PENDAHULUAN
1
Silsilah Keluarga Besar Bani Qomariz Zaman. Probolinggo. 1989. KBBQZ.
1
Allah benar-benar mewujudkan apa yang dikatakan Kiai Dimpo dengan lahirnya bayi yang menjadi
pemimpin dan penuntun ummat yaitu KH. Mohammad Hasan, semoga Allah memberikan rahmat dan ridha-Nya.
Dengan peristiwa yang terjadi maka tidak ada keraguan lagi bahwa beliau termasuk orang yang telah
difirmankan Allah.
Kiai Miri adalah orang yang rajin bersedekah. Begitu pula Nyai Miri. Setiap kali mendapat hasil kerja,
tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Tidak hanya bersedekah. Keduanya senantiasa
menjaga hati dengan ibadah. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini.
Kehamilan Nyai Miri membuat keluarga itu semakin meningkatkan ibadah pada Alla SWT. Waktu terus
berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi yang dinanti-nantikan itu. Ternyata lahir seorang anak
laki-laki. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h. Kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri,
putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan bin Syamsuddin adalah putra kedua dari 5 bersaudara. Secara berurutan keturunan Kiai Miri-Nyai
Miri adalah Nyai Hj. Halimah, KH. Mohammad Hasan, KH. Mohammad Rais, Nyai Hj. Zainab, dan Nyai Hj.
Shofiyah.
2
Ahsan belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya sendiri. Bersama
Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin.
Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga
rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu
tercepat dalam pelajaran hafalan. Hafalan mereka tetap kuat diingat meski telah lama berlalu.
Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain
masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di
depan mereka. Hal itu berlangsung hingga kelak mereka dewasa. Namun dalam banyak hal, Ahsan memang
lebih menonjol dari pada teman-temannya.
3
Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar
di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-
pesantren besar dan terkemuka. Tidak ada yang menyangkal bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Kiai Kholil menerima Ahsan dan Asmawi mondok di pesantrennya. Ada sebuah kebiasaan Ahsan. Ahsan
membiasakan diri tidur di depan pintu dalem Kiai Kholil. Maksudnya agar di pagi harinya, Ahsan akan
dibangunkan langsung oleh Kiai Kholil. Dengan begitu ia akan berada di shof paling dekat dengan Kiai Kholil.
Ahsan adalah santri paling rajin di pondok tersebut.
Selama di pesantren tersebut, Ahsan tak jarang dimarahi dan diberi hukuman. Bukan karena Ahsan
nakal. Namun karena Kiai Kholil ingin memberi pelajaran yang bermanfaat pada Ahsan. Meski demikian, tak
sebersit sedikit pun dalam hati Ahsan merasa tersakiti. Ia sadar bahwa hal itu akan memberikan barokah
tersendiri pada Ahsan.
Pernah Ahsan dilempar dengan sebilah pisau besar sejenis golok oleh Kiai Kholil. Sabit itu mengenai
kaki Ahsan. Akibatnya, Ahsan harus menderita sedikit luka di kakinya. Ahsan ikhlas menerima dengan lapang
dada dan ikhlas. Luka itu tetap membekas hingga wafat.
Salah seorang teman santri hendak mengobati luka tersebut. Namun Ahsan malah melarang temannya
mengobati. Menurut Ahsan, luka tersebut akan menjadi peninggalan Kiai Kholil untuk Ahsan. Jadi tidak perlu
diobati.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Entah kenapa Kiai Kholil memanggil Ahsan. Ahsan pun
menghadap Kiai Kholil. Setelah bertemu, Kiai Kholil menyampaikan kesusahan yang dialami beliau.
Kiai Kholil bermaksud meminta pertolongan Ahsan. Kiai Kholil meminta Ahsan agar ikut berdoa kepada
Allah agar persoalan yang dialami Kiai Kholil dapat terselesaikan. Ahsan pun lantas ikut berdoa.
Subhanallah. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Sungguh tanda-tanda
keistimewaan yang luar biasa.
Selama berada di madura, Ahsan juga sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH.
Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh
Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan.
H. Menikah
Kabar kedatangan Kiai Hasan dan Kiai Rofi’i langsung menyebar di wilayah Probolinggo. Terlebih lagi
kedatangan Kiai Hasan memang dinanti-nantikan banyak orang. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahuan dan
kepribadian Kiai Hasan yang sudah terkenal waktu itu.
Kabar itu membuat KH. Zainul Abidin tertarik untuk menjadikannya sebagai seorang menantu. Beliau
seorang Kiai yang cukup berpengaruh di Kraksaan pada waktu itu, pendiri Pesantren Genggong. KH. Zainul
Abidin hendak menikahkan Kiai Hasan dengan salah seorang putrinya yang bernama Ruwaidah.
Akhirnya pernikahan antara Kiai Hasan dengan Nyai Ruwaidah binti KH. Zainul Abidin pun
berlangsung. Pada saat menikah pada tahun 1868 m., usia Kiai Hasan adalah 25 Tahun. Pernikahan inilah tali
penghubung kepemimpinan Pesantren Genggong selepas wafatnya KH. Zainal Abidin.
Berikut nama-nama Dzurriyyah (keturunan) KH. Mohammad Hasan hingga garis Cucu.
PUTRA-PUTRI DAN
ISTRI CUCU-CUCU
MENANTU
Istri: Nyai Ruwaidah Putra Pertama: KH. Ahmad 1. Kiai Mohammad Khozin.
Nahrawi 2. Kiai Yahya Nawawi
Menantu: Nyai Marfu’ah 3. KH. Abdullah
(KH. Ahmad Taufiq Hidayatullah)
4. Nyai Maryamah
5. Kiai Abdur Rahman
6. Kiai Mohammad Tuhfa
7. Nyai Khodijah
8. Kiai Abdul Jalil
9. KH. Abdul Kalim (Sholeh)
10. Nyai Sufiyah
11. Nyai Fasihah
Istri: Nyai Syari`ah Putra Kedua: Kiai Asnawi -
Istri: Nyai Patwi Putra Ketiga: Nyai Raihanah 1.Nyai Bahriyah
Menantu: Kiai As’ad
Istri: Nyai Patmi - -
Istri: Ny. Hj. Siti Putra Keempat: KH. Hasan Saifouridzall
Aminah Menantu: Ny. Hj. Himami 1. Ny. Hj.Diana Susilowati
Hafshawati 2. KH.Moh. Hasan Mutawakkil
Alallah
3. Ny.Hj.Umi Malikal Bulqis
4. KH.Moh. Hasan Ainul Yaqin
5. Ny.Hj.Endah Nihayati
6. Ny.Hj.Idzom Umi Athiyah
Menantu: Ny. Hj. Aisyah 1. Ny.Hj.Tutik Hidayati
Multazamah 2. KH.Moh. Hasan Abdul Bar
3. KH.Moh. Hasan Saiful Islam
4. Ny.Hj.Husnu Hitamina
5. Ny.Hj.Ana Ghayatul Qushwa
6. Ny.Hj.Ismatul Maula
7. Ny.Hj.Himayatul Husna
Menantu: Ny. Hj. Sundari 1. Ny.Hj.Uswatun Hasanah
Menantu: Ny. Hj. Rahma 1. KH.Moh. Hasan Hafizul Ahkam
Menantu: Ny. Hj. Azizah 1. KH.Moh. Hasan Zidni Ilma
Aziziyah 2. KH.Moh. Hasan Irhamni
Maulana
3. KH.Moh. Hasan Afini Maulaya
4. Ny.Hj.Jinani Firdausiyah.
5. KH.Moh. Hasan Naufal.
6
6. Ny.Hj.Kilmatuna Hadani
Istri: Ny. Hj. Suwarsih Putra Kelima: Abdul Hayyi -
Istri: Ny. Arba`ina Putra Keenam: Nyai Maryam -
Keturunan Kiai Hasan adalah orang-orang yang meneruskan perjuangan beliau dalam mengabdikan diri
pada umat. Hingga saat ini, Pesantren Genggong telah berkembang menjadi pesantren besar yang manfaatnya
dapat dirasakan oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di dunia, namun juga
bekal untuk menghadapi akhirat kelak. Kiai Hasan telah berjasa dengan melahirkan tokoh-tokoh luar biasa.
Sosok ulama besar yang senantiasa bermunajat kepada Allah SWT dan mengabdikan diri pada umat. Kini
perjuangan Kiai Hasan diteruskan oleh para dzurriyyah-nya.
BAGIAN KETIGA
PRIBADI SEDERHANA PENUH KAROMAH
Al-Arif billah adalah sebutan yang melekat pada KH. Mohammad Hasan. Jadi lengkapnya adalah
Almarhum Al-Arif Bilah KH. Mohammad Hasan. Hal itu disebabkan kewalian Kiai Hasan Sepuh yang disebut
sebut mencapai tingkatan wali qutub.2
KH. Mohammad Hasan adalah seorang hamba yang taat pada Tuhannya. Tiap detik dari dengus dan
nafas Kiai Hasan, tak lepas-lepas bertasbih dan bertahmid kepada Allah. Ini bukan saja dilakukan sehabis sholat
sebagaimana biasanya. Namun di luar kewajiban sholat pun, tasbih dan tahmid tetap tergetar di bibir dan di hati
beliau. ”Allah, Allah, Allah,” begitulah dzikir KH. Mohammad Hasan setiap saat.
3. Kedatangan Habib Dari Hadramaut (Cerita dari Habib Hasan bin Ali bin Muhsin al-Hamid, Tanggul
Jember)
Di sekitar tahun 1935-1937, seorang Habib datang dari Hadramaut ke Indonesia. Nama beliau Habib Ali.
Setelah berada di Indonesia, Habib Ali bergabung berjuang bersama-sama dengan para gerilyawan dalam
menjaga stabilitas keamanan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah beberapa bulan tiba di Indonesia, Habib Ali berkeinginan untuk mengunjungi seorang Habib
Husein bin Hadi Al-Hamid di desa Brani kecamatan Maron Probolinggo. Pada hari yang direncanakan,
berangkatlah ia ke Brani dengan menunggangi seekor kuda. Karena memang seorang gerilyawan, Habib Ali
berangkat ke Brani dengan pakaian model militer dan jauh dari kesan seorang ”Habib”.
