Anda di halaman 1dari 11

AGAMA DAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF CLIFORLD

GEERTZ

Mata Kuliah Antropologi Agama

Dosen Pengampu:

Prof. H. Dr. Kunawi Basyir, M. Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 4

1. Ismaiyah (07020222032)
2. Kholifia Nur Fadlilah (07020222033)
3. Maulyna Putri S (07020222034)
4. M. Iqbal Dhiya Ulhaq (07020222035)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
2023
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan keberagaman sosial yang besar.
Keberagaman tersebut menimbulkan banyak interaksi unik yang berbeda-beda dan
menjadikan nusantara kaya akan warisan budaya, termasuk budaya religi Pulau Jawa.
“Jawa tidak mudah dikarakterisasi oleh satu label atau dikarakterisasi oleh satu tema
dominan,” kata Clifford. Pulau ini memiliki peradaban yang lebih tua dari Inggris, yang
telah dilalui oleh orang India, Arab, Cina, Portugis, dan Belanda selama lebih dari 1.500
tahun. Saat ini, Jawa memiliki salah satu populasi terbesar di dunia, dunia seni yang
paling berkembang, dan pertanian paling intensif. Sungguh benar bahwa dalam
menggambarkan agama sebuah peradaban yang begitu kompleks sebagaimana peradaban
Jawa, pandangan tunggal sederhana manapun pasti tidak memadai.1
Clifford Geertz, seorang antropolog yang turut menyumbangkan sumbangsih
gagasannya mengenai pro dan kontra antara keduanya. Baginya agama yang telah dianut
dan diimplementasikan di dalam sebuah masyarakat dapat dikaji tanpa harus
mempertentangkan keduanya. Clifford Geertz melihat keduanya saling memberi mengisi,
agama tanpa kebudayaan tidak dapat diaktualisasikan, sedangkan kebudayaan tanpa
agama tidak dapat ditemukan makna yang mendalam.
Artikel ini bertujuan untuk memenuhi tugas presentasi dalam mata kuliah
antropologi agama dengan topik agama dan budaya perspektif Clifford Geertz serta untuk
melengkapi kajian-kajian mengenai agama dan budaya yang telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu. Selain itu juga untuk menempatkan gagasan Clifford Geertz di antara sekian
tawaran formulasi relasi yang proporsional antara agama dan budaya. Secara garis besar,
artikel ini menjelaskan tentang gagasan yang ditawarkan oleh Clifford Geertz tentang
agama dan budaya yang didasarkan pada risetnya yang sudah dibukukan dalam buku
“The Religion of Jawa” yang mana dalam buku terzebut menjelaskan tentang sosial
masyarakat yang dikenal dengan Abangan, Santri dan Priyayi dalam kebudayaan Jawa.

