Anda di halaman 1dari 16

Geografi Budaya

Antropolog, ahli geografi, dan cendekiawan lain yang belajar budaya, seperti sejarawan
dan spesialis studi budaya, setuju bahwa budaya adalah konsep yang kompleks. Seiring
berjalannya waktu, pemahaman kita tentang budaya telah diubah dan diperkaya. Budaya adalah
cara hidup tertentu, sebagai serangkaian kegiatan, nilai, dan makna yang terampil pada praktik
tertentu. Para sarjana juga menggambarkan budaya dalam hal standar klasik dan keunggulan
estetika misalnya, opera, balet, atau sastra (Konox and Marston, 2016).
Geografi Budaya sebenarnya telah berkembang lama, dan menjadi bagian integral dari
disiplin geografi. Geografi Budaya tidak sama dengan geografi manusia, tetapi keberadaannya
sebagaimana halnya geografi ekonomi, geografi politik, dan cabang geografi lainnya, yang
semuanya merupakan sub-bagian dari geografi yang lebih luas.
Geografi budaya merupakan aplikasi ide/gagasan dari budaya terhadap masalah-masalah
geografi. Oleh karena itu dalam kajian geografi budaya ada lima tema inti yang perlu dijadikan
perhatian. Kelima tema inti tersebut menurut Wagner P.L dan M.W. Mikeesell (1971) adalah:
a) budaya,
b) area budaya,
c) bentang budaya,
d) sejarah budaya, dan
e) ekologi budaya.

Pokok kajian seperti halnya cabang-cabang geografi yang lain, yakni yang berkenaan
dengan muka bumi, khusus yang berhubungan dengan hasil/modifikasi dari tindakan-tindakan
manusia. Dalam hal ini geografi budaya berusaha mengkaji hasil budi daya manusia, perbedaan-
perbedaan di antara komunitas, cara-cara hidup (way of life) yang khas dari setiap budaya yang
ada.
Geografi budaya, mencoba membandingkan distribusi perubahan dari area budaya
(cultural area) dan distribusi dari kenampakan muka bumi. Dari situ, dapat dilakukan
identifikasi terhadap karakteristik kenampakan lingkungan sebagai akibat dari pengaruh
kebudayaan. Selain itu juga berusaha mencari tahu tentang apa peran tindakan manusia dalam
penciptaan dan pemeliharaan kenampakan geografik. Geografi budaya juga berusaha
membedakan, mendeskripsikan, dan mengklasifikasikan tipe yang kompleks dari kenampakan
lingkungan, termasuk di dalamnya hasil buatan manusia yang serupa dari setiap komunitas
kebudayaan, atau yang disebut dengan bentang budaya; termasuk juga berusaha mempelajari
latar belakang sejarah dalam konteks sejarah budaya yang asli. Disamping itu geografi budaya,
berusaha mengkaji proses-proses spesifik dimana manusia memanipulasi lingkungan, serta
implikasinya untuk kesejahteraan dari komunitas dan umat manusia atau yang dikenal sebagai
ekologi budaya. Kelima tema inti dalam kajian geografi budaya tersebut diuraikan sebagai
berikut “Cultural geography is a relatively new sub-field within human geography. A very
simple and broad definition of Cultural Geography is the study of geographical aspects of
human culture.
Areas of study:
The area of study of Cultural Geography is very broad. Among many applicable topics within the
study are:
Globalization as the process, in which connections around the world increase and cultures
become more alike.
1. Globalization is an example of cultural convergence different cultures blending together.
2. Westernization or other similar processes such as Americanization, Islamization and others.
3. Theories of Cultural hegemony or cultural assimilation via cultural imperialism.
4. Cultural areal differentiation as a study of differences in way of life encompassing ideas,
attitudes, languages, practices, institutions, and structures of power and whole range of
cultural practices in geographical areas/Cultural region).
5. Study of cultural landscapes.
6. Other topics include Spirit of place, colonialism, post-colonialism, internationalism,
immigration, emigration. Ecotourism.

A. Kebudayaan (Culture)
Berbicara mengenai kebudayaan akan membawa kita kepada makna dan arti tentang
budaya itu sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu banyak para ilmuwan yang sudah
menfokuskan kajiannya untuk mempelajari fenomena kebudayaan yang ada di masyarakat, mulai
dari Geertz, Woodward, Andrew Beatty, Robert W. Hefner, Niels Mulder, serta sarjana dari
Indonesia seperti Nur Syam, Mahmud Manan, Edwin Fiatiano, Budiwanti, Muhaimin, serta
masih banyak peneliti-peneliti lain yang mengkaji fenomena keagamaan.
Secara umum budaya sendiri budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut
culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai
“Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Knox dan Marstone (2016)mengatakan bahwa secara umum, budaya adalah seperangkat
makna bersama yang dijalani melalui praktik material dan simbolik kehidupan sehari-hari.
Pengertian mengenai budaya juga disampaikan oleh Geertz dalam bukunya “Mojokuto;
Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa”, mengatakan bahwa budaya adalah suatu sistem makna
dan simbol yang disusun dalam pengertian dimana individu-individu mendefinisikan dunianya,
menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya, suatu pola makna yang
ditransmisikan secara historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana
orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena
kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca, diterjemahkan dan
diinterpretasikan.
Seorang antropolog Inggris Edward B. Taylor (1832-1917) mengatakan bahwa kultur
adalah keseluruhan yang kompleks termasuk di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum adat dan segala kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai
seorang anggota masyarakat.
Ralph Linton yang memberikan definisi kebudayaan yang berbeda dengan perngertian
kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi
dan lebih diinginkan”
Salah seorang guru besar antropologi Indonesia Koentjaraningrat berpendapat bahwa
“kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi atau akal, sehingga menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal, ada juga yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari
majemuk budi-daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal.
Masih menurut Koenjtaraningrat berpendapat bahwa unsur kebudayaan mempunyai tiga
wujud, yaitu pertamasebagai suatu ide, gaagsan, nilai-nilai norma-norma peraturan dan
sebagainya, kedua sebagai suatu aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam sebuah
komunitas masyarakat, ketiga benda-benda hasil karya manusia.
Sementara Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai
semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk
menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan
masyarakat.

