Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Tarjih - Volume 13 Nomor 1 (2016), hlm.

15-32

TAUHID BUDAYA
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal
dalam Perspektif Antropologi Islam

Moh Soehadha
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
suhadhaa@yahoo.co.id

Abstrak
Akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan ragam religiositas
yang unik dan berbeda dengan religiositas muslim di tempat lain. Artikel berikut
menunjukkan suatu konsep yang berisi asumsi dan strategi dalam memandang kompromi
antara Islam dengan budaya lokal yang disebut sebagai tauhid budaya. Sebagai sebuah
konsep, tauhid budaya menjadi sebuah teori sekaligus strategi dalam melihat dan
merespons religiositas Islam Nusantara. Tauhid budaya mengakomodasi dua cara
pandang sekaligus, yaitu Islam normatif dan Islam faktual.

Pendahuluan
Islam Nusantara dikenal sebagai Islam yang ramah dan lentur sehingga dapat
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal. Corak sufisme menjadikan Islam
yang masuk ke nusantara diterima dengan damai, seperti halnya saat masuknya
Buddha dan Hindu. Karakter Islam yang lentur menyebabkan terjadinya akulturasi
antara Islam dengan budaya lokal nusantara, sehingga menghasilkan ragam mozaik

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
16 Moh Soehadha

tradisi keagamaan. Paparan dalam artikel ini tidak


Kini dalam situasi global mempersoalkan bag aimana dua
kontemporer, yaitu ketika Islam acapkali pandangan dalam melihat Islam dan
dicitrakan sebagai agama kekerasan, lokalitas itu sebagai pandangan yang
banyak kalangan memimpikan kembali benar atau salah, namun berusaha
tentang “Islam yang mempesona”, memberikan tawaran tentang sebuah
yang toleran dan akomodatif terhadap strategi dalam melakukan sinergi
kearifan lokal. Namun pesona wajah antara sistem gagasan Islam dengan
antropologis Islam yang damai itu, sistem gagasan lokal. Islam Nusantara
sering menghadapi dua masalah atau dipandang sebagai khasanah dan proses
dipermasalahkan. Pertama, adanya transformasi nilai-nilai lokal ke dalam
asumsi dari sebagian muslim bahwa jati diri Islam. Strategi sinergi Islam
Islam yang akomodatif cenderung dan lokalitas ini dapat disebut sebagai
sinkretis sehingga tidak mencerminkan tauhid budaya. Sebagaimana dinyatakan
ajaran Islam yang sebenarnya, unsur- oleh Ismail R. Al-Faruqi dan Lousi
unsurnya bernuansa bidah, dan dekat Lamnya Al-Faruqi bahwa tauhid adalah
dengan syirik. Kedua, adanya pandangan pandangan tentang dunia, tentang
bahwa Islam yang akomodatif terhadap realitas yang tumbuh dalam ruang dan
lokalitas tidaklah bertentangan dengan waktu.1 Tauhid budaya adalah dimensi
ajaran Islam, namun pandangan budaya dari Tauhidullah. Tauhid Ilahiah
kedua ini cenderung terjebak pada dan Rububiyah yang sudah tertanam di
romantisme-antropologika. kalangan muslim, dan yang diturunkan
Mereka yang memiliki pandangan dalam ranah budaya, ke dalam realitas
kedua umumnya terinspirasi oleh kajian- budaya secara konkrit atau Islam faktual
kajian klasik para antropolog, yaitu dan aktual.2 Manusia bertanggungjawab
ketika dalam penelitian mereka banyak mengaktualisasikan perintah ilahiah
ditemukan pola hidup pada masyarakat dalam dirinya dan dalam lingkungan
bersahaja yang menampilkan sikap budayanya.
hidup yang arif terhadap alam dan Sejarah, rag am cara hidup
sesama. Namun keinginan kembali ke manusia, dan lokalitas adalah bagian dari
nilai-nilai masa lalu menjadi pupus, tanda kebesaran-Nya.3 Untuk melihat
karena zaman sudah berubah. Ketika
1. Ismail R. Al Faruqi dan Lousi Lamnya
diterapkan kembali pola hidup masa
Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan
lalu, pada akhirnya mozaik tradisi (Jakarta: Mizan, 1998).
keagamaan sebagai produk akulturasi 2. Pandangan ini sejalan dengan gagasan
Islam dengan budaya lokal itu hanya Amin Rais tentang tauhid social; M. Amin Rais,
menjadi tontonan, aset wisata, mutiara Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan
(Bandung Mizan, 1998).
tanpa makna, karena sulit diteladankan
3.  Lihat Al-Quran, 13: 2; 14: 32-33; 16:
pada generasi “instan” kekinian. 12, 14; 22: 36-37, 65; 29: 61; 31: 20.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 17

aktualisasi tauhid dalam ranah budaya any other capabilities and habits acquired by
pada berbagai ragam komunitas, maka man as a member of society”.
diperlukan sebuah landasan ilmiah. Dalam definisi tersebut terdapat
Antropologi adalah ilmu pengetahuan titik tekan tentang kebudayaan sebagai
yang telah mengkaji aspek faktual, atau hal-hal yang diperoleh dengan cara belajar
wajah keseharian dari kebudayaan dalam (acquired by man), sehingga kebudayaan
sistem tindakan dan hasil karya manusia. itu secara prinsipil membedakannya
Untuk itu tauhid budaya sebagai strategi dari inti kajian antropologi ragawi
dalam memandang sinergi Islam dan yang menganggapnya sebagai hal-hal
lokalitas perlu memanfaatkan data dan yang ditentukan oleh “keturunan”.
pendekatan antropologis. Salah satu kajian antropologi fisik,
sebagaimana dikembangkan oleh Carles
Konsep Kebudayaan dalam Darwin menganggap bahwa tingkah
Antropologi laku manusia dalam kebudayaannya
Kebudayaan yang disejajarkan ditentukan oleh keturunan.6 Dengan
dengan istilah “culture” dalam bahasa definisi tentang kebudayaan itulah, maka
Inggris merupakan inti kajian dalam terdapat perbedaan konsep kebudayaan
dua percabangan besar Antropologi.4 dalam dua percabangan besar
Sebagai inti kajian antropologi, maka antropologi, yaitu antropologi budaya
konsep kebudayaan telah muncul dan antropologi fisik. Antropologi
sejak perintis dasar ilmu tersebut yaitu fisik yang banyak bersentuhan dengan
E.B. Tylor menulis bukunya yang biologi memandang aspek genetik
pertama dan sebagai landasan awal mempengaruhi kebudayaan. Sementara
tentang kiprah kajian ilmu tersebut. antropologi budaya banyak bersentuhan
Tylor menyatakan bahwa antropologi dengan ilmu sosial dan humaniora,
adalah the science of culture,5 dan dalam memandang kebudayaan sebagai proses
bukunya Primitive Culture (1877) Tylor belajar, dan tidak semata dipengaruhi
mendefinisikan kebudayaan sebagai; oleh keturunan.
…is that complex whole which includes Konsep dan definisi Tylor
knowledge, belief, art, moral, law, custom, and tentang kebudayaan tersebut terus
bertahan dijadikan landasan bagi
4.  Berasal dari kata Latin cultura yang
berarti pemeliharaan, penggarapan dalam pengembangan ilmu antropologi
pertanian. Dalam arti kiasnya digunakan untuk budaya sampai setengah abad sejak
pembentukan, pemurnian, misalnya pemben- Tylor menulis buku tersebut. Pada
tukan dan pemurnian jiwa. Lihat J. Van Baal, perkembangannya, muncul kritik yang
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya menganggap konsep kebudayaan yang
(Hingga Dekade 1970), terj. J.Pery, (Jakarta:
Gramedia, 1987), hlm 15. diletakkan oleh Tylor tersebut sebagai
5.  Paul Bohanan and Mark Glazer (ed.),
High Points in Anthropology (New York: Alfred 6.  Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori
A. Knopf, 1973), hlm. 61-3. Antropologi Budaya, hlm 4.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
18 Moh Soehadha