1
Adelina Fauziah, Agama Sebagai Fenomena Kebudayaan Dalam Pandangan Clifford Geertz, Jakarta, 2021,
hlm. 1.
B. Biografi Clifforld Geertz
Clifford Geertz lahir di San Francisco, California pada tanggal 23 Agustus 1926.
Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan Angkatan Laut Amerika Serikat selama Perang
Dunia II dari tahun 1943 hingga 1945. Setelah itu, karir akademisnya dimulai di
Universitas Antiokhia di 'Ohio. Di sini, Clifford Geertz belajar bahasa Inggris, kemudian
beralih belajar filsafat hingga lulus pada tahun 1950. Tahun berikutnya, Clifford Geertz
menjadi mahasiswa antropologi di Universitas Harvard bersama istrinya, Hildred Geertz.2
Pada tahun 1952 hingga 1954, ia dan istrinya melakukan penelitian di wilayah
Mojokuto. Kemudian, dalam enam tahun, ia memperoleh gelar doktor dari Departemen
Hubungan Sosial di Harvard. Hal ini dipertanyakan dengan keberhasilan penelitiannya
selama dua tahun tentang masyarakat multiagama di Indonesia bersama istrinya (Agus,
2007: 142-143). Pada tahun 1956, ia kembali melakukan penelitian di Indonesia, lebih
tepatnya di Bali. Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia setelah
melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting
tentang Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang berkaitan dengan kajian
Penulis, adalah kajiannya tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan
priyayi). Setelah menyelesaikannya dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi profesor di
Universitas California, Berkeley.
Di California, Clifford Geertz hanya bertahan dua tahun. Kemudian, pada tahun
1960-an dan 1970-an, Clifford Geertz pindah ke Universitas Chicago. Setelah periode ini,
ia menjadi profesor antropologi di Institute for Advanced Study di Princeton (Shonhaji,
2010: 19). Selain itu, Clifford Geertz juga disebut-sebut menjadi profesor tamu di
beberapa universitas ternama, seperti Universitas Oxford. Kemudian, selama kurun waktu
25 tahun, dari tahun 1975 hingga 2000, Clifford Geertz juga menjadi profesor tamu di
Universitas Princeton yang terletak hanya 1,2 mil dari Institute for Advanced Study di
Princeton. Tahun 2000 juga menjadi tahun terakhir bagi karier akademiknya.
Meski demikian, Clifford Geertz tetap produktif dengan terus menyumbangkan
pemikirannya, baik secara tertulis maupun melalui konferensi. Clifford Geertz meninggal
dunia pada hari Selasa, 31 Oktober 2006. Ia meninggal setelah menjalani operasi jantung
di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, AS (Aji, 2016: 117). Selama 80 tahun
eksistensinya, Clifford Geertz banyak menyumbangkan karya yang hingga saat ini masih

2
Ahmad Sugeng Riyady, Agama dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford Geertz, Jurnal Sosiologi
Agama Indonesia, Vol. 2 No. 1, 2021, hlm. 1566.
menimbulkan perdebatan sengit di kalangan sarjana dan peneliti Indonesia. Beberapa
karyanya antara lain Agama Jawa (1960) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Aswab Mahasin sebagai Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa
(1981); Evolusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologis di Indonesia (1963) juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Evolusi Pertanian: Proses Perubahan
Ekologis di Indonesia; Islam yang Diamati: Perkembangan Keagamaan di Maroko dan
Indonesia (1968); Menafsirkan Budaya (1973) dan lain-lain (Aji, 2016: 118).

C. Agama dan Kebudyaan Prespektif Clifford Geertz


Clifford Geertz memiliki definisi dan operasi yang sangat baru pada masanya,
berbeda dengan kebanyakan tokoh yang berbicara tentang agama dan kebudayaan. Geertz
melihat agama sebagai fakta yang dapat dikaji karena dia melihat agama sebagai bagian
dari struktur kebudayaan. Bagaimana Geertz melihat Islam Jawa, yang terbagi menjadi
tiga ini, tetap termasuk dalam kategori Islam, menunjukkan definisi agamanya. Geertz
melakukan penelitian Islam Jawa dan sampai pada kesimpulan bahwa eksistensi agama
Islam tidak dapat berdiri sendiri. Islam terakomodasi dan terakulturasi dengan budaya
Jawa yang sangat kompleks untuk tetap hidup dan berkembang di masyarakat. Menurut
Geertz, tiga jenis definisi agama Islam—Islam Abangan, Islam Santri, dan Islam Priyayi
diciptakan sebagai akibat dari proses akulturasi antara Islam dan budaya Jawa ini.
Geertz lebih melihat agama sebagai nilai-nilai budaya, yang dia anggap sebagai
kumpulan makna di mana setiap orang menafsirkan dan mengatur pengalamannya.
Dengan mengikuti nilai-nilai ini, pelaku dapat mendefinisikan dunia dan cara mereka
akan bertindak. Geertz membagi budaya dan masyarakat Jawa menjadi tiga jenis varian
yang berbeda. Dia melihat agama Jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara
tradisi yang memiliki unsur animisme dengan agama Hindu dan Islam, yang kemudian
berkembang menjadi sinkretisme.
Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan sendiri sebagai teks atau dokumen
tindakan yang bersifat publik, konteks yang mendalam (Geertz, 1999: 17), ciptaan
(Geertz, 1999: 19), dan ekspresi tingkah laku sosial (Geertz, 1999: 21). Menurut definisi,
manusia sering menggunakan simbol untuk berkomunikasi, menunjukkan bahwa mereka
adalah makhluk simbolik. Sebuah jaringan kebudayaan dibentuk oleh interpretasi
manusia terhadap simbol tersebut (Soehadha, 2014: 81). Oleh karena itu, kebudayaan
masyarakat tidak hanya untuk dijelaskan; itu juga untuk menemukan dan memahami
makna simbol. Clifford Geertz melihat kebudayaan sebagai teks yang berjalan. Oleh
karena itu, untuk
memahami maknanya, seseorang harus menafsirkannya dengan cara yang sama seperti
orang yang membaca teks.
Makna-makna ini, menurut Clifford Geertz, bersifat umum. Ini ditunjukkan oleh
fakta bahwa kebudayaan adalah produk sejarah (Nasruddin, 2011: 36). Simbol atau ritual
dapat ditransfer dari generasi ke generasi. Selain itu, hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa kebudayaan terdiri dari berbagai struktur makna yang berubah sepanjang waktu.
Mereka dapat ditambahkan, dikurangi, atau dihilangkan berdasarkan pengaruh dan
kondisi zaman. Selain itu, penelitian dilakukan secara mikroskopis untuk menemukan
makna- makna yang mendalam ini. Peneliti mendefinisikan etnografi sebagai penelitian
tentang klan, marga, suku, ritual, atau desa tertentu.

