Anda di halaman 1dari 14

Biografi KH Abdul Hamid Pasuruan Jawa 

Timur

Posted on 11/01/2013 by Admin

Biografi KH Abdul Hamid © KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber
Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren
Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim.
Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan

Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan
masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada
santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah
menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang,
sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari
tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara
kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah.
Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan
Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai
umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di
Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.

Masa Kecil

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan
Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk
menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur
sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di
pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian
penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya.
Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang
berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali
waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara
nyata.

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid
mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai
berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga
tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-
paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di
desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun,
ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh
Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan
administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak
ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah
pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia
juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan,
bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun,
setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu
tasawwuf.

Menjadi Blantik

Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH
Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama
beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk
menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai
blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan,
30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan
orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan
tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak
istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat
sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru
beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH.
Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid
pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat
menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo
karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah
mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali
mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah
mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk
hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna
menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka,
Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil.
Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke
pesantren lain.

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak
pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab
satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada
istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti
Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan,
dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-
pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya
alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk
mencetak perilaku seorang santri yang baik.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal
kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif.
Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali
kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir
kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti
pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota
Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan
adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya
membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air
matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama
sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-
Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon,
memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah
dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya
selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.
Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya.
Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu
berusaha melawan nafsu.

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak
makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk
menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O,
rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup
besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan
penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di
Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid
mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid
memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari
ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika
bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah,
sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan
oleh siapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran
(yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang
diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah
Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau
begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari
motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian
merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah
membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat,
kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai
Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya
secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau
mengkhitan anaknya.

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang
sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan,
hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah
menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama,
Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.

Berikut ini 5 fakta menarik tentang Sosok Kiai Hamid Pasuruan yang disarikan dari kata
pengantar Gus Mus berjudul “Kiai Hamid Bukan Wali Tiban” untuk buku biografi wali dari
Pasuruan tersebut, sebagaimana yang dilansir dari situs datdut.com (Kabarpas Grup) :
1. Kesan Gus Mus Saat Bertemu Kiai Hamid
Gus Mus ‘mengenal’ secara pribadi sosok Kiai Abdul Hamid, ketika Gus Mus masih tergolong
remaja, sekitar tahun 60-an. Ketika itu Gus Mus dibawa ayah Gus Mus, K.H. Bisri Mustofa, ke
suatu acara di Lasem. Memang sudah menjadi kebiasaan ayahnya, bila bertemu atau akan
bertemu kiai-kiai, sedapat mungkin mengajak anak-anaknya untuk diperkenalkan dan dimintakan
doa-restu. Menurut Gus Mus, ini memang merupakan kebiasaan setiap kiai tempo doeloe.
Dengan Kiai Hamid baru ketika itulah Gus Mus melihatnya. Wajahnya sangat rupawan. Seperti
banyak kiai, ada rona ke-Arab-an dalam wajah rupawan itu. Matanya yang teduh bagai telaga
dan mulutnya yang seperti senantiasa tersenyum, menebarkan pengaruh kedamaian kepada siapa
pun yang memandangnya.
2. Suwuk Kiai Hamid sebagai Doa
Ayah Gus Mus berkata kepada Kiai Hamid, “Ini anak saya, Mustofa, Sampeyan suwuk!” Dan
tanpa terduga-duga, tiba-tiba, kiai karismatik itu mencengkeram dada Gus Mus sambil
mengulang-ulang dengan suara lembut: “Waladush-shalih, shalih! Waladush-shalih, shalih!”
Telinga Gus Mus menangkap ucapan itu bukan sebagai suwuk, tapi cambuk yang terus
terngiang; persis seperti tulisan ayah Gus Mus sendiri di notes Gus Mus: “Liyakun waladul asadi
syiblan la hirratan.” (“Anak singa seharusnya singa, bukan kucing!”). Apalagi dalam beberapa
kali petemuan selanjutnya, cengkeraman pada dada dan ucapan lembut itu selalu beliau ulang-
ulang. Tapi dalam hati, diam-diam Gus Mus selalu berharap cambuk itu benar-benar
mengandung suwuk, doa restu.
3. Kiai Hamid, Wali yang Memanusiakan Manusia
Ketika Gus Mus sering berjumpa dalam berbagai kesempatan, apalagi setelah Gus Mus mulai
mengenal putra-putra wali Pasuruan ini–Gus Nu’man, Gus Nasih, dan Gus Idris—Kiai Hamid
pun menjadi salah satu tokoh idola Gus Mus yang istimewa.
Pengertian idola ini, boleh jadi tidak sama persis dengan apa yang dipahami kebanyakan orang
yang mengidolakan beliau. Biasanya orang hanya membicarakan dan mengagumi karomah
beliau lalu dari sana, mereka mengharap berkah. Seolah-olah kehadiran Kiai Hamid hanyalah
sebagai ‘pemberi berkah’ kepada mereka yang menghajatkan berkah. Lalu beliau pun dijadikan
inspirasi banyak santri muda yang–melihat dan mendengar karomah beliau–ingin menjadi wali
dengan jalan pintas. Padahal berkah beliau lebih dari itu.
Pernah suatu hari Gus Mus sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus
Nu’man, Gus Mus bisa menghadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Gus Mus
melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia.
Bayangkan saja, waktu itu ibaratnya beliau sudah merupakan punjer-nya tanah Jawa, dan beliau
mentasyjie’ Gus Mus agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. Ketawaduan,
keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan Gus Mus sedikit demi sedikit mencair.
Beliau bertanya tentang Rembang dan kabar orang-orang Rembang yang beliau kenal. Tak ada
fatwa-fatwa atau nasihat-nasihat secara langsung, tapi Gus Mus mendapatkan banyak fatwa dan
nasihat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan cerita-cerita beliau.
Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak Gus Mus dengan terus menerus merogoh saku-saku
beliau dan mengeluarkan uang seolah-olah siap memberikannya kepada Gus Mus (Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu ‘hobi’ Kiai Hamid adalah membagi-bagikan
uang). Atau ketika beliau bercerita tentang kawan Rembang-nya yang dapat Gus Mus tangkap
intinya: setiap manusia mempunyai kelebihan di samping kekurangannya.
4. Kiai Hamid Bukan Wali Tiban dan Bukan Kiai Kagetan
Proses yang berlangsung, yang membentuk seorang santri Abdul Mu’thi menjadi Kiai Abdul
Hamid. Dalam hal ini terkait ketekunan beliau mengasah pikir dengan menimba ilmu; tentang
perjuangan beliau mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujahadah;
dan kesabaran beliau dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan
pengalaman yang terhayati. Sehingga menjadi kiai yang mutabahhir, yang karenanya penuh
kearifan, pengertian, dan tidak kagetan.
Kiai Hamid bukanlah ‘Wali Tiban’. ‘Wali Tiban’, kalau memang ada, tentu berpotensi
kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara
muttafaq ‘alaih. Bahkan ayah Gus Mus, Kiai Bisri Mustofa dan guru Gus Mus Kiai Ali
Maksum–keduanya adalah kawan-karib Kiai Hamid–yang paling sulit mempercayai adanya wali
di zaman ini, harus mengakui, meskipun sebelumnya sering meledek kewalian kawan-karib
mereka ini.
5. Kiai Hamid; Ulama Paripurna yang Mengamalkan Ilmunya
Banyak orang alim yang tidak mengajarkan secara tekun ilmunya dan tidak sedikit yang bahkan
tidak mengamalkan ilmunya. Lebih banyak lagi orang yang tidak secara maksimal mengajarkan
dan atau mengamalkan ilmunya. Sebagai contoh, banyak kiai yang menguasai ilmu bahasa dan
sastra (Nahwu, sharaf, Balaghah, Arudl, dsb.), namun jarang di antara mereka yang
mengamalkannya bagi memproduksi karya sastra.
Kebanyakan mereka yang memiliki ilmu bahasa dan sastra itu menggunakannya ‘hanya’ untuk
membaca kitab dan mengapresiasi, menghayati keindahan, kitab suci Al-Quran. Tentu tak
banyak yang mengetahui bahwa salah satu peninggalan Kiai Hamid adalah naskah lengkap
berupa antologi puisi.
Banyak kiai yang karena keamanahannya mendidik santri, sering melupakan anak-anak mereka
sendiri. Kiai Hamid, bukan saja mendidik santri dan masyarakat, tapi juga sekaligus keluarganya
sendiri.
Dari sosok yang sudah jadi Kiai Hamid, kita bisa menduga bahwa penghayatan dan pengamalan
ilmu itu sudah beliau latih sejak masih nyantri. Demikian pula pergaulan luas yang membangun
pribadi beliau, sudah beliau jalani sejak muda, sehingga beliau menjadi manusia utuh yang
menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut tempelannya. Dan kesemuanya itu
melahirkan kearifan yang dewasa ini sangat sulit dijumpai di kalangan tokoh-tokoh yang alim.
(ddt/sym).

KAROMAH

ada suatu saat orde baru ingin mengajak Kyai Hamid masuk partai pemerintah. Kyai Hamid
menyambut ajakan itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat. Ketika surat
persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpennya, Kyai Hamid
menerimanya dan menandatanganinya. Anehnya pulpen tak bisa keluar tinta, diganti polpen lain
tetap tak mau keluar tinta. Akhirnya Kyai Hamid berkata: “Bukan saya yang gak mau tanda
tangan, tapi bolpointnya gak mau”. Itulah Kyai Hamid dia menolak dengan cara yang halus dan
tetap menghormati siapa saja yang bertamu kerumahnya.

Inilah beberapa dari banyak karomah Kyai Hamid. Kyai Hamid adalah realita nyata tentang
munculnya seorang hamba Allah yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah yang mumpuni dan
kekuatan musyahadah atas nur tajalli dengan maqam wilayah yang amat tinggi. Dan kekuatan
tersebut tentu tidak mungkin beliau dapatkan dengan serta merta tanpa melalui tahapan-tahapan
amaliyah dan maqamat tarekat yang beliau jalani dan beliau istiqamahkan. Setidaknya -dari sirah
Kyai Hamid yang dapat kita baca-, kualitas amaliyah dan maqamat itulah yang selalu beliau
pancarkan dalam setiap gerak langkah beliau. Kewara’an, kezuhudan, ketawadlu’an, kesabaran,
keistiqamahan, dan riyadlah.

Dan yang jelas, kekuatan ma’rifat dan wilayah tersebut hingga saat ini telah menjadi hamparan
hikmah yang maha luas dan menebarkan harum pada sanubari tiap orang yang mengenalnya.
Hingga siapapun tak akan pernah kehabisan untuk mengais suri tauladan atas keagungan
akhlaknya dan menempa keberkahan yang telah beliau sebarkan dalam setiap relung hati dan
palung hidup kita.

Sebelum menjadi kyai, semasa beliau mondok di Termas, Abdul Hamid (nama asli Kyai Hamid)
banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok
Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, ia pura-pura mantheg
(mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa dia sedang berkhalwat. Amalan wirid juga sering
beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang
untuk mencari jangkrik, Kyai Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak
melihatnya.

Lambat laun, aktifitas suluk Kyai Hamid dengan dzikir sirri (qalbi) dan membaca awrad semakin
intens dilakukan di kamar Pondok. Bahkan diceritakan, semakin hari, Kyai Hamid semakin
jarang keluar dari kamar untuk melakukan dzikir dan wirid tarekat tersebut. Sampai-sampai,
kawan-kawannya menggodanya dengan mengunci pintu kamar dari luar.

Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata
sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang
menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai
satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid
adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga
tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi
junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.

Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya
sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk
melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang
Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu
mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.

Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa
diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi,
bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat.
Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik
kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang
panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar
biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.

Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir
terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9
malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri.
“Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan
suara halus sekali.

Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan
ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada
yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.

Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari
rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras
dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau
mengulangi perbuatan usilnya tadi. Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri
daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil
membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi
juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering
mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan
tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya
masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke
tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan”
sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada
Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.

Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan
ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing
orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit
ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan
banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan
beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah.
Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”

Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di
Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya.
Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah
panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun
beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).

Tanggal 9 rabiul awal 1403 H beliau berpulang ke rahmatulloh. Umat menangis, gerak
kehidupan di Pasuruan seakan terhenti. Ratusan ribu orang membanjiri  Pasuruan, memenuhi
relung Masjid Agung Al Anwar dan alun alun serta memadati gang dan ruas jalan. Beliau
dimakamkan di belakang masjid agung Pasuruan. Ribuan umat menziarahinya setiap waktu
mengenang jasa dan cinta beliau kepada umat.

KEISLAMAN
Kiai Hamid pernah marah dan langsung bertindak ketika melihat orang Tionghoa yang kafir
sedang mengadakan acara ritual atau perayaan keagamannya. Waktu itu, Kiai Hamid
menggunakan cara-cara konfrontatif untuk mengubah segala bentuk kemungkaran.

Namun, kemudian beliau berubah menjadi ulama yang sabar. Pada masa dewasanya, Kiai Hamid
lebih lembut dalam berdakwah dan lebih mengutamakan harmoni. Jika pun akan melakukan
perubahan, berusaha agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Saat menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan, Kiai Hamid juga tak segera melakukan
perubahan yang radikal. Bagi Kiai Hamid, kegiatan mengajar di pesantren adalah dakwah dan
bukan sekadar transfer ilmu dari guru ke murid. Kiai Hamid memandang mengajar sebagai
kegiatan untuk mengubah anak santri yang sebelumnya menyalahi syariat menjadi sesuai syariat.

Karena itu, pada 1960, Kiai Hamid juga sangat aktif menggelar pengajian di desa-desa, terutama
yang masyarakatnya kurang tersirami ajaran Islam. Tidak hanya berdakwah, Kiai Hamid juga
turut memelopori perbaikan masjid, mushala, dan madrasah yang sudah ada.

Berdakwah dengan Lemah-Lembut

Dalam memberikan nasihat, Kiai Hamid akan menyampaikannya secara halus, sehingga pihak-
pihak yang diingatkan tidak tertekan. Dengan cara dakwahnya yang lembut, Kiai Hamid
menjadikan Islam se bagai rahmat bagi alam semesta.

Sementara, dalam forum-forum pengajian, Kiai Hamid suka menyampaikan dengan


menggunakan perumpamaan. Misalnya, saat menjelaskan isi kitab al-Hikam yang berbunyi,
Pendamlah seluruh wujud mu dalam bumi khumul(keadaan tak dikenal orang).

Kiai Hamid kemudian mengibaratkan, jika orang berbudi daya jagung dan benihnya tak dia
tanam ke dalam tanah, maka tanaman itu tak akan tumbuh, malah bisa jadi akan dipatuk ayam.

Artinya, janganlah menonjolkan diri, tapi benamlah dirimu ke dalam ketidakterkenalan.

Selain itu, Kiai Hamid juga kerap meme lesetkan pesan-pesan Jawa agar mudah dicerna oleh
masyarakat. Seperti saat menyampaikan ungkapan, "Kembang jagung dipetik Cino, barang wis
kadung ya jarno" (kembang jagung dipetik Cina, barang yang sudah terlanjur ya dibiarkan).

Kiai Hamid memelesetkannya menjadi, "Kembang jagung dipetik Cino, barang wis kadung yo
dibenakno" (kembang jagung di petik Cina, barang yang sudah terlanjur ya diperbaiki).

Dalam menyampaikan ajaran Islam, Kiai Hamid memang kerap memadukannya dengan kearifan
lokal. Dengan demikian, sesuatu yang berat dapat dicerna dengan santai oleh para pendengarnya,
tanpa rasa tegang. Dengan sikapnya yang arif dan bijaksana, ucapan dan tindakan Kiai Hamid
pun berpengaruh di tengah masya rakat.
 

Meninggal Dunia

Kiai Hamid wafat pada Sabtu, 25 Desember 1982 dalam usia 70 tahun. Kisah hidupnya telah
dijelaskan cukup lengkap dalam buku berjudul Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid
Pasuruan yang ditulis oleh Hamid Ahmad. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang kiprah
dakwah ulama yang meneduhkan itu.

Sebagaimana dituturkan dalam buku tersebut, kabar wafatnya Kiai Hamid pun segera menyebar,
lewat radio, dari mulut ke mulut, dan dari telepon ke telepon. Umat da tang berbondong-bondong
untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru.

Mereka seperti tak percaya Kiai Hamid meninggal, sehingga banyak yang menangis histeris.
Melihat begitu banyaknya pelayat, pihak keluarga pun tidak mau ambil risiko. Khawatir menjadi
rebutan, kerandanya pun diikat kuat-kuat. Menjelang Ashar keranda itu kemudian dibawa ke
masjid.

Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan lain karena saat itu orang tak bisa berjalan
sakingpadatnya. Terjadi tarikmenarik di antara mereka. Misalnya, ketika hendak keluar dari
kompleks pondok, sebagian orang hendak membawanya keluar dari gerbang barat, sebagian
lainnya ke arah gerbang timur. Sampai di masjid pun demikian.

Jasad beliau disemayamkan di kompleks makam sebelah barat masjid Agung al-Anwar
Pasuruan.

Kompleks ini memang diperuntukkan bagi para kiai dan habaib. Di sana antara lain ada makam
Habib Ja'far bin Syaikhon Asse gaff (guru Kiai Hamid), Kiai Achmad Qusyairi (paman sekaligus
mertua Kiai Hamid), dan Kiai Achmad bin Sahal (ipar Kiai Hamid).

Anda mungkin juga menyukai