Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“Ragam Adat Dan Budaya Jawa”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Adat Istiadat dan Seni Budaya
Dosen Pembimbing:
Hikmatu Ruwaida, M.Pd

Disusun Oleh :

Isfi Norol Amini (17.11.20.0112.00200)


Noor Halimah (17.11.20.0112.00241)
Syarimah (17.11.20.0112.00278)

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AMUNTAI


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. shalawat dan salam semoga selalu
tercurah keharibaan junjungan Nabi besar Muhammad saw. Beserta seluruh
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Alhamdulillah,
dengan segala rahmat dan inayah-Nya makalah yang berjudul “Ragam Adat dan
Budaya Jawa” sebagai persyaratan untuk memenuhi tugas dalam bidang
pendidikan Madrasah Ibtidaiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran (STIQ)
Amuntai ini telah dapat diselasaikan. Penulis sangat menyadari, dalam penulisan
skripsi ini banyak sekali menerima bantuan, baik tenaga maupun pikiran. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan tersebut,
terutama kepada:

1. Bapak Dr. H. M. Saberan Affandi, MA, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Alquran (STIQ) Amuntai yang telah menerima dan menyetujui makalah ini.
2. Hikmatu Ruwaida, M. Pd. sebagai pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan petunjuk serta koreksi dalam penulisan makalah
ini sehingga dapat diselasikan.
3. Semua staf perpustakaan STIQ Amuntai yang telah membari banyak
membantu penulis dalam mengumpulkan bahan literatur sampai makalah ini
bisa diselasaikan.
4. Seluruh Dosen dan staf STIQ Amuntai yang yang telah membari banyak
pengatahuan dan nasehat selama penulis mengikuti perkuliahan di STIQ
Amuntai.
5. Semua pihak yang telah memberi bantuan, fasilitas, informasi, meminjamkan
buku-buku dan literatur-literatur yang penulis perlukan, sehingga makalah ini
bisa diselasaikan.

Atas bantuan dan dukungan yang tak ternilai harganya tersebut penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setinggitingginya teriring do’a yang tulus semoga Allah swt membari ganjaran
yang berlipat ganda. Amin.

i
Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua dan
mendapat taufik serta inayah dari Allah swt.

Amuntai, 31 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Identifikasi Masyarakat Jawa........................................................ 3
B. Pengertian dan Karakteristik Budaya Jawa................................... 4
C. Adat Jawa Kejawen ......................................................................
8
D. Bentuk Sosial Masyarakat jawa.....................................................
E. Religius dan Kekerabatan Masyarakat Jawa................................ 9
17

BAB III PENUTUP


Simpulan ............................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang
ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa dengan keanekaragamannya banyak
mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan maupun perilaku
keberagamaannya. Masyarakat Jawa memiliki keunikan tersendiri. Dalam
segala tindakannya biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi atau kebiasaan
yang dianut oleh para leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai dari
kepercayaan masyarakat, bahasa, kesenian, dan tradisinya. Keragaman tradisi
dan budaya lokal menyemangati berbagai pihak baik pemerintah, swasta,
akademisi, maupun wisatawan mancanegara.
Keanekaragaman tradisi dan budaya bangsa Indonesia, terutama
tradisi dan budaya Jawa bila ditelusuri dari perkembangan sejarah yang ada,
merupakan sumber inspirasi yang tak ternilai harganya karena mengandung
nilai-nilai filosofi yang tinggi, dan berisi pranata social bermasyarakat. Sangat
disayangkan apabila warga negara Indonesia sendiri kurang menghargai,
memelihara, serta melestarikan tradisi dan kebudayaan yang diwariskan oleh
nenek moyangnya.
Tradisi dan kebudayaan luhur bangsa ini tentunya patut dijaga di
tengah-tengah arus budaya modern dari Barat dan budaya asing lainnya yang
gencar masuk dalam berbagai tataran kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Hingga saat ini, masyarakat Jawa yang tersebar di beberapa
wilayah masih memelihara dan mewariskan kebudayaan Jawa secara turun
temurun. Produk budaya yang secara umum diwariskan adalah bahasa,
kesenian, dan adat istiadat.
Dengan keanekaragaaman dan pluralitas masyarakat Jawa yang
sedemikian rupa, pengaruh animisme, dinamisme, Hinduisme, Budhaisme

1
2

dan Islam masih saja melekat dalam kehidupannya.


B. Rumusan Masalah
1. Apa saja ragam dan budaya Jawa?
2. Bagaimana bentuk desa, mata pencaharian, dan sistem sosial
kemasyarakatan Jawa?
3. Bagaimana sistem religi dan kekerabatan Jawa?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami ragam adat dan budaya Jawa.
2. Untuk mengindentifikasi bentuk desa, mata pencaharian, dan sistem
kemasyarakatan Jawa.
3. Untuk menjelaskan sistem religi dan kekerabatan Jawa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identifikasi Masyarakat Jawa


Menurut Koentjaraningrat, daerah asal suku Jawa adalah pulau Jawa
(terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur). Pulau Jawa terletak di bagian
selatan dari Kepulauan Indonesia. Suku Jawa hanya mendiami bagian tengah
dan bagian timur dari pulau Jawa, sementara bagian baratnya didiami oleh
suku Sunda. Pulau Jawa yang luasnya 7% dari seluruh wilayah Indonesia dan
dihuni oleh hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia adalah daerah asal
kebudayaan Jawa.1
Namun pada masa sekarang ini, orang-orang Jawa menetap diberbagai
kawasan di seluruh pulau di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia. Begitu
juga penyebarannya sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan Madagaskar.
Kepadatan penduduk yang tinggi dipulau Jawa menyebabkan banyaknya
penduduk pulau ini dibawa dan dipaksa bekerja sebagai budak ke daerah
jajahan Belanda di Suriname pada sekitar abad ke-18. Kemudian pada abad
ke-19, banyak suku Jawa di kirim dan di paksa bekerja pada perkebunan-
perkebunan di Kaledonia Baru (Perancis) dan pada perkebunan-perkebunan
di Sumatera Utara.
Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku Jawa ini tersebar ke
berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup melalui
transmigrasi yang dilakukan sejak zaman Belanda sampai sekarang. Di
antara kawasan-kawasan yang menjadi tempat tinggal baru suku Jawa adalah
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi
Papua Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan diberbagai daerah
lainnya. Di antara provinsi, jumlah yang paling menonjol suku Jawa nya
adalah provinsi Sumatera Utara.