D. Abangan
Dalam sistem keagamaan Jawa, slametan dianggap sebagai pusat tradisi yang
menunjukkan kolaborasi misterius dan sosial. Di sana, orang-orang berkumpul di meja
bersama dengan ruh gaib dan semua yang hadir untuk memenuhi keinginan setiap orang
tentang peristiwa yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Siklus slametan yang
dikenal dalam tradisi slametan terdiri dari (1) yang berkaitan dengan kesulitan hidup (2)
yang berkaitan dengan hari besar Islam tetapi mengikuti penanggalan Jawa (3) yang
berkaitan dengan integrasi desa dan (4) slametan sela untuk peristiwa luar biasa yang
ingin dislameti. Semua ini menunjukkan betapa slametan memainkan peran penting
dalam setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berdampak pada tingkah laku
sosial dan mengembalikan keseimbangan emosional individu.
Bagi abangan, kepercayaan kepada roh dan makhlus halus adalah dasar, seperti
kewajiban mereka untuk melakukan slametan. Mereka percaya bahwa ada memedi,
lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa-bangsa lain yang tidak bermoral. hal yang
berdampak pada harapan, kesedihan, dan kesehatan mental. Semuanya menunjukkan
bahwa kebudayaan mengalahkan alam dan manusia mengalahkan makhluk lain.3
Selain agama abangan, kepercayaan tentang roh dan berbagai slametan merupakan
dua subkategori. Yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir, dan magi yang berfokus
pada peran dukun. Dalam gambar, kebudayaan orang Jawa berkembang, hutan tropis
yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhluk halus mundur ke sisa
belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia. Selain agama abangan, kepercayaan
tentang roh dan berbagai slametan merupakan dua subkategori. Yang ketiga adalah
kompleks

