Anda di halaman 1dari 11

KH.

Anas Al Ayyubi; Riwayat dan Peranannya Bagi Masyarakat Jatirejo,


Porong, Sidoarjo

Oleh Ulul Aminatus Sholikah

121811433096

KH. Anas Al Ayyubi lahir di Kampung Pesantren, Kecamatan Porong,


Sidoarjo pada tanggal 6 Januari 1940. KH. Anas Al Ayyubi merupakan putra
ketiga dari pasangan KH. Abdurrahman bin Thohir dan Nyai Umroniyah yang
juga dikenal sebagai tokoh agama oleh masyarakat. Pada usianya yang ke-63, KH.
Anas Al Ayyubi dinyatakan meninggal dunia karena penyakit diabetes yang
dideritanya. Hingga akhir hayatnya, beliau ditemani oleh istrinya yakni Nyai
Dewi Ainun Mariyah dan memiliki 5 keturunan yakni Nur Sa’diah, Nur Saidah,
Muhammad Miftahul Huda, Muhammad Sulaiman, dan Muhammad Rizal Al-
Ayyubi.
Lahir di tengah keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman,
membuat masa kecil dari KH. Anas Al Ayyubi juga turut dididik untuk mengenal
Islam sejak usianya yang masih belia. Pengetahuan-pengetahuan dasar seperti
kewajiban untuk menunaikan sholat, melakukan puasa, mengaji Al-Quran, dsb
sudah dipelajarinya sejak kecil.1 Ayahnya yakni KH. Abdurrahman dikenal oleh
masyarakat di kampungnya sebagai seorang yang ahli riyadhoh yakni orang yang
konsisten melaksanakan ibadah baik yang sifatnya wajib maupun sunnah, beliau
juga memiliki latar belakang pendidikan pesantren sehingga sudah menjadi
ketentuan bahwa beliau mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang Islami.
Sementara ibunya yaitu Nyai Umroniyah dikenal sebagai seorang yang
memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan
dibangunnya Taman Pendidikan Islami oleh beliau pada tahun 1938. 2 Kedua
orang tuanya, mendidik KH. Anas Al Ayyubi dengan cukup tegas, ia juga
dibimbing untuk menjadi pribadi yang menghormati dan menghargai orang lain,
sehingga terbentuk karakter dalam diri seorang KH. Anas Al Ayyubi menjadi

1
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah, pada 06 Oktober 2021, pukul 15.06, di desa
Ploso, Pondok Pesantren Abil Husain Asy Syadzily, Kecamatan Krembung, Sidoarjo.
2
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.

1
seorang yang cerdas, ramah, dan sopan. Dalam hal melaksanakan kewajiban
dalam agama Islam.
KH. Anas Al Ayyubi menempuh pendidikan formalnya di Taman
Pendidikan Islam yang sudah dibangun oleh ibunya sejak tahun 1938. Setelah
dirasa cukup dengan bekal ilmu keagaaman yang diberikan bagi anaknya, KH.
Abdurrahman bin Thohir kemudian mengirimkan putranya untuk melanjutkan
pendidikan pesantren di pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang. Di sana seorang
Anas Al Ayyubi dikenal sebagai santri yang cerdas dan aktif, beliau dikenal
sebagai santri yang pandai dalam ilmu kitab, ilmu hadist, ilmu tafsir, wiritan,
hingga ilmu kanuragan, oleh karena itu beliau menjadi santri yang cukup dekat
dan diandalkan oleh KH. Idris Kamali yang merupakan menantu dari KH. Hasyim
Asy’ari.3 Begitu juga dengan KH. Anas Al Ayyubi, beliau menganggap KH. Idris
Kamali bukan hanya seorang guru, tetapi juga sebagai seorang sahabat yang
menjadi tempatnya untuk bertukar pikiran sekaligus sebagai jujukan.
Usai menamatkan pendidikannya, KH. Anas Al Ayyubi kembali ke
kampung halamannya. Di sana beliau juga aktif untuk berbagi ilmu pada
masyarakat mengenai hal-hal keagamaan. Setiap sore di langgar atau musholla
milik desanya, KH. Anas Al Ayyubi rutin mengajarkan anak-anak tentang cara
mengaji Al-Quran. Bersamaan dengan itu, KH. Anas Al Ayyubi memilih untuk
melajutkan pendidikan tinggi di Institut Agama Islam Sunan Ampel Surabaya.
Di usianya yang ke 25, KH. Anas Al Ayyubi memutuskan untuk menikahi
gadis pujaannya yakni Dewi Ainun Mariyah yang kala itu masih berusia 17 tahun.
Dewi Ainun Mariyah merupakan gadis yang juga tinggal satu desa dengan KH.
Anas Al Ayyubi. Dewi Ainun Mariyah merasa kagum dengan kepribadian KH.
Anas Al Ayyubi yang dikenal ramah dan memiliki kecerdasan dalam hal ilmu
agama, hal itulah yang membuatnya yakin untuk menjalin rumah tangga dengan
KH. Anas Al Ayyubi. Akan tetapi, sedikit berbeda dari pasangan yang biasanya
menjalin hubungan secara islami, KH. Anas Al Ayyubi dan Dewi Ainun Mariyah
lebih dahulu menjalin hubungan yang biasa disebut dengan istilah pacaran selama