Karena menempuh perjalanan jauh, Habib Ali hendak beristirahat. Saat itu juga bersamaan dengan adzan
dluhur. Habib Ali bertanya pada orang, tempat pemberhentian melepas lelah sekaligus hendak menunaikan
sholat dluhur. Sesuai petunjuk orang yang ditemui selama perjalanan, Habib Ali disarankan untuk istirahat di
masjid Al-Barokah Genggong.
Habib Ali baru pertama kali tiba Di masjid tersebut seumur hidupnya. Habib Ali segera mengambil
wudlu’ dan menunaikan sholat dluhur. Bersamanya terlihat pula beberapa orang sedang ber’i’tikaf.
2
Wawancara dengan KH. Mohammad Hasan Saiful Islam
3
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Diceritakan Alimuddin, salah seorang hadam
Kiai Hasan. Karangbong Pajarakan
7
Sementara pada waktu yang bersamaan, Kiai Hasan sedang menerima tamu-tamu yang datang
bersilaturrahim di kediaman beliau dengan berbagai macam keperluan. Di tengah percakapan, Kiai Hasan
memanggil salah seorang khadamnya.
”Nak, tolong sampean cari seorang Habib di masjid. Sekarang Habib itu sedang sholat. Beliau baru
datang dari Hadramaut. Kalau sudah bertemu, diajak ke sini”, petunjuk Kiai Hasan dalam bahasa madura.
Hadam itu lantas mencari habib yang dimaksud. Namun ia tidak berhasil menemukannya. Bisa
dimaklumi, karena Habib Ali memakai seragam gerilyawan. Akhirnya ia menanyakan satu persatu tamu yang
beribadah di masjid.
Ketika si hadam bertanya pada Habib Ali, Habib Ali sedang membaca wiridan. Dalam balutan seragam
khas gerilyawan, maka Habib Ali benar-benar tidak seperti habib pada umumnya. Hadam tersebut lantas
bertanya pada Habib Ali.
Habib Ali malah heran dan menanyakan kembali pada si santri, ”Saya memang seorang Habib dan
memang baru datang dari Hadramaut. Tapi apa benar yang dimaksud Kiai Hasan adalah saya? Selain itu saya
yakin Kiai Hasan tidak mengenal saya, seperti saya yang belum mengenal beliau!?”
”Kiai Hasan memang tidak menyebutkan nama, petunjuk beliau hanya seorang Habib yang baru datang
dari Hadramaut. Setelah saya tanyakan satu-persatu hanya anda yang seorang Habib dan memang baru datang
dari Hadramaut”
Tanya jawab selesai dengan beranjaknya Habib Ali menuju kediaman Kiai Hasan disertai oleh khadam.
Setibanya di kediaman, Kiai Hasan yang sedang menemui tamunya berdiri dan menyambut kedatangan
Habib Ali. Kiai Hasan menjabat tangannya dan memeluk Habib Ali seperti dua sahabat yang sangat akrab.
Padahal baik Kiai Hasan maupun Habib Ali belum pernah bertemu.
Selanjutnya ramah tamah berlangsung dengan hidmad. Diam-diam Habib Ali merasa takjub pada Kiai
Hasan. Beliau kagum karena Kiai Hasan bisa mengetahui kedatangannya di Masjid. Di saping itu Kiai Hasan
sangat santun dalam menerima tamu
Dalam percakapan itu Habib Ali menyimpulkan bahwa Kiai Hasan adalah pribadi yang berjuang untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia.
4. Sifat Pengasih dan Penyayang (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam)
Rumah kediaman Kiai Hasan hanya terbuat dari gedek bambu. Salah satu bagian dari rumah tersebut
suatu ketika rusak karena lapuk. Tak ayal, lubang tersebut menjadi jalan keluar masuk kucing yang ada di
pesantren.
Kiai Hasan mengetahui keadaan itu dan membiarkan saja. Beliau membiarkan kucing-kucing lewat dan
makan ke dapur melalui lubang itu.
Keberadaan kerusakan gedek bambu itu diketahui oleh salah seorang santri. Bersama beberapa teman,
mereka mengganti gedek bambu tersebut dengan yang baru. Hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan Kiai Hasan.
Suatu hari, Kiai Hasan mengetahui perubahan di kediamannya itu. Serta merta Kiai Hasan memanggil
santri yang mengganti gedek tersebut. Kiai Hasan bertanya, ”Lantas kucing dan angin mau masuk lewat mana?”
Selanjutnya Kiai Hasan menjelaskan, sebaiknya gedek yang lama dipasang lagi. Sementara gedek yang
baru dipakai di tempat lain saja. ”Kasihan, kucing-kucing tidak ada jalan keluar masuk. Mereka akan bingung
untuk cari makan di dapur,” ujar Kiai Hasan.
Si santri mau tak mau mengganti lagi gedek tersebut dengan gedek yang lama.
4
Cong: anak. Istilah dalam bahasa madura.
8
Di lain riwayat, di halaman pesantren Genggong dulu ada sebuah pohon jambu. Jenisnya jambu
Darsono. Suatu ketika, jambu tersebut masuk masa panen. Dipanenlah semua jambu matang itu oleh
para santri.
Setelah dipanen, jambu-jambu tersebut dihaturkan pada Kiai Hasan. Namun Kiai Hasan kurang
berkenan. Beliau malah terkejut karena jambu-jambu hasil panen itu dikerubungi banyak semut. Beliau
lantas berkata, ”Ayo jambunya diikat lagi ke pohonnya. Kasihan semut itu nanti bingung mencari rumah
dan keluarganya,” petunjuk Kiai Hasan pada santrinya dalam bahasa madura yang halus.
Pada riwayat lain, juga pernah diceritakan tentang semut. Kali ini semut yang dimaksud adalah
semut merah besar. Dalam bahasa madura disebut kaleng.
Suatu hari Kiai Hasan berkunjung ke Sentong. Setelah selesai bersilaturrahim, Kiai Hasan akan
kembali ke Genggong. Ketika delman sudah sampai di Kraksaan, Kiai Hasan tersadar bahwa ada kaleng
menempel di baju beliau.
Kiai Hasan mengingat-ingat asal semut tersebut. Akhirnya Kiai Hasan menyuruh si kusir untuk
kembali ke Sentong. Tujuannya sederhana saja. Yakni mengembalikan semut merah tersebut ke tempat
tinggalnya di Sentong. Kasih sayang Kiai Hasan juga diterapkan pada binatang.
b. Menanak Nasi Campur Pasir (Cerita dari KH. Mohammad Hasan Saiful Islam)
KH. Mohammad Hasan selama di pondok dulu, sering kali menanak nasi yang dicampur dengan
pasir. Tujuannya agar Kiai Hasan bisa menikmati rizki pemberian Allah SWT dengan ikhlas.
c. Tetap Beribadah Wajib Dan Sunnah Meski Sedang Sakit (KH. Ahmad Mudhar Mimbaan
Situbondo)
KH. Mohammad Hasan adalah ulama yang selalu mengutamakan ibadah. Ketika usia beliau sudah
sepuh, Kiai Hasan sering dalam keadaan dhoif (sakit).
Suatu ketika Kiai Hasan hendak berangkat masjid. Karena sedang sakit, hari beliau berpegangan
pada pundak salah seorang hadamnya. Beliau berangkat menuju masjid untuk menjalankan sholat fardhu
dengan berjamaah.
Yang mengharukan, tatkala beliau mengangkat tangan sembari takbir sholat Kiai Hasan tampak
seperti orang yang tidak sedang sakit. Kiai Hasan bahkan bisa melakukan ruku’, sujud, hingga duduknya
orang sholat. Meski begitu beliau masih melaksanakan sholat rawatibnya.
Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali karena rasa mahabbah (cinta) kepada Allah dan merasakan
manisnya ibadah. Rasa mahabbah itu memunculkan kelezatan bagi Kiai Hasan meskipun dalam keadaan
sakit.
Selanjutnya ada riwayat lain terkait dengan kekhusyu’an Kiai Hasan. Suatu saat, Kiai Hasan
menderita sakit bisul di kakinya. Untuk menyembuhkan penyakit itu, dipanggillah seorang dokter dari
Kraksaan. Namanya dr. Soepangkat.
Menurut dr. Soepangkat, bisul itu harus dibedah. Kiai Hasan setuju. Namun Kiai Hasan memberi
syarat agar pembedahan dilakukan saat Kiai Hasan sedang shalat. Kiai Hasan mengaku tidak sanggup
menahan sakit kalau dilakukan di luar sholat. Padahal di masa itu, masih belum ada obat penahan rasa
sakit.
Tak lama kemudian, Kiai Hasan melaksanakan sholat. Seperti pesan Kiai Hasan, dr. Soepangkat
langsung melakukan pembedahan terhadap bisul tersebut. Pembedahan dilakukan saat Kiai Hasan
sedang melakukan sujud. Semua orang terheran-heran. Karena Kiai Hasan tidak mengaduh sedikit pun
ketika sedang dibedah.
Penanganan selesai. Bisul pecah dan penyakit sembuh. Ketika Kiai Hasan selesai melaksanakan
sholat, Kiai Hasan bertanya pada dokter. ”Sudah selesai Bapak Dokter?”
Pertanyaan itu menggambarkan Kiai Hasan tidak merasakan apa-apa. Termasuk rasa sakit bisulnya
dioperasi. Dr. Soepangkat hanya bisa mengangguk dan takjub.
6. Ayam Jantan dari Tanah Jawa (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam)
Kemampuan dan pengetahuan KH. Mohammad dalam bermusyawarah dan berdebat tentang agama
cukup tinggi. Hal ini banyak terbukti selama beliau mondok di Mekkah. Beberapa ulama Mekkah yang pernah
berdebat dengan KH. Mohammad Hasan selalu kalah unggul. Padahal waktu itu, usia KH. Mohammad Hasan
masih sangat muda.
Kecerdasan KH. Mohammad Hasan mengundang simpati dari banyak orang. Oleh orang Mekkah, KH.
Mohammad Hasan waktu itu diberi julukan Ayam Jantan dari Tanah Jawa. Karena dianggap sebagai pemutus
masalah yang hebat.