3
Ibid, hlm. 36.
pengobatan, sihir, dan magi yang berfokus pada peran dukun. 4 Salah satu jenis dukun
adalah bayi, pijet, prewangan, calak, wiwit, temanten, petungan, dukun sihir, susuk, japa,
jampi, siwer, dan tiban. Semua orang di Mojokuto tahu ada dukun, tetapi apakah mereka
benar-benar percaya pada mereka? Itu juga disebut kecocokan.
E. Santri
Jemaah muslim Mojokuto terkristal dalam latar abangan yang umum. Mereka
yang berasal dari kelas pedagang dan banyak petani di utara Jawa menciptakan jenis
santri yang berbeda. Abangan tidak peduli dengan doktrin dan tertarik pada upacara,
sementara santri fokus pada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis.
5
Ini adalah perbedaan yang mencolok antara santri dan abangan. Empat lembaga sosial
utama terdapat di Mojokuto: parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah
dan Depag, dan jamaah masjid dan langgar. Keempatnya berhubungan dengan santri
kontemporer dan lama. Di Mojokuto, ada tiga tempat di mana komunitas santri
berkumpul: petani santri kaya di desa, pedagang kecil di kota, dan keluarga penghulu
santri atau aristokrasi.
Di antara mereka, perbedaan sosial inilah yang menyebabkan pertengkaran.
Kesamaan agama santri dapat menyelesaikannya. Antara tahun 1953 dan 1954, ada PSII
yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan keluarga mereka, partai NU bergabung
sebagai Orsos dan Parpol dalam satu organisasi yang agak lemah, dan Masyumi sedikit
lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah
sendiri sebagai organisasi sosial. 6Geertz membagi santri modern dan konservatif menjadi
lima kategori yang berbeda: kehidupan yang ditakdirkan dibandingkan dengan kehidupan
yang ditentukan sendiri, perspektif yang otoriter dibandingkan dengan terbatas, Islam
sinkretik dibandingkan dengan Islam murni, perhatian pada pengalaman religius
dibandingkan dengan penekanan pada aspek instrumental agama, pembenaran tradisi dan
madzhab dibandingkan dengan pembenaran purifikasi pragmatis dan umum.7
Jadi, pandangan dunia santri yang bodoh sebenarnya lebih seperti abangan.
Hubungan antara santri konservatif dan modern lebih berfokus pada penyikapan terhadap
abangan. Jika modernis menekankan isolasi dan purifikasi, para pemimpin agama
konservatif mencoba menemukan jalan tengah yang sesuai dengan tradisi.
Pengorganisasian politik yang sama dipengaruhi oleh perspektif agama santri modernis
dan

4
Ibid, hlm. 116.
5
Ibid, hlm. 172.
6
Ibid, hlm. 199.
7
Ibid, hlm. 271.
konservatif. Masyumi Muhammadiyah dan PSII adalah kelompok progresif modernis,
sedangkan Nahdlatul Ulama adalah kelompok konservatif. Sementara Masyumi-
Muhammadiyah mengalami konflik antara yang saleh dan yang sekuler atau menjaga agar
Islam modernis tidak menjadi sekuler, NU mengalami konflik antara generasi mudanya
yang terpelajar dan terpengaruh oleh kiai-kiai pedesaan di kota. 8 Mengembangkan metode
pendidikan yang unik dan terus menerus untuk mempertahankan doktrin guru mereka. Di
antaranya adalah pondok, yang merupakan model santri tradisional; langgar dan masjid,
yang merupakan komunitas santri lokal; kelompok tarekat, yang merupakan model mistik
Islam tradisional; dan model sekolah yang dibuat oleh gerakan modernis.
Pertemuan antara pola pondok dan sekolah menghasilkan jenis pendidikan baru.
Guru memasukkan pelajaran doktrin ke sekolah negeri atau sekolar. Santri konservatif
melihat konsep negara Islam sebagai teokrasi di mana para kyailah memegang kekuasaan.
Meskipun demikian, modernis berpendapat bahwa konstitusi yang menetapkan hukum
harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis, dan bahwa orang non-muslim tidak boleh
menjadi pemimpin negara. Geertz menganggap DEPAG sebagai perjanjian dua siswa
untuk keberadaan negara nasional. Pada akhirnya, kompetisi siswa-siswa untuk
menguasai birokrasi DEPAG. Dalam beberapa hal, perbedaan antara santri modernis dan
konservatif masih memengaruhi pola ibadat santri di Mojokuto, yang mencakup
sembahyang, shalat Jumat, dan puasa. Masalah seperti khutbah, teraweh, tadarus, dan
akhir liburan puasa adalah hal-hal yang membedakan santri dengan abangan dan priyayi.