1
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 3-5.

3
4

Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan adanya


perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat
kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat
kediaman orang Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat
lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai
berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun jika
diteliti lebih jauh hal-hal itu masih merupakan suatu pola atau sistem dalam
kebudayaan Jawa.
B. Pengertian dan Karakteristik Budaya Jawa
1. Pengertian Budaya Jawa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata budaya mempunyai
arti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar untuk diubah.
Sedangkan menurut Jalaluddin, ia menyatakan bahwa kebudayaan dalam
suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan
pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut.
Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku
maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat,
dan tradisi itu ialah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu
dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.2
Pengertian Jawa menurut geologi ialah bagian dari suatu formasi
geologi tua berupa deretan pegunungan yang menyambung dengan
deretan pegunungan Himalaya dan pegunungan di Asia Tenggara, dari
mana arahnya menikung ke arah tenggara kemudian ke arah timur
melalui tepitepi dataran sunda yang merupakan landasan kepulauan
Indonesia.3 Sementara dalam bukunya, Darori Amin4 mengutip
pernyataan Kodiran bahwa yang disebut dengan masyarakat Jawa atau
tepatnya suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-
orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa
dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun.
Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus
memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak
2
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 169.
3
Kebudayaan Jawa, h. 3.
4
Amin Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 3.
5

berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status


sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa
apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu bahasa Jawa ngoko dan
krama. Bahasa Jawa ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal
akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah
derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa
ngoko lugu dan ngoko andhap. Sebaliknya, bahasa Jawa krama,
dipergunakan untuk bicara dengan yang belum dikenal akrab, tetapi yang
sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih
tinggi umur serta status sosialnya.5
Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di
daerah Jawa bagian tengah dan timur, serta mereka yang berasal dari
kedua daerah tersebut. Secara geografis, suku bangsa Jawa mendiami
tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri, sedangkan di luar wilayah
tersebut dinamakan pesisir dan ujung timur. Surakarta dan Yogyakarta
yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad XVI
adalah pusat dari kebudayaan Jawa.
Jadi dari uraian di atas, dapat kita ambil pemahaman bahwa
budaya Jawa yang dimaksud di sini adalah segala sistem norma dan nilai
yang meliputi sistem religi, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian,
kepercayaan, moral, seni, hukum, adat, sistem organisasi masyarakat,
mata pencaharian, serta kebiasaan masyarakat Jawa yang hidup di pulau
Jawa atau yang berasal dari pulau Jawa itu sendiri.
2. Karakteristik Budaya Jawa
Nilai budaya merupakan gagasan yang dipandang bernilai bagi
proses kelangsungan hidup. Oleh karena itu nilai budaya dapat
menentukan karakteristik suatu lingkungan, kebudayaan di mana nilai
tersebut dianut.
Nilai budaya baik langsung ataupun tidak langsung tentu diwarnai
tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk-produk kebudayaan yang

5
Kebudayaan Jawa, h. 329-330.
6

bersifat material. Dalam hal ini karakteristik kebudayaan Jawa dibagi


menjadi tiga macam:
a. Kebudayaan Jawa pra-Hindu-Budha
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa, sebelum datang
pengaruh agama Hindu-Budha merupakan masyarakat yang
susunannya teratur sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar
bila tampak dalam sistem religi animisme dan dinamisme merupakan
inti dari kebudayaan yang mewarnai seluruh aktifitas kehidupan
masyarakatnya.
Kepercayaan animisme ialah suatu kepercayaan tentang
adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan juga pada manusia sendiri. Semua yang bergerak dianggap hidup
dan mempunyai kekuatan gaib dan memiliki roh yang buruk maupun
yang baik.6 Selain kepercayaan animisme, masyarakat Jawa pra-
Hindu-Budha juga mempunyai kepercayaan dinamisme yaitu
mempercayai bahwa dalam benda-benda tertentu, baik benda hidup,
benda mati atau yang telah mati, ada kekuatan gaibyang memberikan
kepada yang memilikinya suatu kemampuan baik atau tidak baik.7
Kepercayaan-kepercayaan itulah yang menjadi agama
masyarakat Jawa yang pertama sebelum datang berbagai agama ke
tanah air khususnya Indonesia. Mereka mempunyai anggapan bahwa
semua yang bergerak adalah hidup dan mempunyai kekuatan gaib
atau memiliki roh yang berwatak baik dan buruk. Sehingga mereka
memandang roh-roh dan tenaga-tenaga gaib tersebut sebagai Tuhan-
Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat mencelakakan serta sebaliknya
dapat menolong kehidupan manusia.8
b. Kebudayaan Jawa pada masa Hindu-Budha
Pengaruh kebudayaan India (Hindu-Budha) bersifat ekspansif,
sedangkan kebudayaan Jawa yang bersifat menerima pengaruh
unsur-unsur Hinduisme-Budhisme, prosesnya bukan hanya bersifat
6
h. 103.
7
Agus Bustanudin, Agama Dalam Kehidupan Manusia: “Pengantar Antropologi Agama”
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 342.
8
Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tassawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta:
Yayasan Bintang Budaya, 1996), h. 114.
7

