Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN PERTAMA

PENDAHULUAN

Buku Terdahulu Mengenai Almarhum Al-Arif Billah KH. Mohammad Hasan


Kiai Arif Umar AN ketika menulis buku biografi Almarhum Al-Arif Billah KH. Mohammad Hasan
menulis sebagai berikut. “Manakah yang lebih baik, kita abadikan hidup dan kehidupan Kiai Hasan, walaupun
sangat jauh dari lengkap dan sempurna, ataukah tidak kita tulis, sehingga lambat laun anak cucu dan generasi-
generasi kita yang akan datang, akan lupa bahkan tidak tahu-menahu sama sekali kepada Kiai Hasan?”
Ada 4 kitab (buku) yang dijadikan sebagai rujukan pembuatan buku ini. Yakni buku yang ditulis oleh
Kiai Arif Umar AN dengan judul ”Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan”, yang diterbitkan
pada 1975 oleh YPPZH (Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan).
Buku kedua adalah sebuah naskah berbahasa arab yang ditulis oleh KH. Ahmad Mudhar, salah seorang
santri KH. Mohammad Hasan asal Situbondo. Naskah berbahasa arab itu berjudul ”Qolaidu al-minani fi
manaqibi sayyidi asy-syekh Mohammad Hasan al-genggongi”. Dalam Kitab ini terdapat beberapa buah foto
yang menunjukkan bahwa naskah ini telah di-tashih oleh KH. Hasan Saifouridzall.
Dalam hal penyajiannya, naskah ini telah masuk kategori tulisan yang layak dikitabkan melihat
rangkaian teks bahasa arab yang nyaris sempurna. Naskah buku itu rampung ditulis pada 1975. Atau beberapa
hari setelah buku pertama karya Arief Umar AN tadi dipasarkan.
Buku selanjutnya juga disusun oleh Kiai Arief Umar A.N yang kali ini bersama beberapa rekannya
menyusun naskah berjudul Pesantren Zainul Hasan Genggong Kraksaan Sejarah Perjalanan dan
Perkembangannya; 150 Tahun Menebar Ilmu Di Jalan Allah yang diterbitkan oleh YPPZH pada 1989.
Buku keempat disusun pada 2005, oleh Ainul Yakin dkk berjudul Kiai Hasan Saifouridzall; Pejuang,
Pendidik, dan Teladan Umat, diterbitkan Genggong Press. Keempat buku tersebut cukup membantu dalam
penulisan buku ini.
Di samping 4 buku itu, ada juga sekitar 10 kaset rekaman pidato KH. Hasan Saifouridzall. Dan, Juga
ditambah dengan beberapa kitab karangan KH. Mohammad Hasan sendiri. Serta keterangan-keterangan penting
dari KH. Mohammad Hasan Saiful Islam. Adanya referensi-referensi tersebut tentu saja cukup memudahkan
penulisan buku ini.
A.
B. BAGIAN KEDUA
C. KH. MOHAMMAD HASAN; KELUARGA DAN MASA KECIL

D. Latar Belakang Keluarga KH. Mohammad Hasan


Di Kabupaten Probolinggo ada sebuah desa bernama Sentong. Sentong terletak sekitar 4 km arah selatan
kecamatan Kraksaan. Saat ini desa tersebut berada di wilayah kecamatan Krejengan.
Di desa itu tinggal sebuah keluarga, sang suami bernama Kiai Syamsuddin. Sehari-hari bekerja
mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Istri Kiai Syamsuddin bernama Nyai Khadijah. Nyai Khadijah adalah seorang ibu rumah tangga yang
baik. Nyai Khadijah adalah istri yang sangat patuh pada suaminya. Khadijah juga turut membantu pekerjaan
suaminya itu. Keluarga ini adalah keluarga yang sakinah. Suami-istri tersebut adalah dua orang yang bertaqwa
pada Allah SWT.
Selain taqwa, keluarga tersebut adalah keluarga panutan masyarakat. Karena itulah masyarakat
menghormati kehidupan keluarga itu. Mereka adalah tokoh masyarakat yang disegani. Oleh masyarakat, Kiai
Syamsuddin dan Nyai Khadijah diberi sebutan khusus. Yakni Kiai Miri-Nyai Miri
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin. Sedangkan Nyai Khadijah adalah anak ke-2 dari 8
bersaudara dari pasangan suami-istri Qomariz Zaman. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai
sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan Bani Qomariz Zaman 1.
Saat itu Nyai Miri sedang mengandung untuk kedua kalinya. Kiai-Nyai Miri sebelumnya sudah memiliki
seorang putri bernama Halimah. Kelak dikenal dengan nama Nyai Hajjah Halimah.
Di suatu malam, Nyai Miri istirahat di rumahnya. Di saat tidur itulah Nyai Miri bermimpi indah. Dalam
mimpi, Nyai Miri meraih bulan purnama dengan kedua tangannya. Bulan purnama yang dipegang itu kemudian
ditelan oleh Nyai Miri tanpa tersisa sedikitpun.
Kiai Miri menafsiri mimpi tersebut, “Jika janin yang dikandungnya itu laki-laki Insya Allah anak tersebut
akan menjadi orang yang terpuji dan mempunyai sifat-sifat yang diridhai, dan perilaku yang patut ditiru.”
Pada 27 Rajab Nyai Zaman, nenek KH. Mohammad Hasan melihat cahaya dari rumah Nyai Miri yang
memancar ke cakrawala. Nyai Zaman lantas berteriak keras sekali. Hingga mengejutkan Kiai Dimpo, Buyut KH.
Mohammad Hasan.
Kiai Dimpo bertanya pada Nyai Zaman apa yang terjadi. Nyai Zaman bercerita tentang apa yang beliau
lihat. Kiai Dimpo berkata, “Itu adalah alamat dari Allah, janganlah kamu takut dan khawatir, jika Allah
memberikan anak laki-laki Insya Allah dia akan punya banyak ilmu yang bermanfaat, derajat yang mulia, aqwal
dan af’al yang diberkahi dan namanya akan tersebar ke penjuru dunia dan cahaya yang kamu lihat itu adalah
Lailatul Qodar dan malam yang mulia”.

1
Silsilah Keluarga Besar Bani Qomariz Zaman. Probolinggo. 1989. KBBQZ.

1
Allah benar-benar mewujudkan apa yang dikatakan Kiai Dimpo dengan lahirnya bayi yang menjadi
pemimpin dan penuntun ummat yaitu KH. Mohammad Hasan, semoga Allah memberikan rahmat dan ridha-Nya.
Dengan peristiwa yang terjadi maka tidak ada keraguan lagi bahwa beliau termasuk orang yang telah
difirmankan Allah.
Kiai Miri adalah orang yang rajin bersedekah. Begitu pula Nyai Miri. Setiap kali mendapat hasil kerja,
tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Tidak hanya bersedekah. Keduanya senantiasa
menjaga hati dengan ibadah. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini.
Kehamilan Nyai Miri membuat keluarga itu semakin meningkatkan ibadah pada Alla SWT. Waktu terus
berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi yang dinanti-nantikan itu. Ternyata lahir seorang anak
laki-laki. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h. Kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri,
putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan bin Syamsuddin adalah putra kedua dari 5 bersaudara. Secara berurutan keturunan Kiai Miri-Nyai
Miri adalah Nyai Hj. Halimah, KH. Mohammad Hasan, KH. Mohammad Rais, Nyai Hj. Zainab, dan Nyai Hj.
Shofiyah.

E. KH. Mohammad Hasan Di Usia Kanak-Kanak


Saat kecil, KH. Mohammad Hasan memiliki panggilan Ahsan. Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil
pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun
kebahagiaan dan bimbingan itu itu tak bertahan lama. Sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada saat Ahsan
masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.
Meski masih kecil, namun Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri. Ahsan terlihat
berbeda dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat
yang melekat pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan
santun. Perilaku Ahsan seperti orang yang sudah dewasa yang berakhlak mulia.
Di samping perilaku yang baik, Ahsan juga adalah anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap
hafalannya serta kuat daya ingatnya. Pembawaan itu sudah muncul sejak Ahsan lahir. Hal ini merupakan sifat-
sifat yang memang dimiliki Ahsan sejak kecil. Tak heran ketika dewasa Ahsan menjadi seorang waliyullah.
Sepeninggal Kiai Miri, pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Ahsan
juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama Kiai Syamsuddin. Kebetulan nama pamannya itu sama
dengan nama Kiai Miri ayah Ahsan.
Kiai Syamsuddin paman Ahsan ini mempunyai seorang putra bernama Asmawi. Asmawi berusia sedikit
lebih tua dari Ahsan. Sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi
memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil hingga melanglang
buana menuntut ilmu di Mekkah.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah
pada siapapun yang dijumpai. Ahsan sudah mengetahui cara-cara berperilaku yang baik sejak kecil.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan ibundanya untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang
halus dan santun. Begitu juga sikap yang lemah lembut. Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan
aksen kasar pada siapapun.
Kelak, akhlak beliau itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimiliki Ahsan. Hal ini tak lepas dari
ajaran yang diberikan oleh ayah-ibu beliau dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna
iman dan taqwa pada Allah SWT.
Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik. Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin
menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas
sehari-hari, Ahsan memiliki rasa tanggung jawab yang besar atas amanah yang diembankan padanya. Ahsan
adalah seorang anak kecil yang bertanggung jawab.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa pada ibadahnya. Apabila
telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan sholat. Ahsan senantiasa
memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya.
Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata
hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang
rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.
Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara
intensif. Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah
orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri.
Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu
menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan
penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari
orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka.
Dalam pergaulan dengan sebaya, Ahsan cukup akrab dengan Asmawi. Sejak kecil keduanya sudah
mempunyai tanda-tanda keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti.
Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan
dan Asmawi. Masyarakat mengenal Ahsan dan Asmawi sebagai dua orang tokoh dan ulama besar. Ahsan ketika
dewasa bernama KH. Mohammad Hasan. Sedangkan Asmawi bernama KH. Rofi’i.

2
Ahsan belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya sendiri. Bersama
Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin.
Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga
rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu
tercepat dalam pelajaran hafalan. Hafalan mereka tetap kuat diingat meski telah lama berlalu.
Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain
masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di
depan mereka. Hal itu berlangsung hingga kelak mereka dewasa. Namun dalam banyak hal, Ahsan memang
lebih menonjol dari pada teman-temannya.

F. Memenuhi Panggilan Ilmu Pengetahuan


Tak terasa, tahun demi tahun telah telewati. Ahsan dan Asmawi telah beranjak remaja. Masa kecil
keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya
merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka.
Ahsan memiliki rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang besar. Demikian juga Asmawi.
Mereka ingin mengembangkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Ahsan
menyatakan ingin menuntut ilmu. Ahsan memohon doa dan restu dari ibundanya. Nyai Miri merestui keinginan
tersebut.
Setelah segala sesuatunya siap, Ahsan dan Asmawi berangkat. Tujuan mereka adalah pondok pesantren
Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut ± 70 km. Ahsan dan Asmawi
menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Mereka berangkat sekitar tahun 1857. Saat itu penjajah masih
menjajah tanah Jawa.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pesantren ini. Pengasuh pesantren itu seorang kiai bernama
KH. Mohammad Tamim. Beliau adalah seorang kiai yang tawadlu’.
Ahsan dan Asmawi adalah santri yang tekun dan rajin di setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa
kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut.
Ahsan tetap yang paling menonjol.
Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak
pernah menghambur-hamburkan rizki itu. Rizki itu mereka tabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang
disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng.
Suatu hari, KH. Mohammad Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat
itu muncullah keinginan beliau untuk memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang rusak.
Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya
yang dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi
keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden. Setara dengan nilai
10 ribu uang perak.
Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada
para santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya
tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut.
Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud
beliau dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka
ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan
semua uang simpanan itu.
Setelah menghadap, keduanya langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim
dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu. Ahsan pun bersyukur karena tabungan itu
berguna.
Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena
sikap mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun
yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk kehidupan
keduanya.

Berguru Pada Kiai Kholil Bangkalan


Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi menyampaikan kepada Kiai
Tamim bahwa mereka berkeinginan menuntut ilmu di pondok Bangkalan Madura. Pondok yang dimaksud
adalah pondok yang diasuh KH. Mohammad Kholil Bangkalan. Seorang kiai waliyullah yang terkenal. Kiai
Tamim dengan bangga dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura.
Semangat yang luar biasa besar dari dua orang remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan
jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian
kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura.
Ahsan berangkat dengan membawa perbekalan seadanya. Di tengah perjalanan, bekal yang dibawanya
itu disedekahkan pada orang yang lebih membutuhkan.
KH. Mohammad Kholil adalah seorang ulama besar yang santrinya banyak menjadi ulama besar pula.
Dasar itulah yang membuat Ahsan dan Asmawi ingin menuntut ilmu di situ. Kiai Kholil Bangkalan menempa
santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Mereka berangkat sekitar 1860-1861.

3
Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar
di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-
pesantren besar dan terkemuka. Tidak ada yang menyangkal bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Kiai Kholil menerima Ahsan dan Asmawi mondok di pesantrennya. Ada sebuah kebiasaan Ahsan. Ahsan
membiasakan diri tidur di depan pintu dalem Kiai Kholil. Maksudnya agar di pagi harinya, Ahsan akan
dibangunkan langsung oleh Kiai Kholil. Dengan begitu ia akan berada di shof paling dekat dengan Kiai Kholil.
Ahsan adalah santri paling rajin di pondok tersebut.
Selama di pesantren tersebut, Ahsan tak jarang dimarahi dan diberi hukuman. Bukan karena Ahsan
nakal. Namun karena Kiai Kholil ingin memberi pelajaran yang bermanfaat pada Ahsan. Meski demikian, tak
sebersit sedikit pun dalam hati Ahsan merasa tersakiti. Ia sadar bahwa hal itu akan memberikan barokah
tersendiri pada Ahsan.
Pernah Ahsan dilempar dengan sebilah pisau besar sejenis golok oleh Kiai Kholil. Sabit itu mengenai
kaki Ahsan. Akibatnya, Ahsan harus menderita sedikit luka di kakinya. Ahsan ikhlas menerima dengan lapang
dada dan ikhlas. Luka itu tetap membekas hingga wafat.
Salah seorang teman santri hendak mengobati luka tersebut. Namun Ahsan malah melarang temannya
mengobati. Menurut Ahsan, luka tersebut akan menjadi peninggalan Kiai Kholil untuk Ahsan. Jadi tidak perlu
diobati.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Entah kenapa Kiai Kholil memanggil Ahsan. Ahsan pun
menghadap Kiai Kholil. Setelah bertemu, Kiai Kholil menyampaikan kesusahan yang dialami beliau.
Kiai Kholil bermaksud meminta pertolongan Ahsan. Kiai Kholil meminta Ahsan agar ikut berdoa kepada
Allah agar persoalan yang dialami Kiai Kholil dapat terselesaikan. Ahsan pun lantas ikut berdoa.
Subhanallah. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Sungguh tanda-tanda
keistimewaan yang luar biasa.
Selama berada di madura, Ahsan juga sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH.
Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh
Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan.

Ditinggal Sepupu ke Mekkah


Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi berkata pada Ahsan dirinya ingin
memperdalam lagi ilmunya. Sebenarnya dalam hati kecil, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu
lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya.
Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh
Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri
tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia.
Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya berkumpul dengan Ahsan,
maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu,
sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan
lebih mampu dan lebih pintar dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi:
Makkatul Mukarromah!
Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, sekitar 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju
Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar
perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga
memiliki saudara sepupu yang haus ilmu.
Namun di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah.
Untuk menunaikan ibadah Haji dan sekaligus menuntut ilmu. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi
adalah sesuatu yang sangat sulit. Bagaimana tidak? Ahsan tidak memiliki cukup bekal untuk berangkat.
Ibundanya di rumah hanya membuat genteng. Hasilnya tidak cukup untuk biaya pemberangkatan.
Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar dapat menyusul saudaranya itu. Oleh Allah
SWT, Ahsan dibukakan petunjuk dan jalan keluar. Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil
pulang ke Sentong oleh sang ibunda.
Nyai Miri menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan
mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Nyai Miri
mengatakan jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke
bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan.
Ahsan menemui pilihan sulit. Ahsan pun melakukan istikhoroh (mohon petunjuk) kepada Allah SWT.
Dari istikhoroh itu, Allah memberikan satu petunjuk berupa sebuah kalimat yang ditampakkan pada Ahsan.
Isinya adalah kalimat If’al, Laa Taf’al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan
mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap
terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja.
Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kiai Kholil untuk menyampaikan hal
tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil. Supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke
tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan
kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
4
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di
rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk
ongkos perjalanan saja.
Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut.
Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan
pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar 1864.

G. Berangkat Ke Makkatul Mukarromah


Ahsan akhirnya tiba di Mekkah. Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira
mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus
menunaikan ibadah haji.
Namun sesungguhnya hati kecil Asmawi mengatakan, ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu
pengetahuan kepada Ahsan. Selang beberapa hari setelah Ahsan tiba, Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah
mengetahui seluk beluk Mekkah mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu muqimin alim yang telah
menetap lama di Mekkah. Ia bernama Abdul Qohar.
Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Perdebatan
berlangsung sejak pagi hingga sore. Abdul Qohar menyerang Ahsan dengna pertanyaan-pertanyaan sulit. Namun
Ahsan selalu bisa menjawab dengan jawaban yang baik dan tepat. Selam itu Ahsan tidak memberikan pertanyaan
apapun. Perdebatan hanya berhenti karena harus menunaikan sholat.
Ketika hari sudah sore, perdebatan sudah harus diakhiri. Ahsan baru memberikan pertanyaan pada Abdul
Qohar. Meski hanya 1 pertanyaan, namun Abdul Qohar tidak bisa memberikan jawaban. Perdebatan berakhir
dengan keunggulan Ahsan.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan
itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk
bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia
seorang ulama yang alim di Mekkah.
Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak
bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang
sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah.
Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga
berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali
berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan
baik oleh Ahsan.
Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan
pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut
berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Asmawi semakin penasaran. Ia kembali mengajak Ahsan bermujadalah dengan beberapa orang. Di
antaranya adalah tokoh-tokoh terkemuka dan termasuk ulama Mekkah. Haislnya Ahsan tetap mengungguli
mereka.
Kebanyakan lawan debat Ahsan mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Suatu ketika Ahsan
bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lain. Untuk menutupi maksudnya menguji
kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.
Ahsan sekali lagi meminta kakandanya itu tidak lagi mengajak Ahsan untuk berdebat. Atas permintaan
itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.
Selanjutnya, makin banyak orang yang ingin mengajaknya berdebat. Namun semuanya ditolak oleh
Ahsan. Ahsan mengatakan ingin menuntut ilmu dan mengabdi pada ulama-ulama Mekkah. Bukan untuk
berdebat.
Selama di Mekkah, Ahsan berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah. Di samping itu
Ahsan juga berguru pada beberapa ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah dan Madinah.
Guru Ahsan mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar
Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri,
Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-
Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.
Ketekunan Ahsan dalam menuntut ilmu, tidak membuat kezuhudan dan kekhusyu`annya terbengkalai.
Selama di Pondok beliau tak pernah makan makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda beliau jika
berada di rumah serta makanan pemberian guru beliau.
Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan agar pada saat
makan, beliau bisa makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan
membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, KH. Mohammad Hasan memiliki banyak sahabat.
Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH.
Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon
Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id
Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib
Alwie Besuki.
5
Demikian juga dengan para Habaib. KH. Mohammad Hasan juga banyak memiliki kedekatan seperti
dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah
Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib
Sholeh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh
bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, Habib Muhammad Al-
Muhdlar Bondowoso.
Pada 1868, Ahsan dan Asmawi pulang ke kampung halaman mereka di Sentong. Masyarakat di
lingkungan rumahnya telah menanti kedatangan dua orang pemuda alim dan cerdas. Dua orang itu ialah Kiai
Hasan dan Kiai Rofi’i.