konsep kebudayaan “sapu bersih”.7 Antropolog memahami kebudayaan


Definisi kebudayaan sebagai totalitas sebagai tata hidup, way of life. Psikolog
dari tindakan manusia dianggap kurang memahami kebudayaan sebagai segi
standar untuk memberikan tekanan penyesuaian manusia kepada alam
atau fokus tentang “apa sebenarnya sekelilingnya, kepada syarat-syarat
inti dari kajian antropologi”. Konsep hidup. Ilmu bangsa-bangsa dan petugas
dan pengertian kebudayaan tersebut museum memahami kebudayaan atas
terlalu luas, dan hampir semua yang hasil artefak dan kesenian.9
dilakukan manusia adalah kebudayaan. Roger M. Keesing menyatakan
Definisi itu mengakibatkan Antropolog bahwa tantangan bagi antropolog pada
menjadi kurang fokus dalam mendalami masa selanjutnya adalah memberikan
kebudayaan sebag ai inti kajian konsep dan definisi “kebudayaan” yang
Antropologi. dipersempit tetapi menggambarkan
Berangkat dari kegelisahan untuk cakupan yang lebih luas. 10 Keesing
menemukan pengertian kebudayaan kemudian memberikan pemetaan
yang memadai, antropolog A.L. tentang empat pendekatan dalam
Kroeber dan C. Kluckhohn (1952) memandang kebudayaan. Pertama,
pernah mengumpulkan berbagai adalah pendekatan yang memandang
definisi kebudayaan, sehingga tercatat kebudayaan sebagai sistem adaptif
lebih dari 160 definisi tentang dari keyakinan dan perilaku manusia
kebudayaan. 8 Mereka memetakan yang diperoleh dengan cara belajar
definisi kebudayaan itu menurut tujuh untuk menyesuaikan diri dengan
kategori berdasarkan fokus ilmu lingkungannya. Kedua, pendekatan
pengetahuan. Sosiolog memahami yang memandang kebudayaan sebagai
kebudayaan sebagai keselur uhan sistem kognitif, yang dalam pendekatan
kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ini kemudian berkembang dengan
ilmu, dan sebagainya) yang dimiliki nama antropologi kognitif dan
manusia sebagai subjek masyarakat. etnosains. Ketiga, adalah pendekatan
Sejarawan menekankan perkembangan yang memandang kebudayaan sebagai
kebudayaan dan memberi pengertian sistem struktur dari simbol-simbol
sebagai warisan sosial dan tradisi. yang dimiliki bersama oleh masyarakat
Filsuf menekankan aspek normatif, yang memiliki analogi dengan struktur
kaidah kebudayaan dan terutama pemikiran manusia. Keempat, adalah
pembinaan nilai dan realisasi cita-cita. kebudayaan sebagai sistem simbol dan
7. Achmad Fedyani Syaifuddin, Antrop-
ologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai 9.  J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan:
Paradigma (Jakarta: Prenada, 2005), hlm 82-4. Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 1984),
8.  Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu hlm.27-8.
Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), 10.  Syaifuddin, Antropologi Kontemporer,
hlm 181. hlm 83

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 19

makna-makna yang dimiliki bersama Dengan mengambil pengertian


oleh manusia dan bersifat publik. yang umum tentang kebudayaan
Untuk mempermudah bagaimana sebagaimana di atas, maka setiap
memahami konsep kebudayaan, organisasi atau kelompok sosial
tanpa terlepas dari cara antropologi (masyarakat) dan komunitas termasuk
memberi pemahaman melalui sistem sosial yang kompleks seperti
keempat pendekatan tersebut, berikut negara, dibedakan oleh “kebudayaan”.
ditunjukkan beberapa aspek utama Masing-masing memiliki kekhasan
dalam pengertian kebudayaan. Pertama, struktur gagasan (an unique cognitive
kebudayaan diperoleh dengan belajar, structure) atau mode gagasan atau
baik secara sadar maupun tidak sadar. pandangan dunia (world view), aturan
Kedua, kebudayaan adalah cara hidup tentang panduan moral (rules of moral
manusia dalam menerima lingkungan conduct; norm, ethos), pola interaksi
dan berperilaku di dalamnya. Dalam (patterns of social interactions) seperti yang
kebudayaan terdapat makna tentang ada dalam struktur sosial, keluarga dan
hakikat manusia sebagai makhluk sebagainya, dan hasil karya atau artefak.
simbolis, makhluk yang mampu Secara sederhana Koentja­
menciptakan simbol-simbol dalam raningrat memberi pemahaman tentang
hidupnya. Bahwa rutinitas hidup tiga wujud kebudayaan, yaitu wujud
manusia didominasi oleh simbol, yang kebudayaan sebagai sistem gagasan atau
terwujud dalam tingkah laku maupun ide, wujud kebudayaan sebagai tindakan,
hasil karya. Ketiga, kebudayaan bersifat dan wujud kebudayaan sebagai hasil
publik, artinya merupakan cara berfikir karya. 11 Wujud pertama merupakan
dan berperilaku yang bersifat kolektif wujud ideal kebudayaan, sebuah sistem
menurut komunitasnya. Oleh karena gagasan yang khas. Dalam pandangan
itu kebudayaan bersifat relatif, nilai- antropologi kognitif, wujud pertama
nilai benar atau salah, baik atau buruk sebagai hakikat dari kebudayaan
hanya dapat dilihat dari kaca pandang itu sendiri. Maka dalam pandangan
menurut publiknya atau komunitas antropologi kognitif, apapun kajian
pendukung kebudayaan itu sendiri. tentang kebudayaan dalam wujudnya
Keempat, kebudayaan terekspresikan sebagai tindakan maupun artefak hasil
melalui tingkah laku dan hasil karya karya manusia, analisis harus sampai
masyarakat. Kelima, kebudayaan selalu kepada sistem gagasan. Wujud kedua
mengalami perubahan. Tidak ada yang adalah kebudayaan yang terefleksikan
abadi dalam kebudayaan, yang abadi dalam tindakan manusia, dalam pola
adalah perubahan itu sendiri. Keenam, interaksi, dalam pergaulan, atau dalam
kebudayaan pada suatu masyarakat tindakan keseharian. Berbeda dengan
dapat saling menyebar dan menerima
kebudayaan lain. 11.  Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, hlm. 186-7.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
20 Moh Soehadha

sistem gagasan yang bersifat abstrak, antara adat dan agama, sehingga
tindakan bersifat konkret merupakan kategorisasi agama abangan, santri, dan
fakta-fakta yang bisa diamati secara priyayi tidak tepat.12 Kesalahan Geertz
inderawi. Wujud yang ketiga adalah dianggap sebagai akibat dari kurangnya
artefak atau hasil karya manusia. Sama pendalaman pengetahuan Geertz
halnya dengan tindakan, hasil karya tentang Islam.
manusia adalah konkret, seperti barang Meskipun kritik terhadap Geertz
atau perlengkapan manusia, bangunan, tersebut tidaklah tepat benar, karena
karya seni dan sebagainya. kaca pandang ilmu yang berbeda
d a r i p e n g r i t i k n y a , a t a u b a h wa
Islam Sebagai Sistem Budaya sebenarnya Geertz tidak melakukan
Dalam sejarah kajian budaya studi agama dari perspektif teologi.
dan Islam di Indonesia, perhatian Namun demikian, kritik terhadap
terhadap religiositas komunitas agama Geertz telah mengindikasikan
historis (agama besar) dan interaksinya bahwa studi Islam dalam perspektif
dengan kebudayaan, khususnya Islam, Antropologi sekalipun, tetap tidak
mulai berkembang di Indonesia setelah boleh mengesampingkan sisi normatif
seorang Antropolog Amerika, Clifford agama yang dikaji. Asumsi tentang
Geertz (1960) melahirkan kar ya perlunya pendalaman sisi normatif
monumental The Religion of Java yang agama dalam studi Antropologi Agama
kemudian dialih-bahasakan ke dalam itu, justru muncul dari pernyataan
bahasa Indonesia dengan judul Abangan, Geertz sendiri. Menurutnya dimensi
Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa agama meliputi dua hal, yaitu fungsi
(1981). Studi Geertz telah memicu agama sebagai model for, yaitu sebagai
penggunaan metodologi Antropologi aspek evaluatif-normatif agama, dan
dalam studi agama, yaitu mengkaji fungsi agama sebagai model of; yaitu sisi
religiositas masyarakat muslim di Jawa empiris atau representasi agama dalam
dalam konteks kultural, bukan sebagai realitas sosial.
studi agama yang bersifat teologis. Melalui analisis antropologis,
Beberapa kritik kemudian Geer tz memperlihatkan bahwa
muncul terhadap hasil penelitian Geertz m a s y a r a k a t Ja w a y a n g s e r i n g
tersebut, meskipun kritik itu dalam digambarkan sebagai masyarakat yang
banyak hal sebenarnya juga sebagai homogen dari sudut agama, yaitu
akibat dari kurangnya pengetahuan para ditinjau dari perspektif agama dimana
ilmuwan tersebut dalam memahami kondisi sosial di Jawa menunjukkan
prosedur penelitian Antropologi.
12.  Harsya W. Bachtiar, “K ata
Di antara kritik terhadap Geertz itu, Pengantar”, dalam Clifford Geertz, Abangan,
dilontarkan oleh Harsja W. Bachtiar, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:
bahwa Geertz tidak bisa membedakan Pustaka Jaya, 1983).

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 21

adanya jumlah penduduk yang sebagian Pandangan antropologis tentang


besar (90%) beragama Islam. Dalam agama sebagai sistem budaya juga dapat
telaahnya yang terkait dengan tujuan dipahami dari pandangan antropolog
itu, ternyata di Jawa menunjukkan suatu tentang kitab suci. Tentang asal-usul
gambaran yang sensasional menurut kitab suci sebagai wahyu Tuhan, para
ukuran ilmiah, bahkan bagi mereka ahli antropologi tidak menyangkalnya
yang merupakan orang asli Jawa. Geertz sejauh itu menjadi keyakinan masing-
melalui kerangka teoretisnya mampu masing penganut agama. Namun
menunjukkan adanya variasi trikotomi dalam pandangan antropolog, manusia
dalam struktur agama masyarakat Jawa; memiliki akal pikiran, mempunyai
abangan, santri, priyayi. Dari temuan sistem pengetahuan yang digunakan
Geertz tersebut dapat dipahami bahwa untuk menafsirkan berbagai gejala
dalam sisi faktual Islam dipengaruhi serta simbol-simbol, digunakan untuk
oleh konteks sosial budaya. Artinya menjelaskan hal-hal yang dihadapi.
bahwa secara teologis orang Mojokuto Namun pemahaman manusia sangat
yang diteliti Geertz adalah Islam, namun terbatas, sehingga tidak dapat tuntas
dalam keseharian, akibat pengaruh mencapai hakikat dari ayat-ayat suci.
struktur sosial budaya dan sejarah, Mereka hanya mampu menafsirkan ayat-
religiositas mereka terwujud dalam ayat suci, sesuai dengan kemampuan
variasi trikotomi: abangan, santri, dan yang ada. 13 Cara dan kemampuan
priyayi. berfikir yang berbeda antara manusia
Clifford Geer tz mengkaji satu dengan lainnya juga menyebabkan
agama dengan suatu pendekatan yang tafsir atas ayat suci juga menghasilkan
memandang agama sebagai bagian dari pemaknaan, dan berpengaruh pada
kehidupan sehari-hari manusia, sehingga tingkah laku religius yang berbeda-beda.
seperti kelihatan lepas dari doktrin suci. Perbedaan seperti etnisitas, bangsa,
Religiositas dikembalikan pada situasi bahasa, geografis, dan sebagainya
yang menghayatinya, meyakininya, menyebabkan terbentuknya kebudayaan
dan penganut yang terpengaruh oleh yang berbeda satu sama lain.
doktrin suci. Hal yang dipermasalahkan Pandangan tentang Islam sebagai
bukanlah apakah doktrin, keyakinan itu sistem budaya juga dapat dijelaskan dari
benar, namun yang menjadi dasar kajian karya Geertz lainnya yang berjudul Islam
adalah “fakta”, sesuatu yang aktual, Observed. Dalam kajiannya ia melakukan
yaitu bagaimana agama itu dirasakan perbandingan antara Islam faktual
kehadirannya dalam kehidupan pada masyarakat Maroko dengan Islam
manusia, individu dan masyarakat. faktual pada masyarakat Indonesia.
Pada titik inilah maka Islam adalah Dalam kajian itu ditunjukkan kembali,
sistem budaya. 13.  Heddy Shri Ahimsa Putra,
“Penutup”, dalam J.W.M. Bakker SJ, Filsafat
Kebudayaan, hlm. 150-2.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
22 Moh Soehadha

bagaimana Islam dengan doktrin penetrasi keyakinan agama terhadap


ajaran yang sama, namun menunjukkan hal-hal dalam kebudayaan yang sudah
realitas budaya yang berbeda. Sejarah ada, dan punya tang gung jawab
persebaran Islam di Indonesia dan menyebarkan dan membela keyakinan
Maroko sama-sama bernuansa mitos, agamanya, yaitu Islam.14 Perbedaan dan
menghadirkan para pendakwah pada persamaan antara Islam Indonesia dan
masa awal yang memiliki kesaktian di Islam Maroko mengukuhkan asumsi
luar kewajaran manusia. bahwa agama memiliki aspek ganda;
Di Jawa, Islam disebarkan oleh pertama, memberi arti pada berbagai
tokoh wali sanga yang begitu akomodatif realitas sosial dan psikologis bagi para
terhadap keyakinan masyarakat penganutnya, yang dengan demikian
sebelumnya, begitu lunak dan halus. mendapatkan “bentuk konseptual yang
Tokoh utama wali sanga sebagai objektif ”, dan kedua pada saat yang
penyebar Islam di Jawa, yaitu Sunan sama membentuk realitas itu sesuai
Kalijaga dikontraskan dengan tokoh dengan isi agama itu.15
utama penyebaran Islam di Maroko
Abu ali Al-Hasan bin Mas’ud Al–Yusi Tauhid Budaya
yang populer dikenal Sidi Lahsen Lyusi. Konsep dan penger tian
Dua tokoh, dua kebudayaan Islam, antropologis tentang Islam sebagai
seperti halnya kebudayaannya, dua sistem budaya sebagaimana dipaparkan
tokoh tersebut di samping berbeda di atas, dipandang sebagai elemen
juga menunjukkan persamaan. Tokoh penting dalam mengembangkan
Sunan Kalijaga digambarkan sebagai konsep tauhid budaya. Sebab tauhid
tokoh yang mampu menyesuaikan ciri- budaya diasumsikan sebagai sebuah
ciri lahiriahnya dengan lingkungan yang pendekatan yang melibatkan dua
baru sambil mempertahankan kesucian aspek utama sekaligus, yaitu kaca
batinnya; yang satunya yaitu Lyusi pandang faktual dan kaca pandang
adalah seorang puritan yang fanatik normatif atau ajaran Islam. Konsep
yang dalam keadaan apapun berpegang ini mungkin sejalan dengan pendekatan
pada kesucian pribadi sebagai kekuatan yang ditawarkan oleh Akbar S. Ahmed
tertinggi. sebagai Antropologi Islam. Akbar
Namun demikian tetap terdapat S. Ahmed memberi peng er tian
kesamaan antar keduanya, pertama Antropologi Islam sebagai; “Kajian
kedua tokoh itu sangat konservatif 14. Clifford Geertz, Islam yang Saya
dalam hal mempertahankan kesadaran Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia,
bentuk-bentuk kesadaran religius yang terj. Hasan Basari dan Bur Rasuanto (Jakarta:
telah mereka terima terhadap tantangan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982), hlm.30-66.
15.  Bassam Tibbi, Islam Kebudayaan dan
sosial politik masyarakat pada saat itu. Perubahan Sosial, terj.Misbah Zulfa Elizabeth
Kedua, mereka sama-sama melakukan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 16.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 23

tentang kelompok-kelompok muslim Secara sederhana tauhid dipahami


oleh para pakar yang berpegang teguh sebagai keyakinan dan kesaksian
pada prinsip-prinsip universalistik bahwa ”tiada tuhan selain Allah.”
Islam-kemanusiaan, ilmu pengetahuan, Menurut Damami, dalam berakidah
toleransi---dengan mengaitkan kajian- atau bertauhid tidak dapat lepas dari
kajian kesukuan kampung mikro secara keniscayaan berproduk budaya. Artinya,
khusus dengan kerangka historis dan pada dasarnya berakidah atau bertauhid
ideologis Islam yang lebih besar. Islam itu adalah kebutuhan manusia, bukan
di sini dipahami bukan sebagai teologi merupakan kebutuhan Tuhan. Oleh
tetapi sebagai sosiologi, sehingga karena itu aktualisasi Tauhid manusia
definisinya tidak mengesampingkan adalah produk budaya, menghasilkan
non-muslim.”16 ragam tindakan dan hasil karya budaya.
Dengan kata lain, tauhid budaya Sebab Tuhan tidak dapat dimiripkan
merupakan konsep yang menghadirkan sama sekali dengan realitas makhluk
dua dimensi agama sekaligus, yaitu Islam (alam semesta) ini (al-Ikhlāṣ [112]: 4),
dalam dimensi model for reality dan Islam justru Tuhan adalah sumber permintaan
dalam dimensi model of reality. Tauhid manusia (al-Ikhlāṣ [112]: 2), karena
budaya diletakkan sebagai konsep Allah adalah Maha Kaya dan Maha
untuk merefleksikan akar teologi Islam Terpuji (Luqmaan [31]: 26), apa saja
dalam ranah faktual. Tauhid bukanlah yang ada di planet bumi yang hanya
aspek teologis yang hanya menyangkut satu-satunya ini dan isi langit alam
keyakinan semata, namun terefleksikan semesta adalah milik Allah.17 Wujud
dalam denyut keseharian masyarakat tingkah laku manusia atau religiositas
muslim dan budayanya. Bahwa Islam manusia dalam bertauhid inilah yang
adalah universal, sebagai sesuatu menghasilkan Islam yang sangat variatif.
yang tunggal tetapi eksistensinya Menurut Isma’il Al-Faruqi dan
terwujud dalam ragam lokalitas hidup Lois Lamnya Al-Faruqi, tauhid adalah
penganutnya. Hal ini sebagaimana dapat pandangan dunia, yaitu pandangan
dilihat landasannya dalam Quran surat umum tentang realitas, kebenaran,
al-Ḥujurāt (48): 13, bahwa manusia dunia, ruang dan waktu, serta sejarah
dijadikan oleh Allah dari laki-laki manusia. 18 Sebagai worldview, maka
dan perempuan, kemudian dijadikan tauhid merupakan inti budaya, tauhid
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, menjadi sistem gagasan dan membentuk
agar saling mengenal.
17.  Moh. Damami, “Cara Akidah
Menyapa Kebudayaan”, http://suaramu-
16.  Gabrriel Marranci, “Sosiologi dan hammadiyah.com/wawasan/bina-
Antropologi Islam: Sebuah Pendekatan Kritis”, akidah/2016/03/13/cara-akidah-menyapa-
dalam Bryan S. Turner (ed.), Sosiologi Agama, terj. kebudayaan/
Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 18.  Al Faruqi dan Al Faruqi, Atlas
hlm. 635-76. Budaya Islam, hlm 110.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
24 Moh Soehadha

Etos. Sebagai inti budaya, tauhid Ulama, Muhammadiyah, Persis,


memiliki dua segi; metodologis dan isi. Nahdlatul Wathan, dan seterusnya.
Dimensi metodologis tauhid Kita juga dapat melihat wajah Islam
meliputi tiga prinsip. Pertama adalah Jawa, Islam Banjar, Islam Sunda,
kesatuan; bahwa peradaban harus dan sebagainya. Variasi Islam faktual
terdiri dari satu kesatuan yang berjalin bukanlah kontestasi sebagaimana
berkelindan, tidak bertentangan satu disebutkan Carool Kersten,19 namun
dengan lainnya. Masing-masing sistem bagian dari kompetisi sehat, berlomba
terdiri dari banyak komponen yang dalam kebaikan.20 Berbagai pemikiran
berbeda karakter, tetapi komponen- dan perdebatan tentang nilai-nilai baru
komponen yang berbeda karakter intelektual muslim di Indonesia, dan juga
itu ada untuk mendukung eksistensi munculnya berbagai organisasi sosial
sistem secara keseluruhan. Kita dapat merupakan elemen-elemen penting
menganalogikannya sebagai organisme dari wajah Islam yang universal. Satu
makhluk hidup. Bahwa kebudayaan organisasi atau paham tentu memiliki
seperti sistem organisme yang terdiri nilai dan fungsinya masing-masing,
dari rag am str uktur org anisme. memiliki kekhasan dan sumbangan
Keberadaan struktur terkait dengan yang distingtif terhadap wajah Islam
fungsinya terhadap eksistensi dari secara keseluruhan dalam arti yang
sistem secara keseluruhan. Taruhlah positif.
kalau mengamati tubuh manusia sebagai Dalam keragaman yang sistemik
sistem organisme, tubuh terdiri dari tersebut, perlu dikedepankan dialog
struktur pencernaan, struktur syaraf, dalam pengertian yang sesuai dengan
struktur otak, struktur pernafasan, makna berlomba dalam kebaikan.
dan sebagainya. Keberadaan semua Bahwa dialog tidak sekadar berhenti
struktur itu dikaitkan dengan fungsi berwacana, tetapi dalam bentuk aksi
masing-masing. Fungsi masing-masing nyata yang kontributif bagi keseharian
struktur saling berkait dan berkelindan, umat. Titik tekannya bukanlah mencari
semuanya adalah untuk mendukung kemenang an kelompok, pamer
sistem organisme tubuh. Jika satu kekuatan, namun untuk mencari
struktur mengalami disfungsi, maka titik temu kebenaran universal Islam.
seluruh sistem juga mengalami sakit, Menurut Amin Abdullah tujuan dialog
maka ragam struktur yang hidup itu, itu adalah untuk saling mengenal
hakikatnya adalah untuk mendukung (taʻāruf), saling mengerti (tafāhum),
sistem secara keseluruhan. saling mengasihi (tarāḥum), membangun
Analogi sistem organisme itu
dapat dipakai dalam memandang wajah 19.  Carool Kersten, Islam in Indonesia
The Contest for Society: Ideas and Value (London:
sosiologis Islam Indonesia. Ia terdiri dari Hurst and Company, 2015), hlm 288.
banyak subsistem, seperti Nahdlatul 20. Al-Quran, al-Mā’idah (5): 48.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 25

solidaritas (taḍāmun), dan untuk hidup kepalsuannya tersingkap. Muslim Jawa


bersama secara damai (at-taʻāyusy menerima ruwatan sebagai kearifan
as-silmi).21 lokal karena terdapat nilai-nilai
Prinsip yang kedua adalah kebijaksanaan, tetapi ia menolaknya
rasionalisme, bahwa dalam pandangan ketika menjadi “alat politik atau
dunia itu menolak semua hal yang tidak ekonomi-bisnis” yang berwawasan
terkait dengan realitas, menafikan hal- sempit karena mencari keuntungan
hal yang saling bertentangan, terbuka semata. Banyak momentum penting
terhadap bukti baru dan atau thesis seperti pilkada misalnya menjadikan
yang berlawanan. Sebagai contoh kita ruwatan untuk melakukan pencitraan
menerima tarian jathilan sebagai seni terhadap calon kepala desa, calon
Islam dan lokal pada sebatas tontonan bupati atau calon gubernur tertentu.
yang mengekspresikan ketrampilan Di antara mereka yang menerima
dan ketangguhan. Namun ia perlu ruwatan juga karena untuk mengeruk
direkonstruksi ulang, ketika ternyata keuntungan ekonomi, melalui bisnis
ketangguhan performa penari jathilan semata. Tentu ini juga motif yang
yaitu ketika mengalami trans, dirasuki ditolak. Seperti yang sering terjadi,
makhluk halus sehingga anti realitas. orang menghidupkan kembali tradisi
Justru banyak orang berbondong tertarik ruwatan, sehingga dilakukan secara
untuk menonton pertunjukan seni massal, semua dilakukan hanya untuk
tradisional tersebut pada momentum kepentingan mengundang wisatawan,
ketika penari mengalami trans. Melalui yang pada akhirnya tujuannya adalah
strategi dan pendekatan tauhid budaya, bisnis. Ruwatan sebagai mozaik budaya
muncul masalah tentang bagaimana dihidupkan kembali karena tujuan
caranya agar tidak bertentangan dengan bisnis.
rasionalitas. Bisa jadi caranya dengan Dalam dimensi isi juga meliputi
mengubah performa penari jathilan yang tiga prinsip utama. Pertama adalah prinsip
mengalami trans tadi, misalnya dengan metafisika; bahwa Allah pencipta yang
keterampilan bela diri yang masuk akal. mewujudkan segalanya. Mengamati
Adapun dimensi metodologis kehendak Tuhan dalam alam berarti
yang ketiga adalah toleransi, bahwa melaksanakan ilmu alam. Mengamati
pandangan dunia tauhid menerima kehendak Tuhan dalam diri manusia
terhadap yang riil atau tampak, sampai dan masyarakat berarti melaksanakan
ilmu sosial, dan seterusnya. Mengamati
21. Amin Abdullah, “Fikih dan Kalam dan menikmati kehendak Tuhan dalam
Sosial Era Kontemporer: Perjumpaan Ulum berbagai aktivitas seni, tradisi, ritual
al-Din dan Sains Modern Menuju Fresh
Ijtihad”, dalam Akhmad Sahal dan Munawir berarti melaksanakan ilmu budaya.
Azis (ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Kedua adalah prinsip etika, bahwa
Hingga Konsep Historis (Jakarta: Mizan, 2015), pandangan hidup tauhid menjadi sumber
hlm 69-97.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
26 Moh Soehadha

nilai-nilai; nilai tentang baik-buruk, ajaran Islam telah membangkitkan etos


benar-salah. Cara berladang orang ekonomi orang Sasak, karena kolaborasi
Dayak Meratus di Loksado sebagaimana antara ajaran itu dengan tradisi ritus yang
digambarkan oleh Soehadha mungkin menyertai Haji. Haji menjadi sebuah
dapat menggambarkan prinsip ini.22 kelas sosial, yang dalam beberapa aspek
Cara berladang orang Dayak Loksado menunjukkan sisi positifnya, yaitu telah
memiliki kearifan karena mereka membentuk cara berinteraksi, dimana
menjaga lingkungan, dan produksi orang-orang yang telah berhaji dituntut
beras mereka dapat menjamin food untuk memperkuat pemahaman agama
security, ketahanan pangan sepanjang dan juga melakukan mobilitas sosial
tahun. Dalam sisi permukaan keyakinan ekonomi dalam lingkungannya. 24
mereka penuh dengan nuansa animisme,
namun jika dicermati pengaruh ajaran Tantangan Kearifan Tradisi Islam
Islam juga tampak dominan dalam Nusantara
keyakinan mereka. Keyakinan orang Islam Nusantara adalah konsep
Dayak Loksado yang masih bernuansa yang dapat diberi pengertian sebagai
animisme, namun juga dominan “paham dan praktik keislaman di bumi
pengaruh ajaran Islam harus dipandang Nusantara sebagai hasil dialektika
sebagai sebuah proses penyerapan antara teks syariat dengan realitas dan
nilai dan ajaran Islam dalam hal etika budaya setempat.“, dan merujuk pada
lingkungan yang belum sempurna. cara dakwah yang diterapkan oleh Wali
Oleh karenanya cara hidup mereka Sanga pada awal perkembangan Islam.25
dapat menjadi “ladang dakwah” untuk Secara ringkas konsep tersebut terkait
menyebarkan hal yang menjadi bagian dengan strategi sinergi antara ajaran
dari prinsip ketiga dalam tauhid. Islam dengan budaya lokal.
Adapun prinsip yang ketiga Tantangan dari sinergi Islam
adalah aksiologi, bahwa manusia wajib dan budaya lokal nusantara yang
mengembangkan sumber daya ke m e n g h a s i l k a n ke a r i f a n t r a d i s i
tingkat tertinggi, sehingga semua keagamaan dalam konteks kekinian,
karunia alam termanfaatkan. Tauhid cenderung dipengaruhi oleh ideologi
menentang “kerahiban anti sosial”, globalisme dengan kapitalisasi sebagai
isolasi, penafian dunia, dan “asketisme” motornya. Globalisasi menunjuk pada
sempit.23 Dalam studinya tentang Haji 24.  Moh Soehadha, Ritus Tuan Berpeci
di kalangan Muslim Sasak, Soehadha Putih: Haji dan Lokalitas Orang Sasak di Tanah
menunjukkan bahwa haji sebagai Merah (Yogyakarta: Diandra dan Label UIN
Sunan Kalijaga, 2016).
22.  Moh Soehadha, Fakta dan Tanda 25.  Afifuddin Muhajir, “Meneguhkan
Agama: Suatu Tinjauan Sosio Antropologi (Yogya- Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia
karta: Diandra, 2014). dan Dunia”, dalam Akhmad Sahal dan Munawir
23.  Al-Quran, 28: 77. Azis (ed.), Islam Nusantara, hlm 67.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 27

dua aspek kehidupan, yaitu ekonomi dan dan berbagai tradisi lokal yang bernilai
sosial budaya.26 Dari aspek ekonomi, eksotik. Kini banyak aspek dari agama
globalisasi ditandai oleh meningkatnya yang cenderung dijadikan komoditas,
arus produksi, pemasaran dan transaksi seperti munculnya dakwatainment, wisata
dari kekuatan transnasional. Adanya religi (umroh dan haji termasuk di
konsentrasi kekuatan Kapitalis pada dalamnya) yang cenderung bertujuan
sedikit “tang an”, meningkatnya meng er uk keuntung an semata,
ketimpangan, dan superioritas Barat pendidikan berparadigma industri,
atas Timur, atau dominasi negara- dan sebagainya.
negara inti (core states) atas negara-negara Globalisasi juga ditandai oleh
pinggiran (periphery states). Dari aspek perkembangan budaya pop sebagai
sosial budaya, globalisasi menunjuk bentuk budaya instan, bernilai rendah
pada penyebaran kebudayaan tertentu karena tanpa landasan filosofis, etis,
ke berbagai masyarakat. Dalam proses dan estetis yang mapan, cepat popular
transformasi budaya itu, kebudayaan tetapi juga segera dilupakan, dan
Barat cenderung lebih dominan atas bersifat massal. Pun wajah global
timur. Dominasi Barat atas Timur ditandai oleh gaya hidup konsumerisme
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan cenderung mengikuti tren mode
informasi yang juga didominasi oleh (fashion, music dan lain-lain) yang justru
Barat. Secara antropologis, penyebaran anti realitas. Komodifikasi, budaya
kebudayaan itu ditandai dengan konsumerisme, dan budaya pop
meningkatnya relasi colonial-style antara didukung oleh teknologi informasi dan
kekuatan Kapitalis tertentu terhadap media. Media mendominasi kehidupan
banyak masyarakat, banyak negara dan m a nu s i a , s e h i n g g a m a s y a r a k a t
bangsa. kontemporer dikatakan sebagai media-
Globalisme dengan kapitalisasi saturated community/ media-saturated
sebagai motornya menghasilkan tiga environment/ media-saturated culture. 27
persoalan yang menjadi tantangan Pesan yang profan maupun yang
dunia Islam saat ini. Pertama adalah sakral terserap dalam media; konsumsi
komodifikasi budaya multifaset, yang dengan spiritualitas bercampur aduk.
secara riil menampilkan wajahnya pada Media dalam satu sisi mempermudah
aspek ekonomi-bisnis, pariwisata, dan untuk dakwah, namun pada sisi
politik. Secara sederhana berbagai lainnya menggeser esensi dan karakter
bentuk komodifikasi budaya itu dapat pengalaman beragama, menggeser
dilihat dari cara-cara orang untuk h a k i k a t s p i r i t u a l i t a s. E k s p r e s i
mengeruk keuntungan dengan dalih keberagamaan hadir menghiasi ruang
membangkitkan semangat keagamaan 27.  Idi Subandy Ibrahim, “Kata
26. Thomas H. Eriksen, Globalisation Pengantar” dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.),
Studies in Anthropology (London: Pluto Press, Media dan Citra Muslim, Yogyakarta: Jalasutra,
2003). 2005), hlm. xxii-xxv.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
28 Moh Soehadha

media, menyuarakan dan menampilkan perkembangan peradaban Islam adalah


i d e n t i t a s p e m e l u k n y a . N a mu n berkembangnya Islamophobia, akibat
kadangkala citra komunitas agama tidak kekuatan media Barat yang kerap
datang murni dari agama itu sendiri, menampilkan citra Islam yang keras,
acapkali ia adalah hasil dari konstruksi radikal, fundamentalis. Citra Islam
sosial atau ideologi yang bertarung di dalam media kontemporer lebih
balik praktik jurnalistik. didominasi oleh tiga hal. Pertama adalah
Antropolog muslim Akbar S. dua ideologi dominan yaitu Marxisme
Ahmed (1992)28 mencermati media dan Liberalisme yang sangat memihak
seringkali tampil sebagai setan jahat. pada gerakan yang menghina agama.
Media tidak memiliki kesetiaan atau Kedua adalah dominasi Kapitalisme
memori persahabatan. Media hanya yang berpandangan “raup keuntungan”,
menampilkan kesalehan, jika kesalehan sehing ga media yang cender ung
itu menguntungkan. Penderitaan digerakkan oleh kaum kapital mendapat
menjadi sumber hiburan. Media keuntungan yang hebat dari perang
bersifat rasialis, berkesadaran warna pencitraan di media. Pengaruh dinamika
kulit Asia, kulit hitam dalam film- hubungan Barat dengan Islam, yang
film dicitrakan sebagai begundal, dan seringkali juga identik dengan carut
sebagainya. Dalam tayangan televisi di marut kepentingan Barat atas Timur
Indonesia dapat juga dilihat cara media Tengah.
memberikan tayangan yang sering Bertolak dari tantangan global
bersifat munafik. Misalnya seorang yang mempengaruhi wajah Islam yang
artis yang tampak saleh dalam acara sering dicitrakan negatif tersebut,
rohani, tetapi menjadi begitu vulgar maka perlu dipikirkan kembali tentang
ketika bermain sinetron atau menjadi kebangkitan Islam yang akulturatif,
host dalam acara musik. Pada saat bulan tanpa terjebak pada romantisme-
puasa banyak artis tampil dengan antropologika. Artinya harus ada
pakaian yang sopan menutup aurat, “pilihan alternatif ”, tentang Islam
tetapi kembali terlihat tidak sopan pada yang akomodatif tanpa mengingkari
tayangan di bulan lain. Media televisi perubahan zaman. Tauhid budaya dalam
di Indonesia juga cenderung subjektif, hal ini bisa menjadi pilihan pendekatan
karena merupakan milik pengusaha atau strategi, bukan mandek pada
tertentu yang punya afiliasi politik konsep saja. Tauhid budaya sebagai
tertentu pula. aktualisasi tauhid dalam membentuk
Di samping semua di atas, hal yang peradaban dunia, di tengah carut
paling utama yang kini memprihatinkan marut tradisi, seni, pengetahuan akibat
intrik dan kepentingan tertentu dan
28.  Akbar S. Ahmed, “Islam di Era
Media Barat”, dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.),
ketidakberpihakan pada Islam. Prinsip
Media dan Citra Muslim, hlm. 131-159. utamanya adalah berfikir global, dan

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 29

memulai dengan menguatkan potensi macapat yang menggambarkan tentang


kearifan tradisi Islam lokal. Oleh karena kehidupan duniawi yang tidak kekal.
itu konsep ini responsif terhadap Hal lain yang perlu kita pelajari
problem dan tantangan kebangkitan dari para penyebar Islam masa lalu
nilai-nilai Islam yang akulturatif. itu adalah bagaimana mereka mampu
bermain simbol. “Politik simbol”
Strategi Aktualisasi Tauhid adalah siasat budaya yang ampuh,
Budaya dalam Tantangan Global menjadi alat dakwah para dai di Jawa
Orang tidak bisa menolak arus tempo dulu. Tampaknya konsep para
budaya global dengan segala dampak wali itu nyambung dengan konsep
negatif maupun positif, karena ia antropologi kontemporer tentang
adalah kecenderungan zaman. Dalam kecenderungan manusia sebagai animal
hal ini muslim Indonesia dapat belajar symbolicum.29 Manusia diberi anugerah
dari falsafah tapa ngeli. Tapa ngeli oleh Allah untuk dapat menciptakan
adalah sebuah falsafah hidup yang simbol-simbol dalam hidupnya, seperti
menganjurkan orang untuk tidak melalui bahasa, seni, dan sebagainya.
menolak arus zaman, namun dia harus Dari sinilah muncul gagasan bahwa
tetap berdiri dengan sebuah landasan “budaya global” sebaiknya diletakkan
atau ideologi yang kuat. Dunia ada di sebagai sebuah “tanda” yang terus
tangan, tetapi ia tidak melekat di hati, bisa berubah mengikuti trend zaman
karena yang duniawi tidaklah kekal. (lihat bagan segitiga di bawah). Pola
Wayang yang dikenalkan oleh para interaksi boleh berubah terus, warna
wali, juga merupakan sebuah contoh budaya boleh berubah terus, namun
bagaimana sebenarnya para penyebar sistem gagasan Islam selalu melandasi
Islam itu ingin menanamkan sistem berkembangnya aneka simbol dalam
gagasan Islam dengan “meminjam” interaksi antar individu itu.
sebuah seni populer yang “ngepop” di Jika dulu para wali melambangkan
India pada saat itu. Wayang dalam wujud jimat kalimasada atau pandhawa, sebagai
fisiknya sebagai “budaya pop” tempo rukun Islam, maka pada saat ini juga
dulu, boleh dipinjam dari kebudayaan harus bisa diciptakan ragam simbol
Hindu di India. Namun ketika di bawa yang bisa “ngepop” dan ada di hati
ke Jawa, sistem gagasan yang mendasari generasi zaman kini, tentu dengan
berkembangnya wayang sebagai budaya landasan sistem gagasan Islam. Realitas
pop, diganti dengan sistem gagasan menunjukkan bahwa kini sistem gagasan
Islam. Maka ketika ada di tangan wali, Islam kalah cepat dikembangkan, jika
muncullah tokoh punakawan, lakon bima dibandingkan dengan sistem gagasan
suci, jimat kalimasada, dan simbol-simbol Kapitalisme. Dengan mengembangkan
Islam lainnya dalam pewayangan.
Para wali juga menciptakan syair 29.  Ernst Casirer, Manusia dan Kebu-
dayaan (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 41.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
30 Moh Soehadha

