Anda di halaman 1dari 22

WARISAN BUDAYA INDONESIA

“Candi Jolotundo dan Candi Belahan Sebagai Benda Cagar Budaya Jawa
Timur ”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Warisan Budaya Indonesia

Yang Diampu oleh Bapak Edy Budi Santoso S.S, M.A.

Oleh :
Nur Aviva Fitriana 121811433082
Raudatul Jannah 121811433086
Siti Afifa Hima P 121811433089
Dwita Mei S 121811433090
Ulul Aminatus S 121811433096

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayahNya sehingga penelitian dan penulisan
proposal yang berjudul “Candi Jolotundo dan Candi Belahan Sebagai Benda
Cagar Budaya Jawa Timur” dapat berjalan dengan baik.
Keberhasilan penulisan proposal ini, tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, sehingga penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Edy Budi Santoso S.S, M.A. selaku dosen
pengampu mata kuliah Warisan Budaya Indonesia, serta semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka segala kritik atau saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik lagi. Dan penulis berharap agar
penulisan proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 20 April 2021

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................1

KATA PENGANTAR........................................................................................2

BAB I..................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang........................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................7
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................7
1.4 Manfaat Penulisan...................................................................................7

BAB II.................................................................................................................8

2.1 Deskripsi Candi Jolotundo dan Pemanfaatannya....................................8


2.2 Pengelolaan dan Pengembangannya.......................................................10
2.3 Deskripsi Candi Belahan dan Pemanfaatannya.......................................13
2.4 Pengelolaan dan Pengembangannya.......................................................15
2.5 Dampak Eksistensi Candi Jolotundo dan Candi Belahan.......................17

BAB III................................................................................................................21

3.1 Kesimpulan.............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebudayaan merupakan keseluruhan aspek kehidupan yang mencakup
pengetahuan, seni, kepercayaan, moral, ada, hukum, kemampuan dan kebiasaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai bagian dari kehidupan dan sebagai
anggota masyarakat. Pada dasarnya tata kehidupan dalam bermasyarakat tertentu
merupakan pencermian yang kongkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak.
Kebudayaan diwudujudkan dalam bentuk tata kehidupan yang merupakan
kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang didukungnya. Indonesia
memiliki sekian banyak budaya nasional yang juga memiliki sejarah yang
beragam mengenai budaya nasional tersebut, mulai dari zaman Hindu-Budha,
Islam, Kolonialisme hingga zaman kemerdekaan.
Dari sekian budaya Nasional yang dimiliki Indonesia salah satu yang perlu
mendpatkan perhatian adalah benda-benda cagar Budaya. Benda cagar budaya
meruapakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Benda Cagar budaya
mempunyai arti penting bagi kebudayaan Bangsa khususnya untuk memupuk rasa
kebanggan nasional serta memperkokoh kesadaran jati diri bangsa. Sehingga perlu
dilindungi dan dilestarikan. Kesadaran jati diri suatu bangsa yang banyak
dipengaruhi oleh pengetahuan tentaang masa lalu bangsa yang bersangkutan,
sehingga keberadaan kebangsaan itu pada masa kini dan proyeksinya ke masa
depan bertahan kepada ciri khasnya sebagai bangsa yang tetap berpijak pada
landasan falsafah dan budayanya sendiri. 1
Cagar budaya meruapakan refleksi dari gagasan dan perilaku manusia
dalam beriteraksi dengan lingkungannya. Perilaku manusia pada dasarnya teratur,
hasil dari interaksi yang berupa cagar budaya baik yang berbentuk artefak maupun
situs dan kawasan juga memiliki pola-pola tertentu yang mencerminkan gagasan

1
Khalid Rosyadi, “Analisis Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Sebagai Wujud
Penyelenggaraan Urusan Wajib Pemerintahan Daerah”, Jurnal Administrasi Publik Vol 2 No. 5
hal. 831.

4
yang melatarbelakanginya. Hasil dari gagasan tersebut dibangun atas dasar
pengalaman kesejarahan yang unik dalam rangka menanggapi lingkungannya
yang spesifik dan diwariskan drai generasi yang satu kegenerasi berikutnya, dan
juga mencerminkan nilai-nilai kearifan terhadap lingkungannya.
Upaya melesatarikan benda cagar budaya dilaksanakan, selain untuk
memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jati diri sebagai
bangsa yang berdasarkan pancasila, juga kuntuk kepentingan sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan
nasional. Memperhatikan hal-hal tersebut, pemerintah dianggap perlu dan
berkewajiban untuk melaksanakan tindakan penguasaan, pemilikan, penemuan,
pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaat dan pengawasan
terhadap cagar budaya yang ada di Indonesia berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan. 2
Pengelolahan pelestarian cagar budaya adalah wajib hukumnya bagi
bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragamn lingkungan serta
keanekaragaman budaya dalam sistem pemerintahan Negara kesatuan agar tiap-
tiap daerah dapat mengenali dan bangga atas budaya yang mereka miliki.
Keanekaragaman budaya Indonesia inilah salah satu yang menjadi keajaiban
dunia yang perlu dilestarikan dan dipertahankan karena merupakan aset yang tak
ternilai harganya baik untuk bahan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan maupun menjadi daya tarik bagi bangsa-bangsa lain untuk
mengunjungi dan mengangumi khasanah budaya dan alam Indonesia yang
dampaknya dapat memberikan manfaat kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, dapat dipahami bahwa setiap upaya pengelolahan cagar budaya
harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat karena merekalah
pemilik sah cagar budaya. Setiap rancangan pengelolaan cagar budaya diharapkan
memberikan ruang sekaligus peluang yang besar bagi masyarakat untuk terlibat
secara aktif. Oleh karena itu diperlukan sinergitas antara pemerintah, akademisi,
masyarkat dan juga sektor wisata.