9
Bukti kecerdasan KH. Mohammad Hasan juga banyak terbukti ketika masa-masa awal dibentuknya
Nadlatul Ulama. KH. Mohammad Hasan adalah kiai yang setia pada perjuangan NU. Beliau selalu hadir dalam
setiap muktamar. Beliau sering berkumpul di majelis bahtsul masail. Di situ beliau dianggap sebagai salah satu
Kiai yang bisa memutuskan hukum sebuah masalah dengan tepat dan baik. Kiai Hasan di antaranya hadir di
Muktamar NU di Magelang, Pekalongan, dan Palembang.
b. Pengakuan Sayyid Muhammad Amin al-Quthbi (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam
sesuai cerita langsung dari Almarhum Al-Arif Billah KH. Hasan Saifouridzall)
Pada tahun 1952, setelah menikah untuk pertama kalinya, Non Ahsan berangkat beribadah haji
ke Mekkah. Di sela-sela waktu haji, Non Ahsan menyempatkan diri sowan pada Sayyid Muhammad
Amin al-Quthbi.
Sesampainya di kediaman Sayyid Amin Quthbi, terjadilah percakapan dengan bahasa arab
antara Sayyid Amin dengan Non Ahsan.
“Siapa namamu?”, Sayyid Amin mengawali pembicaraan
“Ahsan”,
“Dari mana asalmu?”, lanjut Sayyid.
“Dari Kraksaan”,
“Siapa nama Ayahmu?”,
Non Ahsan menjawab, “Mohammad Hasan”.
“Bukankah ayahmu pengarang Nadzam Safinatun Najah?”,
“Betul Sayyid, ayahanda sayalah lah yang mengarang”,
“Aku sudah membaca kitab karangan ayahmu itu, beliau adalah seorang waliyullah”, terang
Sayyid Amin Quthbi kepada Non Ahsan.
Selanjutnya dari pertemuan itu Sayyid Amin Quthbi memberikan nama pada Non Ahsan, yakni
Hasan Saifouridzall.
c. Pengakuan Dari Teman Sesama Mondok di Mekkah (Cerita dari H. Hasan Qulyubi)
Selama KH. Mohammad Hasan berguru pada Kiai Nawawi Banten di Mekkah, beliau
bersahabat dekat dengan seorang pelajar lain bernama Majid. Kelak bernama KH. Majid. Pelajar yang
satu ini berasal dari Bata-bata Madura. Ia termasuk salah seorang pelajar yang cerdas.
Setelah tiga tahun menempuh pelajaran di mekkah, Kiai Hasan pulang ke Jawa. Kepergiannya
itu diiringi oleh sahabatnya Majid dengan percakapan yang mengharukan.
”Ya Ahsan (Kiai Hasan), antum ’alimun wa ’allamah (Wahai Ahsan, engkau seorang yang ‘alim
dan sangat alim),” kata Majid
”Wa antum alimun (Dan engkau pun seorang yang alim). Kamulah salah satu orang yang bisa
menjawab persoalan-persoalan Nahwu dalam keadaan tidur,” kata Kiai Hasan pada Majidwaktu itu.
Percakapan pun berakhir dengan kepulangan Kiai Hasan.
Tiga tahun setelah kepulangan Ahsan ke Jawa, Majid pulang menyusul ke tanah air. Di kampung
halamannya, Majid mengasuh sebuah pondok pesantren yang kelak terkenal dengan Pondok Pesantren
Bata-Bata. Maka jadilah Majid dengan gelarnya kini, KH. Abdul Majid.
10
Berselang beberapa tahun setelah mengasuh pesantrennya, tersiarlah kabar di bahwa di Jawa,
tepatnya di Kraksaan, ada seorang kiai yang terkenal karena kealiman dan akhlak mulianya. Disebutkan
bahwa nama Kiai tersebut adalah KH. Mohammad Hasan.
Nama KH. Mohammad Hasan mengingatkan Kiai Majid pada sosok Ahsan yang memiliki
kesamaan sifat seperti diceritakan banyak orang. Ahsan sahabatnya dulu itu adalah seorang pelajar yang
cerdas nan alim, pun begitu akhlaknya terasa menyejukkan setiap orang. KH. Mohammad Hasan yang
desas-desusnya adalah seorang Kiai yang alim dan juga mempunyai akhlak yang tinggi.
Terbersit sebuah pertanyaan dalam hati Kiai Majid, apakah Ahsan temannya dulu itu telah
menjadi seorang kiai besar? Ataukah sekarang namanya telah masyhur sebagai KH. Mohammad Hasan?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat Kiai Majid penasaran pada sosok KH. Mohammad
Hasan. Sekaligus menimbulkan rasa rindunya pada Ahsan. Pertemuan terakhirnya dengan Ahsan dengan
percakapan yang tidak mungkin dilupakan itu dengan sendirinya akan membuat persahabatannya dengan
Ahsan tak akan pernah putus.
Maka berangkatlah Kiai Majid sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Keberangkatan
tersebut memakan waktu beberapa hari.
Sementara itu di pesantren Genggong, KH. Mohammad Hasan yang masih muda sedang
melaksanakan tugas membantu mertua beliau KH. Zainul Abidin mengasuh pesantren. Sebagai seorang
menantu, ia seorang yang taat dan santun pada mertuanya tersebut.
Di tengah-tengah kesibukan tersebut, tiba-tiba Kiai Hasan meminta tolong kepada salah seorang
santrinya untuk menyiapkan penyambutan untuk seorang tamu agung. Si santri hanya menurut karena itu
adalah perintah guru. Maka dipersiapkanlah segala sesuatunya.
Pada jadwal yang ditentukan, KH. Mohammad Hasan berangkat ke pertigaan Pajarakan untuk
menyambut tamunya tersebut. Selama mempersiapkan penyambutan, tak sekalipun Kiai Hasan
memberitahukan pada seorang pun siapakah bakal tamunya itu.
”Insya Allah saya akan kedatangan seorang tamu, tolong persiapkan penyambutan dan segala
sesuatunya”, begitu saja komentar beliau suatu ketika. Para santri yang mengiringi brharap-harap cemas
menunggu kedatangan tamu gurunya itu. Sementara KH. Mohammad Hasan terlihat tenang,
menampakkan raut wajah yang bersinar penuh dengan aura ibadah.
Waktu terus berjalan dan si tamu masih belum juga datang. Para pengiring masih harus bersabar.
Setiap orang yang lewat di pertigaan Pajarakan diperhatikan dengan seksama, terutama yang bertampang
ulama. ”Tamu saya seorang ulama yang alim”, begitu petunjuk KH. Mohammad Hasan.
Tak ada petunjuk lagi karena memang tidak ada surat atau pemberitahuan lainnya dari si tamu.
Penyambutan itu hanya berdasarkan perintah KH. Mohammad Hasan. Singkatnya si tamu tidak
memberitahukan kedatangannya kepada KH. Mohammad Hasan, tetapi KH. Mohammad Hasan
berdasarkan pengetahuannya, telah mengetahui akan kedatangan tamunya itu.
Setelah menunggu lama, tersebutlah seorang yang berhenti di pertigaan Pajarakan dan
menanyakan nama seseorang pada para santri. KH. Mohammad Hasan hanya memperhatikan.
”Assalamu’alaikum. Saya hendak bertanya di manakah letak kediaman KH. Mohammad
Hasan?” tanya orang tersebut
Itulah kalimat pertama yang akan dijawab, namun sebelum pertanyaan itu dijawab, Kiai Hasan
yang sejak tadi memperhatikan wajah si penanya tiba-tiba teringat akan seorang teman lamanya ketika
belajar di Mekkah.
”Subhanallah, apakah sampean Abdul Majid?” tanya Kiai Hasan pada orang tersebut.
Demi melihat wajah orang yang menegurnya itu, Kiai Majid terpana sementara wajahnya
tertegun memperhatikan sosok Kiai Hasan. Ingatannya kembali pada Mekkah ketika ia masih belajar
pada guru-guru kesohor dan mulia itu. Kini, sosok di depannya tak lain adalah seorang teman lama yang
tidak asing lagi baginya untuk dikenal.
Ya, wajah itu, wajah itu bukan wajah yang asing. KH. Abdul Majid mengenalnya. ”Subhanallah,
Ahsan. Apakah sampean Ahsan? Teman saya di Mekkah?”
”Ya benar, saya Ahsan. Apakah itu dirimu Majid?”
Maka keduanya pun berpelukan selayaknya dua orang sahabat yang telah lama tak bertemu.
Keduanya terharu sampai-sampai meneteskan air mata karena rindu tak bertemu. Selanjutnya Kiai
Hasan mengajak Kiai Majid ke kediamannya di Genggong.
Setibanya di Genggong, Kiai Majid terharu melihat Kiai Hasan. Dulu Kiai Hasan adalah
temannya yang bernama Ahsan kini telah menjadi seorang kiai besar. Para santri yang ditugaskan untuk
memberikan penyambutan serta merta menyongsong kehadiran Kiai Majid. KH. Mohammad Hasan
menyuruh para santri mencium tangan beliau Kiai Majid. Segala keperluan penyambutan pun telah
tersedia.
Kiai Majid terharu mendapat penyambutan seperti itu. Selanjutnya KH. Mohammad Hasan
mengajak tamunya itu untuk berbincang-bincang di kediaman beliau.
Seorang Kiai yang masyhur namanya yakni KH. Mohammad Hasan ternyata tinggal di sebuah
rumah yang terbuat dari bahan gedek yang tidak sempurna lagi bentuknya. Tanpa terasa, air matanya
mengalir dan tak lama kemudian memeluk tubuh Kiai Hasan.
”Anta waliyyun min auliya’illah (Anda adalah salah satu waliyullah),” Kiai Majid
mengucapkannya berulang-ulang pada Kiai Hasan.
11
Pertemuan tersebut menimbulkan kesan yang mendalam bagi Kiai Majid. Sebagai seorang
sahabat ia kagum pada Kiai Hasan namanya telah masyhur namanya sebagai ulama berpengaruh. Tak
lama di kediaman, Kiai Majid pun akhirnya pulang. Kiai Majid sendiri – seperti yang pernah
diisyaratkan Kiai Hasan– menjadi seorang ulama besar yang ahli dalam ilmu nahwu.
Kiai Hasan memang telah menjadi seorang teladan sejak beliau berusia muda. Kematangan
mental telah tumbuh dalam diri beliau meski belum mencapai fase usia yang memadai.
