Anda di halaman 1dari 65

The Future Institute

Cerita
Haji
Anis Matta
Anis Matta

Cerita
Haji
Cerita Haji

© 2020 oleh Anis Matta

Tidak diperjualbelikan.

Penyunting: Dadi Krismatono


Tata letak: Mustain Ruddin
Desain sampul: Mustain Ruddin

Penerbit:
The Future Institute, Jakarta
Indonesia

Edisi pertama: Juli 2020


Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Buku sederhana yang Anda baca ini merupakan
dokumentasi kicauan di Twitter selama perjalanan
haji pada 2019. Pada kesempatan itu, atas izin Allah,
saya tidak hanya merasakan pengalaman beribadah
melainkan mendapat inspirasi untuk melihat
kembali perjalanan peradaban Islam dan merenungi
semua pemahaman dan pengetahuan saya mengenai
hal ini.
Ini tulisan yang sangat pribadi, namun saya berharap
Anda mendapat manfaat dari membaca catatan ini.
Saya merasa perlu mendokumentasikannya ke dalam
format yang mudah dibaca dan tidak tertimbun oleh
lintasan percakapan di lini masa media sosial.
Terima kasih kepada seluruh sahabat yang telah
mengumpulkan serakan catatan ini menjadi buku
yang lebih nyaman dibaca. Selamat membaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciganjur, 10 Juli 2020

Anis Matta
1

Rasanya ada yang berbeda setiap kali saya


menunaikan ibadah haji. Mungkin bermanfaat
untuk saling berbagi cerita.
Saya bersyukur bisa menunaikan haji pertama kali
pada 1996 atas fasilitas dari mantan Rektor LIPIA,
Syekh Ibrahim Al Husaen.
Suatu hari Beliau memanggil saya ke kantornya dan
menanyakan, sudah haji belum? Saya jawab, belum.
Mau haji enggak? Saya jawab, tentu mau.
Saya memberitahu peristiwa itu kepada kedua
sahabat saya, Ahmad Rilyadi dan Abu Bakar Al
Habsyi. Ternyata mereka berdua juga mau ikut. Saya
kembali menemui Syekh Ibrahim dan bersyukur
mereka berdua juga dapat kesempatan haji bersama.
Begitulah pada 1996 kami bertiga menunaikan
ibadah haji dengan kegembiraan yang tak terkata.
Begitu mendadak. Begitu cepat. Dan gratis!

1
Saya bersyukur karena bisa menyempurnakan rukun
agama pada usia muda. Tapi saya juga datang dengan
semangat lain yang tak kalah bergeloranya, yaitu
melakukan napak tilas sejarah.
Haji adalah fakta sejarah dari sebuah agama yang
tidak pernah selesai bertumbuh, berkembang dan
menyebar. Dan tak akan pernah berhenti bertumbuh
hingga kiamat kelak.
Haji adalah sejarah iman yang terangkai sejak ribuan
tahun lalu. Sejak Nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail,
hingga Nabi Muhammad SAW. Jadi, haji saya, dan haji
semua orang, adalah kesinambungan sejarah iman
itu.
Tapi mengapa saya datang, padahal saya tidak
pernah bertemu Nabi Muhammad SAW? Apalagi
berjumpa Nabi Ibrahim AS? Saya beriman kepada
Allah yang gaib, dan kepada Nabi Muhammad SAW
dan Nabi Ibrahim AS yang tidak pernah saya lihat.
Kerja apakah yang bisa membuat iman seperti ini
tumbuh tanpa disertai pandangan mata? Rahasia
apakah yang membuat agama ini terus berkembang
setelah mata rantai kenabian diputus?
Rasulullah SAW menyebut, mereka yang berjumpa
dengannya lalu beriman kepadanya adalah
“sahabat”. Tapi, kepada mereka yang tidak
menjumpainya namun beriman kepadanya, Beliau
menyebut “saudara.”

2
Sebutan sahabat dan saudara menjelaskan betapa
dalamnya pemahaman Rasulullah SAW tentang
kesulitan manusia untuk menerima agama yang
dibawanya tanpa harus bertemu dengan pembawa
risalah.
Faktor visual dalam proses keimanan manusia
sangat penting. Itu sebabnya beriman kepada yang
gaib itu berat. Seperti itulah beratnya beriman
kepada pembawa risalah yang tidak pernah kita
lihat. Karena itulah Rasul menyebut kita “saudara.”
Tapi, bagaimana bisa kita beriman lalu “mencintai”
sosok yang tak pernah kita lihat? Bagaimana
mungkin seseorang bisa mengisi seluruh imajinasi
kita lalu berubah menjadi keyakinan yang mengisi
seluruh rongga hati kita?
Saat haji pertama itu saya datang melengkapi rukun
agama dan mencari jawaban dari sejarah iman dan
cinta itu.

3
2

Begitu memasuki kota Mekkah, lalu rumah Allah,


lalu memandang Ka'bah, imajinasi saya langsung
tersedot ke dalam pusaran memori spiritual
manusia-manusia agung yang memulai semua
cerita ini.
Jadi di lembah inilah semuanya dimulai. Lahan
gersang yang bukan saja tak berpenghuni, bahkan
tumbuhan pun tidak tumbuh di sini. Tapi kesinilah
Ibrahim diperintah membawa istri dan bayinya.
Hajar dan Ismail.
Saya membayangkan perjalanan panjang ribuan
tahun lalu itu. Dari Palestina ke Jazirah Arab. Hanya
ada dua manusia dewasa dan satu bayi. Itu pasti
bukan kafilah. Betapa mengerikan!
Lebih mengerikan lagi membayangkan tempat yang
akan dituju: lembah kosong, tandus dan gersang. Tak
ada siapa-siapa, tak ada tumbuhan, tak ada
kehidupan.

4
Apa makna dari semua ini? Apa yang akan mereka
lakukan? Kehidupan apa yang ingin mereka bangun
sementara di tempat itu hanya ada mereka bertiga?
Apa yang membuat perintah itu logis?
Justru perintah yang datang sesudahnya lebih
mengagetkan: tinggalkan istri dan bayimu di lembah
itu, hai Ibrahim!
Saya tidak pernah bisa membayangkan apa yang ada
dalam benak Hajar saat ia mengejar Ibrahim mencari
jawab, kecuali setelah ia mengubah pertanyaannya,
“Apakah ini perintah Allah?”
Begitu Ibrahim memastikan itu adalah wahyu,
situasi jadi jelas bagi Hajar. Masalah memang tidak
selesai, namun ia yakin tak akan disia-siakan oleh
Allah.
Inilah momen itu. Saat akal berhenti di depan pintu
wahyu. Saat keraguan terurai iman kepada rencana
Allah. Saat keterbatasan manusia diregangkan oleh
semangat ketaatan.
Ka'bah bukanlah permulaannya. Langkah-langkah
Hajar berlari mencari airlah awalnya. Sa’i itu
maknanya usaha. Kerja sampai batas kemampuan
terakhir.

5
Dari hentakan kaki sang bayilah mata air kehidupan
bermula. Zamzam. Zamzam. Mata air Zamzam
menandai awal dari sebuah kehidupan baru yang
kelak mengubah wajah gurun tandus itu.
Itulah kisah iman tanpa syarat. Keyakinan tanpa
keraguan. Kepasrahan tanpa pertanyaan. Kerja tanpa
lelah. Pengorbanan tanpa akhir.
Inilah watak dari kerja akidah. Keyakinan selalu
melampaui kemampuan. Cita-cita selalu melebihi
sumber daya. Karenanya, ia selalu dimulai tanpa
menanyakan hasil akhirnya.
Di batas kemampuan terakhir manusia itulah
keyakinan mulai bekerja: adalah pekerjaan Allah
untuk menumbuhkannya tanpa henti. Itu bukan
pekerjaan manusia.
Kewajiban manusia adalah mencapai limit terakhir
kemampuannya, lalu berdiri pasrah di situ. Melepas
semuanya.