akulturasi saja, akan tetapi kebangkitan kebudayaan Jawa dengan


memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Di sini
para budayawan Jawa bertindak aktif, yakni berusaha untuk
mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk
memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan Jawa.
Karena proses penyebaran Hinduisme di Jawa bukan para
pendeta-pendeta yang aktif, tetapi golongan cendekiawan atau kaum
priyayi Jawa, maka di tangan mereka unsur-unsur Hinduisme-
Budhisme mengalami Jawanisasi bukan sebaliknya, sehingga wajar
jika agama dan kebudayaan HinduismeBudhisme tidak diterima
secara lengkap dan utuh.9
c. Kebudayaan Jawa pada masa Kerajaan Islam
Islam datang ke Indonesia dan di pulau Jawa khususnya
mendatangkan perubahan besar dalam pandangan manusia terhadap
hidup dan dunianya. Islam memperkenalkan dasardasar pemikiran
modern. Demikian pula Islam juga memperkenalkan Makkah
sebagai pusat ruang yang mendorong berkembangnya kebudayaan
pesisiran dan membudayakan peta geografis.
Untuk beberapa abad, penyebaran Islam tidak dapat menembus
benteng kerajaan Hindu kejawen sehingga penyebaran Islam harus
merangkak dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang
pesisiran yang melahirkan lingkungan budaya baru yang berpusat di
pesantren.
Baru pada abad ke-16 M dakwah Islam mulai dapat menembus
benteng-benteng istana, di mana unsur-unsur Islam mulai meresap
dan mewarnai sastra budaya istana, yakni dengan berdirinya budaya
Islam, Demak yang mendapat dukungan dari para wali tanah Jawa.
Masuknya unsur-unsur Islam dalam budaya dalam bahasa dan
sastra Jawa menyebabkan bahasa ini mulai terpecah menjadi dua,
yaitu bahasa Jawa kuno dan bahasa Jawa baru. Bahasa Jawa kuno

9
h. 116.
8

merupakan bahasa sebelum zaman Islam Demak yang kemudian


tersisih dari Jawa, namun tetap bertahan di pulau Bali.10
Kesultanan Demak sebagai kerajaan Jawa-Islam merupakan titik
mula pertemuan antara lingkungan budaya istana yang bersifat
kejawen dengan lingkungan budaya pesantren.
C. Adat Jawa Kejawen
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kejawen mempunyai arti
segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan masyarakat
Jawa. Kejawen merupakan suatu kepercayaan yang sudah mendarah daging
dalam pribadi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat tradisional di
pulau Jawa. Menurut Suyono, ajaran kejawen merupakan keyakinan dan
ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap
kekuatan alam. Sebagai contoh, orang Jawa banyak yang menganut agama
Islam, namun pengetahuan mereka tentang agamanya boleh dikatakan masih
kurang mendalam.
Pada dasarnya adat kejawen mengajarkan manusia untuk lebih
mendekatkan diri pada Tuhan, menghormati antar sesama manusia, dan
makhluk-makhluk lainnya. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
perilaku kejawen merupakan suatu pengungkapan seseorang yang ingin dekat
dengan Tuhan melalui berbagai cara seperti, mengadakan slametan atau
upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan, mengadakan
upacara-upacara hari besar. Dan tradisi seperti ini adalah tradisi atau ritual
yang telah turun-temurun diwariskan dari orang-orang Jawa agar hidupnya
selaras, harmonis dan bahagia.
Dalam masyarakat tradisional Jawa terdapat banyak tindakan ritual-
ritual keagamaan. Bagi mereka, pergantian waktu dan perubahan fase
kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai.
Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage yaitu „upacara
peralihan‟ atau slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda
keramat, dan sebagainya. Berbagai aktivitas ritual yang selalu dijalani
masyarakat Jawa tradisional biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan
D. Bentuk Sosial Masyarakat Jawa

10
h. 124.
9

a. Sruktur Sosial Kemasyarakatan di Jawa


Struktur sosial adalah pola perilaku dari setiap individu
masyarakat yang tersusun dari sebuah sistem. Struktur sosial menurut
Raymond Firth sebenarnya merupakan hubungan ideal antara bagian-
bagian masyarakat yang di dalamnya terdapat dinamika kehidupan
individu yang konkret dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya dan
menyebabkan suatu proses perubahan yang dapat berlangsung lambat
tetapi dapat juga cepat.11
Struktur sosial menyangkut bagaimana suatu masyarakat
menampilkan bangunan atau bentuk hubungan antar peran dan status
mereka. Struktur sosial terjadi karena anggota masyarakat tidak
berinteraksi secara acak. Hubungan mereka berjalan menurut suatu
keteratuan/pengaturan sosial-mengikuti jaringan antara interaksi dan
hubungan yang berulang serta bersifat kurang lebih stabil. Akan tetapi,
apabila terjadi transformasi sosial, maka strukturnya bisa berubah.
Struktur sosial dengan demikian cenderung merupakan suatu gambaran
keteraturan statis dalam hubungan antarperan dalam suatu sistem sosial.12
Struktur sosial atau Pelapisan sosial (social stratification) di sini
dimaksudkan sebagai pengelompokan golongan-golongan manusia ke
dalam sejumlah kategori berdasar prinsip hirarkis. Setiap orang yang
memiliki kedudukan tertentu dalam masyarakat dilihat dalam kerangkan
lebih tinggi, sederajat, atau lebih rendah terhadap orang lain. Sifat
hirarkis golongan-golongan ini memberi pengaruh dan kekuasaan.
Sumber-sumber Jawa Kuno mengesankan adanya empat aspek yang
tampaknya dijadikan landasan pelapisan sosial, yakni umur, jenis
kelamin, pemilikan harta, kedudukan dalam pemerintah dan warna atau
kasta.13 Berikut akan dijelaskan bagaimana struktur sosial masyarakat
Jawa menurut beberapa orang atau peneliti.