H. Menikah
Kabar kedatangan Kiai Hasan dan Kiai Rofi’i langsung menyebar di wilayah Probolinggo. Terlebih lagi
kedatangan Kiai Hasan memang dinanti-nantikan banyak orang. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahuan dan
kepribadian Kiai Hasan yang sudah terkenal waktu itu.
Kabar itu membuat KH. Zainul Abidin tertarik untuk menjadikannya sebagai seorang menantu. Beliau
seorang Kiai yang cukup berpengaruh di Kraksaan pada waktu itu, pendiri Pesantren Genggong. KH. Zainul
Abidin hendak menikahkan Kiai Hasan dengan salah seorang putrinya yang bernama Ruwaidah.
Akhirnya pernikahan antara Kiai Hasan dengan Nyai Ruwaidah binti KH. Zainul Abidin pun
berlangsung. Pada saat menikah pada tahun 1868 m., usia Kiai Hasan adalah 25 Tahun. Pernikahan inilah tali
penghubung kepemimpinan Pesantren Genggong selepas wafatnya KH. Zainal Abidin.
Berikut nama-nama Dzurriyyah (keturunan) KH. Mohammad Hasan hingga garis Cucu.

PUTRA-PUTRI DAN
ISTRI CUCU-CUCU
MENANTU
Istri: Nyai Ruwaidah Putra Pertama: KH. Ahmad 1. Kiai Mohammad Khozin.
Nahrawi 2. Kiai Yahya Nawawi
Menantu: Nyai Marfu’ah 3. KH. Abdullah
(KH. Ahmad Taufiq Hidayatullah)
4. Nyai Maryamah
5. Kiai Abdur Rahman
6. Kiai Mohammad Tuhfa
7. Nyai Khodijah
8. Kiai Abdul Jalil
9. KH. Abdul Kalim (Sholeh)
10. Nyai Sufiyah
11. Nyai Fasihah
Istri: Nyai Syari`ah Putra Kedua: Kiai Asnawi -
Istri: Nyai Patwi Putra Ketiga: Nyai Raihanah 1.Nyai Bahriyah
Menantu: Kiai As’ad
Istri: Nyai Patmi - -
Istri: Ny. Hj. Siti Putra Keempat: KH. Hasan Saifouridzall
Aminah Menantu: Ny. Hj. Himami 1. Ny. Hj.Diana Susilowati
Hafshawati 2. KH.Moh. Hasan Mutawakkil
Alallah
3. Ny.Hj.Umi Malikal Bulqis
4. KH.Moh. Hasan Ainul Yaqin
5. Ny.Hj.Endah Nihayati
6. Ny.Hj.Idzom Umi Athiyah
Menantu: Ny. Hj. Aisyah 1. Ny.Hj.Tutik Hidayati
Multazamah 2. KH.Moh. Hasan Abdul Bar
3. KH.Moh. Hasan Saiful Islam
4. Ny.Hj.Husnu Hitamina
5. Ny.Hj.Ana Ghayatul Qushwa
6. Ny.Hj.Ismatul Maula
7. Ny.Hj.Himayatul Husna
Menantu: Ny. Hj. Sundari 1. Ny.Hj.Uswatun Hasanah
Menantu: Ny. Hj. Rahma 1. KH.Moh. Hasan Hafizul Ahkam
Menantu: Ny. Hj. Azizah 1. KH.Moh. Hasan Zidni Ilma
Aziziyah 2. KH.Moh. Hasan Irhamni
Maulana
3. KH.Moh. Hasan Afini Maulaya
4. Ny.Hj.Jinani Firdausiyah.
5. KH.Moh. Hasan Naufal.

6
6. Ny.Hj.Kilmatuna Hadani
Istri: Ny. Hj. Suwarsih Putra Kelima: Abdul Hayyi -
Istri: Ny. Arba`ina Putra Keenam: Nyai Maryam -

Keturunan Kiai Hasan adalah orang-orang yang meneruskan perjuangan beliau dalam mengabdikan diri
pada umat. Hingga saat ini, Pesantren Genggong telah berkembang menjadi pesantren besar yang manfaatnya
dapat dirasakan oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di dunia, namun juga
bekal untuk menghadapi akhirat kelak. Kiai Hasan telah berjasa dengan melahirkan tokoh-tokoh luar biasa.
Sosok ulama besar yang senantiasa bermunajat kepada Allah SWT dan mengabdikan diri pada umat. Kini
perjuangan Kiai Hasan diteruskan oleh para dzurriyyah-nya.

BAGIAN KETIGA
PRIBADI SEDERHANA PENUH KAROMAH

Al-Arif billah adalah sebutan yang melekat pada KH. Mohammad Hasan. Jadi lengkapnya adalah
Almarhum Al-Arif Bilah KH. Mohammad Hasan. Hal itu disebabkan kewalian Kiai Hasan Sepuh yang disebut
sebut mencapai tingkatan wali qutub.2
KH. Mohammad Hasan adalah seorang hamba yang taat pada Tuhannya. Tiap detik dari dengus dan
nafas Kiai Hasan, tak lepas-lepas bertasbih dan bertahmid kepada Allah. Ini bukan saja dilakukan sehabis sholat
sebagaimana biasanya. Namun di luar kewajiban sholat pun, tasbih dan tahmid tetap tergetar di bibir dan di hati
beliau. ”Allah, Allah, Allah,” begitulah dzikir KH. Mohammad Hasan setiap saat.

1. Karomah 87 Tahun memimpin Mengasuh Pesantren


Allah SWT menganugerahkan karomah yang besar pada KH. Mohammad Hasan adalah. Yang paling
agung adalah karomah KH. Mohammad Hasan yang mampu memimpin dan mengasuh pondok pesantren
Genggong selama sekitar 87 tahun. Hal ini adalah sebuah keistimewaan. Disebut keistimewaan karena KH.
Mohammad Hasan adalah ulama yang dianugerahi kesabaran yang luar biasa. Terutama karena memimpin
pesantren besar dalam waktu yang sangat lama.
Selama ini mungkin jarang ada orang mengemban tugas selama 87 tahun dengan istiqomah dan
bertanggung jawab. Namun KH. Mohammad Hasan mampu melaksanakan tugas tersebut. Bukan hanya
bertahan, namun pesantren justru berkembang pesat. Hal ini karena KH. Mohammad Hasan ikhlas dalam
menjalankan amanah Allah SWT tersebut.

2. Dermawan Pada Umat3


Pada tahun 1946, penjajah Jepang baru angkat kaki dari bumi pertiwi. Namun uang Jepang masih
berlaku sebagai alat transaksi bagi rakyat.
Suatu hari Kiai Hasan menugaskan beberapa orang santrinya untuk membagi-bagikan uang milik pribadi
almarhum kepada masyarakat yang tersebar di empat kecamatan yakni Paiton, Kraksaan, Gending, dan Dringu.
Jumlah uang yang dibagikan itu kurang lebih 7 juta rupiah. Setiap rumah menerima pembagian uang
tersebut. Tidak hanya rumah, bahkan kantor pemerintahan juga mendapat bagian. Pembagian uang itu
berlangsung selama tiga bulan.
Tak lama kemudian, uang jepang dinayatakan tidak berlaku. Untuk transaksi rakyat, pemerintah
menerbitkan jenis uang ORI (oeang republik Indonesia). Saat itu setiap penduduk masing-masing satu rupiah.

3. Kedatangan Habib Dari Hadramaut (Cerita dari Habib Hasan bin Ali bin Muhsin al-Hamid, Tanggul
Jember)
Di sekitar tahun 1935-1937, seorang Habib datang dari Hadramaut ke Indonesia. Nama beliau Habib Ali.
Setelah berada di Indonesia, Habib Ali bergabung berjuang bersama-sama dengan para gerilyawan dalam
menjaga stabilitas keamanan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah beberapa bulan tiba di Indonesia, Habib Ali berkeinginan untuk mengunjungi seorang Habib
Husein bin Hadi Al-Hamid di desa Brani kecamatan Maron Probolinggo. Pada hari yang direncanakan,
berangkatlah ia ke Brani dengan menunggangi seekor kuda. Karena memang seorang gerilyawan, Habib Ali
berangkat ke Brani dengan pakaian model militer dan jauh dari kesan seorang ”Habib”.
Karena menempuh perjalanan jauh, Habib Ali hendak beristirahat. Saat itu juga bersamaan dengan adzan
dluhur. Habib Ali bertanya pada orang, tempat pemberhentian melepas lelah sekaligus hendak menunaikan
sholat dluhur. Sesuai petunjuk orang yang ditemui selama perjalanan, Habib Ali disarankan untuk istirahat di
masjid Al-Barokah Genggong.
Habib Ali baru pertama kali tiba Di masjid tersebut seumur hidupnya. Habib Ali segera mengambil
wudlu’ dan menunaikan sholat dluhur. Bersamanya terlihat pula beberapa orang sedang ber’i’tikaf.

2
Wawancara dengan KH. Mohammad Hasan Saiful Islam
3
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Diceritakan Alimuddin, salah seorang hadam
Kiai Hasan. Karangbong Pajarakan

7
Sementara pada waktu yang bersamaan, Kiai Hasan sedang menerima tamu-tamu yang datang
bersilaturrahim di kediaman beliau dengan berbagai macam keperluan. Di tengah percakapan, Kiai Hasan
memanggil salah seorang khadamnya.
”Nak, tolong sampean cari seorang Habib di masjid. Sekarang Habib itu sedang sholat. Beliau baru
datang dari Hadramaut. Kalau sudah bertemu, diajak ke sini”, petunjuk Kiai Hasan dalam bahasa madura.
Hadam itu lantas mencari habib yang dimaksud. Namun ia tidak berhasil menemukannya. Bisa
dimaklumi, karena Habib Ali memakai seragam gerilyawan. Akhirnya ia menanyakan satu persatu tamu yang
beribadah di masjid.
Ketika si hadam bertanya pada Habib Ali, Habib Ali sedang membaca wiridan. Dalam balutan seragam
khas gerilyawan, maka Habib Ali benar-benar tidak seperti habib pada umumnya. Hadam tersebut lantas
bertanya pada Habib Ali.
Habib Ali malah heran dan menanyakan kembali pada si santri, ”Saya memang seorang Habib dan
memang baru datang dari Hadramaut. Tapi apa benar yang dimaksud Kiai Hasan adalah saya? Selain itu saya
yakin Kiai Hasan tidak mengenal saya, seperti saya yang belum mengenal beliau!?”
”Kiai Hasan memang tidak menyebutkan nama, petunjuk beliau hanya seorang Habib yang baru datang
dari Hadramaut. Setelah saya tanyakan satu-persatu hanya anda yang seorang Habib dan memang baru datang
dari Hadramaut”
Tanya jawab selesai dengan beranjaknya Habib Ali menuju kediaman Kiai Hasan disertai oleh khadam.
Setibanya di kediaman, Kiai Hasan yang sedang menemui tamunya berdiri dan menyambut kedatangan
Habib Ali. Kiai Hasan menjabat tangannya dan memeluk Habib Ali seperti dua sahabat yang sangat akrab.
Padahal baik Kiai Hasan maupun Habib Ali belum pernah bertemu.
Selanjutnya ramah tamah berlangsung dengan hidmad. Diam-diam Habib Ali merasa takjub pada Kiai
Hasan. Beliau kagum karena Kiai Hasan bisa mengetahui kedatangannya di Masjid. Di saping itu Kiai Hasan
sangat santun dalam menerima tamu
Dalam percakapan itu Habib Ali menyimpulkan bahwa Kiai Hasan adalah pribadi yang berjuang untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia.

4. Sifat Pengasih dan Penyayang (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam)
Rumah kediaman Kiai Hasan hanya terbuat dari gedek bambu. Salah satu bagian dari rumah tersebut
suatu ketika rusak karena lapuk. Tak ayal, lubang tersebut menjadi jalan keluar masuk kucing yang ada di
pesantren.
Kiai Hasan mengetahui keadaan itu dan membiarkan saja. Beliau membiarkan kucing-kucing lewat dan
makan ke dapur melalui lubang itu.
Keberadaan kerusakan gedek bambu itu diketahui oleh salah seorang santri. Bersama beberapa teman,
mereka mengganti gedek bambu tersebut dengan yang baru. Hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan Kiai Hasan.
Suatu hari, Kiai Hasan mengetahui perubahan di kediamannya itu. Serta merta Kiai Hasan memanggil
santri yang mengganti gedek tersebut. Kiai Hasan bertanya, ”Lantas kucing dan angin mau masuk lewat mana?”
Selanjutnya Kiai Hasan menjelaskan, sebaiknya gedek yang lama dipasang lagi. Sementara gedek yang
baru dipakai di tempat lain saja. ”Kasihan, kucing-kucing tidak ada jalan keluar masuk. Mereka akan bingung
untuk cari makan di dapur,” ujar Kiai Hasan.
Si santri mau tak mau mengganti lagi gedek tersebut dengan gedek yang lama.

a. Menghormati dan Menyayangi Sesama Manusia


Pernah pada suatu waktu, dalam suatu perjalanan Kiai Hasan beserta rombongannya berjumpa
dengan seorang pedagang gedek (dinding bambu). barang dagangannya tersebut belum terjual satu pun.
Sejenak Kiai Hasan menatap pedagang itu. selanjutnya Kiai Hasan memanggil si pedagang, terjadilah
dialog di antara keduanya.
Kiai Hasan menanyakan harga gedek yang dijual itu dan si penjual menjawab pertanyaan tersebut.
Tak lama kemudian, terjadilah kesepakatan. Kiai Hasan membeli semua barang dagangan itu.
Diserahkannya uang seharga barang yang dibeli itu. Pedagang gedek itu tentu gembira. Sementara Kiai
Hasan yang telah memiliki hak atas gedek itu sendiri tidak mengambil barang tersebut. Maka tak ayal
lagi si pedagang mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kiai Hasan. Lewat kesederhanaan
serta rasa kemanusiaan yang tinggi, Kiai Hasan mengajarkan budi pekerti yang tinggi nilainya.

b. Kasih Sayang Pada Binatang


Suatu hari Kiai Hasan pergi ke pasar dengan naik becak. Pengendara becaknya seorang santri yang
kelak dikenal dengan nama Kiai Husnan, Wringin Bondowoso. Ketika dalam perjalanan kembali menuju
pondok, Kiai Hasan melihat beberapa meter di depan becak ada seekor burung di tengah jalan. Burung
itu sedang makan sesuatu di tengah jalan.
Kiai Hasan menyuruh santrinya untuk menghentikan becak. ”Berhenti cung4, jangan lewat sini.
Sebaiknya lewat jalan lain saja. Di depan ada seekor burung yang sedang makan. Kasihan cong,” ujar
Kiai Hasan.

4
Cong: anak. Istilah dalam bahasa madura.

8
Di lain riwayat, di halaman pesantren Genggong dulu ada sebuah pohon jambu. Jenisnya jambu
Darsono. Suatu ketika, jambu tersebut masuk masa panen. Dipanenlah semua jambu matang itu oleh
para santri.
Setelah dipanen, jambu-jambu tersebut dihaturkan pada Kiai Hasan. Namun Kiai Hasan kurang
berkenan. Beliau malah terkejut karena jambu-jambu hasil panen itu dikerubungi banyak semut. Beliau
lantas berkata, ”Ayo jambunya diikat lagi ke pohonnya. Kasihan semut itu nanti bingung mencari rumah
dan keluarganya,” petunjuk Kiai Hasan pada santrinya dalam bahasa madura yang halus.
Pada riwayat lain, juga pernah diceritakan tentang semut. Kali ini semut yang dimaksud adalah
semut merah besar. Dalam bahasa madura disebut kaleng.
Suatu hari Kiai Hasan berkunjung ke Sentong. Setelah selesai bersilaturrahim, Kiai Hasan akan
kembali ke Genggong. Ketika delman sudah sampai di Kraksaan, Kiai Hasan tersadar bahwa ada kaleng
menempel di baju beliau.
Kiai Hasan mengingat-ingat asal semut tersebut. Akhirnya Kiai Hasan menyuruh si kusir untuk
kembali ke Sentong. Tujuannya sederhana saja. Yakni mengembalikan semut merah tersebut ke tempat
tinggalnya di Sentong. Kasih sayang Kiai Hasan juga diterapkan pada binatang.