6
3

Hajar dan Ismail. Sa’i dan Zamzam. Usaha dan mata


air. Daya hidup dan sumber kehidupan. Itu semua
menandai makna dasar agama: menciptakan
kehidupan yang lebih baik bagi manusia di bumi.
Jadi itulah tujuan Allah membawa mereka ke lembah
tandus itu. Menciptakan kehidupan baru, komunitas
baru, peradaban baru. Memperluas batas hunian
manusia dari wilayah bumi yang belum terjangkau.
Ini semacam peregangan geografis.
Zamzam adalah simbol kehidupan baru, ia
menghidupi manusia dan mengubah wajah tandus
dan kerasnya gurun menjadi makmur dan indah.
“Dan dari airlah Kami ciptakan semua yang hidup.”
(QS Al-Anbiyaa:30)
Itu mengapa secara perlahan Zamzam menjadi titik
persinggahan kaum nomaden dan para musafir. Ia
menjadi sumber kehidupan dan magnet yang
menyedot manusia untuk datang dan menetap.

8
Zamzam merupakan awal sebuah persentuhan sosial
tercipta dan sebuah komunitas baru terbangun
dengan ciri yang sama sekali baru: multikultur!
Ibrahim dari Irak menikah dengan Hajar dari Mesir.
Putera mereka Ismail membaur dan menikah dengan
putri dari kabilah Arab bernama Jurhum yang
melintasi mereka. Pembauran yang sempurna.
Kelak klan yang turun dari Ismail itu dikenal sebagai
salah satu klan utama Arab yang disebut Al ‘Arab Al
Musta’rabah ( ) Artinya, menjadi Arab
karena “terarabkan” dari pembauran.
Dari hasil pembauran klan Ismail inilah kelak lahir
nabi terakhir yang menutup mata rantai kenabian:
Muhammad SAW.
Jenis klan itu membedakannya dengan klan asli Arab
yang dikenal dengan Al ‘Arab Al ‘Aribah ( )
yang berasal dari turunan Bani Qahthan. Ada klan
Arab lain yang sudah punah dan karenanya disebut
Al ‘Arab Al Baidah ( ).
Zamzam ditakdirkan menjadi tempat pembauran
komunitas baru dari berbagai etnis. Kelak inilah ciri
utama dan paling kuat dari pesan agama nabi
terakhir Muhammad SAW.
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

9
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS
Al-Hujurat:13)
Panorama kehidupan apakah yang paling kuat kita
rasakan saat berhaji? Keragaman. Semua warna kulit,
postur, bahasa, watak, budaya, makanan. Semua
tumpah ruah dalam kebersamaan. Tampak acak tapi
mengalir teratur.
Keragaman dan kebersamaan. Keacakan dan
keteraturan. Itulah integrasi yang menjadi watak
dasar agama, karena manusia dipersatukan oleh asal
dan tujuan yang sama.
Keragaman dan kebersamaan itulah yang kita
rayakan dalam balutan ihram putih saat wukuf di
Arafah. Keacakan dan keteraturan yang kita saksikan
dalam putaran Thawaf dan perjalanan Sa’i.

10
Wahai manusia! Sungguh,
Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti.

QS Al Hujurat : 13
4

Panorama Arafah adalah miniatur panorama padang


mahsyar. Keragaman manusia dipersatukan dalam
balutan ihram putih untuk menandai kesamaan asal
dan akhir perjalanan hidup mereka.
Itulah mengapa Surat Al-Hajj dimulai dengan
panggilan kepada seluruh manusia ( ), bukan
hanya orang beriman, agar bersiap menghadapi
kebenaran mutlak tentang peristiwa kiamat.
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya goncangan kiamat itu sesuatu yang
sangat dahsyat.” (QS Al-Hajj: 1)
Bangunan masyarakat multikultur di kawasan
Zamzam yang kelak menjadi pembeda Islam dengan
agama lainnya berdiri di atas fondasi kebenaran
dasar ini: kesamaan asal dan tujuan, kesamaan awal
dan akhir manusia.

12
Maka egalitarianisme menjadi prinsip dasar agama:
kemuliaan dan kehinaan asasnya adalah takwa,
bukan efek dari status sosial. Memuliakan dan
menghinakan manusia adalah “pekerjaan Allah.”
“Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tak
akan ada yang dapat memuliakannya.” (QS Al Hajj:
18)
Tapi sebenarnya manusia juga dipersatukan oleh
kebutuhan yang sama dalam hal penghidupan, yang
eksistensial di antaranya adalah pangan dan
keamanan. Sisi spiritual dalam diri manusia sulit
mendapatkan ruang selama dua masalah itu tidak
diselesaikan.
Cerita Allah tentang Quraisy mengisyaratkan
kelembutan dan kasih sayang-Nya bagi manusia.
Perintah untuk menyembah-Nya baru datang
setelah Allah memberi mereka makan dan rasa
aman.
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan
(Pemilik) rumah ini (Ka'bah) yang telah memberi
mereka makan dari kelaparan dan mengamankan
mereka dari ketakutan.” (QS Quraisy: 3-4)
Peran memberi minum atau pelayanan yang disebut
dengan istilah siqoyah ( ) kelak menjadi peran
tradisional turunan Ismail sampai Bani Hasyim yang
mengistimewakannya dari klan Quraisy yang lain.
Hingga kini kemelimpahan selalu menjadi fenomena
di Tanah Haram ini.

13
Jadi Zamzam menjadi magnet dari bangunan
masyarakat multikultur karena ia secara
fundamental menyelesaikan problem eksistensial
manusia yang melintasi kawasan itu.
Apakah makna masyarakat multikultur jika
perbedaan antara mereka bersifat aksesoris?
Sementara, kebutuhan dasar mereka dalam hal
penghidupan, kata Abu Bakar, pada dasarnya sama.
Inilah yang kemudian disebut Abraham Maslow
sebagai hierarki kebutuhan manusia.
Air adalah sumber kehidupan bagi semua penghuni
bumi. Agama adalah sumber kehidupan bagi hati
manusia. Agama akan mendapatkan ruang dalam
hati manusia jika pada waktu yang sama kita
membantu menyelesaikan problematika dasar
mereka.
Kelak ketika Ibrahim bersama Ismail diperintahkan
membangun Ka’bah kita segera ditarik ke dalam
pusaran panorama dan kesadaran baru: Zamzam dan
Ka’bah. Kesejahteraan dan agama. Kemelimpahan
dan kesalehan.
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah
pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang
Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan
(sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang
yang sengsara lagi fakir.” (QS Al-Hajj:28)

14
5

Di atas latar makna panorama Ka'bah dan Zamzam


itulah fondasi bangunan Islam tegak, menyatukan
dua hal yang terpisah saat itu dan juga saat ini:
agama dan kesejahteraan, ruh dan materi,
kemelimpahan dan kesalehan.
Sebenarnya begitulah fitrah manusia. Agama ini
memang agama untuk manusia. Diturunkan tidak
untuk mengubah manusia menjadi malaikat.
Diturunkan untuk manusia dengan semua bawaan
fitrahnya.
Ruh dari hampir semua doa yang dianjurkan dalam
perjalanan haji juga mengandung makna itu: “Ya
Allah berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan jauhkanlah kami siksa neraka.” (QS Al-
Baqarah:201)
Saat mulai menghilang dari pandangan Hajar dan
Ismail yang ditinggal di Mekkah, Ibrahim berdiri
sejenak sambil menatap ke arah mereka dari
kejauhan, lalu melantunkan doa yang mengharu
biru ini:

15
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan
kami (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan
salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki
dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka
bersyukur.” (QS Ibrahim: 37)
Mendirikan salat, menjadikan tempat mereka
sebagai center of gravity yang dikunjungi manusia
dari segala penjuru bumi, lalu kemelimpahan dalam
rezeki, adalah gabungan semua kebaikan individu
dan kolektif—dunia dan akhirat.
Dalam ayat sebelumnya Ibrahim mendoakan negeri
itu agar selalu aman dan tidak menyembah berhala.
Keamanan dan tauhid. Kombinasi yang luar biasa.
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku
jadikanlah negeri ini aman dan jauhkan aku dan
keturunanku dari menyembah berhala.” (QS
Ibrahim: 35)
Makna doa-doa itu menunjukkan betapa relevan
agama ini dengan tabiat dan fitrah manusia.
Karenanya, ia akan “hidup” dalam keseharian
mereka dan tak akan pernah terisolasi dari
kehidupan nyata.