B. Area Budaya (Culture Area)


Penjelasan tentang konsep area budaya ini salah satu contohnya adalah kasus tentang
daerah Great Plains (culture area) yang asli. Great Plains adalah sebuah daerah geografis di
mana terdapat sejumlah masyarakat yang mengikuti pola hidup yang sejenis. Tiga puluh satu
suku bangsa yang merdeka dalam arti politik menghadapi lingkungan yang sama, di mana bison
merupakan sumber pangan dan sumber bahan untuk pakaian dan perumahan yang paling mudah
dan paling praktis. Karena hidup berdekatan, mereka dapat memanfaatkan penemuan dan hasil
pengamatan baru secara bersama-sama. Mereka menumbuhkan adaptasi yang sama terhadap
sebuah daerah ekologi tertentu dan memanfaatkannya bersama-sama.
Pada saat terjadi kontak dengan orang-orang Eropa, orang-orang Indian di Great Plains
tanpa terkecuali semuanya adalah pemburu bison, dan tergantung pada binatang itu dalam hal
pangan, pakaian, rumah dan alat-alat dari tanduk. Setiap suku bangsa pada umumnya secara
organisasai terbagi atas sejumlah kelompok prajurit dan kewibawaan didasarkan atas kemahiran
berburu dan berperang. Perkemahan mereka diatur secara khusus menurut pola lingkaran
tertentu. Banyak upacara keagamaan, seperti Tarian Matahari (Sun Dance), dipraktekkan di
seluruh daerah itu.
Kadang-kadang iklim dan topografi di daerah-daerah geografis tersebut tidak seragam,
dan oleh karena itu penemuan baru tidak selalu menyebar dari kelompok yang satu kepada
kelompok yang lain. Di samping itu, dalam sebuah daerah kebudayaan terdapat variasi
lingkungan lokal, dan variasi itu menimbulkan variasi dalam hal adaptasi. Great Basin (lembah
besar) di bagian barat Amerika Serikat yang meliputi negara bagian Nevada dan Utah, dengan
bagian-bagian dari California, Oregon, Wyoming yang berbatasan merupakan contoh dalam
kasus ini. Orang Shonshone di daerah Great Basin terbagi atas kelompok utara dan kelompok
barat, keduanya semula adalah pemburu dan peramu yang berpindah-pindah. Di utara, binatang-
binatang besar cukup untuk memberi bekal kehidupan kepada populasi yang besar, di mana
diperlukan tingkat kerjasama yang tinggi. Sebaliknya orang Shonshone di bagian barat hidupnya
hampir melulu tergantung kepada pengumpulan tanaman liar, dan karena persediaannya sangat
bervariasi menurut musim dan lokasinya, maka orang Shonshone di bagian barat terpaksa
menjelajahi daerah yang luas untuk mencari makan. Dalam keadaan seperti itu, yang paling
efisien ialah kalau bepergian dalam kelompok-kelompok yang hanya terdiri atas beberapa
keluarga, dan hanya kadang-kadang berkumpul dengan kelompok-kelompok lain, itupun tidak
selalu dengan kelompok yang sama.
Orang Shonshone bukan satu-satunya penghuni daerah Great Basin. Di sebelah selatan
juga hidup satu bangsa lain yang berhubungan dekat, yaitu orang-orang Paiute. Mereka itu juga
pemburu peramu yang hidup dalam kondisi lingkungan yang sama seperti orang Shonshone,
tetapi orang Paiute lebih aktif mengelola sumber-sumber pangan mereka yang liar itu dengan
membelokkan aliran sungai-sungai kecil untuk mengairi tanaman liar mereka. Mereka tidak
menanam dan bercocok tanam, namun meskipun demikian orang Paiute mampu menjamin
adanya persediaan pangan yang lebih mantap dibanding dengan tetangga mereka di utara. Oleh
karena itu populasi mereka lebih besar dari pada populasi Shonshone dan mereka hidup lebih
menetap.
Untuk menjelaskan adanya variasi di daerah tertentu, Julian Steward mengusulkan
konsep tipe kebudayaan (culture type), yaitu kebudayaan yang ditinjau berdasarkan adanya
teknologi tertentu dan hubungannya dengan sifat-sifat lingkungan tertentu yang dapat ditangani
dengan menggunakan teknologi tersebut. Contoh dari Great Plains menunjukkan bagaimana
teknologi membantu menentukan sifat-sifat lingkungan yang bermanfaat. Padang rumput yang
sama, yang dahulu memberi penghidupan suku-suku bangsa pemburu-peramu, kini memberi
penghidupan kepada petani gandum. Orang Indian tidak sampai mengadakan pertanian di daerah
itu bukan karena alasan-alasan lingkungan, juga bukan karena mereka tidak mempunyai
pengetahuan tentang pertanian tetapi karena sebelum mereka pindah ke daerah itu ada di antara
suku-suku yang hidup dari pertanian. Mereka tidak bercocok tanam karena kawanan bison
merupakan sumber pangan yang melimpah tanpa harus bercocok tanam dan karena akan sulit
dilakukan tanpa menggunakan bajak yang berujung besi untuk menghancurkan tanah padang
rumput yang padat. Potensi pertanian dari Great Plains hanya sekedar sifat yang tidak relevan
dari lingkungan, mengingat sumber daya dan teknologi yang ada sebelum kedatangan orang
Eropa.

C. Bentang Budaya (Cultural Landscape)


Salah satu aliran dalam geografi di Amerika Serikat adalah Cultural Geography, tokoh
pendirinya adalah Carl Sauer dari Universitas California. Aliran ini lebih mengutamakan kajian
atas aneka bentuk karya manusia di permukaan bumi sebagai wilayah. Sebagai contoh Bryan
dalam bukunya yang berjudul Man’s Adaptation to Nature (1933) berpendapat bahwa perbedaan
antara wilayah satu dengan yang lain itu berwujud pada perbedaan cultural landscape, yakni
bentang budayanya. Di dalam bentang budaya dijumpai empat aspek, yaitu: (1) Bentuk-bentuk
struktural, misal: tanah garapan, permukiman, pertambangan, pabrik; (2) Sarana-sarana
perpindahan manusia dan barang.(3) Proses-proses khusus, seperti dalam kegiatan pertanian,
industri, dan transportasi. (4) Hasil-hasil kegiatan manusia yang antara lain berupa persediaan
pangan, komoditi, kesehatan penduduk, dan pemerintahan yang baik.
Jadi dapat dikatakan bahwa bentang budaya merupakan berbagai bentuk konkrit dari
adaptasi manusia terhadap lingkungan alamnya. Dikatakan demikian karena jelas berkaitan lebih
erat dengan usaha manusia untuk mengubah alam dari pada yang bertalian dengan pengaruh
alam atas kehidupan manusia. Menurut Taylor aneka ragam karya manusia sebagaimana
disebutkan pada penjelasan sebelumnya belumlah seluas yang disebut faktor manusia. Hal ini
juga meliputi idiologi dan teknologi yang dipakai manusia sebagai alat untuk mengubah natur
menjadi kultur, sehingga terciptalah wujud kenampakan fisik dari wilayah yang dihuninya.
Berbeda dengan bentang alam, pada bentang budaya telah masuk pengaruh-pengaruh
manusia di dalamnya untuk merekayasa bentangan tersebut. Manusia dianggap sebagai mahluk
yang aktif terhadap lingkungan dan tempat tinggalnya, dan tidaklah pasif. Dengan budayanya,
manusia mampu mengubah apa yang ada di alam ini semata-mata dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam ilmu geografi faham ini disebut dengan Possibilis. Menurut
kelompok posibilisme, yang sangat menentukan kemajuan suatu wilayah adalah tingkat
kemampuan penduduk, sedangkan alam hanya memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk
diolah dan dimanfaatkan manusia.
Carl Sauer seorang tokoh geografi budaya mendefinisikan lanskap sebagai unit
mendefinisikan penelitian geografis. Dia melihat bahwa budaya dan masyarakat dikembangkan
dari lanskap mereka, tetapi di sisi lain lanskap juga membentuk masyarakat. Interaksi antara
lanskap 'alami' dan manusia menciptakan 'lanskap budaya'.
Bentang budaya meliputi segela fenomena di permukaan bumi yang berhubungan dengan
aktivitas manusia. Manusia sebagai penghuni bumi merupakan obyek sosial yang paling utama
dalam geografi. Manusia dengan segala kemampuannya membuat kelompok-kelompok yang
menempati wilayah tertentu sehingga terbentuk sebuah komunitas. Di dalam komunitas tersebut,
manusia saling berinteraksi dan membangun lingkungannya. Komunitas manusia tersebut
selanjutnya disebut masyarakat. Interaksi antara manusia dengan linkungannya menghasilkan
berbagai kegiatan, seperti industri, perdagangan, pasar, perkebunan, dan pendidikan. Wilayah
yang ditempati sekelompok masyarakat memiliki batas-batas tertentu, baik berupa batas alamiah
seperti sungai, gunung, laut, maupun batas sosial atau budaya seperti tugu dan jalan yang dibuat
oleh manusia. Contoh obyek sosial dalam bentuk bentang budaya antara lain sebagai berikut:
1. Jalan raya adalah jalan yang besar, lebar, dan beraspal sehingga dapat dilalu oleh kendaraan
besar seperti truk dan bus.
2. Rel adalah jalan kereta api yang dibuat dari batangan besi.
3. Pelabuhan udara adalah tempat di daratan yang digunakan untu aktifitas pesawat terbang dan
penggunaannya, baik untuk penumpang maupun barang.
4. Pelabuhan laut, pelabuhan pantai, atau pelabuhan samudera adalah tempat yang digunakan
untu merapat dan bersandarnya kapal-kapal laut serta berbagai kegiatannya.
5. Lahan pertanian atau lahan garapan adalah tanah dengan luas tertentu yang dapat digunakan
untuk berbagai aktifitas cocok tanam, contohnya sawah dan ladang.

Dalam mengkaji suatu wilayah tentu saja tidak cukup apabila seorang geograf hanya
memperhatikan karya manusia yang sifatnya materiil, tetapi juga memperhatikan segala faktor
yang ada untuk menafsir karakteristik atau kepribadian wilayah yang bersangkutan. bahkan
dalam melakukan pendekatan geografi. Sehubungan dengan hal tersebut perlu pula dipakai
sebagai dasar, pandangan hidup serta keyakinan agama setempat. Barulah wilayah yang dihuni
akan mendapatkan ciri-cirinya yang khas yang membuatnya lain dari wilayah lainnya.

D. Sejarah Budaya
Pada pertengahan kedua abad ke-19 Sir Edward Burnett Tylor, Bapak Antropologi
Budaya, Profesor Antropologi dari Universitas Oxford, Inggris, melakukan serangkaian studi
tentang masyarakat-masyarakat “primitif”, yang meliputi perkembangan kebudayaan masyarakat
manusia melampaui fase-fase transisi “from savage through barbaric to civilized life,” dari
masyarakat liar, melewati kehidupan barbarik sampai pada kehidupan beradab. Studi tentang
kebudayaan masyarakat manusia ini disampaikannya dalam 2 (dua) jilid buku berjudul Primitive
Culture setebal hampir 1000 halaman (Tylor, 1871), meliputi berbagai aspek kehidupan dan
ketahanan hidup, kehidupan spiritual, kekuatan magik, sihir, astrologi, permainan anak-anak,
peribahasa, sajak anak-anak, ketahanan adat, ritus pengorbanan, bahasa emosional dan imitatif,
seni menghitung, berbagai macam dan ragam mitologi, hingga berbagai macam dan ragam
animisme, ritus dan upacara.
Tylor (1871) memanfaatkan studi ini antara lain sebagai landasan untuk menyusun
konsep tentang kebudayaan, yang dirumuskannya secara singkat sebagai berikut.
Culture or Civilization... is that complex which includes knowledge, belief, art,
morals, law, custom, and many other capabilities and habits acquired by man as a member of
society.
(Kebudayaan atau Peradaban... adalah satuan kompleks yang meliputi ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, akhlak, hukum, adat, dan banyak kemampuan-kemampuan
dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat).
Konsep awal kebudayaan yang bersumber dari studi tentang masyarakat-masyarakat
primitif tersebut mengandung sisi praktis, sebagai sumber kekuatan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi rangkaian gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan moderen. Menyusun suatu
hubungan antara apa yang manusia-manusia purbakala tak-berbudaya pikirkan dan lakukan,
dan apa yang manusia-manusia moderen berbudaya pikirkan dan lakukan, bukanlah masalah
ilmu pengetahuan teoretik yang tak-dapat-diterapkan, karena persoalan ini mengangkat
masalah, seberapa jauh pandangan dan tingkah-laku moderen berdasarkan atas landasan kuat
ilmu pengetahuan moderen yang paling masuk akal (Tylor, 1871).
Lebih dari setengah abad kemudian, Ralph Linton, Profesor Antropologi dari
Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, menawarkan rumusan tentang kebudayaan
yang menekankan pada faktor integrasi yang dicapai melalui tingkah laku belajar. Kebudayaan
bisa dicapai dengan belajar dan sebagai hasil belajar yang dibiasakan antar anggota suatu
masyarakat. Menurut Linton, “A culture is the configuration of learned behavior and results of
behavior whose component elements are shared and transmitted by the members of a particular
society” (Linton, 1945).
(Kebudayaan merupakan konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku
yang unsur-unsurnya digunakan bersama-sama dan ditularkan oleh para warga masyarakat).
Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.” Dalam
pengertian “sempit,” kebudayaan dipahami sebagai “kesenian,” sehingga seniman dianggap
sebagai budayawan, pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya, misi kesenian
yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan praktek
demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-unsur atau isi
kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan. Pengertian demikian tidak sepenuhnya keliru
karena kesenian pun merupakan unsur kebudayaan yang penting.
Sosiolog Inggris terkemuka, Anthony Giddens (1991) mengenai kebudayaan dalam
hubungannya dengan masyarakat menerangkan sebagai berikut:
When we use the term in ordinary daily conversation, we often think of
„culture‟ as equivalent to the „higher things of the mind‟ – art, literature, music
and painting… the concept includes such activities, but also far more. Culture
refers to the whole way of life of the members of a society. It includes how they
dress, their marriage customs and family life, their patterns of work, religious
ceremonies and leisure pursuits. It covers also the goods they create and which
become meaningful for them – bows and arrows, ploughs, factories and machines,
computers, books, dwellings (Giddens, 1991).

(Ketika kita menggunakan istilah tersebut dalam percakapan biasa sehari-hari, kita
sering berpikir tentang „kebudayaan‟ sama dengan „karya-karya akal yang lebih tinggi' –
seni, sastra, musik dan lukisan.... konsepnya meliputi kegiatan-kegiatan tersebut, tapi juga
jauh lebih banyak dari itu. Kebudayaan berkenaan dengan keseluruhan cara hidup
anggota-anggota masyarakat. Kebudayaan meliputi bagaimana mereka berpakaian, adat
kebiasaan perkawinan mereka dan kehidupan keluarga, pola-pola kerja mereka, upacara-
upacara keagamaan dan pencarian kesenangan. Kebudayaan meliputi juga barang-barang
yang mereka ciptakan dan yang bermakna bagi mereka – busur dan anak panah, bajak,
pabrik dan mesin, komputer, buku, tempat kediaman).

E. Ekologi Budaya
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya
dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi
antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernest
Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem
dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban,
cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia,
hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan
organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi
dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun
70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya.
Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan
mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat
hidupnya atau lingkungannya.[2] Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi
dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan,
dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat
tropik.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu
adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Ekologi adalah cabang ilmu pengetahuan yangmembicarakan makhluk hidup khususnya
manusia dalam hubungannya dengan kondisi lingkungan hidupnya dimana manusia itu berada
dan memanfaatkan lingkunngan itu memenuhi keperluan hidupnya. Manusia harus merawatnya
dengan tindakan- tindakan yang di pertimbangkan untuk mendapatkan keseimbangan dalam
kelangsungan lebih lajut hidupnya. Lingkungan memberikan hasil kepada manusia atas
budidayanya terhadap lingkungan berapa sumber daya dalam latar tertentu: energi, dan materi
dan pelayanan.
Permasalahan lingkungan hidup yang dibutuhkan dari sebab dinamika alam atau perilaku
manusia yang melanggar daya dukunng lingkunngan adalah permasalahan ekologi. Pengelolaan
lingkungan hidup manusia tidak lepas dari ekologi manusia, yaitu hubungan timbale balik antara
perilaku manusia dengan lingkungan hidupnya. Perilaku manusia terikat dengan tingkat nilai-
nilai budaya yang melatarbelakanginya dalam mengelola. Tingkat kebudayaan ini penting karena
merupakan regulator bagi perilaku-perilaku dan maksimalitas sumber daya yang dihasilkan.
Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam
perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif
lingkungan hidup. Ulang-alik antara lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi
bidang garap Ekologi Budaya.

F. Budaya Dan Identitas


Selain mengeksplorasi bentuk budaya, seperti agama, bahasa, dan gerakan, ataupun
budaya nasionalisme geographer memiliki keyakinan bahwa suatu bangsa memiliki budaya yang
sama. Geografer mulai mengajukan pertanyaan tentang bentuk lain dari identitas. Ketertarikan
ini sebagian besar berkaitan dengan kelompok-kelompok budaya tertentu yang telah lama berdiri
dan beberapa baru sadar diri untuk mulai menggunakan identitas mereka untuk menegaskan
klaim politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

1. Ras
Ras adalah klasifikasi manusia berdasarkan warna kulit dan karakteristik fisik lainnya.
Rasialisasi adalah praktik menciptakan kasta yang tidak setara berdasarkan norma putih. Secara
biologis, tidak ada ras yang ada di dalam spesies manusia. Namun pertimbangkan kategori ras
dan tempat disesuaikan dengan "Afrika Amerika" dan "ghetto." Gagasan Barat yang kuat tentang
ras telah memungkinkan munculnya pengabadian ruang terpisah di banyak tempat di Amerika
Utara dan tempat lain. Dalam hal ini dan kasus lainnya, karakteristik rambut, kulit, dan struktur
tulang yang terlihat membuat ras menjadi kategori perbedaan yang (dan masih) diterima secara
luas dan sering diekspresikan secara spasial.
Pendekatan arus utama ras memandang lingkungan sebagai ruang pengaturan untuk
sistem afiliasi yang kurang lebih dipilih oleh orang-orang dengan warna kulit serupa. Namun ahli
geografi budaya membalik pendekatan ini untuk melihat lingkungan sebagai ruang yang
menegaskan identitas masyarakat dominan. Tempat (place) terus menjadi mekanisme untuk
menciptakan dan melestarikan sistem rasial lokal dan klasifikasi. Perbedaan geografis dan batas
geografis yang ditentukan digunakan untuk mengkasifikasi ras. Contoh interaksi antara ras dan
tempat dalam skala besar adalah kasus Tanah air dari Afrika Selatan dan pembongkaran
apartheid di sana.

2. Etnik
Etnisitas adalah area lain di mana ahli geografi mengeksplorasi identitas budaya. Etnisitas
adalah sistem aturan yang diciptakan secara sosial tentang siapa yang termasuk dalam kelompok
tertentu berdasarkan pada aktual atau kesamaan yang dirasakan, seperti bahasa atau agama.
Fokus geografi pada etnisitas adalah upaya untuk memahami cara etnisitas tersebut terbentuk dan
dibentuk oleh ruang, bagaimana kelompok etnis menggunakan ruang sehubungan dengan arus
budaya utamanya, serta kelompok etnis lainnya. Untuk ahli geografi budaya, wilayah juga
merupakan basis kohesi kelompok etnis. Sebagai contoh, kelompok budaya yang diidentifikasi
secara etnis atau lainnya dapat dipisahkan secara spasial dari masyarakat luas di Indonesia,
misalnya ghetto, kelompok etnik, tanah air, dan wilayah kesukuan.

3. Gender
Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan
dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya
dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai “seperangkat peran, perilaku,
kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi
secara sosial, dalam suatu masyarakat.”
Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang
bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling
dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain
adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak bahasa,
yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol)
dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda “maskulin” dan “feminin” (beberapa
juga mengenal kata benda “netral”).
Gender adalah identitas yang tidak hanya menarik perhatian ahli geografi budaya tetapi
secara luas juga diakui dalam budaya populer. Memang, identitas gender diakui secara luas
dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh pengajuan gender sebagai identitas adalah pada
tahun 2013 Facebook menambahkan lebih dari 50 kategori khusus untuk opsi gender mereka.
Facebook, mengakui bahwa dikotomi pria / wanita yang sederhana tidak memadai dalam
menangkap banyaknya jenis kelamin yang berada di ruang di antara mereka, sehingga Facebook
mengambil langkah untuk membuka kategori hingga 50 opsi. Langkah ini oleh Facebook adalah
pengakuan mendasar fitur kunci dari semua identitas manusia yang menandai dan
mendefinisikan manusia sebagai makhluk “berjenis kelamin”. Ini juga merupakan pengakuan
bahwa gender bukan sesuatu karakteristik orang yang mendasar saja (satu set karakteristik fisik),
tetapi sesuatu yang dilakukan orang (sesuatu yang berlaku dengan cara kita sendiri, sesuatu yang
kita pahami sebagai diri kita sendiri).
Penelitian tentang gender dalam geografi mengakui ruang sebagai pusat pemahamannya.
Misalnya di mana identitas transgender dapat dilakukan? siapa yang menempati ruang-ruang
itu?, bagaimana mereka ditempati?, dan bahkan apa identitas gender yang mungkin dilakukan
orang jika mereka menempati satu ruang tertentu saja dan bukan yang lain?
Tetapi permasalahan tentang gender dan ruang telah melampaui kinerja identitas dengan
munculnya budaya politik baru yang sedang dibangun untuk melindungi hak-hak orang yang
tidak mengidentifikasi sebagai pria atau wanita sederhana khususnya nasional dan ruang
internasional.

G. Bahasa Dan Agama


1. Bahasa
Bahasa merupakan suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan
sekaligus sebagai alat perantara yang paling utama bagi manusia untuk meneruskan atau
mengadaptasikan kebudayaan. Bentuk bahasa ada dua, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia, karena Bahasa
merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau
berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan
istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi
budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik,
dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Bahasa sebagai
salah satu unsur budaya tentunya memiliki hubungan dengan wujud budaya. Menurut
Koentjaraningrat (2009: 150), kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan
sebagainya.
2). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
3). Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

2. Agama
Sistem religi bisa diartikan sebagai sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan
praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan tidak dapat dijangkau oleh
akal dan pikiran. Sistem religi meliputi sistem kepercayaan, sistem nilai, pandangan hidup,
komunikasi keagamaan, dan upacara keagamaan.
Koentjaraningrat, sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia,
mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan. Istilah religi digunakan
sebagai terjemahan dari kata religion. Dengan sengaja menghindari kata agama karena istilah ini
bagi banyak orang Indonesia sudah mempunyai arti tertentu seperti Agama Islam atau Nasrani.
Menurut Koentjaraningrat, sistem religi adalah bagian dari kebudayaan karena mengacu
pada konsep yang dikembangkan oleh Emile Durkheim mengenai dasar-dasar religi dengan
empat dasar komponen, yaitu: (1) emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan
manusia menjadi religius; (2) sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-
bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang
wujud dari alam gaib (supernatural); (3) sistem upacara religius yang bertujuanmencari
hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk-mahluk halus yang mendiami alam
gaib; (4) kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem
kepercayaan tersebut.
Kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu wujud ideal, sistem sosial, dan
kebudayaan fisik. Wujud ideal bersifat abstrak yang tidak bisa diraba atau difoto. Lokasinya ada
di alam kepala-kepala, atau dengan kata lain perkataan, dalam alam pikiran dari warga
masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan
berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia
yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke
hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem
sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik yang berupa seluruh hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling
konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto
H. Perkembangan Spasial Kebudayaan
Untuk sebagian besar abad kedua puluh, ahli geografi dan antropolog, telah
memfokuskan perhatian mereka pada budaya material, sebagai lawan untuk manifestasi simbolis
atau spiritual yang kurang nyata. Pemahaman budaya ini adalah bagian dari adanya tradisi yang
lebih panjang dalam geografi dan disiplin ilmu lainnya.
Ekonomi, politik, urbanisasi, dan globalisasi memiliki efek pada budaya. Istilah seperti
musik dunia atau konektivitas global merupakan cerminan dari pengertian bahwa saat ini dunia
tampaknya merupakan tempat yang kecil. Hal ini karena orang di mana-mana dapat berbagi
aspek budaya yang sama melalui penyebaran luas. Pengaruh tersebut melalui televisi, internet,
dan media lainnya. Mudahnya pengaruh-pengaruh tersebut menyebar melaui berbagai sarana
menjadikan kekuatan-kekuatan homogenisasi yang kuat, meskipun dunia belum menjadi begitu
seragam.
Perkembangan kebudayaan serta perubahan sosial yang terus berlangsung melalui
mekanisme-mekanisme dinamika kebudayaan yang berupa difusi, asimilasi, dan akulturasi terus
berlangsung di berbagai tempat. Perkembangan kebudayaan berlangsung secara bertahap dan
berangsur-angsur yang selanjutnya diikuti oleh perubahan sosial seperti perubahan pola perilaku,
struktur masyarakat, pranata sosial, serta gaya hidup (Soemardjan, 1981). Perkembangan dan
perubahan sosial budaya dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor baik faktor dari dalam
masyarakat itu sendiri maupun faktor-faktor dari luar.

Anda mungkin juga menyukai