2
Undang-undang RI tentang Cagar Budaya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun
2014, hlm. 3

5
Provinsi Jawa Timur memiliki banyak sekali warisan cagar budaya,
kesemuanya sudah cukup dikelola dengan baik. Jawa Timur merupakan potensi
provinsi yang ada, yang mana perhatian pemerintah provinsi Jawa Timur sudah
sampai dalam hal tersebut. Mengingat lagi bahwasannya Jawa Timur merupakan
bekas dari wilayah kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Mataram Hindu,
Kediri, Majapahit, dan Mataram islam. Dengan demikian peninggalan yang ada
begitu banyak dengan berbagai macam jenis, misalnya arca, tugu, pertirtaan, dan
sebagainya3
Provinsi Jawa timur jika dilihat kondisinya sekarang ini, banyak situs yang
ada. Dalam hal pelestarian dan pengelolaanya sudah cukup baik. Salah satunya
adalah Situs Candi Belahan dan Candi Jolotundo. Keduanya memiliki perhatian
yang cukup baik dalam pelestarian dan pengelolaanya. Situs Candi Belahan yang
berada dusun Belahan Jowo, Wonosunyo, Gempol, Pasuruan candi bersejarah ini
tergolong pertirtaan dan memiliki banyak potensi bagi pariwisata daerah setempat
sebagai cagar budaya nasional. Di dalam area pertirtaan ini terdapat sebuah kolam
pemandian persegi panjang yang tidak begitu dalam dan luas. Diketahui terdapat
ancaman kerusakan struktur karena kondisi lingkungan dan aktivitas masyarakat
di sekitar lokasi petirtaan.
Candi Jolotundo sendiri yang berada di daerah Trawas, Mojokerto. Candi
jolotundo memiliki keunikan tersendiri untuk menarik wisatawan. Arsitektural
yang dimiliki oleh Candi Jolotundo mengalami kerusakan yang cukup parah,
banyak dinding yang runtuh serta keruskan biotis akibat banyaknya lumut, dan
jamur yang menempel. Maka dari itu berdasarkan latar belakang diatas, penulis
tertarik untuk mengkaji mengenai pengelolahan dan pengembangan Candi
Belahan dan Candi Jolotudo dalam pemeliharaan bangunan cagar budaya di
Provinsi Jawa timur agar tetap bertahan dan tidak berubah dari aspek history
maupun dari sisi bentuknya.

3
Ichidiana Sarah, “Pemanfaatan Cagar Budaya di Provinsi Jawa Timur”, cagar Budaya Jatim.

6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah pokok penulisan makalah. Secara umum tema makalah ini
adalah mengenal cagar budaya di Jawa Timur dan pengelolahannya. Agar tidak
melebar dari tema, penulis mengambil Judul dalam makalah ini Pengelolahan dan
pemanfaatan Candi Jolotundo dan Candi Belahan. Maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana Pemanfaatan, Pengelolaan dan pengembangan
Candi Belahan. Kemudian bagaimana Pemanfaatan, pengelolaan dan
pengembangan Candi Jolotundo.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan pada penulisan makalah ini
maka tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui sistem pengelolaan,
pengembangan serta pemanfaatan Candi Jolotundo dan yang kedua untuk
mengetahui sistem pengelolaan, pengembangan serta pemanfaatan Candi Belahan.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari informasi yang ada, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis sendiri diharapkan mampu
memberikan manfaat bagi perkembangan Ilmu Sejarah terutama berkaitan dengan
aspek pelestarian cagar budaya dan diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan informasi ilmiah mengenai pelesatarian dan pemanfaatan,
pengelolahan Candi Jolotundo dan Candi Belahan. Manfaat secara praktis
diharapkan dapat meningktkan daya penalaran, daya kritis dan membentuk pola
pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang diperoleh.