11
Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa (Jakarta: CAPS, 2015), h. 167.
12
Boedhihartono, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial) (Jakarta: Raja Grafindo,
2009), h. 8.
13
Supratikno Raharjo, Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 88.
10

Dalam masyarakat Jawa dikenal adanya stratifikasi masyarakat


sebagai suatu warisan sistem kerajaan dan sistem feodal penjajah masa
lampau. Dua golongan stratifikasi masyarakat yang saling berhadapan
tersebut meliputi priyayiwong lumprah, wong gedhe-wong cilik,
pinisepuh- kawulo mudho, santri-abangan, dan sedulur-wong liyo.
Stratifikasi ini menuntut suatu komunikasi yang berbeda dalam
berinteraksi mengimplementasikan prinsip rukun dan hormat.14
M. C. Ricklefs dalam bukunya Islamisation and Its Opponents
menggambarkan polarisasi masyarakat Jawa pada abad ke-19 selain
kaum priyayi Jawa (kalangan elite administratif-aristrokratis) yang
dilibatkan pada rezim kolonial Belanda untuk mengawal pelaksanaan
sistem tanam paksa (cultuurstelsel) serta diberi upah seturut kontribusi
mereka dan komunitas kristen Jawa yang dibangun oleh Conrad Laurens
Coolen, seorang Rusia-Jawa serta kalangan kristen Jawa asli yang salah
satunya adalah Kiai Tunggul Wulung. Dalam konteks Islam Ricklefs
menggambarkan kaum muslim Jawa yaitu, pertama kaum muslim Jawa
yang saleh dan berpegang teguh pada ajaran Islam yang menyebut diri
mereka sendiri dengan putihan (golongan putih), dan kedua, abangan
yang awalnya merupakan sebuah ejekan oleh kaum putihan yang saleh
yang ditujukan kepada kaum muslim yang tidak begitu taat pada ajaran
mereka.
Perbedaan antara putihan dan abangan menjadi sangat lebar,
sebab perbedaan dalam gaya beragama juga tercermin di dalam
perbedaan sosial yang lebih luas. Secara umum, kaum putihan lebih
kaya, aktif dalam bisnis, mengenakan pakaian yang lebih baik, memiliki
rumah yang lebih besar, lebih santun dalam tindak-tanduknya,
menghindari opium dan judi, menjalankan rukun-rukun dalam agama
Islam, menyediakan pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka
dan memerhatikan disiplin mereka. Kaum abangan lebih miskin, tidak
terlibat dalam perdagangan dan tidak memberikan pendidikan yang
memadai bagi anak-anak mereka. Abangan masih menjalankan beberapa
14
Endraswara, Etnologi Jawa, h. 165.
11

aktivitas atau praktik religius tertentu, tetapi mereka melakukannya atas


nama solidaritas sosial. Sementara kaum putihan membaca karya-karya
dalam bahasa Arab serta mendiskusikan beragam permasalahan dalam
dunia Islam, kaum Abangan lebih memilih untuk menonton wayang dan
hiburanhiburan lain di mana kekuatan spiritual nenek-moyang
diperlihatkan. Kedua kelompok tersebut bergaul dengan kalangan yang
sepaham dengan mereka masing-masing. Keduanya memiliki dunia yang
terpisah satu dari yang lain dan jurang di antara mereka terus melebar.
Mereka berbeda dalam hal gaya beragama, kelas sosial, pendapatan,
pekerjaan, cara berpakaian, pendidikan, perilaku, kehidupan budaya serta
cara membesarkan dan mendidik anak.15
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa dalam 3 tipe kategori/varian
yaitu :
1. Abangan, sebuah struktur kehidupan sosial yang orientasi serta
perilaku yang menggambarkan hubungan kegamaan dari kelompok
sosial dari suasana dan tata kehidupan pedesaan.
2. Santri, merupakan sebuah struktur sosial yang biasa dikatakan taat
mengerjakan ajaran Islam
3. Priyayi, yaitu struktur masyarakat yang menggambarkan golongan
pegawai pemerintahan dan dianggap sebagai mewakili tradisi besar
Jawa yang bermuara di Kraton, yang kecenderungan bernuansa
Hinduistis.
Namun dewasa ini pendapat Clifford Geertz mendapatkan
berbagai kritik dari berbagai tokoh, karena ia mencampur golongan sosial
dengan golongan kepercayaan, salah satunya adalah Prof. Dr. Bambang
Pranowo dengan studi tentang Islam yang diamalkan di Tegalroso,
sebuah desa tegalan di pedalaman Jawa Tengah yang tertuang dalam
bukunya yang berjudul Memahami Islam Jawa. Dalam kajian ini
mencerminkan sikap skeptis dan tidak mau menerima mentah-mentah
ketepatan hasil penelitian Clifford geertz.

15
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa (Sejarah Islamisasi Di Jawa Dan Penentangnya
Dari 1930 Sampai Terj. Islamisasi And Its Opponets (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013), h. 51.
12

Menurut Prof. Dr. Bambang Pranowo, ketika konsep Santri-


Abangan diterapkan pada Muslim Jawa, kita akan menghadapi risiko
mengabaikan sejumlah besar masyarakat Jawa lain. Ini, pada tahap
selanjutnya, akan melahirkan gambaran kehidupan keagamaan
masyarakat Jawa yang kurang memadai. Hal ini bukan berarti tidak ada
variasi dalam keberagaman mereka. Meski demikian, seperti yang
dibuktikan oleh data-data lapangan saya, masyarakat desa lebih melihat
masalah religuisitas sebagai sesuatu yang dinamis bukan statis. Oleh
karena itu, masyarakat desa tidak menggunakan level ketaatan agama
sebagai alat pengelompokan sosial dan mereka pun tidak
menggunakannya untuk memandang santri dan abangan sebagai dua
kategori yang berlawanan.16 Oleh karena itu ia mengusulkan sebuah
paradigma baru, sebuah paradigma yang dia harapkan dapat menolong
kita menyadari betapa kompleks dan majemuknya Islam Jawa.
Lanjut Prof. Dr. Bambang Pranowo menjelaskan Dalam
paradigma yang ditawarkan di sini, kita harus, pertama, memperlakukan
Muslim Jawa sebagai Muslim yang sebenarnya, tanpa memandang
derajat kesalehan dan ketataatan mereka. Kedua, kita harus memandang
religiusitas sebagai proses yang dinamis ketimbang statis, proses
“menjadi” ketimbang proses “mengada”. Ketiga, perbedaan manifestasi
religiusitas seorang Muslim harus dianalisis berdasarkan perbedaan
penekanan dan interpretasi atas ajaran-ajaran Islam. Keempat, karena
dalam Islam tidak ada sistem kependetaan, maka orang Mulim harus
diperlakukan sebagai agen yang berperan aktif, dan bukan penerima
pasif, dalam proses pemahaman, penafsiran, dan pengartikulasian ajaran-
ajaran Islam di dalam kehidupan seharihari mereka. Kelima, peran latar
belakang sosial-budaya, sejarah , ekonomi dan politik harus dilihat sebagi
faktor-faktor paling menentukan dalam proses terbentuknya tradisi-
tradisi Islam yang khas.17

16
Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabert, 2011), h. 7.
17
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004),
h. 366.
13

Pada dasarnya dia meyakini kemungkinan kita memahami fakta-


fakta sosial-keagamaan yang tidak bisa dijelaskan secara memadai
dengan pengkategorian orang Jawa seperti yang dilakukan oleh Clifford
Geertz. Menurutnya Islam Jawa adalah Masyarakat yang komplek dan
majemuk, bukan masyarakat yang terbagi dalam kelompok-kelompok
yang saling berlawanan.
Dari beberapa orang/peneliti yang telah menggambarkan
bagaimana struktur sosial yang ada dalam masyarakat Jawa tentu saja
mempunyai latar belakang pandangannya masing-masing dalam melihat
masyarakat Jawa. Karena itu terdapat berbagai perbedaan dan persamaan
dalam hasil penelitian mereka
b. Pencaharian masyarakat Jawa
1. Pertanian
Pertanian merupakan usaha pengolahan tanah untuk
pembudidayaan tanaman pangan. Indonesia yang merupakan negara
agraris mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian
utamanya. Sistem bercocok tanam (pertanian) muncul melalui suatu
proses, sebagai bukti dapat dilihat dari kesederhanaan bentuk alat-alat
yang digunakan, cara menanam dan jenis tanaman yang ditanam. Hal
ini dilakukan secara turun menurun untuk masyarakat yang hidup dari
pertanian tersebut. Pertanian sendiri sudah dikenal kurang lebih
10.000 tahun yang lalu. Adapun alat-alat pertanian yaitu seperti :
bajak, ani-ani, caping, sabit.
2. Nelayan
Negara kita kaya akan potensi perikanan. Selain memiliki laut
yang luas dan garis pantai yang panjang, Indonesia juga memiliki
sumber air darat yang melimpah. Semua potensi tersebut dapat
digunakan untuk mendukung sektor perikanan. Sehingga dalam hal
ini, mayoritas masyarakat di Indonesia termasuk masyarakat di Jawa
Tengah banyak yang bekerja sebagai nelayan.
Kehidupan nelayan merupakan kehidupan keras dan berat, kepada laut
hidupnya digantungkan. Nelayan identik dengan laut, mereka melaut
pada sore hari bersamaan angin darat dan pulang di pagi hari
14

bersamaan angin laut. Nelayan harus menguasai ilmu perbintangan,


iklim, cuaca, arah angin, dan kondisi perairan sebelum melaut.
Secara tradisional, para nelayan biasanya menggunakan
perahu-perahu kecil dalam melakukan pekerjaannya, nelayan juga
memerlukan suatu alat bantu untuk menangkap ikan. Pada awalnya
nelayan hanya menggunakan alat bantu “Gogo atau Gogoh”. Namun,
seiring dengan berkembangnya zaman alat-alat tersebut sudah mulai
canggih. Ada berbagai macam peralatan yang digunakan contohnya
seperti : pancing, jala, sero, wuwu, kepis, seser, ajug, anlo, bagan,
ental.
3. Pembuat keris
Keris Merupakan karya adi luhung nenek moyang bangsa
Indonesia telah lekat dalam alam pikir serta kehidupan masyarakat
Indonesia. Keris dengan segala aspeknya telah menjadi salah satu
pedoman berperilaku individual, sosial, bernegara dan berkeTuhanan.
Oleh karena itu, nilai dunia perkerisan telah berperan membentuk
mentalitas bangsa Indonesia yang berkarakter budaya.
Nilai sebuah keris yang tersirat maupun yang tersurat begitu indah dan
Agung, kini mulai surut atau terpinggirkan. Tata nilai dalam
perkerisan seringkali dipandang dari satu sisi saja dan tidak secara
utuh, bahkan cenderung bersifat secara mistis yang ditonjolkannya,
sehingga hal ini menjadi pembiasaan pemahaman.
Oleh karena itu, selayaknyalah pengetahuan dan informasi
tentang keris dibuka selebarnya kepada masyarakat luas agar mereka
dapat memahami sebagaimana mestinya, selain itu kecintaan dan
kebanggaan dari masyarakat terhadapkeris sangat dibutuhkan. Sebab
melalui hal itu, merekan akan terdorong untuk melestarikan buah
karya adi luhung nenek moyang kita.
Besalen adalah tempat kerja tradisional untuk membuat keris,
tombak atau senjata pusaka lainnya. Umumnya besalen ukuran 4x6 M
atap dibuat tinggi dan sebagian dinding terbuka. Letak besalen
biasanya tidak jauh dari rumah sang empu / pembuat keris. Didalam
15

besalen ini terdapat alat kerja seperti paron, palu, abuban untuk
meniup prapen dengan model pengapian isap tekan.
4. Pembuat gerabah
Gerabah adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat yang
dibentuk kemudian dibakar untuk dijadikan alat-alat yang berguna
membantu kehidupan manusia. Gerabah telah diperkirakan telah ada
sejak masa pra sejarah, tepatnya setelah manusia hidup menetap dan
mulai bercocok tanam.
c. Bentuk Rumah Joglo Suku Jawa
Rumah joglo adalah rumah tradisional Jawa yang umum dibuat
dari kayu jati. Atap joglo berbentuk tajug, semacam atap piramidal yang
mengacu pada bentuk gunung. Dari sinilah nama joglo tersebut muncul.
Istilah joglo berasal dari dua kata, 'tajug' dan 'loro' yang bermakna
'penggabungan dua tajug'. Bentuk atap tajug ini dipilih karena
menyerupai bentuk gunung. Sedangkan masyarakat Jawa meyakini
bahwa gunung merupakan simbol segala hal yang sakral. Diantaranya
adalah karena gunung merupakan tempat tinggal para dewa.
Bangunan rumah joglo, atap joglo ditopang oleh empat tiang
utama yang disebut Soko Guru. Jumlah ini mewakili adanya kekuatan
yang dipercaya berasal dari empat penjuru mata angin. Berdasarkan
konsep spiritual ini, manusia berada di tengah perpotongan keempat arah
mata angin tersebut. Suatu tempat yang konon mengandung getaran
magis tingkat tinggi. Titik perpotongan ini disebut juga sebagai Pancer
atau Manunggaling Kiblat Papat.
Ada tiga bagian dalam susunan rumah joglo. Pertama adalah
ruang pertemuan yang disebut pendapa. Kedua adalah ruang tengah yang
disebut pringgitan dan ketiga adalah ruang belakang (dalem) yang
berfungsi sebagai ruang keluarga.
1. Pendapa Rumah Joglo
Pendapa ini terletak di depan. Dibuatnya tanpa dinding, karena
berkaitan dengan karakter orang Jawa yang ramah dan terbuka.
Ruangan menerima tamu ini biasanya tidak diberi meja ataupun kursi,
hanya tikar yang digelar agar antara tamu dan tuan rumah dapat
berbicara dalam kesetaraan.
16

2. Pringgitan Rumah Joglo


Bagian pringgitan adalah tempat dimana pemilik rumah
menyimbolkan diri sebagai bayang-bayang Dewi Sri. Dewi padi ini
dianggap sebagai sumber segala kehidupan, kesuburan dan
kebahagiaan. Terletak antara pendapa dan dalem, pringgitan
digunakan sebagai tempat untuk menggelar pertunjukan wayang yang
berkaitan dengan upacara ruwatan adat.
3. Dalem atau Ruang Utama Rumah Joglo
Dalem adalah bagian yang digunakan sebagai tempat tinggal keluarga.
Di dalamnya ada beberapa kamar yang disebut senthong.
Jaman dulu, senthong hanya dibuat sejumlah tiga bilik saja.
Kamar pertama diperuntukkan untuk para lelaki, kamar kedua
dikosongkan dan kamar ketiga dipakai oleh para perempuan. Kamar
kedua yang kosong ini tetap diisi dengan tempat tidur lengkap dengan
segala perlengkapannya. Disebut krobongan, ruangan kosong ini dipakai
untuk menyimpan pusaka dan sebagai ruang pemujaan terhadap Dewi
Sri. Inilah bagian rumah yang dianggap paling suci.
E. Religius dan Kekerabatan Masyarakat Jawa
a. Religius
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan
pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini
Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam
semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena
segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendak-
Nya. Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang
dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang
dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia
atas.
Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut
Manunggaling Kawula Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa
kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan
terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya
selaku kawula terhadap Gustinya.
17

Dasar kepercayaan Jawa adalah keyakinan bahwa segala sesuatu


yang ada di dunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan
kesatuan hidup. Kepercayaan Jawa memandang kehidupan manusia
selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan
manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan
pengalamanpengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada
dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Adapun
makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan
hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan
supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari
serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan
makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam makrokosmos pusat alam
semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan
dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang
semakin sempurna.
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah
tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan
manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia seharihari dan segala
sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia
yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan
jiwanya.
Pada umumnya orang Jawa mengatakan bahwa agama yang
mereka anut adalah agama Islam. Dalam hal ini Koentjaraningrat 18
membagi keberagamaan masyarakat muslim Jawa menjadi dua yaitu
agama Islam santri dan agama Islam kejawen. Mengenai agama Islam
santri adalah mereka yang menganut agama Islam di Jawa yang secara
patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya.
Adapun mengenai agama Islam kejawen adalah mereka yang
menganut agama Islam akan tetapi tidak sedikit yang tidak menjalankan
syariat Islam secara serius, seperti tidak menjalankan shalat, atau puasa,

18
Kebudayaan Jawa, h. 346-347.
18

serta tidak bercita-cita naik haji. Meskipun sebenarnya mereka juga


mempercayai ajaran keimanan Islam. Tuhan mereka sebut dengan Gusti
Allah dan Nabi Muhammad adalah Kangjeng Nabi. Kecuali itu, orang
Islam kejawen ini tidak terhindar dari kewajiban berzakat.
Koentjaraningrat juga menyebutkan bahwa kebanyakan dari
orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur alam
semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap nerima, yaitu
menyerahkan diri kepada takdir. Inti pandangan alam pikiran mereka
tentang kosmos tersebut, baik diri sendiri, kehidupan sendiri, maupun
pikiran sendiri, telah tercakup di dalam totalitas alam semesta atas
kosmos tadi. Inilah sebabnya manusia hidup tidak terlepas dengan lain-
lainnya yang ada di alam jagad. Jadi apabila lain hal yang ada itu
mengalami kesukaran, maka manusia akan menderita juga.
Menurut Amin19 pandangan dunia Jawa tentang kehidupan
mengatakan bahwa antara masyarakat dan alam merupakan lingkup
kehidupan orang Jawa sejak lahir. Masyarakat bagi orang Jawa
merupakan sumber rasa aman. Begitu pula alam, dihayati sebagai
kekuasaan yang menentukan keslametan dan kehancurannya. Oleh
karena itu, alam inderawi bagi orang Jawa merupakan ungkapan alam
gaib, yaitu misteri berkuasa mengelilinginya, dan darinya akan diperoleh
eksistensinya, sebab alam merupakan ungkapan kekuasaan yang
menentukan kehidupannya yang penting, misalnya kelahiran, puputan,
tetesan, khitanan, pernikahan, kehamilan, proses penuaan, dan kematian.
Bersama-sama dengan pandangan alam pikiran partisipasi
tersebut, orang Jawa juga percaya akan adanya suatu kekuatan yang
melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu
kesaktén, kemudian arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus
seperti memedi, lelembut, tuyul, demit serta jin dan lainnya yang
menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan
masing-masing makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan,
kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, tetapi sebaliknya bisa

19
Islam dan Kebudayaan Jawa, h. 69-70.
19

pula menimbulkan gangguan pikiran, gangguan kesehatan, bahkan


kematian. Maka bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita
gangguan tersebut, ia harus berbuat sesuatu untuk
berpantang melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu,
berselamatan, dan bersaji. Kedua cara yang terakhir tersebut adalah yang
kerap dijalankan oleh masyarakat orang Jawa di desa-desa diwaktu yang
tertentu dalam peristiwa-peristiwa kehidupan seharihari.
Lebih lanjut Koentjaraningrat20 menjelaskan bahwa slametan
adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa
sebelum dibagi-bagikan. Slametan itu tidak terpisahkan dari pandangan
alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan
kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun
makhlukmakhluk halus. Sebab hampir semua slametan ditujukan untuk
memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan apapun.
Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yakni salah seorang
pegawai masjid yang antara lain berkewajiban mengucapkan ajan. Ia
dipanggil karena dianggap mahir membaca doa keselamatan dari dalam
ayat-ayat Al-Qur‟an.
Sementara menurut Mulder “Slametan adalah ritus pokok untuk
mempertahankan, menjaga, atau mengusahakan tatanan dengan cara
makan bersama bernuansa religius-sosial di mana tetangga bersama
beberapa kerabat serta teman turut mengambil bagian dengan tujuan
untuk mendapatkan situasi selamat”.21
Sementara menurut pendapat Darori Amin, Slametan adalah
santap bersama yang bernilai ritual, yang diadakan pada petang hari di
antara kaum lelaki. Mereka menikmati hidangan yang disajikan di atas
lembaran daun pisang berupa nasi kuning yang diwarnai dengan kunyit,
dan berbagai hidangan daging. Disini tujuannya adalah menjinakkan roh,
seperti: dedemit, lelembut, memedi, tuyul yang memang dianggap hadir
dan menghirup bau harum hidangan. Bila mereka betul-betul sudah

20
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 347.
21
Mulder Niels, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubabahan Budaya Jawa, Muangthai
dan Filipina (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 58.
20

dijinakkan, barulah manusia dapat “selamat”, seperti yang terdapat dalam


kata slametan itu sendiri.22
Menurut Pamungkas, bahwa dalam Agama Islam tidak
mengajarkan sesembahan terhadap benda-benda selain hanya kepada
Allah SWT. Akan tetapi setelah Islam masuk di tanah Jawa, para
Walisongo tidak menghilangkan budaya-budaya asli orang Jawa
melainkan para Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam
upacara atau ritual tersebut dengan mengganti keberadaan sesaji dengan
penyajian baru seperti menu tumpeng dan kenduri.23
b. Kekerabatan
Sistem kekerabatan di sini membahas yang ada di pulau jawa.
Dalam masyarakat Jawa, sistem kekerabatan didasarkan pada garis
keturunan bilateral (diperhitungkan dari dua belah pihak, ibu dan ayah).
Dengan prinsip bilateral atau parental ini, seorang Jawa berhubungan
sama luasnya dengan keluarga dari pihak ibu dan juga ayah. Kekerabatan
yang relatif solid biasnya terjalin dalam keturunan satu nenek moyang
hingga generasi ketiga. Namun demikian, kualitas hubungan keluarga inti
(nuclear family) dan keluarga luas (extended family) berbeda-beda antara
satu lingkaran keluarga dengan yang lainnya, bergantung pada kondisi
masing-masing keluarga. Dibanding warga yang bermukim di perkotaan,
masyarakat desa relatif lebih baik dalam menjaga nilai-nilai kekerabatan
dalam keluarga. Walaupun tidak terlepas dari imbas perubahan zaman,
setidaknya, tradisi kerjasama dalam keluarga besar masih terasa dalam
perayaan ritual adat, seperti pernikahan, kematian, pembangunan rumah,
dan lainnya.
Dalam perayaan pernikahan, misalnya, anggota keluarga besar
umumnya turut membantu kelancaran acara, terutama berhimpun dalam
dapur umum untuk mempersiapkan berbagai hidangan pesta bagi kaum
wanita, dan menata dekorasi tempat pernikahan bagi kaum pria.
Sebaliknya, kerabat yang punya hajat akan membekali mereka dengan