3
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.

2
beberapa bulan, hingga akhirnya pernikahan keduanya dilangsungkan pada tahun
1965.4

Foto Dewi Ainun Mariyah, Istri KH. Anas Al Ayyubi.


Dok. Pribadi
Namun sebelum pernikahan itu dilaksanakan, menurut keterangan dari
Dewi Ainun Mariyah bahwa KH. Anas Al Ayyubi sempat mendapatkan tawaran
dari seorang kiai di kepulauan Bawean untuk menikahi putrinya dan menjadi
menantunya.5 Alasannya adalah karena kepandaian dan kemampuan dalam
menyebarkan nilai-nilai islam yang dimiliki oleh KH. Anas Al Ayyubi. Apabila ia
mau, maka KH. Anas Al Ayyubi akan mendapatkan segala fasilitas seperti rumah
sekaligus menjadi pewaris untuk mengurus pondok pesantren yang dimilikinya.
Namun dengan keteguhan sikapnya, KH. Anas Al Ayyubi menolak tawaran
tersebut dan lebih memilih untuk tetap menikah dengan gadis yang dicintainya
yakni Dewi Ainun Mariyah.
Setelah pernikahannya tersebut, pasangan KH. Anas Al Ayyubi dan Dewi
Ainun Mariyah dikaruniai putri pertama yang diberi nama Nur Sa’diah. Selain itu,
mereka juga tetap aktif memberikan edukasi mengenai keagaamaan kepada
masyarakat. Kemampuan yang dimiliki oleh KH. Anas Al Ayyubi tidak hanya
disegani oleh masyarakat desa asalnya tetapi juga sampai ke luar daerah tersebut.

4
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.
5
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.

3
Salah satunya adalah wilayah desa Jatirejo yang sebagian masyarakatnya memiliki
kekaguman tersendiri terhadap karisma yang dimiliki oleh KH. Anas Al Ayyubi.
Tidak semua masyarakat desa Jatirejo mengenal sosok KH. Anas Al
Ayyubi, namun beberapa sesepuh desa yakni Mbah Djoyo, Mbah Yasin, dan
Mbah Takim yang mengenalinya datang menemui KH. Anas Al Ayyubi untuk
meminta diajarkan cara mengaji dan memberikan pengetahuan mengenai agama
kepada masyarakat desa Jatirejo.6 Hal tersebut dapat terjadi sebab kondisi
keagamaan dan sosial budaya masayarakat desa Jatirejo masih kurang baik.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut di antaranya mabuk-mabukan, perjudian,
hingga perzinahan masih marak dilakukan masyarakat desa Jatirejo di tahun 1960-
an. Bahkan masih ada beberapa yang melakukan pemujaan terhadap benda atau
tempat yang dinilai keramat sebagai perantara untuk mengabulkan keinginan
mereka. Situasi yang demikian disebabkan oleh lingkungan yang kurang
mendukung, hanya ada sebagian kecil saja dari masyarakat yang benar-benar
mempelajari dan menerapkan ajaran-ajaran agama Islam dalam kesehariannya. 7
Awalnya KH. Anas Al Ayyubi menolak permintaan dari beberapa sesepuh
desa Jatirejo tersebut karena merasa ragu dan belum sepenuhnya pantas, namun
Mbah Djoyo, Mbah Yasin, dan Mbah Takim yang sedikit mengetahui perjalanan
pendidikan dari KH. Anas Al Ayyubi memilih untuk menemui KH. Idris Kamali,
yakni sang guru. Dengan maksud dan tujuannya yang disampaikan kepada KH.
Idris Kamali, lantas beliau memanggil KH. Anas Al Ayyubi untuk datang
menemuinya. Dalam pertemuan itulah, KH. Idris Kamali berusaha mendorong
KH. Anas Al Ayyubi untuk menyetujui permintaan dari ketiga sesepuh desa
Jatirejo dan memberi nasihat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan serta
beliau akan terus mendukung langkah yang diambil oleh KH. Anas Al Ayyubi.
Dengan sikap hormatnya kepada sang guru, pada akhirnya KH. Anas Al
Ayyubi menyanggupi permintaan tersebut. Pada tahun 1965, KH. Anas Al Ayyubi
dan keluarga kecilnya sepakat untuk pindah ke desa Jatirejo. Di sana, Mbah Djoyo

6
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.
7
Nuning Wahyu Ningsih, “Nur Zaenab Noer Aziz dan Peranannya Dalam Pembinaan
Umat Islam di Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo”, Skripsi, 1997, Jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, Institut Agama Islam Sunan Ampel Surabaya, hlm 9.

4
memberikan sebagian tanahnya kepada KH. Anas Al Ayyubi untuk dibangunkan
rumah di atasnya sebagai tempat tinggal.8
Perjalanan awal keluarga KH. Anas Al Ayyubi untuk menyebarkan ilmu-
ilmu agama di desa Jatirejo dilalui dengan tidak mudah. Dewi Ainun Mariyah
memberikan keterangan bahwa tidak sepenuhnya masyarakat desa Jatirejo
menyambut hangat kedatangan mereka.9 Namun KH. Anas Al Ayyubi berpesan
kepada sang istri untuk terus tekun dan menguatkan niat serta meyakinkannya
bahwa hal tersebut adalah bagian dari sebuah perjuangan untuk menegakkan
ajaran agama dan mencari ridho Allah SWT.
Setiap hari, KH. Anas Al Ayyubi rutin mengajarkan cara mengaji kepada
beberapa orang yang dengan sukarela datang ke langgar untuk mendapatkan ilmu.
KH. Anas Al Ayyubi mengajar dari satu langgar ke langgar lainnya, meski
terkadang sepi murid yang datang tetapi beliau tetap tekun dalam membagikan
ilmunya. Selain mengajar ngaji, kegiatan tersebut juga diselingi dengan
memberikan ceramah keagamaan yang tujuannya adalah untuk menyadarkan
masyarakat mengenai pentingnya kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Ceramah tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sederhana
sehingga dapat dengan mudah dimengerti, dan tidak ada paksaan apapun sehingga
siapa saja yang datang ke langgar maka boleh ikut di dalamnya. 10 Dari kegiatan
yang rutin dilakukannya tersebut, membuat KH. Anas Al Ayyubi sedikit demi
sedikit dikenal oleh masyarakat desa Jatirejo. Beliau dikenal sebagai seorang guru
dengan kepribadian yang ramah dan penyabar, tidak hanya itu beliau juga menjadi
tempat bagi masyarakat yang ingin bertanya dan meminta nasihatnya.
Selama satu tahun menetap di desa Jatirejo, KH. Anas Al Ayyubi
kemudian menyadari bahwa penduduk desa sangat terbatas dalam hal pendidikan.
Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai biaya sehingga tidak dapat
melanjutkan sekolahnya. Sebagian merupakan lulusan Sekolah Dasar, sebagian
lagi bahkan tidak bersekolah sama sekali. Atas dasar hal tersebut, KH. Anas Al

8
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.
9
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.
10
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.

5
Ayyubi berinisiatif untuk membangun fasilitas pendidikan yakni pondok
pesantren.
Tahun 1966, KH. Anas Al Ayyubi dengan bantuan dari para pengikutnya
membangun sebuah pesantren yang diberi nama pondok pesantren Nurul Hikmah.
Tujuan didirikannya pondok pesantren tersebut bukan hanya sekadar
memfasilitasi sarana pendidikan bagi masyarakat, tetapi juga sebagai wujud usaha
untuk menuntaskan komitmen-komitmen keislaman yang dipegang teguh oleh
KH. Anas Al Ayyubi. Pondok pesantren Nurul Hikmah memiliki luas ± 1646 m²
dari total luas keseluruhan tanah yang ada di desa Jatirejo yakni 94.449 ha. Karena
keterbatasan biaya yang dimiliki, pada periode awal dilangsungkannya proses
pendidikan di dalam pondok pesantren tersebut, sarana yang dimiliki adalah dua
belas kelas dengan masing-masing ukurannya adalah 6 x 9. Satu kelas dapat
memuat 40 hingga 50 santri. Sementara peralatan tulis yang ada di dalamnya
hanya bangku, papan tulis, dan kapur tulis.11
KH. Anas Al Ayyubi terus berusaha mengembangkan pondok pesantren
Nurul Hikmah agar dapat terus bermanfaat bagi masyarakat. Hingga tahun 1978,
pondok pesantren tersebut telah memiliki 7 kamar bagi para santri, serta
memperluas lahannya sekitar 70 x 63 m².12 Untuk pembiayaan pembangunan dan
perkembangan pondok pesantren Nurul Hikmah dari tahun ke tahunnya, sebesar
90% ialah murni biaya dari KH. Anas Al Ayyubi sedangkan 10% merupakan dana
bantuan dari masyarakat Jatirejo. Dengan semakin berkembangnya pondok
pesantren Nurul Hikmah membuat para santri yang belajar di dalamnya bukan
hanya berasal dari desa Jatirejo tetapi juga dari luar desa.
Dengan pendirian pondok pesantren Nurul Hikmah, maka kemudian para
santri dan masyarakat desa semakin akrab untuk memanggil KH. Anas Al Ayyubi
dengan sebutan kiai. Tidak hanya fokus memimpin dan mengurus pondok
pesantren, KH. Anas Al Ayyubi juga tetap aktif untuk melakukan dakwah, beliau
berkeliling untuk memberikan ceramah keagamaan dari satu tempat ke tempat
11
Drais,“Sejarah Pondok Pesantren “Nurul Hikmah” Porong (Studi Historis Tentang
Perkembangan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Desa Jatirejo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo)”, Skripsi, 1997, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, Institut
Agama Islam Sunan Ampel Surabaya, hlm 25.
12
Ibid, hlm 68.

6
lainnya. Di tahun 1970, KH. Anas Al Ayyubi mulai banyak melakukan ceramah
di luar desa Jatirejo. Dan bagi masyarakat yang sering mendengar ceramah atau
dakwah dari KH. Anas Al Ayyubi, mereka menjulukinya sebagai Singa Podium.13
Hal tersebut dikarenakan masyarakat kagum dengan kepandaian beliau serta
kelengkapan ilmu yang dimilikinya mulai dari ilmu kitab, ilmu tafsir, ilmu hadist,
wiritan, hingga ilmu kanuragan.
Peranan yang dihasilkan oleh KH. Anas Al Ayyubi tidak terbatas pada
masyarakat desa Jatirejo dan sekitar kecamatan Porong saja. Karena
kemampuannya, KH. Anas Al Ayyubi mendapat tawaran untuk bergabung dengan
sebuah partai politik yakni Partai Kebangkitan Bangsa pada tahun 1998. Posisi
yang ditawarkan kepada beliau adalah untuk menjadi Dewan Syuro pertama dari
partai tersebut.14 Dewan Syuro merupakan dewan pemimpin partai yang memiliki
kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan yang digunakan untuk
mengatur jalannya partai tersebut.

Foto saat KH. Anas Al Ayyubi mengikuti acara debat publik untuk calon bupati
Sidoarjo tahun 2000.
Dok. Keluarga KH. Anas Al Ayyubi
Tidak hanya bergabung dengan politik, di tahun 2001 KH. Anas Al
Ayyubi terpilih menjadi Rais Syuriah Nadhatul Ulama Sidoarjo periode 2001
sampai 2006. Rais Syuriah merupakan posisi utama dalam kepemimpinan
organisasi Nadhatul Ulama. Dengan jabatannya itu, KH. Anas Al Ayyubi
memiliki hak untuk mengatur arah kebijakan yang diterapkan dalam organisasi,
13
Wawancara dengan Muhammad Subhan Muhzamilah, pada 7 Oktober 2021, pukul
13.15, di Kantor PWNU Jawa Timur.
14
Wawancara dengan Dewi Ainun Mariyah.

7
memberi petunjuk, arahan, dan bimbingan, serta mengawasi, mengontrol,
mengoreksi, dan mengawasi perangkat, badan otonom, serta lembaga yang berada
di bawah kepemimpinan Syuriah.
Terpilihnya KH. Anas Al Ayyubi sebagai Rais Syuriah Nadhatul Ulama
Sidoarjo merupakan hasil keputusan dari konferensi cabang NU yang selesai
dilakukan pada tanggal 8 April 2001. Dalam konferensi tersebut, beberapa nama
disebutkan sebagai pemimpin yang baru di antaranya KH. Anas Al Ayyubi
sebagai Rais Syuriah bersama dengan H. Ahmad Salman sebagai wakilnya, serta
H. Abdy Manaf sebagai ketua tanfidziyah. Keputusan tersebut tercatat secara
resmi pada SK PBNU nomor 213/ A. II.04.d/04/2001.15 Dalam memimpin
organisasi Nadhatul Ulama, KH. Anas Al Ayyubi dikenal oleh anggota sebagai
sosok pemimpin yang tegas sekaligus ramah. Beliau memimpin dengan gaya yang
santai tetapi tidak sampai melalaikan tanggung jawabnya. Bagi anggota Nadhatul
Ulama, beliau juga dikenal sebagai ahli riyadhoh.16

Foto profil KH. Anas Al Ayyubi ketika menjabat Rais Syuriah


Dok. PCNU Sidoarjo

15
Muhammad Subhan Muhzamila, dkk, “NU Sidoarjo; Sejarah, Situs-situs Penting,
Serba-serbi Para Tokoh dan Ulama Kharismatik, Aset Yang Luar Biasa, Jejak Dokumentasi”,
(Sidoarjo: Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU Sidoarjo), hlm 105.
16
Wawancara dengan Muhammad Subhan Muhzamilah.

8
Foto saat KH. Anas Al Ayyubi menghadiri acara pelantikan pengurus baru PCNU
Sidoarjo tahun 2001.
Dok. Keluarga KH. Anas Al Ayyubi
Ketika berada di puncak karirnya, saat KH. Anas Al Ayyubi tengah
mengemban banyak tugas sebagai pemimpin, beliau dihadapkan dengan kondisi
tubuhnya yang terserang penyakit diabetes. Pada bulan Januari 2003 di usianya
yang menginjak 63 tahun, KH. Anas Al Ayyubi menghembuskan nafas
terakhirnya. Beliau dimakamkan di desa Jatirejo sebagai wujud penghormatan
atas besarnya peranan dan perubahan dalam kebaikan yang dihasilkan atas
perjuangan KH. Anas Al Ayyubi. Makam beliau banyak didatangi untuk berziarah
bukan hanya para santrinya tetapi juga masyarakat yang mempercayai jasa-jasa
beliau.

Makam KH. Anas Al Ayyubi di desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo.


Dok. Pribadi.

9
Referensi:
Drais. 1997. “Sejarah Pondok Pesantren “Nurul Hikmah” Porong (Studi Historis
Tentang Perkembangan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Desa Jatirejo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo)”. Skripsi. Jurusan Sejarah Kebudayaan
Islam, Fakultas Adab, Institut Agama Islam Sunan Ampel Surabaya.

Muhzamilah, Muhammad Subhan, dkk. 2020. “NU Sidoarjo; Sejarah, Situs-situs


Penting, Serba-serbi Para Tokoh dan Ulama Kharismatik, Aset Yang Luar Biasa,
Jejak Dokumentasi”. Sidoarjo: Lembaga Ta’lif wan Nasyr NU Sidoarjo.

Ningsih, Nuning Wahyu. 1997. “Nur Zaenab Noer Aziz dan Peranannya Dalam
Pembinaan Umat Islam di Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo”.
Skripsi. Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, Institut Agama Islam
Sunan Ampel Surabaya.

Wawancara:

1. Nama : Dewi Ainun Mariyah


Umur : 73 Tahun
Sebagai : Istri KH. Anas Al Ayyubi
2. Nama : Muhammad Subhan Muhzamilah
Umur : 62 Tahun
Sebagai : Pengurus PCNU Sidoarjo

Foto saat wawancara dengan Nyai Dewi Ainun Mariyah.

10
Foto saat wawancara dengan Bapak Muhammad Subhan Muhzamilah.

11

Anda mungkin juga menyukai