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Candi Jolotundo dan Pemanfaatannya


Peninggalan sejarah dan budaya merupakan warisan budaya bangsa yang perlu
dilestarikan, karena di dalamnya mengandung sistem nilai dan ide yang pernah
berkembang di masa lalu yang sangat berguna bagi pengembangan budaya
masyarakatmasa kini maupun yang akan datang. Di Jawa Timur terdapat banyak
peninggalan sejarah dan purbakala sangat banyak hal ini diharapkan dapat
menumbuhkan rasa persatuan terhadap bangsa.
Di Jawa Timur terdapat Petirtaan Candi Jolotundo yang terletak di dusun
Balekambang, desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Candi
Jolotundo merupakan sebuah petirtaan yang dibangun oleh Prabu Udayana untuk
pertapaan Raja Airlangga. Candi ini terletak dilereng Gunung Penangunggan.
Pertirtaan Candi Jolotundo merupakan sebuah petirtaan peninggalan dari agama
Hindu yang dibangun pada tahun 977 Masehi atau 899 Saka. Candi Jolotundo ini
dibangun bukan murni dari Prabu Airlangga melainkan dari Kerajaan Wang
Isyana keturunan Mpu Sindok. Karena pada relief Candi Jolotundo di sebelah
selatan terdapat terdapat relief yang terbaca 899 Saka atau 977 M yang kemudian
dianggap sebagai berdirinya Jolotundo. Sedangkan Prabu Airlangga baru lahir
pada tahun 990 Masehi dan dapat dikatakan bahwa Candi Jolotundo ini di buat
sebelum kelahiran Prabu Airlangga. Namun, masyarakat secara umum
mengatakan kalau Candi Jolotundo adalah peninggalan Prabu Airlangga atau
tempat pertapaan Airlangga. Candi Jolotundo itu terletak di wilayah Kerajaan
Kahuripan yang didirikan oleh Raja Airlangga pada tahun 1019-1045 pada saat
usia 29 tahun4.
Candi Jolotundo adalah sebuah batu andesit yang terbagi menjadi tiga. Di
sebelah kanan terdapat sumber permandian untuk laki-laki, di sebelah kiri terdapat
sumber permandian untuk perempuan, dan di tengah terdapat sebuah pancuran
untuk pengambilan air. Pancuran yang ada di tengah dulunya berasal dati kedua
4
Deny Bagus Sulistyo, dkk, “Sejarah Wisata Jolotundo Mojokerto pada 1986-2010”, 2018,
STKIP PGRI Sidoarjo, hal 4-5.

8
teras Candi Jolotundo, dapat diketahui bahwa pancuran tersebut sesuai dengan
bentuk gunung Penangunggan yang dikelilingi delapan puncak yang lebih rendah
dan memiliki arti sebagai simbolis replika gunung Mahameru. Candi Jolotundo
memiliki tiga buah relief yang berada ditempat aslinya, semuanya terletak di sudut
timur laut teras pertama lima buah relief terdapat di museum Nasional, lalu juga
terdapat di museum Trowulan, dan sebagian lagi hilang. Dari relief cerita yang
terdapat di Candi Jolotundo serta penemuan lempengan logam yang bertuliskan
nama dewa Isyana dan Agni maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang Candi
Jolotundo ialah agama Hindu. Fungi dari Candi Jolotundo adalah sebagai tempat
makam Udayana. Hal tersebut karena terdapat tulisan jawa kuno di dinding
selatan teras pertama yang terbaca Udayana dan pendapat tersebut diperkuat
dengan adanya kata gempeng yang terdapat di sisi utara pada dinding timur yang
diartikan wafat. Serta terdapat temuan kotak terpipih yang didalamnya berisi
debu.
Candi Jolotundo memiliki keunikan tersendiri untuk mendatangkan atau
menarik pengunjung maupun wisatawan. Pemanfaatan Candi Jolotundo sebagai
tempat wisata menyebabkan situs tersebut menjadi tempat yang dikunjungi
banyak orang untuk berwisata. Kunjungan yang selalu meningkat setiap tahunnya
membawa dampak yang positif secara ekonomi. Terdapat tiga jenis macam
pemanfaatan yang ada di Candi Jolotundo antara lain seperti:
1. Wisata religi
Bagi masyarakat yang beragama Hindu banyak yang datang ke
Candi Jolotundo untuk melakukan ibadah. Selain itu juga untuk
menghormati para leluhur mereka, dan melakukan ritual ketika hari-hari
besar Hindu seperti upacara Melasti yaitu upacara penyucian diri sebelum
hari raya Nyepi. Ritual ini dilakukan di wilayah petirtaan yang terdapat di
Candi Jolotundo.
Selain itu juga banyak masyarakat yang datang pada malam kamis
legu, kliwon, sesuai penanggalan jawa. Pada tanggal 15 penanggalan Jawa
bertepatan dengan malam bulan purnama. Pada hari selasa legi, kliwon.
Pada malam jumat legi, malam 1 Muharrom. Para pengunjung tersebut