22
Islam dan Kebudayaan Jawa, h. 24.
23
Ragil Pamungkas, Lelaku dan Tirakat: Cara Orang Jawa Menggapai Kesempurnaan
Hidup. (Yogyakarta: Narasi, 2006), h. 31-32.
21

sejumlah makanan sepulangnya mereka. Selain pernikahan, ritual


berkabung atas kematian kerabat pun biasanya menjadi ajang untuk
berkumpul di tempat kerabat yang berkabung tersebut, dari mulai hari
kejadian, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hingga tiga tahun setelah
kematian. Sebagai tanda terimakasih, kerabat dan juga para tetangga
yang datang berpartisipasi akan dibekali makanan yang biasa disebut
berkat. Di samping pernikahan dan kematian, ritual lain yang biasanya
mengundang solidaritas kerabat adalah membangun rumah (puput
rumah), sunatan, lebaran, dan masih banyak yang lainnya. Pada hari-hari
tersebut, terlihat kebersamaan dan kerjasama dalam lingkaran keluarga
besar.
Pengertian Kekerabatan menurut antropologi adalah hubungan
seseorang atau entitas yang sama secara silsilah, keturunanan, maupun
adat yang sama. Kekerabatan bisa digunakan untuk mengelompokkan
seseorang. Artinya, melalui hubungan kekerabatan seseorang bisa
dikelompokkan ke dalam kelompok sosial. Contohnya, seseorang
dikatakan masuk ke dalam kelompok sosial jawa sehingga kelompok-
kelompok tersebut bisa dikatakan emmiliki hubungan kekerabatan. Hal
ini sesuai dengan pengertian diatas. Kekerabatan adalah seseorang yang
memiliki silsilah yang sama, melalui keturunan biologis maupun budaya.
Selain pengertian kekerabatan, ada juga sistem kekerabatan.
Sistem kekerabatan adalah cara yang digunakan atau aturang yang
digunakan untuk mengatur penggolongan orang-orang yang termasuk ke
dalam kerabat. Kekerabatan adalah identitas. Artinya, istilah kekerabatan
dapat digunakan untuk menetukan identitas seseorang. Identitas tersebut
untuk memudahkan dalam penggolongan seseorang ke dalam garis
kekerabatannya. Hal ini akan mempermudah anda dalam menggolongkan
seseorang. Hal ini dikarenakan sudah adanya sistem atau aturan yang
mengatur. Setiap daerah, bisa saja memiliki aturan yang berbeda dalam
menentukan identitas. Bukan hanya identitas bahkan nama bisa saja
22

berbeda. Aturan tersebut berdasarkan kepada perjanjian tidak tertulis dari


anggota masyarakat.
Sistem kekerabatan di bagi menjadi 2 yaitu Patrilineal dan
Matrilineal. Sedangkan Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang
mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.
Penganut patrilineal, antara lain:
a. Bangsa Arab
b. Suku Rejang
c. Suku Batak
Sedangkan matrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang
menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ibu. Penganut adat
matrilineal di Indonesia sebagai contoh adalah suku Minangkabau.
Adapun ciri-ciri dari sistem Matrilineal yaitu sebagai berikut;
a. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
b. Suku terbentuk menurut garis ibu.
c. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya atau
eksogami karena di Minangkabau dilarang kawin sesuku.
d. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
e. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi dan tinggal
dirumah istrinya.
f. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya
dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Menurut Koentjaraningrat, daerah asal suku Jawa adalah pulau Jawa
(terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur). Pulau Jawa terletak di bagian
selatan dari Kepulauan Indonesia. Suku Jawa hanya mendiami bagian tengah
dan bagian timur dari pulau Jawa, sementara bagian baratnya didiami oleh
suku Sunda. Pulau Jawa yang luasnya 7% dari seluruh wilayah Indonesia dan
dihuni oleh hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia adalah daerah asal
kebudayaan Jawa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata budaya mempunyai arti
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar untuk diubah. Sedangkan
menurut Jalaluddin, ia menyatakan bahwa kebudayaan dalam suatu
masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup
oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka
acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat, dan tradisi itu ialah sesuatu yang
sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat
pendukungnya.
Struktur sosial adalah pola perilaku dari setiap individu masyarakat
yang tersusun dari sebuah sistem. Struktur sosial menurut Raymond Firth
sebenarnya merupakan hubungan ideal antara bagian-bagian masyarakat yang
di dalamnya terdapat dinamika kehidupan individu yang konkret dari suatu
angkatan ke angkatan berikutnya dan menyebabkan suatu proses perubahan
yang dapat berlangsung lambat tetapi dapat juga cepat.
Nilai budaya merupakan gagasan yang dipandang bernilai bagi proses
kelangsungan hidup. Oleh karena itu nilai budaya dapat menentukan
karakteristik suatu lingkungan, kebudayaan di mana nilai tersebut dianut.
Nilai budaya baik langsung ataupun tidak langsung tentu diwarnai
tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk-produk kebudayaan yang
bersifat material. Dalam hal ini karakteristik kebudayaan Jawa dibagi menjadi

24
tiga macam: 1). Kebudayaan Jawa pra-Hindu-Budha, 2). Kebudayaan Jawa
pada masa Hindu-Budha, 3). Kebudayaan Jawa pada masa Kerajaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Boedhihartono. Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial). Jakarta: Raja
Grafindo, 2009.
Bustanudin, Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia: “Pengantar Antropologi
Agama.” Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa. Jakarta: CAPS, 2015.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
———. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2004.
M.C. Ricklefs. Mengislamkan Jawa (Sejarah Islamisasi Di Jawa Dan
Penentangnya Dari 1930 Sampai Terj. Islamisasi And Its Opponets.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013.
Niels, Mulder. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubabahan Budaya Jawa,
Muangthai dan Filipina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Pamungkas, Ragil. Lelaku dan Tirakat: Cara Orang Jawa Menggapai
Kesempurnaan Hidup. Yogyakarta: Narasi, 2006.
Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabert, 2011.
Raharjo, Supratikno. Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit
Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
Simuh. Sufisme Jawa: Transformasi Tassawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta:
Yayasan Bintang Budaya, 1996.

Anda mungkin juga menyukai