16
Agama seperti ini akan menemani mereka di tempat
ibadah dan tempat kerja. Di pasar dan di
pemerintahan. Siang dan malam. Lapang dan
sempit. Bahagia dan derita. Suka dan duka. Saat
sendiri atau bersama.
Sedikit atau banyak, kebingungan manusia terhadap
agama saat ini sebagiannya karena wajah peradaban
yang terbelah. Satu belahan ada kemelimpahan
tanpa kesalehan, di belahan lainnya ada kesalehan
tanpa kemelimpahan, atau bahkan anti-
kemelimpahan.
Agama dengan makna dan karakter komprehensif
seperti ini harus mendominasi ruang kesadaran
manusia sepanjang sejarah, memberi arah bagi
kemanusiaan secara terus menerus tanpa disrupsi.
Sebuah simbol yang kokoh dan abadi diperlukan
untuk menjaga dan mempertahankan kesadaran
manusia tentang makna agama dan kehidupan.
Maka pada kunjungan Ibrahim ke jazirah selanjutnya
ia diperintahkan membangun Ka'bah yang
menyatukan arah kehidupan umat manusia
sepanjang zaman hingga kiamat kelak.
Setelah itu Ibrahim mendapatkan perintah ini: “Dan
serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya
mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,
atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka
datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj:
27).

17
6

Saat menyaksikan manusia dari berbagai penjuru


bumi mengitari Ka'bah dalam thawaf, memori kita
segera ditarik ke tahun-tahun panjang perjuangan
Ibrahim mengemban amanah nubuwwah sampai ia
mendirikan bangunan ini bersama putranya Ismail.
Ibrahim hidup selama 175 tahun atau 200 tahun
dalam riwayat lain. Lahir di Babil (sekarang
Irak),selanjutnya beliau ke Harran atau Carrhae
(sekarang Turki), lalu Palestina, lalu Mesir, lalu
Jazirah (Mekkah), dan wafat di Hebron (Al Khalil)
Palestina.
Sebagian besar perjalanan hidup Ibrahim dipenuhi
cerita perdebatan tentang tauhid dan pertarungan
melawan syirik dan tirani. Bagian itulah yang
mengambil porsi terbesar dalam seluruh ayat yang
tersebar dalam banyak surat di Al-Qur’an yang
menceritakan perjuangannya.
Tidak ada nabi yang debat-debat teologinya
diceritakan detail dalam Al-Qur’an selain Ibrahim.
Dalam dakwah tauhid itu ia berhadapan dengan
ayahnya sendiri, dengan raja, dan juga dengan
masyarakat.

19
Pergulatan dalam dakwah tauhid itu berlangsung
dalam waktu yang lama dan tersebar dalam wilayah
yang sangat luas di zamannya.
Di Babilonia orang menyembah patung. Di Harran
orang menyembah bintang. Tapi yang paling
mengerikan adalah karena ia lahir dan tumbuh di era
puncak kejayaan kerajaan Babilonia di bawah
kepemimpinan Raja Namrud.
Di Babilonia pergulatan pertamanya justru dengan
ayahnya sendiri, Azar, saat ia masih begitu muda.
Hasilnya: ayahnya tetap musyrik dan ia diusir dari
keluarga.
Setelah itu Ibrahim berhadapan dengan Raja
Namrud yang dikenal sebagai Raja Seribu Tahun
karena berkuasa sekitar 400 tahun. Diktator dan
menganggap dirinya sebagai tuhan karena merasa
punya otoritas dan kemampuan menghidupkan dan
mematikan.
Hasilnya Ibrahim dibakar, tapi Allah memberinya
mukjizat dengan mendinginkan api itu. Raja dan
rakyatnya terguncang. Raja yakin kerajaannya akan
hilang sesuai mimpinya sebelumnya: bintang
menutupi matahari dan bulan.
Setelah itu beliau bertolak menuju Harran. Di sana ia
berhadapan dengan masyarakat penyembah
bintang. Beliau terlibat lagi dalam perdebatan sengit
dengan mereka. Penolakannya juga sama.

20
Setelah itu beliau menuju Mesir bersama istrinya
Sarah. Di situ malah sang raja hampir merampas
istrinya tapi Allah melindunginya dan akhirnya
menghadiahkan Hajar darimana kelak ia
dianugerahi Ismail dan bersamanya membangun
Ka'bah.
Dengan Ka'bah Allah mengabadikan dakwah tauhid
Ibrahim dan karenanya ia dikenang sebagai Bapak
Tauhid, sekaligus menjadi simbol arah kehidupan
baru umat manusia karena di sanalah Allah kelak
menutup mata rantai kenabian.
Allah akhirnya juga menganugerahi putra dari Sarah:
Ishak. Darinya lahir Ya’qub yang kelak menjadi bapak
Bani Israil. Semua nabi yang datang dari jalur ini
hingga Musa dan Isa, lalu Ismail dan Muhammad
SAW dari jalur Hajar adalah keturunan Ibrahim.
Anugerah yang sempurna.
Ibrahim adalah Bapak Tauhid. Bapak Para Nabi.
Bapak Agama Samawi. Kekasih Allah dan kekasih
manusia. Sekitar 4,2 milyar dari 7 milyar (60%)
penghuni bumi saat ini adalah pengikut agama
samawi (Yahudi, Kristen, Islam; Musa, Isa,
Muhammad SAW). Ibrahim telah mengubah arah
sejarah kemanusiaan, sesuai doanya:
“... Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan
masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang
yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik
bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan
jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga
yang penuh kenikmatan.” (QS Al-Syu’ara: 83-85)
21
7

Doa Ibrahim untuk meramaikan Ka'bah dengan


kunjungan manusia dari segala penjuru bumi
diabadikan Islam dengan menetapkan haji sebagai
salah satu rukunnya. Dan hanya ini rukun Islam
yang dijadikan nama surat dalam Al-Qur’an: Al Hajj.
Haji baru diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriah, 5
tahun sebelum Rasulullah SAW wafat. Persis setelah
kemenangan besar kaum muslimin dalam Perang
Khandaq. Karenanya haji menandai era baru dalam
perjuangan “era ekspansi” setelah 4 tahun
mempertahankan negara Madinah.
Tapi penyiapan negara Madinah sendiri dilakukan
pada musim haji setelah selesainya embargo tahun
ke-10 di Mekkah hingga hijrah tahun ke-13 ke
Madinah. Di musim haji negara Madinah
direncanakan. Dengan rukun haji peradaban global
diawali.