5. Riyadlah KH. Mohamad Hasan


a. Tidak Minum Air selama 1 tahun penuh (Cerita dari Kiai Abdul Aziz, Gunung Rabunan Gading
Probolinggo. Diceritakan kembali oleh KH. Mohammad Hasan Saiful Islam)
KH. Mohammad Hasan pernah melakukan riyadlah tidak minum air selama 1 tahun. Beliau juga
sering melakukan puasa. Beliau juga tidak pernah memakan buah-buahan yang bukan miliknya, bahkan
memetik daun yang bukan miliknya belum pernah dilakukan.

b. Menanak Nasi Campur Pasir (Cerita dari KH. Mohammad Hasan Saiful Islam)
KH. Mohammad Hasan selama di pondok dulu, sering kali menanak nasi yang dicampur dengan
pasir. Tujuannya agar Kiai Hasan bisa menikmati rizki pemberian Allah SWT dengan ikhlas.

c. Tetap Beribadah Wajib Dan Sunnah Meski Sedang Sakit (KH. Ahmad Mudhar Mimbaan
Situbondo)
KH. Mohammad Hasan adalah ulama yang selalu mengutamakan ibadah. Ketika usia beliau sudah
sepuh, Kiai Hasan sering dalam keadaan dhoif (sakit).
Suatu ketika Kiai Hasan hendak berangkat masjid. Karena sedang sakit, hari beliau berpegangan
pada pundak salah seorang hadamnya. Beliau berangkat menuju masjid untuk menjalankan sholat fardhu
dengan berjamaah.
Yang mengharukan, tatkala beliau mengangkat tangan sembari takbir sholat Kiai Hasan tampak
seperti orang yang tidak sedang sakit. Kiai Hasan bahkan bisa melakukan ruku’, sujud, hingga duduknya
orang sholat. Meski begitu beliau masih melaksanakan sholat rawatibnya.
Hal tersebut tidak akan terjadi kecuali karena rasa mahabbah (cinta) kepada Allah dan merasakan
manisnya ibadah. Rasa mahabbah itu memunculkan kelezatan bagi Kiai Hasan meskipun dalam keadaan
sakit.
Selanjutnya ada riwayat lain terkait dengan kekhusyu’an Kiai Hasan. Suatu saat, Kiai Hasan
menderita sakit bisul di kakinya. Untuk menyembuhkan penyakit itu, dipanggillah seorang dokter dari
Kraksaan. Namanya dr. Soepangkat.
Menurut dr. Soepangkat, bisul itu harus dibedah. Kiai Hasan setuju. Namun Kiai Hasan memberi
syarat agar pembedahan dilakukan saat Kiai Hasan sedang shalat. Kiai Hasan mengaku tidak sanggup
menahan sakit kalau dilakukan di luar sholat. Padahal di masa itu, masih belum ada obat penahan rasa
sakit.
Tak lama kemudian, Kiai Hasan melaksanakan sholat. Seperti pesan Kiai Hasan, dr. Soepangkat
langsung melakukan pembedahan terhadap bisul tersebut. Pembedahan dilakukan saat Kiai Hasan
sedang melakukan sujud. Semua orang terheran-heran. Karena Kiai Hasan tidak mengaduh sedikit pun
ketika sedang dibedah.
Penanganan selesai. Bisul pecah dan penyakit sembuh. Ketika Kiai Hasan selesai melaksanakan
sholat, Kiai Hasan bertanya pada dokter. ”Sudah selesai Bapak Dokter?”
Pertanyaan itu menggambarkan Kiai Hasan tidak merasakan apa-apa. Termasuk rasa sakit bisulnya
dioperasi. Dr. Soepangkat hanya bisa mengangguk dan takjub.

6. Ayam Jantan dari Tanah Jawa (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam)
Kemampuan dan pengetahuan KH. Mohammad dalam bermusyawarah dan berdebat tentang agama
cukup tinggi. Hal ini banyak terbukti selama beliau mondok di Mekkah. Beberapa ulama Mekkah yang pernah
berdebat dengan KH. Mohammad Hasan selalu kalah unggul. Padahal waktu itu, usia KH. Mohammad Hasan
masih sangat muda.
Kecerdasan KH. Mohammad Hasan mengundang simpati dari banyak orang. Oleh orang Mekkah, KH.
Mohammad Hasan waktu itu diberi julukan Ayam Jantan dari Tanah Jawa. Karena dianggap sebagai pemutus
masalah yang hebat.

9
Bukti kecerdasan KH. Mohammad Hasan juga banyak terbukti ketika masa-masa awal dibentuknya
Nadlatul Ulama. KH. Mohammad Hasan adalah kiai yang setia pada perjuangan NU. Beliau selalu hadir dalam
setiap muktamar. Beliau sering berkumpul di majelis bahtsul masail. Di situ beliau dianggap sebagai salah satu
Kiai yang bisa memutuskan hukum sebuah masalah dengan tepat dan baik. Kiai Hasan di antaranya hadir di
Muktamar NU di Magelang, Pekalongan, dan Palembang.

7. Pengakuan Atas Kewalian KH. Mohammad Hasan


a. Pengakuan KH. Hasyim Asy’ari (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam sesuai cerita
langsung dari Almarhum Al-Arif Billah KH. Hasan Saifouridzall)
KH. Mohammad Hasan adalah sosok ulama yang oleh banyak kalangan dikatakan sebagai salah
seorang waliyullah. Beberapa tokoh yang pernah menyatakan bahwa Kiai Hasan adalah seorang wali
diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama.
Suatu malam di kediamannya, setelah beraktifitas, KH. Hasyim Asy’ari meminta salah satu
khadamnya yang bernama Ahsan untuk menghadap beliau. Ahsan (KH. Hasan Saifouridzall) adalah
putra KH. Mohammad Hasan.
Kiai Hasyim tidak mengetahui bahwa Ahsan adalah putra Kiai Hasan. Sementara Ahsan pun
tidak ingin memberitahukan hal tersebut pada Kiai Hasyim.
Setibanya Ahsan di dalam kediaman, Kiai Hasyim meminta Ahsan untuk memijat beliau. Sambil
menikmati pijatan, Kiai Hasyim hendak bertanya beberapa hal pada Ahsan.
“Ahsan, dari mana asalmu?”
“Dari Kraksaan, Kiai”, jawab Ahsan.
“Kraksaan mana?” Kiai Hasyim bertanya lagi.
“Kraksaan Genggong”.
“Dekatkah rumahmu dekat kediaman Kiai Hasan Genggong?”, Kali ini Ahsan tak bisa
mengelak. Akhirnya Ahsan mengaku, “Saya putranya”.
Begitu mendengar pengakuan itu, sontak Kiai Hasyim beranjak dari tempat tidurnya kemudian
berkata pada Ahsan dengan nada sedikit tinggi, ”Kamu tidak perlu menjadi khadam saya lagi. Ayahmu
itu seorang waliyullah”.

b. Pengakuan Sayyid Muhammad Amin al-Quthbi (Cerita dari KH. Mohamad Hasan Saiful Islam
sesuai cerita langsung dari Almarhum Al-Arif Billah KH. Hasan Saifouridzall)
Pada tahun 1952, setelah menikah untuk pertama kalinya, Non Ahsan berangkat beribadah haji
ke Mekkah. Di sela-sela waktu haji, Non Ahsan menyempatkan diri sowan pada Sayyid Muhammad
Amin al-Quthbi.
Sesampainya di kediaman Sayyid Amin Quthbi, terjadilah percakapan dengan bahasa arab
antara Sayyid Amin dengan Non Ahsan.
“Siapa namamu?”, Sayyid Amin mengawali pembicaraan
“Ahsan”,
“Dari mana asalmu?”, lanjut Sayyid.
“Dari Kraksaan”,
“Siapa nama Ayahmu?”,
Non Ahsan menjawab, “Mohammad Hasan”.
“Bukankah ayahmu pengarang Nadzam Safinatun Najah?”,
“Betul Sayyid, ayahanda sayalah lah yang mengarang”,
“Aku sudah membaca kitab karangan ayahmu itu, beliau adalah seorang waliyullah”, terang
Sayyid Amin Quthbi kepada Non Ahsan.
Selanjutnya dari pertemuan itu Sayyid Amin Quthbi memberikan nama pada Non Ahsan, yakni
Hasan Saifouridzall.

c. Pengakuan Dari Teman Sesama Mondok di Mekkah (Cerita dari H. Hasan Qulyubi)
Selama KH. Mohammad Hasan berguru pada Kiai Nawawi Banten di Mekkah, beliau
bersahabat dekat dengan seorang pelajar lain bernama Majid. Kelak bernama KH. Majid. Pelajar yang
satu ini berasal dari Bata-bata Madura. Ia termasuk salah seorang pelajar yang cerdas.
Setelah tiga tahun menempuh pelajaran di mekkah, Kiai Hasan pulang ke Jawa. Kepergiannya
itu diiringi oleh sahabatnya Majid dengan percakapan yang mengharukan.
”Ya Ahsan (Kiai Hasan), antum ’alimun wa ’allamah (Wahai Ahsan, engkau seorang yang ‘alim
dan sangat alim),” kata Majid
”Wa antum alimun (Dan engkau pun seorang yang alim). Kamulah salah satu orang yang bisa
menjawab persoalan-persoalan Nahwu dalam keadaan tidur,” kata Kiai Hasan pada Majidwaktu itu.
Percakapan pun berakhir dengan kepulangan Kiai Hasan.
Tiga tahun setelah kepulangan Ahsan ke Jawa, Majid pulang menyusul ke tanah air. Di kampung
halamannya, Majid mengasuh sebuah pondok pesantren yang kelak terkenal dengan Pondok Pesantren
Bata-Bata. Maka jadilah Majid dengan gelarnya kini, KH. Abdul Majid.
10
Berselang beberapa tahun setelah mengasuh pesantrennya, tersiarlah kabar di bahwa di Jawa,
tepatnya di Kraksaan, ada seorang kiai yang terkenal karena kealiman dan akhlak mulianya. Disebutkan
bahwa nama Kiai tersebut adalah KH. Mohammad Hasan.
Nama KH. Mohammad Hasan mengingatkan Kiai Majid pada sosok Ahsan yang memiliki
kesamaan sifat seperti diceritakan banyak orang. Ahsan sahabatnya dulu itu adalah seorang pelajar yang
cerdas nan alim, pun begitu akhlaknya terasa menyejukkan setiap orang. KH. Mohammad Hasan yang
desas-desusnya adalah seorang Kiai yang alim dan juga mempunyai akhlak yang tinggi.
Terbersit sebuah pertanyaan dalam hati Kiai Majid, apakah Ahsan temannya dulu itu telah
menjadi seorang kiai besar? Ataukah sekarang namanya telah masyhur sebagai KH. Mohammad Hasan?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat Kiai Majid penasaran pada sosok KH. Mohammad
Hasan. Sekaligus menimbulkan rasa rindunya pada Ahsan. Pertemuan terakhirnya dengan Ahsan dengan
percakapan yang tidak mungkin dilupakan itu dengan sendirinya akan membuat persahabatannya dengan
Ahsan tak akan pernah putus.
Maka berangkatlah Kiai Majid sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Keberangkatan
tersebut memakan waktu beberapa hari.
Sementara itu di pesantren Genggong, KH. Mohammad Hasan yang masih muda sedang
melaksanakan tugas membantu mertua beliau KH. Zainul Abidin mengasuh pesantren. Sebagai seorang
menantu, ia seorang yang taat dan santun pada mertuanya tersebut.
Di tengah-tengah kesibukan tersebut, tiba-tiba Kiai Hasan meminta tolong kepada salah seorang
santrinya untuk menyiapkan penyambutan untuk seorang tamu agung. Si santri hanya menurut karena itu
adalah perintah guru. Maka dipersiapkanlah segala sesuatunya.
Pada jadwal yang ditentukan, KH. Mohammad Hasan berangkat ke pertigaan Pajarakan untuk
menyambut tamunya tersebut. Selama mempersiapkan penyambutan, tak sekalipun Kiai Hasan
memberitahukan pada seorang pun siapakah bakal tamunya itu.
”Insya Allah saya akan kedatangan seorang tamu, tolong persiapkan penyambutan dan segala
sesuatunya”, begitu saja komentar beliau suatu ketika. Para santri yang mengiringi brharap-harap cemas
menunggu kedatangan tamu gurunya itu. Sementara KH. Mohammad Hasan terlihat tenang,
menampakkan raut wajah yang bersinar penuh dengan aura ibadah.
Waktu terus berjalan dan si tamu masih belum juga datang. Para pengiring masih harus bersabar.
Setiap orang yang lewat di pertigaan Pajarakan diperhatikan dengan seksama, terutama yang bertampang
ulama. ”Tamu saya seorang ulama yang alim”, begitu petunjuk KH. Mohammad Hasan.
Tak ada petunjuk lagi karena memang tidak ada surat atau pemberitahuan lainnya dari si tamu.
Penyambutan itu hanya berdasarkan perintah KH. Mohammad Hasan. Singkatnya si tamu tidak
memberitahukan kedatangannya kepada KH. Mohammad Hasan, tetapi KH. Mohammad Hasan
berdasarkan pengetahuannya, telah mengetahui akan kedatangan tamunya itu.
Setelah menunggu lama, tersebutlah seorang yang berhenti di pertigaan Pajarakan dan
menanyakan nama seseorang pada para santri. KH. Mohammad Hasan hanya memperhatikan.
”Assalamu’alaikum. Saya hendak bertanya di manakah letak kediaman KH. Mohammad
Hasan?” tanya orang tersebut
Itulah kalimat pertama yang akan dijawab, namun sebelum pertanyaan itu dijawab, Kiai Hasan
yang sejak tadi memperhatikan wajah si penanya tiba-tiba teringat akan seorang teman lamanya ketika
belajar di Mekkah.
”Subhanallah, apakah sampean Abdul Majid?” tanya Kiai Hasan pada orang tersebut.
Demi melihat wajah orang yang menegurnya itu, Kiai Majid terpana sementara wajahnya
tertegun memperhatikan sosok Kiai Hasan. Ingatannya kembali pada Mekkah ketika ia masih belajar
pada guru-guru kesohor dan mulia itu. Kini, sosok di depannya tak lain adalah seorang teman lama yang
tidak asing lagi baginya untuk dikenal.
Ya, wajah itu, wajah itu bukan wajah yang asing. KH. Abdul Majid mengenalnya. ”Subhanallah,
Ahsan. Apakah sampean Ahsan? Teman saya di Mekkah?”
”Ya benar, saya Ahsan. Apakah itu dirimu Majid?”
Maka keduanya pun berpelukan selayaknya dua orang sahabat yang telah lama tak bertemu.
Keduanya terharu sampai-sampai meneteskan air mata karena rindu tak bertemu. Selanjutnya Kiai
Hasan mengajak Kiai Majid ke kediamannya di Genggong.
Setibanya di Genggong, Kiai Majid terharu melihat Kiai Hasan. Dulu Kiai Hasan adalah
temannya yang bernama Ahsan kini telah menjadi seorang kiai besar. Para santri yang ditugaskan untuk
memberikan penyambutan serta merta menyongsong kehadiran Kiai Majid. KH. Mohammad Hasan
menyuruh para santri mencium tangan beliau Kiai Majid. Segala keperluan penyambutan pun telah
tersedia.
Kiai Majid terharu mendapat penyambutan seperti itu. Selanjutnya KH. Mohammad Hasan
mengajak tamunya itu untuk berbincang-bincang di kediaman beliau.
Seorang Kiai yang masyhur namanya yakni KH. Mohammad Hasan ternyata tinggal di sebuah
rumah yang terbuat dari bahan gedek yang tidak sempurna lagi bentuknya. Tanpa terasa, air matanya
mengalir dan tak lama kemudian memeluk tubuh Kiai Hasan.
”Anta waliyyun min auliya’illah (Anda adalah salah satu waliyullah),” Kiai Majid
mengucapkannya berulang-ulang pada Kiai Hasan.
11
Pertemuan tersebut menimbulkan kesan yang mendalam bagi Kiai Majid. Sebagai seorang
sahabat ia kagum pada Kiai Hasan namanya telah masyhur namanya sebagai ulama berpengaruh. Tak
lama di kediaman, Kiai Majid pun akhirnya pulang. Kiai Majid sendiri – seperti yang pernah
diisyaratkan Kiai Hasan– menjadi seorang ulama besar yang ahli dalam ilmu nahwu.
Kiai Hasan memang telah menjadi seorang teladan sejak beliau berusia muda. Kematangan
mental telah tumbuh dalam diri beliau meski belum mencapai fase usia yang memadai.
Kiai Abdul Majid berkata, ”Tidak ada ilmu syar’i yang ditimba dari Syaikh Mohammad Hasan
Genggong kecuali beliau sudah melaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, begitu juga
beliau sabar atas ujian dari Allah dari hal-hal yang menyusahkan hati dan hal-hal tersebut tidaklah
mungkin kecuali Fadhol (anugerah) dari Allah yang bersamaan dengan sucinya jiwa untuk menjalankan
syariat Nabi Muhammad”.

d. Pengakuan Dari Ulama Lain


Selain KH. Hasyim Asy’ari dan Sayyid Muhammad Amin al-Quthbi, ada banyak ulama lain
yang menyatakan hal serupa: Kiai Hasan adalah seorang waliyullah. Ulama-ulama tersebut di antaranya
ialah Habib Husein bin Hadi al-Hamid, Habib Sholeh Muhsin al-Hamid, Habib Abdur Rahman bin Ali
al-Habsyi Kwitang, Habib Sholeh bin Muhammad al-Muhdhar, Habib Muhammad al-Muhdhar, KH.
Ma’shum Lasem, KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Ahmad Shiddiq Jember, KH. Mahfudz Siddiq, dan
beberapa ulama yang hidup sejaman dengan Kiai Hasan.
KH. Abdul Hamid Pasuruan memberikan pendapat beliau mengenai Kiai Hasan. Pendapat itu
beliau ungkapkan ketika beliau kedatangan tamu bernama KH. Humaidi, ”Shodruhu kalamuhu”, kalimat
itulah yang beliau ucapkan tentang Kiai Hasan. 5
Kiai Arief Umar A.N dalam bukunya Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong
Kraksaan, menyatakan dirinya tidak sanggup memberikan makna konkrit kalimat tersebut.
Kiai Arief Umar melanjutkan, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, ucapan Shodruhu
Kalamuhu bisa diartikan sebagai ”denyut kalbunya adalah ucapannya”.
Selanjutnya, merupakan kebiasaan bagi Kiai Hamid setiap kali akan melintasi wilayah
pajarakan. Jika berangkat dari arah barat, ketika mobil sudah tiba di wilayah karanggeger, maka Kiai
Hamid akan serta merta membuka sandal sambil menundukkan kepala. Perilaku itu dimaksudkan
sebagai rasa hormat dan ta’dhim pada Kiai Hasan. Karanggeger adalah sebuah desa di kecamatan
Pajarakan bagian barat.
Sandal yang dilepas itu, beliau pasang kembali ketika sudah melewati jembatan Pajarakan.
Begitu juga sebaliknya jika Kiai Hamid melintas dari arah timur.

8. Teguh Memegang Janji (Cerita dari KH. Ridwan)


Memegang teguh sebuah janji adaah keutamaan dari Kiai Hasan. Dalam kondisi apapun, Kiai Hasan akan
tetap berusaha memegang janji yang telah diucapkannya. Seperti riwayat berikut ini.
Suatu hari Kiai Asnawi, putra kiai Hasan sakit parah dan dalam keadaan sangat kritis. Pada saat itu Kiai
Hasan akan menghadiri undangan pengajian di desa Matekan kecamatan Besuk. Maka dititipkanlah Kiai Asnawi
pada Kiai As’ad. Kiai Hasan berpesan agar Kiai As’ad menjaga Kiai Asnawi.
Berangkatlah Kiai Hasan ke lokasi undangan. Ketika itu Kiai Hasan memimpin tahlil. Tahlil kemudian
selesai. Tiba-tiba Kiai Hasan mengucapkan inna lillahiwa inna ilaihi rojiuun. Tidak ada yang tahu maksudnya.
Hal itu baru jelas ketika Kiai Hasan menyampaikan pada hadirin, bahwa Kiai Asnawi putra beliau sudah wafat.
Tak lama kemudian, datanglah berita dari Genggong. Seorang santri mengabarkan bahwa Kiai Asnawi
telah wafat. Begitulah Kiai Hasan ketika sudah memegang janji. Padahal Kiai Asnawi adalah putranya.

9. 1 Kambing = Ratusan Orang


Suatu hari Kiai Hasan berkunjung ke kediaman Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdar di Bondowoso.
Demi menghormati Kiai Hasan, Habib Sholeh menyembelih seekor kambing. Kambing itu akan dipakai sebagai
hidangan bagi Kiai Hasan dan tamu lainnya.
Sementara kabar kehadiran Kiai Hasan di kediaman Habib Sholeh didengar banyak orang. Sehingga
membuat banyak orang datang untuk sekedar sowan pada Kiai Hasan dan sekaligus silaturahim dengan Habib
Sholeh.
Diperkirakan jumlah hadirin waktu itu ratusan orang. Habib Sholeh merasa bahwa dengan 1 kambing
saja tentu tak cukup melayani ratusan orang itu. Habib Sholeh berencana menyembelih 1 kambing lagi.
Habib Sholeh hendak beranjak dari kursinya. Namun Kiai Hasan dengan halus memegang tangan Habib
Sholeh. ”Cukup 1 kambing saja Habib. Tidak perlu menyembelih lagi,” ujar Kiai Hasan.
Alangkah takjub, dengan 1 kambing itu, ratusan (bahkan mungkin ribuan) orang yang datang tercukupi
kebutuhan makannya.

5
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh KH. Humaidi Abdul Majid,
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Hasaniyah Pasuruan. Saat itu KH. Humaidi Abdul Majid datang sowan kepada KH. Abdul Hamid Pasuruan pada
tanggal 26 dzulhijjah 1394 h. Salah satu tujuan KH. Humaidi adalah hendak bertanya dan memohon pendapat KH. Abdul Hamid mengenai figur Kiai
Hasan dan kepribadiannya

12
10. Kuda Harus Patuh Pada Tuannya. (Didapat dari KH. Mohammad Hasan Ainul Yakin beliau mendapat
cerita dari kusir delman Kiai Hasan, yakni Pak Damok alias Pak Romli, Desa Pondok Dalem Kecamatan
Tanggul Kabupaten Jember)
Seorang kusir Kiai Hasan bernama Pak Damok pernah suatu ketika pernah diajak bepergian oleh Kiai
Hasan. Kebetulan kuda yang menarik delman adalah anak kuda yang belum mahir dan masih belajar. Karena itu,
cara berjalannya tidak teratur sebagaimana mestinya.
Kiai Hasan selama perjalanan, tampak membaca wiridan dengan mata terpejam. Beliau tidak
memperhatikan keadaan sekeliling. Sementara Pak Damok sibuk mengendalikan jalan kudanya tersebut.
Ketika delman sudah tiba di suatu tempat, tiba-tiba kuda itu kehilangan kendali. Sehingga delman
tersebut akhirnya terperosok ke selokan yang ada di pinggir jalan. Delman pun miring, sementara Pak Damok
terlempar keluar dokar. Sedangkan Kiai Hasan masih ada di atas delman.
Mestinya Kiai Hasan juga ikut terlempar. Namun anehnya, Kiai Hasan masih tetap membaca wiridan.
Bahkan posisi duduk beliau tidak berubah, seakan-akan delman tidak sedang miring ke selokan. Maka timbul
rasa takjub pada diri Pak Damok.
Sejenak kemudian, Kiai Hasan membuka mata. ”Ada apa cung?” tanya Kiai Hasan seakan tidak ada apa-
apa. Hal itu karena Kiai Hasan sangat khusyu’ dalam berwirid.
”Kalau kuda tidak menuruti perintah tuannya, pukul saja sedikit. Biar jadi penurut”, ujar Kiai Hasan
pada kusirnya. Setelah delman diangkat, Kiai Hasan melanjutkan perjalanan.
Beberapa tahun kemudian, Pak Damok pulang untuk mengabdi pada masyarakat. Dia dijodohkan oleh
orang tuanya dengan seorang gadis. Namun si gadis kurang menyukai Pak Damok karena bukan atas dasar
pilihannya. Pak Damok lantas teringat ucapan Kiai Hasan. ”Kalau kuda tidak menuruti perintah tuannya, pukul
saja sedikit. Biar jadi penurut”.
Lalu ucapan Kiai Hasan tersebut diterapkan Pak Damok pada istrinya.
Maka dipukullah istrinya itu. Anehnya sejak saat itulah istri Pak Damok menjadi istri yang patuh dan
taat pada suaminya. Hal itu berlangsung bahkan hingga mereka memiliki anak cucu.

11. Bisik Pada Kiai Abdul Hamid Pasuruan (Diceritakan K. Khozin Irsyad)
Suatu ketika, KH. Khozin Irsyad berceramah dalam sebuah pengajian. Pengajian itu juga dihadiri KH.
Hasan Saifouridzall. Dalam ceramahnya, Kiai Khozin menjelaskan tentang akhlak Kiai Abdul Hamid Pasuruan
pada Kiai Hasan.
Menurut Kiai Khozin ketika itu, Kiai Hamid tidak pernah berguru pada Kiai Hasan. Namun akhlaknya
pada Kiai Hasan luar biasa.saat berceramah seperti itu, Kiai Hasan Saifouridzall dari bawah podium
memperhatikan Kiai Khozin dengan tajam.
Selanjutnya Kiai Hasan Saifouridzall memberikan ceramah. Menurut Kiai Hasan Saifouridzall,
keterangan yang diberikan Kiai Khozin keliru. Menurut Kiai Hasan Saifouridzall, Kiai Abdul Hamid berguru
pada Kiai Hasan.
Setiap Rabu Ba’da Dluhur, Kiai Hamid selalu mengaji pada Kiai Hasan. Begitu penjelasan Kiai Hasan
Saifouridzall. Di rabu terakhir menjelang Kiai Hasan sepuh akan wafat, Kiai Hasan sepuh sempat memanggil
Kiai Hamid.
Kiai Hasan membisikkan sesuatu kepada Kiai Hamid. Saat itu disaksikan oleh Kiai Hasan Saifouridzall
dan H. Tohir. Mereka berdua tidak mendengar apa yang dibisikkan oleh Kiai Hasan. Namun tampak jelas bahwa
Kiai Hamid mengatakan berulang-ulang pada Kiai Hasan. ”Inggih, Inggih, inggih,” begitu jawab Kiai Hamid.
Keesokan harinya Kiai Hasan wafat. Kejadian itu tahun 1955.
Pada tahun 1982. H. Tohir bertemu Kiai Hamid di kediaman H. Nur Hasan di Probolinggo. Saat itu, H.
Tohir menyempatkan bertanya pada Kiai Hamid tentang perihal yang dibisikkan Kiai Hasan menjelang wafat
dulu.
Kiai Hamid hanya mengatakan, ”Ya, saya hanya diberi ¼ oleh Kiai Hasan. Nanti pada waktunya akan
saya kembalikan ke Genggong”.
Ada seorang habib yang akrab dengan Kiai Hamid. Dia tahu Kiai Hamid ditanyakan oleh H. Tohir. Habib
tersebut bertanya pada H. Tohir, ”Apa wasiat Kiai Hasan?”
H. Tohir menjawab, ”Saya tidak tahu. Saya Cuma mendengar Kiai Hamid mengatakan Inggih berulang-
ulang”.

12. Usia Ditambah Hingga 3 Kali (Diceritakan KH. Fathullah pada KH. Khozin Irsyad)
Suatu hari di sekitar tahun 1925, Kiai Fathullah Sebaung Gending dipanggil Kiai Hasan. Saat itu usia
Kiai Hasan sudah mencapai 85 tahun. Saat Kiai Fathullah dipanggil, Kiai Hasan sedang menderita sakit.
Akhirnya Kiai Fathullah berangkat ke Genggong.
Selanjutnya berlangsunglah ramah tamah antara 2 hamba Allah itu. Kiai Hasan kemudian sempat berkata
pada Kiai Fathullah. ”Waktu kewafatan saya sebenarnya sudah tiba. Tapi Allah memberi saya tambahan usia 10
tahun. Malaikat yang menyampaikan hal itu pada saya,” ujar Kiai Hasan pada Kiai Fathullah. Beberapa waktu
kemudian Kiai Hasan sembuh dari sakit.
Suatu hari di sekitar tahun 1935, Saat itu usia Kiai Hasan sudah mencapai 95 tahun. Kiai Hasan sedang
menderita sakit. Beliau kembali memanggil Kiai Fathullah.
Ketika bertemu, Kiai Hasan kembali berkata pada Kiai Fathullah. ”Waktu kewafatan saya sebenarnya
sudah tiba. Tapi Allah memberi saya tambahan usia 10 tahun. Malaikat yang menyampaikan hal itu pada saya,”
13
ujar Kiai Hasan pada Kiai Fathullah untuk kedua kalinya. Selanjutnya Kiai Hasan sembuh seperti 10 tahun
sebelumnya.
Suatu hari di sekitar tahun 1945, Saat itu usia Kiai Hasan sudah lebih dari usia 100,. Diperkirakan 105
tahun. Kiai Hasan sedang menderita sakit. Beliau kembali memanggil Kiai Fathullah.
Ketika bertemu, Kiai Hasan kembali berkata pada Kiai Fathullah. ”Waktu kewafatan saya sebenarnya
sudah tiba. Tapi Allah memberi saya tambahan usia 10 tahun. Malaikat yang menyampaikan hal itu pada saya,”
ujar Kiai Hasan pada Kiai Fathullah untuk ketiga kalinya.
Maka benarlah ucapan Kiai Hasan tersebut. Pada tahun 1955, Kiai Hasan wafat. Kewafatan itu terjadi
setelah 10 tahun sebelumnya bertemu dengan Kiai Fathullah perihal kabar usia itu.
Kiai Khozin bertanya kepada Kiai Fathullah. ”Kenapa Kiai Hasan bisa memiliki umur panjang?”
Kiai Fathullah menjawab, ”Karena Kiai Hasan selalu bersilaturrahim dan menjaga hubungan antar
keluarga”.

13. Menjawab Salam Dengan Hati6


Habib Alwi Al-Jufri bercerita saat beliau hendak sowan pada Kiai Hasan. Saat itu Kiai Hasan dalam
keadaan terlelap tidur di atas ranjang. Habib Alwi kemudian mengucapkan salam. ”Assalamu’alaikum
Warohmatullah”.
Kiai Hasan tidak terbangun maupun bergerak. Kemudian Habib alwi mengucapkan salam untuk kedua
kalinya. Namun tetap saja Kiai Hasan dalam keadaan tidur. Habib alwi kemudian mengucapkan salam untuk
ketiga kalinya dengan suara lebih keras. Namun Kiai Hasan masih belum terbangun.
Habib Alwi merasa kebingungan. Akhirnya Habib Alwi mengucapkan salam dalam hatinya.
”Assalamu’alaikum ya ahla la ila ha illaahi”.
Dengan begitu Kiai Hasan terbangun dan menjawab salam tersebut. ”Wa’alaikum salam Warohamtullah
wabarakatuh”. Kiai Hasan kemudian menyalami dan merangkul Habib Alwi. Selanjutnya kedua ulama itu
bercengkerama hingga akhirnya Habib Alwi pamit pulang.

14. Cerdas dan Alim7


Suatu saat, Kiai Hasan dan Kiai Rofi’i pulang dari Mekkah. Dalam perjalanan itu, Kiai Rofi’i bertanya
pada Kiai Hasan. ”Adik Ahsan, mana kitab-kitabmu? Mengapa tak kau bawa satupun?”
”Saya shodaqohkan semua kitab-kitab saya kepada teman-teman di Mekkah”, Kiai Hasan menjawab
pertanyaan kakandanya dengan ta’dhim.
”Lho, lantas bagaimana kamu nantinya akan mengamalkan ilmu di Jawa nanti?” tanya Kiai Rofi’i yang
heran dengan kehendak Kiai Hasan.
”Biarlah setibanya di Jawa nanti urusan belakangan”, Kiai Hasan kembali menjawab dengan ta’dhim.
Demi mendengar jawaban itu, Kiai Rofi’i terlihat sangat menyesalkan tindakan adindanya itu.
Namun dalam hati kecilnya, Kiai Rofi’i yakin tindakan itu dilakukan Kiai Hasan karena ilmu
pengetahuan yang didapat selama ini telah melebur dan menyatu dalam jiwa dan hati sanubari Kiai Hasan.
Pengamalan ilmu pengetahuan Kiai Hasan telah mencapai tingkat fii ash-Shuduur: berada dalam dadanya.

15. Aroma Semerbak Sholawat8 (Cerita dari KH. Syamsul Arifin pondok pesantren Darul Falah
Rembang.
Suatu ketika dua tamu dari Bondowoso datang sowan kepada Kiai Hasan. Salah satu tamu tersebut
membawa sesuatu yang berharga yang akan dihaturkan kepada Kiai Hasan. Sedangkan satu orang lagi tidak
membawa apa-apa karena orang miskin. Dia hanya membawa uang secukupnya untuk transport.
Karena demikian, sejak berangkat dari rumahnya orang itu selalu sholawat. Dia berniat menghadiahkan
pahala sholawat itu pada Kiai Hasan. Setibanya di Genggong dan menghadap Kiai Hasan, dua tamu itu disuguhi
hidangan.
Sebelum percakapan dimulai, tiba-tiba Kiai Hasan mengucapkan sesuatu. “Sungguh semerbak aroma
wangi sholawat ini”. Anehnya, di dalem Kiai Hasan juga tercium aroma yang berbeda. Yakni aroma sholawat itu.
Secara tidak langsung Kiai Hasan sudah menyampaikan bahwa pahal shalawat tersebut sudah sampai pada Kiai
Hasan.
Maka senanglah tamu yang tidak membawa apa-apa itu.

16. Hadir di Empat Acara Sekaligus9


Sekali waktu, ada seorang tamu berasal dari Paiton datang kepada KH. Mohammad Hasan. Tamu
tersebut bermaksud mengundang KH. Mohammad Hasan pada hajatan di rumahnya. Setelah menyampaikan
undangan, tamu itupun pulang.
Tak lama setelahnya, seseorang berasal dari Pakuniran datang pada KH. Mohammad Hasan dengan
maksud yang sama. Setelah undangannya tersampaikan, tamu itu pulang.

6
KH. Ahmad Mudhar, qolaidu al-minani fi manaqibi sayyidi asy-syekh Mohammad Hasan al-genggongi. (Dokumen Pribadi 1975)
7
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975).
8
KH. Ahmad Mudhar, qolaidu al-minani fi manaqibi sayyidi asy-syekh Mohammad Hasan al-genggongi. (Dokumen Pribadi 1975)
9
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975).

