Anda di halaman 1dari 17

AGAMA DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF

CLIFFORD GEERTZ

NASKAH KOMPREHENSIF
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:
FITRIANI
NIM: 1917502012

PROGRAM STUDI STUDI AGAMA AGAMA


JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
PROFESOR KIAI HAJI SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
2022
A. Biografi Singkat Clifford Geertz
Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California pada
tanggal 23 Agustus 1926. Sejak usia 17 tahun ia mulai bergabung
dengan pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat pada masa Perang
Dunia II antara tahun 1943-1945. Kemudian karier akademiknya
dimulai dari Antioch College di Ohio. Di situ, Clifford Geertz
menekuni Bahasa Inggris kemudian beralih minat ke kajian filsafat
sampai lulus pada tahun 1950. Di tahun selanjutnya Clifford Geertz
menjadi mahasiswa antropologi di Universitas Harvard bersama
dengan istrinya, Hildred Geertz. Pada tahun 1952-1954, ia bersama
dengan istrinya melakukan penelitian di wilayah Mojokuto.
Kemudian dalam kurun waktu enam tahun, ia berhasil meraih gelar
doktor dari Harvard’s Departemen of Social Relations. Hal ini
ditengarai oleh keberhasilan risetnya selama dua tahun tentang
masyarakat multiagama di Indonesia bersama istrinya.
Pada tahun 1956, ia kembali melakukan risetnya di Indonesia,
tepatnya di Bali. Setelah rampung dua tahun kemudian, ia diangkat
menjadi staf pengajar Universitas California di Barkeley. Di
California, Clifford Geertz hanya bertahan dua tahun. Setelah itu,
dalam kurun satu dasawarsa antara tahun 1960-1970, Clifford
Geertz pindah ke Universitas Chicago. Setelah masa itu, ia menjadi
profesor antropologi di Institut for Advance Study di Princenton
(Shonhaji, 2010: 19). Selain itu, Clifford Geertz tercatat pernah
menjadi profesor tamu di beberapa universitas ternama misalnya di
Universitas Oxford. Kemudian dalam kurun waktu 25 tahun,
terhitung sejak tahun 1975-2000, Clifford Geertz juga menjadi
profesor tamu di Universitas Princenton yang hanya berjarak 2
kilometer dari Institut for Advance Study di Princenton. Tahun 2000
juga menjadi tahun terakhir bagi karier akademiknya. Kendati
demikian, Clifford Geertz masih produktif dengan tetap memberi
sumbangsih pemikirannya, baik melalui tulisan maupun ceramah.
Clifford Geertz tutup usia pada hari Selasa, 31 Oktober 2006. Ia
meninggal setelah melakukan operasi jantung di Rumah Sakit
Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Selama 80 tahun
usianya, Clifford Geertz menyumbang banyak sekali karya yang
sampai hari ini masih menjadi perbincangan hangat di kalangan
akademisi dan peneliti di Indonesia. Beberapa karya-karyanya
antara lain The Religion of Java (1960) yang telah dialihbahasakan
oleh Aswab Mahasin ke bahasa Indonesia dengan judul Abangan,
Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981); Agricultural
Involution: the Processes of Ecological Change in Indonesia (1963)
yang juga telah dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia dengan
judul, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia;
Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia
(1968); The Interpretation of Cultures (1973), dan lain-lain.
B. Pengertian Agama dan Budaya
Dilihat dari bahasa Sansekerta agama memiliki makna a
yang artinya tidak dan gama yang memiliki makna kacau. Apabila
dua makna tersebut disatukan akan memiliki makna tidak kacau.
Dengan demikian fungsi dari agama dalam konteks ini artinya
