15-32
TAUHID BUDAYA
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal
dalam Perspektif Antropologi Islam
Moh Soehadha
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
suhadhaa@yahoo.co.id
Abstrak
Akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan ragam religiositas
yang unik dan berbeda dengan religiositas muslim di tempat lain. Artikel berikut
menunjukkan suatu konsep yang berisi asumsi dan strategi dalam memandang kompromi
antara Islam dengan budaya lokal yang disebut sebagai tauhid budaya. Sebagai sebuah
konsep, tauhid budaya menjadi sebuah teori sekaligus strategi dalam melihat dan
merespons religiositas Islam Nusantara. Tauhid budaya mengakomodasi dua cara
pandang sekaligus, yaitu Islam normatif dan Islam faktual.
Pendahuluan
Islam Nusantara dikenal sebagai Islam yang ramah dan lentur sehingga dapat
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal. Corak sufisme menjadikan Islam
yang masuk ke nusantara diterima dengan damai, seperti halnya saat masuknya
Buddha dan Hindu. Karakter Islam yang lentur menyebabkan terjadinya akulturasi
antara Islam dengan budaya lokal nusantara, sehingga menghasilkan ragam mozaik
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
16 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 17
aktualisasi tauhid dalam ranah budaya any other capabilities and habits acquired by
pada berbagai ragam komunitas, maka man as a member of society”.
diperlukan sebuah landasan ilmiah. Dalam definisi tersebut terdapat
Antropologi adalah ilmu pengetahuan titik tekan tentang kebudayaan sebagai
yang telah mengkaji aspek faktual, atau hal-hal yang diperoleh dengan cara belajar
wajah keseharian dari kebudayaan dalam (acquired by man), sehingga kebudayaan
sistem tindakan dan hasil karya manusia. itu secara prinsipil membedakannya
Untuk itu tauhid budaya sebagai strategi dari inti kajian antropologi ragawi
dalam memandang sinergi Islam dan yang menganggapnya sebagai hal-hal
lokalitas perlu memanfaatkan data dan yang ditentukan oleh “keturunan”.
pendekatan antropologis. Salah satu kajian antropologi fisik,
sebagaimana dikembangkan oleh Carles
Konsep Kebudayaan dalam Darwin menganggap bahwa tingkah
Antropologi laku manusia dalam kebudayaannya
Kebudayaan yang disejajarkan ditentukan oleh keturunan.6 Dengan
dengan istilah “culture” dalam bahasa definisi tentang kebudayaan itulah, maka
Inggris merupakan inti kajian dalam terdapat perbedaan konsep kebudayaan
dua percabangan besar Antropologi.4 dalam dua percabangan besar
Sebagai inti kajian antropologi, maka antropologi, yaitu antropologi budaya
konsep kebudayaan telah muncul dan antropologi fisik. Antropologi
sejak perintis dasar ilmu tersebut yaitu fisik yang banyak bersentuhan dengan
E.B. Tylor menulis bukunya yang biologi memandang aspek genetik
pertama dan sebagai landasan awal mempengaruhi kebudayaan. Sementara
tentang kiprah kajian ilmu tersebut. antropologi budaya banyak bersentuhan
Tylor menyatakan bahwa antropologi dengan ilmu sosial dan humaniora,
adalah the science of culture,5 dan dalam memandang kebudayaan sebagai proses
bukunya Primitive Culture (1877) Tylor belajar, dan tidak semata dipengaruhi
mendefinisikan kebudayaan sebagai; oleh keturunan.
…is that complex whole which includes Konsep dan definisi Tylor
knowledge, belief, art, moral, law, custom, and tentang kebudayaan tersebut terus
bertahan dijadikan landasan bagi
4. Berasal dari kata Latin cultura yang
berarti pemeliharaan, penggarapan dalam pengembangan ilmu antropologi
pertanian. Dalam arti kiasnya digunakan untuk budaya sampai setengah abad sejak
pembentukan, pemurnian, misalnya pemben- Tylor menulis buku tersebut. Pada
tukan dan pemurnian jiwa. Lihat J. Van Baal, perkembangannya, muncul kritik yang
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya menganggap konsep kebudayaan yang
(Hingga Dekade 1970), terj. J.Pery, (Jakarta:
Gramedia, 1987), hlm 15. diletakkan oleh Tylor tersebut sebagai
5. Paul Bohanan and Mark Glazer (ed.),
High Points in Anthropology (New York: Alfred 6. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori
A. Knopf, 1973), hlm. 61-3. Antropologi Budaya, hlm 4.
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
18 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 19
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
20 Moh Soehadha
sistem gagasan yang bersifat abstrak, antara adat dan agama, sehingga
tindakan bersifat konkret merupakan kategorisasi agama abangan, santri, dan
fakta-fakta yang bisa diamati secara priyayi tidak tepat.12 Kesalahan Geertz
inderawi. Wujud yang ketiga adalah dianggap sebagai akibat dari kurangnya
artefak atau hasil karya manusia. Sama pendalaman pengetahuan Geertz
halnya dengan tindakan, hasil karya tentang Islam.
manusia adalah konkret, seperti barang Meskipun kritik terhadap Geertz
atau perlengkapan manusia, bangunan, tersebut tidaklah tepat benar, karena
karya seni dan sebagainya. kaca pandang ilmu yang berbeda
d a r i p e n g r i t i k n y a , a t a u b a h wa
Islam Sebagai Sistem Budaya sebenarnya Geertz tidak melakukan
Dalam sejarah kajian budaya studi agama dari perspektif teologi.
dan Islam di Indonesia, perhatian Namun demikian, kritik terhadap
terhadap religiositas komunitas agama Geertz telah mengindikasikan
historis (agama besar) dan interaksinya bahwa studi Islam dalam perspektif
dengan kebudayaan, khususnya Islam, Antropologi sekalipun, tetap tidak
mulai berkembang di Indonesia setelah boleh mengesampingkan sisi normatif
seorang Antropolog Amerika, Clifford agama yang dikaji. Asumsi tentang
Geertz (1960) melahirkan kar ya perlunya pendalaman sisi normatif
monumental The Religion of Java yang agama dalam studi Antropologi Agama
kemudian dialih-bahasakan ke dalam itu, justru muncul dari pernyataan
bahasa Indonesia dengan judul Abangan, Geertz sendiri. Menurutnya dimensi
Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa agama meliputi dua hal, yaitu fungsi
(1981). Studi Geertz telah memicu agama sebagai model for, yaitu sebagai
penggunaan metodologi Antropologi aspek evaluatif-normatif agama, dan
dalam studi agama, yaitu mengkaji fungsi agama sebagai model of; yaitu sisi
religiositas masyarakat muslim di Jawa empiris atau representasi agama dalam
dalam konteks kultural, bukan sebagai realitas sosial.
studi agama yang bersifat teologis. Melalui analisis antropologis,
Beberapa kritik kemudian Geer tz memperlihatkan bahwa
muncul terhadap hasil penelitian Geertz m a s y a r a k a t Ja w a y a n g s e r i n g
tersebut, meskipun kritik itu dalam digambarkan sebagai masyarakat yang
banyak hal sebenarnya juga sebagai homogen dari sudut agama, yaitu
akibat dari kurangnya pengetahuan para ditinjau dari perspektif agama dimana
ilmuwan tersebut dalam memahami kondisi sosial di Jawa menunjukkan
prosedur penelitian Antropologi.
12. Harsya W. Bachtiar, “K ata
Di antara kritik terhadap Geertz itu, Pengantar”, dalam Clifford Geertz, Abangan,
dilontarkan oleh Harsja W. Bachtiar, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:
bahwa Geertz tidak bisa membedakan Pustaka Jaya, 1983).
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 21
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
22 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 23
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
24 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 25
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
26 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 27
dua aspek kehidupan, yaitu ekonomi dan dan berbagai tradisi lokal yang bernilai
sosial budaya.26 Dari aspek ekonomi, eksotik. Kini banyak aspek dari agama
globalisasi ditandai oleh meningkatnya yang cenderung dijadikan komoditas,
arus produksi, pemasaran dan transaksi seperti munculnya dakwatainment, wisata
dari kekuatan transnasional. Adanya religi (umroh dan haji termasuk di
konsentrasi kekuatan Kapitalis pada dalamnya) yang cenderung bertujuan
sedikit “tang an”, meningkatnya meng er uk keuntung an semata,
ketimpangan, dan superioritas Barat pendidikan berparadigma industri,
atas Timur, atau dominasi negara- dan sebagainya.
negara inti (core states) atas negara-negara Globalisasi juga ditandai oleh
pinggiran (periphery states). Dari aspek perkembangan budaya pop sebagai
sosial budaya, globalisasi menunjuk bentuk budaya instan, bernilai rendah
pada penyebaran kebudayaan tertentu karena tanpa landasan filosofis, etis,
ke berbagai masyarakat. Dalam proses dan estetis yang mapan, cepat popular
transformasi budaya itu, kebudayaan tetapi juga segera dilupakan, dan
Barat cenderung lebih dominan atas bersifat massal. Pun wajah global
timur. Dominasi Barat atas Timur ditandai oleh gaya hidup konsumerisme
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan cenderung mengikuti tren mode
informasi yang juga didominasi oleh (fashion, music dan lain-lain) yang justru
Barat. Secara antropologis, penyebaran anti realitas. Komodifikasi, budaya
kebudayaan itu ditandai dengan konsumerisme, dan budaya pop
meningkatnya relasi colonial-style antara didukung oleh teknologi informasi dan
kekuatan Kapitalis tertentu terhadap media. Media mendominasi kehidupan
banyak masyarakat, banyak negara dan m a nu s i a , s e h i n g g a m a s y a r a k a t
bangsa. kontemporer dikatakan sebagai media-
Globalisme dengan kapitalisasi saturated community/ media-saturated
sebagai motornya menghasilkan tiga environment/ media-saturated culture. 27
persoalan yang menjadi tantangan Pesan yang profan maupun yang
dunia Islam saat ini. Pertama adalah sakral terserap dalam media; konsumsi
komodifikasi budaya multifaset, yang dengan spiritualitas bercampur aduk.
secara riil menampilkan wajahnya pada Media dalam satu sisi mempermudah
aspek ekonomi-bisnis, pariwisata, dan untuk dakwah, namun pada sisi
politik. Secara sederhana berbagai lainnya menggeser esensi dan karakter
bentuk komodifikasi budaya itu dapat pengalaman beragama, menggeser
dilihat dari cara-cara orang untuk h a k i k a t s p i r i t u a l i t a s. E k s p r e s i
mengeruk keuntungan dengan dalih keberagamaan hadir menghiasi ruang
membangkitkan semangat keagamaan 27. Idi Subandy Ibrahim, “Kata
26. Thomas H. Eriksen, Globalisation Pengantar” dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.),
Studies in Anthropology (London: Pluto Press, Media dan Citra Muslim, Yogyakarta: Jalasutra,
2003). 2005), hlm. xxii-xxv.
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
28 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 29
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
30 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
Strategi Sinergitas Islam dan Budaya Lokal 31
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M
32 Moh Soehadha
Jurnal TARJIH
Volume 13 (1) 1437 H/2016 M