14
Kemudian datang lagi seorang tamu berasal dari desa Alassumur datang pada KH. Mohammad Hasan
dengan maksud yang sama pula. Sungguh merupakan suatu kebetulan.
Beberapa saat sebelum tiga tamu itu, sebenarnya ada seorang yang juga mengundang KH. Mohammad
Hasan. Tamu itu berasal dari Sukokerto Pajarakan. Dia pun juga menyampaikan maksud yang sama.
”Ya, insya Allah saya akan datang,” KH. Mohammad Hasan menjawab dengan bahasa Madura yang
cukup halus. Jawaban itu tanda bahwa KH. Mohammad Hasan menyanggupi undangan-undangan itu. Isi
undangan 4 orang tamu itu sama: ”Mengharap kehadiran Kiai Hasan di acara walimatul ursy di kediaman kami 2
hari lagi pada jam 9 pagi”.
Singkat cerita, dengan mengajak kusir delman (dokar) beliau yang bernama Abdul Mu’in, berangkatlah
KH. Mohammad Hasan menuju Sukokerto Pajarakan pada hari dan jam undangan yang dimaksud. Abdul Mu’in
pun menyimpulkan bahwa KH. Mohammad Hasan tidak akan hadir di Paiton, Pakuniran, dan Alassumur–
undangan yang lain–. Diam-diam Abdul Mu’in merasa kasihan pada tiga tamu yang juga mengundang KH.
Mohammad Hasan.
Setibanya di rumah shohibul hajat, acara langsung dimulai. Selama acara berlangsung, Abdul Mu’in
menunggu di delman. Setelah acara walimatul ursy selesai, KH. Mohammad Hasan lantas beranjak pulang dan
tiba di kediaman pukul 10 pagi lalu istirahat.
Sudah menjadi tradisi masyarakat, seorang kiai yang menghadiri suatu acara akan dibawakan berkatan10
oleh tuan rumah. Pun begitu terkadang ditambah lagi beberapa paket berkatan yang disusulkan ke kediaman sang
kiai. Demikian juga pada kejadian ini. Beberapa saat setelah KH. Mohammad Hasan telah berada di kediaman,
datanglah tiga pengundang yang juga mengundang KH. Mohammad Hasan sebelumnya itu dengan membawa
berkatan. Mereka datang bersamaan.
Abdul Mu’in lalu bertanya pada mereka satu per satu tentang acara di rumah masing-masing,
”Bagaimana acara di rumah sampean? Rupanya kiai hanya bisa menghadiri acara di Sukokerto dan tidak bisa
menghadiri acara sampean semua.” Abdul Mu’in menyampaikan rasa simpatinya.
”Lho, bukannya kiai hadir bersama sampean”, salah satu dari mereka bertiga menjawab. Rupanya dia
hendak memberitahukan bahwa KH. Mohammad Hasan hadir di acaranya.
Dua tamu lainnya tak percaya, dengan bergantian mereka memberitahukan bahwa acara mereka juga
dihadiri oleh KH. Mohammad Hasan. Dengan sedikit bergurau, tamu-tamu –dan juga Abdul Mu’in– saling
menyanggah dan menyalahkan satu sama lain karena KH. Mohammad Hasan dengan delman dan kusirnya tak
mungkin bersamaan tiba di beberapa tempat yang berlainan dan berjauhan. Perdebatan tersebut berlangsung
agak lama karena sungguh kejadian itu tidak mungkin terjadi.
”Jadi, apa benar bahwa kiai benar-benar hadir di acara sampeyan semua? Mohon jangan mengada-ada.
Saya sendiri yang mengantarkan beliau ke Sukokerto”, Abdul Mu’in mulai menganggap para tamu itu
mempermainkan dirinya dengan menyatakan kehadiran KH. Mohammad Hasan di acara masing-masing.
Benar-benar menjadi ketakjuban di masing-masing mereka. Jika peristiwa itu benar terjadi, maka
sungguh besar nikmat Allah SWT yang didapat oleh KH. Mohammad Hasan.
Perdebatan masih berlangsung. Namun lama kelamaan perdebatan menjadi semakin menjemukan karena
di antara kesaksian-kesaksian para tamu tersebut, semuanya merujuk pada satu fakta yang tak mungkin bisa
dibohongi; KH. Mohammad Hasan memang hadir di tempat-tempat tersebut pada waktu dan jam yang
bersamaan. Sebuah kejadian yang luar biasa!!! 11

17. Suara Bersin Kiai Hasan


Bagi masyarakat pesisir, melaut adalah sumber penghasilan sehari-hari. Dengan berbekal keahlian yang
dimiliki secara turun-temurun, mereka menyambung hidup dari profesi ini; menangkap ikan kemudian dijual di
darat. Jumlah uang yang mereka dapatkan tergantung seberapa banyak hasil tangkapan ikan yang didapat. Kalau
bukan musimnya, bisa-bisa hasil tangkapan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
Dulu pada saat Kiai Hasan masih hidup, ada cerita masyhur yang berkembang di kalangan masyarakat
nelayan sekitar kraksaan. Apabila para nelayan yang sedang mencari ikan di tengah laut mendengar Kiai Hasan
bersin, maka suara bersin itu adalah pertanda bahwa si nelayan akan mendapat hasil tangkapan ikan yang
banyak, dan pada kenyataannya memang-benar-benar terjadi. Kiai Hasan bersin itu sedang berada di kediaman
atau di tempat lain dan para nelayan mendengar suara bersin itu 12.

18. Kiai Hasan menolong orang di tempat yang jauh


Ada riwayat yang berkembang di kalangan masyarakat nelayan sekitar kraksaan tentang Kiai Hasan.
Ketika itu hari jum’at. Setelah menunaikan sholat jum`at, sekitar jam 1 siang Kiai Hasan berjalan menuju
kediaman.
Saat itu Kiai Hasan tiba-tiba berteriak, “Inna Lillah!! Inna Lillah!!” sambil menghentak-hentakkan
tangan beliau seakan-akan menarik sesuatu. Tiba-tiba lengan baju beliau basah dan meneteskan air. Semua yang
10
Berkatan adalah istilah dalam bahasa madura yang diadopsi dari bahasa arab yaitu Barokah. Artinya tambahan kebaikan. Di kalangan masyarakat
madura, berkatan adalah tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Biasanya berkatan ini berupa makanan yang berisi nasi dan lauk-pauknya, serta
beberapa kue. Berkatan ini diberikan pada saat pengajian-pengajian, tahlilan, dan acara sejenis. Berkatan yang diberikan pada saat para undangan
beranjak pulang untuk dibawa ke rumah masing-masing ini masih berlaku hingga saat ini, utamanya di kalangan masyarakat pedesaan.
11
Arief Umar A.N. dkk, Pesantren Zainul Hasan Genggong Kraksaan Sejarah Perjalanan & Perkembangannya; 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah,
(Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 82. Riwayat ini diceritakan oleh Kiai Abdul Mu’in kepada Ustadz Saifuddin Zuhri, Kapasan Pajarakan.
12
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975).

15
melihat kejadian itu terheran-heran ada apa gerangan. Karena air menetes begitu banyak dari lengan baju
tersebut.
Di lain riwayat, perilaku Kiai Hasan itu dilakukan beliau ketika sedang memberikan pengajian pada
santri di masjid.
Tiga hari kemudian, seperti biasa Kiai Hasan menemui tamu-tamu yang datang sowan kepada beliau.
Kepentingan tamu-tamu itupun beragam. Seperti saat senin pagi itu, beberapa orang tamu sedang bersilaturrahim
di kediaman Kiai. Salah satunya adalah KH. Mudhar. Di tengah-tengah pembicaraan, datanglah dua orang tamu
yang terlihat kelelahan, seperti baru saja datang menempuh perjalanan jauh. Setelah mengucapkan salam,
sebelum berjabatan tangan pada tuan rumah dan tamu lainnya, dua orang itu menatap Kiai Hasan dan salah
seorang di antaranya berkata pada temannya, ”Ini dia orang yang menolong kita tiga hari yang lalu”. Bersamaan
dengan itu Kiai Hasan mengucapkan Hamdalah sebanyak tiga kali dengan tersenyum. Wajah beliau berseri-seri.
Terang saja para tamu penasaran dengan yang dimaksud dua orang tadi. Mereka mengatakan Kiai Hasan
menolong mereka, kira-kira bantuan apa yang diberikan Kiai Hasan kepada mereka. Selanjutnya, KH. Mudhar
bertanya kepada kedua orang tamu tersebut tentang perihal yang terjadi, maka berceritalah kedua orang tamu
itu :
”Tiga hari yang lalu, hari jum`at, kami bersama kawan-kawan yang lain sedang naik perahu
menuju Banjarmasin. Di tengah perjalanan tiba-tiba perahu kami oleng akibat badai. Selanjutnya
perahu itu karam dan tak dapat tertolong lagi. Namun kami berdua dan kawan-kawan
terselamatkan berkat kehadiran dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang tidak kami
kenal. Saat itu sekitar jam satu siang setelah jum`at.
Kejadian selanjutnya tidak bisa kami ingat lagi. Ketika sadar, kami sudah terdampar di tepi
pantai Kraksaan (ada yang mengatakan di desa Kalibuntu, ada yang mengatakan desa gejugan).
Kami merasa gembira dan bersyukur, karena masih selamat dari malapetaka itu. Kami ingat
bahwa yang menolong kami dari malapetaka itu adalah seorang tua yang nampaknya sangat alim,
maka terdoronglah hati kami untuk sowan kepada seorang sepuh yang kami perkirakan adalah
seorang kiai, yang dekat dengan tempat di mana kami terdampar.
Kami bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai, apakah di sekitar tempat itu ada
seorang kiai yang sepuh. Lalu kami disuruh menuju tempat ini. Setelah sampai di sini, ternyata
orang sepuh yang telah menolong kami dan kawan-kawan itu adalah orang ini.” Bersamaan
dengan itu, tangan si tamu menunjuk ke arah Kiai Hasan Sepuh. 13

Di samping cerita tersebut, Kiai Abdul Aziz Gunung Rabunan pernah bercerita. Suatu ketika saat Kiai
Aziz sedang memijat kaki Kiai Hasan, sarung Kiai Hasan yang sebelumnya kering tiba-tiba menjadi basah di
bagian ujung sarung.
Kiai Aziz bingung dengan basahnya sarung Kiai. Sesaat kemudian, Kiai berucap pada Kiai Aziz. ”Saya
Baru saja tenggelam di laut selom14,” ujar Kiai Hasan.
Tentu saja saat itu Kiai Aziz bingung dengan ucapan tersebut. Padahal cerita itu menunjukkan Kiai
Hasan sedang berada dalam kegiatan lain di tempat yang lain pula.

19. Pertemuan Kiai Hasan Dengan Nabi Khidir


Selama hidupnya, Kiai Hasan pernah beberapa kali bertemu dengan Nabi Khidir. Seperti malam itu di
Genggong, Jarum jam menunjukkan pukul 12 tengah malam. Beberapa orang santri terlihat duduk di depan
kediaman Kiai Hasan, rupanya sedang tuguran15. Mereka mengisi waktu tuguran dengan berbincang-bincang. Di
antara mereka ada santri bernama Alimuddin, Faishol Abu Hasan, Muali, Munir beserta yang lain.
Pukul 12 lewat menit demi menit. Tak lama setelahnya, tanpa mereka duga, tiba-tiba datang seorang
tamu berbaju hitam, di tangannya ada sebuah bungkusan berisi beberapa ikan laut. Dia datang dalam keadaan
basah kuyup, terlihat seperti nelayan yang baru saja datang menangkap ikan. Orang itu ingin bertemu dengan
Kiai Hasan Sepuh pada malam itu juga.
Santri tuguran itu menyampaikan bahwa Kiai Hasan sudah istirahat dan tidak mungkin diganggu. Tamu
itu mendesak para santri untuk bertemu dengan Kiai Hasan dengan alasan bahwa ikan yang dibawanya adalah
pesanan Kiai Hasan dan pada malam itu juga harus diserahkan kepada KH. Mohammad Hasan. Terjadilah dialog
yang agak lama. Akhirnya dengan terpaksa ditambah dengan alasan yang menimbulkan tanda tanya itu,
diantarlah tamu itu menuju kediaman Kiai Hasan. Setelah berjumpa, ikan bawaan tamu itu disuruh langsung
digoreng oleh Kiai Hasan. Beliau ingin makan bersama dengan tamunya malam itu. Setelah jamuan selesai, si
tamu berpamitan hendak pulang. Kiai Hasan menyuruh santri tuguran untuk mengantar tamu sampai pintu
gerbang. para santri mengantarkan seorang tamu itu, dan sesampainya di pintu gerbang, tiba-tiba tamu aneh itu
menghilang tanpa dapat diketahui arahnya oleh para santri. Mereka pun heran dan bertanya-tanya tentang siapa
tamu itu. Ada perasaan aneh yang mengganjal pikiran dan hati mereka.
Tuguran akhirnya selesai, santri-santri itu kembali ke pondok untuk menunaikan sholat subuh. Saat
berjamaah, Kiai Hasan bertindak sebagai imam sholat. Jamaah pun selesai, setelah membaca wiridan, Kiai
13
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh KH. Ahmad Mudhar,
Situbondo.
14
Penulis tidak mengetahui maksud dari istilah laut selom tersebut.
15
Tuguran ialah istilah pesantren yang berarti ronda malam. Biasanya santri secara bergiliran setiap malam ronda malam dari kediaman ke kediaman
para shohibul bait pesantren untuk menjaga keamanan.

16
Hasan menyampaikan sesuatu kepada santri, ”Tadi malam saya kedatangan tamu, Nabiyullah Khidir”. Demi
mendengar penuturan Kiai Hasan, santri yang tuguran malam itu pun tercenung tak henti-henti.16
Di lain waktu, Habib Mukhsin Bin Ali As-Seggaf Pasuruan berkunjung pada Kiai Hasan. Pertemuan
kedua tokoh itu berlangsung akrab penuh tutur sapa yang santun. Di tengah perbincangan di antara keduanya,
tiba-tiba datanglah seorang tamu lelaki berpakaian serba hitam. Setelah mengucapkan salam dan dipersilahkan
duduk oleh Kiai Hasan, tamu tersebut lantas memberi uang sebanyak 7 Ringgit uang Belanda kepada Habib
Mukhsin. Uang itu diterima oleh Habib Mukhsin,kemudian diberikan lagi kepada pemberi tadi untuk
disadaqahkan. Orang itu menerima uang itu kembali seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia beranjak
dari kediaman.
Habib Mukhsin merasa heran, lalu beliau bertanya pada Kiai Hasan, ”Siapakah tamu itu, Kiai?”
Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban dari Kiai Hasan.
”Siapakah tamu itu, Kiai?”, desak Habib Mukhsin
Kiai Hasan masih tidak menjawab. Air wajah beliau datar.
”Siapakah tamu itu, Kiai?”, pertanyaan ketiga dai Habib Muhsin.
Kali ini barulah Kiai Hasan berkenan menjawab pertanyaan itu, ”Itulah dia Nabiyullah Khidir”, jawab
Kiai Hasan pelan. Demi mendengar jawaban itu, Habib Mukhsin merangkul Kiai Hasan dengan penuh
keharuan.17

20. Menjelaskan Takwil (makna) Mimpi18


Pada suatu malam di kediamannya di Talangsari Jember, KH. Abdul Halim Siddiq bermimpi indah.
Beliau mempunyai firasat bahwa apa yang dimimpikannya adalah suatu pertanda yang baik. Saat terbangun dari
tidurnya, beliau ingin mengetahui takwil mimpi tersebut. Beliau penasaran ingin mengetahuinya. Lalu muncullah
keinginan beliau menanyakan perihal mimpi tersebut kepada seorang kiai yang beliau anggap dan yakini mampu
memberikan takwil tersebut. Mimpinya itu tidak diceritakan kepada siapapun sebelum Kiai Abdul Halim
kemudian menjadwalkan keberangkatannya ke Genggong.
Beberapa hari setelah mimpi itu, sesuai dengan yang telah dijadwalkan, berangkatlah Kiai Abdul Halim
ke Genggong berniat memohon petunjuk dan sowan kepada Kiai Hasan sekaligus menanyakan takwil mimpi
tersebut. Dalam hati beliau yakin bahwa Kiai Hasan bisa memberikan takwil mimpinya itu dengan benar.
Setibanya di Genggong, Kiai Abdul Halim langsung menuju dalem (kediaman) Kiai Hasan. Oleh para khadam,
beliau dipersilahkan duduk di ruang tamu menunggu Kiai Hasan keluar dari dalam kediaman. Selain Kiai Abdul
Halim, terlihat juga beberapa orang tamu yang juga hendak sowan pada Kiai Hasan. Tak lama kemudian, Kiai
Hasan akhirnya keluar dari kediaman untuk menemui tamu-tamu tersebut. Setelah bertatap muka Kiai Hasan
tiba-tiba berujar, ”Wah! Bagaimana orang ini, saya dianggap orang yang paling mahir menakwili mimpi”.
Seperti biasa, beliau berbicara secara halus dalam dialog madura yang khas. Kiai Hasan berkata seperti
itu dengan maksud memberikan sindiran kepada Kiai Abdul Halim. Kalimat itu terucap seolah Kiai Hasan sudah
mengetahui lebih dulu maksud KH. Abdul Halim sebelum yang bersangkutan menyampaikan maksudnya itu.
Mendengar ucapan Kiai Hasan itu, Kiai Abdul Halim tertegun sejenak. Beliau sadar bahwa Kiai Hasan telah
mengetahui maksud kedatangannya. Maka Kiai Abdul Halim tak menyia-nyiakan kesempatan untuk langsung
menyampaikan maksud.
”Alhamdulillah Kiai, saya datang sekarang ini tidak lain memang hendak menanyakan soal mimpi
saya”, sebuah penuturan dari Kiai Abdul Halim.
Mendengar penuturan tamunya itu, Kiai Hasan serta merta menjelaskan takwil mimpi tersebut kepada
Kiai Abdul Halim. Kiai Abdul Halim akhirnya mendapatkan takwil mimpinya itu. Sayangnya Kiai Abdul Halim
tidak menceritakan mimpi itu kepada siapapun. Pertemuan pun usai, dan Kiai Abdul Halim dalam perjalanan
pulang merasa puas atas takwil mimpi yang dijelaskan Kiai Hasan itu.

21. Terhindar Dari Kecelakaan19


Di Pajarakan terdapat sebuah Pabrik Gula (PG) peninggalan Belanda yang masih berfungsi dan terus
berproduksi sampai sekarang. PG. Pajarakan ini didirikan pada tahun 1885 m, lima tahun sebelum KH. Zainul
Abidin wafat. Pabrik ini menyerap ribuan tenaga kerja yang berasal dari daerah sekitar Pajarakan.
Setiap tahun, ada masa Giling yang biasanya berlangsung selama beberapa bulan. Di saat inilah pihak
pabrik membutuhkan tenaga kerja tambahan untuk menebang tebu dan mengangkut tebu di lahan-lahan yang
tersebar di beberapa daerah sekitar pabrik. Proses penebangan ini dilakukan oleh tenaga-tenaga kasar. Setelah
ditebang, tebu tersebut diangkut dengan trem dari lahan tebu menuju Pabrik.
Suatu hari di masa giling itu, Kiai Hasan hendak bepergian. Beliau mengajak seorang khadam untuk
naik delman (dokar). Berangkatlah delman itu. Ketika delman yang dinaiki Kiai Hasan itu hendak melewati
pajarakan, tiba-tiba kuda delman berontak tak mau dikendalikan. Si kuda mengamuk dan berlari kencang. Sang
kusir pun bingung dan berulang kali berusaha menenangkan kuda. Namun kuda tetap saja mengamuk.

16
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Faishol Abu Hasan,
Angguran Probolinggo.
17
Idem. Dikisahkan oleh Habib Muhsin bin Ali as-Segaf dan diceritakan kembali oleh cucu beliau, Sayyid Muhammad Pasuruan.
18
Idem. Dikisahkan oleh KH. Abdul Hamid Shiddiq, Talangsari Jember.
19
Idem. Dikisahkan oleh HM Masykoer, Selogudig Pajarakan Probolinggo.

17
Pada saat yang bersamaan, sebuah trem dengan kecepatan tinggi akan melintas dari arah barat dan
sementara akan menutup lalu lintas jalan di pertigaan Pajarakan. Sementara kuda terus saja mengamuk tak
terkendali.
Keadaan menjadi tegang. Orang-orang yang melihat kejadian itu tertegun dan kemudian secara spontan
mereka berteriak seakan menyuruh si kuda tenang dan bisa mengendalikan diri.
Mereka panik, lebih-lebih mengetahui bahwa penumpang delman adalah Kiai Hasan. Dan yang paling
panik tentu saja adalah kusir delman. Meski telah mengetahui, masinis trem, supirnya trem itu, tentu saja tak bisa
menghentikan trem secara mendadak karena trem memang tidak bisa direm secara mendadak.
Pengereman trem harus dilakukan beberapa meter sebelum tujuan pemberhentian dalam ukuran-ukuran
tertentu. Keadaan semakin panik, kini semua orang pasrah dengan apa yang akan terjadi, khususnya yang akan
terjadi pada Kiai Hasan. Karena dalam pandangan mereka, akan terjadi benturan antara delman dengan trem
tersebut. Dalam jarak dan detik tertentu, benturan akan terjadi.
Demi tidak mengharap kejadian yang akan berakibat buruk pada Kiai Hasan, tiba-tiba dalam jarak yang
sangat dekat antara trem dan delman, trem yang berjalan cepat itu tiba-tiba berhenti tanpa sang masinis sempat
mengeremnya; berhenti persis di dekat delman yang dinaiki Kiai Hasan.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu benar-benar dibuat tercengang. Baru saja diperlihatkan pada
mereka salah satu kekuasaan Allah SWT. Dalam hati, mereka semakin yakin bahwa penumpang delman itu,
yaitu Kiai Hasan, adalah orang yang benar-benar dikasihi Allah SWT.
Mereka bersyukur kejadian buruk yang mereka duga itu ternyata tidak terjadi pada Kiai Hasan. Kejadian
itu akan tetap diingat masyarakat, khususnya yang melihat langsung kejadian.

22. Faidah Doa Akasyah20


Adalah kebiasaan dan ke-istiqomah-an bagi Habib Alwi untuk membaca doa Akasyah, seperti yang
dilakukan beliau hari itu di kediaman beliau di Besuki. Tapi hari itu terasa ganjil, karena saat membaca doa itu
itu datanglah seorang mandor dan menghampiri Habib Alwi. Di dekat Habib Alwi, dia memperingatkan Habib
Alwi supaya tidak membaca doa tersebut sebagai suatu kebiasaan.
”Orang yang mengamalkan doa Akasyah akan diperpendek umurnya”, kira-kira begitulah yang
diucapkan mandor tersebut pada Habib Alwi.
Habib Alwi tidak mengindahkan peringatan si mandor, tapi beliau hanya menjawab peringatan itu
dengan mengajak si mandor untuk menghadap Kiai Hasan. Akhirnya terjadilah kesepakatan antara dua orang itu
untuk berangkat ke Genggong dan menanyakan perihal persoalan doa Akasyah.
Hari yang telah disepakati pun tiba. Berangkatlah dua orang itu ke Genggong. Sesampainya di
Genggong, ternyata Kiai Hasan sedang berada di masjid. Ketika melihat Habib Alwi, Kiai Hasan kemudian
beranjak dari masjid dan menghampiri keduanya lantas saling berangkulan dengan Habib Alwi. Setelah hamba
Allah itu berangkulan kemudian Kiai Hasan berkata, ”Habib, ini ada surat kecil”. Sambil berkata begitu Kiai
Hasan merogoh ikat pinggang agak lama untuk mengambil sebuah kertas. Setelah dipegangnya kertas itu Kiai
Hasan membacanya agar kedua tamu itu mengetahui isi kertas itu.
”Barang siapa yang tidak membaca doa Akasyah akan dipendekkan umurnya”, suara Kiai Hasan
terdengar membaca kertas itu.
Tentu saja Habib Alwi dan si mandor kaget karena mereka berdua belum menyampaikan sesuatupun
pada Kiai Hasandan ternyata permasalahan yang hendak ditanyakan itu telah terjawab. Keduanya pun saling
berpandangan dan sepakat dalam raut wajah mereka bahwa yang dikatakan Kiai Hasan adalah jawaban dari
pertanyaan mereka. Telah nyata bahwa peringatan si Mandor kepada Habib Alwi adalah keliru. Itulah
kekaguman pertama yang dirasakan Habib Alwi hari itu.
Persoalan doa Akasyah pun usai. Kiai Hasan tidak mengajak tamunya untuk bercengkerama di
kediaman, namun mengajak mereka pergi ke belombang. Tujuannya untuk mencari ikan tongkol. Maka tamu-
tamu itu kembali heran. Habib Alwi mengatakan pada Kiai Hasan bahwa ikan tongkol tempatnya hanya ada di
laut, jadi percuma mencari di belombang karena tidak ada ikan tongkol di situ. Tapi Kiai Hasan tetap mengajak
tamu-tamu itu ke belombang. Sampailah mereka bertiga di belombang, dan ternyata ikan tongkol itu memang
terdapat di situ. Heranlah Habib Alwi dan mandor itu. Muncullah kekaguman kedua kalinya bagi Habib Alwi
hari itu. Di Genggong, ikan tongkol itu dimasak untuk kemudian dihidangkan sebagai jamuan untuk para tamu.
Selesai perjamuan Habib Alwi dan si mandor berpamitan pulang.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah Habib Alwi berada di kediamannya, tersiarlah kabar bahwa
mandor yang bersama Habib Alwi ke Genggong itu telah meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’uun...

23. Jagalah Sehatmu Sebelum Sakitmu21


Suatu hari Habib Ahmad berangkat sowan kepada Kiai Hasan. Beliau berangkat dari rumahnya di
Alastengah Kraksaan. Sesaat setelah bertemu dan beramah tamah, seorang santri khadam Kiai Hasan
menyuguhkan minuman pada para tamu. Minuman yang dihidangkan itu berupa minuman dingin. Kiai Hasan
lalu mempersilahkan Habib Ahmad untuk meminumnya. Kiai Hasan juga meminum minuman itu. Habib Ahmad

20
Idem. Dikisahkan oleh Habib Alwi, sahabat Kiai Hasan. Diceritakan kembali oleh Habib As-Seggaf, Besuki Situbondo.
21
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Habib Ahmad Ba`ali, Alas
Tengah Kraksaan Probolinggo.

18
heran karena Kiai Hasan memperlihatkan perilaku yang tidak wajar saat minum. Kiai Hasan meniup-niup
minuman itu seperti akan meminum minuman yang sangat panas.
Tiba saatnya sowan disudahi. Habib Ahmad mohon pamit pulang. Sesampainya di rumah beliau secara
mendadak menderita sakit panas yang cukup parah. Dalam hatinya, Habib Ahmad kemudian mengerti perilaku
Kiai Hasan saat meminum minuman dingin itu seakan memberi isyarat pada Habib Ahmad. Dari perilaku
tersebut, Kiai Hasan secara tersirat berpesan agar Habib Ahmad menjaga kesehatan agar tidak mudah terserang
sakit.

24. Pertanda Baik untuk Non Abdul Jalil 22


Suatu ketika di waktu senggang, Non Abdul Jalil (KH. Abdul Jalil) pernah bercerita kepada seorang
santri bernama Saifuddin Zuhri. Beliau bercerita mengenai kamar beliau, ”Kalau kamar saya didatangi oleh Kiai
Hasan, maka itu adalah pertanda bahwa kamar saya akan didatangi oleh Nabi Muhammad SAW”.

25. Surat Sebagai Obat23


Kiai Hasan mempunyai seorang sahabat Habib yang tinggal di Tanggul Jember. Nama sahabat beliau itu
adalah Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid. Suatu ketika Kiai Hasan menulis surat kepada sahabatnya itu yang
berisi tentang sesuatu hal. Dikirimlah surat itu ke kediaman Habib Sholeh.
Ketika surat tiba, Habib Sholeh sedang berada di kediaman. Surat itu beliau baca. Ketika membaca surat
itu, ada seseorang yang datang kepada Habib Sholeh dengan suatu keperluan. Orang itu menderita sakit yang
berkepanjangan. Telah dicobanya berobat dengan berbagai cara dan usaha, namun penyakitnya itu tak kunjung
sembuh. Dikeluhkannya penyakit itu pada Habib.
Dia berharap Habib Sholeh berkenan memberikan padanya air yang telah didoakan untuk digunakan
sebagai obat penyembuh penyakitnya itu. Meminta air pada seorang ulama merupakan satu kebiasaan
masyarakat. Maksudnya adalah mengharap barokah dari ulama tersebut.
Orang yang sowan kepada seorang ulama dalam keadaan tertentu biasanya membawa air yang
dituangkan dalam sebuah botol. Adalah kebiasaan orang untuk memohon doa pada ulama yang didatangi
tersebut untuk memohon doa ketika akan berpamitan pulang.
Fungsi air tadi digunakan dalam banyak hal semisal sebagai perantara penyembuhan penyakit,
memberikan ketenangan bagi orang yang sedang terganggu jiwanya, dan lain sebagainya. Air ini dipercaya bisa
mengurangi beban psikis dan gangguan masalah kejiwaan lainnya.
Mendengar penjelasan orang itu, Habib Sholeh yang baru saja selesai membaca surat dari Kiai Hasan itu
kemudian mengambil surat itu. Oleh Habib Sholeh, surat itu dimasukkan ke dalam satu tempat yang berisi air.
Air itu kemudian diberikan kepada tamunya untuk diminum waktu itu juga. Dan setelah orang itu meminum air
itu, dengan Ijin Allah SWT, orang itu sembuh seketika.

26. Kurma Yang Sulit Berbuah24


Untuk masyarakat, Kiai Hasan selalu memberikan waktu melayani. Jika tidak menghadiri suatu
kepentingan di luar Genggong, maka beliau melayani para tamu yang berniat sowan pada beliau di kediaman.
Setiap hari ada saja tamu yang datang kepada Kiai Hasan.
Di suatu hari, datanglah seseorang bernama Kholis untuk sowan pada Kiai Hasan. Kholis berkeluh kesah
menyampaikan pada Kiai Hasan bahwa ia menanam sebuah pohon kurma di rumahnya. Tingginya sudah 2 ½
meter tapi masih belum juga berbuah. Padahal pohon kurma yang tingginya seperti itu mestinya sudah berbuah.
Kholis berharap Kiai Hasan memanjatkan doa kepada Allah, memohon agar kurma itu dapat berbuah secara
normal.
Kiai Hasan menyimak keluhan itu dengan seksama. Setelah Kholis selesai berkeluh kesah, Kiai Hasan
lantas memanjatkan doa sembari mengangkat kedua tangan dan kholis mengamini.
Doa pun selesai dan Kiai Hasan berkata pada Kholis, ”Insya Allah dapat barokah dari Rasulullah SAW”.
Kholis lantas berpamitan hendak pulang. Dalam hati kecilnya Kholis berkata, ”Asal saja berbuah, akan
kubingkiskan selalu Buat Kiai Hasan”. Kholis ber-nadzar25.
Beberapa waktu kemudian, kurma itu mulai mengeluarkan bunga, pertanda kurma itu akan mengalami
proses pembuahan. Beberapa hari kemudian bunga pohon kurma itu berubah menjadi buah.
Bersyukurlah Kholis serta keluarganya melihat kurma itu telah berbuah. Sesuai dengan nadzar-nya,
Kholis secara rutin selalu membingkiskan kurmanya untuk Kiai Hasan apabila kurma telah berbuah.
Selang beberapa tahun kemudian, kurma itu mulai tak berbuah. Kholis mulai heran karena kejadian itu
tak biasa terjadi. Tanpa sengaja, Kholis mendengar kabar bahwa Kiai Hasan jatuh sakit. Demi mendengar kabar
itu, Kholis mulai maklum mengenai sebab tak berbuahnya kurma itu.

22
Arief Umar A.N. dkk, 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah, (Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 82. Dikisahkan oleh Ustadz Saifuddin Zuhri, Kapasan
Pajarakan Probolinggo.
23
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Habib Sholeh Al-Hamid,
Tanggul Jember
24
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Alimuddin, salah seorang
khadam KH. Mohammad Hasan
25
Nadzar: janji yang diucapkan oleh seseorang bersamaan dengan niat-niat tertentu. Apabila niatnya itu terkabul, maka dia akan
melaksanakan/memenuhi nadzar yang telah diucapkannya itu.

19
Beberapa waktu kemudian, ketika mendengar Kiai Hasan wafat, berangkatlah Kholis ke Genggong
bersama keluarganya untuk berziarah menunjukkan rasa ta’dhim-nya pada Kiai Hasan. Sepulangnya dari
Genggong, dilihatnya pohon kurma miliknya itu telah mati pula, mengiringi wafatnya Kiai Hasan.

27. Nama Mahyar dan Ahsan26


Di desa Opo-opo Pendil Kecamatan Krejengan Probolinggo, hiduplah sebuah keluarga bahagia. Putra
pertama di keluarga itu adalah seorang remaja bernama Nahrawi. Suatu hari, Nahrawi diajak ayahnya yang
bernama H. Abdul Aziz untuk sowan pada Kiai Hasan. Ayahnya mengajak semua putranya yang berjumlah 3 itu;
Nahrawi, Maksum, dan Mahyar.
Selain berniat silaturrahim, H. Aziz hendak mengganti nama Mahyar, putra ketiganya itu. Nama Mahyar
hendak diganti dengan nama sesuai petunjuk Kiai Hasan saat sowan nanti. Mahyar ini seringkali sakit dan tidak
tahan dengan cuaca yang tidak bersahabat. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, nama yang kurang cocok
dengan orangnya, sering menimbulkan gejala-gejala yang kurang baik, misalnya sering sakit dan lain-lain. Kini
sampailah anak-beranak itu di Genggong.
”Sampean ke sini bersama siapa saja?”, Kiai Hasan memulai pembicaraan dengan H. Aziz.
”Dengan ketiga anak saya, yang ini namanya Nahrawi, yang ini namanya Maksum, dan yang ini
namanya Mahyar”, jelas H. Aziz panjang lebar. Saat berkata begitu, dia menunjuk tangannya pada putra-
putranya itu satu per satu sesuai dengan nama mereka masing-masing.
Sampai di sini perbincangan masih berlangsung normal.
”Apa dengan Ahsan?”, Kiai Hasan melanjutkan pertanyaan.
Kali ini H. Aziz tertegun karena tidak ada putranya yang bernama Ahsan. H. Aziz menyampaikan hal
dan kembali menyebut nama putranya sambil menunjukkannya satu per satu.
”Yang ini namanya Ahsan”, Kiai Hasan memperjelas maksud beliau itu. Tangan beliau menunjuk
Mahyar. Sikap beliau ini kemudian dianggap H. Aziz sebagai isyarat bahwa nama yang cocok untuk Mahyar
adalah Ahsan.
Maka sejak itulah nama Mahyar berubah menjadi Ahsan. Kiai Hasan telah memberikan jawaban bagi H.
Aziz yang belum mengutarakan maksudnya datang sowan itu.

28. Ikhlaslah Beramal27


Suatu hari datanglah seorang tamu untuk sowan kepada Kiai Hasan. Tamu itu berasal dari desa kregenan
kraksaan. Ia memiliki sebuah pohon nangka. Namun sayang, bila nangka itu telah berbuah, buah nangka sering
dicuri orang sehingga pemiliknya jarang menikmati hasilnya.
Kali ini, ketika tiba musim nangka akan berbuah, si pemilik bermaksud akan memberikan buah nangka
miliknya itu kepada Kiai Hasan. Maksudnya untuk mendapatkan barokah Kiai hasan afar buah nangkanya itu
tidak dicuri lagi. Maka dijagalah nangkanya itu. Dan atas kehendak Allah SWT, nagka itu telah layak untuk
diambil buahnya. Keinginan pemilik untuk memberikan buah nangka kepada Kiai Hasan akan segera terwujud,
buah nangka sudah tersedia. Dipilihnyalah nangka yang ukurannya lebih kecil daripada nangka yang lain.
Istrinya mengetahui bahwa suaminya memilih buah nangka yang kecil untuk diserahkan kepada Kiai Hasan. Dia
bertanya kepada suaminya itu, ”Mengapa dipilih nangka yang kecil-kecil? Bukan kah kita lebih baik
menyerahkan kepada beliau buah nangka yang lebih besar saja?”
”Istriku, nangka ini saya ambil ini adalah jenis nangka yang disukai oleh Kiai Hasan”, begitulah alasan
si suami. Si istri memaklumi, namun di dalam hati kecilnya, ia merasa tidak nyaman dengan tindakan suaminya
itu. Hemat istrinya, lebih baik nangka yang diserahkan adalah nangka-nangka yang lebih besar daripada yang
akan dibawa. Singkat cerita, berangkatlah si suami ke Genggong.
Setibanya di Genggong, begitu telah bertatap muka dengan Kiai Hasan, orang tersebut mengutarakan
maksudnya sambil menyerahkan beberapa buah nangka yang dibawanya dari rumah. Kiai Hasan serta merta
memanggil para khadam untuk mengambil nangka pemberian itu. Sementara para khadam mengambil barang
pemberian itu, Kiai Hasan berujar pada tamunya, ”Lebih besar lebih bagus,”ucap Kiai Hasan.
Mendengar ucapan Kiai Hasan itu si suami merasa tergeragap. Rasanya Kiai Hasan menangkap
percakapannya dengan istrinya sebelum menghadap Kiai Hasan. Demi rasa ta’dhim-nya, si suami pulang untuk
mengambil buah nangka yang lebih besar untuk memenuhi permintaan Kiai Hasan. Si suami merasa malu. Di
masa selanjutnya, ia kemudian melatih dirinya agar mendapat nikmat ikhlas atas segala yang dilakukannya.

29. Kullu Hadza Min Kiai Hasan28


Sekitar tahun 1951, Kiai Hasan berkunjung ke rumah salah seorang Habib bernama Habib Husain bin
Hadi Al-Hamid di desa Brani Maron sambil membawa oleh-oleh setengah kaleng kurma. Habib tersebut
memang sering dikunjungi Kiai Hasan. Pada saat itu keadaan ekonomi Habib Husain sedang mengalami
kekurangan.
26
Arief Umar A.N. dkk, Pesantren Zainul Hasan Genggong Kraksaan Sejarah Perjalanan & Perkembangannya; 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah,
(Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 80. Dikisahkan oleh KH. Nuruddin, Opo-opo Krejengan Probolinggo. Dalam kisah ini KH. Nuruddin di masa kecilnya
bernama Nahrawi, remaja yang menjadi sudut pandang penceritaan.
27
Arief Umar A.N. dkk, Pesantren Zainul Hasan Genggong Kraksaan Sejarah Perjalanan & Perkembangannya; 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah,
(Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 82. Dikisahkan oleh KH. Nuruddin, Opo-opo Krejengan Probolinggo.
28
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Dikisahkan oleh Habib Husain al-Hamid,
Brani Maron Probolinggo.

20
Musholla yang ada tidak layak ditempati dan perlu diperbaiki. Jembatan menuju kediamannya hanya
terbuat dari dua lonjor bambu yang tidak bisa dilalui mobil. Kehadiran Kiai Hasan, itu dimanfaatkan oleh Habib
Husain untuk meminta doa Kiai Hasan. Habib Husain berkata, ”Kiai, tolong doakan musholla saya ini, Kiai ”.
”Baik, Habib!”, jawab Kiai Hasan yang lantas berdoa, lalu berkata lagi, ”Mudah-mudahan bukan hanya
musholla, tapi juga harus ada gedung dan mobil harus bisa masuk di sini”. Tiga hari kemudian, terlihat ada
beberapa orang membawa batu batu, kemudian pasir, dan beberapa bahan bangunan yang lain.
Sehingga tidak lama kemudian terkumpullah bahan-bahan yang cukup untuk membangun Musholla,
rumah, serta jembatan yang kuat untuk dilalui mobil. Habib Husain yakin bahwa itu semua berkat Kekuasaan
Allah SWT yang menganugerahkan karomah pada diri Kiai Hasan.
Di saat-saat selanjutnya, setelah semua proses pembangunan selesai, Habib Husain sering mengatakan
pada tamu yang datang sowan kepadanya, ”Ini semua adalah dari Kiai Hasan” (Kullu Hadza Min Kiai Hasan).

30. Karya Tulis KH. Mohammad Hasan


Kiai Hasan dalam hal ini adalah sosok penuh karomah. Salah satu karomah yang menonjol adalah dalam
hal ini adalah karya tulis dalam bentuk kitab milik Kiai Hasan.
Selain itu Kiai Hasan juga menjadi rujukan beberapa ulama terkemuka. Di antaranya adalah Syekh
Muhammad Yasin Bin Muhammad Isa Al-Fadani. Ulama yang dikenal dengan sebutan Syekh Yasin Padang,
seorang Muhaddits terkemuka. Beliau juga dipandang sebagai salah seorang Faqih, Mudir Madrasah Darul-
Ulum, pengarang banyak kitab dan salah satu Ulama Masjidil Haram.
Syekh Yasin Padang pernah meminta Hadits pada Kiai Hasan. Hadits tersebut oleh Syekh Yasin
dimasukkan sebagai salah satu di antara 40 hadits dalam kitab yang ditulis Syekh Yasin. Kitab tersebut adalah
arba’una al-Buldaniyah, berisi 40 hadits dari 40 ulama terkemuka seluruh dunia. Dan Kiai Hasan termasuk di
dalamnya.
Karya-karya Kiai Hasan yang terinventarisir adalah sebanyak 6 buah yaitu Aqidatu at-Tauhid, Nadzam
Safinatu an-Najah, Al Hadits an-Nabawi: `alaa Tartibi al-Ahrufi al-Hijaiyah, Khutbatu an-Nikah, Khutbah
Jum`at, Asy-Syi`ru bi al-Lughoti al-Manduriyah. Tidak ada penjelasan pada tahun berapa kitab-kitab tersebut
dibuat, disebar luaskan, dan dicetak untuk pertama kali.
Berikut mengenai deskripsi kitab-kitab karangan Kiai Hasan yang beredar di masyarakat tersebut:

a. Aqidatu at-Tauhid,
Menurut salah satu riwayat, kitab ini dikarang oleh beliau pada saat-saat terakhir ada di
Pesantren asuhan KH. Mohammad Kholil Bangkalan. Kitab ini dicetak dan saat ini merupakan
kurikulum wajib yang diajarkan di Madrasah Diniyah Awwaliyah Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Beberapa pesantren selain pesantren Genggong tercatat juga menggunakan kitab ini sebagai kurikulum
wajib.
b. Nadzam Safinatu an-Najah,
Kitab ini masih dicetak dan saat ini merupakan kurikulum wajib yang diajarkan di Madrasah
Diniyah Awwaliyah Pesantren Zainul Hasan Genggong. Beberapa pesantren selain pesantren Genggong
tercatat juga menggunakan kitab ini sebagai kurikulum wajib.
Seperti disinggung pada bagian sebeumnya, kitab ini mendapat pujian dari Sayyid Muhammad
Amin al-Quthbi yang terang-terangan mengatakan Kiai Hasan sebagai waliyullah kepada KH. Hasan
Saifouridzall.
c. Al-Hadits an-Nabawi: `alaa Tartib al-Ahruf al-Hijaiyah,
Kitab ini merupakan kurikulum wajib yang diajarkan di Madrasah Diniyah Awwaliyah
Pesantren Zainul Hasan Genggong. Beberapa pesantren selain pesantren Genggong tercatat juga
menggunakan kitab ini sebagai kurikulum wajib.
d. Khutbah an-Nikah,
e. Khutbah Jum`at,
f. Asy-Syi`ru bi al-Lughoh al-Manduriyah
Kitab ini berisi syair-syair bahasa madura yang dikemas menurut aturan syair madura. Kitab ini
mengandung pelajaran tentang tauhid, filsafat hidup, etika pergaulan, hak dan kewajiban manusia dan
berbagai macam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sayangnya tidak banyak orang
memiliki kitab ini.

31. Isyarat-isyarat Dari Kiai Hasan29


Pada suatu hari di tahun 1940. Suatu pagi Habib Muhammad bin Salim Buftaim sedang duduk di teras
rumahnya di desa Brani kecamatan Maron. Sesaat kemudian beliau didatangi oleh Habib Husein bin Hadi Al-
Hamid Brani. Habib Hamid lantas mengajak Habib Muhammad untuk keluar rumah.
Berangkatlah keduanya. Awalnya Habib Muhammad mengira akan diajak ke pasar ketompen. Namun
ternyata Habib Husein mengajak sowan ke kediaman Kiai Hasan Genggong.
Setibanya di kediaman Kiai Hasan, ternyata ada banyak tamu yang datang sowan. Selanjutnya Habib
Husein dan Habib Muhammad masuk ke kediaman Kiai Hasan. Terjadilah dialog. Kiai Hasan mengatakan pada
salah seorang hadam. Namanya Ahmadi.
29
Diceritakan oleh KH. Mohammad Hasan Saiful Islam.

21
”Kelak pesantren Genggong akan dipimpin oleh Ahsan (Kiai Hasan Saifouridzall). Ahsan nanti akan
membangun banyak gedung untuk pesantren. Di samping itu Ahsan juga akan membuat pagar tembok untuk
pesantren. Nantinya Ahsan akan memiliki banyak anak dan cucu. Keturunan Ahsan tidak akan putus-putus.
Sementara salah satu cucu saya nanti akan memimpin majelis ta’lim untuk masyarakat. Cucu saya itu akan
punya banyak istri dan anak,” ucap Kiai Hasan panjang lebar.
”Namun anak saya yang tinggal di dalam pagar pesantren yang dibuat Ahsan, tidak akan memiliki
keturunan,” tambah Kiai Hasan.
Semuanya diam mendengar penuturan Kiai Hasan. Termasuk Habib Husein dan Habib Muhammad.
Selanjutnya Kiai Hasan berucap lagi. ”Suatu saat anaknya Habib Salim (maksudnya Habib Muhammad
bin Salim) tidak akan bisa melihat. Tapi saya berdoa, semoga dia termasuk sebagai ahli surga”.
Mendengar perkataan Kiai Hasan itu, Habib Muhammad berucap, ”Amin”.
Kiai Hasan juga berkata, ”Di masa depan akan ada sepasang raja-ratu yang memimpin masyarakat.
Sejak masa itulah kegaduhan akan terus menerus berlangsung”. Hal ini terbukti ketika masa kepresidenan KH.
Abdurrahman Wahid dengan wakil presiden Megawati Sukarnoputri. Di masa itu seringkali terjadi kegaduhan.
Kiai Hasan menambahkan, ”Di masa depan, rejeki akan datang dengan sendirinya ke rumah-rumah”.
Hal ini saat ini terbukti dengan sarang burung walet yang datang dengan sendirinya ke rumah-rumah.
25 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1965, Habib Muhammad mengalami sakit pada penglihatannya.
Akibat sakit itu, Habib Muhammad mengalami kebutaan.

32. Dapat Istri, Berkat Kiai Hasan30


Tersebutlah seorang Kiai bernama KH. Ahmad Khusairi. Kiai Khusairi termasuk Kiai yang memiliki
banyak istri. Konon, istrinya berjumlah puluhan. Tentunya beliau beristri baru setelah ada istri yang dicerai.
Sehingga tidak melampaui batas 4 istri.
Suatu ketika Kiai Khusairi sowan pada Kiai Hasan. Terjadilah perbincangan antara kedua kiai tersebut.
Di tengah pembicaraan, Kiai Hasan menawari Kiai Khusairi untuk menikah lagi. Kiai Hasan menyampaikan
pada Kiai Khusairi akan menyiapkan gadis perawan apabila Kiai Khusairi berkenan.
”Tidak Kiai,” Kiai Khusairi menolak dengan halus. Mungkin karena rasa sungkan pada Kiai Hasan.
Setelah selesai bersilaturrahim, Kiai Khusairi pamit pulang pada Kiai Hasan.
Beberapa tahun kemudian, Kiai Hasan wafat. Beberapa waktu kemudian Kiai Khusairi menyempatkan
diri ta’ziyah ke makam Kiai Hasan. Ketika tiba makam, Kiai Khusairi teringat pada tawaran Kiai Hasan. Yakni
tentang tawaran Kiai Hasan untuk menyiapkan gadis perawan sebagai istri Kiai Khusairi.
Maka terucaplah dari bibir Kiai Khusairi. Kalimat itu diucapkan di depan makam Kiai Hasan. ”Dulu
Kiai Hasan pernah menawari saya untuk menikah dengan gadis perawan. Dulu saya menolak. Tapi sekarang saya
menerima tawaran tersebut. Saya ingin minta gadis perawan yang Kiai Hasan janjikan”.
Begitu selesai berdoa di makam, Kiai Khusairi langsung pulang ke kediamannya.
Untuk menuju Pajarakan, Kiai Khusairi menggunakan jasa delman. Naiklah Kiai Khusairi di delman
yang ditemuinya. Kebetulan di atas delman ada seorang gadis muda. Ia didampingi ayah dan ibunya. Terjadilah
perkenalan. Ketika pembicaraan semakin akrab, Kiai Khusairi dengan tegas menyatakan ingin menjadikan gadis
tersebut sebagai istri.
Mendadak memang. Namun si gadis maupun kedua orang tuanya langsung menyetujui. Bahkan
menariknya, tidak ada persiapan khusus untuk melangsungkan akad. Akad nikah dilangsungkan di atas delman.
Barokah Kiai Hasan memang nyata. Padahal Kiai Khusairi masih belum tiba di kediamannya. Namun
permintaan Kiai Khusairi telah terpenuhi. Yakni menikah dengan gadis perawan.

BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP

Perjuangan KH. Mohammad Hasan Menuju Kemerdekaan


Detik-detik kemerdekaan bangsa Indonesia, jauh sebelumnya sudah dirasakan oleh Kiai Hasan. Pada
tahun 1943, salah satu pejabat di Kawedanan Kraksaan bernama R. Marwoso pernah bercengkerama dengan
Kiai Hasan. Dalam pertemuan itu R. Marwoso bertanya, ”Kiai, apakah jepang ini masih lama tinggal di bumi
Indonesia ini?”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Kiai Hasan hanya tersenyum, seraya memberikan uang sebanyak dua
setengah rupiah kepada R. Marwoso. R. Marwoso heran dan bertanya-tanya, apa maksud Kiai Hasan dengan
uang dua setengah rupiah itu.
Dua setengah tahun sesudah perjumpaan itu Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat dan pada saat
itu pula Jepang angkat kaki dari bumi Indonesia. Uang dua setengah rupiah itu seakan jadi pertanda
menyerahnya Jepang.31

KH. Mohammad Hasan Memberi Motivasi Pada Gerilyawan

30
Diceritakan oleh KH. Mohammad Hasan Ainul Yakin. Beliau mendapat cerita dari Habib Ja’far bin Idrus bin Syekh Abu Bakar Pajarakan.
31
Arief Umar A.N., Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan. (Probolinggo, YPPZH, 1975). Riwayat ini diceritakan oleh Bapak
R.Marwoso pada saat memberikan sambutan pada peringatan Haul KH. Mohammad Hasan yang ke-5 di tahun 1960. Kala itu ia menjabat sebagai
residen Malang. Kejadian ini terjadi pada saat R. Marwoso masih berada di Kraksaan menjabat sebagai Asisten Wedono.

22
Ada suatu peristiwa yang cukup unik pada masa kependudukan Jepang di Indonesia Saat itu musim
paceklik tengah melanda masyarakat, khususnya di daerah-daerah sekitar Pondok Genggong. Ditambah lagi
keganasan serdadu-serdadu Jepang yang merampasi harta kekayaan yang dimiliki masyarakat. Keadaan yang
demikian ini, menyebabkan penderitaan pangan terhadap penduduk di sekitar Genggong.
Saat itulah Kiai Hasan telah menemukan sebuah pohon jenis buah-buahan yang dinamakan Anggur
Bumi. Buah Anggur Bumi inilah yang akhirnya menjadi pelepas haus serta makana masyarakat. anehnya,
walaupun Anggur itu berulang kali diambil, tetap tak kunjung habis, tetapi malah bertambah banyak.
Pesantren Genggong pada masa perjuangan kemerdekaan ikut berperan aktif mengusir penjajah dari
bumi Indonesia. Di bawah instruksi dan petunjuk Kiai Hasan Sepuh, para santri dan masyarakat sekitar
Pesantren Genggong senantiasa memantapkan hati nurani mereka untuk berjuang bagi bangsa dan Negara
tercinta. Patriotisme yang tumbuh dalam sanubari mereka tidak terlepas dari ketokohan Kiai Hasan.
Sejalan dengan peran itu, Pesantren Genggong di bawah pimpinan Kiai Hasan bersikap non-cooperation
(tidak mau bekerja sama) dengan pihak penjajah memberikan keuntungan bagi masyarakat meski ada ancaman
yang sangat besar dari pihak penjajah. Oleh karenanya, segala unsur yang berbau penjajah ditolak dan dilarang
oleh Kiai Hasan. Kiai Hasan menyatakan akan memberikan dukungan. Tidak hanya dukungan moral tetapi juga
materi dan tenaga, untuk berjuang meraih kemerdekaan dan sekaligus mempertahankannya.
Tidak hanya santri dan masyarakat saja yang mendapat instruksi dari Kiai Hasan, namun, putra beliau
juga tidak luput dari instruksi beliau. Betapapun kondisi fisik Kiai Hasan saat-saat berkecamuknya angkara
penjajah nampak lemah karena usia, namun beliau menyempatkan diri untuk menghadiri rapat-rapat akbar di
pelosok-pelosok tanpa mengenal payah. Beliau sebagai rakyat dari bangsa dan negaranya, tak pernah absen
dalam perjuangan mangusir penjajah dari Indonesia.
Di dalam tabligh-tabligh atau pidato yang disampaikan beliau di rapat-rapat umum, Kiai Hasan
senantiasa membacakan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits yang sesuai dengan situasi pada masa itu untuk
menumbuhkan semangat patriotisme melawan penjajah dan nasionalisme menuju kemerdekaan.
Suatu ketika Non Ahsan (KH. Hasan Saifouridzall) pernah menggranat toko seorang pendukung
Belanda. Usai penggranatan, Non Ahsan melaporkan kejadian itu kepada Kiai Hasan, “Saya sudah menggranat
toko pendukung Belanda”.
Dengan nada perlahan sang ayahanda menjawab. ”Kok digranat nak? Nanti Belanda marah. Kasihanilah
masyarakat,” ujar Kiai Hasan dengan bahasa Madura yang halus.
Sejak kejadian itu, Kiai Hasan mengijinkan Non Ahsan menjadi tentara dan bergabung dengan pasukan
Hizbullah. Restu Kiai Hasan mendorong Non Ahsan untuk berjuang di garis terdepan di wilayah Tulangan
Sidoarjo.32
Sikap Kiai Hasan ini menunjukkan beliau sangat menentang penjajahan. Kiai Hasan mengutus Non
Ahsan untuk maju di garis depan perjuangan melawan penjajah. Perjuangan Kiai Hasan sendiri tidak hanya di
situ.
Kiai Hasan memang tidak mungkin berperang memanggul senjata. Namun Kiai Hasan beberapa kali
mendatangi posko-posko gerilyawan. Beliau datang untuk memberikan semangat pada para gerilyawan. Meski
menguras tenaga, hal itu tidak mengendurkan semangat Kiai Hasan untuk terjun langsung memberikan motivasi.
Kiai Hasan mempercayakan Non Akhsan menjaga keamanan pesantren dan lingkungan sekitar
Genggong. Pada masa tersebut Genggong merupakan tempat yang aman untuk dijadikan markas para pejuang.
Khususnya pasukan Laskar Hisbullah Fisabilillah Probolinggo. Bahkan seorang gerilyawan bernama Brigjen
wiyono pernah mengungsi beberapa waktu di Genggong. Brigjen wiyono pernah menjabat gubernur Jawa Timur.
Di samping itu, Kiai Hasan juga mengijinkan gerilyawan untuk menyimpan senjata di dalam pesantren.
Suatu ketika hal itu tercium oleh Cakra (spionis/mata-mata Belanda). Hal itu dilaporkan kepada pihak Belanda.
Tidak lama kemudian Belanda datang ke pesantren dan mengadakan penggeledahan. Semua santri
dikumpulkan di masjid. Kiai Hasan juga ada di masjid. Para santri ketakutan. Namun Kiai Hasan tetap tenang.
Bahkan dalam situasi tersebut, Kiai Hasan membaca wiridan. Suara tasbih milik Kiai Hasan yang
berputar terdengar jelas karena suasana yang mencekam. Non Ahsan sempat akan melawan. Namun Kiai Hasan
melarang tindakan Non Ahsan itu.
Tentara Belanda tidak menemukan sepucuk senjata pun. Karena penasaran dan marah, tentara Belanda
menangkap Non Ahsan dan akan membawa beliau ke markas Belanda dengan naik truk. Namun, saat mesin truk
itu hendak dijalankan, tiba-tiba mesin truk itu mati. Akibatnya, Non Ahsan gagal dibawa ke markas Belanda.
Setelah Non Ahsan turun dari truk, mesin truk malah tidak bisa dihidupkan. Akhirnya Non Ahsan tidak
jadi dibawa ke markas Belanda. Mereka kembali ke markas dengan tangan hampa.
Bahkan, dalam perjalanannya, tepatnya di Pajarakan truk itu terguling tanpa sebab yang jelas. Setelah
kejadian aneh tersebut sebenarnya para pasukan dan serdadu Belanda sudah merasa ketakutan. Tetapi, karena
sikap angkuhnya lebih dominan, maka pasukan tersebut berpura-pura sok berani di depan para santri.
Di lain waktu, Kiai Hasan memanggil Non Ahsan. Kiai Hasan memerintahkan Non Ahsan untuk
mengeluarkan senjata-senjata yang disimpan dalam komplek pesantren. Kiai Hasan khawatir ada penggeledahan
yang dilakukan pasukan Belanda. Jika senjata-senjata ditemukan di lokasi pesantren, maka senjata-senjata itu
akan dirampas. Perintah itu segera dilaksanakan Kiai Hasan. Waktu itu Non Ahsan adalah komandan barisan
dengan nama Sunan Jabung.

