Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

WILAYAH KEBUDAYAAN JAWA TIMUR

“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia”

Disusun Oleh :

Anthony Filippo Osvaldo Limar 195110200111024


Filza Arifa 195110200111025
Gusti Aziz Pratama 195110200111037

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafaatnya di
akhirat nanti.
Kami ucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Manusia dan
Kebudayaan Indonesia dengan judul “Wilayah Kebudayaan Jawa Timur”. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen
kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Penulis juga
menekankan bahwa makalah ini tidak bertujuan untuk menyudutkan salah satu
pihak dan murni semata-mata untuk mengkaji mengenai isu yang berkembang di
tengah masyarakat tersebut. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Malang, 28 November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 2
A. Definisi Kebudayaan.................................................................................. 2
B. Wilayah Kebudayaan Jawa Timur.............................................................. 2
C. Kebudayaan Osing..................................................................................... 5
1. Masyarakat Osing................................................................................ 5
2. Wujud Budaya Idea............................................................................. 6
3. Wujud Budaya Tindakan..................................................................... 7
4. Wujud Budaya Artefak........................................................................ 9
D. Kebudayaan Tengger.................................................................................. 10
1. Identitas dan Kebudayaan Orang Tengger........................................... 10
2. Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger......................................... 12
E. Kebudayaan Samin...................................................................................... 14
1. Asal Muasal Masyarakat Samin........................................................... 14
2. Ajaran Samin........................................................................................ 16
3. Kebudayaan Masyarakat Samin........................................................... 17
4. Perkembangan Ajaran Samin............................................................... 18
F. Kebudayaan Pandalungan........................................................................... 20
1. Masyarakat Pandalungan..................................................................... 20
2. Budaya Pandalungan............................................................................ 21
3. Produk-produk Kesenian di Wilayah Pandalungan............................ 22
G. Kebudayaan Madura Kangean................................................................... 24
H. Kebudayaan Madura Pulau........................................................................ 25
1. Sejarah Madura Pulau.......................................................................... 25
2. Budaya Madura Pulau.......................................................................... 26
I. Kebudayaan Madura Bawean..................................................................... 29

iii
1. Identitas Masyarakat Madura Bawean................................................. 29
2. Kebudayaan Masyarakat Madura Bawean........................................... 30

J. Kebudayaan Jawa Mataraman..................................................................... 31

K. Kebudayaan Jawa Panaragan...................................................................... 32

1. Asal-Usul.............................................................................................. 32

2. Budaya Masyarakat.............................................................................. 33

L. Kebudayaan Arek........................................................................................ 35

BAB III PENUTUP............................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 38

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dalam wilayah negara


Republik Indonesia yang terletak di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Dengan
luas wilayah 47.922 km², dan jumlah penduduk 37.070.731 jiwa (2005),
menjadikan Jawa Timur merupakan wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau
Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia. Jawa Timur
berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di
selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat.

Budaya masyarakat di Provinsi Jawa Timur memiliki keunikan tersendiri.


Tidak seperti Jawa Tengah yang merupakan pusat budaya Jawa dan Jawa Barat
dan Banten yang dihuni oleh etnis yang berbeda, sebagian besar populasi Jawa
Timur adalah orang Jawa seperti di Jawa Tengah, tetapi memiliki ciri-ciri yang
berbeda. Etnis Jawa yang tinggal di Jawa Timur sangat bervariasi, yang secara
umum bisa digolongkan menjadi orang Jawa “Kulon/Kilen” dan Jawa
“Etan/Wetan.” Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur
daratan. Di samping itu, ada etnis dan sub etnis lain yang tinggal di Jawa Timur.
Sebagai contoh ada Suku Madura mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal
Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan.

Keberagaman budaya yang ada dipengaruhi faktor historis Jawa Timur


yang dahulu merupakan pusat kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Tanah
Jawa. Nama raja-raja besar dalam sejarah nasional, seperti Airlangga, Jayabaya,
Kertanegara, Ken Arok dan Hayam Wuruk merupakan nama besar dalam sejarah
Jawa Timur yang mempunyai perspektif nasional. Jawa Timur juga menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Para penyiar Islam atau biasa disebut Wali/Sunan
sebagian besar mendiami wilayah Jawa Timur.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kebudayaan
Sebelum membahas lebih dalam mengenai wilayah kebudayaan Jawa
Timur, kita harus memahami terlebih dahulu apa itu definisi kebudayaan.
Adapun pengertian kebudayaan menurut para ahli, adalah sebagai
berikut:
- Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
- E. B Taylor
Mengidentifikasi bahwa kebudayaan sebagai komplikasi (jalinan) dalam
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral
keagamaan, hukum, adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
manusia sebagai anggora masyarakat.
- Koentjaraningrat
Kebudayaan merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka memenuhi kehidupan manusia dengan cara belajar.

Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta karya


manusia yang terus berkembang dari generasi ke generasi. Bentuk kebudayaan
bisa berupa pengetahuan, norma, keagamaan, kesenian, kepercayaan, hukum
adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat.

B. Wilayah Kebudayaan Jawa Timur


Ayu Sutarto (dalam Basuki, 2010:3) mengelompokkan kebudayaan di
Jawa Timur menjadi delapan dengan ciri masing-masing. Pengelompokan
tersebut berdasarkan pada “wilayah kebudayaan” atau “tlatah”, yaitu Jawa
Mataraman, Jawa Panaragan, Arek, Samin, Tengger, Osing, Pandalungan,
Madura Pulau, Madura Bawean dan Madura Kangean.
Masyarakat Jawa Mataraman memiliki produk kebudayaan yang tidak
jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta.
Masyarakat Jawa Mataraman mempunyai pola kehidupan sehari-hari

2
sebagaimana pola kehidupan orang Jawa pada umumnya. Pola bahasa Jawa
yang digunakan, meskipun tidak sehalus masyarakat Surakarta dan
Yogyakarta, tetapi terpengaruh bahasa Jawa yang digunakan kerajaan Mataram
di Yogyakarta. Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial yang dianut
sebagaimana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam
dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, memberi warna budaya Mataraman
tersendiri bagi masyarakat ini. Sedangkan selera berkesenian masyarakat ini
sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam
masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak,
wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang
berkait dengan keraton seperti tari Bedhaya Keraton. Masyarakat Jawa
Mataraman ini pada umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah kabupaten
Ngawi, kabupaten dan kota Madiun, kabupaten Pacitan, kabupaten Magetan,
kabupaten dan kota Kediri, kabupaten Nganjuk, kabupaten Tulungagung,
kabupaten dan kota Blitar, kabupaten Trenggalek, kabupaten Tuban, kabupaten
Lamongan, dan kabupaten Bojonegoro.
Sedangkan komunitas Jawa Panaragan tinggal di kabupaten Ponorogo.
Secara kultural masyarakat Jawa Panaragan dikenal sangat menghormati
tokoh-tokoh formal yang berposisi sebagai pangreh praja, tetapi tokoh informal
seperti warok dan ulama juga memiliki status sosial cukup penting di daerah
ini. Jenis kesenian di wilayah ini sangat terkenal yaitu Reog Ponorogo. Banyak
kesenian yang dikenal di daerah ini, seperti lukisan kaca, Tari Tayub
(tandakan), dan yang sangat terkenal adalah Reog Ponorogo.
Populasi orang Samin secara relatif tinggal sedikit, tetapi secara kultural
pengaruhnya di masyarakat Jawa Timur relatif besar. Masyarakat Samin
mempunyai prinsip anti penjajah dan bersikap jujur. Masyarakat ini
menganggap manusia yang baik adalah manusia yang kata dan perbuatannya
adalah sama. Wilayah kebudayaan Samin berpusat di Blora Jawa Tengah,
namun persebarannya hinggi mencakup Jawa Timur, yaitu Bojonegoro.
Komunitas Arek dikenal mempunyai semangat juang tinggi, terbuka
terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal
sebagai komunitas yang berperilaku bandha nekat. Komunitas Arek ini juga

3
dikenal dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan
jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah ini. Berbagai kesenian
tradisional hingga modern cepat berkembang di wilayah ini. Kesenian
tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, wayang
purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian
China), Tayub, Tari Jaranan, dan sebagainya. Wilayah kebudayaan Arek
meliputi Surabaya, Malang, Mojokerjo, Gresik, dan Sidoarjo.
Sementara itu komunitas Madura dikenal sebagai komunitas dengan sikap
yang ulet dan tangguh. Hal itu disebabkan oleh alamnya yang kering dan relatif
kurang subur. Agama Islam menjadi nilai dasar sosial yang paling penting di
pulau ini. Struktur sosial masyarakat Madura yang Islam itu menempatkan kiai
menjadi aktor penting sekali dalam kehidupan masyarakat Madura. Sistem
pendidikan pesantren dan tradisi pendidikan pesantren sorogan dalam pelajaran
di pesantren menempatkan kiai menjadi agen penting dari kehidupan sosial
sosio-ekonomi masyarakat Madura. Kesenian yang berkembang di wilayah ini
banyak diwarnai nilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, Topeng
Dalang (di Sumenep), dan sebagainya.
Komunitas Pandalungan merupakan hasil sintesis antara budaya Jawa dan
Madura. Komunitas Pandalungan banyak tinggal di pesisir Pantai Utara Jawa
Timur dan sebagian Pesisir Selatan Jawa Timur bagian timur. Komunitas
Pandalungan tinggal kabupaten dan kota Pasuruan, kota dan kabupaten
Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Bondowoso. Masyarakat wilayah
Pandalungan ini sebagian besar mata pencahariannya dari bertani, buruh tani,
perkebunan, dan nelayan. Komunitas ini sangat dipengaruhi oleh budaya
Madura dan Islam. Bahasa sehari-hari masyarakat wilayah Pandalungan pada
umumnya adalah bahasa Madura. Kesenian yang berkembang di wilayah ini
bercorak Mataraman dan sekaligus Pandalungan. Hanya saja dasar nilai Islam
sangat kuat dalam berbagai corak kesenian rakyat.
Sementara itu komunitas Osing banyak tinggal di kabupaten Banyuwangi,
utamanya di kecamatan yang dekat dengan Pulau Bali. Masyarakat Osing
dikenal sebagai masyarakat tani yang rajin dan mempunyai bakat kesenian
yang baik sekali. Sebagian besar corak kesenian masyarakat Osing dipengaruhi