9
melakukan kegiatan ritual yaitu dengan bertapa kemudian mandi di
Petirtaan Candi Jolotundo. Kegiatan tersebut dilakukan kebanyakan pada
malam hari. Tata cara ritual, pertama mereka melakukan mandi dahulu,
kemudian juru ritual akan membacakan doa-doa.
2. Wisata rekreasi
Candi Jolotundo merupakan salah satu tempat alternatif bagi
masyarakat yang ingin menghabiskan liburan bersama keluarga dan teman.
Pesona pemandangan lingkungan wilayah areal Candi Jolotundo sangatlah
cocok untuk memanjakan mata masyarakat yang datang untuk berlibur.
Pemandangan pegunungan serta hutan lindung yang masih asri, sumber
mata air yang jernih, udara yang menyejukkan menjadikan petirtaan Candi
Jolotundo berpotensi menarik pengunjung.
Selain untuk berlibur, masyarakat juga dapat belajar memahami
nilai sejarah dari Candi Jolotundo. Mereka dapat melihat relief-relief yang
ada pada dinding candi dan selain itu juga terdapat sebuah pamflet yang
menjelaskan tentang pengetahuan arkeologis serta nilai historis dari Candi
Jolotundo. Meskipun tulisannya tidak banyak namun sudah bisa
menjelaskan secara lengkap akan pembangunan dan fungsi dari Candi
Jolotundo.
2.2 Pengelolaan dan Pengembangan Candi Jolotundo
Mengingat banyaknya potensi yang dimiliki oleh situs Candi Jolotundo
terutama dalam bidang petirtaan, maka dilakukan upaya untuk melestarikan
keberadaannya. Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk program-
program resmi dari pemerintah maupun masyarakat sekitarnya. Di masa kolonial
sebenarnya keberadaan Candi sudah mendapat perhatian dengan dibersihkannya
wilayah sekitar Candi yang tertutup oleh pohon-pohon besar pada tahun 1921. 5
Pembersihan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1923 dan kondisi Candi sudah
dapat diidentifikasi mengenai bangunannya. Beberapa kerusakan terjadi di bagian
teras dan bilik kolam.

5
Ayu Wulandari, “Upaya Pelestarian dan Pemanfaatan Petirtaan Jalatunda”, 2013, Jurnal
Pendidikan Sejarah, hlm 181.

10
Setelah Indonesia merdeka, barulah di tahun 1980-an muncul kembali
kesadaran terhadap pengelolaan situs Candi Jolotundo yang lama terbengkalai.
Pemerintah membentuk tim khusus untuk mengidentifikasi kerusakan candi
sehingga dapat dilakukan perbaikan. Menurut tim tersebut bagian teknis dari
arsitekturalnya mengalami kerusakan yang cukup parah, juga di bagian dinding
banyak yang runtuh serta kerusakan biotis akibat banyaknya lumut, ganggang, dan
jamur yang menempel6 Dari proses identifikasi tersebut, maka pemerintah
memutuskan untuk melakukan langkah pemugaran terhadap candi yang dibagi
dalam tiga tahap oleh Bagian Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan
Sejarah Purbakala Jawa Timur. Pada tahap pertama dilakukan upaya untuk
memasang kembali bebatuan petirtaan, di antaranya batu andesit, batu-batu
dinding petirtaan, kemudian konservasi. Lalu dilakukan susunan percobaan dan
pencarian batu, konservasi, pembuatan batu pengganti, pemasangan perkuatan,
dan pemasangan kembali bebatuan.
Tahap kedua pemugaran dilakukan proses pemasangan kembali bebatuan pada
bagian dalam dinding bilik kolam sebelah selatan dan utara serta pada bagian teras
utama.7 Selanjutnya memasang perkuatan guna menghasilkan kedudukan
konstruksi antara bangunan candi dengan lereng tanahnya sehingga apabila
terdapat pergerakan tanah bangunan tersebut dapat menahannya. Serta dilakukan
konservasi untuk memberi lapisan kedap air dan anti jamur yang dilakukan
dengan mengoleskan aralditetatur dan campuran spesi mortar. Dan tahap ketiga
sebagai yang terakhir dilakukan dokumentasi dan penggambaran, pemasangan
perancah, susunan percobaan dan pencarian batu petirtaan, pembuatan batu
pengganti, pemasangan perkuatan, pemasangan kembali bebatuan, konservasi, dan
pembenahan lingkungan yang bertujuan untuk menambah estetika bangunan.
Untuk dapat menjaga dan merawat perbaikan yang telah dilakukan pihak
pemerintah, maka dibentuk juga kebijakan pemeliharaan yang dilakukan oleh
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur merekrut beberapa
orang sebagai Jupel (Juru Pelihara).8 Jupel bertanggung jawab untuk mencegah
6
Ayu Wulandari, loc.cit.
7
Ayu Wulandari, loc.cit.
8
Ayu Wulandari, loc.cit.