22
Jadi haji sejak awal membawa ruh ekspansi dengan
semangat universalisme dan globalisme Islam. Haji
disyariatkan sebagai instrumen terdepan
penyebaran agama.
Karena situasinya yang kompleks Rasulullah SAW
hanya berhaji satu kali. Pertama dan terakhir.
Makanya disebut haji wada’, haji perpisahan, yang
dilaksanakan setelah seluruh risalah tersampaikan
dan semua amanah kenabian tertunaikan.
Haji wada’ adalah momen “meresume” semua
makna agama yang telah disampaikan dan dijalani
22 tahun sebelumnya. Haji wada’ seperti meletakkan
mahkota di kepala sang raja saat inaugurasi. Seperti
peristiwa topping off untuk menandai keutuhan
sebuah bangunan.
“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.
...” (QS Al-Maidah: 3)
Jadi haji wada’ adalah simbol kesempurnaan agama.
Ini adalah hari kesaksian bahwa risalah telah
disampaikan, amanah telah ditunaikan, perjuangan
telah dituntaskan. Dalam menutup khutbah wada’,
Rasulullah SAW berkata,” Ya Allah, tidakkah telah
aku sampaikan?” Maka segenap penjuru orang
menjawab, “Ya!” Lalu Rasulullah berkata, “Ya Allah,
saksikanlah ini.”

23
Tapi kesempurnaan adalah awal dari sebuah akhir.
Itu mengapa Abu Bakar menangis tersedu-sedu saat
mendengarkan khotbah Rasulullah SAW ini. Kekasih
dari kekasih Allah itu tahu bahwa ajal kekasihnya,
Rasulullah SAW, sebentar lagi akan tiba.
Maka peristiwa haji wada’ sekaligus juga merupakan
Hari Pewarisan: pewarisan agama kepada seluruh
manusia, pewarisan amanah dakwah kepada
manusia biasa yang bukan nabi, dengan semua
kelemahannya dan semua kompleksitas masalah
yang ia hadapi tapi kali ini tanpa wahyu.
Makna dari Hari Pewarisan itulah yang membedakan
haji saya kali ini. Saya telah memahami rahasia
keabadian risalah dan keagungan para pembawanya.
Tapi mewarisi amanah dakwah itu? Apa maknanya?
Apa syaratnya? Apa konsekuensinya? Dan, apa saya
layak??
Apakah makna labbaika saat kita datang untuk
melengkapi rukun agama? Apa pula makna labbaika
saat kita datang dalam semangat menghadiri Hari
Kesaksian dan Hari Pewarisan? Apa yang dirasakan
para sahabat dalam haji wada’ itu? Hari Kesaksian
itu? Hari Pewarisan itu?
Labbaika Allahumma labbaika...
Ilhami kami kembali makna-makna yang dulu
Engkau ilhamkan kepada para sahabat Rasulullah
SAW di Hari Kesaksian itu, di Hari Pewarisan itu...

24
Labbaika Allahumma labbaika...
Ikutkanlah kami dalam kafilah para pewaris amanah
nubuwwah itu..
Labbaika Ya Allah...
Ilhami kami jalan perjuangan menegakkan agama-
Mu...
Labbaika Allahumma labbaika...
Ilhami kami pemahaman para nabi...
Ilhami kami azimah para nabi...
Ilhami kami ketangguhan para nabi...
Turunkan sakinah dalam hati kami..
Terangi jalan perjuangan kami dengan cahaya-Mu
yang tak pernah padam...

25
8

Cerita haji ini melibatkan dua dari lima Nabi yang


masuk disebut Al-Qur’an sebagai ulil azmi. Para
pemilik tekad yang kuat. Nuh. Ibrahim. Musa. Isa.
Dan Muhammad SAW.
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian
dari para nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh,
Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah
mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS
Al-Ahzab: 7 )
Tantangan mereka sangat berat tapi mereka
tangguh. Mereka menghadapi kerajaan-kerajaan
besar yang solid, rajanya tiran, masyarakatnya
pembangkang yang keras kepala, tapi mereka punya
determinasi. Mereka melintasi semua rintangan itu.
Bukan hanya tatanan politik yang kuat dan tiran,
mereka juga bekerja dalam waktu yang lama,
terutama Nabi Nuh yang bekerja 950 tahun. Tapi
mereka teguh dan konsisten. Bayangkanlah agama
Kristen baru menjadi agama resmi Romawi 300
tahun setelah Nabi Isa wafat.

27
Kelima Nabi ulil azmi itu memiliki garis kepribadian
yang berbeda. Keras dan santun. Nuh dan Musa ada
di garis keras. Ibrahim dan Isa di garis santun. Nabi
Muhammad SAW mengikuti kakeknya, Nabi
Ibrahim, di garis santun.
Nuh berdoa agar Allah membinasakan semua orang
kafir yang ada di muka bumi tapi Ibrahim berdoa
agar bahkan ayahnya yang musyrik bisa diampuni
Allah SWT.
Ibrahim adalah kekasih Allah ( ). Musa berbicara
langsung dengan Allah ( ). Isa adalah Ruh Allah
( ). Tapi Nabi Muhammad SAW adalah kekasih
Allah yang diberi kesempatan melihat Allah SWT
secara langsung.
Tapi Ibrahim AS dan Muhammad SAW disatukan
dalam kategori yang lain: kekasih Allah. Itu adalah
maqom tertinggi hierarki cinta dan itu dicapai
dengan “pengorbanan’ yang tidak berbatas di jalan
cinta Allah.
Itu makna cerita penyembelihan Ismail. Maka hanya
Muhammad SAW dan Ibrahim AS yang kita sebut
saat tasyahhud dalam salat.
Garis kepribadian mereka bisa berbeda dalam
penampakannya, tapi sama dalam watak dasarnya:
tekad yang kuat, ketangguhan dan pengorbanan
tanpa batas. Sekarang kita mengenang epik panjang
perjuangan mereka.

28
Makna kepribadian dasar itu harus hadir kembali
mengilhami jalan para pewaris nubuwwah. Semua
tantangan berat yang merintangi jalan perjuangan
kita hari ini hanya bisa kita lewati jika kita mewarisi
azimah para Nabi ulil azmi itu.
Dan azimah itu harus mengejawantah dalam
“pengorbanan” tanpa batas. Sebab dengan
pengorbananlah kita menyatakan cinta dan
kesetiaan pada Allah dan cita-cita sebagai pewaris
nubuwwah.
Sapi dan kambing yang kita sembelih di hari qurban
ini adalah momentum cinta kepada Allah. Bukan
hanya tak ada sekutu dalam kerajaan-Nya, tapi juga
tak ada sekutu dalam cinta kepada-Nya. Sapi dan
kambing tidak sampai kepada Allah. Cintalah yang
sampai kepada Allah.
Semua kita korbankan, karena semuanya tak
bermakna. Semua tantangan kita hadapi, karena
semua kecil. Tak ada “alam” yang besar. Tak ada
“manusia” yang besar. Semuanya kecil. Hanya Allah
Yang Maha Besar. Kita tangguh karena kita bersama
Allah Yang Maha Besar.

29
9

Perbedaan ekstrem pada garis kepribadian antara


yang santun dan yang keras di antara para Nabi ulil
azmi juga terjadi di kalangan sahabat-sahabat
terdekat Rasulullah SAW yang kelak menjadi
khalifah secara berurutan.
Jika Ibrahim dan Isa berada di garis santun
sementara Nuh dan Musa di garis keras, maka Abu
Bakar dan Utsman ada di garis santun sementara
Umar dan Ali di garis keras.
Bedanya adalah keempat Nabi ulil azmi itu dipisah
oleh jarak waktu yang sangat jauh. Nuh dengan
Ibrahim terpisah jarak sekitar 1.000-an tahun. Musa
ke Isa terpisah sekitar 1.700-an tahun.
Sementara keempat sahabat itu ada dalam satu
zaman di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW
sehingga dinamika kolektif mereka memperlihatkan
bagaimana perbedaan garis kepribadian itu menjadi
keseimbangan kolektif mereka.