memelihara integritas baik seorang individu maupun berkelompok
kaitannya dengan Tuhan, manusia maupun dengan alam agar tidak
kacau. Agama ialah kepercayaan. Kepercayaan adalah bentuk dari
hasil berpikir, karena seseorang yang mempercayai maupun tidak
mempercayai Tuhan, memiliki agama ataupun tidak memiliki
agama, merupakan hasil yang diperoleh dari pemikiran tiap indvidu.
Dalam interpretasi lain, agama dipandang sebagai sebuah
kepercayaan yang menurunkan bermacam-macam perilaku
keagamaan.
Ada beberapa definisi agama yang dikemukakan oleh para
ahli yaitu menurut Parsudi diterangkan bahwa agama adalah suatu
system kepercayaan yang diikuti dan perbuatan yang dijalankan
oleh sebuah kelompok atau dalam lingkup yang lebih besar yaitu
masyarakat dalam melaksanakan dan memberi respon terhadap
apa yang dipercaya sebagai sesuati yang ghaib dan suci
Beralih ke budaya, secara bahasa Sansekerta kata budaya
berasal dari kata budi-daya. Secara harfiah memiliki pengertian
yang berarti hal-hal yang berkesinambungan dengan pikiran dan
hasil dari tenaga pikiran tersebut. Beberapa definisi terkait budaya
disampaikan oleh para ahli yaitu menurut Koenjtaraningrat, yang
mengartikan bahwa kebudayaan adalah aktivitas menyeluruh yang
mencakup tindak-tanduk, perbuatan serta tingkah laku manusia dan
hasil karyanya yang diperoleh dari belajar. Kemudian menurut
Sukarno, budaya merupakan rekaan hidup yang berasal dari
manusia itu sendiri. Sementara itu menurut David J. Hessel Grave
dan Edward Rommen menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan
sebagai bentuk pengetahuan guna terciptanya berbagai karakter,
pola komunikasi (bahasa), nilai dan jenis alat yang khas bagi
kebudayaan selanjutnya. Sedangkan definisi kebudayaan yang
dikemukakan oleh E.B Tylor menganggap bahwa kebudayaan
adalah sesuatu yang pelik dalam hal ini meliputi budi pekerti,
kesadaran, tradisi, kesenian dan kompetensi yang lainnya serta
kebiasaan yang biasa terjadi di kehidupan bermasyarakat.
Rangkaian dari sebuah proses berpikir, menurunkan,
melakukan demikian merupakan langkah dari sebuah kebudayan.
Dengan proses yang terjadi dapat dikatakan bahwa budaya
merupakan peruntungan manusia atau bisa juga dikatakan bahwa
manusia ialah makhluk berbudaya. Bagian yang nyata dari budaya
manusia yaitu ketika manusia melakukan sesuatu untuk
mempengaruhi lingkungannya agar tercipta situasi baru yang
sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Dengan realitas yang
ada, budaya maupun kebudayaan adalah sebuah tabiat yang
mengubah dari realitas satu ke realitas yang lain, hasil perubahan
yang dilakukan oleh manusia adalah sebuah kebudayaan. Apabila
Tuhan menciptakan alam semesta, lalu manusialah yang
mengubah alam.
C. Posisi Agama dan Kebudayaan di Masyarakat
Agama dan budaya adalah dua hal yang saling berkaitan dan
sulit untuk terpisahkan. Ada kalanya agama meminjam “baju”
budaya dalam rangka penyampaian isi kandungan kalam Tuhan,
begitupun sebaliknya budaya menjadikan agama berimprovisasi
dan melebur lentur dalam keseharian ekosistem lingkungan
tertentu. Ketika ada suatu agama masuk pada masyarakat lain di
luar masyarakat pembentuknya, agama itu akan mengalami proses
penyesuaian dengan kebudayaan yang telah ada. Ada kompromi
nilai atau simbol dengan kebudayaan asal, sehingga menghasilkan
bentuk baru yang berbeda dengan agama atau budaya asal. Proses
akulturasi yang berangsur-angsur sedemikian rupa membuat Islam
sebagai ajaran agama dan Jawa sebagai entitas budaya menyatu,
dan membentuk sebuah budaya yang berbeda dari budaya asal.
Dalam sejarah agama, budaya menjadi faktor paling penting
terhadap eksistensi sebuah agama. Tanpa memasukan unsur
budaya, agama tidak akan mungkin bisa dipahami. Sebagai contoh,
Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang berbangsa
Arab, maka secara otomatis, Islam akan mengambil bentuk budaya
Arab, termasuk bahasa kitab suci. Seandainya Nabi Muhammad
lahir dan hidup di Indonesia, maka segala bentuk agama Islam pasti
akan terserap ke dalam budaya Indonesia. Dalam al-Qur‘an
ditegaskan bahwa setiap Nabi berbicara dengan bahasa kaumnya.
Bahasa-bahasa ini sudah barang tentu adalah produk budaya yang
dijadikan alat untuk membuat agama menjadi eksis. Agama tidak
bisa menjelaskan dirinya sendiri kepada manusia, karena pada
dasarnya agama bersifat sukar untuk dipahami, dan ketika agama
sudah bisa dipahami, maka pasti itu adalah campur tangan budaya.
Penjelasan ini memberikan arti penting budaya sebagai media
untuk memahami agama, yang tidak bisa dipisahkan satu-sama lain.
Dalam kehidupan manusia, jelas agama dan budaya tidak berdiri
sendiri. Keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat dalam
dialektikanya. Setiap agama dimanapun ia berkembang, selalu
menerima akomodasi budaya setempat yang kemudian
berkembang menjadi sebuah tradisi lokal yang cenderung hanya
berlaku pada tempat itu. Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur
yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep
atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-
karya yang dihasilkan masyarakat. Istilah lain, proses akulturasi
antara agama dan budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang
dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil
mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh
kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang
unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa
pengaruh budayanya. Pada karakteristik lain yaitu: mampu bertahan
terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi
unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya. Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap
aktivitas masyarakat, ajaran agama yang telah menjadi tradisi
budaya akan menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah agama berdialektika dengan budaya setempat, sehingga
menjadi unik, yang tidak sama dengan dialektika agama dan
budaya ditempat lain.
Menurut Clifford Geertz, agama sebagai bagian dari suatu
sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan
bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu
hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan
keteraturan kebudayaan dan bersamaan dengan itu agama juga
mencerminkan keteraturan tersebut. Bagi Geertz, kebudayaan
sebenarnya merupakan cikal bakal dari adanya agama itu sendiri.
Tanpa adanya kebudayaan, agama menjadi sesuatu yang abstrak
dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat. Konsep kebudayaan
yang dikemukakan oleh Geertz yaitu :
“(1) sebuah sistem symbol-simbol yang berlaku untuk (2)
menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat,
yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia
dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu
tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-
konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga
(5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas
realistis”. (Clifford Geertz, 1973:5)

Mengartikan bahwa kebudayaan digambarkan sebagai


sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang
termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat
menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan
mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu.
Untuk merunut keterlibatan antara agama dan budaya dalam
sistem simbol, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, sistem
simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan
ide kepada seseorang. Ide dan simbol tersebut bersifat publik,
dalam arti bahwa meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu,
namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan
simbol tersebut. Kedua, agama-dengan adanya simbol tadi bisa
menyebabkan seseorang marasakan, melakukan atau termotivasi
untuk tujuan-tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan
dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk
maupun benar dan salah bagi dirinya. Ketiga, agama bisa
membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi.
Dalam hal ini agama terpusat pada makna final (ultimate meaning),
suatu tujuan pasti bagi dunia. Keempat, konsepsi–konsepsi dan
motivasi tersebut membentuk pancaran faktual yang oleh Geertz
diringkas menjadi dua, yaitu agama sebagai “etos”dan agama
sebagai “pandangan hidup”. Kelima, pancaran faktual tersebut akan
memunculkan ritual unik yang memiliki posisi istimewa dalam
tatanan tersebut, yang oleh manusia dianggap lebih penting dari
apapun.
Bagi Clifford Geertz, kebudayaan merupakan suatu sistem
makna simbolik. Seperti halnya bahasa, kebudayaan merupakan
suatu sistem semiotik yang memuat simbol-simbol dan yang
berfungsi mengkomunikasikan dan mengisyaratkan maknamakna
dari pikiran antar individu. Oleh karena itu, bagi Geertz, kebudayaan
merupakan obyek, tindakan, atau peristiwa dalam masyarakat yang
fenomenal dan yang dapat diamati, dirasakan, serta dipahami.
Dalam realitas yang mikroskopis, bacaan mendalam (thick
description) seorang antropolog menjadi kunci keberhasilan
memahami struktur makna yang berlapis-lapis. Makna-makna
bersembunyi di balik simbol-simbol. Ini pula yang mengubah
pandangan Geertz tentang agama. Awalnya, Geertz berpandangan
bahwa suatu agama akan tergambar dari dan oleh kondisi
masyarakat pemeluknya, sebagaimana yang selama ini diyakini
oleh penganut fungsionalisme, namun kenyataannya
masyarakatpun akan ditunjukkan oleh agama yang mereka anut.
Geertz akhirnya melihat agama sebagai fakta budaya saja, bukan
semata-mata sebagai ekspresi kehidupan sosial atau ketegangan
ekonomi (meskipun hal ini juga diperhatikan). Melalui ide, simbol,
ritual dan adat kebiasaan, dia menemukan adanya pengaruh agama
dalam setiap celah kehidupan di Jawa.
Pandangan ini menciptakan suatu pemahaman bahwa
kaitannya dengan kebudayaan, agama adalah sebuah cara
penjelasan yang masuk akal sekaligus penentu tatanan atas
permasalahan aktual yang terjadi dalam hidup manusia. Simbol
menjadi semacam tali penghubung antara agama dan kebudayaan.
Simbol menjadi media kebudayaan dibahasakan. Selanjutnya
agama memberikan fondasi perihal atas cara apa simbol dapat
dipakai dalam memecahkan permasalahan aktual yang terjadi
dalam kehidupan setiap hari, sekaligus sebagai garis penentu dari
baik atau tidaknya suatu tindakan dilakukan dalam kehidupan. Atau
dengan kata lain, kaitan agama dan simbol terletak pada peran
masing-masing dalam menciptakan komunitas masyarakat yang
ideal.
Oleh karena itu, berkaitan dengan agama maka dalam
perkembangan pengamalannya muncul beberapa model
keberagamaan yang sangat kental yang diwarnai kebudayaan.
Salah satu contoh keberagamaan orang pedalaman berbeda
dengan keberagamaan orang pesisir, perbedaannya terutama
dalam kaitannya dengan Islam ialah ciri masyarakat pesisir yang
adaptif terhadap ajaran Islam dibanding dengan masyarakat
pedalaman. Budaya adaptif tersebut tampak dalam performance
tradisi lokal yang dipandu dan dipedomani oleh Islam coraknya
yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka seleksi terhadap
budaya lokal dan bukan mengambil yang relevan sebagaimana
budaya pedalaman. Dalam hal ini, bagi masyarakat pesisir, Islam
dijadikan sebagai kerangka referensi tindakan sehingga seluruh
tindakannya merupakan ekspresi ajaran Islam yang telah adaptif
dengan budaya lokal. Sedangkan bagi masyarakat pedalaman,
sinkretisasi tersebut tampak dalam kegiatan kehidupan yang
memilah-milah, mana diantara ajaran Islam tersebut yang sesuai
dengan budaya lokal dan kemudian dipadukannya sehingga
menjadi sebuah rumusan budaya. Berbeda dengan masyarakat
pedalaman yang hierarkis, masyarakat pesisir lebih
mengedepankan kesamaan-kesamaan Fenomena keberagamaan
masyarakat desa dan masyarakat kota, perbedaan masyarakat kota
pada umumnya berhadapan dengan realitas manusia yang hidup.
Perdagangan dan perindustrian merupakan sumber penghasilan
masyarakat kota.
Realitas yang dihadapi masyarakat tentu saja memengaruhi
cara mereka berfikir. Sedangkan yang dihadapi oleh masyarakat
desa adalah realitas yang mati, cara mereka berpikir juga pasif dan
irasional. Di samping itu, masyarakat desa cenderung menjadikan
agama sebagai way of life , pandangan hidup sehari-hari, dan
bahkan acapkali mendasari seluruh kegiatan keduniaan mereka.
Masyarakat desa biasa mengadakan acara selamatan untuk
meminta restu pada Tuhan dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sebaliknya masyarakat kota yang terbiasa berpikir kreatif dan
rasional pada umumnya mengarahkan kerja rasionalnya pada
kepentingan duniawi, sementara agama dianggap urusan ukhrawi
dan ibadah mahdhah belaka.
Mengamati tiga contoh corak keberagamaan di atas, antara
pesisir, pedalaman, dan perkotaan, ketiganya mempunyai ciri khas
masing-masing yang dipengaruhi oleh faktor alam lingkungan yang
berbeda sehingga menciptakan budaya beragama yang berbeda
pula satu sama lain. Atau dengan kata lain, kebudayaan asli yang
terbentuk pada manusia pesisir, pedalaman, dan perkotaan secara
dialektis alamiah juga mempengaruhi bagaimana masing-masing
masyarakat itu beragama, yang pada akhirnya menghasilkan corak
keberagamaan yang khas sesuai dengan tempat di mana mereka
tinggal, apakah di pesisir, pedesaan, atau di kota.
Pada masa ini banyak sekali penganut agama yang
mengabsolutkan makna agama, sehingga tidak bisa membedakan
mana agama yang sebenarnya dan mana budaya agama. Ini
penting untuk ditegaskan karena pemikiran dan pemahaman ini
telah berimplikasi dalam tindak keberagamaan manusia yang salah
konsepsi, seolah-olah agama dengan perangkat budayanya adalah
sakral. Banyak orang merasa bahwa agama itu sama dengan Tuhan.
Akhirnya dibelalah agama itu mati-matian seolah olah itu adalah
membela Tuhan. Padahal agama, seperti telah dijelaskan
sebelumnya, adalah sebuah ekspresi kebudayaan yang sudah
semestinya harus ditempatkan secara proporsional, sehingga
manusia bisa melihat dengan jernih mana agama dan mana budaya
yang memang harus dibela secara benar.
D. Contoh Kasus
Geertz mencontohkan upacara ritual di Bali sebagai
pencampuran antara etos dan pandangan dunia. Pertempuran
besar antara dukun sihir Rangda dan Monster Barong aneh.
Penonton terhipnotis masuk dalam tontonan tersebut dan
mengambil posisi mendukung salah satu karakter, yang pada
akhirnya ada beberapa yang jatuh tidak sadarkan diri. Drama
tersebut bukan sekedar tontonan, melainkan kegiatan ritual yang
harus diperankan. Agama di Bali begitu sangat khas dan spesifik
hingga tatanan tersebut tidak bisa diubah menjadi suatu kaidah
umum bagi semua agama.
Dengan demikian Geertz menyimpulkan bahwa: pertama,
orang harus menganalisa serangkaian makna yang terdapat dalam
simbol-simbol agama itu sendiri, dan itu suatu tugas yang amat
sulit. Kemudian pada tahap kedua yang ternyata tidak lebih mudah
dan sama-sama penting adalah, karena simbol berhubungan
dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya,
maka arus pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan
diantara ketiganya di dalam sistem budaya agama.
E. Konflik Dari Benturan Agama Dan Budaya
Dewasa ini banyak sekali penganut agama yang
mengabsolutkan makna agama, sehingga tidak bisa membedakan
mana agama yang sebenarnya dan mana budaya agama. Ini
penting untuk ditegaskan karena pemikiran dan pemahaman ini
telah berimplikasi dalam tindak keberagamaan manusia yang salah
konsepsi, seolah-olah agama dengan perangkat budayanya adalah
sakral. Banyak orang merasa bahwa agama itu sama dengan Tuhan.
Akhirnya dibelalah agama itu mati-matian seolah olah itu adalah
membela Tuhan. Padahal agama, seperti telah dijelaskan
sebelumnya, adalah sebuah ekspresi kebudayaan yang sudah
semestinya harus ditempatkan secara proporsional, sehingga
manusia bisa melihat dengan jernih mana agama dan mana budaya
yang memang harus dibela secara benar. Contohnya adalah aksi
bela Islam atau yang familiar aksi 21212 yang merupakan
rangkaian aksi unjuk rasa yang diadakan di Indonesia, terutama di
kota Jakarta sebagai reaksi atas pernyataan gubernur Jakarta,
Basuki Tjahaja Purnama yang mengeluarkan pernyataan yang
dianggap menistakan agama dalam kunjungan kerjanya ke
Kepulauan Seribu tepatnya ke Pulau Pramuka pada tanggal 27
September 2016. Kunjungan ini dilakukan untuk peninjauan serta
pengarahan terkait program pemberdayaan budi daya ikan kerapu
yang ia adakan. Dalam pernyataannya dia berusaha meyakinkan
warga bahwa programnya akan terus berjalan meski ia tidak terpilih
sebagai gubernur pada pemilihan gubernur Jakarta pada Februari
2017 mendatang. Pada 6 Oktober 2016 ada seorang yang merekam
dan mengunggah video di halaman Facebooknya bernama Buni
Yani, dengan judul ―Penistaan Terhadap Agama‖. Video ini
merupakan video editan dari video kunjungan kerja Basuki dengan
lebih menonjolkan pernyataan yang mengandung unsur penistaan
terhadap agama Islam. Sebagai respon dari video tersebut
menyulut kemarahan umat Islam, berbagai ormas Islam di penjuru
Indonesia mengirimkan pengaduan kepada kepolisian agar segera
menindak lanjuti pernyataan Basuki tersebut. Kemudian, pada 10
Oktober 2016 Basuki meminta maaf kepada publik karena telah
menimbulkan kegaduhan. Beberapa tokoh Islam menyatakan
menerima permintaan maaf yang ia ajukan dan menambahkan
bahwa proses hukum harus tetap berjalan. Belum adanya
pemberitaan tentang penyelidikan yang mengesankan bahwa
kepolisian Republik Indonesia lamban dalam menangani kasus
Basuki dan mengakibatkan aksi unjuk rasa kembali dengan masa
yang semakin banyak untuk menuntut penyelidikan terhadap kasus
ini segera dilakukan. Penyelidikan secara intensif dilakukan dengan
memanggil saksi dari para pelapor dan pihak terlapor. Pada 15
November 2016, dilakukan gelar perkara secara terbuka terbatas
untuk menentukan status hukum bagi Basuki Tjahaja Purnama.
Hasil dari gelar perkara tersebut 16 November 2016, kepolisian
menetapkan Basuki sebagai tersangka kasus penistaan agama.
Basuki mulai menjalani hukuman penjara pada 9 Mei 201713,
setelah putusan dibacakan Majelis Taklim Pengadilan Negeri
Jakarta Utara. Basuki divonis 2 tahun penjara karena terbukti
bersalah melakukan penodaan agama atas pernyataan soal Surat
Al-Maidah ayat 51 saat kunjungannya di Pulau Pramuka Kepulauan
Seribu. Pada 24 Januari 2019 akan dikeluarkan dari Rutan Mako
Brimob setelah menjalani masa pidana penjara selama 1 tahun 8
bulan 15 hari.
Sebenarnya kasus seperti ini tidak akan terjadi apabila
manusia bisa memahami agama dan budaya sesuai dengan
porsinya masing-masing, karena pada hakikatnya bela Islam ini
bukanlah bela Tuhan – agama bukanlah Tuhan itu sendiri. Agama
hanya menjadi jalan menuju Tuhan. Apalagi Tuhan sebenarnya
tidak perlu dibela, karena Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha
Besar
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Nama Sekolah : SMA 1 Banjarnegara Islamic School


Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Multikultural
Kelas : X
Materi Pokok : Agama dan Kebudayaan

A. KOMPETENSI INTI
KI 1 : Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya
KI 2 : Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli
dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman dan
guru.
KI 3 : Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati,
mendengar, melihat, membaca dan bertanya dengan aktif.
KI 4 : Menyajikan pengetahuan factual secara sistematis dan
tindakan yang mencerminkan perilaku yang beragama dan
berbudaya. ]
B. KOMPETENSI DASAR (KD) & INDIKATOR
2.1 Mengetahui berbagai macam agama di Indonesia
2.2 Mengetahui keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia
2.3 Mengamati dan menyimpulkan hubungan antara agama dan
kebudayaan
Indikator :
 Mengumpulkan data mengenai keberagaman agama dan
kebudayaan
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
 Siswa dapat memahami nilai-nilai agama yang ada pada
kebudayaan.
 Menumbuhkan jiwa yang memahami hubungan antara agama dan
budaya pada setiap Siswa.
 Mempraktikan nilai-nilai agama dalam praktik kebudayaan pada
kehidupan sehari-hari
D. MATERI PEMBELAJARAN
 Agama dan Kebudayaan
E. METODE PEMBELAJARAN
 Metode Diskusi Kelompok
F. KEGIATAN PEMBELAJAN
Tahapan Kegiatan Durasi Belajar
Pendahuluan 1. Guru menyapa siswa 10 Menit
dan mengondisikan
siswa
2. Berdoa sebelum belajar
3. Guru menyampaikan
Tema dan tujuan Belajar
Kegiatan Belajar 1. Menyiapkan media untuk 40 Menit
menyampaikan materi
2. Menjelaskan materi
sesuai dengan tema
yang dibahas
3. Siswa membuat
kelompok diskusi kecil
4. Pendampingan diskusi
kelompok siswa
5. Guru berkomunikasi
terhadap dengan tanya
jawab dengan siswa
Penutup 1. Menyimpulkan atau 10 enit
mereview materi
2. Mengakhiri kegiatan
dengan berdoa
G. MEDIA BELAJAR
1. Laptop
2. Proyektor
3. Papan Tulis
4. Buku Tulis

H. PENILAIAN PROSES DAN HASIL BELAJAR


1. Pengetahuan : Tes Tertulis
2. Sikap : Pengamatan dalam kegiatan Belajar
3. Keaktifan Siswa : Siswa aktif dalam kegiatan Belajar

Banjarnegara, 01 Januari
2022

Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Belajar

Septyan Tri Wahyudi, S. Ag. M.Pd. Fitriani, S.Ag


Daftar Pustaka

Fauziah, Adelina. 2021. “Agama Sebagai Fenomena Kebudayaan Dalam


Pandangan Clifford Geertz”. Tesis Fakulatas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah: Jakarta.

Khadziq. 2019.Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: TERAS.

Mahfuz, Abd. Ghoffar. 2019. “Hubungan Agama dan Budaya”,Tawshiyah


Vol. 14, No. 1. Diakses pada 01 Januari 2023.

Pongsibanne, H Lebba Kadorre . 2017. Islam dan Budaya Lokal Kajian


Antropologi Agama . Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.

Riyadi, Ahamad Sugeng. 2021. “Agama dan Kebudayaan Masyarakat


Perspektif Clifford Geertz”. Jurnal Sosiologi Agama
Indonesia Vol. 2 No. 1. UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

Sodiman. 2018. “Mengkaji Islam Empirik; Model Studi Hermeneutika


Antropologis Clifford Geertz”.Zawiyah Junal Pemikiran Islam
Vol. 4 No. 1. Institut Agama Islam Negeri Kendari: Kendari.

Anda mungkin juga menyukai