11
kerusakan situs serta memandu dan memberi informasi kepada pengunjung. Di
antara tugasnya meliputi pembersihan kolam, menyikat lumut, membersihkan
tanaman, mengawasi pengunjung, menerima tamu atau pengunjung, dan membuat
laporan setiap bulan kepada BP3. Pembersihan kolam biasanya dilakukan karena
di malam hari banyak pengunjung yang melakukan ritual mandi dengan memakai
bunga, dan proses pembersihan lumut dilakukan secara tradisional menggunakan
kasak. Hal tersebut tujuannya adalah untuk menjaga bebatuan agar tidak
mengalami kerusakan, jika memakai sikat dari besi maka menyebabkan keropos
pada bebatuan. Pembersihan juga dilakukan setiap hari sehingga tidak menunggu
sampai mengerak dan tanpa penggunaan cairan pembersih. Juga diterapkan
aturan-aturan kepada pengunjung seperti tidak boleh mandi menggunakan sabun
atau sampo, tidak boleh naik ke atas bangunan candi, dan sebagainya dalam
rangka pelestarian candi. Sedangkan tugas dari BP3 adalah melakukan
pemeliharaan situs (konservasi), dan pengawasan atau monitoring. Konservasi
dilakukan untuk mencegah pertumbuhan lumut sebab lokasi Candi Jolotundo
yang berada di sekitar pegunungan dan memiliki kelembapan yang tinggi.
Saat ini Candi Jolotundo secara regulasi pengelolaannya terdiri dari tiga pihak
pengelola, yakni BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya), Dinas Pariwisata
Kabupaten, dan Perhutani.9 Pengelolaan inti pada bagian candi dan lingkungannya
menjadi tugas dari BPCP termasuk menempatkan Juru Pelihara. Dinas Pariwisata
Kabupaten memiliki hak pengelolaan dalam lingkup pemanfaatan kawasan cagar
budaya dan pengaturan lapak pdagang masyarakat serta fasilitasnya seperti
gazebo, parkiran, dsb. Sedangkan Perhutani memegang persoalan lahan yang
menjadi lokasi dari situs cagar budaya Candi Jolotundo.
Sedangkan masyarakat yang tinggal di sekitar candi juga memiliki inisiatif
untuk melestarikan keberadaan Candi Jolotundo. Tahun 1970an masyarakat masih
melakukan perawatan dengan cara-cara sederhana seperti membersihkan kotoran,
tumbuhan, dan akar-akaran di bebatuan candi.10 Di kawasan petirtaan sebelum

9
Afifa Nurul Izzah, Skripsi, “Kerja Sama Pemerintah dan Masyarakat Dalam Upaya Pelestarian
Candi Jolotundo”, (Jember: Program Studi Sosiologi, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Jember), hlm 109.
10
Ibid, hlm 119.

12
adanya Jupel dari pemerintah, masyarakat menempatkan satu juru kunci dari desa
yang tugasnya adalah mengamankan bangunan dari ancaman kerusakan. Pada
waktu dilakukannya pemugaran oleh pemerintah, masyarakat juga turut
membantu secara sukarela dalam wujud tenaga seperti membantu mengangkat
bebatuan. Dan pasca upaya pemugaran, masyarakat penganut Hindu Bali dan
Kejawen banyak berperan dalam pelestarian karena mereka menganggap bahwa
keberadaan situs Jolotundo memiliki nilai-nilai spiritual sehingga turut melakukan
upaya penjagaan.
Untuk upaya pengembangan, menurut salah satu sumber bahwa pihak
pengelola inti hanya menambahkan fasilitas seperti pagar dan pos jaga untuk
membantu mengamankan candi. Di luar itu, fasilitas pendukung tidak dibangun
guna mempertahankan keaslian obyek dan lingkungan.11 Keberadaan fasilitas lain
seperti parkiran, tempat kuliner, dan sebagainya merupakan proyek
pengembangan dari tim bidang lainnya.
2.3 Deskripsi Candi Belahan dan Pemanfaatannya
Jika berbicara mengenai raja Airlangga tak lekang dari sebuah cagar
budaya yang bernama Candi Belahan, terletak di suatu desa terpencil di Pasuruan
tepatnya di Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan Jawa timur. Bangunan
pertirtaan dengan wujud yang identik dengan gunung Kawi di Bali dapat
ditemukan di Jawa yakni di Belahan. Lokasinya berada di lereng gunung
Penanggungan di mana perjalanan menuju ke lokasi tersebut harus melewati jalan
yang berliku dan terjal. Candi Belahan merupakan tempat bertapanya Prabu
Airlangga dalam naskah Kakawin Arjunawiwaha dituliskan tepatnya di kaki
gunung Himalaya Ketika Prabu Airlangga mencari kekuatan untuk melawan Raja
Wurah Warih yang kemudian bertemu dengan dua Dewi dari Kahyangan, yaitu
Dewi Laksmi dan Dewi Sri.

11
Ibid, hlm 113.

13
Gambar : Diambil pada bulan Oktober ketika pengambilan video dokumenter naskah Kakawin
Arjuna Wiwaha.
Petirtaan belahan merupakan sebuah pemandian bersejarah pada masa
kerajaan Airlangga yaitu kerajaan Kahuripan tepatnya pada abad ke-11. Sumber
air alami yang mendapat tambahan dan pengerjaan lebih lanjut secara artifisial.
Misalnya membuatkan pancuran (jaladwara) sebagai jalan keluarnya air,
memperkeras tepian kolam dengan balok-balok batu, menambahkan arca- arca
dewata dan lainnya lagi. Petirtaan tersebut berbentuk persegi empat dimana
terdapat arca perwujudan Airlangga, terdapat dua patung yang dialiri oleh aliran
air yang bersumber dari sungai kecil kemudian dialirkan dari payudara selir raja
Airlangga yaituDewi Laksmi dan Dewi Sri. Dalam wilayah tersebut juga terdapat
lingga dan patung kepala naga beserta patung Candra Sengkala. Candi tersebut
berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Candi pertirtaaan ini difungsikan sebagai tempat menampung air suci yang
langsung mengalir dari gunung Penanggungan dimana pada masa itu diibaratkan
sebagai gunung Mahameru. Memilih bentuk pemandian dengan bentuk seperti ini
dimungkinkan dipengaruhi oleh pertimbangan kondisi topografis yang kurang
memungkinkan apabila mendirikan bentuk menara sebagai tempat pemujaan dan
sembahyang. Oleh karena itu bentuk pemandian atau pertirtaan ini mempunyai
keunikan, yaitu terjadinya pengolahan bentuk melalui desain yang diadaptasi dari
kemiringan lereng. Dengan demikian bentuk bangunan yang terjadi memang
ditentukan oleh adanya karakteristik dari kemiringan lereng tersebut. Bali,
wilayah kelahiran Prabu Airlangga yang menyebabkan petirtaan Belahan identik
dengan kolam percandian Gunung Kawi dan Goa Gajah di Bali.