simbol-simbol melalui budaya pop, nusantara sebagai suatu proses. Ragam


mereka mengeruk keuntungan material religiositas nusantara sebagai akibat
sebesar-besarnya. Sebagai sebuah dari kompromi Islam dan lokalitas
ideologi yang dalam banyak hal juga dapat dianggap sebagai khasanah
berlawanan dengan sistem gagasan Islam, manakala sistem gagasan yang
Islam, tentu saja Kapitalisme tidak mau mendasarinya adalah tauhid.
bertoleransi, dan cenderung ekspansif. Tauhid budaya mer upakan
Strategi lain sebagai aktualisasi sebuah konsep untuk menunjukkan
konsep tauhid budaya adalah ojo gumunan, t e n t a n g ke k u a s a a n A l l a h y a n g
hendaknya tidak mudah kagum dan menjadikan ciptaannya, terutama
terkesima dengan hal-hal baru. Apa yang manusia hidup dan tersebar dalam
baru datang dalam kehidupan, boleh beraneka ragam kultur. Kultur itu
diterima sebagai sebuah realitas, namun dibentuk dalam banyak hal, karena
ia tidak sertamerta mengadopsinya. lingkungan fisik dan juga karena pola
Tentu prinsip yang perlu dikembangkan pikir manusia dalam mempertahankan
adalah sikap selektif, meneliti dan dan mengembangkan kehidupannya.
mempertimbangkan secara cermat Jadi lokalitas itu adalah keragaman
informasi yang datang, tidak sertamerta cara hidup manusia, akibat kehendak
menelannya sebag ai kebenaran, Allah sebagai ciptaan yang ada dalam
sehingga siap menolaknya jika salah.30 keragaman suku dan budaya. Tingkah
laku, artefak atau hasil karya, dan semua
Penutup unsur budaya yang ada sebagai bagian
Marshaal G.S. Hogson mengang­ dari hasil kontak budaya lokal dan Islam
gap bahwa kemenangan Islam di tersebut merupakan wujud dari sifat
Jawa khususnya, dan Nusantara adaptif ajaran Islam terhadap ragam
umumnya begitu sempurna,31 karena ajaran, nilai-nilai, dan cara pandang
didukung oleh pendekatan akulturatif. lokal. Hal itu justru menunjukkan
Kompromi Islam dan lokalitas yang universalitas Islam, bahwa ajarannya
pada akhirnya telah membentuk corak dapat selalu gayut dengan ragam cara
Islam Nusantara tersebut masih sering hidup manusia. Melalui konsep tauhid
diperdebatkan, terutama dari aspek budaya, Islam dipandang telah masuk,
teologis. Asumsi yang dikembangkan menyebar, mengalir ke semua ranah dan
dalam tulisan ini tidak ingin melihat segi budaya secara sempurna.32
secara hitam putih, namun memandang
bahwa ragam corak religiositas muslim
30.  Al-Quran, 28: 77.
31. Nurcholish Madjid, Islam, Kemod-
ernan, dan Keindonesiaan (Jakarta: Mizan,1992), 32.  Moh Soehadha, Ritus Tuan Berpeci
hlm. 67-9. Putih.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 31

DAFTAR PUSTAKA menyapa-kebudayaan/


Abdullah, Amin, “Fikih dan Kalam Eriksen, Thomas H., Globalisation Studies
Sosial Era Kontemporer : in Anthropology, London: Pluto
Perjumpaan Ulum al-Din dan Sains Press, 2003.
Modern Menuju Fresh Ijtihad”, Geertz, Clifford, Islam yang Saya Amati:
dalam Akhmad Sahal dan Munawir Perkembangan di Maroko dan Indonesia,
Azis (ed.), Islam Nusantara: Dari terj. Hasan Basari dan Bur Rasuanto,
Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis, Jakarta: Penerbit Yayasan Ilmu-Ilmu
Jakarta: Mizan, 2015. Sosial, 1982.
Ahmed, Akbar S., “Islam di Era Media —, Abangan, Santri, Priyayi dalam
Barat”, dalam Idi Subandy Ibrahim Masyarakat Jawa, ter j. Aswab
(ed.), Media dan Citra Muslim, Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya,
Yogyakarta: Jalasutra, 2005. 1981.
Ahimsa Putra, Heddy Shri, “Penutup”, —, “Religion as a Cultural System”,
dalam J.W.M. Bakker SJ, Filsafat dalam Michael Banton (ed.),
Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Anthropological Approach to the Study
Yogyakarta: Kanisius, 1984. of Religion, London: Tavistocck
Al Faruqi, Ismail R. dan Lousi Lamnya Publications, 1969.
Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ibrahim, Idi Subandy (ed.), Media dan
Ilyas Hasan, Jakarta: Mizan, 1998. Citra Muslim, Yogyakarta: Jalasutra,
Bachtiar, Harsya W., “Kata Pengantar” 2005.
dalam Clifford Geertz, Abangan, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Antropologi, Jakarta: PT Rineka
Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. Cipta, 1990.
Bohanan, Paul and Mark Glazer (ed.), —, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
High Points in Anthropology, New Jakarta: Djambatan, 1983.
York: Alfred A. Knopf, 1973. Kersten, Carool, Islam in Indonesia: the
Bakker SJ, J.W.M. Filsafat Kebudayaan: Contest for Society, Ideas and Value,
Sebuah Pengantar, Yog yakarta: London: Hurst and Company, 2015.
Kanisius, 1984. Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan,
Casirer, Ernst, Manusia dan Kebudayaan, dan KeIndonesiaan. Jakarta: Mizan,
Jakarta: PT Gramedia, 1987. 1992
Damami, Moh., “Cara Akidah Marranci, Gabrriel Marranci, “Sosiologi
Menyapa Kebudayaan”, dan Antropologi Islam: Sebuah
http://suaramuhammadiyah. Pendekatan Kritis”, dalam Bryan
com/wawasan/bina- S. Turner (ed.), Sosiologi Agama,
akidah/2016/03/13/cara-akidah- terj. Daryatno, Yogyakarta: Pustaka

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
32 Moh Soehadha

Pelajar, 2013. Soehadha, Moh., Ritus Tuan Berpeci


Muhajir, Afifuddin, “Meneguhkan Putih: Haji dan Lokalitas Orang Sasak
Islam Nusantara untuk Peradaban di Tanah Merah, Yogyakarta: Diandra
Indonesia dan Dunia”, dalam dan Label UIN Sunan Kalijaga,
Akhmad Sahal dan Munawir Azis 2016.
(ed.), Islam Nusantara: Dari Ushul —, Fakta dan Tanda Agama: Suatu
Fiqh Hingga Konsep Historis, Jakarta: Tinjauan Sosio Antr opologi,
Mizan, 2015. Yogyakarta: Diandra, 2014.
Rais, Amin, Tauhid Sosial: Formula Tibbi, Bassam, Islam Kebudayaan dan
Menggempur Kesenjangan, Bandung: Perubahan Sosial, terj. Misbah Zulfa
Mizan, 1998. Elizabeth, Yog yakarta: Tiara
Syaifuddin, Achmad Fedyani, Antropologi Wacana, 1996.
Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Van Baal, J., Sejarah dan Pertumbuhan
Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada, Teori Antropologi Budaya (Hingga
2005. Dekade 1970), terj. J.Pery, Jakarta:
Gramedia, 1987.

Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M

Anda mungkin juga menyukai