Kiai Abdul Majid berkata, ”Tidak ada ilmu syar’i yang ditimba dari Syaikh Mohammad Hasan
Genggong kecuali beliau sudah melaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, begitu juga
beliau sabar atas ujian dari Allah dari hal-hal yang menyusahkan hati dan hal-hal tersebut tidaklah
mungkin kecuali Fadhol (anugerah) dari Allah yang bersamaan dengan sucinya jiwa untuk menjalankan
syariat Nabi Muhammad”.
5
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh KH. Humaidi Abdul Majid,
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Hasaniyah Pasuruan. Saat itu KH. Humaidi Abdul Majid datang sowan kepada KH. Abdul Hamid Pasuruan pada
tanggal 26 dzulhijjah 1394 h. Salah satu tujuan KH. Humaidi adalah hendak bertanya dan memohon pendapat KH. Abdul Hamid mengenai figur Kiai
Hasan dan kepribadiannya
12
10. Kuda Harus Patuh Pada Tuannya. (Didapat dari KH. Mohammad Hasan Ainul Yakin beliau mendapat
cerita dari kusir delman Kiai Hasan, yakni Pak Damok alias Pak Romli, Desa Pondok Dalem Kecamatan
Tanggul Kabupaten Jember)
Seorang kusir Kiai Hasan bernama Pak Damok pernah suatu ketika pernah diajak bepergian oleh Kiai
Hasan. Kebetulan kuda yang menarik delman adalah anak kuda yang belum mahir dan masih belajar. Karena itu,
cara berjalannya tidak teratur sebagaimana mestinya.
Kiai Hasan selama perjalanan, tampak membaca wiridan dengan mata terpejam. Beliau tidak
memperhatikan keadaan sekeliling. Sementara Pak Damok sibuk mengendalikan jalan kudanya tersebut.
Ketika delman sudah tiba di suatu tempat, tiba-tiba kuda itu kehilangan kendali. Sehingga delman
tersebut akhirnya terperosok ke selokan yang ada di pinggir jalan. Delman pun miring, sementara Pak Damok
terlempar keluar dokar. Sedangkan Kiai Hasan masih ada di atas delman.
Mestinya Kiai Hasan juga ikut terlempar. Namun anehnya, Kiai Hasan masih tetap membaca wiridan.
Bahkan posisi duduk beliau tidak berubah, seakan-akan delman tidak sedang miring ke selokan. Maka timbul
rasa takjub pada diri Pak Damok.
Sejenak kemudian, Kiai Hasan membuka mata. ”Ada apa cung?” tanya Kiai Hasan seakan tidak ada apa-
apa. Hal itu karena Kiai Hasan sangat khusyu’ dalam berwirid.
”Kalau kuda tidak menuruti perintah tuannya, pukul saja sedikit. Biar jadi penurut”, ujar Kiai Hasan
pada kusirnya. Setelah delman diangkat, Kiai Hasan melanjutkan perjalanan.
Beberapa tahun kemudian, Pak Damok pulang untuk mengabdi pada masyarakat. Dia dijodohkan oleh
orang tuanya dengan seorang gadis. Namun si gadis kurang menyukai Pak Damok karena bukan atas dasar
pilihannya. Pak Damok lantas teringat ucapan Kiai Hasan. ”Kalau kuda tidak menuruti perintah tuannya, pukul
saja sedikit. Biar jadi penurut”.
Lalu ucapan Kiai Hasan tersebut diterapkan Pak Damok pada istrinya.
Maka dipukullah istrinya itu. Anehnya sejak saat itulah istri Pak Damok menjadi istri yang patuh dan
taat pada suaminya. Hal itu berlangsung bahkan hingga mereka memiliki anak cucu.
11. Bisik Pada Kiai Abdul Hamid Pasuruan (Diceritakan K. Khozin Irsyad)
Suatu ketika, KH. Khozin Irsyad berceramah dalam sebuah pengajian. Pengajian itu juga dihadiri KH.
Hasan Saifouridzall. Dalam ceramahnya, Kiai Khozin menjelaskan tentang akhlak Kiai Abdul Hamid Pasuruan
pada Kiai Hasan.
Menurut Kiai Khozin ketika itu, Kiai Hamid tidak pernah berguru pada Kiai Hasan. Namun akhlaknya
pada Kiai Hasan luar biasa.saat berceramah seperti itu, Kiai Hasan Saifouridzall dari bawah podium
memperhatikan Kiai Khozin dengan tajam.
Selanjutnya Kiai Hasan Saifouridzall memberikan ceramah. Menurut Kiai Hasan Saifouridzall,
keterangan yang diberikan Kiai Khozin keliru. Menurut Kiai Hasan Saifouridzall, Kiai Abdul Hamid berguru
pada Kiai Hasan.
Setiap Rabu Ba’da Dluhur, Kiai Hamid selalu mengaji pada Kiai Hasan. Begitu penjelasan Kiai Hasan
Saifouridzall. Di rabu terakhir menjelang Kiai Hasan sepuh akan wafat, Kiai Hasan sepuh sempat memanggil
Kiai Hamid.
Kiai Hasan membisikkan sesuatu kepada Kiai Hamid. Saat itu disaksikan oleh Kiai Hasan Saifouridzall
dan H. Tohir. Mereka berdua tidak mendengar apa yang dibisikkan oleh Kiai Hasan. Namun tampak jelas bahwa
Kiai Hamid mengatakan berulang-ulang pada Kiai Hasan. ”Inggih, Inggih, inggih,” begitu jawab Kiai Hamid.
Keesokan harinya Kiai Hasan wafat. Kejadian itu tahun 1955.
Pada tahun 1982. H. Tohir bertemu Kiai Hamid di kediaman H. Nur Hasan di Probolinggo. Saat itu, H.
Tohir menyempatkan bertanya pada Kiai Hamid tentang perihal yang dibisikkan Kiai Hasan menjelang wafat
dulu.
Kiai Hamid hanya mengatakan, ”Ya, saya hanya diberi ¼ oleh Kiai Hasan. Nanti pada waktunya akan
saya kembalikan ke Genggong”.
Ada seorang habib yang akrab dengan Kiai Hamid. Dia tahu Kiai Hamid ditanyakan oleh H. Tohir. Habib
tersebut bertanya pada H. Tohir, ”Apa wasiat Kiai Hasan?”
H. Tohir menjawab, ”Saya tidak tahu. Saya Cuma mendengar Kiai Hamid mengatakan Inggih berulang-
ulang”.
12. Usia Ditambah Hingga 3 Kali (Diceritakan KH. Fathullah pada KH. Khozin Irsyad)
Suatu hari di sekitar tahun 1925, Kiai Fathullah Sebaung Gending dipanggil Kiai Hasan. Saat itu usia
Kiai Hasan sudah mencapai 85 tahun. Saat Kiai Fathullah dipanggil, Kiai Hasan sedang menderita sakit.
Akhirnya Kiai Fathullah berangkat ke Genggong.
Selanjutnya berlangsunglah ramah tamah antara 2 hamba Allah itu. Kiai Hasan kemudian sempat berkata
pada Kiai Fathullah. ”Waktu kewafatan saya sebenarnya sudah tiba. Tapi Allah memberi saya tambahan usia 10
tahun. Malaikat yang menyampaikan hal itu pada saya,” ujar Kiai Hasan pada Kiai Fathullah. Beberapa waktu
kemudian Kiai Hasan sembuh dari sakit.
Suatu hari di sekitar tahun 1935, Saat itu usia Kiai Hasan sudah mencapai 95 tahun. Kiai Hasan sedang
menderita sakit. Beliau kembali memanggil Kiai Fathullah.
Ketika bertemu, Kiai Hasan kembali berkata pada Kiai Fathullah. ”Waktu kewafatan saya sebenarnya
sudah tiba. Tapi Allah memberi saya tambahan usia 10 tahun. Malaikat yang menyampaikan hal itu pada saya,”
13
ujar Kiai Hasan pada Kiai Fathullah untuk kedua kalinya. Selanjutnya Kiai Hasan sembuh seperti 10 tahun
sebelumnya.
Suatu hari di sekitar tahun 1945, Saat itu usia Kiai Hasan sudah lebih dari usia 100,. Diperkirakan 105
tahun. Kiai Hasan sedang menderita sakit. Beliau kembali memanggil Kiai Fathullah.
Ketika bertemu, Kiai Hasan kembali berkata pada Kiai Fathullah. ”Waktu kewafatan saya sebenarnya
sudah tiba. Tapi Allah memberi saya tambahan usia 10 tahun. Malaikat yang menyampaikan hal itu pada saya,”
ujar Kiai Hasan pada Kiai Fathullah untuk ketiga kalinya.
Maka benarlah ucapan Kiai Hasan tersebut. Pada tahun 1955, Kiai Hasan wafat. Kewafatan itu terjadi
setelah 10 tahun sebelumnya bertemu dengan Kiai Fathullah perihal kabar usia itu.
Kiai Khozin bertanya kepada Kiai Fathullah. ”Kenapa Kiai Hasan bisa memiliki umur panjang?”
Kiai Fathullah menjawab, ”Karena Kiai Hasan selalu bersilaturrahim dan menjaga hubungan antar
keluarga”.
15. Aroma Semerbak Sholawat8 (Cerita dari KH. Syamsul Arifin pondok pesantren Darul Falah
Rembang.
Suatu ketika dua tamu dari Bondowoso datang sowan kepada Kiai Hasan. Salah satu tamu tersebut
membawa sesuatu yang berharga yang akan dihaturkan kepada Kiai Hasan. Sedangkan satu orang lagi tidak
membawa apa-apa karena orang miskin. Dia hanya membawa uang secukupnya untuk transport.
Karena demikian, sejak berangkat dari rumahnya orang itu selalu sholawat. Dia berniat menghadiahkan
pahala sholawat itu pada Kiai Hasan. Setibanya di Genggong dan menghadap Kiai Hasan, dua tamu itu disuguhi
hidangan.
Sebelum percakapan dimulai, tiba-tiba Kiai Hasan mengucapkan sesuatu. “Sungguh semerbak aroma
wangi sholawat ini”. Anehnya, di dalem Kiai Hasan juga tercium aroma yang berbeda. Yakni aroma sholawat itu.
Secara tidak langsung Kiai Hasan sudah menyampaikan bahwa pahal shalawat tersebut sudah sampai pada Kiai
Hasan.
Maka senanglah tamu yang tidak membawa apa-apa itu.
6
KH. Ahmad Mudhar, qolaidu al-minani fi manaqibi sayyidi asy-syekh Mohammad Hasan al-genggongi. (Dokumen Pribadi 1975)
7
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975).
8
KH. Ahmad Mudhar, qolaidu al-minani fi manaqibi sayyidi asy-syekh Mohammad Hasan al-genggongi. (Dokumen Pribadi 1975)
9
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975).
14
Kemudian datang lagi seorang tamu berasal dari desa Alassumur datang pada KH. Mohammad Hasan
dengan maksud yang sama pula. Sungguh merupakan suatu kebetulan.
Beberapa saat sebelum tiga tamu itu, sebenarnya ada seorang yang juga mengundang KH. Mohammad
Hasan. Tamu itu berasal dari Sukokerto Pajarakan. Dia pun juga menyampaikan maksud yang sama.
”Ya, insya Allah saya akan datang,” KH. Mohammad Hasan menjawab dengan bahasa Madura yang
cukup halus. Jawaban itu tanda bahwa KH. Mohammad Hasan menyanggupi undangan-undangan itu. Isi
undangan 4 orang tamu itu sama: ”Mengharap kehadiran Kiai Hasan di acara walimatul ursy di kediaman kami 2
hari lagi pada jam 9 pagi”.
Singkat cerita, dengan mengajak kusir delman (dokar) beliau yang bernama Abdul Mu’in, berangkatlah
KH. Mohammad Hasan menuju Sukokerto Pajarakan pada hari dan jam undangan yang dimaksud. Abdul Mu’in
pun menyimpulkan bahwa KH. Mohammad Hasan tidak akan hadir di Paiton, Pakuniran, dan Alassumur–
undangan yang lain–. Diam-diam Abdul Mu’in merasa kasihan pada tiga tamu yang juga mengundang KH.
Mohammad Hasan.
Setibanya di rumah shohibul hajat, acara langsung dimulai. Selama acara berlangsung, Abdul Mu’in
menunggu di delman. Setelah acara walimatul ursy selesai, KH. Mohammad Hasan lantas beranjak pulang dan
tiba di kediaman pukul 10 pagi lalu istirahat.
Sudah menjadi tradisi masyarakat, seorang kiai yang menghadiri suatu acara akan dibawakan berkatan10
oleh tuan rumah. Pun begitu terkadang ditambah lagi beberapa paket berkatan yang disusulkan ke kediaman sang
kiai. Demikian juga pada kejadian ini. Beberapa saat setelah KH. Mohammad Hasan telah berada di kediaman,
datanglah tiga pengundang yang juga mengundang KH. Mohammad Hasan sebelumnya itu dengan membawa
berkatan. Mereka datang bersamaan.
Abdul Mu’in lalu bertanya pada mereka satu per satu tentang acara di rumah masing-masing,
”Bagaimana acara di rumah sampean? Rupanya kiai hanya bisa menghadiri acara di Sukokerto dan tidak bisa
menghadiri acara sampean semua.” Abdul Mu’in menyampaikan rasa simpatinya.
”Lho, bukannya kiai hadir bersama sampean”, salah satu dari mereka bertiga menjawab. Rupanya dia
hendak memberitahukan bahwa KH. Mohammad Hasan hadir di acaranya.
Dua tamu lainnya tak percaya, dengan bergantian mereka memberitahukan bahwa acara mereka juga
dihadiri oleh KH. Mohammad Hasan. Dengan sedikit bergurau, tamu-tamu –dan juga Abdul Mu’in– saling
menyanggah dan menyalahkan satu sama lain karena KH. Mohammad Hasan dengan delman dan kusirnya tak
mungkin bersamaan tiba di beberapa tempat yang berlainan dan berjauhan. Perdebatan tersebut berlangsung
agak lama karena sungguh kejadian itu tidak mungkin terjadi.
”Jadi, apa benar bahwa kiai benar-benar hadir di acara sampeyan semua? Mohon jangan mengada-ada.
Saya sendiri yang mengantarkan beliau ke Sukokerto”, Abdul Mu’in mulai menganggap para tamu itu
mempermainkan dirinya dengan menyatakan kehadiran KH. Mohammad Hasan di acara masing-masing.
Benar-benar menjadi ketakjuban di masing-masing mereka. Jika peristiwa itu benar terjadi, maka
sungguh besar nikmat Allah SWT yang didapat oleh KH. Mohammad Hasan.
Perdebatan masih berlangsung. Namun lama kelamaan perdebatan menjadi semakin menjemukan karena
di antara kesaksian-kesaksian para tamu tersebut, semuanya merujuk pada satu fakta yang tak mungkin bisa
dibohongi; KH. Mohammad Hasan memang hadir di tempat-tempat tersebut pada waktu dan jam yang
bersamaan. Sebuah kejadian yang luar biasa!!! 11
15
melihat kejadian itu terheran-heran ada apa gerangan. Karena air menetes begitu banyak dari lengan baju
tersebut.
Di lain riwayat, perilaku Kiai Hasan itu dilakukan beliau ketika sedang memberikan pengajian pada
santri di masjid.
Tiga hari kemudian, seperti biasa Kiai Hasan menemui tamu-tamu yang datang sowan kepada beliau.
Kepentingan tamu-tamu itupun beragam. Seperti saat senin pagi itu, beberapa orang tamu sedang bersilaturrahim
di kediaman Kiai. Salah satunya adalah KH. Mudhar. Di tengah-tengah pembicaraan, datanglah dua orang tamu
yang terlihat kelelahan, seperti baru saja datang menempuh perjalanan jauh. Setelah mengucapkan salam,
sebelum berjabatan tangan pada tuan rumah dan tamu lainnya, dua orang itu menatap Kiai Hasan dan salah
seorang di antaranya berkata pada temannya, ”Ini dia orang yang menolong kita tiga hari yang lalu”. Bersamaan
dengan itu Kiai Hasan mengucapkan Hamdalah sebanyak tiga kali dengan tersenyum. Wajah beliau berseri-seri.
Terang saja para tamu penasaran dengan yang dimaksud dua orang tadi. Mereka mengatakan Kiai Hasan
menolong mereka, kira-kira bantuan apa yang diberikan Kiai Hasan kepada mereka. Selanjutnya, KH. Mudhar
bertanya kepada kedua orang tamu tersebut tentang perihal yang terjadi, maka berceritalah kedua orang tamu
itu :
”Tiga hari yang lalu, hari jum`at, kami bersama kawan-kawan yang lain sedang naik perahu
menuju Banjarmasin. Di tengah perjalanan tiba-tiba perahu kami oleng akibat badai. Selanjutnya
perahu itu karam dan tak dapat tertolong lagi. Namun kami berdua dan kawan-kawan
terselamatkan berkat kehadiran dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang tidak kami
kenal. Saat itu sekitar jam satu siang setelah jum`at.
Kejadian selanjutnya tidak bisa kami ingat lagi. Ketika sadar, kami sudah terdampar di tepi
pantai Kraksaan (ada yang mengatakan di desa Kalibuntu, ada yang mengatakan desa gejugan).
Kami merasa gembira dan bersyukur, karena masih selamat dari malapetaka itu. Kami ingat
bahwa yang menolong kami dari malapetaka itu adalah seorang tua yang nampaknya sangat alim,
maka terdoronglah hati kami untuk sowan kepada seorang sepuh yang kami perkirakan adalah
seorang kiai, yang dekat dengan tempat di mana kami terdampar.
Kami bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai, apakah di sekitar tempat itu ada
seorang kiai yang sepuh. Lalu kami disuruh menuju tempat ini. Setelah sampai di sini, ternyata
orang sepuh yang telah menolong kami dan kawan-kawan itu adalah orang ini.” Bersamaan
dengan itu, tangan si tamu menunjuk ke arah Kiai Hasan Sepuh. 13
Di samping cerita tersebut, Kiai Abdul Aziz Gunung Rabunan pernah bercerita. Suatu ketika saat Kiai
Aziz sedang memijat kaki Kiai Hasan, sarung Kiai Hasan yang sebelumnya kering tiba-tiba menjadi basah di
bagian ujung sarung.
Kiai Aziz bingung dengan basahnya sarung Kiai. Sesaat kemudian, Kiai berucap pada Kiai Aziz. ”Saya
Baru saja tenggelam di laut selom14,” ujar Kiai Hasan.
Tentu saja saat itu Kiai Aziz bingung dengan ucapan tersebut. Padahal cerita itu menunjukkan Kiai
Hasan sedang berada dalam kegiatan lain di tempat yang lain pula.
16
Hasan menyampaikan sesuatu kepada santri, ”Tadi malam saya kedatangan tamu, Nabiyullah Khidir”. Demi
mendengar penuturan Kiai Hasan, santri yang tuguran malam itu pun tercenung tak henti-henti.16
Di lain waktu, Habib Mukhsin Bin Ali As-Seggaf Pasuruan berkunjung pada Kiai Hasan. Pertemuan
kedua tokoh itu berlangsung akrab penuh tutur sapa yang santun. Di tengah perbincangan di antara keduanya,
tiba-tiba datanglah seorang tamu lelaki berpakaian serba hitam. Setelah mengucapkan salam dan dipersilahkan
duduk oleh Kiai Hasan, tamu tersebut lantas memberi uang sebanyak 7 Ringgit uang Belanda kepada Habib
Mukhsin. Uang itu diterima oleh Habib Mukhsin,kemudian diberikan lagi kepada pemberi tadi untuk
disadaqahkan. Orang itu menerima uang itu kembali seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia beranjak
dari kediaman.
Habib Mukhsin merasa heran, lalu beliau bertanya pada Kiai Hasan, ”Siapakah tamu itu, Kiai?”
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban dari Kiai Hasan.
”Siapakah tamu itu, Kiai?”, desak Habib Mukhsin
Kiai Hasan masih tidak menjawab. Air wajah beliau datar.
”Siapakah tamu itu, Kiai?”, pertanyaan ketiga dai Habib Muhsin.
Kali ini barulah Kiai Hasan berkenan menjawab pertanyaan itu, ”Itulah dia Nabiyullah Khidir”, jawab
Kiai Hasan pelan. Demi mendengar jawaban itu, Habib Mukhsin merangkul Kiai Hasan dengan penuh
keharuan.17
16
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Faishol Abu Hasan,
Angguran Probolinggo.
17
Idem. Dikisahkan oleh Habib Muhsin bin Ali as-Segaf dan diceritakan kembali oleh cucu beliau, Sayyid Muhammad Pasuruan.
18
Idem. Dikisahkan oleh KH. Abdul Hamid Shiddiq, Talangsari Jember.
19
Idem. Dikisahkan oleh HM Masykoer, Selogudig Pajarakan Probolinggo.
17
Pada saat yang bersamaan, sebuah trem dengan kecepatan tinggi akan melintas dari arah barat dan
sementara akan menutup lalu lintas jalan di pertigaan Pajarakan. Sementara kuda terus saja mengamuk tak
terkendali.
Keadaan menjadi tegang. Orang-orang yang melihat kejadian itu tertegun dan kemudian secara spontan
mereka berteriak seakan menyuruh si kuda tenang dan bisa mengendalikan diri.
Mereka panik, lebih-lebih mengetahui bahwa penumpang delman adalah Kiai Hasan. Dan yang paling
panik tentu saja adalah kusir delman. Meski telah mengetahui, masinis trem, supirnya trem itu, tentu saja tak bisa
menghentikan trem secara mendadak karena trem memang tidak bisa direm secara mendadak.
Pengereman trem harus dilakukan beberapa meter sebelum tujuan pemberhentian dalam ukuran-ukuran
tertentu. Keadaan semakin panik, kini semua orang pasrah dengan apa yang akan terjadi, khususnya yang akan
terjadi pada Kiai Hasan. Karena dalam pandangan mereka, akan terjadi benturan antara delman dengan trem
tersebut. Dalam jarak dan detik tertentu, benturan akan terjadi.
Demi tidak mengharap kejadian yang akan berakibat buruk pada Kiai Hasan, tiba-tiba dalam jarak yang
sangat dekat antara trem dan delman, trem yang berjalan cepat itu tiba-tiba berhenti tanpa sang masinis sempat
mengeremnya; berhenti persis di dekat delman yang dinaiki Kiai Hasan.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu benar-benar dibuat tercengang. Baru saja diperlihatkan pada
mereka salah satu kekuasaan Allah SWT. Dalam hati, mereka semakin yakin bahwa penumpang delman itu,
yaitu Kiai Hasan, adalah orang yang benar-benar dikasihi Allah SWT.
Mereka bersyukur kejadian buruk yang mereka duga itu ternyata tidak terjadi pada Kiai Hasan. Kejadian
itu akan tetap diingat masyarakat, khususnya yang melihat langsung kejadian.
20
Idem. Dikisahkan oleh Habib Alwi, sahabat Kiai Hasan. Diceritakan kembali oleh Habib As-Seggaf, Besuki Situbondo.
21
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Habib Ahmad Ba`ali, Alas
Tengah Kraksaan Probolinggo.
18
heran karena Kiai Hasan memperlihatkan perilaku yang tidak wajar saat minum. Kiai Hasan meniup-niup
minuman itu seperti akan meminum minuman yang sangat panas.
Tiba saatnya sowan disudahi. Habib Ahmad mohon pamit pulang. Sesampainya di rumah beliau secara
mendadak menderita sakit panas yang cukup parah. Dalam hatinya, Habib Ahmad kemudian mengerti perilaku
Kiai Hasan saat meminum minuman dingin itu seakan memberi isyarat pada Habib Ahmad. Dari perilaku
tersebut, Kiai Hasan secara tersirat berpesan agar Habib Ahmad menjaga kesehatan agar tidak mudah terserang
sakit.
22
Arief Umar A.N. dkk, 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah, (Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 82. Dikisahkan oleh Ustadz Saifuddin Zuhri, Kapasan
Pajarakan Probolinggo.
23
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Habib Sholeh Al-Hamid,
Tanggul Jember
24
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Alimuddin, salah seorang
khadam KH. Mohammad Hasan
25
Nadzar: janji yang diucapkan oleh seseorang bersamaan dengan niat-niat tertentu. Apabila niatnya itu terkabul, maka dia akan
melaksanakan/memenuhi nadzar yang telah diucapkannya itu.
19
Beberapa waktu kemudian, ketika mendengar Kiai Hasan wafat, berangkatlah Kholis ke Genggong
bersama keluarganya untuk berziarah menunjukkan rasa ta’dhim-nya pada Kiai Hasan. Sepulangnya dari
Genggong, dilihatnya pohon kurma miliknya itu telah mati pula, mengiringi wafatnya Kiai Hasan.
20
Musholla yang ada tidak layak ditempati dan perlu diperbaiki. Jembatan menuju kediamannya hanya
terbuat dari dua lonjor bambu yang tidak bisa dilalui mobil. Kehadiran Kiai Hasan, itu dimanfaatkan oleh Habib
Husain untuk meminta doa Kiai Hasan. Habib Husain berkata, ”Kiai, tolong doakan musholla saya ini, Kiai ”.
”Baik, Habib!”, jawab Kiai Hasan yang lantas berdoa, lalu berkata lagi, ”Mudah-mudahan bukan hanya
musholla, tapi juga harus ada gedung dan mobil harus bisa masuk di sini”. Tiga hari kemudian, terlihat ada
beberapa orang membawa batu batu, kemudian pasir, dan beberapa bahan bangunan yang lain.
Sehingga tidak lama kemudian terkumpullah bahan-bahan yang cukup untuk membangun Musholla,
rumah, serta jembatan yang kuat untuk dilalui mobil. Habib Husain yakin bahwa itu semua berkat Kekuasaan
Allah SWT yang menganugerahkan karomah pada diri Kiai Hasan.
Di saat-saat selanjutnya, setelah semua proses pembangunan selesai, Habib Husain sering mengatakan
pada tamu yang datang sowan kepadanya, ”Ini semua adalah dari Kiai Hasan” (Kullu Hadza Min Kiai Hasan).
a. Aqidatu at-Tauhid,
Menurut salah satu riwayat, kitab ini dikarang oleh beliau pada saat-saat terakhir ada di
Pesantren asuhan KH. Mohammad Kholil Bangkalan. Kitab ini dicetak dan saat ini merupakan
kurikulum wajib yang diajarkan di Madrasah Diniyah Awwaliyah Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Beberapa pesantren selain pesantren Genggong tercatat juga menggunakan kitab ini sebagai kurikulum
wajib.
b. Nadzam Safinatu an-Najah,
Kitab ini masih dicetak dan saat ini merupakan kurikulum wajib yang diajarkan di Madrasah
Diniyah Awwaliyah Pesantren Zainul Hasan Genggong. Beberapa pesantren selain pesantren Genggong
tercatat juga menggunakan kitab ini sebagai kurikulum wajib.
Seperti disinggung pada bagian sebeumnya, kitab ini mendapat pujian dari Sayyid Muhammad
Amin al-Quthbi yang terang-terangan mengatakan Kiai Hasan sebagai waliyullah kepada KH. Hasan
Saifouridzall.
c. Al-Hadits an-Nabawi: `alaa Tartib al-Ahruf al-Hijaiyah,
Kitab ini merupakan kurikulum wajib yang diajarkan di Madrasah Diniyah Awwaliyah
Pesantren Zainul Hasan Genggong. Beberapa pesantren selain pesantren Genggong tercatat juga
menggunakan kitab ini sebagai kurikulum wajib.
d. Khutbah an-Nikah,
e. Khutbah Jum`at,
f. Asy-Syi`ru bi al-Lughoh al-Manduriyah
Kitab ini berisi syair-syair bahasa madura yang dikemas menurut aturan syair madura. Kitab ini
mengandung pelajaran tentang tauhid, filsafat hidup, etika pergaulan, hak dan kewajiban manusia dan
berbagai macam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sayangnya tidak banyak orang
memiliki kitab ini.
21
”Kelak pesantren Genggong akan dipimpin oleh Ahsan (Kiai Hasan Saifouridzall). Ahsan nanti akan
membangun banyak gedung untuk pesantren. Di samping itu Ahsan juga akan membuat pagar tembok untuk
pesantren. Nantinya Ahsan akan memiliki banyak anak dan cucu. Keturunan Ahsan tidak akan putus-putus.
Sementara salah satu cucu saya nanti akan memimpin majelis ta’lim untuk masyarakat. Cucu saya itu akan
punya banyak istri dan anak,” ucap Kiai Hasan panjang lebar.
”Namun anak saya yang tinggal di dalam pagar pesantren yang dibuat Ahsan, tidak akan memiliki
keturunan,” tambah Kiai Hasan.
Semuanya diam mendengar penuturan Kiai Hasan. Termasuk Habib Husein dan Habib Muhammad.
Selanjutnya Kiai Hasan berucap lagi. ”Suatu saat anaknya Habib Salim (maksudnya Habib Muhammad
bin Salim) tidak akan bisa melihat. Tapi saya berdoa, semoga dia termasuk sebagai ahli surga”.
Mendengar perkataan Kiai Hasan itu, Habib Muhammad berucap, ”Amin”.
Kiai Hasan juga berkata, ”Di masa depan akan ada sepasang raja-ratu yang memimpin masyarakat.
Sejak masa itulah kegaduhan akan terus menerus berlangsung”. Hal ini terbukti ketika masa kepresidenan KH.
Abdurrahman Wahid dengan wakil presiden Megawati Sukarnoputri. Di masa itu seringkali terjadi kegaduhan.
Kiai Hasan menambahkan, ”Di masa depan, rejeki akan datang dengan sendirinya ke rumah-rumah”.
Hal ini saat ini terbukti dengan sarang burung walet yang datang dengan sendirinya ke rumah-rumah.
25 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1965, Habib Muhammad mengalami sakit pada penglihatannya.
Akibat sakit itu, Habib Muhammad mengalami kebutaan.
BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP
30
Diceritakan oleh KH. Mohammad Hasan Ainul Yakin. Beliau mendapat cerita dari Habib Ja’far bin Idrus bin Syekh Abu Bakar Pajarakan.
31
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Riwayat ini diceritakan oleh Bapak
R.Marwoso pada saat memberikan sambutan pada peringatan Haul KH. Mohammad Hasan yang ke-5 di tahun 1960. Kala itu ia menjabat sebagai
residen Malang. Kejadian ini terjadi pada saat R. Marwoso masih berada di Kraksaan menjabat sebagai Asisten Wedono.
22
Ada suatu peristiwa yang cukup unik pada masa kependudukan Jepang di Indonesia Saat itu musim
paceklik tengah melanda masyarakat, khususnya di daerah-daerah sekitar Pondok Genggong. Ditambah lagi
keganasan serdadu-serdadu Jepang yang merampasi harta kekayaan yang dimiliki masyarakat. Keadaan yang
demikian ini, menyebabkan penderitaan pangan terhadap penduduk di sekitar Genggong.
Saat itulah Kiai Hasan telah menemukan sebuah pohon jenis buah-buahan yang dinamakan Anggur
Bumi. Buah Anggur Bumi inilah yang akhirnya menjadi pelepas haus serta makana masyarakat. anehnya,
walaupun Anggur itu berulang kali diambil, tetap tak kunjung habis, tetapi malah bertambah banyak.
Pesantren Genggong pada masa perjuangan kemerdekaan ikut berperan aktif mengusir penjajah dari
bumi Indonesia. Di bawah instruksi dan petunjuk Kiai Hasan Sepuh, para santri dan masyarakat sekitar
Pesantren Genggong senantiasa memantapkan hati nurani mereka untuk berjuang bagi bangsa dan Negara
tercinta. Patriotisme yang tumbuh dalam sanubari mereka tidak terlepas dari ketokohan Kiai Hasan.
Sejalan dengan peran itu, Pesantren Genggong di bawah pimpinan Kiai Hasan bersikap non-cooperation
(tidak mau bekerja sama) dengan pihak penjajah memberikan keuntungan bagi masyarakat meski ada ancaman
yang sangat besar dari pihak penjajah. Oleh karenanya, segala unsur yang berbau penjajah ditolak dan dilarang
oleh Kiai Hasan. Kiai Hasan menyatakan akan memberikan dukungan. Tidak hanya dukungan moral tetapi juga
materi dan tenaga, untuk berjuang meraih kemerdekaan dan sekaligus mempertahankannya.
Tidak hanya santri dan masyarakat saja yang mendapat instruksi dari Kiai Hasan, namun, putra beliau
juga tidak luput dari instruksi beliau. Betapapun kondisi fisik Kiai Hasan saat-saat berkecamuknya angkara
penjajah nampak lemah karena usia, namun beliau menyempatkan diri untuk menghadiri rapat-rapat akbar di
pelosok-pelosok tanpa mengenal payah. Beliau sebagai rakyat dari bangsa dan negaranya, tak pernah absen
dalam perjuangan mangusir penjajah dari Indonesia.
Di dalam tabligh-tabligh atau pidato yang disampaikan beliau di rapat-rapat umum, Kiai Hasan
senantiasa membacakan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits yang sesuai dengan situasi pada masa itu untuk
menumbuhkan semangat patriotisme melawan penjajah dan nasionalisme menuju kemerdekaan.
Suatu ketika Non Ahsan (KH. Hasan Saifouridzall) pernah menggranat toko seorang pendukung
Belanda. Usai penggranatan, Non Ahsan melaporkan kejadian itu kepada Kiai Hasan, “Saya sudah menggranat
toko pendukung Belanda”.
Dengan nada perlahan sang ayahanda menjawab. ”Kok digranat nak? Nanti Belanda marah. Kasihanilah
masyarakat,” ujar Kiai Hasan dengan bahasa Madura yang halus.
Sejak kejadian itu, Kiai Hasan mengijinkan Non Ahsan menjadi tentara dan bergabung dengan pasukan
Hizbullah. Restu Kiai Hasan mendorong Non Ahsan untuk berjuang di garis terdepan di wilayah Tulangan
Sidoarjo.32
Sikap Kiai Hasan ini menunjukkan beliau sangat menentang penjajahan. Kiai Hasan mengutus Non
Ahsan untuk maju di garis depan perjuangan melawan penjajah. Perjuangan Kiai Hasan sendiri tidak hanya di
situ.
Kiai Hasan memang tidak mungkin berperang memanggul senjata. Namun Kiai Hasan beberapa kali
mendatangi posko-posko gerilyawan. Beliau datang untuk memberikan semangat pada para gerilyawan. Meski
menguras tenaga, hal itu tidak mengendurkan semangat Kiai Hasan untuk terjun langsung memberikan motivasi.
Kiai Hasan mempercayakan Non Akhsan menjaga keamanan pesantren dan lingkungan sekitar
Genggong. Pada masa tersebut Genggong merupakan tempat yang aman untuk dijadikan markas para pejuang.
Khususnya pasukan Laskar Hisbullah Fisabilillah Probolinggo. Bahkan seorang gerilyawan bernama Brigjen
wiyono pernah mengungsi beberapa waktu di Genggong. Brigjen wiyono pernah menjabat gubernur Jawa Timur.
Di samping itu, Kiai Hasan juga mengijinkan gerilyawan untuk menyimpan senjata di dalam pesantren.
Suatu ketika hal itu tercium oleh Cakra (spionis/mata-mata Belanda). Hal itu dilaporkan kepada pihak Belanda.
Tidak lama kemudian Belanda datang ke pesantren dan mengadakan penggeledahan. Semua santri
dikumpulkan di masjid. Kiai Hasan juga ada di masjid. Para santri ketakutan. Namun Kiai Hasan tetap tenang.
Bahkan dalam situasi tersebut, Kiai Hasan membaca wiridan. Suara tasbih milik Kiai Hasan yang
berputar terdengar jelas karena suasana yang mencekam. Non Ahsan sempat akan melawan. Namun Kiai Hasan
melarang tindakan Non Ahsan itu.
Tentara Belanda tidak menemukan sepucuk senjata pun. Karena penasaran dan marah, tentara Belanda
menangkap Non Ahsan dan akan membawa beliau ke markas Belanda dengan naik truk. Namun, saat mesin truk
itu hendak dijalankan, tiba-tiba mesin truk itu mati. Akibatnya, Non Ahsan gagal dibawa ke markas Belanda.
Setelah Non Ahsan turun dari truk, mesin truk malah tidak bisa dihidupkan. Akhirnya Non Ahsan tidak
jadi dibawa ke markas Belanda. Mereka kembali ke markas dengan tangan hampa.
Bahkan, dalam perjalanannya, tepatnya di Pajarakan truk itu terguling tanpa sebab yang jelas. Setelah
kejadian aneh tersebut sebenarnya para pasukan dan serdadu Belanda sudah merasa ketakutan. Tetapi, karena
sikap angkuhnya lebih dominan, maka pasukan tersebut berpura-pura sok berani di depan para santri.
Di lain waktu, Kiai Hasan memanggil Non Ahsan. Kiai Hasan memerintahkan Non Ahsan untuk
mengeluarkan senjata-senjata yang disimpan dalam komplek pesantren. Kiai Hasan khawatir ada penggeledahan
yang dilakukan pasukan Belanda. Jika senjata-senjata ditemukan di lokasi pesantren, maka senjata-senjata itu
akan dirampas. Perintah itu segera dilaksanakan Kiai Hasan. Waktu itu Non Ahsan adalah komandan barisan
dengan nama Sunan Jabung.
32
Cerita dari H. Haidari
23
Sekitar seminggu kemudian, ternyata tidak ada gejala mengkhawatirkan. Non Ahsan kemudian
menugaskan pasukannya untuk memasukkan kembali senjata-senjata itu ke dalam pondok.
Kiai Hasan kembali memerintahkan hal yang sama pada Non Ahsan. Namun Non Ahsan hanya
mengiyakan saja. Senjata-senjata tidak dikeluarkan dari pesantren. Non Ahsan beralasan, tidak akan terjadi apa-
apa. Hingga Kiai Hasan mengingatkan untuk kali ketiga. Non Ahsan tetap mengiyakan, namun senjata-senjata
tidak dikeluarkan. Peringatan Kiai Hasan tersebut tidak dilaksanakan oleh Non Ahsan.
Tak ayal. Dua hari setelah peringatan Kiai Hasan yang ketiga, masuklah tentara Belanda ke dalam
komplek pesantren. Tujuannya melakukan penggeledahan senjata. Mereka menyebar dan memeriksa di setiap
sudut. Akhirnya senjata-senjata itu ditemukan dan disita pasukan Belanda.
Dengan demikian, kita tidak dapat menyangkal peran dan kontribusi Kiai Hasan dalam mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Terhadap Jepang, Kiai Hasan juga memberikan pernyataan. Kiai Hasan mengatakan
bahwa NIPPON (tentara Jepang) adalah manusia yang dzolim. Mereka mempekerjakan rakyat Indonesia secara
paksa.
Mengenai sikap Kiai Hasan pada Belanda, di Suatu hari di tahun 1945, Kiai Hasan kedatangan beberapa
orang tamu. Mereka Kiai Maksum, dan beberapa rekannya sowan pada Kiai Hasan. Kiai Maksum adalah
pengasuh pesantren Subulus Salam desa Kapasan Pajarakan.
Tujuan Kiai Maksum sowan adalah untuk menanyakan sikap Kiai Hasan pada Belanda. ”Bagaimana
hukum memerangi Belanda?” itu pertanyaan yang disiapkan Kiai Maksum pada Kiai Hasan.
Kiai Hasan keluar untuk menemui tamu-tamu itu. Tak biasanya Kiai Hasan menggunakan kopyah hitam.
Bahkan di pinggang beliau, terselip sebilah keris. Tamu-tamu Kiai Hasan menjadi tertegun dan heran pada sikap
Kiai Hasan.
Namun mereka kemudian sadar, sikap Kiai Hasan adalah jawaban dari pertanyaan yang akan mereka
ajukan. Padahal Kiai Maksum belum menanyakan apapun pada Kiai Hasan. Namun pertanyaan itu sudah
terjawab.
24
Pada saat dimulainya pengajian dan khataman kitab di pesantren, pada bulan ramadhan kali ini, Kiai
Hasan berkenan memberikan pelajaran kitab Tafsir Al-Jalalain. Pada saat pengajian terakhir dan hendak khatam
beliau menyampaikan kepada para santri bahwa santri diharapkan kembali pada tanggal 10 syawal, demikian
wali santri juga diharapkan datang pada tanggal 10 syawal. Kiai Hasan menyampaikan bahwa pada tanggal 11
syawal akan ada pengajian besar. Apabila ada wali santri yang berhalangan hadir pada tanggal 10 harap segera
datang pada tanggal 11 syawal. Ucapan beliau itu seakan menyiratkan bahwa benar-benar akan ada pengajian
akbar yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 syawal. Biasanya santri kembali ke pondok dari liburan ramadhan
dan idul fitri adalah pada tanggal 15 syawal, namun kali ini Kiai Hasan mengharap santri bisa kembali pada
tanggal 10 syawal. Kebiasaan kembalinya santri ini terus berlangsung sampai saat ini.
Di pertengahan bulan, pengajian kitab pun selesai. Kiai Hasan telah membacakan kitab tersebut untuk
para santri. Kemudian pada 20 Ramadlan, Kiai Hasan jatuh sakit. usia beliau waktu itu 112 tahun masehi. Di
sela-sela waktu sakit itu, beliau sempat berkata, “Aku rela kapan saja Allah Memanggilku. Aku bersyukur
menjadi kekasih Allah dan ditakdirkan sebagai Ummat Muhammad yang setia”.
Dua hari menjelang hari raya `Idul Fitri, tepatnya hari Jum`at, beliau tampak memegang kopyah putih di
tangan. Beliau memanggil putra beliau, Non Ahsan (KH. Hasan Saifouridzall), untuk menghadap. Setibanya di
Genggong, Non Ahsan lantas menghadap kepada sang ayahanda. Begitu bertemu, Kiai Hasan memberikan
kopyah putih yang sedang dipegang beliau pada Non Ahsan. Beliau menyuruh Non Ahsan untuk memakai
kopyah itu.
Pertemuan tersebut begitu mengharukan, pertemuan antara dua orang hamba Allah, seorang ayah dan
putranya. Pertemuan yang melibatkan emosi, kasih sayang, rasa haru, itu ternyata menjadi pertemuan yang
sangat penting. Kiai Hasan menyerahkan “amanat” untuk melanjutkan perjuangan pesantren, santri dan
masyarakat pada KH. Hasan Saifouridzall, satu-satunya putra beliau yang masih hidup itu.
Tanggal 10 Syawal 1374 h sakit beliau bertambah parah. Dengan sorot mata yang lemah, denyut kalbu
dan bibir bergerak bersamaan, menyiratkan semangat perjuangan dan loyalitas yang begitu tinggi, penghambaan
yang luar biasa, bersamaan dengan kegigihannya berjuang menegakkan agama Islam, mengingat Tuhannya,
“Allah… !!!”
Pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h, bersamaan dengan tanggal 01 Juni
1955 m, Kiai Hasan berpulang ke Rahmatullah.
Kabar pun menyebar cepat mengikuti arah angin. Masyarakat berbondong-bondong menuju Genggong.
Ribuan kaum muslim tumpah ruah dari dari segenap penjuru arah di wilayah sekitar Genggong. Air mata pun
tumpah bersamaan dengan derap langkah mereka semua. Semua orang berebut ingin memberikan penghormatan
mereka yang terakhir pada Kiai Hasan. Mereka berebut untuk “sekedar’ menyentuh keranda jenazah Almarhum,
di saat pemakaman akan dilaksanakan.
Ketika keranda jenazah keluar dari masjid menuju kediaman, keranda itu bergerak di kepala-kepala
kaum muslimin, seakan meluncur dari tangan ke tangan setiap kaum muslim tanpa ada halangan. Saat-saat yang
paling mengharukan pun tiba.
Sebelum wafat, Kiai Hasan pernah berwasiat pada putranya, Kiai Hasan Saifouridzall. Kiai Hasan
mengatakan, jika beliau wafat, beliau ingin yang menjadi imam sholat jenazah adalah Habib Sholeh bin
Mohammad al-Muhdar bondowoso.
Untuk mengabarkan pada Habib Sholeh perihal kewafatan Kiai Hasan, diutuslah seorang santri untuk
pergi ke kediaman Habib Sholeh di Bondowoso. Sekaligus untuk menyampaikan bahwa wasiat Kiai Hasan agar
Habib Sholeh menjadi imam sholat jenazah.
Namun waktu itu Habib Sholeh sedang bepergian ke Surabaya. Santri tersebut kemudian menyampaikan
kabar kewafatan Kiai Hasan pada keluarga Habib Sholeh. Namun keluarga Habib Sholeh juga kebingungan
untuk memberi kabar kewafatan Kiai Hasan pada Habib Sholeh. Karena Habib Sholeh sedang tidak di kediaman.
Setelah menyampaikan kabar, si santri langsung kembali ke Genggong.
Sementara di Genggong, hari sudah siang. Banyak peziarah yang ingin jenazah Kiai Hasan segera
dimakamkan. Namun Kiai Hasan Saifouridzall berkeras menolak saran tersebut. Kiai Hasan Saifouridzall masih
menunggu Habib Sholeh untuk menjadi imam sholat jenazah sesuai dengan wasiat Kiai Hasan. Padahal belum
tentu Habib Sholeh saat itu tahu Kiai Hasan telah wafat. Sempat terjadi keributan kecil
Tak lama setelah itu, Habib Sholeh tiba-tiba datang masuk ke dalam pondok. Maka proses selanjutnya
dilangsungkan segera. Ketika Habib Sholeh Al-Muhdlar membacakan Talqin Mayit di dekat telinga jenazah KH.
Mohammad Hasan yang membujur miring ke arah kiblat sembari dirangkul pundaknya dan disaksikan oleh
ribuan kaum muslim yang mengambang air matanya. Air mata kesedihan dan rasa haru tak terbendung lagi oleh
semua yang hadir waktu itu. Habib Sholeh sendiri pun menangis tersedu.
Sepuluh tahun sebelumnya, tahun 1945, pada saat bangsa Indonesia berjuang untuk kemerdekaan, Kiai
Hasan memang sering menyampaikan pada banyak orang bahwa semoga Allah berkenan memberikan tambahan
umur 10 tahun kepada beliau. Ternyata permohonan beliau tersebut maqbul. Beliau wafat 10 tahun setelah
menyampaikan permohonan tersebut33.
Salah satu ulama paling berpengaruh itu telah meninggalkan istri dan putra-putrinya, santri, dan
masyarakat. Namun ruh dan nilai perjuangannya akan tetap hidup untuk tetap menebar barokah dari Allah SWT.
Mudah-mudahan kita mendapat barokah dari Almarhum Al-Arif Billah KH. Mohammad Hasan. Amin.
33
Arief Umar A.N. dkk, Pesantren Zainul Hasan Genggong Kraksaan Sejarah Perjalanan & Perkembangannya; 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah,
(Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 81. Dikisahkan oleh KH. Nuruddin, Opo-opo Krejengan Probolinggo.
25
Makam Kiai Hasan; Majelis Menuai Barokah
Kekaromahan Kiai Hasan cukup melegenda di kalangan masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat
Probolinggo. Namun juga masyarakat di tanah jawa maupun luar Jawa. Sebab Kiai Hasan banyak meninggalkan
manfaat nyata bagi masyarakat, baik selama beliau masih hidup atau sepeninggal beliau.
Untuk membuktikan kekaromahan tersebut tidaklah rumit. Cukup dengan datang ke makam Kiai Hasan
di masjid Al-Barokah Genggong. Makam dalam bahasa pesantren juga sering disebut Maqbaroh. Atau dalam
bahasa madura disebut astah.
Maqbaroh Kiai Hasan terletak di bagian utara Masjid Al-Barokah Pesantren Genggong. Maqbaroh
tersebut tidak pernah sepi dari para peziarah maupun santri. Mereka datang untuk memanjatkan doa pada Allah
SWT. Melalui perantara Kiai Hasan. Terutama pada hari-hari tertentu. Misalnya hari Jum’at dan Minggu.
Pada malam Jum’at misalnya. Para peziarah akan datang berjubel. Sebab masyarakat memiliki
kepercayaan, bahwa malam Jum’at adalah hari yang paling baik di antara hari lainnya. Selain itu juga diperkuat
oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, masyarakat selalu menyempatkan diri untuk berziarah pada
malam tersebut.
Saking ramainya, bahkan ada sebagian peziarah yang tidak bisa masuk ke lokasi Maqbaroh. Jalan
keluarna mereka harus memanjatkan doa dari luar lokasi Maqbaroh.
Apalagi pada malam Jum’at Legi. Peziarah yang datang semakin berlipat. Bahkan jalan raya di
Genggong biasanya tidak bisa dilewati kendaraan besar. Karena dipenuhi peziarah. Biasanya tidak hanya dari
Probolinggo. Namun juga berasak dari luar Probolinggo. Mereka datang dengan beraneka kendaraan. Ada yang
menyewa truk, pick up, maupun kendaraan pribadi.
Demikian pula pada hari Minggu. Sejak masa Kiai Hasan masih hidup, sudah ada sebuah majelis
pengajian. Namanya Majelis Ta’lim al-Ahadi. Pengajian ini juga dilaksanakan di masjid Al-Barokah.
Selain hari Jum’at dan Minggu pun, Maqbaroh Kiai Hasan tak pernah kosong. Bahkan pada malam hari,
ada saja peziarah yang berdoa. Maqbaroh tersebut kosong hanya pada saat-saat tertentu. Misalnya pada saat
sholat jamaah. Namun hal itu hanya berlangsung selama kisaran menit. Selanjutnya Maqbaroh akan kembali
diisi oleh peziarah.
Pada perbincangan umum, sebaiknya jika kita memiliki sebuah niat, keinginan, atau hajat tertentu,
datanglah ke Maqbaroh Kiai Hasan. Panjatkan doa pada Allah SWT di Maqbaroh tersebut. Lakukan dengan
sungguh-sungguh. Insya Allah doa yang kita panjatkan dikabulkan Allah.
Jika tidak terkabul,biasanya hadir dalam petunjuk dan hidayah yang lain.
Mudah-mudahan senantiasa mendapat petunjuk dari Allah SWT, serta barokah Almarhum Al-Arif Billah
KH. Mohammad Hasan Genggong.
26