31
Tampaknya perbedaan garis kepribadian individu ini
berakar pada kecenderungan yang sama dalam
tubuh umat secara umum, baik di kalangan ulama
maupun masyarakat awam.
Lihatlah misalnya bagaimana para ulama dan fuqaha
sepanjang sejarah berbeda pandangan dan sikap
dalam tema “fiqh perubahan” antara garis santun
dan garis keras.
Rasulullah SAW sendiri berbeda dari keempat Nabi
ulil azmi sebelumnya dari waktu, ragam
pengalaman, dan dampak perubahan dalam
kehidupan manusia. Rasulullah SAW hanya berumur
63 tahun, tapi pengalaman nubuwwah-nya lebih
beragam dan pengaruhnya lebih besar dan lebih
lama.
Keempat Nabi ulil azmi diutus di tengah umat yang
sistem politiknya solid atau konsolidasi sosialnya
kuat. Sementara Rasulullah SAW diutus kepada
kaum yang sistem sosial politiknya sederhana dan
rapuh.
Itu menjelaskan mengapa Islam datang dan
langsung bisa mendirikan negara hanya dalam
waktu 13 tahun, sementara Kristen baru menjadi
agama resmi Romawi setelah 300-an tahun
wafatnya Isa. Romawi terlalu solid.
Tapi Rasulullah SAW memiliki pengalaman
memimpin perang secara langsung, sementara umat
Nuh dan Fir’aunnya Musa sama-sama

32
ditenggelamkan Allah, atau menang dengan
mukjizat langsung, bukan melalui perang.
Jumlah populasi bumi dan wilayah yang sudah
terhuni manusia jauh lebih besar dan lebih luas pada
zaman Rasulullah SAW. Paling sedikit ada sekitar
100-an juta manusia yang menghuni tiga benua.
Tema khotbah haji wada’ menjelaskan tema sosial,
ekonomi, politik di samping ideologi (manhaj
nubuwwah) terelaborasi secara komprehensif
disebabkan interaksi manusia yang jauh lebih
kompleks. Apalagi untuk Islam yang ditetapkan
sebagai agama penutup agama-agama samawi.
Tema utama nabi-nabi sebelum Muhammad SAW
adalah tauhid. Populasi masih kecil. Wilayah bumi
yang sudah terhuni masih terbatas. Manusia merasa
kecil di depan alam karena tidak punya pengetahuan
tentang itu. Tema tauhid secara fundamental
mengubah pandangan manusia saat itu tentang tiga
hal: Tuhan, alam, dan manusia.
Dengan begitu tema Tauhid bukan saja menjadi
fondasi dari struktur ajaran agama samawi, tapi juga
kelak menjadi landasan bagi kemajuan peradaban
manusia. Terutama dalam tema alam dan manusia,
karena Tauhid membawa “ruh eksplorasi” yang
melandasi kemajuan peradaban.
Sekarang mata rantai nubuwwah telah ditutup tapi
amanah nubuwwah harus dilanjutkan. Para Nabi
dibimbing Allah melalui wahyu secara langsung
sementara pewaris nubuwwah harus “berijtihad”
yang panjang. Itulah tantangan kita sekarang.

33
10

Hanya tiga bulan setelah haji wada’ Rasulullah SAW


akhirnya wafat. Sahabat seluruhnya terguncang
hebat, mereka tidak bisa menerima fakta itu,
termasuk Umar.
Abu Bakar datang dan langsung melihat jenazah
Rasulullah SAW. Setelah itu beliau keluar menemui
para sahabat dan mengatakan, “siapa yang
menyembah Muhammad maka sesungguhnya
Muhammad telah mati.”
Haji wada’ itu akhirnya memang jadi haji
perpisahan. Khotbah wada’ itu akhirnya memang
jadi khotbah penutup yang meringkas risalah yang
beliau bawa.
Tapi jika kematian Rasulullah SAW saja sulit diterima
sebagai fakta pada mulanya, mengertilah kita apa
makna dari ditutupnya mata rantai kenabian. Apa
makna hidup tanpa Rasul di antara mereka. Apa
makna wahyu terputus.

34
Begitu Rasulullah SAW wafat, wahyu terputus. Tak
ada lagi ayat-ayat Al-Qur’an baru yang turun setiap
kali mereka menghadapi masalah padahal masalah
terus bertambah. Ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda-
sabda Nabi berhenti di situ, karenanya bersifat
“terbatas”. Sementara masalah manusia terus
berkembang, karenanya bersifat “tidak terbatas.”
Itulah fakta awal yang mengharuskan ijtihad:
keterbatasan teks ( ) dan ketakterbatasan
masalah ( ).
Jika kemudian Rasulullah SAW mengatakan bahwa
para ulama adalah para pewaris nabi, itu karena
rahasia keabadian agama ini terletak salah satunya
pada keabadian teksnya, bukan terutama pada
kekuasaan yang mengawalnya.
Maka segala hal yang berhubungan dengan teks,
mulai dari validasi keaslian teks, metode
memahaminya, metode implementasinya sepanjang
zaman, adalah masalah yang sangat fundamental
bagi kelangsungan agama ini. Belum lagi
kesenjangan antara teks dan realitas yang harus
dijembatani dan hanya ulama yang bisa melakukan
tugas itu.
Para Khulafaur Rasyidin memiliki syarat sebagai
ulama dan pemimpin negara sekaligus.. Kualifikasi
itu yang membuat Rasulullah SAW
merekomendasikan mereka sebagai rujukan dalam
pemahaman dan implementasi agama:

35
“Berpeganglah pada sunahku dan sunah para
Khulafaur Rasyidin setelahku.”
Itu juga yang memungkinkan mereka meletakkan
dasar-dasar dari sistem kehidupan bernegara ketika
agama ini dikelola melalui organisasi negara oleh
sebuah masyarakat yang tidak punya warisan
pengalaman bernegara yang mapan sebelumnya.
Di era Khulafaur Rasyidin populasi Muslim makin
besar. Peta geografi kekuasaan mereka makin luas
oleh futuhat (ekspansi) yang agresif. Pembauran
etnis dan budaya makin kompleks. Islam telah
menjadi kekuatan global baru, baik dalam skala
politik maupun peradaban.
Akibatnya berbagai masalah pun terus
bermunculan, bahkan sebelum jenazah Rasulullah
SAW dikuburkan, kaum Anshar berkumpul di
Tsaqifah Bani Saidah membicarakan pengganti
Rasulullah SAW. Satu masalah baru muncul: Imamah
setelah nubuwwah.
Masalah itu segera teratasi ketika Abu Bakar dan
Umar ikut terlibat. Kepemimpinan akhirnya
diberikan kepada Quraisy sesuai tradisi Arab di
Jazirah dan Abu Bakar menjadi khalifah pertama
setelah Rasulullah SAW.
Begitu menjadi khalifah, muncul masalah kedua:
Perang Riddah. Banyak kabilah yang menolak
membayar zakat. Walaupun ditentang semua
sahabat termasuk Umar, Abu Bakar tetap berkeras

36
mengumumkan Perang Riddah. Tidak membayar
zakat berarti murtad dan harus diperangi karena
zakat adalah rukun Islam.
Kemenangan dalam Perang Riddah itu merupakan
momentum pemantapan sistem kenegaraan agama
ini, sekaligus juga momentum konsolidasi politik
dan militer yang menyatukan seluruh teritori Jazirah
Arab di bawah kekuasaan Islam.