14
Candi Belahan diperkirakan dibuat di awal abad ke-14 M. Belahan adalah
petirtaan Majapahit dengan konstruksi bata dan arca batu sebagaimana yang
terdapat pada kepurbakalaan Majapahit lainnya yang juga menggunakan kedua
bahan tersebut seperti Candi Jawi, Jago, Panataran, petirtaan Watu Gede, dan
lainnya lagi. Tipe candi yang berbentuk pertirtaan ini popular didirikan pada masa
akhir Mataram Kuno atau pada masa korelasi antara Jawa dan Kerajaan di Bali,
yakni sekitar abad ke 10-11. Pada masa ini candi-candi yang terbuat dari batu
yang berbentuk menara sudah jarang ditemukan, mengingat kemungkinan besar
telah terjadi perubahan penggunaan material menjadi dari kayu. Peninggalannya
jarang sekali ditemukan karena terbuat dari kayu. Namun di sisi lain muncul
fenomena pembangunan candi-candi yang berbentuk pertirtaan seperti candi
Songgoriti, Jalatunda, Belahan, Simbatan, Gunung Kawi di Bali, Tirta Empul dan
Goa Gajah di Bali.
Pemanfaatan candi Belahan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya candi
dapat mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai makam kuil dan Sumber Mata
Air. Petirtaan yang merupakan bangunan buatan sepenuhnya, artinya di tempat
tersebut tidak ada sumber air atau badan air apapun, namun kemudian dirancang
suatu bentuk bangunan baru yang difungsikan sebagai tempat untuk mengambil
air suci (Munandar 2003: 15) Candi pertirtaaan ini difungsikan sebagai tempat
menampung air suci yang langsung mengalir dari Gunung Penanggungan yang
pada saat itu diibaratkan sebagai Gunung Mahameru.
2.4 Pengelolaan dan Pengembangan Candi Belahan
Situs Candi Belahan merupakan situs candi petirtaan yang memiliki
banyak potensi bagi pariwisata daerah setempat maupun sebagai cagar budaya
nasional. Pengelolaan dan pengembangan situs ini tentunya dikelola dan
dikembangkan oleh pemerintah dengan dukungan masyarakat sekitarnya. Pada
dasarnya kawasan situs termasuk dalam kawasan strategi. Kawasan strategi
sendiri dibedakan berdasarkan pengelolaannya meliputi kawasan strategi nasional
(KSN), kawasan strategi provinsi (KSP) dan kawasan strategi kabupaten (KSK).
Kawasan strategi nasional adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan

15
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Penetapan Kawasan Strategi Nasional (KSN) menjadi kewenangan dan
ditetapkan oleh Pemerintah pusat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kawasan strategi provinsi
adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan. Penetapan Kawasan Strategis Provinsi (KSP)
menjadi kewenangan dan ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kawasan Strategi Kabupaten adalah kawasan yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, atau lingkungan. Penetapan
Kawasan Strategi Kabupaten (KSK) menjadi kewenangan dan ditetapkan oleh
Pemerintah Kabupaten berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Situs ini ditetapkan sebagai cagar
budaya peringkat provinsi berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur Nomor
188/627/KPTS/013/2017.12
Pada Juni 2019 telah dilakukan kajian teknis terhadap struktur petirtaan,
diketahui terdapat ancaman kerusakan struktur karena kondisi lingkungan dan
aktivitas masyarakat di sekitar lokasi petirtaan. Hasil kajian teknis
merekomendasikan untuk melakukan penataan lingkungan di lokasi Petirtaan
Belahan demi menghambat terjadinya kerusakan lebih lanjut pada struktur.
Berdasarkan rekomendasi dari kajian teknis yang telah dilakukan, penataan
lingkungan yang dilakukan meliputi pemindahan akses masuk ke lokasi situs,
pembuatan jalur pedestrian, penataan kembali fasilitas pendukung, dan
penanaman tanaman.13

12
Balai Pelestarian Budaya Jawa Timur, “Penataan Lingkungan Petirtaan Belahan, Kab.
Pasuruan”, (Dalam Berita Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktoral Jenderal
Kebudayaan).
13
Balai Pelestarian Budaya Jawa Timur, loc.cit.