4
oleh budaya Jawa dan Bali. Karena jaraknya sangat dekat dengan Jember dan
mobilitas dengan wilayah Pandalungan lainnya, seperti Bondowoso,
Probolinggo, dan Situbondo maka pengaruh nilai Pandalungan nampak pula di
daerah ini. Di wilayah masyarakat Osing ini ada kesenian Gandrung
Banyuwangi, Kentrung, dan Burdah.
Masyarakat Tengger banyak tinggal di sekitar Gunung Bromo, wilayah
kabupaten Probolinggo. Masyarakat Tengger sebagian besar hidup dari bertani
dan hasil hutan. Masyarakat Tengger banyak dipengaruhi oleh nilai kerajaan
Majapahit. Karena itu nilai animisme dan Hindu masih kental sekali.
Karena banyaknya wilayah kebudayaan Jawa Timur, penyusun akan
membahas lebih dalam tiga wilayah kebudayaan saja, yaitu Osing, Tengger,
dan Samin.
C. Kebudayaan Osing
1. Masyarakat Osing
Dalam bahasa Osing, kata Osing (dibaca Using) itu sendiri berarti
“tidak” dan kata Osing” ini mewakili keberadaan orang Osing yang ada
di Banyuwangi. Suku Osing biasa disebut Wong Osing, Lare Osing,
dan Tiyang Osing yang berarti “saya orang Osing”.
Secara geografis, suku Osing mendiami daerah dalam kabupaten
Banyuwangi. Walaupun kehadiran suku-suku lain yang ada di
Banyuwangi seperti Jawa, Madura, dan Bugis, tidak merubah
pandangan umum termasuk orang Osing sendiri bahwa yang disebut
sebagai masyarakat Banyuwangi ialah masyarakat Osing. Kabupaten
Banyuwangi masyarakat Using tersebar di beberapa kecamatan seperti
Glagah, Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan
Genteng.
Sejarah terbentuknya suku Osing berawal dari akhir kekuasaan
Majapahit, dan dimulainya perang saudara dan pertumbuhan kerajaan
Islam di Jawa. Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan
Majapahit sejak awal abad ke-12, sejak tahun 1295 hingga tahun 1527.
Setelah kejatuhan Majapahit oleh kesultanan Malaka, kerajaan
Blambangan menjadi kerajaan sendiri. Namun dalam kurun waktu dua

5
abad lebih, antara tahun 1546 - 1764, kerajaan Blambangan menjadi
sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya. Perebutan kekuasaan inilah
yang berdampak pada terjadinya migrasi penduduk, perpindahan
ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru. Mereka mengungsi
ke berbagai tempat, yaitu ke lereng gunung Bromo (suku Tengger),
Bali, Blambangan (suku Osing) yang sekarang kita kenal sebagai
Banyuwangi.
2. Wujud Budaya Idea
- Kepercayaan Masyarakat Osing
Sebagian besar masyarakat Osing beragama Islam, dan
setengahnya lagi beragama Hindhu dan Budha. Penduduk suku Osing
masih menganut kepercayaan turun temurun dahulu sebelum datangnya
Islam. Suku Osing merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit yang
memiliki kepercayaan pada agama Hindhu dan Budha. Masyarakat
Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa, dan hukum
karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di
sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di bawah pohon atau
batu besar. Namun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah
Islam, hal tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah
Pantura (Pantai Utara).
Masyarakat Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya
yang erat kaitannya dengan hal mistis, beberapa tradisi masyarakat
Osing yang dianggap dekat dengan dunia mistis antara lain:
 Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/Jaran
Goyang. Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang
kita sukai. Jika orang terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak
akan bisa menolak orang yang menyukainya.
 Selametan setiap hari Senin dan Kamis di makam Buyut Cili
yang dilakukan oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun
sehabis melaksanakan suatu acara.
 Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila
kita dianggap menyakiti orang yang berasal dari suku Osing.

6
Penggambaran tentang santet dan keterkaitannya dengan suku
Osing ini diperparah dengan pemberitaan besar-besaran oleh
media mengenai isu tentang penculikan dan pembunuhan yang
terjadi di wilayah kabupaten Banyuwangi.
 Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang
kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan yang
kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina.
Sistem kepercayaan di suku Osing mengandung unsur
Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme
3. Wujud Budaya Tindakan
- Bahasa Osing
Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang
dinamakan bahasa Osing, yang merupakan turunan langsung dari
bahasa Jawa Kuno atau Basa Kawi yang dahulu digunakan pada masa
kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam
kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup
sampai abad ke-20. Namun bahasa Osing menggunakan dialek yang
berbeda dengan bahasa Jawa, dengan penekanan pada beberapa huruf.
Masyarakat Osing tidak mengenal hierarki ataupun stratifikasi
bahasa, tetapi mengenal santun bahasa yang digunakan terhadap
lawan bicara berdasarkan kategori usia, kekerabatan sosial, dan
pencerminan rasa hormat pada seseorang. Penggunaan bahasa Osing
di masyarakat lebih dominan pertama, digunakan dalam rumah tangga
sebagai alat komunikasi dan interaksi antar anggota rumah tangga.
Dalam komunitas Osing, oleh anggotanya bahasa Osing digunakan
sebagai lambang identitas dan pengembangan seni budaya daerah,
Sedangkan dalam ranah umum seperti pemerintahan, pendidikan,
penyuluhan, politik dan lain-lain, bahasa Indonesia digunakan lebih
dominan sebagai alat berkomunikasi. Walau pada beberapa situasi
terjadi proses alih bahasa dan pencampuran dengan bahasa daerah
lain.

7
Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa
Osing memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing
dan ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (Besiki). Dalam dialek
bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan pada
huruf, kekhususan atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh
bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata. Berikut
beberapa contoh kosa kata bahasa osing yang memiliki perbedaan
dengan bahasa Jawa:
Penekanan
Jawa Baku Osing Indonesia
Siji Sijai Satu
Pitu Pitau Tujuh
Palatalisasi
Jawa Baku Osing Indonesia
Abang Abyang Merah
Kabeh Kabyeh Semua

- Adat dan Tradisi Masyarakat


Di Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang
hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas
dari pengaruh kepercayaan mistis yang diyakini dan kesenian yang
telah diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku
Osing selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair, dan lagu.
Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di
Banyuwangi:
a. Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas hasil
panen.
b. Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil
panen.
c. Perang Bangkat : Upacara adat saat prosesi perkawinan
d. Geredhoan : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku
Osing.

8
e. Barong Idher Bumi : Perayaan iring-iringan Barong untuk
menolak bala.
f. Tari Seblang : Pertunjukan tari untuk menolak bala.
g. Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh
nelayan dan penduduk di pesisir.
4. Wujud Budaya Artefak
- Motif batik Gajah Oling
Motif batik Gajah Oling ini merupakan motif batik khas dari
Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di
ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat,
seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten, Seblang, dan lain-
lain. Selain sebagai motif pada kain, Gajah Oling juga terdapat pada
ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing.
- Rumah Adat
Karakteristik rumah Osing terletak pada bentuk dasar rumah
tersebut sekaligus dalam susunan secara berurutan dari depan ke
belakang sesuai dengan susunan ruangnya. Bentuk atapnya juga
merupakan indikator utama dalam membedakan bentuk dasar rumah
Osing. Arsitektur rumah Osing dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu Tikel
Balung, Baresan dan Cerocogan. Pola ruanganya sendiri terbagi
menjadi 3 susunan ruang, yaitu Bale (ruang tamu), Jrumah (kamar)
dan Pawon (dapur). Sedangkan bagian luar rumah terdiri dari Amper
(teras), Ampok (teras samping kanan-kiri).
Struktur bangunan pada rumah Osing Struktur utama rumah Osing
berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding
tanpa paku, tetapi menggunakan paju (pasak pipih). Penutup atap
menggunakan genteng kampung (sebelumnya adalah welitan daun
kelapa), dan biasanya masih berlantai tanah. Dinding samping dan
belakang serta partisi rumah Osing menggunakan anyaman bambu
(gedheg).
Rumah Osing yang memiliki ornamen biasanya menunjukkan
status ekonomi pemiliknya lebih baik. Ornamen yang ada banyak

9
terbuat dari pahat dan ukiran kayu, dengan bentuk yang geometris dan
motif flora. Ornamen dengan motif flora terdiri dari Peciringan
(bunga matahari), Anggrek, dan Ukel (sulur-suluran) seperti pakis,
anggrek atau kangkung. Motif geometris antara lain Slimpet
(swastika) dan Kawung.