37
11

Walaupun berhasil menumpas kaum murtad, serial


Perang Riddah ternyata menyisakan satu masalah
besar: banyak para penghafal Al-Qur’an yang syahid,
khususnya dalam Perang Yamamah di mana 70 hafiz
jadi syahid.
Fakta itu mencemaskan Umar, karena Al-Qur’an bisa
hilang seiring kematian mereka, sebab memang
Allah menjaga Al-Qur’an dalam dada mereka, di
samping yang berserakan pada pelepah pohon.
Karena itu beliau mengusulkan kepada Abu Bakar
untuk segera mengumpulkan Al-Qur’an atau Jam’ul
Mushaf.
Walaupun awalnya ragu, Abu Bakar akhirnya
menyetujui usul itu dan segera menunjuk Zain Bin
Tsabit untuk melakukan tugas berat itu. Keputusan
itu menyelesaikan masalah paling fundamental
dalam menjaga keabadian teks.

39
Setelah Islam tersebar ke berbagai penjuru muncul
lagi masalah baru. Cara membaca Al-Qur’an ( )
ternyata berbeda-beda karena perbedaan dialek ( ).
Bahkan ketika pasukan Muslim Irak dan Syam
berkumpul dalam pasukan untuk membebaskan
Armenia dan Azerbaijan, mereka terlibat
pertengkaran berat dan tidak mau diimami yang
lain.
Huzaifah Bin Yaman lalu mendatangi Utsman untuk
segera menetapkan satu bacaan resmi untuk semua
umat, yaitu atas dasar bacaan Quraisy. Itu yang
kemudian disebut Mushaf Utsman yang kita baca
sampai sekarang. Itu salah satu faktor pemersatu
kaum Muslimin sepanjang masa. Kerja besar
menjaga dan memvalidasi autentisitas Al-Qur’an
selesai sudah.
Ekspansi pembebasan atau futuhat Islamiyah di era
Abu Bakar dan Umar mengubah peta kekuatan dunia
di zamannya. Mengubah peta geografi agama dan
mengubah arah sejarah peradaban manusia. Persia
hilang total dari peta, sementara seluruh wilayah
timur Romawi juga hilang, kecuali Konstantinopel.
Masyarakat multikultur dengan wilayah seluas itu
pasti menghasilkan residu banyak masalah dan
butuh ijtihad besar untuk mengelolanya. Era ini
ditandai oleh kebutuhan “pendalaman” sistem
ketatanegaraan Islam.

40
Pendalaman itu maknanya adalah mentransformasi
nilai-nilai agama ke dalam tatanan kenegaraan dan
proses institusional. Nilai-nilai agama harus
dielaborasi menjadi kaidah-kaidah konstitusi,
undang-undang, kebijakan, regulasi, prosedur, dan
seterusnya.
Warisan Umar, misalnya, tampak dalam pengelolaan
sistem ekonomi dan keuangan negara, pembentukan
tentara dan polisi reguler, sistem birokrasi
pemerintahan, sistem penjaminan sosial, dan
bagaimana nilai “keadilan” masuk dalam semua sisi
sistem itu sebagaimana ia kemudian dikenal dengan
julukan itu.
Semua ijtihad besar itu bermuara pada peletakan
dasar-dasar ketatanegaraan bagi sebuah negara baru
yang sedang membangun imperium peradaban
alternatif, setelah ia menaklukkan dua imperium
besar di zamannya: Persia dan Romawi.
Kita baru bisa menangkap makna ijtihad besar itu
jika kita meletakkannya dalam sejarah masyarakat
Jazirah Arab yang tidak pernah punya sistem dan
pengalaman bernegara yang mapan dan solid.
Itu artinya syariat ijtihad agama ini telah berhasil
membangkitkan kemampuan intelektual dan
inovasi masyarakat Jazirah Arab, membuat mereka
mampu menciptakan eksperimen kenegaraan baru
yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan.

41
Islam hanya perlu 13 tahun untuk sampai pada
pendirian negara, tapi sukses pada pendalaman pada
sistem ketatanegaraan di era Khulafaur Rasyidin,
khususnya pada masa Abu Bakar dan Umar,
menegaskan bahwa setelah keabadian teks, syariat
ijtihad adalah rahasia keabadian Islam.
Syariat ijtihad adalah metode yang menunjukkan
bahwa agama ini lentur, mampu mengakomodasi
semua tuntutan manusia di segala zaman. Dan itu
yang membuatnya selamanya relevan.
Legacy ijtihad Abu Bakar dan Umar telah
menempatkan mereka setelah Rasulullah SAW
sebagai pendiri negara yang kelak menjadi landasan
kokoh dari peradaban Islam yang memimpin dunia
selama satu milenium.

42
12

Setelah 20-an tahun futuhat Islamiyah, datanglah


Zaman Fitnah pada akhir masa Utsman dan seluruh
masa Ali, atau sekitar 10 tahun terakhir masa
Khulafaur Rasyidin. Itu tiga dekade, dua tantangan,
dalam satu era.
Tapi tantangan ijtihad besar mereka tetap sama:
bagaimana mentransformasi nilai-nilai agama
dalam dua tantangan yang berbeda itu, yakni (1)
ketika Allah menguji mereka dengan futuhat
Islamiyah yang luar biasa luasnya; dan (2) ketika
Allah menguji mereka dengan Zaman Fitnah.
Dalam era futuhat Islamiyah Abu Bakar dan Umar
membawa nilai-nilai kebebasan, syura, keadilan dan
kesejahteraan, akuntabilitas, profesionalisme,
achievement, dan lainnya ke dalam sistem
ketatanegaraan dan manajemen pemerintahan
sebagai nilai agama.
Semua nilai-nilai yang berhubungan langsung
dengan sistem ketatanegaraan dan pengelolaan
pemerintahan itu dipadu dengan nilai-nilai iman di
alam batin seperti kejujuran, takwa, zuhud, wara’,
muhasabah, dan seterusnya.

43
Maka yang kita saksikan adalah kombinasi antara
otoritas besar dan muhasabah. Kemelimpahan dan
zuhud. Syura dan kejujuran. Kebebasan dan takwa.
Achievement dan wara’. Ilmu dan tawadhu’. Begitu
seterusnya.
Di era Utsman dan Ali, masyarakat tak lagi sanggup
bertahan dalam idealisme yang sangat tinggi dan
agung itu. Masyarakat sedang berjalan “turun dari
puncak nilai-nilai agama” itu. Situasi pembalikan
dari idealisme.
Semua konflik internal yang terjadi di masa Utsman
dan Ali, yang kelak dikenang sebagai Zaman Fitnah,
secara sederhana adalah efek dari pembalikan itu.
Saat umat berjalan turun dari puncak keagungan
idealisme mereka.
Itulah tantangan Utsman dan Ali. Mereka berdua
seperti menahan bola besar agar tidak
menggelinding dari puncak gunung idealisme nilai-
nilai agama yang sebelumnya bertengger bersama
Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar.
Utsman dan Ali harus “bertahan di puncak
idealisme’ itu agar tetap bisa bersama Rasulullah
SAW, Abu Bakar dan Umar. Agar tetap ada dalam
kafilah Khulafaur Rasyidin, walaupun akhirnya
harus berdiri seorang diri di situ, walaupun akhirnya
harus menjadi korban.
Kewajiban mereka dalam situasi seperti itu adalah
bagaimana bertahan dan tegar dalam kebenaran di

44
tengah kecamuk Zaman Fitnah—ketika kebenaran
tersembunyi di balik kebodohan, kenaifan, dendam,
keserakahan, kebohongan, intrik politik,
ekstremisme.
Utsman dan Ali harus mempertahankan kebebasan
publik, kebenaran, keadilan dan muhasabah dalam
pengelolaan konflik. Mereka tidak memilih untuk
“menang” dengan menggunakan power, mereka
memilih tetap “benar” walaupun harus
mengorbankan power. Bahkan nyawanya sendiri.
Tiga dari empat Khulafaur Rasyidin yang telah
menaklukkan Persia dan Romawi mati terbunuh.
Bukan dalam perang, tapi di mesjid dan rumah
mereka. Di depan jamaah mereka. Apakah itu isu
keamanan? Apakah mereka kalah dalam “game of
power?” Apakah mereka tersingkir dalam “game of
throne?”
Ketika kemenangan dan kebenaran tidak dapat
dipertemukan, mereka memilih kebenaran. Ketika
pertanggungjawaban dan keselamatan pribadi tidak
dapat disandingkan, mereka memilih
pertanggungjawaban.
Ketika dunia dan akhirat tidak dapat diraih bersama,
mereka memilih akhirat.
Bertahan dalam kebenaran di Zaman Fitnah itulah
yang membuat mereka bertahan dalam kafilah
Khulafaur Rasyidin. Itu bermakna mereka berempat
ada dalam satu era, dua tantangan, dalam tiga

45
dekade. “Khilafah dalam tubuh umatku akan
berlangsung 30 tahun,” kata Rasulullah SAW.
Bertahan dengan idealisme di tengah futuhat
Islamiyah dan Zaman Fitnah adalah makna yang
menjelaskan mengapa era itu disebut era Khulafaur
Rasyidin. Zaman Terbaik. Khairul Qurun. Golden Age.
Semuanya setelah era Rasulullah SAW.

46
13

Tantangan umat Islam sesudah era Khulafaur


Rasyidin adalah peralihan ke sistem kerajaan:
muncul dinasti-dinasti Umayyah, Abbasiyah dan
seterusnya, seperti yang telah diramalkan Rasulullah
SAW.
Itu bukan masalah format negara atau model
pemerintahan, tapi sistem kerajaan mengikis nilai-
nilai agama yang sebelumnya mengisi esensi sistem
ketatanegaraan Islam, terutama kebebasan, syura,
keadilan dan akuntabilitas publik.
Lalu dimulailah rangkaian pemisahan-pemisahan
dari sesuatu yang semula menyatu dan utuh. Para
raja tidak lagi menyatukan kualifikasi sebagai ulama
dan umara. Mesjid dan istana mulai jarang bersapa.
Lalu negara makin jauh dari agama. Dan kelak
bahkan saling bermusuhan.
Dalam perspektif politik, pemisahan dalam
kualifikasi itu seperti pemisahan pada kualifikasi
pendiri negara ( founding fathers) dan operator
politik. Atau kualifikasi pembangun peradaban dan
pembangun istana.

48
Peralihan sistem itu merupakan patahan sejarah
yang sangat kompleks. Kontraksi yang menyisakan
perdebatan yang tak kunjung selesai, tapi efektif
menyelesaikan 10 tahun konflik berdarah,
menyatukan umat besar kembali, dan menciptakan
stabilitas politik dan keamanan dalam teritori yang
sangat luas.
Itu juga yang membuat mayoritas umat akhirnya
menerima fakta itu. Tak ada pilihan lain. Pasti tidak
ideal karena nilai-nilai eksistensial dalam sistem
ketatanegaraan Islam tidak dapat diakomodasi,
terutama kebebasan, syura, dan akuntabilitas publik.
Tapi itulah yang paling mungkin secara realistis dan
praktis.
Ada pendangkalan dan pemiskinan secara politik,
tapi ada pendalaman dan pengayaan pada konten
peradaban, berupa pengetahuan baik agama, sastra
maupun sains. Itu berlangsung terutama dari abad
kedua hingga kelima Hijriah.
Masih ada tantangan besar yang berhubungan
dengan keabadian teks, yaitu pengumpulan dan
verifikasi Hadits Rasulullah SAW, sebagai sumber
agama kedua setelah Al-Qur’an. Terutama setelah
wafatnya sebagian besar sahabat Rasulullah SAW,
banyaknya intervensi politik dalam narasi
keagamaan, dan meningkatnya konflik antar-
mazhab.

49
Kerja besar itu dimulai dengan pengumpulan hadits
atas perintah Umar Bin Abdul Aziz kepada Imam Al
Zuhri di akhir abad pertama Hijriah. Lalu dilakukan
penyusunan berdasarkan tema. Dilanjutkan
verifikasi kesahihan (Bukhari, Muslim dll.).
Dilengkapi pematangan metodologi ilmu hadits
( ).
Ilmu hadits adalah warisan pengetahuan yang tidak
akan pernah dimiliki peradaban lain. Andai sejarah
manusia dicatat dengan standar ilmu ini rasanya
tidak akan ada catatan sejarah yang dapat dipercaya.
Tapi cara kita memahami teks baik Al-Qur’an dan
Sunnah membutuhkan metodologi yang lain. Dalam
konteks itu ada banyak perbedaan dan perbedaan
itulah yang melatari lahirnya berbagai mazhab,
khususnya dalam fiqh: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
Ahmad, dan lainnya.
Temuan terbesar dalam konteks metodologi itu
adalah ilmu Ushul Fiqh yang dikembangkan Imam
Syafi’i untuk menjembatani pendekatan tekstual dan
rasional dalam memahami teks Al-Qur’an dan
Sunnah yang selama ini menjadi sumber perbedaan
di tengah umat.
Jika kita mau membuat peta corak beragama umat
Islam di seluruh dunia, maka empat mazhab itulah
yang membentuk dan mendominasi cara kita
memahami dan melaksanakan ajaran agama.
Apalagi dalam aspek ibadah.

50
Abad pertama sampai keempat hijriah ditandai
dengan lahirnya para mujtahid raksasa yang telah
melahirkan berbagai produk pemikiran dan
membangun struktur ilmu-ilmu keislaman yang
kita warisi sampai sekarang.
Karena para ulama mujtahid raksasa yang memberi
pendalaman dan pengayaan pada konten peradaban
di era itu, mereka menjawab tantangan zamannya.
Maka tidak heran jika umat Islam lebih mengenal
mereka ketimbang para penguasa dari Dinasti
Umawiyah dan Abbasiyah.

51
14

Kontribusi besar para mujtahid besar selama abad


ke-2, ke-3 dan ke-4 itu telah menciutkan nyali
akademik generasi yang datang sesudah mereka.
Sejak itu muncul ide pembuntuan pintu ijtihad.
Itulah awal kemunduran peradaban Islam.
Bersamaan dengan kemunduran pemikiran itu,
krisis juga menimpa dunia Islam. Ada invasi Tartar
dari Timur dan invasi Salib dari Barat. Ada gerakan
Bathiniyah yang perlahan mendominasi wilayah
yang sangat luas. Dari Afrika Utara hingga Mesir
(Fathimiyah).
Di tengah semua krisis itu ada krisis lain yang lebih
parah, yakni kelemahan leadership di akhir masa
Abbasiyah. Di bawah mereka Baghdad tinggal
menunggu hari pembantaian yang akan mengakhiri
dinasti itu.
Pada periode itulah (abad ke-5 sampai ke-7 Hijriah)
muncul wajah baru di kalangan ulama umat:
mujtahid-mujahid dan dalam politik muncul dinasti-
dinasti kecil baru yang menggabungkan
kepemimpinan politik dan militer sekaligus.

52
Ijtihad mereka (seperti Al-Juwaini hingga Ibnul
Qayyim dan Ibnu Taimiyah) banyak terfokus
khususnya dalam bidang siyasah syar’iyah setelah
runtuhnya payung besar politik mereka di bawah
Abbasiyah.
Para mujtahid-mujahid itu juga banyak meluruskan
penyimpangan pemikiran di tengah umat, terutama
dalam tema akidah dan sufisme, meningkatkan
moral umat dan menanamkan kembali ruh jihad
dalam hati mereka.
Jaringan Al-Madaris Al-Nizhamiyah di kota-kota
besar dunia Islam saat itu memelopori gerakan
pemikiran dan pembinaan umat sekaligus. Dari
sanalah Imam Haramain Al-Juwaini—yang
memperbaharui pemikiran politik Islam—dan
muridnya Imam Al Gazali yang menulis Ihya
‘Ulumuddin menghadapi penyimpangan kaum
Bathiniyah.
Juga ada sekolah-sekolah besar di Mesir seperti Al-
Kamiliyah, Al-Mansuriyah dan Al-Shalihiyah. Ada Al
Zhahiriyah di Damaskus dan Al-Mustanshiriyah di
Baghdad. Fakta ini menunjukkan bagaimana
kebangkitan pemikiran dan ijtihad mengawal
kebangkitan umat untuk keluar dari krisis mereka.
Dalam periode itulah muncul dinasti-dinati kecil tapi
dengan kepemimpinan politik dan militer yang
sangat kuat dari Bani Seljuk (Alep Arselan), Bani

53
Zanky (Imaduddin dan Nuruddin Mahmoud Zanky),
dan Bani Ayyub (Shalahuddin Al Ayyubi) yang kelak
membebaskan Al-Quds.
Dalam periode itu muncul ulama mujahid Al ‘Izz
Ibnu Abdissalam yang menyertai dan mengawal
Muzhaffar Quthuz dari Dinasti Al Mamlukiyah.
Dinasti ini menggantikan Dinasti Al Ayyubiyah yang
kelak mengalahkan pasukan Tartar di Mesir.
Ketika negara tidak berdaya menghadapi
tantangannya, maka para ulama mujtahid-mujahid
yang tampil mengkonsolidasi umat, mengawal para
umara. Begitulah ijtihad para pewaris nubuwwah
menyelamatkan umat dari keruntuhan.
Kelak di tengah keterpurukan umat di bawah
imperialisme Eropa, para pewaris nubuwwah itu
tampil dengan ijtihad mereka yang berorientasi pada
pembaharuan dan kebangkitan pemikiran. Ini
menjadi dasar dari semua gerakan kemerdekaan di
Dunia Islam.
Karakter ulil azmi dan tradisi ijtihad para pewaris
nubuwwah adalah kombinasi yang sekarang kita
butuhkan di tengah keterpurukan umat. Itu tentang
determinasi dan inovasi.
Dulu kita menjadi Indonesia karena imajinasi masa
depan yang menciptakan peralihan besar dalam cara
berpikir kita sebagai bangsa. Gerakan nasional yang
berkecambah di seantero negeri di awal abad ke-20

54
menemukan momentumnya pada Hari Sumpah
Pemuda 1928.
Tapi kita bisa menjadi Bangsa Merdeka karena
determinasi para pejuang kemerdekaan. Apakah
makna Bandung Lautan Api jika bukan determinasi?
Apakah makna teriakan Allahu Akbar Bung Tomo
kalau bukan determinasi?.

55
15

Khotbah Rasulullah SAW dalam haji wada’ memang


mengisyaratkan bahwa misi beliau hampir tuntas.
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa agama ini telah
disempurnakan. Artinya, ajal beliau juga sudah
dekat.
Saat kita membaca Sirah Nabi, kita selalu menangkap
kesan bahwa semua peristiwa-peristiwa yang
dialami Beliau tampak mengalir begitu saja. Ada
banyak spontanitas, bahkan kadang cenderung acak.
Merencanakan sebuah perubahan revolusioner yang
kelak mengubah arah sejarah manusia memang
tidak pernah dibicarakan secara khusus oleh
Rasulullah SAW bersama para sahabatnya dalam
pendekatan manajemen seperti yang kita pahami
sekarang.

56
Tapi ayat-ayat Al-Qur’an yang turun dalam berbagai
peristiwa dengan tahapan-tahapannya memang
menunjukkan bahwa Beliau bekerja dengan mindset
Design Thinking yang jelas. Peta jalan (roadmap)
perjuangan yang sangat jelas. Itu makna yang kita
pahami mengapa Beliau memerlukan waktu sekitar
3 tahun di gua Hira untuk berkhalwat sebelum
diangkat menjadi Rasul. Dari ketinggian itu Beliau
menatap kota Mekkah, sebelum misi besarnya
dimulai.
Tapi fakta-fakta Sirah Nabi juga menunjukkan bahwa
Beliau bekerja dengan kelenturan yang luar biasa,
baik strategis maupun taktis, seperti kita lihat dalam
perjanjian Hudaibiyah. Itu yang membuat seluruh
kerjanya tampak mengalir dan kadang acak dan tidak
terencana secara ketat.
Kelak kita juga mengetahui bahwa kelenturan itu
adalah ciri utama ajaran-ajaran Islam yang
membuatnya adaptif terhadap berbagai perubahan
ruang dan waktu. Memang harus begitu karena ini
agama samawi terakhir yang bertahan sampai akhir
zaman.
Karena itu makin rentan suatu hukum terhadap
perubahan ruang dan waktu, maka makin umum
penjelasannya dalam teks. Sebab, dengan cara itu
teks ini bisa mengakomodasi berbagai perubahan
tersebut.

57
Tapi prinsip kelenturan, baik strategis maupun taktis,
selalu menyisakan ruang penyimpangan. Jebakan
yang bisa menyeret kita keluar dari jalur perjuangan.
Di sinilah kita bertemu dengan makna Doa Istilham:
mengharap ilham dari Allah agar peta jalan kita
terang, hati kita mantap, dan ruh kita ringan
menjalani semua rute perjuangan.
“Dan mereka hampir memalingkan engkau
(Muhammad) dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu, agar engkau mengada-ada yang lain
terhadap Kami dan jika demikian tentu mereka
menjadikan engkau sahabat yang setia.” (QS Al-Isra:
73)
“Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)-mu,
niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada
mereka.” (QS Al Isra: 74)
“Jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu
(siksaan) dua kali lipat di dunia ini dan dua kali lipat
setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan
mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.”
(QS Al-Isra:75)
Rasanya inilah kombinasi kekuatan utama yang
diperlukan para pewaris nubuwwah, karakter ulil
azmi, tradisi Ijtihad, Design Thinking, kelenturan, dan
Doa Istilham.

58
Itu yang akan membuat agama ini hadir kembali
dalam kehidupan manusia sebagai sumber solusi
bagi berbagai masalah mereka. Seperti kombinasi
Zamzam yang menjadi magnet pembentukan
masyarakat baru di Jazirah dan Ka'bah yang memberi
arah kehidupan bagi manusia.
Alhamdulillah, saya sudah tiba kembali di tanah air.
Twit ini ditulis di hampir semua tempat yang saya
lalui sepanjang perjalanan haji. Kadang mengalir
mengikuti memori, kadang mengalir mengikuti
imajinasi. Yang kurasa itu yang kutulis.

59
Tentang Penulis
Anis Matta adalah ulama dan cendekiawan Muslim
terkemuka di Indonesia dengan minat pada kajian
sejarah dan peradaban Islam, dinamika politik
kontemporer dunia Islam, dan geopolitik.
Pada 2000, ia diundang menjadi peserta program
pemimpin muda oleh American Council for Young
Political Leader (ACYPL) di Amerika Serikat lalu
mengikuti pendidikan di Kursus Singkat Angkatan
ke-9 Lemhanas (2001).
Anis menempuh pendidikan di Pesantren Darul
Arqam Muhammadiyah, Gombara, Sulawesi Selatan.
Setelah itu ia berkuliah di jurusan syariah di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA),
Jakarta, dan lulus pada 1992.
Di bidang politik, Anis pernah menjadi Presiden
Partai Keadilan Sejahtera (2013-2015) dan Wakil
Ketua DPR RI (2009-2013). Pada 28 Oktober 2019,
bersama sejumlah tokoh Anis mendirikan Partai
Gelombang Rakyat Indonesia.

60

Anda mungkin juga menyukai