Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

EVOLUSI KULTURAL MANUSIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Geografi Budaya


di Universitas Negeri Yogyakarta

Dosen Pengampu :

Drs. Nurhadi, M.Si

Penulis

Disusun oleh :

Aisyah Nurul Lathifah 15405241014


Hadana Ulufanuri 15405241021
Eva Susilo Wati 15405241028
Muhammad Luthfiansyah 15405244019

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017

4
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan judul
Evolusi Kulturall Manusia dengan baik.
Untuk menyelesaikan makalah ini penulis mendapatkan bantuan dan
kerjasama dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih kepada :
1. Bapak Drs. Nurhadi, M.Si selaku dosen pengampu.
2. Teman-teman Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Yogyakarta yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
dan kelemahan baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh sebab itu penulis berharap
kepada berbagai pihak untuk memberikan saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat,
khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Terimakasih.
Yogyakarta, 22 Maret 2017

Penulis

DAFTAR ISI

5
HALAMAN COVER........................................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Evolusi Kultural Manusia......................................................................
B. Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Pra Sejarah Indonesia.............................
C. Nilai-Nilai Peninggalan Budaya Masa Pra Sejarah di Indonesia............................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................................
B. Saran.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

6
A. Latar Belakang
Kata budaya berasal dari Bahasa Sansekerta budhayah, yaitu bentuk
jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Kata
kebudayaan dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah culture dan
dalam Bahasa Belanda disebut cultuur. Kedua bahasa ini berasal dari Bahasa
Latin colere berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
mengembangkan tanah(bertani). Dengan demikian cultuur berarti sebagai
segala hal daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai
semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat.
Kebudayaan manusia muncul dan berkembang bersamaan dengan
mulainya beberapa populasi hominida purba membuat peralatan dari batu
untuk keperluan membunuh binatang guna mengambil dagingnya.
Evolusi Kultural Manusia menunjukkan suatu perkembangan
kebudayaan dan masyarakat dari tingkat yang sederhana menuju tingkat yang
kompleks dan tingkat-tingkat yang tetap ini dilalui atau seharusnya dilalui
oleh semua kebudayaan di dunia seperti dalam evolusi biologi di mana
makhluk yang bisa bertahan hidup adalah makhluk yang paling cocok dengan
lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup serta
hukum yang dapat bertahan dalam masyarakat adalah hukum yang
melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan
kebutuhan kebutuhan warga masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam tentang pengertian
evolusi kultural manusia, perkembangan kebudayaan masyarakat pra sejarah
Indonesia, serta nilai-nilai peninggalan budaya masa pra sejarah, maka
penulis membuat sebuah makalah dengan judul Evolusi Kultural Manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud evolusi kultural umat manusia ?

7
2. Bagaimana perkembangan kebudayaan masyarakat prasejarah di
Indonesia ?
3. Bagaimana nilai-nilai peninggalan budaya masa pra sejarah Indonesia ?

C. Tujuan
1. Mengetahui maksud atau pengertian dari evolusi kultural manusia.
2. Mengetahui perkembangan kebudayaan masyarakat prasejarah Indonesia.
3. Mengetahui nilai-nilai peninggalan budaya masa pra sejarah.

8
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Evolusi Kultural Manusia


Konsep ”evolusi” mengacu pada sebuah transformasi yang berlangsung
secara bertahap. Walaupun istilah tersebut merupakan istilah umum yang
dapat dipakai dalam berbagai bidang studi (McHenry, 2000: 453 dalam
Anonim). Dalam pandangan para antropolog istilah ”evolusi” yang
merupakan gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu
bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang
tak pernah putus, pada umumnya diterima sebagai awal landasan berpikir
mereka. Konsep ”evolusi” yang sering digandengkan dengan pengertian
‘perubahan secara perlahanlahan tapi pasti’, memang diawali dengan karya
Charles Darwin dalam bukunya yag terkenal Origin of Species. (1859).
Sebenarnya gagasan ini kasar yang menyatakan bahwa bentukbentuk
kehidupan berkembang dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya diperkirakan
sudah sejak zaman Yunani kuno, dan sejumlah pemikir sejak masa itu telah
membuat postulat yang serupa atau mendekati pengertian asal-usul kehidupan
yang evolusioner. Banyak pelopor sebelum Darwin, termasuk kakeknya
sendiri, yang mengakui adanya keragaman dan diversitas kehidupan dengan
mengajukan hipotesis tentang modifikasi evolusioner. Gagasan tentang
evolusi melalui seleksi alam ini merupakan gagasan utamanya Darwin dalam
bukunya tersebut. Darwin dianggap telah mencapai pemahaman yang koheren
⎯ meski tidak lengkap karena ia tidak tahu tentang proses hereditas atau
pewarisan karakter yang kemudian ditemukan Gregor Mendel (Dobzhansky,
1962; Huxley, 1942) ⎯ pengaruhnya begitu luas, bukan hanya bidang biologi
saja, tetapi melebar ke bidang-bidang sosial budaya. Oleh karena itu
terminologi ‘evolusi’ tidak berhenti dalam bidang biologi, tetapi merambah
ke bidang lain, sehingga dikenal istilah-istilah dan teori-teori; Evolusi
Keluarga, Evolusi Agama, Evolusi Sosial Budaya. Untuk nama yang terakhir
ini sering overlap dengan Darwinisme Sosial di mana Herbert Spencer
merupakan sumber pertama yang memunculkan jargon the survival of the

9
fittest (daya tahan dari jenis atau individu yang memiliki ciri-ciri paling cocok
dengan lingkungannya), sebagaimana tertuang dalam karyanya Principles of
Sociology (1896).
Evolusi manusia adalah tema sentral yang menyatukan antropologi, dan
mereka mencoba memakai pendekatan ‘empat bidang’ (antropologi budaya,
antropologi fisik, arkeologi, dan linguistik) yang saling dihubungkan. Namun
jika menggunakan pendekatan 4 budang tersebut Arkeologi makin jauh dari
teori kebudayaan dan sosial, pengaruh-pengaruh sosio-biologi mendorong
sejumlah antropologi fisik untuk mengangkat kembali aneka penjelasan
biologis mengenai perilaku budaya. Akan tetapi secara umum antropologi
kebudayaan di Amerika Utara dan antropologi sosial serta etnologi di Eropa,
bisa dipandang sebagai bagian terpisah dari disiplin-disiplin antropologi
lainnya. Antropologi kebudayaan lebih dipengaruhi oleh perkembangan studi-
studi bahasa daripada biologi, dan antropologi sosial lebih dipengaruhi oleh
teori sosial dan historiografi (Kuper, 2000: 30 dalam Anonim).
1. Kultural atau kebudayaan
Istilah ”culture” (kebudayaan) berasal dari Bahasa Latin yakni
”cultura” dari kata dasar ”colere” yang berarti ”berkembang tumbuh”.
Namun secara umum pengertian ”kebudayaan” mengacu kepada
kumpulan pengetahuan yang secara sosial yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian
”kebudayaan” sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-bagian
tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian
(D’Andrade, 2000: 1999). Tentu saja definisi di atas hanya sedikit
memuaskan bagi para antropolog, sebab begitu beragamnya definisi
kebudayaan sempat mencemaskan makin dalamnya perpecahan dan
menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin ilmu (Saifuddin, 2005:
83). Sebagai contoh Kroeber dan Kluckhohn dalam Culture: A Critical
Review of Concepts and Definitions (1952) bahwa ternyata pada tahun
itu ada 160 definisi kebudayaan. Hal itu pula yang dirasakan antropolog
Roger M. Kessing dalam Cultural Anthropology: A Contemporary
Perspective. mengamati bahwa ”tantangan bagi antropolog dalam tahun-

10
tahun terakhir adalah dipersempitnya ”kebudayaan” sehingga konsep ini
mencakup lebih sedikit tetapi menggambarkan lebih banyak” (1984: 73).
Selanjutnya Keesing mengidentifikasi empat pendekatan terakhir
terhadap masalah kebudayaan. Pendekatan pertama, yang memandang
kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi
primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan
sosialnya. Pendekatan ini dikaitkan dengan ekologi budaya dan
materialisme kebudayaan, serta bisa ditemukan dalam kajian atropolog
Julian Steward (1955), Leslie White (1949; 1959), dan Marvin Harris
(1968; 1979). Pendekatan kedua, yang memandang bahwa kebudayaan
sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam
berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga
kekebudayaannya. Pendekatan tersebut memiliki banyak nama dan
diasosiasikan dengan; etnosains, antropologi kognitif, atau etnografi
baru. Para tokoh kelompok ini adalah Harold Conklin (1955), Ward
Goodenough (1956; 1964), dan Charles O.Frake (1964, 1963; 1969).
Pendekatan ketiga, yang memandang kebudayaan sebagai sistem struktur
dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan
struktur pemikiran manusia. Tokoh-tokoh antropolognya adalah
kelompok strukturalisme yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss
(1963; 1969). Sedangkan pendekatan keempat, adalah yang memandang
kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri atas simbol-simbol dan
makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, dan
bersifat publik. Pendekatan tersebut tokoh antropolognya adalah Cifford
Geertz (1973; 1983) dan David Schneider (1968).
2. Evolusi kebudayaan menurut Lewis H. Morgan (1818-1881)
Lewis H. Morgan adalah seorang perintis antropolog Amerika
terdahulu di mana sebagai karir awalnya adalah seorang ahli hukum yang
banyak melakukan penelitian atas suku Indian di hulu Sungai St.
Lawrence dekat kota New York. Karya terpentingnya berjudul Ancient
Society (1987) yang memuat delapan tahapan tentang evolusi

11
kebudayaan secara universal. Adapun dari delapan tahapan tersebut
adalah :
a. Zaman Liar Tua; merupakan zaman sejak adanya manusia sampai
menemukan api, kemudian manusia menemukan kepandaian
meramu, mencari akar-akar tumbuhtumbuhan liar.
b. Zaman Liar Madya; merupakan zaman di mana manusia menemukan
senjata busur-panah; pada zaman ini pula manusia mulai mengubah
mata pencahariannya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-
sungai sebagai pemburu.
c. Zaman Liar Muda; pada zaman ini manusia dari persenjataan busur-
panah sampai mendapatkan barang-barang tembikar, namun masih
berburu kehidupannya.
d. Zaman Barbar Tua; pada zaman ini sejak pandai membuat tembikar
sampai mulai beternak maupun bercocok tanam.
e. Zaman Barbar Madya; yaitu zaman sejak manusia beternak dan
bercocok tanam sampai kepandaian membuat benda-benda/alat-alat
dari logam.
f. Zaman barbar Muda; yaitu zaman sejak manusia memiliki
kepandaian membuat alat-alat dari logam sampai mengenal tulisan.
g. Zaman Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik
zaman batu dan logam.
h. Zaman Peradaban masa kini; sejak zaman peradaban tua/klasik
sampai sekarang....................................................................................

B. Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Pra Sejarah Indonesia


1. Kebudayaan Zaman Batu
Zaman batu berdasarkan hasil temuan alat – alatnya dan dari cara
pengerjaannya, maka zaman batu tersebut terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Zaman Palaeolithikum (Batu Tua)
Sudrajad (2012) menyatakan bahwa zaman palaeolithikum atau zaman
batu tua merupakan zaman dimana peralatan manusia prasejarah dibuat
dari batu yang cara pengerjaannya masih sangat kasar. Zaman ini

12
berlangsung pada zaman pleistosen yang berlangsung kira-kira 600.000
tahun lamanya.
Pada saat itu manusia praaksara kehidupannya masih sangat
sederhana. Mereka hidup berkelompok dengan anggota kelompok
sebanyak 10-15 orang. Mereka sudah mengenal api, meskipun baru
dimanfaatkan sebagai senjata untuk menghadapi makhluk hidup lain, atau
untuk menakuti binatang buruan.
Zaman palaeolithikum (batu tua) disebut demikian sebab alat-alat batu
buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis.
Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa
berburu dan meramu makanan tingkat sederhana.
Yusliani dan Mansyur (2015) menyatakan bahwa hasil kebudayaan
Palaeolithikum banyak ditemukan di daerah Pacitan (Jawa Timur) dan
Ngandong (Jawa Timur). Untuk itu para Arkeolog sepakat untuk
membedakan temuan benda-benda pra-sejarah di kedua tempat tersebut
yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

Gambar 1. Alat Pacitan Dari Berbagai Sisi

Gambar tersebut merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang


ditemukan pertama kali oleh Von Koenigswald tahun 1935 di Pacitan dan
diberi nama dengan kapak genggam, karena alat tersebut serupa dengan
kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara
menggenggam.
Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau
dalam ilmu pra-sejarah disebut dengan chopper artinya alat penetak.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu
sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai
tempat menggenggam. Pada awal penemuannya semua kapak genggam

13
ditemukan di permukaan bumi, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti
berasal dari lapisan mana.
Berdasarkan penelitian yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun
1990, dan diperkuat dengan adanya penemuan terbaru tahun 2000 melalui
hasil ekskavasi yang dilakukan oleh tim peneliti Indonesia-Perancis
diwilayah Pegunungan Seribu/ Sewu maka dapat dipastikan bahwa kapak
gengga atau chopper dipergunakan manusia jenis Homo erectus.
Daerah penemuan kapak perimbas/kapak genggam selain di Punung
(Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain yaitu seperti
Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan
Kalianda (Sumatera), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi),
Sembiran dan Terunyan (Bali).

b. Kebudayaan Mesolithikum
Zaman mesolithikum atau zaman batu tengah merupakan zaman
peralihan dari zaman palaeolithikum menuju ke zaman neolithikum.
Pada zaman ini kehidupan manusia praaksara belum banyak
mengalami perubahan. Alat-alat yang dihasilkan masih terlihat kasar
meskipun telah ada upaya untuk memperhalus dan mengasahnya
agar kelihatan lebih indah. Dari berbagai alat yang ditemukan, dapat
dianalisis bahwa kebudayaan zaman mesolithikum dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu: pebble culture, bone culture dan flake culture
(Sudrajad, 2012).
Pebble culture terutama ditemukan dari suatu corak peninggalan
istimewa yaitu kjokkenmoddinger. Kjokkenmoddinger adalah istilah
yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan
modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya
adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah
timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai
ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera
yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan
tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman
ini sudah menetap (Callenfels dalam Yusliani dkk, 2015).

14
Lingkungan ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera
antara Langsa (Aceh) dan Medan. Di dua tempat tersebut
kemungkinan telah ada komunitas manusia praaksara yang tinggal di
dalam rumah-rumah bertonggak. Mereka hidup dari siput dan kerang
yang dipatahkan ujungnya kemudian dihisap isinya dari bagian
kepalanya. Kulit siput dan kerang tersebut kemudian dibuang
sehingga menimbulkan bukit kerang. Di dalam bukit kerang tersebut
ditemukan pebble atau sejenis kapak genggam khas Sumatera.
Gambar 1 Pebble/ Kapak Sumatera

Bentuk pebble seperti gambar dapat dikatakan sudah agak


sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak
tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble
yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis
kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut
dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara
penggunaannya dengan menggenggam (Suhartono, Didik: 2000).
Lingkungan kedua dari kebudayaan zaman mesolithikum adalah
Abris Sous Roche yaitu gua yang dipakai sebagai tempat tinggal.
Gua ini sebenarnya hanyalah sebuah ceruk di dalam batu karang
yang cukup untuk memberikan perlindungan dari panas dan hujan.
Di dasar gua tersebut ditemukan banyak peninggalan terutama yang
terbanyak dari zaman mesolithikum (Soekmono, 1973: 41). Alat-alat
yang ditemukan antara lain: mata panah, flake, batu penggilingan,
dan lain – lain (Anwasari: 1995).
Pada masa ini manusia mulai hidup menetap dengan membuat
rumah panggung di tepi pantai atau tinggal di dalam gua dan ceruk-

15
ceruk batu padas. Manusia prasejarah juga mulai bercocok tanam
dan telah terlihat mulai mengatur masyarakatnya. Mereka melakukan
pembagian pekerjaan dimana kaum laki-laki berburu, sedangkan
kaum wanita mengurusi anak dan membuat kerajinan berupa
anyaman dan keranjang (Sudrajad: 2012).
Manusia praaksara juga mulai mengenal kesenian. Di dalam
sebuah gua di Maros (Sulawesi Selatan) ditemukan tapak tangan
berwarna merah dan gambar babi hutan yang oleh para ahli diyakini
sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat prasejarah. Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan mesolithikum dapat
dikategorikan dalam dua unit budaya yaitu kebudayaan
kjokkenmoddinger dan abris sous roche (Yusliani dan Mansyur:
2015).
c. Kebudayaan Neolithikum
Sudrajad (2012) menyatakan bahwa zaman neolithikum atau
zaman batu muda merupakan revolusi dalam kehidupan manusia
praaksara. Hal ini terkait dengan pemikiran mereka untuk tidak
menggantungkan diri dengan alam dan mulai berusaha untuk
menghasilkan makanan sendiri (food producing) dengan cara
bercocok tanam. Di samping bercocok tanam manusia praaksara juga
mulai beternak sapi dan kuda yang diambil dagingnya untuk
dikonsumsi.
Manusia praaksara juga telah hidup dengan menetap (sedenter).
Mereka membangun rumah-rumah dalam kelompok-kelompok yang
mendiami suatu wilayah tertentu. Peralatan yang digunakan juga
telah diasah dengan halus sehingga kelihatannya lebih indah.
Kebudayaan mereka juga telah mengalami kemajuan yang
ditunjukkan dengan kemampuan mereka menghasilkan gerabah dan
tenunan. Pola hidup menetap yang mereka jalani menghasilkan
kebudayaan yang lebih maju, karena mereka mempunyai waktu
luang untuk memikirkan kehidupannya.

16
2. Kebudayaan Zaman Logam
Dengan berkembangnya tingkat berpikir manusia, maka manusia
tidak hanya menggunakan bahan – bahan dari batu untuk membuat alat –
alat kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari logam yaitu
perunggu dan besi untuk membuat alat – alat yang diperlukan. Dengan
adanya migrasi bangsa Deutro Melayu atau Melayu muda ke Indonesia
mengenal logam perunggu dan besi secara bersamaan, maka kebudayaan
logam yang dikenal di Indonesia. Dongson, nama kota kuno di Tonkin
yang menjadi pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Karena itu
kebudayaan perunggu di Indonesia disebut dengan kebudayaan Dongson
(Nurhadi dan Sudarsono, 2017).
3. Kebudayaan Megalithikum
Sudrajad (2012) menyatakan bahwa zaman megalithikum atau
zaman batu besar adalah suatu kebudayaan yang berkaitan dengan
kehidupan religius manusia praaksara. Zaman megalithikum sejalan
dengan zaman neolithikum karenanya lebih tepat bila disebut dengan
kebudayaan megalithikum. Zaman megalithikum terbagi dalam dua fase
pencapaian. Fase pertama terkait dengan alat-alat upacara, sedangkan
fase kedua terkait dengan upacara penguburan. Kebudayaan
megalithikum menghasilkan alat-alat antara lain:
a. Menhir yaitu tugu batu yang dibuat dengan tujuan untuk
menghormati roh nenek moyang.

17
b. Dolmen yaitu meja batu dimana kakinya berupa tugu batu (menhir).
Biasanya meja batu ini digunakan untuk meletakkan sesaji. Kadang-
kadang dibawah dolmen adalah sebuah kuburan, sehingga orang
sering menganggapnya sebagai peti kubur.

c. Kubur batu yaitu bangunan yang disusun dari lempengan batu besar
yang membentuk kotak persegi panjang dan berfungsi sebagai peti
jenazah.

d. Sarkofagus yaitu batu besar yang dibuat menyerupai mangkuk atau


bulat dua tangkup yang berbentuk seperti peti jenazah. Sarkofagus
sering disimpan diatas tanah olehkarena itu sarkofagus seringkali
diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat
berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa
makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan
di ruang bawah tanah. Banyak ditemukan di Bali.

18
e. Waruga adalah peti kubur yang berbentuk kubus atau bulat. Waruga
adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari
batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga
seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang
bagian tengahnya ada ruang.

f. Punden berundak yaitu sebuah bangunan yang digunakan untuk


sesaji yang merupakan bentuk dasar dari bangunan candi. Punden
berundak bukan merupakan “bangunan” tetapi merupakan
pengubahan bentang – lahan atau undak – undakan yang memotong
lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan utamanya tanah bahan
pembantunya batu; menghadap ke anak tangga tegak, lorong
melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak.

19
C. Nilai-Nilai Peninggalan Budaya Masa Pra Sejarah di Indonesia
Nurhadi dan Sudarsono (2017) menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu
yang dipandang baik, benar atau berharga bagi seseorang. Setiap masyarakat
atau setiap budaya memiliki nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Bahkan
budaya dan masyarakat itu merupakan nilai yang tak terhingga bagi orang
yang memilikinya. Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan, motivasi
dalam segala perbuatan karena nilai itu mengandung kekuatan yang
mendorong manusia meyakini untuk berbuat dan bertindak.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai penggalan budaya adalah
penggalan budaya yang diyakini baik, benar dan berguna bagi masyarakat.
Untuk itu bila masyarakat atau bangsa Indonesia masa kini meyakini
kebenaran nilai-nilai peninggalan budaya masa prasejarah, maka akan dapat
menumbuhkan kesadaran untuk ikut berperan serta dalam upaya
pemeliharaan warisan budaya bangsa.
Dari penjelasan di atas, tentu Anda ingin tahu lebih jauh tentang nilai apa
yang dapat diwariskan dari peninggalan budaya masa prasejarah ini. Untuk
itu simaklah uaraian materi tentang nilai-nilai peninggalan budaya masa
prasejarah ini yang terdiri dari:
a. Nilai Religius/Keagamaan
Nilai ini mencerminkan adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang
berkuasa atas mereka, dalam hal ini mereka berusaha membatasi
perilakunya. Dari uraian tersebut, sikap yang perlu diwariskan adalah
sikap penghormatan kepada yang lain, mengatur perilaku agar tidak
semaunya dan penghormatan serta pemujaan sebagai dasar keagamaan.
b. Nilai Gotong Royong
Masyarakat prasejarah hidup secara berkelompok, bekerja untuk
kepentingan kelompok bersama, membangun rumah juga dilakukan
secara bersama-sama. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya bangunan-
bangunan megalith yang dapat dipastikan secara gotong royong/bersama-
sama. Dengan demikian patutlah ditiru bahwa hal-hal yang menyangkut
kepentingan bersama hendaklah dilakukan secara bersama-sama (gotong
royong) dengan prinsip berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

20
c. Nilai musyawarah
Nilai ini sudah dikembangkan oleh masyarakat prasejarah dalam
hidupnya seperti dalam pemilihan pemimpin masyarakat dalam usaha
pertanian dan perburuan. Dari perilaku tersebut menjadi dasar bagi
tumbuh dan berkembangnya asas demokrasi.
d. Nilai Keadilan
Sikap ini sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat prasejarah
sejak masa berburu yaitu adanya pembagian tugas sesuai dengan tenaga
dan kemampuannya sehingga tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan
kaum perempuan. Sikap keadilan ini berkembang pada masa
perundagian, yaitu pembagian tugas berdasarkan keahliannya. Dari nilai
tersebut mencerminkan sikap yang adil karena setiap orang akan
memperoleh hak yang sama/tugas yang sama apabila didukung oleh
kemampuannya.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Evolusi manusia adalah tema sentral yang menyatukan antropologi, dan
mereka mencoba memakai pendekatan ‘empat bidang’ (antropologi budaya,
antropologi fisik, arkeologi, dan linguistik) yang saling dihubungkan.
Kebudayaan material masyarakat pra sejarah di Indonesia antara lain
kebudayaan zaman batu yang terdiri dari zaman palaeolithikum (batu tua),
kebudayaan mesolithikum, kebudayaan neolithikum. Selanjutnya adalah
kebudayaan zaman logam dan kebudayaan megalithikum, dimana kebudayaan
megalithikum menghasilkan menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, dan
punden. Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, benar atau berharga bagi
seseorang. Sedangkan nilai penggalan budaya adalah penggalan budaya yang
diyakini baik, benar dan berguna bagi masyarakat. Nilai-nilai peninggalan
budaya masa prasejarah ini yang terdiri dari: nilai religius/keagamaan, nilai
gotong royong, nilai musyawarah, nilai keadilan.

B. Saran
Dilihat dari perkembangan zaman, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) sudah mengalami kemajuan. Hal tersebut menimbulkan mata
pencaharian penduduk di sektor pertanian (bercocok tanam), berternak
ataupun pengrajin menurun sehingga menghilangkan nilai-nilai kebudayaan
manusia zaman prasejarah. Sebaiknya masyarakat lebih memilah mana yang
harus ditinggalkan sesuai keberlanjutan zaman dan mana yang masih harus
diterapkan dalam masa sekarang khususnya nilai gotong-royong dan nilai
budaya yang terus menurun.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Antropologi. Diakses pada hari Minggu, 19 Maret 2017 di


www.baehaqiarif.files.wordpress.com
Anwarsari. 1995. Sejarah Nasional Indonesia I. Malang: IKIP Malang.
Didik Suhartono. 2000. “Kajian Site Catchment Analysis Pada Penghunian Gua
di Kawasan Tuban”, Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Soekmono. 1978. Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Yayasan Kanisius.
Sudrajad. 2012. Prasejarah Indonesia. Yogyakarta: UNY.
Yusliani dan Mansyur. 2015. Menyusuri Jejak - Jejak Masa Lalu Indonesia.
Banjarmasin: universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

23

Anda mungkin juga menyukai