D. Kebudayaan Tengger
1. Identitas dan Kehidupan Orang Tengger
Sejak masa Majapahit, Tengger dikenal sebagai wilayah yang
damai, tenteram, dan bahkan rakyatnya terbebas dari membayar pajak yang
disebut titileman. Jenderal Thomas Stamford Raffles sangat mengagumi orang
Tengger. Dalam buku The History of Java ia mengemukakan bahwa pada saat
berkunjung ke Tengger, ia melihat orang-orang disana hidup dalam suasana
damai, teratur, tertib, jujur, rajin bekerja, dan selalu gembira. Mereka tidak
mengenal judi dan candu. Ketika Raffles bertanya tentang perzinahan,
perselingkuhan, pencurian, atau jenis-jenis kejahatan lainnya, mereka yang
biasa disebut sebagai orang gunung itu menjawab bahwa hal-hal tersebut tidak
ditemui di Tengger (dalam Sutarto, 2006:1).
Kejujuran serta ketulusan orang Tengger masih dapat dilihat sampai hari
ini. Angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya hampir tidak ada.
Suasana damai, tenteram, aman, dan penuh toleransi yang tercermin dalam
kehidupan sehari-hari orang Tengger dapat dijadikan acuan dalam periode
formatif Indonesia modern. Tengger adalah sebuah pusaka saujana (cultural
landscape) yang apabila dibina dan dikelola dengan benar, eksistensinya akan
memberi sumbangan yang lebih berarti bukan hanya bagi dirinya, melainkan
juga bagi bangsa Indonesia.
Identitas orang Tengger terkesan problematis, mereka bukan suku primitif,
suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa. Jumlah mereka
tidak banyak, yakni sekitar 100.000 dari jumlah penduduk Jawa. Seperti halnya
populasi-populasi kecil yang berada di tengah-tengah masyarakat yang sedang
berkembang, Tengger kekurangan referensi untuk menemukan kembali jati diri
dan sejarah mereka. Sebelum munculnya gerakan reformasi Hindu pada tahun

10
1980-an, upaya orang Tengger untuk mendefinisikan kembali warisan
leluhurnya dalam kaitannya dengan masyarakat Jawa hanya besandar pada
sumber-sumber budaya setempatnya.
Sampai saat ini yang disebut “desa Tengger” sangat problematis karena
beberapa desa dulu dikenal sebagai “desa Tengger” sekarang tidak lagi
melaksanakan adat-istiadat Tengger. Anggapan yang berkembang akhir-akhir
ini, terutama yang muncul dalam tulisan, brosur, dan penelitian-penelitian
tentang Tengger, yang dimasukkan ke dalam “desa Tengger” adalah desa-desa
dalam wilayah 4 kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan
masih memegang teguh adat-istiadat Tengger. Desa-desa yang dimaksud
adalah Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (kecamatan
Sukapura, kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso
(kecamatan Sumber, kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng,
Ngadiwono, Podokoyo (kecamatan Tosari, kabupaten Pasuruan), Keduwung
(kecamatan Puspo, kabupaten Pasuruan), Ngadas (kecamatan Poncokusumo,
kabupaten Malang), dan Argosari serta Ranu Pani (kecamatan Senduro,
kabupaten Lumajang).
Orang Tengger dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh, bertempat
tinggal berkelompok-kelompok di bukit-bukit yang tidak jauh dari lahan
pertanian mereka. Suhu udara yang dingin membuat mereka betah bekerja di
ladang sejak pagi hingga sore hari. Persentase penduduk yang bermata
pencaharian sebagai petani sangat besar, yakni 95%, sedangkan sebagian kecil
dari mereka (5%) hidup sebagai pegawai negeri, pedagang, buruh, dan usaha
jasa. 4 Bidang jasa yang mereka tekuni antara lain menyewakan kuda tunggang
untuk para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, menjadi sopir jeep
(biasanya miliknya sendiri), dan menyewakan kamar untuk para wisatawan.
Hasil pertanian yang utama adalah sayur mayur, seperti kobis, kentang, wortel,
bawang putih, dan bawang prei. Lahan mereka juga cocok untuk tanaman
jagung.
Pada awalnya jagung adalah makanan pokok orang Tengger. Pada saat ini
mereka kurang suka menanam jagung karena nilai ekonominya rendah dan
menggantinya dengan sayur-sayuran yang nilai ekonominya tinggi. Meskipun

11
begitu, sebagian lahan pertanian mereka masih ditanami jagung karena tidak
semua orang Tengger mengganti makanan pokoknya dengan beras. Hanya saja,
untuk memanen jagung, orang Tengger harus menunggu cukup lama, hampir
satu tahun. Sampai sekarang nasi aron Tengger (nasi jagung) masih tercatat
sebagai makanan tradisional dalam khazanah kuliner Nusantara.
2. Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger
Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah
Tengger adalah sebagai berikut.
a. Upacara Kasada
Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang
sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang
diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat
bulan purnama. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur
orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa
Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan
dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya.
Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang
Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu
dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.
Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa,
melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung Bromo.
Permintaan itu ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan
(dilabuh) di Kawah Bromo.
b. Upacara Karo
Perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada
bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan
Lebaran atau hari raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia
tersebut orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara
maupun tetangga, untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-
maafan. Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama
waktu itu berpuluh-puluh ternak, kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi

12
disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga yang kurang mampu,
pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan.
Bagi orang Tengger, hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-
tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu tersebut merupakan
saat yang penuh suka cita dan pesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin
menebus seluruh kecapekan dan kejenuhan kerja seharian penuh di ladang
yang telah mereka jalani selama satu tahun. Seluruh lapisan masyarakat
Tengger, tua-muda, besar-kecil, Hindu, Kristen, Budha maupun Islam menyatu
dalam suka cita perayaan Karo. Hari raya Karo akan makin meriah apabila
hasil panen orang Tengger bagus.
c. Upacara Unan-Unan
Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu
menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini
dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan
menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal
yang sempurna, yaitu Nirwana. Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’,
maksudnya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang
diperbuat selama satu windu. Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih
kerbau sebagai kurban.
d. Upacara Entas-Entas
Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah
meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya
upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan
besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut
dimakan dan sebagian dikurbankan.
e. Upacara Pujan Mubeng
Upacara ini diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong
Kesanga, yakni pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger,
tua-muda, besar-kecil, berkeliling desa bersama dukun mereka sambil
memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi
empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari
gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan

13
bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan
warga desa.
f. Upacara Tugel Kuncung atau Tugel Gombak
Upacara ini diselenggarakan oleh orang Tengger ketika anak
mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang bersangkutan
dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa.
g. Upacara Barikan
Upacara ini diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam,
gerhana, atau peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger.
Jika kejadian-kejadian alam tersebut memberi pertanda buruk maka lima atau
tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang Tengger mengadakan upacara
barikan agar diberi keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak sengkala)
yang bakal datang. Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut
menurut ramalan berakibat baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda
terima kasih kepada Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh
warga berkumpul dipimpin oleh kepala desa dan dukun mereka. Biaya upacara
barikan ditanggung oleh seluruh warga desa.

E. Kebudayaan Masyarakat Samin


1. Asal Muasal Masyarakat Samin

Suku Samin atau biasanya disebut sebagai Masyarakat Samin adalah


salah satu masyarakat yang menganut ajaran dari Samin Surentiko yang
nama aslinya Raden Kohar. Ia dilahirkan di desa Ploso Kedhiren,
Randublatung, pada 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang pada
tahun 1914. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal
dengan Samin Sepuh. Masyarakat Samin pada umumnya bertempat
tinggal di perbatasan provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bojonegoro
dan Blora adalah wilayah konsentrasi suku Samin. Masyarakat Samin pada
umumnya menyebut diri mereka dengan istiah wong sikep karena mereka
menganggap Samin mengandung makna negatif yaitu orang-orang
nyelneh atau orang-orang menyimpang.

14
Semula ajaran itu tidak serta merta menarik minat pemerintah dan
tidak juga menimbulkan persoalan bagi pemerintahan kolonial. Namun
sekitar tahun 1905 terjadi perubahan, karena para pengikut Samin mulai
menarik diri dari kehidupan umum di desanya, menolak memberikan
sumbangan pada lumbung desa dan menggembalakan ternaknya bersama
ternak yang lain, sehingga pada waktu itu masyarakat Samin dapat
diidentifikasikan sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya
dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elit penguasa masa itu yaitu
pemerintahan kolonial.

Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu sekali, berbicara apa


adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam berbahasa karena bagi
mereka tindak tanduk orang jauh lebih penting daripada halusnya tutur
kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Samin Lugu, dan Samin Sangkak,
yang mempunyai sikap melawan dan pemberani. Kelompok ini mudah
curiga pada pendatang dan suka membantah dengan cara yang tidak masuk
akal. Ini yang sering menjadi stereotip dikalangan masyarakat Bojonegoro
dan Blora.

Suku Samin memiliki kitab suci yang popular dan dimuliakan bernama
Serat Jamus Kalimasada. Kitab tersebut terdiri atas beberapa buku, yakni
Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-Uri Pembudi,
Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.

Mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat pada umumnya


merupakan bentuk penolakan Masyarakat Samin terhadap pendudukan
Belanda. Penjajahan Belanda yang memakan waktu sangat lama semakin
melunturkan nilai dan tradisi masyarakat dan membuat bangsa Indonesia
terpaksa harus menelan mentah-mentah apa yang dianut oleh kolonial
sebagai penguasanya. Oleh karena itu, Masyarakat Samin berusaha untuk
tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilainya meski harus terisolasi dari
kehidupan luar. Masyarakat Samin pada perkembangannya menjadi
masyarakat yang terpencil dan jauh dari sentuhan pendidikan dan
teknologi. Akibat terlalu kuatnya mempertahankan nilai dan tradisi,

15
Masyarakat Samin justru mengalami ketertingalan. Namun, dibalik
ketertinggalan tersebut, Masyarakat Samin memiliki nilai dan norma luhur
yang menjadi citra budaya bangsa Indonesia.