32
Cerita dari H. Haidari

23
Sekitar seminggu kemudian, ternyata tidak ada gejala mengkhawatirkan. Non Ahsan kemudian
menugaskan pasukannya untuk memasukkan kembali senjata-senjata itu ke dalam pondok.
Kiai Hasan kembali memerintahkan hal yang sama pada Non Ahsan. Namun Non Ahsan hanya
mengiyakan saja. Senjata-senjata tidak dikeluarkan dari pesantren. Non Ahsan beralasan, tidak akan terjadi apa-
apa. Hingga Kiai Hasan mengingatkan untuk kali ketiga. Non Ahsan tetap mengiyakan, namun senjata-senjata
tidak dikeluarkan. Peringatan Kiai Hasan tersebut tidak dilaksanakan oleh Non Ahsan.
Tak ayal. Dua hari setelah peringatan Kiai Hasan yang ketiga, masuklah tentara Belanda ke dalam
komplek pesantren. Tujuannya melakukan penggeledahan senjata. Mereka menyebar dan memeriksa di setiap
sudut. Akhirnya senjata-senjata itu ditemukan dan disita pasukan Belanda.
Dengan demikian, kita tidak dapat menyangkal peran dan kontribusi Kiai Hasan dalam mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Terhadap Jepang, Kiai Hasan juga memberikan pernyataan. Kiai Hasan mengatakan
bahwa NIPPON (tentara Jepang) adalah manusia yang dzolim. Mereka mempekerjakan rakyat Indonesia secara
paksa.
Mengenai sikap Kiai Hasan pada Belanda, di Suatu hari di tahun 1945, Kiai Hasan kedatangan beberapa
orang tamu. Mereka Kiai Maksum, dan beberapa rekannya sowan pada Kiai Hasan. Kiai Maksum adalah
pengasuh pesantren Subulus Salam desa Kapasan Pajarakan.
Tujuan Kiai Maksum sowan adalah untuk menanyakan sikap Kiai Hasan pada Belanda. ”Bagaimana
hukum memerangi Belanda?” itu pertanyaan yang disiapkan Kiai Maksum pada Kiai Hasan.
Kiai Hasan keluar untuk menemui tamu-tamu itu. Tak biasanya Kiai Hasan menggunakan kopyah hitam.
Bahkan di pinggang beliau, terselip sebilah keris. Tamu-tamu Kiai Hasan menjadi tertegun dan heran pada sikap
Kiai Hasan.
Namun mereka kemudian sadar, sikap Kiai Hasan adalah jawaban dari pertanyaan yang akan mereka
ajukan. Padahal Kiai Maksum belum menanyakan apapun pada Kiai Hasan. Namun pertanyaan itu sudah
terjawab.

Isyarat Tentang Penerus Kekholifahan


Di suatu hari pada 1938, Kiai Hasan pernah menyampaikan pada salah seorang hadam bernama Ahmadi.
Kiai Hasan mengatakan, kholifah Genggong selanjutnya adalah Kiai Hasan Saifouridzall (Non Ahsan). Setelah
berucap demikian, Kiai Hasan bercerita panjang lebar pada Ahmadi.
Menurut Kiai Hasan, Nyai Hj. Siti Aminah, ibunda Kiai Hasan Saifouridzall, menghadap Kiai Hasan.
Saat itu antara keduanya sudah terjadi firoq (cerai). Ketika itu Non Ahsan masih berumur 10 tahun dan tinggal di
Genggong. Maksud kedatangan Nyai Aminah adalah hendak membawa Non Ahsan ke Bondowoso. Nyai
Aminah mengatakan akan mengasuh Non Ahsan.
Non Ahsan memang sejak kecil ikut tinggal bersama Nyai Aminah di rumah Nyai Aminah di kebonsari
Probolinggo. Hal itu juga dijadikan alasan Nyai Aminah membawa Non Ahsan ke Bondowoso.
Namun permintaan tersebut kurang disetujui oleh Kiai Hasan. Beliau merasa keberatan. “Sebaiknya
Ahsan di sini saja. Ahsan masih belum bisa ngaji,” ucap Kiai Hasan.
Mendapat jawaban seperti itu, Nyai Aminah tetap pada pendiriannya. Nyai Aminah akan membawa Non
Ahsan ke Bondowoso. Akhirnya Kiai Hasan dengan berat hati mengalah. Non Ahsan diijinkan untuk dibawa ke
Bondowoso.
”Namun Ahmadi, kholifah Genggong selanjutnya adalah Non Ahsan,” tegas Kiai Hasan pada Ahmadi.
Ahmadi selintas kurang yakin dengan ucapan Kiai Hasan. Putra dan cucu beliau selain Non Ahsan masih
banyak. Di antaranya KH. Ahmad Nahrawi, KH. Asnawi, Abdul Hayyi, KH. Nawawi, KH. Ahmad Taufik
Hidayatullah, KH. Sholeh Nahrowi.
Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1942. Nyai Aminah kembali menghadap Kiai Hasan.
Non Ahsan juga dibawa serta. Saat itu Nyai Aminah hendak memintakan ijin membawa Non Ahsan ke pulau
Bawean.
Seperti jawaban sebelumnya, Kiai Hasan merasa keberatan. Kiai Hasan mengatakan pada Nyai Aminah,
Non Ahsan ditempatkan di Genggong saja.
Namun keinginan Nyai Aminah lebih kuat. Terpaksa Kiai Hasan memberi ijin Nyai Aminah untuk
membawa Non Ahsan ke Bawean.
Sepulangnya Nyai Aminah dan Non Ahsan, Kiai Hasan berkata pada Ahmadi. Kiai Hasan mengatakan,
”Non Ahsan akan memimpin pesantren Genggong”.
14 tahun kemudian, yakni pada 1952, apa yang dibisikkan Kiai Hasan pada Ahmadi menjadi kenyataan.
Non Ahsan yang berganti nama menjadi Kiai Hasan Saifouridzall telah dipasrahi amanah oleh Kiai Hasan untuk
memimpin pesantren Genggong.

Kewafatan Almarhum Al-Arif Billah KH. Mohammad Hasan


Setiap tahun hijriyah di bulan ramadlan, Kiai Hasan memberikan pengajian kitab untuk para santri.
Kitab tersebut dibaca dalam jangka waktu tertentu untuk di-hatam-kan (diselesaikan). Selain Kiai Hasan,
pengajian kitab juga juga diberikan oleh beberapa ustadz yang membantu Kiai Hasan. biasanya kitab dihatamkan
di pertengahan bulan tersebut. Setelah Khatam, santri diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Seperti
halnya di tahun 1374 h/1955 m, di bulan ramadlan tahun itu, Kiai Hasan membacakan kitab Dzurrotun Nashihiin
untuk para santri.

24
Pada saat dimulainya pengajian dan khataman kitab di pesantren, pada bulan ramadhan kali ini, Kiai
Hasan berkenan memberikan pelajaran kitab Tafsir Al-Jalalain. Pada saat pengajian terakhir dan hendak khatam
beliau menyampaikan kepada para santri bahwa santri diharapkan kembali pada tanggal 10 syawal, demikian
wali santri juga diharapkan datang pada tanggal 10 syawal. Kiai Hasan menyampaikan bahwa pada tanggal 11
syawal akan ada pengajian besar. Apabila ada wali santri yang berhalangan hadir pada tanggal 10 harap segera
datang pada tanggal 11 syawal. Ucapan beliau itu seakan menyiratkan bahwa benar-benar akan ada pengajian
akbar yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 syawal. Biasanya santri kembali ke pondok dari liburan ramadhan
dan idul fitri adalah pada tanggal 15 syawal, namun kali ini Kiai Hasan mengharap santri bisa kembali pada
tanggal 10 syawal. Kebiasaan kembalinya santri ini terus berlangsung sampai saat ini.
Di pertengahan bulan, pengajian kitab pun selesai. Kiai Hasan telah membacakan kitab tersebut untuk
para santri. Kemudian pada 20 Ramadlan, Kiai Hasan jatuh sakit. usia beliau waktu itu 112 tahun masehi. Di
sela-sela waktu sakit itu, beliau sempat berkata, “Aku rela kapan saja Allah Memanggilku. Aku bersyukur
menjadi kekasih Allah dan ditakdirkan sebagai Ummat Muhammad yang setia”.
Dua hari menjelang hari raya `Idul Fitri, tepatnya hari Jum`at, beliau tampak memegang kopyah putih di
tangan. Beliau memanggil putra beliau, Non Ahsan (KH. Hasan Saifouridzall), untuk menghadap. Setibanya di
Genggong, Non Ahsan lantas menghadap kepada sang ayahanda. Begitu bertemu, Kiai Hasan memberikan
kopyah putih yang sedang dipegang beliau pada Non Ahsan. Beliau menyuruh Non Ahsan untuk memakai
kopyah itu.
Pertemuan tersebut begitu mengharukan, pertemuan antara dua orang hamba Allah, seorang ayah dan
putranya. Pertemuan yang melibatkan emosi, kasih sayang, rasa haru, itu ternyata menjadi pertemuan yang
sangat penting. Kiai Hasan menyerahkan “amanat” untuk melanjutkan perjuangan pesantren, santri dan
masyarakat pada KH. Hasan Saifouridzall, satu-satunya putra beliau yang masih hidup itu.
Tanggal 10 Syawal 1374 h sakit beliau bertambah parah. Dengan sorot mata yang lemah, denyut kalbu
dan bibir bergerak bersamaan, menyiratkan semangat perjuangan dan loyalitas yang begitu tinggi, penghambaan
yang luar biasa, bersamaan dengan kegigihannya berjuang menegakkan agama Islam, mengingat Tuhannya,
“Allah… !!!”
Pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h, bersamaan dengan tanggal 01 Juni
1955 m, Kiai Hasan berpulang ke Rahmatullah.
Kabar pun menyebar cepat mengikuti arah angin. Masyarakat berbondong-bondong menuju Genggong.
Ribuan kaum muslim tumpah ruah dari dari segenap penjuru arah di wilayah sekitar Genggong. Air mata pun
tumpah bersamaan dengan derap langkah mereka semua. Semua orang berebut ingin memberikan penghormatan
mereka yang terakhir pada Kiai Hasan. Mereka berebut untuk “sekedar’ menyentuh keranda jenazah Almarhum,
di saat pemakaman akan dilaksanakan.
Ketika keranda jenazah keluar dari masjid menuju kediaman, keranda itu bergerak di kepala-kepala
kaum muslimin, seakan meluncur dari tangan ke tangan setiap kaum muslim tanpa ada halangan. Saat-saat yang
paling mengharukan pun tiba.
Sebelum wafat, Kiai Hasan pernah berwasiat pada putranya, Kiai Hasan Saifouridzall. Kiai Hasan
mengatakan, jika beliau wafat, beliau ingin yang menjadi imam sholat jenazah adalah Habib Sholeh bin
Mohammad al-Muhdar bondowoso.
Untuk mengabarkan pada Habib Sholeh perihal kewafatan Kiai Hasan, diutuslah seorang santri untuk
pergi ke kediaman Habib Sholeh di Bondowoso. Sekaligus untuk menyampaikan bahwa wasiat Kiai Hasan agar
Habib Sholeh menjadi imam sholat jenazah.
Namun waktu itu Habib Sholeh sedang bepergian ke Surabaya. Santri tersebut kemudian menyampaikan
kabar kewafatan Kiai Hasan pada keluarga Habib Sholeh. Namun keluarga Habib Sholeh juga kebingungan
untuk memberi kabar kewafatan Kiai Hasan pada Habib Sholeh. Karena Habib Sholeh sedang tidak di kediaman.
Setelah menyampaikan kabar, si santri langsung kembali ke Genggong.
Sementara di Genggong, hari sudah siang. Banyak peziarah yang ingin jenazah Kiai Hasan segera
dimakamkan. Namun Kiai Hasan Saifouridzall berkeras menolak saran tersebut. Kiai Hasan Saifouridzall masih
menunggu Habib Sholeh untuk menjadi imam sholat jenazah sesuai dengan wasiat Kiai Hasan. Padahal belum
tentu Habib Sholeh saat itu tahu Kiai Hasan telah wafat. Sempat terjadi keributan kecil
Tak lama setelah itu, Habib Sholeh tiba-tiba datang masuk ke dalam pondok. Maka proses selanjutnya
dilangsungkan segera. Ketika Habib Sholeh Al-Muhdlar membacakan Talqin Mayit di dekat telinga jenazah KH.
Mohammad Hasan yang membujur miring ke arah kiblat sembari dirangkul pundaknya dan disaksikan oleh
ribuan kaum muslim yang mengambang air matanya. Air mata kesedihan dan rasa haru tak terbendung lagi oleh
semua yang hadir waktu itu. Habib Sholeh sendiri pun menangis tersedu.
Sepuluh tahun sebelumnya, tahun 1945, pada saat bangsa Indonesia berjuang untuk kemerdekaan, Kiai
Hasan memang sering menyampaikan pada banyak orang bahwa semoga Allah berkenan memberikan tambahan
umur 10 tahun kepada beliau. Ternyata permohonan beliau tersebut maqbul. Beliau wafat 10 tahun setelah
menyampaikan permohonan tersebut33.
Salah satu ulama paling berpengaruh itu telah meninggalkan istri dan putra-putrinya, santri, dan
masyarakat. Namun ruh dan nilai perjuangannya akan tetap hidup untuk tetap menebar barokah dari Allah SWT.
Mudah-mudahan kita mendapat barokah dari Almarhum Al-Arif Billah KH. Mohammad Hasan. Amin.

33
Arief Umar A.N. dkk, Pesantren Zainul Hasan Genggong Kraksaan Sejarah Perjalanan & Perkembangannya; 150 Tahun Menebar Ilmu di Jalan Allah,
(Probolinggo, YPPZH, 1989), hal. 81. Dikisahkan oleh KH. Nuruddin, Opo-opo Krejengan Probolinggo.

25
Makam Kiai Hasan; Majelis Menuai Barokah
Kekaromahan Kiai Hasan cukup melegenda di kalangan masyarakat. Tidak hanya bagi masyarakat
Probolinggo. Namun juga masyarakat di tanah jawa maupun luar Jawa. Sebab Kiai Hasan banyak meninggalkan
manfaat nyata bagi masyarakat, baik selama beliau masih hidup atau sepeninggal beliau.
Untuk membuktikan kekaromahan tersebut tidaklah rumit. Cukup dengan datang ke makam Kiai Hasan
di masjid Al-Barokah Genggong. Makam dalam bahasa pesantren juga sering disebut Maqbaroh. Atau dalam
bahasa madura disebut astah.
Maqbaroh Kiai Hasan terletak di bagian utara Masjid Al-Barokah Pesantren Genggong. Maqbaroh
tersebut tidak pernah sepi dari para peziarah maupun santri. Mereka datang untuk memanjatkan doa pada Allah
SWT. Melalui perantara Kiai Hasan. Terutama pada hari-hari tertentu. Misalnya hari Jum’at dan Minggu.
Pada malam Jum’at misalnya. Para peziarah akan datang berjubel. Sebab masyarakat memiliki
kepercayaan, bahwa malam Jum’at adalah hari yang paling baik di antara hari lainnya. Selain itu juga diperkuat
oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, masyarakat selalu menyempatkan diri untuk berziarah pada
malam tersebut.
Saking ramainya, bahkan ada sebagian peziarah yang tidak bisa masuk ke lokasi Maqbaroh. Jalan
keluarna mereka harus memanjatkan doa dari luar lokasi Maqbaroh.
Apalagi pada malam Jum’at Legi. Peziarah yang datang semakin berlipat. Bahkan jalan raya di
Genggong biasanya tidak bisa dilewati kendaraan besar. Karena dipenuhi peziarah. Biasanya tidak hanya dari
Probolinggo. Namun juga berasak dari luar Probolinggo. Mereka datang dengan beraneka kendaraan. Ada yang
menyewa truk, pick up, maupun kendaraan pribadi.
Demikian pula pada hari Minggu. Sejak masa Kiai Hasan masih hidup, sudah ada sebuah majelis
pengajian. Namanya Majelis Ta’lim al-Ahadi. Pengajian ini juga dilaksanakan di masjid Al-Barokah.
Selain hari Jum’at dan Minggu pun, Maqbaroh Kiai Hasan tak pernah kosong. Bahkan pada malam hari,
ada saja peziarah yang berdoa. Maqbaroh tersebut kosong hanya pada saat-saat tertentu. Misalnya pada saat
sholat jamaah. Namun hal itu hanya berlangsung selama kisaran menit. Selanjutnya Maqbaroh akan kembali
diisi oleh peziarah.
Pada perbincangan umum, sebaiknya jika kita memiliki sebuah niat, keinginan, atau hajat tertentu,
datanglah ke Maqbaroh Kiai Hasan. Panjatkan doa pada Allah SWT di Maqbaroh tersebut. Lakukan dengan
sungguh-sungguh. Insya Allah doa yang kita panjatkan dikabulkan Allah.
Jika tidak terkabul,biasanya hadir dalam petunjuk dan hidayah yang lain.
Mudah-mudahan senantiasa mendapat petunjuk dari Allah SWT, serta barokah Almarhum Al-Arif Billah
KH. Mohammad Hasan Genggong.

26

Anda mungkin juga menyukai