16
Pengembangan situs candi belahan dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Jawa Timur. Kebijakan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur dalam pengembangan situs ini adalah
melarang para pelaku ritual untuk mandi di kolam Candi Belahan. Alasan
pelarangan untuk mandi di kolam yang dibangun pada era kepemimpinan Prabu
Airlangga silam itu untuk menjaga kesakralan sumber air di situs kuno tersebut.
Petirtaan kolam situs tersebut pada pancuran airnya dimanfaatkan untuk air
minum warga. Fungsi candi belahan sendiri berbeda dengan dengan Candi
Jolotundo Mojokerto yang memang di bangunan candinya terdapat petirtaan
tempat mandi. Kemudian untuk mengatasi keinginan pengunjung situ yang ingin
mandi pemerintah desa Wonosunyo sudah menyediakan dua kamar mandi di
bawah jalan samping Candi Belahan. Pemberlakuan kebijakan pada larangan
mandi di situs candi belahan ini sebelumnya telah meminta rekomendasi dari
Ikatan Ahli Arkelogi Indonesia (IAAI) di Jawa Timur.14
2.5 Dampak Eksistensi Candi Jolotundo dan Candi Belahan
Eksistensi atau keberadaan Candi memiliki berbagai dampak entah itu
terhadap masyarakat atau lingkungan disekitarnya. Dampak dari keberadaannya
juga beraneka ragam bisa berdampak positif, bisa juga berdampak negatif.
Dampak Positif
1. Nilai Arkeologi
Nilai Arkeologi sendiri merupakan nilai yang berhubungan dengan kekunaan
yang meliputi bentuk arsitektur, tahapan pembangunan, dan temuan artefak di
sekitarnya. Setiap Candi memiliki manfaat arkeologi, seperti :
a. Scientific research, maksudnya bahwa sumber daya arkeologi tidak
hanya untuk memenuhi kepentingan disiplin arkeologi ataupun
para ahli arkeologi saja, tetapi berbagai disiplin lainpun dapat
memanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

14
Sandhi, “BPCB Larang Ritual Mandi di Petirtaan Candi Belahan Sumber Tetek”, (Dalam Berita
harian JATIMNOW.com).

17
b. Creative art, bahwa sumber daya arkeologi dapat juga dijadikan
sebagai sumber inspirasi para seniman sastrawan, penulis, maupun
fotografer, dan sumber daya arkeologi tersebut sekaligus dijadikan
sebagai objek kreativitasnya.
c. Education, sumber daya arkeologi terutama yang bersifat
monumental ataupun yang sudah dimuseumkan mempunyai
peranan penting dalam upaya menanamkan sekolah dan generasi
muda, yaitu dalam upaya menanamkan rasa cinta dan bangga
terhadap kebesaran bangsa dan tanah airnya melalui sumber daya
arkeologi sebagai tinggalan nenek moyangnya15. Sehingga dengan
keberadaan candi ini sangat bermanfaat bagi para peneliti dan juga
dapat mengedukasi dan menambah wawasan tentang arkeologi
bagi para wisatawan yang datang ke candi-candi tersebut.
2. Nilai Religi
Karena kedua candi di atas memiliki bentuk pertirtaan, maka seperti yang kita
tahu bahwa pertirtaan dipandang sebagai tempat untuk mengambil air suci untuk
acara keagamaan. Begitu penting air dalam upacara keagamaan agama Hindu-
Budha. Maka tak heran dengan keberadaan dua candi ini menarik banyak
masyarakat untuk menjadikannya sebagai tempat melakukan upacara atau ritual
keagamaan.
Selain digunakan sebagai tempat upacara candi ini juga menjadi alternatif
wisata religi yang dikunjungi masyarakat untuk melepas penat setelah menjalani
berbagai kesibukan seperti kuliah, kerja, sekolah, dsb. Meskipun fasilitas
penunjang selain pemandian hanya sedikit, namun pemandangan di sekitar candi
bisa memanjakan mata dengan keindahannya dan menjadi obat penghilang rasa
penat untuk sesaat. Selain pemandangan, udara sejuk disekitar candi sangat
menenangkan pikiran ketika duduk bersantai di sekitar pemandian. Banyaknya
wisatawan lokal yang datang juga berdampak pada perekonomian warga sekitar
dan tentunya meningkatkan pendapatan daerah setiap tahunnya. Selain

15
.Ayu Wulandari, op.cit, hlm 184.

