Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Latar Belakang

Latar belakang Fungsionalisme menurut Clifford Geertz membuka jendela pandang


terhadap salah satu pendekatan dalam antropologi yang kaya akan interpretasi dan pemahaman
mendalam terhadap masyarakat manusia. Geertz, seorang antropolog terkemuka abad ke-20,
mengembangkan konsep fungsionalisme dengan fokus pada pemahaman makna budaya dan
simbol-simbol yang menjadi bagian integral dari kehidupan sosial.
Pandangan fungsionalisme Geertz didasarkan pada ide bahwa masyarakat dapat dianggap
sebagai sistem yang saling terkait, di mana setiap elemen memiliki peran dan fungsi khusus.
Namun, yang membedakan konsep Geertz adalah penekanan pada interpretasi makna budaya
yang tersembunyi di balik tindakan dan simbol. Geertz berpendapat bahwa untuk memahami
suatu masyarakat, penting untuk menggali makna di balik tindakan dan simbol-simbol yang ada.
Fungsionalisme Geertz mengejar pemahaman mendalam tentang bagaimana masyarakat
menciptakan dan memaknai realitas mereka melalui simbol-simbol budaya. Dia menekankan
bahwa tindakan sosial dan simbol-simbol memiliki makna yang kompleks dan kontekstual, dan
untuk memahaminya, antropolog perlu terlibat dalam interpretasi partisipatif.
Konsep Geertz ini juga menciptakan titik pangkal bagi penelitian dalam bidang etnografi
interpretatif, di mana peneliti tidak hanya mengamati masyarakat, tetapi juga berusaha
memahami dunia dari perspektif orang-orang yang mereka amati. Dengan demikian,
fungsionalisme Geertz membuka pintu bagi antropolog untuk mendalami kehidupan sosial
manusia dengan lebih mendalam, mengeksplorasi lapisan makna yang mendasari setiap aspek
kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, pemahaman fungsionalisme menurut Clifford Geertz menjadi sebuah
landasan penting bagi penelitian antropologi yang berfokus pada interpretasi dan pemaknaan
makna budaya dalam masyarakat manusia. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan ruang untuk
pemahaman lebih mendalam tentang kompleksitas kehidupan sosial, tetapi juga mengajak para
peneliti untuk terlibat secara aktif dalam proses interpretatif, membuka pintu bagi wawasan yang
lebih mendalam tentang keragaman budaya manusia.

Rumusan Masalah
Fungsionalisme menurut Cliffort geertz
Pembahasan

o Biografi Singkat Clifford Geertz


Clifford lahir di San Fransisco, California pada 23 Agustus 1926. Pada tahun 1950, ia
memperoleh gelar B.A. dalam bidang Filsafat dari Antioch College di Ohio. Usai mengenyam
pendidikan di Antioch, Clifford melanjutkan studi dalam bidang sosiologi di Harvard University.
Di tahun 1956 setelah mengadakan penelitian mengenai masyarakat multi agama, multi ras yang
kompleks Mojokuto, pulau Jawa, Indonesia, Ia memeroleh gelar doctor dari Harvard’s
Department of Social Relations dengan spesialisasi antropologi. Usai itu bersama isterinya, ia
berangkat kembali ke Indonesia untuk kerja lapangan yang kedua kalinya di Asia Tenggara. Bali
adalah tempat kerja lapangannya. Tahun 1958 ia kembali danmenjadi anggota staf pengajar di
University of California di Berkeley. Tak lama kemudian ia pindah ke University of Chicago
selama sepuluh tahun, terhitung sejak tahun 1960 – 1970. Di tahun 1970 ia diangkat menjadi
Professor dan menjadi satu-satunya Professor dari bidang antropologi dalam lembaga Institute
for Advanced Study in Princeton, New Jersey. 1 Pada 30 Oktober 2006 ia meninggal di
Philadelphia pada usia 80 tahun.
Sepanjang hidupnya, Clifford Geertz telah menulis beberapa karya terkenal, yaitu:2
a) Religion as a Cultural System in Anthropological Approaches to the Study of religion. Ed.
Michael Banton, Hal. 1-46. ASA. Monographs, 3. London: Tavistock Publications, 1966.
b) The Religion of Java (1960), University of Chicago Press.
c) Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns
(1963), University of Chicago Press.
d) Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesian (1964).
e) Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (1968), University of
Chicago Press.
f) The Interpretation of Cultures (1973), Basic Books.
g) Kinship in Bali (1975) coauthor: Hildred Geertz, University of Chicago Press.
h) Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali (1980), Princeton University Press.
i) Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology (1983), Basic Books.
j) Anti Anti-Relativism (1984), American Anthropologist, Vol. 86, No.2, Hal. 263-278.
1
Raho, Bernard, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), Hlm. 397.
2
Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Clifford_Geertz. Artikel ini diakses pada tanggal 16 Februari
2019, Pkl. 10.47 WIT.
k) Works and Lives: The Anthropologist As Author (1988), Stanford University Press.
l) After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, Harvard University Press.
m) Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics, Princeton University
Press, 2000.
n) An inconstant profession: The anthropological life in interesting times (2002), Annual
Review of Anthropology, Vol. 31, Hal 1-19.