2. Ajaran Samin
Ajaran Samin merupakan ajaran lelakon tentang kehidupan manusia di
dunia untuk selalu hidup dengan baik, gotong royong, saling membantu
sesama. Dalam ajaran itu juga disebutkan adanya ajaran milik bersama.
Karena adanya prinsip untuk selalu bersama-sama dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga orang yang menganut ajaran tersebut dinamakan
Samin. Jadi, timbulnya sebutan itu berasal dari kata sami-sami atau sama-
sama, berarti bahwa manusia berasal dari dzat yang sama. Oleh karena itu,
manusia memiliki hak dan derajat yang sama di dalam segala kehidupan,
baik dalam bidang sosial maupun bidang pemerintahan.
Ajaran Samin mempunyai tujuan untuk membentuk manusia Jawata
atau manusia yang sempurna. Untuk menjadi manusia yang sempurna
terlebih dahulu harus menjadi . Sikep juga diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang harus sesuai dengan kata-kata yang diucapkan. Hal-hal yang
tercermin dalam ajarannya yaitu:
 “Jujur marang awake dhewe”, artinya jujur pada diri sendiri (tidak
berbohong).
 “Sing dititeni wong iku rak unine”, artinya yang dipercaya orang itu
adalah ucapannya.
 “Sing perlu rak isine dudu njabane”, artinya yang terpenting adalah
batin seseorang bukan lahirnya saja.

Ajaran Samin mempercayai adanya hukum karma. Karma berasal dari


bahasa Sanskerta “karma” yang artinya berbuat, jadi dalam konteks ini
semua perbuatan adalah karma. Semua orang menerima akibat dari hasil
perbuatannya. Sesuai dengan falsafah orang Samin bahwa wong iku bakal
ngunduh wohing pakarti, artinya orang yang menanam kebaikan dia akan
memetik hasil kejahatannya. Falsafah ini tidak berbeda dengan becik ketitik
ala ketara, artinya suatu tindakan yang baik akan berakibat baik dan berbuat

16
buruk akan berakibat buruk pula. Ajaran Samin percaya akan adanya
reinkarnasi, yaitu penjelmaan manusia kembali sesudah mati atau pokok
persoalan sangkan paran. Jika semasa hidupnya berbuat kebaikan, maka
orang yang meninggal akan menitis pada binatang. Ajaran Samin
mengarahkan pada kejujuran, dan kesabaran. Sabar dan tawakal merupakan
senjata yang ampuh dalam menghadapi malapetaka.

3. Kebudayaan Masyarakat Samin

Masyarakat Samin cenderung polos tetapi tidak mempercayai


pemerintah. Walaupun masa kolonial Belanda berakhir, mereka masih
belum mempercayai negara Indonesia. Walaupun begitu, seiring
perkembangan jaman, masyarakat Samin mulai menaruh kepercayaan
kepada Indonesia. Pakaian masyarakat Samin menggunakan baju lengan
panjang berwarna hitam tanpa kerah dengan ikat kepala untuk pria,
sedangkan wanita menggunakan kebaya lengan panjang.

Salah satu upacara dalam masyarakat Samin adalah upacara untuk


menyambut bulan Sura dalam kalender Jawa. Tradisi ini berupa syukuran
yang biasa disebut sebagai Suronan atau brokohan. Brokohan masyarakat
Samin tidak tersentuh konsep modern yang menggunakan sajian prasmanan.
Mereka pada umumnya menyuguhkan tumpeng yang jumlahnya disesuaikan
dengan jumlah warga. Tradisi masyarakat Samin tersebut juga dilanjutkan
dengan pementasan Wayang Krucil dan pembawaan lakon Babat Blora.
Pagelaran tersebut dilakukan diiringi gamelan laras slendro.

Tradisi perkawinan dalam masyarakat Suku Samin merupakan salah


satu budaya masyarakat yang selalu dipegang teguh, pola perkawinan
menjadi pola dalam kehidupan masyarakat. Hampir 100% masyarakat desa
Klopoduwur juga beragama Islam, sehingga bagi mereka yang telah dan
akan melangsungkan perkawinan akan dicatatkan di Kantor Urusan Agama,
bukan di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan dalam masyarakat Suku Samin
mempunyai beberapa tahapan yaitu:

17
 Nakokke
Nakokke yaitu kedatangan keluarga calon pengantin laki-laki ke
keluarga calon pengantin wanita untuk menanyakan kesediaan calon
pengantin wanita, apakah sudah mempunyai calon suami atau masih
gadis.
 Mbalesi Gunem
Mbalesi Gunem adalah ketika keluarga dari calon pengantin wanita
bergantian datang ke kediaman calon pengantin laki-laki untuk
menjawab proses nakokke.
 Ngendek
Ngendek adalah pernyataan calon besan dan keluarga pengantin laki-
laki kepada bapak ibu calon pengantin wanita.
 Nyuwito
Nyuwito adalah hari dilangsungkannya perkawinan didasari niat
pengantin laki-laki untuk meneruskan keturunan (wiji sejati, titise
anak Adam).
 Ngenger
Calon suami akan tinggal di rumah calon istri sebelum memasuki
jenjang pernikahan secara sah bagi masyarakat. Ini merupakan
kewajiban kedua calon mempelai.
 Paseksen
Paseksen adalah forum ungkapan pengantin pria di hadapan orang
tua (mertua) yang dihadiri pengantin wanita, keluarga, dan tamu.
4. Perkembangan Ajaran Samin

Selama periode kolonial bermunculan gerakan protes di Jawa,


bentuk gerakan protes tersebut bermacam-macam di berbagai daerah.
Permasalahan tanah komunal dan tanah hutan pada periode akhir abad
ke 19 dan awal abad ke 20 memegang peranan penting dalam
mendorong timbulnya gerakan protes petani. Masalah tersebut
merupakan kenyataan akan adanya krisis akibat dominasi bangsa Barat
dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di Blora.

18
Tahun 1890 Samin Surosentiko memperhatikan keadaan
masyarakat sekitarnya hidup dalam kesulitan dan kekurangan yang
berkepanjangan. Maka, ia berkeinginan untuk mendapat petunjuk dari
Tuhan dengan jalan bertapa. Selama bertapa, Samin Surosentiko
mendapat wahyu yang berisi bahwa apabila hendak memberikan
pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan dan
kekurangan hendaknya membentuk suatu perkumpulan. Dalam 10
tahun perkumpulan tersebut mendapat simpati dari warga masyarakat
sekitarnya. Mereka datang dari desa Klopoduwur, Sambongrejo, dan
beberapa desa di daerah Blora untuk berguru tentang ajaran Samin
sebagai pengobat rasa frustasi yang disebabkan pelaksanaan politik
kolonial liberal yang telah merampas hak mereka.

Sebagai pendekatan ajaran Samin, metode yang dipakai adalah


dengan ceramah umum yang dilaksanakan di balai desa, tanah lapang.
Isi ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Samin Surosentiko adalah
tentang kebaikan, yakni sikap hidup yang tenang, teduh, mandiri, dan
pengabdian diri.

Dalam masa setelah tahun 1903, gerakan Samin mulai


menunjukkan corak dan sifatnya. Pada tahun 1905 pengikut Samin
mulai meninggalkan adat istiadat pedesaan. Mereka mulai menolak
untuk memberikan setoran padi di lumbung desa, mulai membangkang
untuk membayar pajak tetapi tetap membantu secara sukarela, dan
menolak untuk mengandangkan sapi dan kerbau mereka di kandang
umum bersama orang-orang desa lainnya yang bukan Masyarakat
Samin. Sikap yang demikian itu sangat membingungkan dan
menjengkelkan para pamong desa. Sikap tersebut dipelopori oleh
Samin Surosentiko.

19
F. Kebudayaan Pandalungan
1. Masyarakat Pandalungan
Masyarakat Pandhalungan atau disebut Pandalungan adalah
wilayah masyarakat yang tinggal di kawasan daerah utara dan timur Jawa
Timur. Secara budaya, masyarakat Pandalungan adalah masyarakat
hibrida, yakni masyarakat berbudaya baru akibat terjadinya percampuran
dua budaya dominan. Budaya Pandalungan adalah percampuran antara dua
budaya dominan yaitu budaya Madura dan Jawa Timur. Pada umumnya
orang-orang Pandalungan bertempat tinggal di daerah perkotaan. Secara
administratif, kawasan kebudayaan Pandalungan meliputi kabupaten
Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang.
Dalam konteks geopolitik dan geososio-kultural, masyarakat
Pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda. Masyarakat
tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tapal kuda,
yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan
mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik
tertentu dan telah lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan
kaum abangan. Pendukung Islam kultural dimotori oleh para kiai dan
ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh tokoh-tokoh politik dan
tokoh-tokoh yang tergabung dalam aliran kepercayaan.
Tulisan, buku, dan kajian tentang masyarakat Pandalungan masih
sangat terbatas. Tetapi tulisan tentang peristiwa-peristiwa sosial-politik
yang mencuat di kawasan “keras” ini telah cukup banyak, terutama tulisan
tentang kekerasan politik dan politik kekerasan, atau kekerasan budaya
dan budaya kekerasan. Tulisan ini akan mendeskripsikan secara singkat
apa dan siapa, serta kehidupan sehari-hari masyarakat Pandalungan.
Kawasan Pandalungan yang telah secara jelas menunjukkan ciri-ciri
budaya hibrida adalah wilayah pantai utara dan bagian timur provinsi Jawa
Timur. Pada umumnya, orang-orang Pandalungan bekerja di sektor-sektor
pertanian, perkebunan, perdagangan informal, dan PNS.

20
2. Budaya Pandalungan
Wilayah tapal kuda adalah tanah tumpah darah kedua orang
Madura Pulau dan tempat “mengejar rezeki” orang-orang yang berasal dari
kawasan budaya Jawa Panaragan, Jawa Mataraman, dan kawasan
kebudayaan Arek. Kesulitan sosial ekonomi dan kondisi geografis pulau
Madura yang pada saat itu sangat gersang, telah mendorong orang-orang
Madura Pulau bermigrasi ke kawasan tapal kuda. Kepentingan sosial-
ekonomi merupakan faktor dominan yang mewarnai peristiwa migrasi
tersebut. Mereka datang dengan kemauan sendiri atau direkrut oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh
perkebunan. Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun,
dan ulet sehingga menarik perhatian mereka.
Tipe kebudayaan orang Pandalungan adalah kebudayaan agraris-
egaliter. Penanda simbolik yang tampak jelas dari tipe kebudayaan ini
terdapat pada seni pertunjukan yang digeluti dan penggunaan bahasa
sehari-hari yang secara dominan menggunakan ragam bahasa kasar dan
bahasa campuran. Konsep Pandalungan mirip dengan konsep melting pot
di Amerika Serikat, yakni kemenyatuan beberapa kelompok etnik. Secara
etimologis, kata pandhalungan berasal dari bentuk dasar bahasa Jawa
dhalung yang berarti “periuk besar”. Pengertian simbolik-kultural kata
pandhalungan adalah kawasan yang menampung beragam kelompok etnik
dengan berbagai latar belakang budaya, yang kemudian melahirkan
tipologi kebudayaan baru yang mengambil unsur-unsur budaya yang
membentuknya.
Dilihat dari perilakunya sehari-hari, orang Pandalungan sangat
akomodatif dan menghargai perbedaan. Di kawasan ini hampir tidak
pernah terjadi konflik antar kelompok etnik. Jika terjadi konflik, akar
konflik lazimnya berupa kecemburuan sosial yang bernuansa pribumi dan
nonpribumi, atau bernuansa keagamaan. Orang Pandalungan juga dikenal
tidak suka basa-basi. Jika merasa tidak senang, mereka akan segera
mengungkapkannya. Sebaliknya, jika merasa senang, mereka pun akan
segera mengatakannya. Seperti halnya masyarakat yang bertempat tinggal

21
di wilayah kebudayaan Arek, orang Pandalungan juga suka mengucapkan
kata-kata makian, baik untuk mengungkapkan kejengkelan atau
kemarahan maupun untuk mengiringi ucapan selamat atau ekspresi
kegembiraan.
Etika sosial, seperti tata krama, sopan-santun, atau budi pekerti
orang Pandalungan berakar pada nilai-nilai yang diusung dari dua
kebudayaan yang mewarnainya, yakni kebudayaan Jawa dan kebudayaan
Madura. Dalam perkembangan selanjutnya, budaya orang Pandalungan
sangat sarat dengan nuansa Islam. Hal itu terjadi karena di wilayah ini
ulama dan kiai bukan hanya menjadi tokoh panutan, melainkan juga tokoh
yang memiliki akar kuat pada beberapa kekuatan politik.
Secara garis besar, ciri-ciri masyarakat Pandalungan adalah sebagai
berikut.
 Sebagian besar agraris tradisional, berada di pertengahan jalan
antara masyarakat tradisonal dan masyarakat industri; tradisi dan
mitos mengambil tempat yang dominan dalam kesehariannya.
 Sebagian besar masih terkungkung oleh tradisi lisan tahap pertama
(primary orality) dengan ciri-ciri suka mengobrol, ngrasani
(membicarakan aib orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan
pendapat yang berlaku umum.
 Terbuka terhadap perubahan dan mudah beradaptasi.
 Ekspresif, transparan, tidak suka memendam perasaan atau berbasa
basi.
 Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang
diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan.
 Ikatan kekeluargaan sangat solid sehingga penyelesaian masalah
seringkali dilakukan dengan cara keroyokan.
 Sedikit keras dan temperamental.
3. Produk-produk Kesenian di Wilayah Pandalungan
 Musik Patrol
Seni musik patrol merupakan jenis seni musik yang instrumennya
terbuat dari bambu. Secara historis seni ini terinspirasi oleh kegiatan jaga

22
malam yang dilakukan para peronda. Iramanya sangat dinamik, dan jenis
musik ini dipakai untuk mengiringi lagu-lagu tradisional Madura, Jawa,
atau Banyuwangi. Dalam perkembangannya, para seniman musik patrol
banyak melakukan modifikasi, baik pada perangkat instrumen maupun
lagu-lagu yang dipilihnya. Bahkan, pada seni patrol jenis hiburan, lagu-
lagu pop yang sedang favorit pun dibawakan.
Instrumen-instrument tersebut antara lain :
a. Dhung-dhung, bambu besar sepanjang +80 cm dengan alat
penabuhnya, berfungsi sebagai kendang
b. Gong, dua buah bambu terikat dalam satu bentuk insrumen,
ditabuh dengan alat penabuh yang dililit karet, berfungsi
sebagai gong besar dan gong kecil
c. Krucilan, perangkat angklung, berfungsi sebagai pengiring lagu
d. Seruling
e. Kempul, bambu yang berdiameter relatif kecil dan dipukul
dengan penabuh yang juga dari bambu, berfungsi sebagai
pengiring gong.
 Lengger
Lengger adalah tarian rakyat yang mirip tandhak atau tledhek yang
dikenal dalam wilayah kebudayaan Jawa Timur. Awalnya berupa tarian
ritual yang terkait dengan mitos Dewi Kesuburan/Dewi Padi. Sekarang
tarian ini hanya digunakan sebagai hiburan.
 Can Makanan Kadduk
Tarian rakyat Jember yang merupakan produk masyarakat agraris
Pandalungan. Taian ini melambangkan harimau atau macan yang
diposisikan sebagai hewan yang sangat ditakuti.
 Singo Ulung
Tarian rakyat dari kabupaten Bondowoso. Dalam legendanya, Singo
Ulung merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang bernama
Juk Seng, bangsawan dari Blambangan yang suka mengembara.

23
 Kentrung
Pelantunan pantun Madura yang diiringi bunyi rebana atau terbang.
Seni ini banyak dijumpai di sekitar Madura. Salah satu tokoh yang
terkenal ialah Nur Subakti. Ia telah menjadi seniman kentrung sejak tahun
1945.
 Janger
Janger adalah sandiwara rakyat yang pementasannya mirip dengan
ketoprak yang terdapat dalam wilayah kebudayaan Jawa. Janger berpentas
hingga pagi hari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura.
 Jaran Kencak
Jaran kencak atau kuda kencak adalah kuda yang dilatih menari. Selain
menari, kuda ini juga mengenakan aksesoris warna-warni. Hewan-hewan
yang pandai menari ini biasa ditanggap untuk memeriahkan hajatan atau
upacara-upacara tertentu.
G. Kebudayaan Madura Kangean
Masyarakat Kangean memiliki kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar
pulau Kangean), meskipun Kangean masih berada termasuk bagian dari
pulau Madura dan berada di wilayah Indonesia tapi karena faktor wilayah
membuat kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu
daerah-ke daerah lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan.
Untuk kebudayaan masyarakat Kangean sendiri berbeda dengan
kebudayaan masyarakat lainnya, termasuk dengan kebudayaan Jawa
Timur (Surabaya, Malang dll) meskipun kangean masih satu provinsi
dengan mereka. Masyarakat Kangean memiliki corak, karakter dan sifat
yang berbeda dengan masyarakat Madura dan Jawa. Masyarakatnya yang
santun, membuat masyarakat kangean disegani, dihormati bahkan
“ditakuti” oleh masyarakat yang lain.
Masyarakat Kangean masih mempercayai dengan kekuatan magis,
dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan
peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat kangean.
Salah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis tersebut

24
adalah terhadap benda pusaka yang berupa keris atau jenis tosan aji dan
ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan
larung sesaji).
Untuk bahasa masyarakat Kangean memiliki bahasa daerahnya
sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarakat asli Kangean dimana
pun berada sesamanya. Bahasa Kangean banyak terpengaruh oleh bahasa
Madura, Jawa, Melayu, Bugis, bajo dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa
Madura dan Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa
sebagai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas pulau Kangean pada
masa lampau.
Untuk kesenian sendiri Kangean memiliki beberapa kesenian
tradisional yaitu karapan sapi, topeng, gelok-gelok dan lombe (lomba
kerapan menggunakan kerbau). Karapan kerbau adalah perlombaan
pacuan kerbau yang sudah berlangsung sejak dulu. Karapan kerbau juga
dapat menaikkan status sosial pemilik kerbau bila kerbau miliknya bisa
juara dalam perlombaan tersebut.

H. Kebudayaan Madura Pulau


1. Sejarah Madura Pulau
Pada tahun 4000 hingga 2000 sebelum Masehi, terjadi perpindahan
besar-besaran orang-orang dari daratan Asia ke pulau-pulau di kawasan
nusantara. Perpindahan ini terjadi selama kurun waktu kurang lebih 2000
tahun. Dengan perpindahan yang terjadi dalam berbagai gelombang,
bangsa yang tadinya memiliki bahasa dan budaya sama menjadi terpecah
belah. Perbedaan daerah yang didiami juga membuat budaya, bahasa, dan
adat istiadat masing-masing kelompok semakin berbeda, demikian juga
yang terjadi dengan suku Madura.
Penduduk suku Madura juga diyakini sebagai orang-orang dari
daratan Asia besar yang bermigrasi karena ditemukannya peninggalan
purbakala berupa kapak dan bejana perunggu di Sampang, Madura yang
bertipe sama dengan yang ada di Cina Selatan.

25
2. Kebudayaan Madura Pulau
a. Ciri Khas
Pulau Madura memang sangat dekat dengan pulau Jawa, tapi sejak
dahulu orang Madura dikenal memiliki berbagai perbedaan yang
signifikan dari suku Jawa. Dari segi fisik, suku Madura terkenal memiliki
tubuh yang lebih berotot, tegap, tidak terlalu tinggi, berwajah lebar, dan
tulang pipi cenderung menonjol sehingga memberikan kesan garang.
Kemudian mengenai kepribadiannya, orang-orang dari suku ini terkenal
tangguh dan pemberani. Mungkin hal ini disebabkan karena profesinya
sebagai pelaut yang sehingga kebanyakan dari mereka berjiwa petualang.
Suku ini menganut sistem kekerabatan parental, yaitu menghubungkan diri
dengan kedua orang tuanya dengan bobot yang sama.
b. Rumah Adat
Tanean Lanjhang merupakan nama rumah adat dari suku Madura.
Berbeda dengan rumah adat suku lain yang hanya terdiri dari satu rumah,
Tanean Lanjhang merupakan kumpulan rumah yang dihuni beberapa
keluarga. Susunan rumahnya tak sembarangan, melainkan disusun
berdasarkan kedudukannya dalam keluarga. Umumnya, Tanean Lanjhang
dibangun di dekat mata air, sungai, atau ladang. Kediaman khas Madura
yang seperti ini menggambarkan karakteristik hubungan kekerabatan
mereka yang sangat kuat.
c. Tarian Adat
Suku Madura memiliki tiga jenis tarian adat, yaitu Rampak Jidor,
Topeng Gethak, dan Rondhing. Rampak Jidor adalah jenis tarian religius
karena diiringi dengan puji-pujian terhadap Allah SWT. Tarian ini
menggambarkan sistem religi masyarakat Madura yang kental dengan
budaya Islam. Topeng Gethak merupakan tarian yang menggambarkan
perjuangan warga Pamekasan di masa perjuangan kemerdekaan. Sebelum
dinamai Topeng Gethak, tari ini bernama Klonoan yang artinya berkelana.
Serta terakhir, yaitu Tari Rondhing yang asalnya dari kata rot dan kot –
konding. Rot artinya mundur, sedangkan kot – konding maknanya bertolak
pinggang. Tari ini menggambarkan gerakan pasukan yang baris-berbaris.

26
d. Pakaian Adat
Baju adat khas Madura untuk kaum laki-laki biasanya disebut
Pesa’an. Pakaian ini terdiri atas kaos belang merah hitam atau merah putih
yang dilengkapi celana dan baju hitam longgar. Pakaian tersebut
digunakan bersama penutup kepala bernama Odheng, sarung motif kotak-
kotak, dan sabuk Katemang. Sedangkan untuk kaum wanita, pakaian
adatnya disebut Kebaya Rancongan yang biasanya didominasi warna-
warna seperti merah, hijau, biru. Untuk menyempurnakan penampilan,
kebaya ini juga dipadukan dengan sarung batik motif storjan, lasem, atau
tabiruan.
e. Upacara Adat
Seperti halnya suku lain, orang-orang Madura juga memiliki
berbagai upacara adat. Pertama, yaitu Tradisi Rokat atau petik laut yang
dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan dengan cara
melarung sesaji ke laut. Kedua adalah Nyadar yang digelar tiga kali dalam
setahun oleh warga desa Pinggir Papas. Upacara ini dilakukan dengan
tabur bunga di makam leluhur, berdoa, hingga menginap di makam untuk
kemudian diadakan selamatan keesokan harinya. Ketiga, yaitu Ritual
Ojung yang dilakukan oleh dua orang laki-laki dengan saling beradu fisik
menggunakan rotan sebagai alat pemukul. Tradisi ini dilakukan untuk
memohon agar hujan segera turun.
f. Makanan Khas
Orang Madura punya berbagai jenis makanan khas yang
menggugah selera. Beberapa di antara adalah sate Madura yang terbuat
dari daging ayam, kambing, atau sapi yang diguyur saus kacang dan
kecap. Tokak ladhe yang terdiri dari dari irisan daging, jeroan sapi, telur,
kacang panjang, dan pepaya muda. Makanan ini biasanya disajikan
bersama ketupat di hari raya Idul Fitri. Kemudian ada bebek Songkem
yang diberi bumbu dan dikukus dengan daun pisang. Hidangan ini
biasanya disajikan dengan sambal dan lalapan.

27
g. Mata Pencaharian
Tinggal di sebuah pulau yang tergolong kecil membuat sebagian
besar masyarakat Madura berprofesi sebagai nelayan, pelaut, atau petani
garam. Meski dekimian, banyak juga orang-orang yang mengerjakan
sawah atau ladang di bagian pedalaman pulau. Saat ini, profesi dari
masyarakat Madura sudah semakin beragam. Ada yang menjadi pegawai
swasta, guru, pegawai pemerintahan, petani, nelayan, dan lain-lain.
h. Agama
Seperti halnya daerah lain di Indonesia, penduduk Madura
memiliki agama yang beragam. Ada yang Islam, Kristen, Katholik, dan
lain-lain. Namun, masyarakat Madura sejak lama didominasi oleh orang-
orang muslim. Jadi, tak heran jika kebudayaannya pun banyak yang
bernapaskan Islam. Di bidang seni, mereka punya Tari Rampak Jidor atau
biasa disebut Tari Sholawat Badar. Lalu untuk kulinernya, mereka juga
makanan yang khas hari raya umat Islam.
i. Alat Musik
Selain dalam bentuk tarian, kesenian khas Madura juga
ditunjukkan lewat alat-alat musiknya. Ada tiga alat musik khas suku
Madura. Pertama adalah saronen yang memilikin ciri-ciri terdiri dari
sembilan instrumen. Beberapa orang menyimpulkan bahwa sembilan
instrumen ini merupakan kepanjangan dari kalimat pembuka Alquran.
Kedua, yaitu Ul-Daul yang awalnya hanya sebagai kentongan, tapi kini
digunakan sebagai alat musik perkusi. Ketiga adalah Tong-Tong yang
bentunya mirip kentongan dan sering digunakan dalam acara pawai.
j. Bahasa
Masyarakat Madura bertutur dengan bahasa Madura. Bahasa
Madura sendiri banyak dipengaruhi bahasa Jawa ala Surabaya, Melayu,
Tionghoa, dan Arab. Bahasa Madura terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu
enje’ – iya yang sama dengan ngoko, engghi – enten yang sama dengan
madya, dan engghi – bhunten yang sama dengan krama. Sedangkan untuk
dialeknya sendiri terbagi atas dialek Bangkalan, Sampang, Pamekasan,

28
Sumenep, dan Kangean. Namun, yang digunakan sebagai acuan standar
adalah dialek Sumenep.
k. Senjata Tradisional
Untuk mempertahankan diri dari marabahaya atau untuk kebutuhan
sehari-hari, masyarakat Madura punya senjata tradisional yang disebut
celurit. Celurit adalah senjata tajam yang berbentuk melengkung. Bentuk
lengkungannya sendiri bisa menyerupai bulan sabit. Di masa lampau,
celurit biasanya digunakan sebagai senjata para preman. Kebiasaan para
jagoan zaman dahulu adalah mengisi senjata ini dengan makhluk gaib agar
memiliki kesaktian.
Sebagai salah satu etnis dengan penduduk terbesar di Indonesia,
masyarakat Madura memiliki berbagai kebudayaan yang sama
menakjubkannya seperti suku-suku yang lain. Selain di atas, suku Madura
juga punya permainan khas yang terkenal hingga ke mancanegara.
Permainan ini bahkan bisa menjadi daya tarik wisatawan asing untuk
mengunjungi Indonesia.
I. Kebudayaan Madura Bawean
1. Identitas Masyarakat Madura Bawean
Suku Bawean, dikenal juga Boyan atau Babian, suku ini terbentuk
karena terjadi percampuran antara orang Bugis, Makassar, Banjar, Madura
dan Jawa selama ratusan tahun di pulau Bawean. Masyarakat Melayu
Malaka dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada
Bawean dan dalam pandangan mereka Boyan berarti sopir dan tukang
kebun (kephun dalam bahasa Bawean), karena profesi sebagian
masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau sebagai sopir.
Orang-orang Bawean merupakan satu kelompok kecil dari masyarakat
Melayu yang berasal dari pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa antara
dua pulau besar yaitu pulau Kalimantan di utara dan pulau Jawa di selatan.
pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk
kabupaten Gresik.
Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan
Sangkapura dan kecamatan Tambak. Diponggo adalah salah satu

29
kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya berbeda
jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi Jawa,
hal mana merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah
menetap di desa itu, yaitu waliyah Zainab, yang masih keturunan Sunan
Ampel.
2. Kebudayaan Masyarakat Madura Bawean
Kebudayaan suku Bawean cukup terkenal, adapun kebudayaan
suku Bawean yang menarik adalah sebagai berikut:
 Kercengan
Kercengan biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan.
Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah. Penari
berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk di
barisan belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu salawat
kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain kercengan terdiri dari laki-laki
dan perempuan.
 Cukur Jambul
Bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur
jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan
berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur
kepalanya.
 Pencak Bawean
Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara hari besar seperti
hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang bawean.
Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan
pedang.
 Dikker
Dikker adalah alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang.
 Mandiling
Mandiling ini adalah sebutan bagi suku Bawean yaitu sejenis tari-
tarian disertai dengan pantun.

30
J. Kebudayaan Jawa Mataraman
Istilah Mataraman terkait dengan budaya Mataraman sebagai bagian sub
wilayah sosiokultural di Jawa Timur. Lingkup sub wilayah yang dimaksud
merupakan eks wilayah karesidenan Madiun dan Kediri. Wilayah tersebut
terbagi menjadi Mataraman Kulon (kabupaten Pacitan, Ngawi, Magetan,
Ponorogo) dan Mataraman Wetan (Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri,
Blitar, Madiun). Pembagian dua wilayah Mataraman berkaitan erat dengan
longgarnya budaya Jawa di wilayah bersangkutan. Kepekatan sosiokultural
Mataram lebih dijumpai di Mataraman Kulon ketimbang Mataraman Wetan.
Komunitas Mataraman lama memiliki tradisi dan kebudayaan yang khas,
salah satunya laku hidup tirakat. Tiga laku hidup khas Mataraman, yaitu makan
jika benar-benar lapar, minum jika benar-benar haus, dan tidu jika benar-benar
mengantuk, menimbulkan kepemilikan waskito, kemampuan mengetahui
sesuatu sebelum segala sesuatunya terjadi. Melalui ajaran-ajaran moral leluhur
komunitas Mataraman, memegang teguh nilai-nilai kebajikan hidup yang
relevan hingga sekarang. Di antaranya sangkan paraning dumadi saka
karsaning Gusti, teguh rahayu saka berkahi Gusti, ing sung suwun langgeng
tan ana sambikala dunyo lan akhirat. Maknanya, kemana pun kita pergi sudah
ada yang mengatur, yaitu sang pencipta dan Tuhan memberkati setiap napas
kehidupan lahir dan batin umat manusia sempurna.
Buah dari penerapan nilai kebajikan tersebut yang secara intensif
ditanamkan lewat pendidikan keluarga generasi Mataraman terdahulu, kualitas
hidup keturunan Mataraman cenderung memiliki citra positif. Diantaranya
tidak bercerai, jujur, di beberapa organisasi keturunan Mataraman dipercaya
sebagai bendahara, tidak berutang, citra tubuh guyub. Unggah-unggah yang
kental dalam berelasi, hormat kepada orang tua dan pendidikan anak-anak
Mataraman sebagian besar berhasil (berpendidikan tinggi dan berprestasi
secara akademik). Di sisi lain komunitas Mataraman cenderung dikenal
eksklusif. Pada awalnya tempat hunian komunitas ini berkumpul di satu atau
beberapa lokasi. Kalau berada di satu lokasi masyarakat umum menyebut
sebagai kampung Mataraman, di tempat tinggal komunitas Mataraman di Blitar
dan Tulungagung misalnya di jumpai peninggalan rumah khas dan pusaka

31
Mataraman, seperti tombak, payung dan keris. Secara umum arsitektur rumah
mencontoh rumah tinggal di Kotagede, Yogyakarta dan Surakarta. Ciri-ciri
rumahnya dikenali melalui tata letak ruang, pintu, jendela, cat dan hiasan
interior rumah.
Rumah mereka umumnya sederhana tidak mewah, kebersihan rumah
selalu dijaga, dinding rumah ditempeli hiasan-hiasan yang khas, termasuk foto-
foto para pinisepuh yang merupakan pendahulu mereka yang mengenakan
pakaian kebesaran adat berupa blangkon, serta beskap model Ngayogyakarta.
Karakteristik budaya Mataraman selain dideteksi lewat arsitektural tempat
tinggal juga dapat dideteksi lewat cara berpakain (busana tradisional), bahasa
yang digunakan (cenderung halus), makanan khas (cenderung manis),
cenderung indogami (menikah dengan sesama Mataraman) dan egaliter.
K. Kebudayaan Jawa Panaragan
1. Asal Usul
Kebudayaan Jawa Etnik Panaragan merujuk kepada suatu wilayah
di Jawa Timur bagian barat, yakni kabupaten Ponorogo. Etnik Jawa
Panaragan wilayahnya meliputi barat Gunung Wilis dan sebelah timur
Gunung Lawu. Luas wilayah tersebut, dahulu merupakan daerah
kekuasaan kerajaan Wengker. Nama Wengker menurut Moelyadi (dalam
Sugianto, 2016:45) berasal dari kata wengonan yang angker tempat yang
angker, dengan penuh misterius.
Setelah Wengker takluk oleh Lembu Kanigoro, kemudian nama
Wengker di ganti menjadi Ponorogo. Pergantian tersebut, juga diikuti
dengan akulturasi budaya diantaranya perubahan nama Lembu Kanigoro
kemudian dinobatkan menjadi Panembahan Raden Batoro Katong, nama
tersebut sebagai upaya mendekatkan kepada masyarakat wengker agar
lebih mudah diterima, selain itu kesenian Reyog dahulu yang digunakan
Ki Ageng Kutu sebagai sindiran keras kepada Brawijaya V digunakan
sebagai media dakwah Islam. Akulturasi budaya tersebut, kemudian lebih
dikenal sebutan dengan Ponorogoan atau Panaragan.

32
2. Budaya Masyarakat
Salah satu ciri khas masyarakat Ponorogo, adalah memiliki tokoh
lokal yang disebut warok. Orang yang mendapat predikat warok
merupakan sebagai tokoh suku dari etnik Masyarakat Ponorogo.
Sebagai seorang kepala suku atau tokoh dalam masyarakat maka
warok terkenal dengan sakti memiliki kelebihan dibidang supranatural,
yang bertugas sebagai pemimpin, pelindung, dan pengayom masyarakat.
Tugas tersebut, sudah sejak zaman dahulu melekat pada warok. Warok
pada waktu itu, memiliki peran menjadi punggawa kerajaan Wengker yang
bertugas mengamankan suatu wilayah, seperti warok Ki Ageng
Hanggolono (Sukorejo), Warok Suromenggolo (Balong), Warok
Surohandhoko (Jetis), Surogentho (Gunung Pegat: Bungkal), Warok
Singokubro (Slahung), Warok Gunoseco (Siman), pun demikian ketika
Ponorogo dipimpin Raden Batoro Katong, untuk membentuk
pemerintahan yang baru, maka Raden Katong merekrut para warok yang
mana sebagai tokoh dalam etnik Panaragan untuk dijadikan sebagai
Bhayangkara sehingga dalam pemerintahannya tidak timbul berbagai
gejolak dalam masyarakat.
Gambaran masyarakat etnik Panaragan, tercermin dalam
kebudayaan Jawa Etnik Panaragan yang beragam. Keberagaman tersebut
dibuktikan banyaknya kesenian etnik Panaragan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat sampai sekarang. Baik yang bersifat
agraris maupun Islamis. Kesenian tersebut memiliki kaitan erat dengan
sistem kepercayaan, keamanan, kesejahteraan, serta kekuatan yang
merupakan simbol identitas masyarakat Ponorogo yang keras, pemberani
sebagaimana yang di gambarkan oleh Dr. Adam (dalam Sugianto,
2016:48), kesenian tersebut antara lain:
 Reyog
Reyog merupakan seni sendra tari, yang dimainkan oleh
beberapa penari seperti pembarong, bujangganong,
klonosuwandono, warok dan jathil. Pentas Reyog terinspirasi oleh
dua garis besar cerita yang pertama mengenai kerajaan Wengker

33
yang dipimpin oleh Ki Ageng Kutu yang menentang Kerajaan
Majapahit yang dipimpin oleh Bhre Kertabumi Prabu Brawijaya V,
adapun inspirasi kedua tentang kisah raja Klonosuwandono yang
ingin melamar Dewi Songgolangit dari kerajaan Lodaya di Kediri.
 Gajah-Gajahan
Gajah-gajahan termasuk kedalam kesenian jalanan, yang
berfungsi sebagai menyampaikan pesan dengan berkeliling.
Kesenian ini muncul pada zaman PKI ketika banyak reyog di
manfaatkan oleh PKI sebagai media kampanye, sehingga muncul
seniman-seniman untuk membuat kesenian gajah-gajahan.
 Keling
Keling kesenian ini pada awalnya berfungsi sebagai
penolak bala, akibat kekeringan dan gagal panen yang melanda
pada waktu itu, kemudian masyarakat membuat sebuah tarian,
untuk mengingat penderitaan pada waktu itu. Keling berasal dari
eling supaya ingat dengan penderitaan pada zaman dahulu. Dalam
sajian tari, kesenian keling menceritakan dua putri dari kerajaan
Ngerum yang di culik oleh Bagaspati dari kerajaan Tambak
Kehing, kemudian dapat diselamatkan oleh Joko Tawang dari
Padepokan Waringin Putih.
 Unto-Untoan
Unto-untoan mirip dengan Gajah-gajahan lahirnya pun
diperkirakan sama dengan Gajah-gajahan, perbedaannya nuansa
islami sangat kental pada seni unto-untoan karena dalam pentasnya
diiringi sholawatan dan mengunakan busana layaknya khalifah
Arab sambil berkeliling kampung. Kesenian Unto-untoan muncul
dikalangan santri, di harapkan dengan kesenian ini berdampak
pada lingkungan masyarakat menjadi lebih islami.
 Jaran Thik
Jaran Thik merupakan kesenian yang diperankan oleh
beberapa pemain antara lain penari kuda lumping, pemain yang
disebut celengan (babi), dan ulo-uloan yang terbuat dari kayu

34
dadap yang menyerupai kepala naga. Kesenian Jaran Thik
merupakan salah satu seni pertunjukan yang menarik, dalam
pertunjukannya sering kali mengundang roh halus sehingga nuansa
mistis sangat terasa hal tersebut didukung dengan tata rias yang
seram dan penggunaan busana yang khas.
L. Kebudayaan Arek

Budaya Arek merupakan salah satu sub kultur terpenting di Jawa Timur.
Budaya Arek memberikan pengaruh yang sangat luas, terutama setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan besar yang mewarnai relasi kebudayaan di Jawa Timur, maupun
tanah Jawa dan Nusantara pada umumnya. Runtuhnya kerajaan-kerajaan besar
seperti Singosari, Daha, Jenggala, Majapahit dan Mataram –termasuk Sriwijaya,
Kutai dan Tarumanegara, menandai dimulainya era kekuasaan yang tersebar dan
bahkan terpecah satu sama lain. Melalui proses kolonialisasi, kekuasaan para Raja
digantikan dan terfragmentasi untuk kepentingan politik dan –terutama ekonomi.
Namun demikian, kebudayaan terus tumbuh dan terbentuk dalam hasratnya yang
baru. Kebudayaan yang terus berubah dan mengakumulasi dirinya dalam
pertarungan kekuasaan yang terjadi.

Perubahan signifikan budaya Arek dimulai pada abad 13 M. Setelah hidup


dengan pulau-pulau kecil yang saling terpisah, Masyarakat Arek memulai tatanan
perkampungan di tengah rawa-rawa bekas pantai yang luas. Sugiyarto (dalam
Abdillah, 2015) mencatat bahwa sepanjang tahun 1037-1468 M, atau sepanjang
431 tahun letusan Kelud berlangsung selama lebih 22 kali yang menutup
bengawan-bengawan di Surabaya, seperti Bengawan antara Jagir dan Waru, antara
Taman dan Waru, begitu pula Bengawan Terung antara Jeruk Legi dan Taman.
Sejak inilah, budaya pesisir dimulai, namun bukan peradaban awal kebudayaan
Arek, sehingga tidak membawa bekas yang terlalu mendalam.

Bila ditelusuri, asal kata “Arek”, dapat diidentifikasi dari beberapa pernyataan
berikut:

1. Arek diperkirakan berasal dari kata Lare atau anak-anak.

35
2. Menurut Boedhimartono (dalam Abdillah, 2015) Arek mengacu pada arti
yang lebih luas daripada sekedar anak kecil. Sampai umur pemuda pun masih
lazim disebut Arek

3. Arek berasal dari kata dalam bahasa Jawa Kuna, yakni Ari-ika yang berarti
saudara yang lebih muda atau bisa pula anak.

4. Menurut Zoetmulder (dalam Abdillah, 2015) Ari berarti adik laki-laki atau
perempuan; juga sebagai istilah sapaan bagi kerabat yang lebih jauh atau bahkan
bagi orang-orang yang bukan kerabat.

5. Ari merupakan kata benda kawi yang berarti adhi, rayi; ari-ari: aruman,
sing metu sakbare bayi lahir atau plasenta (latin), embing-embing Sudaryanto dan
Pranowo

Berdasarkan kelima pengertian di atas, Ari-ika atau arika (ariika dalam Jawa
Kuna) berubah lafal menjadi Arek merupakan bentuk sapaan bahasa Jawa Baru di
wilayah budaya Arek. Sebagai bentuk sapaan, maka kata Arek merupakan
identitas budaya yang berangkat dari pergaulan atau adanya interaksi sosial
bermakna solidiaritas yang tinggi. Dengan demikian, pergaulan yang terbentuk
dari budaya Arek dapat ditelusuri dari asal mula adanya manusia atau
terbentuknya masyarakat Arek. Pembentukan awal masyarakat Arek dapat dilacak
pada periode abad ke 4 (bisa juga sebelumnya) hingga abad ke 9 M. Jadi, bukan
pada abad 20 dan hanya pada masa-masa perang kemerdekaan. Pada masa ini,
masyarakat Arek mencapai titik kulminasi dari perjuangan revolusionernya.
Pembentukan Kedua adalah masa Penjajahan Belanda. Pembentukan Ketiga
adalah Pasca Kemerdekaan.

36
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebudayaan memiliki pengertian yang luas sebagian pengertian
didasarkan oleh tingkah laku manusia dalam wujud kehidupannya.
Kebudayaan memiliki wujud yang beragam mulai dari sistem ide, aktivitas,
dan peninggalan. Unsur-unsur kebudayaan turut menjadi salah satu faktor
dalam ruang lingkup kebudayaan seperti sistem Bahasa, pengetahuan,
organisasi, peralatan penunjang hidup atau teknologi, kebutuhan dan ekonomi,
religi atau keagamaan, serta kesenian. Keberagaman budaya di Jawa Timur
sangat bermacam-macam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti latar
belakang historis, geografis, dan keterbukaan. Berbagai macam kebudayaan
sangat berharga dan dapat dianggap sebagai identitas nasional bangsa
Indonesia.
B. Saran

Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yaitu warga negara Indonesia
harus terus menjaga kebudayaan yang masih ada hingga saat ini. Kita harus
terus memperjuangkan keberadaan keanekaragaman kebudayaan agar terus
lestari dan tidak musnah. Meskipun saat ini adalah era teknologi modern hal itu
memungkinkan untuk kita melupakan jati diri kita dan terus maju dengan
memasang ingatan baru yang mengakibatkan identitas bangsa menjadi menciut
sampai beberapa tahun yang akan datang. Oleh karena itu marilah kita juga
saling menghargai dan memanfaatkan teknologi untuk menunjukan pada dunia
bahwa kebudayaan Indonesia dengan keanekaragamannya sangatlah indah
untuk diketahui sampai dipelajari dengan tujuan identitas nasional bangsa terus
lestari.

37
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Ribut. 2010. "Negosiasi Identitas dan Kekuasaan Dalam Wayang


Kulit Jawa Timuran". dalam: (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/132053-
D%2000917-Negosiasi%20identitas-Pendahuluan.pdf), diakses 18
November 2020.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:


Penerbit PT. Gramedia.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. Sejarah Daerah
Jawa Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Jakarta. 313 hal.

Purwanto, Antonius. 2020. "Provinsi Jawa Timur". dalam:


(https://kompaspedia.kompas.id/baca/profil/daerah/provinsi-jawa-timur),
diakses 19 November 2020.

Sutarto, Ayu. 2006. "Sekilas Tentang Masyarakat Tengger". dalam:


(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/sekilas-tentang-
masyarakat-tengger/), diakses 19 November 2020.

Yuliatik, Eka dan Sofiya Puji R. 2014. "Suku Osing". dalam:


https://sipadu.isi-
ska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_3422141203232733.pdf, diunduh 17
November 2020.

Mina. 2012. "Tradisi Samin". dalam:


(https://www.inibaru.id/tradisinesia/begini-tradisi-sedulur-sikep-samin-
jelang-bulan-suro), diunduh 17 November 2020.

Tony. 2014. "Nilai-Nilai dan Sejarah Masyarakat Samin". dalam:


(https://www.researchgate.net/publication/330526748_MASYARAKAT
_SAMIN_DITINJAU_DARI_SEJARAH_DAN_NILAI-
NILAI_PENDIDIKAN_KARAKTER), diunduh 18 November 2020.

Saputra. 2011. "Perkawinan Adat Samin". dalam:


(https://media.neliti.com/media/publications/58769-ID-perkawinan-
masyarakat-adat-samin-di-desa.pdf), diunduh 19 November 2020.

Saleh, Mat. 2013. “KEBUDAYAAN MASYARAKAT KANGEAN


DENGAN CIRI KHAS YANG DIMILIKINYA”, dalam:
(https://kangeantour.wordpress.com/budaya-kangean/), diakses 27
November 2020

38
Sutarto, Ayu. 2014. “Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan”, dalam:
(http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wpcontent/uploads/sites
/24/2014/06/Masyarakat_Pandhalungan.pdf), diunduh 27 November 2020.

Bistro. 2011. “Suku Madura, Budaya, dan Berbagai Fakta Menariknya”. dalam:
(https://www.artisanalbistro.com/suku-madura/), diakses 26 November 2020.
Dirga. 2012. “Mengurangi Simpul-Simpul Masalah”. dalam:
(http://www.bawean.net/2012/10/mengurai-simpul-simpul-masalah.html),
diakses 26 November 2020.

Abdillah, Autar. 2015. “Budaya Arek dan Malangan”. dalam:


(https://www.josstoday.com/read/2015/10/17/28021/BUDAYA_AREK_DA
N_MALANGAN__Tinjauan_Historis_dan_Diskursus_Kebudayaan_),
diakses 27 November 2020.

Sugianto, Alip. 2016. “Kebudayaan Masyarakat Jawa Etnik Panaragan”. dalam:


(http://journal.umpo.ac.id/index.php/aristo/article/download/178/293),
diakses 27 November 2020

____. 2016. “Belajar Nilai dari Keluarga Jawa Mataraman”. dalam:


(https://www.uc.ac.id/library/belajar-nila-dari-keluarga), diakses 27
November 2020

39

Anda mungkin juga menyukai