F. Priyayi
Priyayi adalah representasi aristokrasi Jawa, dan sebagian besar dari mereka
tinggal di kota karena ketidakstabilan politik di kerajaan sebelum kolonial dan pandangan
filosofis mereka tentang upaya Belanda untuk merangkul petani dan prestasi mistik.
Mereka adalah birokrat, bangsawan yang bekerja dengan gaji, dan klerk atau juru tulis.
Aslinya, priyayi adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa dari kehidupan kota
selama hampir enam belas abad, tetapi mereka berkembang karena campur tangan
Belanda pada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Dunia dilihat oleh para priyayi dengan cara yang baik dan buruk. Alis berarti
murni, berbudi halus, halus, sopan, indah, lembut, beradab, dan ramah. Tradisi kromo-
inggil, kain bagus, dan musik alus adalah simbolnya. Konsep "alus" juga dapat mengacu
pada apa pun yang semakna dengan istilah "alus". Alus adalah kebalikan dari alus,
bahasa kasar, dan

8
Ibid, hlm. 227.
tingkah laku kasar. Konsep priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar.
Namun, aspek "keagamaan" kehidupan priyayi berfokus pada etiket, seni, dan mistik.
Rasa menggabungkan ketiganya.
Empat prinsip utama yang menjiwai etika priyayi: pakaian yang sesuai dengan
posisi yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan, dan menghindari tindakan bodoh
atau tidak sadar diri. Priyayi menawarkan berbagai cara untuk menunjukkan sesuatu
tetapi tetap berpegang pada prinsip ini. Ini adalah hal yang membedakan priyayi dari
orang lain: mereka kaku, bertingkat, dan formal. Wayang, gamelan, lakon, joged,
tembang, dan batik dianggap sebagai bentuk seni alus oleh para priyayi. Tidak seperti
ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng yang dianggap sebagai seni yang kasar. Dan nilai-
nilai priyayi disampaikan melalui seni. Priyayi Mojokuto, misalnya, tidak mungkin
mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Mistik adalah sudut pandang priyayi terhadap aspek religius. Mistik yang
dimaksud adalah set aturan praktis yang digunakan untuk memperbaiki kehidupan batin
orang yang didasarkan pada analisis intelektual atau pengalaman mereka sendiri.
Pengetahuan tentang rasa adalah tujuan pencarian mistik, dan priyayi harus
mengalaminya. Ritual yang dilakukan adalah jenis tapa dan semedi dalam keadaan ngesti,
di mana semua kekuatan individu dikumpulkan dan difokuskan pada satu tujuan,
memusatkan kekuatan fisik dan psikologisnya pada satu tujuan tertentu.9 Sekte mistik
Mojokuto yang formal memiliki anggota dari priyayi seperti wedana, mantri polisi,
penilik sekolah, juru gambar, dan pejabat lainnya.
Banyak kritik terhadap kategori Geertz ini, tentu saja. Misalnya, dianggap bahwa
ia menggabungkan kata priyayi, yang merupakan kategori kelas, dengan kata santri dan
abangan, yang merupakan kategori keagamaan. Orang-orang percaya bahwa Geertz
kurang memahami teks normatif Islam sehingga dia menganggap tradisi selamatan Jawa
hanyalah lokal dan tidak terkait dengan ajaran normatif Islam.
Pada kenyataannya, kelompok itu sudah tidak ada lagi dan tidak berguna,
terutama jika diurutkan berdasarkan afiliasi politik mereka. Orang-orang yang tergabung
dalam ormas atau parpol, yang sebelumnya dianggap sebagai tempat tinggal abangan,
tidak kalah taatnya dengan santri. Mereka melakukan shalat, berpuasa, membayar zakat,
dan naik haji, dan kadang-kadang juga mendirikan lembaga sosial Islam. Klaim ini harus
diubah karena orang yang disebut santri dan abangan lebih individu daripada kelompok
sosial atau politik.