o Kekhasan Clifford Geertz

Clifford dikenal sebagai seorang antropologis modern. Karyanya begitu unik karena
pandangannya atas peran vital studi agama yang baik dalam usaha untuk memahami aspek
kehidupan dan pemikiran manusia. Fokus perhatiannya yang mengarah pada penekanan
mengenai pentingnya memikirkan kembali secara serius atas hal-hal pokok dalam antropologi
dan ilmu-ilmu sosial, secara khusus mengenai kaitannya dengan usaha memahami agama.
Pemikiran yang mendasari ini, adalah kesadaran Clifford atas peran penting budaya sebagai
sebuah sistim makna dimana manusia hidup.3 Budaya hanya dapat dipahami jika orang mau
untuk melihat posisi agama sebagai dasar dari sistim budaya manusia itu sendiri. Karena itu,
dalam usaha untuk memahami manusia, baginya adalah penting untuk mau menyesuaikan
metode pemahaman yang sesuai dengan agama itu sendiri.
Dalam hal ini, ia menawarkan metode interpretasi budaya. Metode interpretasi budaya adalah
metode yang tepat karena lewatnya masalah manusiawi dipahami bukan atas cara perilaku setiap
individu, melainkan dalam sebuah kerangka lebih luas: budaya sebagai sistim yang dalamnya
kehidupan manusia itu berada. Metode ini dibahas khusus oleh Clifford dalam koleksi essainya
yang berjudul: “The Interpretation of Culture”. Hal menarik dari karya ini, adalah usaha Clifford
dalam mengangkat ciri khas dari budaya: “makna” atau “signifikasi”. 4 Karena itu, baginya adalah
hal yang tidak mungkin jika ingin memahami manusia di satu sisi namun mengabaikan deskripsi
mendalam atas budaya dimana manusia berada. Kutipannya atas perkataan Max Weber:
“manusia adalah seekor binatang yang digantung di jaringan makna yang ia bentangkan”, adalah
dasar dari pernyataannya ini.5

3
Raho, Bernard, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), Hlm. 408.
4
Ibid,.
5
Ibid,.
Langkah Clifford ini membawa sebuah langkah maju bagi fungsionalisme dan reduksionisme
karena mengarah pada dimensi manusiawi yang khas dari agama. Orientasi pengarahan
metodenya ini kepada studi agama bahkan ia sendiri lewat ini telah merevitalisasinya menjadikan
Clifford sebagai sarjana Amerika satu-satunya; dengan perkecualian Maria Eliade, yang telah
menunjukkan betapa bernilainya studi agama yang dalam usaha memahami kehidupan dan
pemikiran manusia, tentunya dengan pengolahan yang baik sebagaimana yang Clifford lakukan. 6