18
berpengaruh pada pendapatan perekonomian, juga berpengaruh pada terbukanya
lapangan pekerjaan baru disekitar candi. Sepeti toko penjual makanan khas,
souvenir yang biasanya dicari untuk dijadikan oleh-oleh. Selain itu juga
memunculkan penginapan yang biasanya dibutuhkan para wisatawan yang datang
dari luar kota yang memiliki jarak tempuh lumayan jauh.
3. Nilai Historis
Nilai historis merupakan nilai kesejarahan yang dimiliki suatu objek atau
peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan objek tersebut. Nilai historis
bangunan Candi dapat diketahui, baik dari sumber tertulis, seperti prasasti dan
karya sastra, maupun sumber tak tertulis, misalnya gaya bangunan, seni area,
patung atau arca, dan unsur-unsur bangunan tersebut. Nilai historis ini dapat
menambah pengetahuan mengenai sejarah seputar candi. Sehingga candi menjadi
salah satu tempat wisata yang sangat direkomendasikan untuk dikunjungi bersama
keluarga. Selain para orang tua bisa refresing, si anak juga dapat mengenal serta
belajar mengenai sejarah Candi-Candi yang bisa dilihat dari tulisan yang telah
disediakan. Dari situ bisa menarik minat atau ketertarikan anak terhadap ilmu
sejarah. Selain itu juga sekaligus menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran
terhadap masyarakat akan pentingnya mempelajari dan mengenal sejarah.
Dampak Negatif
Dampak negatif dari keberadaan Candi beranekaragam, namun yang
paling terasa adalah dampaknya terhadap lingkungan. Ketika menjadi tempat
wisata banyak terjadi vandalisme dalam berbagai jenis mulai dari memanjat dan
menduduki arca atau patung, mencoret dinding, dsb. Selain itu juga banyak
ditemukan sampah di sekitar area Candi mulai dari bungkus makanan atau
minuman, puntung rokok, kresek, sisa makanan, dsb. Sampah yang berukuran
kecil kadang masuk dan berada pada sela sela arca, atau biji-bijian buah yang
tertinggal kemudian tumbuh menjadi pohon disekitar pemandian yang kemudian
dapat merusak struktur bangunan atau arca. Banyaknya sampah dan vendalisme
jika dibiarkan semakin lama maka suatu saat akan merusak candi. Jika candu
rusak maka cagar budaya yang kita miliki akan semakin berkurang. Selain itu
dampak negatif lainnya dari eksistensi Candi adalah ketika candi tersebut banyak

19
dikenal dan didatangi orang maka akan berpengaruh pada lalu lintas disekitarnya.
Ketika waktu tertentu akan menyebabkan kemacetan yang sangat mengganggu
ditambah lagi polusi yang dihasilkan kendaraan yang datang ke area candi.

20
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Candi Jolotundo merupakan sebuah petirtaan yang dibangun oleh Raja
Udayana untuk pertapaan Raja Airlangga. Pengelolaan berada di bawah BPCB,
dan beberapa kali dilakukan pemugaran untuk menata ulang bangunan candi.
Untuk cara-cara pengelolaannya direkrut seorang Juru Pelihara yang memiliki
tugas untuk menjaga dan merawat candi. Pengembangan dilakukan dengan
menambahkan beberapa fasilitas seperti parkiran, area kuliner, pos jaga, dan
pagar. Sedangkan Candi Belahan terdapat di kabupaten Pasuruan yang merupakan
tempat pertapaan Raja Airlangga untuk mencari kekuatan. Pemanfaatan candi ini
digunakan sebagai makam kuil dan sumber mata air. Candi ini dikelola oleh
pemerintah Kabupaten dan BPCB, serta dilakukan pengembangan dengan
dibangunnya beberapa fasilitas pendukung.
Ditetapkannya candi Jolotundo dan Belahan sebagai benda warisan
budaya, memberi dampak pada berkembangnya sektor wisata sejarah dan
memberikan pendapatan pada masyarakat sekitarnya. Untuk pengunjung, kedua
candi dapat berfungsi sebagai sarana wisata edukasi. Namun tak jarang juga
pengunjung melakukan vandalism yang berujung pada kerusakan candi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Balai Pelestarian Budaya Jawa Timur. “Penataan Lingkungan Petirtaan Belahan,


Kab. Pasuruan”. (Dalam Berita Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktoral Jenderal Kebudayaan, diakses pada 20 April 2021).

Izzah, Afifa Nurul. 2020. “Kerja Sama Pemerintah dan Masyarakat Dalam
Upaya Pelestarian Candi Jolotundo”. Skripsi. (Jember: Program Studi Sosiologi,
Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember).

Prajudi, Rahadhian. “Kajian Estetika Desain Arsitektur Candi di Nusantara (A


Study on Indonesian Temple’Candi’ Aesthetic)”. Simposium Internasional Jelajah
Arsitektur Nusantara. ITM, Medan.

Prajudi, Rahadhian. 1999. “Tipo-Morfologi Arsitektur ‘Candi’ di Jawa (Kajian


Arsitektural terhadap Perkembangan Desain Sosok, Denah, dan
Perletakannya)”. Institut Teknologi Bandung.

Rosyadi, Khalid. 2018. “Analisis Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Sebagai
Wujud Penyelenggaraan Urusan Wajib Pemerintahan Daerah”. Jurnal Administrasi
Publik, Vol. 2 No. 5.

Sandhi. “BPCB Larang Ritual Mandi di Petirtaan Candi Belahan Sumber Tetek”.
(Dalam Berita harian JATIMNOW.com, diakses pada 20 April 2021).

Sulistyo, Deny Bagus, dkk. 2018. “Sejarah Wisata Jolotundo Trawas, Mojokerto
Pada 1986-2010”. STKIP PGRI Sidoarjo.

Wulandari, Ayu. 2013. “Upaya Pelestarian dan Pemanfaatan Pertitraan


Jolotundo". Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume. 1, No. 2.

22

Anda mungkin juga menyukai