9
Ibid, hlm. 430.
Selain itu, dikotomi ini menimbulkan masalah hierarki otoritas keagamaan dan kesalehan.
Apalagi jika istilah-istilah ini digunakan untuk tujuan politik.1019 Ahli sejarah sosial
Harsya Bachtiar adalah salah satu yang menentang ide-ide Geertz. Dia mencoba
menggabungkan ide-idenya dengan realitas sosial, dan salah satu ide yang dia tolak
adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan berbeda dengan
mutihan sebagai ketaatan beragama daripada kelas sosial. Dengan cara yang sama,
gagasan priyayi juga bertentangan dengan gagasan wong cilik dalam klasifikasi sosial.
Akibatnya, terjadi kekacauan dalam klasifikasi abangan, santri, dan priyayi.
Banyak tulisan yang bernada membela Geertz juga. Ada tulisan Beatty di
antaranya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan bahwa Islam Jawa pada
dasarnya adalah Islam sinkretik, atau perpaduan antara Islam, Hindu atau Buddha, dan
kepercayaan animistik. Ditunjukkan melalui pendekatan multivokalitas bahwa Islam Jawa
sebenarnya merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa terdiri dari kombinasi berbagai
elemen yang telah menyatu sehingga tidak dapat lagi disebut sebagai Islam. Islam
hanyalah bagian darinya, tetapi inti darinya adalah keyakinan lokal. Dia percaya bahwa
inti agama Jawa adalah slametan, dan inti ritual tersebut adalah keyakinan lokal yang
berasal dari sinkresi dari keyakinan Islam, Hindu/Budha, dan animisme.

10
Subair, Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa, Dialektia, Vol. 9, No. 2,
2015, hlm. 43.
Kesimpulan
Clifford Geertz dalam kajiannya tentang agama dan budaya di Indonesia membedakan
tiga kelompok utama: "abangan," "priyayi," dan "santri." Abangan adalah kelompok yang
mencerminkan keragaman dalam praktik keagamaan, dengan pencampuran unsur-unsur
agama tradisional Jawa dan Islam. Mereka seringkali lebih santai dalam praktik keagamaan
mereka. Priyayi adalah kelas sosial yang lebih tinggi, seringkali memegang tradisi Islam yang
lebih ortodoks, dan memiliki peran politik dan pemerintahan yang signifikan. Santri adalah
kelompok yang sangat ortodoks dalam Islam dan berfokus pada pendidikan agama. Mereka
mewakili pendekatan yang lebih puritan dalam Islam. Dalam keseluruhannya, Geertz
menyoroti peran agama dalam membentuk identitas dan struktur sosial di Indonesia. Dalam
konteks ini, agama tidak hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga alat untuk memahami
ketidaksetaraan dan keragaman sosial dan budaya di masyarakat. Karyanya membantu kita
memahami dinamika kompleks antara agama, budaya, dan identitas sosial di Indonesia.
Santri adalah kelompok Islam yang sangat ortodoks yang berkonsentrasi pada pendidikan
agama. Mereka adalah representasi dari tradisi Islam yang lebih puritan. Dalam
keseluruhannya, Geertz menekankan bagaimana agama membentuk struktur sosial dan
identitas di Indonesia. Agama tidak hanya berfungsi sebagai alat spiritual dalam situasi ini,
tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk memahami perbedaan dan keragaman sosial dan
budaya yang ada di masyarakat. Karena karyanya, kita dapat memahami dinamika yang
kompleks antara agama, budaya, dan identitas sosial Indonesia.
Daftar Pustaka
Fauziah, Adelina, (2021). Agama Sebagai Fenomena Kebudayaan Dalam Pandangan Clifford
Geertz, Jakarta.
Mahasin, Aswab, Dkk, (2013). Clifford Geertz Agama Jawa, Komunitas Bambu, Depok.

Riyady, Sugeng, Ahmad, (2021). Agama dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif Clifford
Geertz, Jurnal Sosiologi Agama Indonesia, 2 (1).

Subair, (2015). Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa,
Dialektia, 9 (2).

Anda mungkin juga menyukai