-arakan kembali menuju Masjid Agung.
- Maleman
Istilah ini sebenarnya merujuk kepada suatu aktifitas keramaian pada malam hari
yng terjadi pada masa Pakubuwono X. Setelah rombongan tiba di lokasi tujuan,
dan duduk berhadap-hadapan dengan abdi dalem tafsiranom, utusan dalem
aakan mengaturkan dhawuh kepada abdi dalem tafsiranom untuk mendoakan
hajad dalem dan membagikan kepada warga sekitar.
c. Paripurna
Setelah seribu tumpeng habis dibagkan, kotak Cantako dan kotak Jodang juga ikut
dibaikan bai untuk warga maupun abdi dalem yang bertugas.6

Dintara beberapa ritual dan upacara tersebut, para pengrawit Laras Madya
melantunkan syair dari Serat Wulangreh (“kriteria guru yang baik” menurut
Pakubuwono IV) dalam teks Laras Madya serat Wulangreh berbunyi sebagai berikut:

Sasmitaning ngaurip puniki,


yekti ewuh yen ora weruha,
tan jumeneng ing uripe,
sakeh kang ngaku-aku,
pangrasane pan wus utami,
tur durung wruh ing rasa,
rasa kang satuhu,
rasaning rasa punika,
upayanen dhara pon, sapurneng dhiri, ing
kaupanira.
Jroning Qur’an nggoning rasa jati,

6
Miftachul Azwar Annas, (skripsi) Laras Madya dalam Upacara Malem Selikuran di Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat, Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta, 2020, ha.4-7
nanging pilih wong kang uninga,
anjaba lawan tuduhe nora kena binawur,
ing satemah nora pinanggih,
mundak katalanjukan,
temah sasar-susur,
yen sira ayun waskitha,
kasampurnaning badanira puniki, sira anggegurua.
(Pupuh Dhandhanggula pada 2-3)

Serat tersebut jika diterjemahkan berbunyi seperti ini:

Maka kehidupan itu


sungguh sayang sayang bila tak tahu,
tidak kokoh hidupnya,
banyak orang mengaku,
perasaanya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,
hakikat rasa itu adalah,
usahakan supaya diri sempurna,dalam
kehidupan.
Dalam Qur’an tempat rasa jati
tapi jarang orang tahu,
keluardari petunjuk,
tak dapat asal-asalan,
ahirnya tidak ketemu,
malahan terjerumus,
akhirnya kesasar,
kalau kamu ingin peka,
agar hidupmu sempurna,
maka bergurulah

D. Aspek Keagamaan
Diantara aspek-aspek keagamaan yang terdapat dalam Laras Madya, kesenian ini
mengambil beberapa ajaran sekunder dari ajaran Islam, seperti yang tercantum dalam
serat wulangreh diatas, Laras Madya mengambil ajaran seperti Berpegang teguh pada Al-
Quran, merayakan Ramadhan, shalawat kepada Nabi dan Puji-pujian kepada Allah.
Selain itu Laras Madya juga dimainkan dalam acara keagamaan seperti peringatan
Isra` Mi`raj, Khataman Al-Qur`an, Kajian dan Pengajian Ilmu, dan Upacara Malem
Selikuran yang dilaksanakan pada malam 21 Ramadhan setelah shalat isya` dan salat
tarawih. Dengan menggunakan simbolisasi tumpeg dan ubo rampe yang di bawakan ke
Taman Sriwedari atau Masjid Agung.
BAB III

PENUTUP

E. Kesimpulan

Laras Maya merupakan kesenian ansambel perkusif yang memadukan dua aspek yaitu
aspek keagamaan dan aspek kebudayaan dimana hal ini pada awalnya bertujuan untuk
menjadikan Laras Madya sebagai media dalam berdakwah.
Aspek keagamaan yang dimasukkan dalam kesenian ini adalah Shalawat yang
ditujukan kepada Nabi Muhammad, puji-pujian kepada Allah, dan berbagai instrumen yang
mengiringinya. Sementara itu aspek kebudayaan yang diangkat yakni Serat Wulangreh,
yang didalamnya juga terdapat apek keagamaan berupa anjuran membaca Al-Qur`an
DAFTAR PUSTAKA

Adzkia, Sagaf Faozata. 2016. "Analisis Bentuk Musik Atas Kesenian Laras madya Dan
Resistensinya Dalam Budaya Jawa". (Semarang: Jurnal Promusika. Vol. 4, No. 1
Universitas Negeri Semarang)
Annas, Miftachul Azwar. 2020 (skripsi) Laras Madya dalam Upacara Malem Selikuran di
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. (Surakarta: Institut Seni Indonesia
Surakarta)
Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Terj. Kenneth J. Northcott. Chicago dan London:
The University of Chicago Press
Sulasman, dan Setia G, M. Si. 2013. Teori-Teori Kebudayaan. Bandung: Pustaka Setia
Sumarsam. 2003. Interaksi Budaya Dan Perkembangan Musikal Di Jawa (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar)

Anda mungkin juga menyukai