Anda di halaman 1dari 28

TRADISI NGANTEN MUBENGI GAPURA MASJID WALI AT-TAQWA

(STUDI KASUS PERSPEKTIF MASYARAKAT LORAM KULON)


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Geografi Regional

Dosen Pengampu: Noor Fatmawati, M.Pd.

Kelompok 5

Anggota:

Rohmatus Saidah : 1810910045

Zuniatul Ulwiyyah : 1810910051

Muhammad Jazuli : 1810910072

Kholilur Rohman : 1810910074

Junatun Mukhasaroh : 1810910077

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL B

JURUSAN ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengenai gambaran umum/kondisi tempat penelitian ketika observasi
lapangan bahwa Desa Loram adalah Desa yang terletak di Kecamatan Jati Kabupaten
Kudus.1 Dewasa ini, Desa Loram yang terkenal dengan kearifan lokal bahkan Masjid
at –taqwa yang berada di desa loram kulon merupakan situs peninggalan sejarah.
Masjid di loram kulon ini selain sebagai tempat untuk beribadah juga mempunyai
fungsi lain yakni sebagai pemersatu solidaritas antar masyarakat di desa loram kulon.
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, ternyata cerita rakyat berbentuk
lisan dengan titel “Sultan Hadirin dan Masjid Wali At-Taqwa Loram Kulon” bagi
masyarakat desa Loram Kulon, memiliki makna yang sangat penting dalam konteks
awal penyebaran agama Islam di Kudus, nilai tradisi, arsitektur gapura masjid,
maupun nilai budaya. Seperti tradisi mengelilingi gapura masjid bagi pasangan
pengatin di desa Loram Kulon, sampai sekarang masih dijalankan dengan khidmat.
Begitu juga tradisi Kirab Ampyang Maulid untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SWA tiap tanggal 12 Robi’ul Awwal, sampai sekarang masih
dilaksanakan dengan meriah dan khidmat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi Fisik Desa Loram Kulon?
2. Bagaimana Bentuk Kearifan lokal Mubengi Nganten?
3. Bagaimana Perspektif Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal Mubengi Nganten?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui Kondisi Fisik Desa Loram Kulon.
2. Untuk Mengetahui Bentuk Kearifan lokal Mubengi Nganten.
3. Ntuk Mengetahui Perspektif Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal Mubengi
Nganten.

1
Muhammad Syafi’I, 2019. (Kepala Desa Loram Kulon), Interview pada 05 November pukul 10.32
WIB.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Nilai dan Budaya
1. Hakikat Kebudayaan
Jauh sebelum terbitnya buku The Origin of Species (1859) yang ditulis oleh
seorang ahli biologi Charles Darwin, ada tiga dasar pandangan di kalangan
orang Eropa dalam melihat masyarakat dan kebudayaan makhluk manusia.
Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia
memang diciptakan beraneka macam atau poligenesis, dan menganggap bahwa
orang-orang di Eropa yang berkulit putih merupakan makhluk manusia yang
paling baik dan kuat. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimiliki nya juga
paling sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah meyakini
bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya pernah diciptakan sekali saja
atau monogenesis, yaitu dari satu makhluk induk, dan bahwa semua makhluk
manusia di dunia ini merupakan keturunan Nabi Adam, sebagian dari mereka
yang punya pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman makhluk
manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah, sebagai akubat proses
kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang pernah dilakukan oleh
Nabi Addam. Sebaliknya, sebagian lain berpendapat bahwa sebenarnya
manusia dan kebudayaan tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi jika
pada masa kini terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan
mereka yang berbeda. Makhluk manusia yang mereka jumpai di Afrika, Asia
dan Oceanea merupakan keturunan Nabi Adam yang nenek moyang mereka
lebihh rendah dibandingkan dengan nenek moyang orang-orang
Eropa.Kebangkitan kembali terhadap studi kesusasteraan dan ilmu
pengetahuan Yunano dan Rumawi Klasik yang terjadi pada abad XVI di
Eropa, atau yang dikenal dengan Renaissance menimbulkan rasionalisme yang
pada kahirnya menyebabkan kemajuan ilmu penngetahuan dan teknologi di
Eropa. Pada masa itu, yaitu sampai dengan abad XVIII, Eropa mengalami
zaman Aufklaarung atau Pencerahan. Cara berpikir rasional yang akhirnya
berkembang menjadi aliran positivism dengan tokoh-tokohnya antara lain
August Comte dan Herbert Spencer, sangat mewarnai para cendekiawan pada
zaman Aufkalaarung. Mereka percaya bahwa berbagai kaidah tersebut akan
dapat dipergunakan untuk mengatur dan merubah masyarakat.2
2. Konsep Kebudayaan
Ruang lingkup konsepsi kebudayaan sangat bervariasi, dan setiap pembatasan
arti yang duberikan akan sangat dipengaruhi oleh dasar pemikiran tentang
azas-azas pembentukan masyarakat dan kebudayaan. Dalam antropologi
misalnya, ada yang menekankan bahwa berbagai cara hidup makhluk manusia
yang tercermin dalam pola-pola tindakan (action) dan kelakuannya (behavior),
merupakan aspek penting sebagai obyek penelitian dan analisinya. Oleh
karenanya, pembatasan konsep kebudayaan yang menekankan pada aspek
belajar (learned behavior), misalnya tampak pada definisi yang diberikan oleh
C. Wissler (1916) dan C. Kluckohn (1941). Sementara itu pula E.B. Tylor
(1881), konsepsi kebudayaannya lebih didasarkan pada pemikiran historical
particularism, culture and personality (Linton, 1936), structural-functionalism
(Malinowski, 1945), structuralism (Levi-strauss, 1972), ethnomethodology
(Luckmann, 1979).
Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa inggris, berasal dari kaya kerja
dalam bahas Latin colere yang berarti bercocok tanam (cultivation), dan
bahkan di kalanngan penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga dapat
diartikan sebagai ibadah atau sembahyang. Dalam bahasa Indonesia, kata
kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak
dari kata buddhi (budi atau akal), dan ada kalanya juga ditafsirkan bahwa kata
budaya merupakan perkembanhan dari kata majemuk ‘budi-daya’ yang berarti
daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa dan rasa. Karenanya ada juga yang
mengartikan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari cipta, karsa dan rasa.
Lebih lanjut Koentjaraningrat (1984:180:181) sendiri mendefinisikan
kebudayaan merupakan “ keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.”
Dalam antropolgi budaya, ruang lingkup kajian kebudayaan mencakuo variasi
obyek yang sangat luas, anara lain meliputi dongeng-dongeng, ragam bahasa,

2
Hari Poerwanto, Kebudayaan Dan Lingkungan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm 42-
43.
ragam keranjang, hukum, upacara minta hujan dan lain sebagainya. Sekalipun
pengertian yang tercakup dalam kebudayaan masih sangat luas, sejak 1950 an
ada suatu upaya merumuskan kembali konsep tersebut lebih sistematik, yaitu
dilakukan oleh dua orang ahli antropolgi, ialah A.L. Kroeber dan C.
Kluchkohn, antara lain mengutarakan bahwa yang dimaksudkan dengan
kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola
berperilaku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan
melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
materi. Dalam hal ini, struktur sosial hanya dianggap sebagai salah satu segi
dari masyarakat.
Dalam penggunaan sehari-hari, kata kebudayaan dan budaya dianggap
memiliki kesamaan ruang lingkup, sementara itu juga sering ditemukan
kerancaian pemakain karena kesalahan dalam menterjemahkan. Istilah culture
diterjemahkan ‘kebudayan’. Selain itu, seringkali dijumpai pula pemakaian
kata cultural atau kebudayaan. Dalam hal ini, pemakaian istilah ‘kultural’
bukan diterjemahkan ‘budaya’ dan istilah ‘kultur’ tidak dapat begitu saja
diterjemahkan sebagai kebudayaan. Agaknya, penggunaan kedua istilah tadi
seringkali masih rancu karena istilah culture lebih diterjemahkan kebudayaan
dan cultural diterjemahkan kebudayaan karena cultural merupakan ajective
dari culture.3
3. Pewarisan dan Perubahan Kebudayaan
Sebagian besar para ahli antropologi sepakat bahwa kebudayaanlah yang telah
membentuk makhluk manusia, dan bukan alam sekitarnya. Keberhasilan
mereka menundukkan alam sekitarnya adalah bukti keberhasilan mereka
mencapaii suatu tingkat kebudayaan yang lebih tinggi. Makhluk manusia
selalu berupaya untuk menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan yang
terjadi di sekitarnya sehingga melahirkan perubahan yang terjadi disekitarnya
sehingga melahirkan suatu pola-pola tingkah laku yang baru. Oleh karena
lingkungan alam berbeda-beda, maka terdapat berbagai bentuk adaptasi di
kalangan makhluk manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya,

3
Hari Poerwanto, Kebudayaan Dan Lingkungan,…h, 51-53.
mampu merubah alam sekitarnya, dan akhirnya perubahan-perubahan yang
ditimbulkannya akan selalu diarahkan kepada makhluk manusia.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan
makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Dalam banyak konsep,
antara lain dikemukakan C Kluckhohn, ditekankan bahwa kebudayaan
merupakan proses belajar dan bukan sesuatu yang diwariskan secara biologis.
Oleh karenanya kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipekajari dan
disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.4 Manusia adalah bagian
dari suatu sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai
pola-pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan
individu-individu lain di sekitarnya. Proses belajar ini lebih dikenal dengan
sosialisasi. Selanjutnya, proses belajar kebudayaan lainnya dikenal dengan
istilah enkulturasi atau pembudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan
menyesuaikan sikap dalam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup
dalam kebudayaannya.
Pada dasarnya ada tiga pandangan untuk memahami proses perkembangan
kebudayaan. Pandangan pertama, beranggapan bahwa kebudayaan bersifat
superorganik dan merupakan wujud tertinggi dari para individu pendukung
suatu kebudayaan. Pandangan kedua, sering dipergunakan oleh para ahli
antropologi, dikatakan bahwa kebudayaan hanyalah merupakan suatu konsep
untuk suatu konstruksi melalui pandangan kaum konseptualis inilah
kebudayaan akhirnya dapat dipakai untuk menjelaskan dan menggambarkan
berbagai tingkah laku dan yang dihasilkan oleh makhluk manusia. Ketiga,
adalah pandangan yang melihat bahwa kebudayaan itu bersifat abstrak, dan
merupakan suatu konstruksi dan bukannya suatu entitas yang dapat
diperhatikan secara menyeluruh. Sementara itu kebudayaan juga merupakan
sesuatu yang nyata yang tidak perlu dipersoalkan hakikatnya. Kebudayaan
sebagai ciptaan atau warisan hidup bermasyarakat adalah hasil dari daya cipta
atau kreativitas para pendukungnya dalam rangka berinteraksi dengan
ekologinya, yaitu untuk memenuhi keperluan biologi dan kelangsungan
hidupnya sehingga ia mampu tetap survival.

4
Hari Poerwanto, Kebudayaan Dan Lingkungan,… h, 87-88.
Berbagai unsur kebudayaan asing yang datang sering merupakkan serpihan
(part-culture) dan bukan merupakan budaya induk (great tradition), dan
merupakan pecahan serta terputus dari budaya induknya. Kebudayaan yang
dibawa oleh para perantau Cina di Indonesia misalnya, bukan budaya dari
kalangan Mandarin atau Bangsawan, melainkan suatu budaya yang dimiliki
oleh suatu kolektiva tertentu. Budaya serpihan tadi juga bukan merupakan
suatu sub culture maupun budaya suatu ethnic groupskarena seringkali
dikaitkan dengan konotasi budaya tingkat rendah. Seringkali budaya serpihan
tadi harus mencari gantungan dan fungsi baru dalam suatu budaya induk baru
dan dalam alam budaya baru. Melalui perjalanan sejarah dapat dipahami
bahwa serpihan budaya tadi terpisah dari induknya sebagai akibat penajajahan
atau penguasaan oleh bangsa asing. Kelompok manusia tadi pindah ke alam
budaya lain, baik secara suka rela maupun dipaksa atau terpaksa.5
B. Upacara Pernikahan
Dalam undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan bahwa
pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.6
Pernikahan adalah dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri
dipertemukan secara formal dihadapan penghulu, para saksi dan semua orang
yang ikut menghadiri pernikahan tersebut, untuk disahkan dengan resmi sebagai
suami-istri dengan berbagai upacara dan ritus-ritus tertentu. Pernikahan pada
umumnya dirayakan secara meriah, diiringi dengan upacara-upacara, peristiwa
menyajikan makanan dan minuman dan perayaan atau beberapa keramaian.7
Upacra pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap sakral atau suci
sehingga terkadang pernikahan diartikan juga sebuah perayaaan cinta di mana
dalam peristiwa tersebut terjadi pengukuhan hubungan antara dua insan (laki-laki
dan perempuan) baik secara agama maupun hukum. Menikah juga bukan hanya
menyatukan dua pribadi saja, tetapi juga dua keluarga, sehingga dengan
mengadakan upacara pernikahan dianggap sebagai ungkapan rasa syukur,

5
Hari Poerwanto, Kebudayaan Dan Lingkungan,... hlm 89-91.
6
. Tualaka, Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: New Merah Putih, 2009), h.12
7
. Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1(Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 207.
kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri.Dan juga Pernikahan merupakan salah
satu peristiwa besar dan penting dalam sejarah kehidupan seseorang. Oleh sebab
itu, peristiwa demikian biasanya tidak dilewatkan orang begitu saja sebagaimana
mereka menghadapi peristiwa sehari-hari. Peristiwa pernikahan dirayakan dengan
serangkaian upacara yang mengandung nilai budaya luhur dan suci8Sebelum
melangsungkan pernikahan, biasanya pada tradisi adat jawa pemilihan calon
pengantin atau pemilihan jodoh (baik dari pihak laki- laki ataupun perempuan)
yang harus dilandaskanatau di dasari atas dasar pertimbangan. Yaitu Bibit, Bebet,
Bobot. Faktor Bibit memperhitungkan benih asal keturunan. Yaitu memilih
sumber bibit keluarga yang sehat jasmani dan rokhaninya, bersih dari penyakit
keturunan atau penyakit mental tertentu. Dalam hal ini akan menghasilkan
keturunan yang baik dan sehat pula. Bebet berarti keluarga, keturunan, asal benih
keluarga. Pada umumnya seseorang mengharapkan seorang calon suami atau isteri
yang mempunyai keturunan bangsawan. Keturunan darah satri, kelak diharapkan
bisa menurunkan anak-anak yang memiliki sifat-sifat perwira, luhur, dan utama,
akan menghasilkan keturunan sarjana sudira betah atapa, kang patitis waskita ing
nala artinya mencari keturunan orang yang cerdik, pandai, mempunyai martabat
yang baik, berani dan suka mesu diri dengan jalan bertapa. Patitis artinya tepat,
teliti, akurat dalam menjalankan ibadah dan hukum, serta berkepribadian terpuji.
Waskita ing nala berarti waspada, ingat, awas batinnya, dan tajam wawasan
hatinya.
Dengan mempunyai keturunan yang unggul itu diharapkan sepasang
suamiisteri memiliki sifat-sifat terpuji, untuk selanjutnya mampu membina
keluarga bahagia, dan mendapatkan anak keturunan yang baik. Bobot disini
diartikan sebagai timbangan yang berbobot. Berbobot berarti mempunyai harkat,
martabat, ilmu pengetahuan yang lengkap, memiliki harta kekayaan, kekuasaan
dan status social yang cukup, sehingga dihargai oleh masyarakat. Berbobot itu
tidak hanya diartikan sebagai berbobot kekayaan dan kekuasaan duniawi saja,
akan tetapi juga berbobot dengan memiliki kekayaan spiritual dan nilai-nilai
rokhaniah serta akhirat.

8
. Sri Supadmi murtiadji, Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993), h 1.
Persyaratan-persyaratan yang cukup berat dan sangat normatif ini dipegang
teguh oleh kebanyakan keluarga jawa yang masih kental akan tradisi, untuk
kelestarian dan kebahagiaan kedua calon mempelai yang akan membina rumah
tangga. Akan tetapi, peraturan tradisional yang sangat ketat itu mengalami
perubahan sedikit demi sedikit. Anak-anak muda mulai mendapatkan kebebasan
untuk memilih pasangan hidupnya. Hal tersebut disebabkan oleh karena orang tua
semakin banyak disibukkan oleh macam-macam urusan kerja dan kesulitan hidup
sehari-hari, yang terasa semakin berat. Sehubungan dengan hal ini, orang tua
beranggapan bahwa masalah pernikahan dan memilih jodoh itu bukan hanya
merupakan Pertanggungjawaban orang tua saja, akan tetapi harus dipikul badan
dipertanggungjawabkan juga oleh anak-anak muda sendiri. Dengan begitu anak
muda mulai mendapatkan luang untuk memilih calon
pasangannya.9Dengandemikian pemilihan pasangan dalam zaman sekarang,
pernikahan hanya menjadi urusan kedua calon mempelai. Mereka semakin
mengutamakan rasa yang saling tertarik secara emosional (cinta). Dasar untuk
menjalin pernikahan ini memungkinkan rasa at home yang lebih mendalam dan
personal. Mereka berhubungan lebih akrab, intim dan mendalam sebagai pribadi
yang sama derajatnya. Rumah tangga dipandang sebagai bidang privat, bebas
tekanan masyarakat, adat politik. Tetapi dilain pihak ideal ini membuat persatuan
suami istri lebih rapuh dan terancam bila menghadapi krisis. Masyarakat dan
agama tidak memberi dukungan tidak lagi melarang atau mencela perceraian. Jadi
seni berhubungan dan komunikasi antara suami istri dan cara mengatasi konflik
secara damai dan sungguh-sungguh, semakin penting. Cara efisien sebaiknya
dilatih sebelum menikah seperti juga potensi psikis yaitu kemampuan membina,
mengungkapkan serta menerima rasa kedekatan.10

9
. Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1 (Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 199
10
.Adolf Hauken, Ensiklopedi Gereja Jilid VI (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), h. 236
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah field research atau penelitian lapangan. Penelitian
lapangan adalah melakukan penelitian dilapangan untuk memperoleh data atau
informasi secara langsung dengan mendatangi informan yang berada di lokasi yang
telah ditentukan. Hal ini bisa peneliti lakukan dengan cara studi langsung ke lapangan
untuk memperoleh data yang konkret (nyata) dengan melihat dan menganalisa untuk
diambil kesimpulannya dalam penilitian berdasarkan data yang didapatkan
dilapangan.11
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Karena untuk
memahami fenomena secara menyeluruh tentunya harus memahami segenap konteks
dan melakukan analisa yang holistik (utuh), dan penjabarannya dengan
dideskripsikan.12 Penelitian dengan pendekatan kualitatif dalam melakukan
pengumpulan data terjadi interaksi antara peneliti data dengan sumber data. Dalam
interaksi ini baik peneliti maupun sumber data memiliki latar belakang, pandangan,
keyakinan, nilai-nilai, kepentingan dan persepsi berbeda-beda, sehingga dalam
pengumpulan data, analisis, dan pembuatan laporan akan terikat oleh nilai masing-
masing.
Penelitian kualitatif adalah penelitian untuk menjawab permasalahan yang
memerlukan pemahaman secara mendalam dalam konteks waktu dan situasi yang
bersangkutan, hal lain yang dilakukan secara wajar dan alami sesuai dengan kondisi
objektif dilapangan tanpa adanya manipulasi. Proses penelitian yang dimaksud antara
lain melakukan pengamatan terhadap orang dalam kehidupan sehari-hari, berinteraksi
dengan mereka, dan berupaya memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya. Untuk itu, penulis harus terjun kelapangan dengan waktu yang cukup
lama, yang tidak bisa dibatasi hingga data sampai pada titik jenuh untuk mencapai
kevalidannya.Metode penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang
lebih objektif, faktual, akurat, dan sistematis, mengenai masalah-masalah yang ada di
objek penelitian, dan masalah tersebut sesuai dengan yang telah disebutkan
sebelumnya. Jadi peneliti akan menggambarkan atau memaparkan data-data yang

11
Rosady Ruslan, Metodologi Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 32.
12
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2014), h. 290.
telah diperoleh tentang kondisi Desa Loram baik kearifan lokal maupun perspektif
masyarakatnya. Adapun sumber data dari penelitian ini adalah Muhammad Syafi’I
selaku Kepala Desa Loram Kulon lalu Afroh selaku juru kunci dari Masjid at-Taqwa
dan Muhammad Aflah selaku staf dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten
Kudus, juga melibatkan masyarakat sekitar untuk dijadikan data yang utuh.
B. Lokasi
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilakukan. Penetapan lokasi
penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam penelitian kualitatif, karena
dengan ditetapkannya lokasi penelitian berarti objek dan tujuan sudah ditetapkan
sehingga mempermudah penulis dalam melakukan penelitian. Lokasi ini dilakukan di
Desa Loram Kecamatan Jatiberada di bagian selatan Kabupaten Kudus. Hal ini juga
tidak lepas dari masjid at-Taqwa yang ada di Desa Loram Kudus karena memiliki
cagar budaya yaitu Gapura Masjid yang sampai sekarang dijadikan cagar budaya dan
digunakan untuk ritual ngubengi nganten.
C. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan peneliti ini dilaksanakan sejak tanggal dikeluarkannya
ijin penelitian dalam kurun waktu kurang lebih 4 (empat) bulan, 2 bulan pengelolaan
data dan 2 bulan bimbingan meliputi penyajian sehingga dalam bentuk laporan untuk
memenuhu tugas sebagai mata kuliah geografi regional.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Fisik Desa Loram Kulon
Desa Loram Kulon terletak di Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Desa Loram
Kulon memiliki luas wilayah 198,976 ha, dari luas tersebut terbagi dalam lahan
sawah seluas 100,369 Ha, serta bukan lahan sawah seluas 98,607 Ha, dari luasan
tersebut terbagi atas 5 Rukun Warga (RW), dan 34 Rukun Tetangga (RT), terinci
dalam dukuh sebagai berikut:
a. Dukuh Karang Rejo, Gondang Rejo, Rejosan, Oro-oro Ombo, dan Bak Tengah
(1 RW, 9 RT).
b. Dukuh Ketapang dan Dusun Karang Watu (1 RW, 6 RT).
c. Dukuh Kedung Minger dan Batang Warak (1 RW, 4 RT).
d. Dukuh Genjur dan Kauman (1 RW, 9 RT).
e. Dukuh Ganir, Kiringin, Nongko Payak, Dukuh Nerangan (1 RW, 6 RT).
Secara geografis Desa Loram Kulon terletak disebelah selatan Kabupaten Kudus
dengan dengan batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah utara :Desa Getas Pejaten dan Loram Wetan
b. Sebelah Timur :Desa Loram Wetan
c. Sebelah Selatan:Desa Jetis Kapuan
d. Sebelah Barat :Desa Getas Pejaten dan Tanjung Karang
Desa Loram Kulon dengan ibu kota pemerintahan Kabupaten berjarak 3 Km
dan dengan pusat ibu kota Kecamatan Jati berjarak 2 Km. Desa Loram Kulon
terletak pada ketinggian rata-rata 55 meter diatas permukaan air laut yang beriklin
tropis dan bertemperatur sedang. Curah hujan relatif rendah rata-rata dibawah
3000mm/tahun dan berhari hujan rata-rata 97 hari/tahun. suhu udara rata-rata di
Desa Loram Kulon berkisar antara 19,7 derajat Celcius sampai dengan 27,7
derajat Celcius, sedangkan untuk kelembapan udara rata-rata berfariasi dari 69,3%
sampai dengan 82,1%.13
Jumlah penduduk merupakan salah satu faktor utama yang menentukan
kualitas perkembangan sumber daya manusia didalam masyarakat. Jumlah

13
Muhammad Syafi’I, 2019. (Kepala Desa Loram Kulon), Interview pada 05 November pukul 10.32
WIB.
penduduk dapat dijadikan ukuran atas keberhasilan pembangunan dalam
perkembangan kependudukan didalam suatu daerah. Desa Loram Kulon
mempunyai jumlah penduduk 8305 orang yang terdiri dari 4147 orang laki-laki
dan 4158 orang perempuan, dan dengan jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM)
berjumlah 299. Jumlah Kepala Keluarga di Desa Loram Kulon pada tahun 2016
sebanyak 2820 KK. Dengan jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis
kelamin sebagai berikut:
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0-4 338 318 656
5-9 332 281 613
10-14 323 264 587
15-19 312 298 610
20-24 372 355 727
25-29 384 397 781
30-39 780 783 1523
40-49 579 627 1206
50-59 457 453 910
60+ 310 382 692
Jumlah 4147 4158 8305

Pendidikan
Indikator pendidikan dapat digunakan sebagai ukuran untuk menggambarkan
standar hidup penduduk dalam suatu daerah. Pendidikan diharapkan akan dapat
menambah produktifitas penduduk. Pendidikan merupakan salah satu aspek
penting dalam kehidupan masyarakat yang berperan meningkatkan kualitas hidup.
Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, semakin baik kualitas
sumberdayanya.14
Adapun tingkat pendidikan masyarakat di Desa Loram Kulon adalah sebagai
berikut:

14
RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka 6 Tahun), Loram Kulon Tahun 2016-2022, h 12.
NO. Tingkat Pendidikan Jumlah
1. S3 2
2. S2 5
3. S1 278
4. Akademi 152
5. SMU/SMK/MA 2925
6. SLTP 1602
7. SD 758
8. Belum Tamat SD 256
9. Tidak Tamat SD 84
10. Tidak Sekolah -

Adapun sekolah-sekolah yang ada di Desa Loram Kulon adalah sebagai


berikut:
1) SD N 3 Loram Kulon
2) SD N 4 Loram Kulom
3) SD N 5 Loram Kulon
4) SD IT Al-Husna
5) MI NU Miftahul Ulum
6) Mts NU Miftahul Ulum
7) MA NU Miftahul Ulum
8) PAUD Pertiwi
9) PAUD Miftahul Ulum
10) Diniyyah Awwaliyyah Miftahul Ulum
11) Diniyyah Awwaliyah Al Husna
12) RTQ Miftahul Ulum
13) RTQ Al Husna
14) Lembaga Kursus Aqila
15) Ponpes Putra Ittihadut Tholibin
16) Ihya’ussunnah Assaniyyah
Dari data diatas disimpulkan bahwa mayoritas penduduk Desa Loram Kulon
adalah pendidikan menengah, untuk itu perlu upaya terus menerus dan
berkesinambungan untuk terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan dalam rangka peningkatan SDM serta peningkatan sarana
dan prasarana pendidikan yang ada di Desa.15
Adapun kesehatan memberikan peranan penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Kesehatan
merupakan salah satu indikator kesejahteraan rakyat yang dapat menggambarkan
tingkat kesehatan masyarakat sehubungan dengan kualitas kehidupanya.
Pembangunan dibidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat
memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata.
Struktur ekonomi masyarakat Desa Loram Kulon lebih banyak ditopang oleh
sektor industri dan pertanian. Sektor industri didukung oleh pabrik konveksi,
bandeng presto, besi tua dan industri rumahan lainya. Sedangkan sektor pertanian
didukung oleh lahan pertanian yang luas dan struktur tanahnya yang baik. Sejak
dulu lahan dan hasil-hasil pertanian dari Desa Loram Kulon dikenal sangat baik.
Oleh karena itu, selain sebagai buruh pabrik, sebagian mata pencaharian penduduk
adalah sebagai petani.
Adapun mata pencaharian masyarakat Desa Loram Kulon secara rinci adalah
sebagai berikut:
NO. Mata Pencaharian Jumlah
1. Petani 85 orang
2. Buruh Tani 96 orang
3. Nelayan -
4. Pengusaha 360 orang
5. Buruh Industri 1257 orang
6. Buruh Bangunan 120 orang
7. Pedagang 75 orang
8. Pengangkutan 15 orang
9. Pegawai Negeri (TNI, POLRI, PNS) 45 orang
10. Pensiunan 23 orang
11. Pengrajin Industri RT 12 orang
12. Peternak 15 orang

15
RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka 6 Tahun), Loram Kulon Tahun 2016-2022, h 10.
13. Montir 10 orang
14. Dokter 4 orang
15. Bidan Swasta 3 orang
16. Pembantu Rumah Tangga 12 orang
17. Jasa Pengobatan Alternatif 5 orang
18. Seniman/artis 8 orang
19. Karyawan Perusahaan Pemerintah 20 orang
20. Penjahit 25 orang
21. Salon 12 orang16

Luas lahan pertanian Desa Loram Kulon seluas 100,39 Ha, setiap tahunya
menghasilkan produksi beras rata-rata 9,8 ton Ha.
Mayoritas penduduk Desa Loram Kulon adalah memeluk agama Islam.
Jumlah pemeluk agama di Desa Loram Kulon adalah sebagai berikut:
NO. Agama Jumlah
1. Islam 8277 orang
2. Kristen Katholik 20 orang
3. Kristen Protestan 2 orang
4. Budha 5 orang
5. Hindhu -
6. Lain-lain 1 orang

Namun di Desa Loram banyak ditemukan tradisi-tradisi khususya adalah


tradisi nganten mubengi gapura masjid. Melalui tradisi-tradisi unik tersebut
akhirnya Desa Loram Kulon mengalami pengembangan fokus ke desa wisata
dengan bantuan dan arahan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Kudus. Maka terbentuklah desa wisata dengan Ketua Bapak H. Masykur, dan
Bapak Afroh sebagai pengelola situs gapura Masjid Wali Loram Kulon,
sedangkan Bapak H. Anis sebagai ketua Paguyuban Desa Wisata Kabupaten
Kudus. Selain potensi budaya, Pemerintah Kabupaten Kudus juga melihat adanya
16
RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka 6 Tahun), Loram Kulon Tahun 2016-2022, h 13.
potensi ekonomi yang ada di desa tersebut seperti Bandeng Presto, kerajinan tas,
bordir, seni kaligrafi, seni kerajinan tangan dari batok kelapa dan lainnya. Potensi
ekonomi tersebut dipandang mampu memberikan keuntungan bagi desa dan juga
bagi masyarakat pada umumnya. Maka Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Kudus menjadikan Desa Loram Kulon sebagai “Desa Wisata Loram
Kulon”. Desa wisata ini mulai berdiri tahun 2010 dan mendapatkan SK penetapan
sebagai rintisan desa wisata Kabupaten Kudus pada tahun 2014 dengan Nomor:
556/23.01/0434/2014 dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
B. Kearifan Lokal Mubengi Nganten
1. Pengertian kearifan Lokal
Dirumuskan sebagai “kemampuan memberikan penilaian secara tepat pada
hal-hal yang terkait dengan kehidupan dan prilaku”.17Sedangkan Staudinger
mengutip Paradigma Kearifan Berlin, merumuskan kearifan sebagai kepakaran
dalam pragmatik dasar kehidupan. Moss (2009) mengutip definisi lain
mengenai kearifan ini, dengan menyatakan “kearifan bukan hanya tentang cara
memaksimalkan kepentingan pribadi seseorang atau orang lain, melainkan
soal menjaga keseimbangan berbagai kepentingan diri (intrapersonal) dengan
kepentingan orang lain (interpersonal), dan aspek-aspek lain dalam konteks
tempatnya menjalani hidup dan kehidupan (ekstrapersonal)”. Sedangkan
kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bukan mengolah kebudayaan
yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri.
Identitas dan kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan
hidup masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergeseran nilai-nilai. Kearifan
lokal adalah salah satu sarana dalam mengelolah kebudayaan dan
memepertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik. Kearifan lokal
adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat
local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan

17
Ferrari, M. dan Weststrate, N.M. (eds.) (2013) The Scientific Study of Personal Wisdom :From
Contemplative Traditions to Neuroscience. Dordrecht: Springer, h. 8.
setempat local genious. Kearifan lokal merupakan sebuah sistem dalam
tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, serta serta lingkungan
yang hidup di tengah-tengah masyarakat lokal, ciri yang melekat dalam
kearifan tradisional adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat
diterima oleh komunitasnya.18
2. Sejarah Terjadi Kirab Nganten Mubengi Gapura
Hasil wawancara dengan pak Afroh selaku Juru Kunci Masjid wali At-Taqwa
berdasarkan cerita turun temurun bahwa Sultan hadirin yang menikahi putri
sunan kudus, kemudian di perintahkan untuk ikut membantu menyebarkan
Islam di kudus bagian selatan. Ketika itu beliau memilih desa loram sebagai
tempat dakwah, karena tempatnya yang strategis dan mudah di jangkau oleh
transportasi, dan loram sudah ada sebelum kota kudus itu terbentuk. Kemudian
Sultan Hadirin memberi surat kepada kiai Telingsing untuk berkerja sama
dalam berdakwah dan mebangun sebuah pemerintahan, karena masyarakat nya
masih beragama Hindhu, jadi Sultan Hadirin dalam menyebarkan agama Islam
menggunakan cara akulturasi budaya yang mana dapat diterima oleh
masyarakat dengan tanpa paksaan, yaitu diawali dengan membangun sebuah
bangunan, dianggap sebagai tempat beribadah bagi orang Hindhu yaitu
“gapura” yang berasal dari kata “pure” yang di alihkan menjadi “gapura”
campuran dari bahasa arab dan jawa.“Ghofuro” dari bahasa arab yang artinya
ampunan / tempat untuk bertobat / ngapuro (dalam bahasa jawanya). Hal ini
dimanfaatkan sehingga belakang gapura dibangun tempat lagi yaitu masjid.
Bertujuan orang yang datang disuruh untuk masuk kebangunan yang belakang
(masjid) dan disanalah di masukkan ajaran ajaran Islam, sehingga orang-orang
bisa beralih kepercayaan (masuk islam)dengan ramah, dan tanpa dipaksa.
Kemudian dakwah dilanjutkan dengan memperkenalkan apa saja yang ada
dalam Islam seperti hari hari Islam dan bulan-bulan Islam.19Dan pada bulan
yang dianggap sakral untuk melaksanakan akad nikah bagi orang islam yaitu
seperti bulan Dzulhijjah banyak masayarakat yang menikah pada bulan itu.
18
Husni Thamrin, Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan (The Local Wisdom InEvirontmental
Sustainable), Kutubkhanah, Vol. 16 N0. 1 Januari-Juni 2013, h 46.
19
Afroh Aminuddin, 2019. (Juru Kunci Masjid Walil/ Masjid At-Taqwa), Interview Jumat 01
November, pukul 13.25 WIB.
Namun pada waktu itu, ketika yang akad nikah itu banyak dan beliau (Sultan
hadirin) hanya sendiri belumpunya pengganti (wakil),dan beliau terkendala
bayak sekali seperti waktu, tenaga, tempat dan lain sebagainya, dan mereka
(yang menikah) ingin di datangi beliau satu persatu, maka beliau mengambil
kebijakan bahwa “saya hanya berada di masjid, dengan berpesan anak cucu
loram tidak usah minta di datangi satu persatu cukup akad nikahnya di dalam
masjid, andai kata tidak di masjid, (bisa saja di rumah, di KUA), dan selesai
akad nikah di minta supaya berjalan memutari gapura, dan nanti saya akan di
dalam masjid untuk melihat kamu semua dan mendoakan kamu semua di
dalam masjid”, maka lahirlah satu tradisi budaya masyarakat loram kalau
sudah selesai akad nikah dilanjutkan dengan ngubengi/ memutari gapura maka
tradisi itu wajib hukumnya bagi masyarakat loram (wajib secara tradisi/ adat
tidak secara syari).
Tradisi manten mubeng selalu divisualisasikan ketika ada wisatawan yang
datang berkunjung kesana. Visualisasi tersebut terkadang diperankan oleh
model dan terkadang memang benar-benar manten asli (pengantin asli) yang
ternyata lebih menarik dan lebih meriah. Beliau juga menjelaskan bahwa
Sultan Hadirin menggunakan tradisi manten mubeng ini sebagai metode
dakwah guna mengantisipasi menurunnya jumlah masyarakat yang masuk
Islam. Metode ini merupakan metode akulturasi budaya yang memasukkan
unsur-unsur keIslaman di dalam upacara manten mubeng tersebut. Sepasang
manten (pengantin) dalam tradisi tersebut harus mubeng (mengelilingi) sebuah
gapura yang bentuknya mirip tempat ibadah orang Hindu (sebuah pura), yang
terletak di depan masjid. Dengan demikian, masyarakat yang ada di
lingkungan tersebut dan masih beragama Hindu harus memasuki wilayah
masjid jika ingin melihat upacara tersebut. Pada saat itulah, mereka juga bisa
mendengarkan ceramah keIslaman yang mampu membawa mereka masuk ke
dalam agama Islam Bapak Afroh selaku Juru Kunci, menceritakan bahwa
penyebaran agama Islam di Kudus diawali oleh Sultan Hadirin yang
merupakan suami dari Ratu Kalinyamatan. Di Desa Loram ada beberapa
tradisi budaya leluhur yaitu shodaqoh Sego Kepel, Manten Mubeng, dan
Ampyang Maulid.20
C. Perspektif Masyarakat atau Mitologi
1. Masyarakat Melakukan Tradisi Kirab Nganten.
Budaya kirab nganten telah melekat di hati masyarakat secara turun
temurun sejak Islam masuk di desa Loram Kulon sampai sekarang,
sehingga setiap warga desa Loram baik yang berdomisili di tempat
maupun yang sudah berada di daerah lain ketika menjadi pengantin
mereka melakukan ritual mubeng gapura masjid Wali Loram dengan
diiringi kerabat dan keluarga dengan tujuan untuk memperoleh berkah.
Selain itu, hal ini menjadi pertanda bahwa pengantin tersebut sudah resmi
menjadi sepasang suami istri yang resmi dan sah. Cara menarik orang-
orang Hindu itu yaitu dengan metode dakwah Islam melalui budaya
Manten Mubeng. Ketika ada upacara pernikahan dilaksanakan di Masjid
Wali Loram maka dibacakan do`a untuk memperoleh berkah, selanjutnya
diumumkan melalui kirab mubeng (keliling) gapura agar masyarakat
mengetahui bahwa mereka sudah resmi dan sah sebagai suami istri. Ini
merupakan akulturasi dari agama Hindu ke Islam. Zaman dahulu belum
adanya Kantor Urusan Agama, maka orang menikah di masjid. Saat ada
pernikahan, ijab qobul dilakukan di masjid, setelah selesai Sultan Hadirin
menyuruh mengelilingi gapura dengan tujuan:
Dapat menyaksikan masyarakat yang melihat di dalam masjid, karena yng
mengelilingi adalah yang sudah menikah, Mendapat do`a dari masyarakat
yang ada di dalam masjid. Cara mengelilinginya:
a. Memasukkan kas perawatan masjid, ini sebagai pertanda bahwa
pasangan ini diajarkan untuk bershodaqoh.
b. Saling berjabat tangan mengitari gapura, agar dapat dilihat bahwa
sudah resmi menikah dan sah. Arah mengelilinginya dari mulai gapura
utara berjalan ke selatan nanti di depan gapura berhenti sejenak ke
barat dengan membaca do`a dan diberikan pesan: Niat ibadah akan

20
Afroh Aminuddin, 2019. (Juru Kunci Masjid Walil/ Masjid At-Taqwa), Interview Jumat 01
November, pukul 13.25 WIB
menjadi sakinah, mawaddah, warrohmah, cepat mendapat momongan,
menjadi ahli masjid.
c. Mengisi buku tamu, hal ini untuk pendataan masjid agar tradisi ini
tetap lestari.21
Dalam perspektif masyarakat Loram menurut observasi yang peneliti
lakukan bahwa warga Loram memang melakukan tradisi mubengi Gapura
untuk menjalankan tradisi yang sudah berjalan sejak nenek moyang
mereka, dalam hal ini Musrifah pernah melaksanakan Mubengi Gapura
meskipun Musrifah adalah orang Demak namun Musrifah mengikuti
suaminya yang mana suaminya adalah warga Loram sendiri. 22Hal ini juga
terjadi pada pedagang asongan setiap sore yang berada di depan Masjid
penjual asongan itu menuturkan bahwa dia bukan asli orang Loram namun
penjual asongan tersebut mempercayai tradisi mubengi gapura karna
menurutnya dengan adanya tradisi atau kearifan seperti Ampyang maulud
itu membawa rizqi baginya karena kearifan lokal yang ada di Masjid
Loram juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.23
2. Kirab Nganten dianggap Mitologi.
Mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu
bentukan dari masyarakat yang berorientasi dari masa lalu atau dari
bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama
identik dengan sejarah / historis, bentukan masyarakat pada masa nya. Di
sisi lain mitos (Roland Barthes) diartikan sebagai tuturan mitologis bukan
saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan yang dapat berbentuk tulisan,
fotografi, film, laporan ilmiah, olahraga, pertunjukan, iklan, lukisan, pada
dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi dan
mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara
langsung, misal untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan
diperlukan interpertasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan
mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat diterima oleh akal.

21
Muhammad Mahshun, Solidaritas Sosial Masyarakat Dalam Tradisi Pernikahan Mubeng Gapura
Desa Loram Kulon Kabupaten Kudus, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2016. h 51.
22
Musrifah, 2019. (Warga Sekitar Loram Kulon), Interview 13 November pukul 15.45 WIB.
23
Pedagang Asongan, 2019. (Warga Sekitar Loram Kulon), Interview 13 November pukul 16.16 WIB.
Manusia dalam masyarakat dan lingkungan sebagai pendukung mitos
berada dalam lingkup sosial budaya. Mereka senantiasa berusaha untuk
memahami diri dan kedudukan nya dalam alam semesta, sebelum mereka
menentukan sikap dan tindakan untuk mengembangkan kehidupannya
dalam suatu masyarakat. Dengan seluruh kemampuan akalnya, manusia
berusaha memahami setiap gejala yang tampak maupun yang tidak
tampak. Dampaknya setiap masyarakat berusaha mengembangkan cara-
cara yang bersifat komunikatif untuk menjelaskan berbagai perasaan yang
mempunyai arti bagi kehidupannya.24 Dalam hal ini, di Desa Loram yang
mempunyai kearifan lokal Kirab Nganten yang dianggap sebagai tradisi
turun temurun yang diawali dengan kebijakan Sultan Hadirin serta
mendapatkan berkah darinya dianjurkan untuk melakukan tradisi mubengi
gapura masjid. Hal ini ternyata tidak semua masyarakat percaya akan
tradisi tersebut menurut hasil wawancara dengan pak Afroh bahwa ada
salah satu warga yang menjadi pengantin tidak melaksanakan dan
cenderung menyepelekan teradisi mubengi gapura dan akhirnya mempelai
wanita yang tidak mau diajak kirab jatuh sakit, keseleo. Kemudian di bawa
kemedis, dan hasil dari medis mengatakan tidak ada yang terluka/sakit
pada bagian kaki padahal pengantin wanita tersebut merasa sakit. Dan
akhirnya dibawalah pengantin tersebut ke kiai setempat untuk di mintai
saran dan setelah berbincang bincang akhirnya ketemu permasalahannya
yaitu pengantin tersebut tidak melakukan kirab ngnten, dan setelah
melakukan kirab nganten kakinya kian hari kian membaik dan sembuh.
Hal ini juga dikatakan Imam Masjid Bapak…. yang tidak melakukan
Tradisi kirab nganten itu biasanya orang Muhammadiyyah mereka
menganggap bahwa melakukan ngubengi gapura itu menjadi syirik.25
Namun dalam kenyataannya bahwa tradisi Kirab nganten itu dilaksanakan
untuk mengingatkan manusia bahwa Masjid yang berada dibelakng itu
adalah sebuah akulturasi budaya bertujuan supaya mengingat pada ibadah.
Orang yang cakap secara Kultural memerlukan pengetahuan atau

24
Sri Iswidayati, Fungsi Mitos Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pendukungnya, Jurnal
Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VIII, No. 2, Mei-Agustus 2007, h, 181.
25
Knowledge mengenai budaya dan mengenai prinsip-prinsip dasar
mengenai interaksi-interaksi silang budaya. Ini berarti mengetahui apa itu
budaya, bagaimana budaya itu berbeda, dan bagaimana budaya itu
mempengaruhi perilaku. Orang yang cakap secara kulturalperlu
mempraktikkan keberhati-hatian atau mindfulne, kemampuan untuk
memerhatikan secara reflektif dan kreatif isyarat-isyarat dalam
menghadapi situasi silang budaya dan kepada pengetahuan dan perasaan-
perasaan sendiri. Berdasarkan pengetahuan dan keberhati-hatian, orang
yang cerdas secara kultural mengembangkan kecakapan atau skills silang
budaya dan menjadi kompeten pada semua situasi. Kecakapan ini meliputi
memilih perilaku yang tepat dari daftar mengenai kumpulan yang terbaik
dari perilaku yang korek bagi situasi antar budaya yang berbeda.26

26
Muhammad Budyatna, Komunikasi Bisnis Silang Budaya. Edisi 1, Jakarta: Kencana, 2012. h, 54.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Jadi kesimpulan yang peneliti lakukan adalah di Desa Loram banyak
ditemukan tradisi-tradisi khususya adalah tradisi nganten mubengi gapura masjid.
Yang mana melalui tradisi-tradisi unik tersebut akhirnya Desa Loram Kulon
mengalami pengembangan fokus ke desa wisata dengan bantuan dan arahan dari
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus.
Adapun tradisi nganten mubengi gapura telah melekat di hati masyarakat
secara turun temurun sejak Islam masuk di desa Loram Kulon sampai sekarang,
sehingga setiap warga desa Loram baik yang berdomisili di tempat maupun yang
sudah berada di daerah lain ketika menjadi pengantin mereka melakukan ritual
mubeng gapura masjid Wali Loram dengan diiringi kerabat dan keluarga dengan
tujuan untuk memperoleh berkah.
Hal ini ternyata tidak semua masyarakat percaya akan tradisi tersebut salah
satu warga yang menjadi pengantin tidak melaksanakan dan cenderung menyepelekan
teradisi mubengi gapura dan akhirnya mempelai wanita yang tidak mau diajak kirab
jatuh sakit, keseleo. Dewasa ini perlu adanya Orang yang cakap secara Kultural
memerlukan pengetahuan atau Knowledge mengenai budaya dan mengenai prinsip-
prinsip dasar mengenai interaksi-interaksi silang budaya. Ini berarti mengetahui apa
itu budaya, bagaimana budaya itu berbeda, dan bagaimana budaya itu mempengaruhi
perilaku. Sehingga di Desa Loram tradisi mubengi nganten sudah dianggap kewajiban
bagi warga Loram karena tradisi tersebut adalah pesan dari Sultan Hadirin yang mana
Sultan Hadirin berpesan kepada anak cucunya agar melakukan pernikahan di Masjid
Wali supaya mendapatkan berkahnya Sultan Hadirin.

B. Saran
Indonesia kaya akan budaya yang mana budaya merupakan identitas yang
dimiliki bangsa Indonesia. Sehingga sebagai makhluk yang berbudaya kita harus
menghormati, cerdas dan cakap secara kultural. Ini berrati mengetahui apa itu budaya,
bagaimana budaya itu berbeda karena diperlukan adanya interaksi-interaksi silang
budaya sehingga dapat mempengaruhi perilaku.
DAFTAR PUSTAKA

Afroh Aminuddin, 2019. (Juru Kunci Masjid Walil/ Masjid At-Taqwa), Interview Jumat 01
November, pukul 13.25 WIB.
Budyatna, Muhammad. Komunikasi Bisnis Silang Budaya. Edisi 1, Jakarta: Kencana, 2012.
Ferrari, M. dan Weststrate, N.M. (eds.) (2013) The Scientific Study of Personal Wisdom:
From Contemplative Traditions to Neuroscience. Dordrecht: Springer.
Hauken, Adolf. Ensiklopedi Gereja Jilid VI. (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005).
Iswidayati, Sri. Fungsi Mitos Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Pendukungnya,
Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VIII, No. 2, Mei-Agustus 2007.
Mahshun, Muhammad. Solidaritas Sosial Masyarakat Dalam Tradisi Pernikahan Mubeng
Gapura Desa Loram Kulon Kabupaten Kudus. Skripsi UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta: 2016.
Murtiadji, Sri Supadmi. Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta. (Yogyakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993).
Musrifah, 2019. (Warga Sekitar Loram Kulon), Interview 13 November pukul 15.45 WIB.
Pedagang Asongan, 2019. (Warga Sekitar Loram Kulon), Interview 13 November pukul
16.16 WIB.
Poerwanto, Hari.Kebudayaan Dan Lingkungan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000).
RPJMDesa, (Rencana Pembangunan Jangka 6 Tahun). Loram Kulon Tahun 2016-2022.
Ruslan, Rosady.Metodologi Penelitian Public Relation dan Komunikas.(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.(Bandung:
Alfabeta, 2014).
Syafi’I, Muhammad, 2019. (Kepala Desa Loram Kulon). Interview pada 05 November pukul
10.32 WIB.
Thamrin,Husni. Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan (The Local Wisdom In
Evirontmental Sustainable). Kutubkhanah, Vol. 16 N0. 1 Januari-Juni 2013.
Tualaka.Undang-Undang Perkawinan. (Yogyakarta: New MerahPutih, 2009).
Kartono, Kartini.Psikologi Wanita 1. (Bandung: Mandar Maju, 2006).
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai