Anda di halaman 1dari 3

Konsep Dasar Antropologi sosial

Mencakup 5 pokok kajian yaitu :


1. Sejarah terjadi dan perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.
2. Sejarah terjadinya aneka warna manusia berdasarkan cirri-ciri tubuh.
3. Persebaran dan terjadinya keseragaman bahasa yang diucapkan manusia.
4. Perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia.
5. Masalah keragaman budaya suku-suku bangsa seluruh dunia dewasa itu.

Pengertian bagan ruang lingkup antorpologi social


Antropologi fisik adalah ilmu yang mencoba menelaah manusia sebagai makhluk fisik yang tumbuh dan
berkembang hingga terjadinya keanekaragaman manusia menurut iri-ciri tubuh atau fenotipe seperti warna
kulit, rambut, warna mata, bentuk hidung dan sebagainya.
Sejarah antorpologi Sosial
Kebanyakan antropolog sependapat bahwa antropologi muncul sebagai suatu cabang keilmuan yang jelas
batasannya pada sekitar pertengahan abad ke-19, tatkala perhatian orang pada evolusi manusia
berkembang.
sebagai disiplin akademik baru dimulai tidak lama setelah itu ketika pengangkatan pertama
antropolog profesional di Universitas, museum, dan kantor-kantor pemerintahan
(Garbarino,1984;koenjtaraningrat,1991). Namun tidak ada keraguan bahwa gagasan antropologi sudah
ada jauh sebelumnya. Tapi, ihwal kapan adalah diperdebatkan meski tidak khusus setiap antropolog dan
ahli sejarah memiliki alasan sendiri-sendiri untuk menentukan kapan antropologi dimulai. Dari sudut
pandang “sejarah gagasan”, tulisan-tulisan filsuf, dan peziarah yunani, sejarawan arab kuno, peziarah
eropa kuno, maupun masa renaisans, dan filsuf, ahli hukum, ilmuwan berbagai bidang dari Eropa,
semuanya bisa dianggap pendorong bagi dibangunnya tradisi antropologi (Koentjaraningrat, 1991).
Sebagai contoh, Alan Barnard (2000) berpendapat bahwa kelahiran antropologi adalah ketika
konsep “kontrak sosial” tersebut. Perdebatan pada abad ke-18 mengenai asal usul bahasa dan megenai
hubungan antara manusia dengan apa yang kita sebut primata yang lebih tinggi juga relevan, sebagaimana
halnya perdebatan pada abad ke-19 antara poligenesis (keyakinan bahwa setiap ‘ras’ mempumyai asal
usul terpisah) dan monogenesis (keyakinan bahwa manusia memiliki asal usul keturunan yang sama, dari
adam atau dari makhluk semacam kera.
Antropologi di Eropa pada abad ke-18
Menurut Jean jacques Rousseau, dalam tulisannya of the social contract (1973[1762]:183), menyatakan
bahwa: “kalau kita mengikuti pandangan [Grotius] bahwa kekuasaan itu dibangun bagi yang dikuasai,
maka niscaya spesies manusia terbagi-bagi menjadi begitu banyak kelompok seperti kelompok
penggembalaan ternak –nya demi kepentingan mereka sendiri” (1973[1762]:183).
Antropologi pada abad ke-19, terlebih abad ke-20, berkembang dalam arah yang lebih sistematik
dan menggunakan peralatan metodologi ‘ilmiah’. Persoalan paradigma menjadi semakin
penting. (achmad fedyani saifuddin, 2006)

Pendekatan Antropologi Sosial


Pada dasarnya, perhatian antropologi yang paling awal adalah mengenai ciri-ciri dan sifat-sifat
masyarakat: bagaimana manusia berhubungan satu sama lain, dan bagaimana masyarakat berubah
sepanjang waktu dan mengapa masyarakat berubah sepanjang waktu.
Pendekatan secara interaktif memusatkan perhatian pada mekanisme, yang melalui mekanisme
tersebut individu-individu saling berhadapan dengan individu lainnya, atau semata-mata tentang cara-cara
individu-individu mendefinisikan situasi sosial mereka.
Pendekatan yang di gunakan antropologi menggunakan pendekatan kuantitatif (positivistik) dan
kualitatif (naturalistik). Artinya, dalam penelitian antropologi dapat di lakukan melalui pengkajian secara
statistik matematis, baik di lakukan untuk mengukur pengaruh maupun maupun korelasi antar variabel
penelitian, maupun dilakukan secara kualitatif-naturalistik.
Selain pendekatan positivistik dan naturalistik, menurut kapplan dan manners(1999:6) dalam
antropologi pun di kenal pendekatan relativistik dan lomparatif. Pendekatan relativistik memandang
bahwa setiap kebudayaan merupakan konfigurasi unik yang memiliki cita rasa kha, gaya, serta
kemampuan tersendiri. Keunikan itu sering di nyatakan dengan dukungan maupun tanpa dukungan bukti
serta tidak banyak upaya membahas atau menjelaskannya. Memang dalam pengertian tertentu, setiap
budaya itu unik, persis sebagaimana uniknya individu,tiap helai rambut dan tiap atom di alam semesta
tidak sama. Perbedaan itu kadarnya bermacam-macam. Apabila suatu fenomena sepenuhnya unik maka
mustahil kita akan memahaminya. Sebab kita mampu memahami sesutu fenomena hanya dengan
memahami bahwa ia mengandung beberapa kemiripan tertentu dengan hal-hal yang telah kita kenal
sebelumnya. Masyarakat relativ menyatakan bahwa suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan
tunggal dan hanya sebagai dirinya sendiri.
Kaum komparativis berpendapat bahwa suatu institusi, proses, kompleks, atau ihwal sesuatu hal,
haruslah terlebih dahulu dicopot dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat
dibandingkan dengan institusi, proses, kompleks, atau ihwal-ihwal dalam konteks sosiokultular lain.
Adanya relativitas yang ekstrem, berangkat dari anggapan-anggapan bahwa tidak ada dua budaya pun
yang sama, pola, tatanan, dan makna akan di paksakan jika elemen-elemen diabstraksikan demi
perbandingan. Oleh karena itu, perbandingan bagian-bagian yang telah di abstraksikan dari suatu
keutuhan, tidaklah dapat di pertahankan secara analitis.
Namun, karena pemahaman tentang ketidaksamaan itu bersumber dari perbandingan, maka tidak
dapat kita katakan bahwa pendekatan relativistik itu tidak memiliki titik temu dengan pendekatan
komparatif . titik temu kedua pendekatan tersebut terletak pada pasal tidak di izinkannya pemaksaan .
terutama soal-soal yang berkaitan dengan ideologi, minat, dan tekanan yang menimbulkan keragaman
pendekatan metodologis tersebut.sebab komparatif dan relatifis sama-sama mengetahui bahwa tidak ada
dua budaya pun yang sama persis. Sungguh pun demikian, mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan itu
paling tidak 2 hal penting, yaitu walaupun para komparatifis mengakui bahwa semua bagian suatu budaya
niscaya ada unsur perbedaannya, tetapi mereka percaya dan menekankan pada unsur persamaannya yang
saling berkaitan secara fungsional,sebaliknya kaum relatifis sangat menekankan masalah-masalah
perbedaan di banding komparatifis (kapplan dan mannrs, 1999:6-8).

Teori Antropologi Sosial


Dalam antropologi sosial atau budaya, suatu pembedaan sering kali dibuat antara ‘etnografi’ dan
‘teori’. Etnografi secara harfiah adalah praktik penulisan mengenai suatu masyarakat. Sering kali
etnografi sebagai cara kita untuk manjadikan masuk akal mode pemikiran orang lain, karena ahli
antropologi biasanya mempelajari budaya lain ketimbang kebudayaannya sendiri.oleh karena itu, teori
dan etnografi mau tak mau menjadi satu kesatuan, seperti dua sisi pada sekeping uang logam. Adalah
tidak mungkin kita membicarakan dalam etnografi tanpa gagasan tertentu tentang apa yang penting dan
yang tidak penting.

Etnografi adalah berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphein yang berarti tulisan
atau uraian. Jadi berdasarkan asal katanya, etnografi berarti tulisan tentang/ mengenai bangsa. Namun
pengertian tentang etnografi tidak hanya sampai sebatas itu. Burhan Bungin ( 2008:220) mengatakan
etnografi merupakan embrio dari antropologi. Artinya etnografi lahir dari antropologi di mana jika kita
berbicara etnografi maka kita tidak lepas dari antropologi setidaknya kita sudah mempelajari dasar dari
antropologi. Etnografi merupakan ciri khas antropologi artinya etnografi merupakan metode penelitian
lapangan asli dari antropologi ( Marzali 2005:42).

Etnografi biasanya berisikan/menceritakan tentang suku bangsa atau suatu masyarakat yang biasanya
diceritakan yaitu mengenai kebudayaan suku atau masyarakat tersebut. Dalam membuat sebuah etnografi,
seorang penulis etnografi (etnografer) selalu hidup atau tinggal bersama dengan masyarakat yang
ditelitinya yang lamanya tidak dapat dipastikan, ada yang berbulan-bulan dan ada juga sampai bertahun-
tahun. Sewaktu meneliti masyarakat seorang etnografer biasanya melakukan pendekatan secara holistik
dan mendiskripsikannya secara mendalam atau menditeil untuk memproleh native’s point of view. Serta
metode pengumpulan data yang digunakan biasanya wawancara mendalam ( depth interview) dan
obserpasi partisipasi di mana metode pengumpulan data ini sangat sesuai dengan tujuan awal yaitu
mendeskripsiakan secara mendalam.
Membuat etnografi juga merupakan hal yang wajib dilakukan uuntuk para sarjana antropologi. Seperti
yang ditulis oleh Marzali (2005: 42): “ Bagaimanapun, etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari
seorang ahli antropologi yang propesional. Etnografi adalah satu pekerjaan inisiasi bagi yang ingin
manjadi ahli antropologi professional. Seseorang tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang ahli
antropologi professional jika sebelumnya dia tidak melakukan sebuah etnografi, dan melaporkan hasil
penelitiannya. Hasil penelitiannya ini harus dinilai kualitasnya…Untuk meningkat ke peringkat yang
lebih tinggi maka…pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya adalah apa yang disebut sebagai
comperative study, basik secara diakronis maupun secara sinkronis”.
Jika kita membaca tulisan tersebut, terlihat penulis ingin menekankan bahwa membuat etnografi itu
merupakan suatu kewajiban. Sesorang sarjana antropologi wajib menghasilkan sebuah etnografi jika
belum maka seseorang tersebut belum dikatakan seorang sarjana antropologi. Namun jika sudah maka
seseorang tersebut berhak untuk dikatakan seorang sarjana antropologi namun belum bisa dikatakan
sebagai ahli antropologi sesungguhnya ( ahli etnologi ). Seseorang dikatakan ahli etnologi apabila
seseorang tersebut melakukan pekerjaan yang lebih tinggi yaitu comparative study dalam basic diakronis
maupun sinkronis.

Anda mungkin juga menyukai