Anda di halaman 1dari 6

MENGENAL CLIFFORD GEERTZ DARI DEKAT

Kalau Anda peminat masalah-masalah sosial di Indonesia, Anda pasti pernah mendengar namanya. Mengapa ia lebih dari sekadar antropolog akan diceritakan oleh Arief Budiman, yang mengenalnya secara pribadi.
Semua orang yang mempelajari masalah-masalah sosial di Indonesia, di dalam maupun di luar negeri, pasti mengenal nama Clifford Geertz. Bukunya, The Religion of Java, Peddlers and Princes, Agricultural Involution, Islam Observed, Interpretation of Cultures (yang merupakan kumpulan tulisantulisannya), dan yang terakhir Nagara, merupakan buku-buku klasik dalam ilmu sosial. Yang membuat Geertz menjadi penting bukanlah pengetahuannya tentang masalah-masalah sosial di Indonesia saja, tapi karena dia dapat mengangkat studi-studinya tentang Indonesia ke tingkat diskusi teori dalam ilmu antropologi. Dengan demikian, nama Geertz bukan saja dikenal di kalangan ahli tentang Indonesia, tapi juga di kalangan ahli antropologi dunia. Di bidang teori, Geertz dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam aliran antropologi simbolis, yang berusaha melihat gejala sosial tidak hanya sampai di permukaan saja, tapi mencoba memahaminya dalam konteks dunia nilai para pelakunya. Dengan demikian dia dapat melihat misalnya, bahwa pertunjukan Tari Barong dan Rangda di Bali bukan sekadar pertunjukan seni teater saja, melainkan sebuah upacara keagamaan, di mana penduduk desa ingin mendapatkan kepastian kembali bahwa para dewa masih ada di pihaknya. Kalau para dewa tidak ada di pihaknya, maka mungkin terjadi pelaku tari tersebut (yang menggunakan keris untuk melukai badannya) mengalami cedera. Karena itu, bagi penduduk desa di Bali, setiap upacara Tari Barong diikuti dengan hati yang berdebar-debar, karena tari ini merupakan sebuah pertanyaan kepada alam gaib dewa-dewa apakah mereka masih berpihak kepada mereka? Jawabannya bisa ya atau tidak.
1

Geertz juga berhasil memasukkan pengertian Islam Abangan dan Islam Santri ke dalam perbendaharaan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Dalam melakukan analisis masyarakat Jawa, dia membagi orang Jawa ke dalam dua kategori tersebut. Dengan Islam Abangan dimaksudkan orang-orang yang meskipun mengaku sebagai beragama Islam, sistem nilai yang dianutnya masih sangat dipengaruhi oleh agama Jawa (yang sangat dipengaruhi agama Hindu). Ini tercermin dalam tingkah lakunya, yang seringkali bertentangan dengan orang-orang yang tergolong dalam Islam Santri. Orang Islam Abangan ini banyak mengelompok di dalam Partai Masyumi, NU dan partaipartai Islam lainnya. Meskipun konsep-konsep itu mendapat macam-macam kritik dewasa ini, tetapi sumbangan Geertz dalam proses para ilmuwan untuk mengerti masalah sosial di Indonesia tidak bisa disangkal kegunaannya. Bukunya Agricultural Involution juga memberikan sumbangan yang besar terhadap pengertian kita tentang kemiskinan yang diakibatkan oleh kolonialisme yang dampaknya bukan saja masih terasa sampai sekarang, tapi membuat negara-negara yang pernah dijajah mengalami kesulitan dalam mengembangkan dirinya sekarang. Geertz secara meyakinkan menjelaskan perubahan struktural yang terjadi ketika penjajahan, sehingga ibarat orang yang sudah dibuat cacat, bangsa-bangsa yang pernah dijajah seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi miskin sepanjang zaman. Buku ini sedemikian berpengaruh, sehingga dia dipakai bukan saja oleh orangorang berhaluan liberal (Geertz termasuk dalam aliran ini), tapi juga oleh aliran yang radikal (kaum Marxis). Sekali lagi, meskipun konsep involusi pertanian di Jawa ini sekarang mendapatkan kritik-kritik yang hebat, sumbangan Geertz tidak dapat disangkal. Geertz yang saya kenal Membayangkan seorang tokoh dunia seperti halnya Clifford Geertz, kita barangkali akan menggambarkan seorang tinggi besar, berpakaian rapi, penuh kepercayaan diri, dan berjalan dengan angkuhnya di antara pengagum-pengagumnya. Gambaran ini ternyata tidak benar.
2

Saya adalah salah seorang yang beruntung yang dapat mengenal tokoh ini secara cukup dekat ketika saya belajar di Amerika. Ketika saya pertama kali bertemu dengan dia, gambaran yang saya bayangkan sebelumnya cair seperti es kena panas matahari. Geertz berpakaian kumal. Orangnya pendek gemuk serta wajahnya berewokan tipis. Dia sama sekali tidak angkuh, dia bahkan seorang pemalu. Dia tampak seolah-olah kurang percaya diri, terutama bila dia ada di tengah-tengah orang banyak. Dia gugup, bicaranya jadi cepat (sehingga sulit dipahami), kata-katanya seperti ditelan kembali ke dalam kerongkongannya. Saya sampai jadi sangsi, inikah Clifford Geertz, tokoh ilmu sosial dunia yang banyak dibicarakan? Saya bertemu Geertz pertama kali di Jakarta, di kantor Yayasan Ford. Pertemuan pertama ini membuat pikiran saya jadi campur aduk akibat bayangan ideal saya tentang dia seakan-akan kena torpedo oleh kenyataan yang sangat berlainan. Pertemuan kedua terjadi di Universitas Harvard, ketika dia memberikan ceramah. Saya sudah tidak terkejut lagi pada pertemuan kedua ini. Tapi saya masih penasaran, seakan-akan tidak rela karena bayangan ideal saya dirusak oleh kenyataan yang "buruk" ini. Pertemuan ketiga terjadi di kota New York dalam sebuah konperensi. Pada pertemuan inilah saya mendapat undangan untuk menjadi "asisten-nya" selama satu tahun di Institute for Advanced Studies di Princeton. Saya katakan "asisten" karena praktis saya tidak pernah disuruh kerja olehnya. Dia hanya memberi kesempatan bagi saya untuk menyelesaikan penulisan desertasi saya. Di Princeton, saya mengenal Geertz secara lebih dekat, meskipun tidak dekat benar. Kesulitan yang saya alami adalah karena dia seorang pemalu yang gugup kalau berbicara dengan orang lain, sedangkan saya menjadi gugup kalau bicara dengan dia karena saya selalu sadar bahwa saya sedang bicara dengan seorang besar. Perasaan ini memang lama-lama mencair, tapi tampaknya waktu satu tahun tidak cukup untuk meruntuhkan dinding pemisah yang ada.

Sekali, saya pernah bertanya kepadanya, bagaimana dia dapat menulis dengan gaya bahasa yang begitu menarik. Ini memang salah satu kekuatan Geertz. Tulisan-tulisan ilmiahnya, meskipun isinya berat, selalu dituliskan dengan gaya bahasa yang memikat. Saya tanyakan apakah dia harus menuliskan sebuah naskah sampai beberapa kali. Geertz berkata, dia sendiri tidak tahu bagaimana gaya tersebut muncul. Dia muncul begitu saja. Dia mengatakan bahwa sebelum dia menjadi ilmuwan, dulu memang dia bercita-cita untuk menjadi seorang novelis. Dia pernah menuliskan beberapa cerita. Mungkin, latihan gaya penulisan diperolehnya dari sini. Dia menambahkan, dalam menuliskan karya ilmiahnya sekarang, biasanya langsung sekali jadi. Tapi memang, sebelum karya tersebut dituliskan, dia benar-benar sudah menggodoknya di dalam benaknya sampai lama sekali. Jadi, sekali keluar, "masakan" itu jadi, dan enak. Kalau dia mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, dalam menulis dia merupakan seorang yang tekun. Kantor Geertz kebetulan ada di muka kantor saya. Kantor itu besar, dipenuhi oleh buku-buku yang diatur dengan cukup rapi. Pada dinding saya lihat ada lukisan-lukisan Bali, juga di rak bukunya ada beberapa patung Bali. Dia biasanya datang pagi-pagi ke kantor tersebut, kemudian dia terbenam dalam kerjanya. Hanya pada waktu makan siang kadang-kadang saya lihat dia di kantin. Rambutnya acak-acakan tidak tersisir rapi, bajunya juga agak kumal. Kemudian masuk lagi ke kantornya, untuk muncul kembali sore hari, pulang ke rumah yang letaknya kira-kira setengah kilometer dari kantor tersebut. Kalau saya masuk ketika dia tengah bekerja, tampak di mejanya penuh berserakan buku-buku. Beberapa masih terbuka, baru habis dibaca atau dikutip bagian-bagiannya. Dibutuhkan beberapa saat untuk "mengeluarkan" dia dari dunianya ini, sampai dia menyadari kehadiran saya. Sesudah dia "sadar", maka dia kemudian menjadi sangat ramah. Biasanya saya yang menjadi gugup, karena merasa telah mengganggu dia dari mimpinya yang indah.
4

Ilmu sosial di Indonesia Dengan Geertz saya sempat berbincang-bincang tentang ilmu sosial di Indonesia. Pada saat itu, saya bertanya kepada Geertz tentang apa yang sebaiknya saya lakukan bila kembali ke Indonesia. Saya katakan saya tidak ingin menjadi sekadar ilmuwan yang tahu tentang masalah-masalah yang ada. Saya ingin dapat memperbaiki nasib bangsa Indonesia dengan ilmu yang saya dapatkan. Apakah ini artinya saya harus terjun ke dalam kegiatan di bidang politik? Menurut Geertz, sebaiknya saya tetap menjadi ilmuwan. Karena di Indonesia sangat dibutuhkan ilmuwan yang baik, yang tekun dengan bidang ilmunya, dan dapat mengembangkan teori. Masih terlalu sedikit jumlah ilmuwan sosial yang benar-benar secara profesional menekuni ilmunya. Akibatnya, lowongan ini diisi oleh ilmuwan-ilmuwan sosial asing. Ini perlu disayangkan, katanya. Dia juga mengatakan sesuatu hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Saya tanyakan mengapa ilmuwan Indonesia, terutama ilmuwan sosial tentunya, kurang dikenal di dunia internasional? Ini sangat berlainan dengan ilmuwan di Amerika Latin, Afrika dan beberapa negara Asia, misalnya India. Menurut Geertz ini karena Indonesia mendapat penjajah yang salah, yakni Belanda. Bahasa Belanda sangat sedikit digunakan. Akibatnya pikiran-pikiran orang Indonesia tidak masuk ke dalam pergaulan ilmiah internasional. Generasi muda yang sekarang belajar bahasa Inggris, menguasai bahasa ini secara kurang sempurna. Ini berlain-an dengan ilmuwan-ilmuwan Amerika Latin, Afrika dan di India. Mereka dengan lincah dapat berkomunikasi dengan salah satu bahasa dunia. Setahun hidup berdekatan dengan Clifford Geertz memang belum membuat saya berhasil menjadi dekat benar dengan orang ini. Tapi apa yang dapat saya pelajari dari dia cukup banyak. Pertama, kelugu-annya: sebagai orang dengan nama yang besar, dia tetap sederhana dalam penampilan dan sikapnya terhadap orang lain. Kedua, kesungguhannya sebagai seorang ilmuwan sangat mengesankan saya. Kiblatnya
5

hanya satu: mencari kebenaran. Status, ketenaran, dan jabatan tinggi hanyalah sampiran. Dengan kiblat pencarian kebenaran inilah dia jadi dapat menghargai pendapatpendapat yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Ini saya alami sendiri, karena pada dasarnya pendapat saya bertentangan dengan pendapat Geertz. Kalau dia dapat dianggap sebagai guru saya, maka saya anggap dia adalah seorang guru yang baik, kerena telah berhasil mengembangkan sikap kritis dari murid-muridnya.

Anda mungkin juga menyukai