o Pokok Ajaran: Peran Kebudayaan dan Agama Dalam Pembentukan Tatanan Sosial
Clifford adalah seorang yang sangat percaya bahwa agama senantiasa memiliki daya Tarik
serius bagi para antropolog. Alasannya adalah dalam agama hiduplah system makna dan nilai
kehidupan manusia. Keseriusannya mengenai hal ini terungkap dalam karyanya: Religion of
Java. Buku ini memuat kumpulan studi particular Clifford terhadap masyarakat Mojokuto. 7
Pendalamannya terhadap kebudayaan dan Bahasa setempat adalah cara yang digunakan oleh
Clifford dalam mempelajari simbol, ide, ritual dan adat kebiasaan setempat. Lewat pendalaman
tersebut, ia menemukan bahwa ternyata agama memiliki pengaruh yang begitu kuat dalam setiap
dimensi kehidupan masyarakat Jawa. Lantas, mengapa demikian?
Dalam usaha mencari alasan Clifford memandang agama sebagai unsur kehidupan manusia
yang kuat pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, hal utama yang hendaknya dipahami
adalah apakah kebudayaan itu? Sebagaimana telah diuraikan dalam kekhasan pemikiran Clifford
di atas, dimana kebudayaan sebenarnya merupakan cikal bakal dari adanya agama itu sendiri.
Tanpa adanya kebudayaan, agama menjadi sesuatu yang abstrak dan tidak dapat dipahami oleh
masyarakat. Konsep mengenai kebudayaan yang diikuti oleh Clifford adalah pemahaman
kebudayaan sebagai “suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud
dalam simbol-simbol, suatu konsep-konsep yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang
dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka
tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan”. 8 Konsep ini mengandung dalamnya
penegasan bahwa sebenarnya kebudayaan adalah sebuah system pola komunikasi antar manusia,
6
Ibid,. Hlm. 397
7
Mojokuto adalah sebuah kota kecil yang terletak di bagian tengah Jawa Timur; persisnya di ujung paling
timur suatu daratan besar persawahan yang telah memperoleh irigasi. Di sinilah Clifford melakukan studinya.
Disadur dari: Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (London: The Free Press of
Glencoe, 1960), Hlm. 1.
8
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama (Jogjakarta: Penerbit Kanisius, 2001, Hlm. 3.
dimana manusia menggunakan simbol-simbol yang mengandung dalamnya konsep-konsep yang
hendak dikomunikasikan. Konsep-konsep ini menggambarkan lewatnya pengetahuan manusia
tentang kehidupan dan bagaimana kehidupan seharusnya dijalani oleh manusia.
Pengkomunikasian ini bertujuan agar etos hidup masyarakat senantiasa dapat dihidupi dan
diwariskan turun-temurun sehingga tetap lestari dan dapat membantu manusia dalam
mengembangkan kebudayaannya. Dengan kata lain, kebudayaan adalah cara manusia dalam
mengkomunikasikan persepsinya tentang hidup yang benar sekaligus menjadi pedoman dalam
menata hidup. Karenanya proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan. 9
Paradigma yang harus dimiliki agar pemahaman atas simbol yang dimaksud dalam konsep
kebudayaan yang dimaksudkan dapat sungguh benar adanya, adalah paradigm atas simbol
sebagai Bahasa yang digunakan dalam mengkomunikasikan isi kebudayaan. Bagi Clifford,
sebagaimana kebudayaan, simbol adalah sesuatu yang sakral. Peran simbol adalah untuk
mengintegrasikan pandangan hidup suatu bangsa: nada, ciri, kualitas kehidupan, moral, gaya
estetis, suasana hati dan pandangan terhadap dunia, yaitu gambaran tentang cara bertindak dan
gagasan tentang tatanan.10 Ini berarti simbol mengungkapkan lewatnya segala hal tentang
manusia dan masyarakat itu sendiri. Konsekwensinya adalah Usaha dalam memahami suatu
kelompok masyarakat tak akan pernah dapat dilakukan jika mengabaikan interpretasi atas
simbol-simbol yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Paradigma di atas menghantar kita pada suatu pemahaman bahwa dalam kaitannya dengan
kebudayaan, agama dalam artian tertentu pun merupakan sebuah cara penjelasan yang masuk
akal sekaligus penentu tatanan atas permasalahan aktual yang terjadi dalam hidup manusia.
Simbol menjadi semacam tali penghubung antara agama dan kebudayaan. Simbol menjadi media
kebudayaan dibahasakan selanjutnya agama memberikan fondasi perihal atas cara apa simbol
dapat dipakai dalam memecahkan permasalahan aktual yang terjadi dalam kehidupan setiap hari,
sekaligus sebagai ‘garis penentu’ dari baik – tidaknya suatu tindakan dilakukan dalam
kehidupan. Atau dengan kata lain, kaitan agama dan simbol terletak pada peran masing-masing
dalam menciptakan komunitas masyarakat yang ideal.

Poin dari Reaksi dan Pekerjaan Awal


9
Kuper, Adam, Culture (Cambridge: Harvard University Press,1999), Hlm. 98.
10
Ibid,. Hlm. 4.
Geertz terutama dipengaruhi oleh dua pemikir. Yang pertama adalah Ludwig Wittgenstein
Sebagai Geertz menulis.:
Dia (Wittgenstein) serangan pada gagasan bahasa privat, yang membawa pikiran itu dari gua di
kepala ke alun-alun publik di mana orang bisa melihatnya, dan usulan tentang "bentuk
kehidupan" sebagai (mengutip salah satu komentator) kompleks "keadaan alam dan budaya yang
diisyaratkan dalam. . . . . setiap pemahaman tertentu di dunia, "tampaknya hampir kustom
dirancang untuk memungkinkan jenis studi antropologi I, dan lain-lain sejenisnya saya, lakukan.
(Geertz 2000b:xii)

Satu dapat melihat tujuan dari teori Geertz (pemahaman memahami orang lain ') dan metodologi-
nya (memeriksa makna publik, atau simbol) dalam pernyataan tunggal.

Geertz sering kredit Weber dengan penemuan sebuah ilmu sosial interpretatif (misalnya Geertz
1973f: 5) dan jelas melihat karyanya sendiri sebagai ilmu sosial interpretatif. Tetapi
menggunakan Weber budaya, agama dan cita-cita untuk menjelaskan modernisasi juga sangat
hadir di awal pekerjaan antropologis Geertz. Pengaruh Weber dapat dilihat dalam Involusi
Pertanian (1963a) dan Peddlers dan Pangeran (1963b). Karena kedua menggunakan kerangka
Weberian untuk memeriksa untuk memeriksa modernisasi di Indonesia, saya hanya akan
memberikan rincian yang terakhir.

Penjual dan Pangeran (1963b) adalah upaya untuk meneliti faktor-faktor budaya dari
pembangunan ekonomi melalui pemeriksaan pengusaha di dua kota Indonesia. Setelah deskripsi
pembangunan ekonomi di kedua kota, Geertz menyimpulkan bahwa ada enam ("tentatif")
generalisasi tentang pembangunan ekonomi, termasuk "1. Kepemimpinan ekonomi inovatif
(entrepreneurship) terjadi dalam kelompok yang cukup didefinisikan dengan baik dan homogen
secara sosial "(Geertz 1963b: 147) dan" 4. Pada tingkat ideologi kelompok inovatif conceives itu
sendiri sebagai kendaraan utama keunggulan agama dan moral dalam masyarakat, umumnya
tidak patuh atau lalai tercerahkan "(Geertz 1963b: 150). Desakan bahwa pengetahuan yang
paling bersifat lokal juga absen dari pekerjaan ini - Geertz berusaha menggeneralisasi faktor-
faktor budaya yang menjelaskan kondisi sebelum pembangunan ekonomi yang pesat.
Pengamatan ini dibuat tidak untuk kesalahan master tua untuk berubah pikiran, tetapi untuk
menunjukkan sebuah evolusi dalam pemikiran Geertz.
Salah satu paradigma Geertz bereaksi untuk itu Fungsionalisme Inggris. Ritual dan Perubahan
Sosial (1973e :142-169), salah satu artikel pertama Geertz (aslinya diterbitkan pada tahun 1959),
adalah argumen terhadap pendekatan fungsionalis statis dan pendekatan dinamis yang
memperhitungkan bentuk-bentuk simbolik budaya serta struktur sosialPada artikel ini, Geertz
meneliti bagaimana pemakaman anak laki-laki tidak berhasil karena simbol-simbol agama dan
simbol politik telah menjadi saling terkait dan tidak cocok dengan struktur sosial dalam masa
transisi bahwa Indonesia sedang mengalami. Geertz berpendapat bahwa kebudayaan meyakinkan
Indonesia itu bukanlah suatu sistem dalam keseimbangan, juga bukan "hancur". Sistem sosial
dan budaya berubah, dan Geertz analisis ini melalui pemeriksaan makna simbolik melalui waktu.

Geertz kemudian penekanan pada pendekatan semiotik terhadap budaya juga dapat dilihat
sebagai reaksi terhadap strukturalisme Levi-Strauss dan lain-lain. Sedangkan Levi-Strauss,
seperti Geertz tertarik dalam analisis simbolik, Geertz berbeda dengan Levi-Strauss di
bagaimana simbol-simbol harus diperiksa. Geertz tidak tertarik pada simbol-simbol untuk
kepentingan mereka sendiri, tetapi bagaimana simbol-simbol bisa menjelaskan proses sosial.
Ketidakpuasan ini dapat dilihat dalam pernyataan Geertz "Apapun, atau di mana pun, simbol
sistem 'dalam istilah mereka sendiri' mungkin, kita mendapatkan akses empiris kepada mereka
oleh peristiwa memeriksa, tidak dengan mengatur disarikan entitas ke pola terpadu" (Geertz
1973f: 17) Simbol mendapatkan arti mereka bukan dari hubungan mereka satu sama lain, tetapi
dari peran yang mereka mainkan dalam kehidupan manusia.

Kemudian Teoritis Kontribusi


Seperti tahun 1960-an berlalu, Geertz mengembangkan fokus eksklusif pada budaya, dan tempat
sebagai obyek antropologi. Bagian berikut akan meneliti gagasan Geertz budaya, etnografi dan
beberapa kesimpulan penting dari pemikirannya pada budaya dan makna.

Budaya
Kontribusi teoritis Geertz mulai dengan definisi dan deskripsi budaya. Untuk Geertz,
kebudayaan adalah "pola makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam
simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi diekspresikan dalam bentuk simbolik dengan
cara dimana manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka
tentang dan sikap mereka terhadap kehidupan" (Geertz 1973d: 89 ). Dalam alternatif (dan lebih
dikutip) formulasi, Geertz menyatakan, "Percaya, dengan Max Weber, bahwa manusia adalah
binatang yang tersuspensi dalam jaring signifikansi ia sendiri telah berputar, saya mengambil
budaya adalah mereka jaring, dan analisis itu akan Oleh karena itu bukan ilmu eksperimental
dalam pencarian hukum tetapi interpretatif untuk mencari makna "(Geertz 1973f: 5).

Geertz, berikut sikap Wittgenstein pada bahasa, percaya bahwa budaya bukanlah sesuatu yang
terjadi pada kepala manusia; "Budaya adalah publik, karena makna adalah" (Geertz 1973f: 12).
Kognisi umumnya sama seluruh umat manusia (Geertz 1973f: 13), sementara simbol-simbol
yang digunakan orang untuk berkomunikasi berbeda. Simbol tidak dapat dipelajari untuk
mendapatkan akses ke proses mental, tetapi sebagai fenomena sosial formasi. Ini adalah tugas
antropolog untuk mengungkap jaring makna dan menafsirkan mereka.

Budaya juga bukan kekuatan atau agen penyebab di dunia, tetapi konteks di mana orang
menjalani kehidupan mereka (Geertz 1973f: 14). Ini kembali ke awal pembedaan Geertz antara
struktur sosial dan budaya. Budaya adalah hanya pola makna tertanam dalam simbol-simbol.
Struktur sosial adalah "ekonomi, hubungan politik, dan sosial di antara individu dan kelompok"
(Geertz 1973c: 362). Geertz tidak menyangkal studi struktur sosial, tetapi membutuhkan budaya
untuk menjadi obyek dari studi.

Etnografi
Kontribusi kedua Geertz adalah pemeriksaan apa yang etnografi adalah dan apa yang
dilakukannya. Mengutip bagian lain baik dikutip Geertz, etnografi adalah latihan rumit dalam
deskripsi tebal (Geertz 1973f: 6). Deskripsi tebal adalah ungkapan yang dipinjam dari Geertz
Gilbert Ryle, itu adalah terpisah dari deskripsi tipis dengan perhatian mantan untuk makna
tindakan. Dalam contoh klasik, mata salah satu anak laki-laki tanpa sadar berkedut, sementara
yang lain mengedipkan mata anak. Fenomena fisik yang sama, tetapi mengedipkan mata adalah
hal budaya, sedangkan kedutan tidak. Dalam meneliti suatu budaya, etnografer harus mencatat
mengedipkan mata, bukan berkedut.
Etnografi juga interpretasi (Geertz 1973f: 14). "Kita mulai dengan interpretasi kita sendiri
tentang apa informan kita adalah sampai, atau berpikir mereka adalah sampai, dan kemudian
sistematis mereka" (Geertz 1973f: 15).
Ilmiah hipotesis diuji dan disetujui. Mereka adalah interpretasi, atau salah tafsir, seperti orang
lain, tiba di dalam cara yang sama seperti setiap orang lain, dan mencoba untuk berinvestasi
mereka dengan otoritas eksperimen fisik tetapi sulap metodologis tangan. Deskripsi etnografis
tidak istimewa, hanya tertentu: negara lain mendengar dari "(Geertz 1973f: 23).

HNamun, melihat pengetahuan etnografis sebagai interpretasi tidak memerlukan pandangan yang
menyertainya bahwa apa etnografer adalah rekaman palsu atau unfactual. Geertz hanya
menekankan bahwa "meskipun budaya ada di pos perdagangan, benteng bukit, atau jangka
domba, antropologi ada di buku, artikel, ceramah, tampilan museum, atau kadang-kadang saat
ini, film" (Geertz 1973f: 16 ). Sebuah etnografi yang baik merupakan penafsiran yang sampai ke
jantung budaya lain, atau bagian dari budaya lain, pada waktu tertentu.

Kebudayaan sebagai "Teks"


Dalam Bermain Jauh: Catatan tentang sabung ayam Bali (1973a), Geertz mengembangkan ide
dari membaca praktek-praktek budaya sebagai Pemeriksa sabung ayam sebagai teks
memungkinkan Geertz untuk membawa keluar aspek itu yang mungkin tidak diketahui:
"penggunaan dari" teks. " emosi untuk tujuan kognitif "(Geertz 1973a: 449). Pergi ke sabung
ayam adalah pendidikan emosional untuk Bali - mengajarkan dan memperkuat emosi dan reaksi
budaya Bali dalam teks eksternal. Akhirnya, Geertz membuat pernyataan umum nya: "Budaya
suatu kaum adalah sebuah ensemble dari teks, sendiri ansambel, yang antropolog strain untuk
membaca di atas bahu orang-orang kepada siapa mereka benar milik" (Geertz 1973a: 452).

Relativisme Budaya
Dalam kuliah dibedakan, "Anti-Anti-Relativisme" (1984), Geertz menulis sebuah artikel yang
hanya bisa (atau hanya ia bisa pergi dengan) - sebuah polemik melawan anti-relativisme. Ini
negatif ganda ini diperlukan karena kenyataan bahwa "apapun relativisme budaya dapat atau
telah awalnya, melayani hari ini sebagian besar sebagai momok untuk menakut-nakuti kita
menjauh dari cara berpikir tertentu dan terhadap orang lain" (Geertz 1984:263). Jenis pemikiran
anti-relativisme dimaksudkan untuk menakut-nakuti antropolog jauh dari adalah dunia plin-plan
mana pun pergi, namun, relativisme takut kita jauh dari provinsialisme. Hasil akhirnya adalah
sebuah "pilihan kekhawatiran" (Geertz 1984:265). Geertz berpikir provinsialisme yang bahaya
lebih besar. Selain itu, tidak seperti sikap anti-relativis, relativisme budaya bukanlah produk dari
suatu teori pemersatu besar, tetapi hasil dari data antropologi (Geertz 1984:264). Seperti Geertz
mengatakan

Seseorang tidak dapat membaca terlalu panjang tentang Nayar matriliny, pengorbanan Aztec,
kata kerja Hopi, atau convolutions transisi hominid dan tidak mulai setidaknya untuk
mempertimbangkan kemungkinan bahwa, mengutip Montaigne lagi, "panggilan setiap orang
barbarisme apapun yang tidak praktek sendiri ... karena kita tidak punya kriteria lain alasan
daripada contoh dari ide pendapat dan kebiasaan dari negara kita hidup masuk (Geertz 1984 264-
265)

Untuk tujuan ini, Geertz ingin mengakhiri perdebatan tentang relativisme dan reorientasi fokus
pada data antropologi antropologi lokal, bukan teori homogenisasi, namun menganjurkan fokus
pada tingkat lokal, bahkan jika seseorang tidak mengabaikan global, adalah sikap relativis.

Agama sebagai Sistem Budaya


Geertz tidak hanya bicara tentang teori dalam arti luas - ia juga menggali teori tertentu, seperti
antropologi agama. Sesuai dengan penekanannya pada simbol, Geertz mendefinisikan agama
sebagai "1) sistem simbol yang bertindak untuk 2) membangun kuat, menyeluruh, dan tahan
lama suasana hati dan motivasi pada laki-laki 3) merumuskan konsepsi tatanan umum eksistensi
dan 4) pakaian konsepsi ini dengan seperti aura faktualitas yang 5) suasana hati dan motivasi
tampak realistik secara unik "(Geertz 1973d: 90). Geertz kemudian memecah definisinya untuk
memeriksa apa studi agama sebagai sistem kebudayaan seharusnya.

Aspek penting dari simbol dalam definisi ini adalah bahwa simbol-simbol model - dan yang
lebih penting, kedua model dan model untuk (Geertz 1973d: 93). Sistem simbol fungsi sama,
yaitu sistem simbol bertindak sebagai model realitas dan model untuk realitas.
Apa ini "sesuatu" yang berbeda dari budaya ke budaya, tetapi dalam budaya masing-masing ini
"sesuatu" harus masuk akal dari kehidupan orang-orang terkemuka. Selain itu, sesuatu ini harus
dianggap sebagai "unik realistis", yaitu, perasaan ini harus penafsiran tanah-tingkat budaya.
Seorang pria mungkin tidak religius, tapi ketika pria perlu menemukan makna pada tingkat
terdalam, agama akan menjadi sistem simbol yang ia gunakan.
Penutup

O bserved Islam (1968) adalah upaya untuk "lay out kerangka umum untuk analisis
perbandingan agama dan menerapkannya untuk studi pengembangan sebuah kredo tunggal
seharusnya, Islam, dalam dua peradaban yang cukup kontras, yang Indonesia dan Maroko
"(Geertz 1968: v). Dalam karya pendek, Geertz jejak perkembangan Islam di Indonesia dan
Maroko melalui tokoh-tokoh kunci dan simbol-simbol yang menjelaskan evolusi Islam di kedua
negara. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga merupakan "klasik" bentuk Islam di Indonesia. Kalijaga
lahir ke dalam budaya kerajaan Hindu-Buddha Kerajaan dan menghabiskan masa mudanya
perjudian, minum, dan melacur. Setelah pertemuan orang suci Islam itu dengan kekuatan
spiritual yang besar, Kalijaga bermeditasi (atas petunjuk orang suci) selama bertahun-tahun.
Ketika kembali orang suci, ia mengatakan bahwa Kalijaga sebagai hasil dari meditasi yang
terakhir, ia sekarang tahu lebih dari orang suci. Unpentuk menggunakan kata-kata Geertz

Dia (Kalijaga) telah menjadi seorang Muslim tanpa pernah melihat Alquran, memasuki sebuah
masjid, atau mendengar doa - melalui perubahan batin dari hati yang disebabkan oleh jenis yang
sama seperti yoga-disiplin psikis yang merupakan tindakan religius inti dari tradisi India dari
mana ia datang ... ... penebusanNya adalah negara produksi sendiri batin, menghendaki suasana
hati. Dan keislamannya, jika itu yang harus disebut, adalah namun iman publik ia ditugaskan
"(Geertz 1968:29)

Geertz menggunakan simbol Kalijaga untuk menggambarkan Islam Jawa. Meskipun ada (jelas)
simbol-simbol lain yang menggunakan bahasa Jawa untuk menjelaskan periode konversi pulau
dan bentuk klasik Islam, penting untuk dicatat bahwa Geertz menemukan budaya Jawa (dan
makna) melalui simbol, dan berkomunikasi ke kebudayaan lain melalui yang sama simbol.
Negara: Teater-Negara di Nineteenth-Century Bali (1980) adalah pemeriksaan Geertz tentang,
seperti yang dijanjikan, negara dalam abad kesembilan belas BaliKarya ini menegaskan bahwa,
selama periode ini, negara di Bali tidak diselenggarakan bersama oleh kekuatan militer, tapi
justru teater-negara yang diatur melalui tontonan. Geertz menggunakan nya "model-of/model-
for" paradigma untuk menunjukkan bahwa negara adalah baik "dramatisasi publik dari obsesi
yang berkuasa dari budaya Bali: ketimpangan sosial dan kebanggaan sosial" dan "paradigmatik,
tidak hanya reflektif, dari tatanan sosial . Apa itu mencerminkan, para imam menyatakan, adalah
tatanan adikodrati, 'dunia India abadi dewa', di mana laki-laki harus, dalam proporsi yang ketat
terhadap status mereka, mencari pola kehidupan mereka "(Geertz 1980:13). Untuk menggunakan
konsep terakhir sebagai contoh, seorang raja Bali adalah baik model keilahian dan model
perilaku untuk rakyatnya. Jadi, raja harus melakukan di negara-teater untuk menampilkan
keilahian-Nya dan untuk mengatur contoh perilaku. Mengingat perbedaan antara negara teater-
dan formasi politik yang lebih akrab bagi pembaca Barat, Geertz pada akhirnya pengaturan jalur
untuk mempelajari bagaimana proses politik itu sendiri adalah budaya berbentuk.
Clifford Geertz mungkin adalah antropolog yang paling terkenal saat ini hidup. Dia adalah salah
satu dari beberapa antropolog yang sering dikutip di luar, maupun di dalam, disiplin. Bagi
mereka yang menemukan inspirasi dalam teks, dan bagi mereka yang hanya menemukan muram,
Geertz terus memprovokasi pemikiran mengenai sifat kebudayaan dan etnografi. Sementara esai
ini adalah selalu (sayangnya) tidak lengkap, mereka yang berusaha untuk menemukan
rangsangan lebih lanjut dari Geertz didesak untuk membaca dengan teliti daftar berikut.
Daftar Pustaka

Abubakar, H. (1954). Sejarah Ka‟bah. Bulan Bintang Djakarta.


Abubakar Atjeh, H. (1965). Sji‟ah Rasionalisme Dalam Islam. Yayasan Lembaga Penjelidikan
Islam Djakarta.
Ali Basja Loebis. (Tahun tidak diketahui). Islamologi, seri 4-5. Batjiro PR.3 Jogjakarta.
Burhanuddin Daya. (1988). Agama Yahudi di dalam Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan Kali
Jaga Press Yogyakarta.
Chumaidi Sjarief Romas. (1988). Agama Kristen Protestan di dalam Agama-agama di Dunia.
IAIN Sunan Kali Jaga Press Yogyakarta.
Cudamani. (1987). Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Yayasan Wisma Karma
Jakarta.
Fathhudin Abdul Gani. (1988). Agama Katolik, di dalam Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan
Kalijaga Press Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai