Didukung oleh :
Misereor
Selarik Catatan Penyunting
Saya menyaksikan bagaimana masyarakat mengelola Perhutanan Sosial dengan menerapkan pengetahuan-
pengetahuan yang mereka bentuk. Baik berdasarkan kearifan lokal yang tumbuh kembang dalam sistem pengetahuan
mereka yang telah ada dari orang-orang tuanya, bertemu-menyatu dengan jenis macam pelatihan maupun ragam
informasi yang didapatkan.
Usaha-usaha Perhutanan Sosial bagi mereka bukan hanya bagaimana mengelola komoditi dan mendapatkan manfaat
ekonomi, tetapi juga menjadi alat produksi pengetahuan dan perubahan sosial. Dari 11 pengalaman para Ecopreneur
Kampung di buku ini, saya mencatat, sedikitnya 3 pengetahuan sekaligus perubahan yang terjadi saat mereka merintis
dan mengelola usaha Perhutanan Sosial.
Pertama, partisipasi kaum perempuan. Kelompok Perhutanan Sosial dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial memberikan
ruang yang luas bagi partisipasi kaum perempuan. Dalam kisah di buku ini, partisipasi bersifat menggerakan dan
membawa perubahan, perempuan bukan sekedar partisipasi pasif. Mereka menjadi tokoh utama, baik sebagai
pemimpin organisasi, juga sebagai inovator usaha Perhutanan Sosial.
iv
Kedua, restorasi kearifan lokal. Usaha Perhutanan Sosial tidak lepas dari bagaimana hubungan manusia dengan alam,
serta bagaimana hubungan itu membentuk sistem pengetahuan lokal. Dalam kisah madu Sialang di Jambi, minyak kelapa
dan sambal pedis di Sulawesi Tengah, terlihat bagaimana kearifan lokal terwujud pada produk-produk yang mereka
hasilkan.
Ketiga, kepedulian terhadap kelestarian alam. Masyarakat memahami besar dan beragamnya fungsi maupun manfaat
hutan. Perhutanan Sosial membuka kesempatan bagi masyarakat mengelola manfaatnya, akan tetapi dilakukan secara
seimbang dan lestari. Nilai ini dipahami oleh masyarakat, bahkan di beberapa lokasi, mereka membentuk kelompok
penjaga hutan, maupun membangun inisiatif pengelolaan manfaat hutan sekaligus berdampak terhadap pembatasan
aktivitas perambahan hutan, seperti ekowisata di Sulawesi Tengah dan Jambi.
Kisah-kisah yang muncul dari tapak, kisah-kisah nyata dari pelaku usaha Perhutanan Sosial, yang tidak hanya mengelola
manfaat berbagai jenis komoditi atau produk, tetapi juga membangun inovasi-inovasi pembangunan hijau di tingkat
tapak. Perhutanan Sosial telah melahirkan para Ecopreneur Kampung yang melakukan transformasi pembangunan di
kampung secara berkelanjutan.
v
Menyampaikan Kabar Para Ecopreneur Kampung
Utari Octika Rani (Direktur Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
vi
Buku ini berisi kisah sukses masyarakat kampung dalam pengelolaan usaha Perhutanan Sosial serta dampak positif yang
dihasilkan, baik terhadap pelestarian hutan maupun peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagaimana kita ketahui,
salah satu tujuan Perhutanan Sosial adalah untuk meningkatkan manfaat sumber daya hutan agar dan pada gilirannya
menambah pendapatan masyarakat.
Ada 11 pengalaman para Ecopreneur Kampung tersemat pada buku ini. Para local champion berasal dari masyarakat
biasa. Beberapa usaha digerakan oleh kaum perempuan. Mereka pendulum penting dari organisasi, menjadi pemimpin
dan aktor transformasi kampung.
Meskipun berjalan perlahan tetapi terus bergerak. Produk-produk yang dikelola KUPS mulai dikenal masyarakat. Saat
ini mereka memasarkannya ke masyarakat di sekitar kampung dan melalui media online. Produk makanan yang dibuat
oleh para ecopreneur ini diracik dengan bahan pilihan, tanpa menggunakan bahan kimia.
Kisah-kisah dalam buku ini ditulis oleh 3 orang fasilitator lapangan yang dalam keseharian mereka akrab bekerja dan
belajar bersama orang kampung. Bagi mereka ecopreneur kampung adalah aliran sumber pengetahuan tak ternilai.
Bekerja di kampung bukan sekadar pekerjaan, tetapi petualangan yang memperkaya hati dan pikiran. Setiap hari
membawa tantangan baru yang berbeda, pelajaran, dan kegembiraan. Bersama Ecopreneur kampung mereka
membangun jalan menuju perubahan keberlanjutan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup.
Buku ini diharapkan menjadi sarana menyebarluaskan kisah-kisah ecopreneur kampung dalam pengelolaan usaha
Perhutanan Sosial, menjadi motivasi dan inspirasi bagi para pengelolaan akses Perhutanan Sosial lainnya. Kami sadar
buku ini jauh dari kata sempurna, kami sangat berharap masukan dan dukungan atas apa yang dilakukan Yayasan
CAPPA Keadilan Ekologi bersama Ecopreneur Kampung. Terima kasih.
vii
DAFTAR ISI
viii
Minyak Kelapa Perekah “Putri Malu” ................................................................................... 28
ix
Menjaga Madu Sialang, Merawat Kearifan Lokal
Bambang Isnaini (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Setelah melewati beberapa fase dialog dan negosiasi, akhirnya disepakati membangun Kemitraan Kehutanan antara
PT REKI dengan masyarakat adat Batin Sembilan Sungai Telisak. Masyarakat membentuk Gabungan Kelompok Tani
Hutan (Gapoktanhut) Sungai Telisak, sebagai organisasi yang melakukan kerjasama.
Untuk pengelolaan Madu Sialang masyarakat membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Madu Telisak,
“Saya berharap pengelolaan Madu Sialang dilakukan lebih baik dan lestari. Jangan sampai Madu Sialang ini lenyap
dan punah”, ujar Bang Marhoni. Sekitar 10 tahun lalu, ketika beberapa perusahaan melakukan aktivitas di wilayah
mereka, jumlah pohon Sialang dan madu berkurang.
2
Mereka kemudian melakukan pendataan Pohon Sialang, juga menandai posisi dengan titik koordinat, sehingga diketahui
jumlahnya. Selain itu, setiap piawang tidak boleh memotong atau mengambil habis sarang lebah, harus disisakan. Pohon-
pohon disekitar pohon Sialang tidak boleh ditebang, sementara pohon Sialang sendiri harus dibersihkan. Dengan strategi
ini, mereka sekarang bisa melakukan panen Madu Sialang sebanyak 2 sampai 3 kali dalam setahun.
Bang Marhoni dan KUPS Madu Sialang menyadari, jika Madu Sialang ingin dijual ke pasar, maka harus memenuhi
standar produksi tertentu, serta mempunyai keunikan. Saat sekarang, untuk mendapatkan madu dari sarangnya, tidak
dengan cara diperas, tapi ditiriskan agar tidak tersentuh tangan. Sehingga proses lebih bersih dan higienis.
“Madu Sialang ini anugerah buat kami, kekayaan alam yang diberikan Yang Maha Kuasa. Cara merawat pohon
Sialangnya dan memanen madunya adalah pengetahuan yang diwariskan turun temurun dari orang tua kami. Bagi kami,
merawat Pohon Sialang bagian dari merawat tradisi, sekaligus membantu perekonomian masyarakat Batin Sembilan”,
ucap Bang Marhoni.
33
Marhoni (Ketua KUPS Madu Telisak) sedang memasukan madu ke botol sebagai proses produksi yang baik
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini 44
Rehabilitasi Berbuah Nikmatnya Kopi
Bambang Isnaini (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
5
Pak Bayu seorang lelaki dengan wajah keras dan tegas, intonasi bicara juga berat. Padahal dibalik semuanya, Pak
Bayu adalah sosok ramah dan nyaman diajak diskusi. Sesekali akan keluar candaan yang mencairkan suasana juga
mengeluarkan gelak tawa.
Didampingi Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, mereka membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Mahau Lestari, kemudian
menyusun dokumen, melakukan pemetaan partisipatif, serta menyampaikan dokumen permohonan. Pada tahun 2018,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyetujui permohonan mereka, dan menerbitkan Surat Keputusan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) seluas 172 hektar.
Setelah menerima surat persetujuan akses pengelolaan hutan, Pak Bayu bersama pengurus dan anggota KTH Mahau
Lestari, melakukan rapat pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Rapat tersebut menyetujui membentuk
KUPS Kopi Mahau, “Kenapa kami memilih kopi?, karena kopi dapat berfungsi rehabilitasi kawasan hutan yang rusak,
sekaligus bermanfaat untuk peningkatan ekonomi anggota Perhutanan Sosial”, ucap Pak Bayu. Sebuah pemikiran
sederhana perwujudan dari pembangunan berkelanjutan, yaitu integrasi pemulihan kawasan hutan dan manfaat ekonomi
bagi masyarakat.
Keahlian Pak Bayu memelihara dan mengolah kopi adalah hasil dari berbagai pelatihan yang dilaksanakan oleh
Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, juga oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) dan Forest Program (FP) 2. KUPS Kopi
Mahau juga mendapatkan dukungan seperti mesin pengolah kopi dan Rumah Produksi. Selain itu, Kopi Mahau telah
mendapatkan sertifikat Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
Meskipun saat sekarang kopi belum menjadi sumber pendapatan utama anggota KUPS Kopi Mahau, karena skala
produksinya masih kecil, akan tetapi Pak Bayu tetap bersemangat untuk menggerakan organisasi dan anggotanya,
“Bagi saya Kopi Mahau ini selain mempunyai fungsi rehabilitasi dan menambah pendapatan ekonomi, tapi Kopi Mahau
6
juga identitas kami. Kalau nanti Kopi Mahau sudah dikenal banyak orang, pasti Desa Sungai Penoban juga akan
dikenal”, kata Pak Bayu bersemangat.
77
Inovasi Segelas Kopi
Sebenarnya, memelihara, menanam, dan merawat bibit kopi bukanlah tradisi perladangan Batin Sembilan Telisak,
mereka terbiasa mengelola tanaman karet dan masuk ke dalam hutan mencari berbagai hasil hutan bukan kayu.
8
Imajinasi Bang Lindut yang muncul dari segelas kopi
satu hal baru, satu inovasi tradisi perladangan Batin
Sembilan Telisak.
9
tak mudah memberikan keyakinan kepada anggota bahwa kopi dapat memberikan manfaat ekonomi. Saya harus jalan,
datang rumah ke rumah, dan diskusi kepada mereka”, kenang Bang Lindut.
Saat sekarang sudah banyak anggota KUPS Kopi Karya Maju yang menanam kopi. Mereka juga mengelola areal
pembibitan kopi, untuk mendukung anggota yang ingin menanam kopi. Selain itu, dibuat juga satu kebun demplot,
sebagai wahana belajar bagi anggota bahkan masyarakat jika ingin belajar menanam dan merawat kopi, “Kami sudah
mempunyai lebih dari 10.000 bibit kopi siap tanam, dari 19.000 bibit yang dibutuhkan”, kata Bang Lindut dengan
bangga.
Harga kopi Telisak semakin membaik. Satu kilo biji kopi harganya Rp. 25.000,-. Rata-rata setiap anggota KUPS Kopi
Karya Maju menghasilkan sekitar 10 kilo per bulannya. Belum terlalu besar, tapi kopi telah memberikan manfaat ekonomi
bagi masyarakat adat Batin Sembilan Telisak. “Saat sekarang, saya sedang sosialisasi kepada warga untuk memanen
kopi petik merah, harganya lebih baik di pasar. Memang saya harus mengunjungi mereka satu per satu. Tapi bagi saya
ini adalah perjuangan. Perjuangan tak kenal lelah agar kami bisa lebih sejahtera dan hutan terus menjadi saudara
kami”, ujar Bang Lindut dengan wajah cerah.
10
Kemilau Air Terjun Penjaga Hutan
Dedi Gustian (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Tidak mudah bagi Bang Samsul dan kelompoknya untuk memberikan Samsul, Ketua KTH Mahau Lestari
kesadaran terhadap masyarakat pentingnya menjaga hutan. Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
Keinginan masyarakat untuk membuka kawasan hutan untuk
membangun perkebunan monokultur masih terjadi, “Perlu strategi
11
melibatkan banyak pihak dalam menjaga hutan, serta menunjukkan bukti nyata manfaat menjaga hutan”, kata Bang
Samsul.
Untuk itu, pada tahun 2019 Bang Samsul bersama pengurus KTH Mahau Lestari membentuk Kelompok Usaha Perhutanan
Sosial (KUPS) Mahau Kemilau. KUPS ini fokus untuk pengembangan ekowisata air terjun. Sebelumnya, saat melakukan
pemetaan partisipatif untuk kelengkapan dokumen permohonan Perhutanan Sosial
ditemukan potensi air terjun yang indah. Jika terkena sinar matahari airnya memantulkan
cahaya.
Untuk menuju ke air terjun ini, harus ditempuh dengan jalan kaki melintasi beberapa
sungai, serta perkebunan masyarakat, termasuk tanaman kopi yang ditanam oleh KTH
Mahau Lestari untuk rehabilitasi hutan. “Kepala Desa telah bersedia mendukung inisiatif
KUPS Mahau Kemilau, beliau bersedia mengalokasikan Dana Desa untuk memperbaiki
jalan menuju air terjun”, kata Bang Samsul, “Jika jalan sudah cukup bagus, saya
berharap akan banyak masyarakat yang berkunjung. Ini akan memberikan manfaat
ekonomi bagi anggota KUPS dan masyarakat, tentu tantangannya adalah bagaimana
tingginya kedatangan pengunjung tidak berdampak pada kondisi hutan dan air terjun.
Perlu juga diketahui, bagi kami dengan menjaga air terjun ini, maka hutan disekitarnya
juga akan terjaga, termasuk taman nasional, karena letak air terjun berada di hulu
desa”. Semoga kemilau air terjun membawa kemilau bagi Desa Sungai Penoban.
12
Pak Samsul sedang melakukan pendataan tanaman tumbuh yang ada di areal KTH Mahau Lestari
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Utari Octika Rani
13
Kondisi lokasi Wisata Air Terjun Mahau Kemilau
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
14
14
Besamo Meraih Kemandirian
Dedi Gustian (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
15
Bang Aini berusia 38 tahun. Murah senyum, berbadan
kurus, tetapi mempunyai lengan yang kekar. Seorang
anak muda yang santun, meski mempunyai keteguhan
dalam bersikap. Hasrat untuk belajar banyak hal
terlihat dalam setiap komunikasi dengan Bang Aini,
terutama jika terkait tentang hak-hak masyarakat
adat, “Kami merasakan bagaimana hak-hak kami
selalu dikecilkan, tanah adat kami digusur. Kami ingin
hak kami sebagai masyarakat adat dihargai. Kami
ingin hidup mati di tanah leluhur kami”, kata Bang Aini.
Wilayah Simpang Macan Luar ditempuh sekitar 3 - 4 jam dengan kendaraan roda empat, dan di beberapa tempat
jalannya masih berupa tanah merah, yang jika musim kering akan berdebu, dan jika musim hujan menjadi licin seperti
tanah liat. Disini tinggal 15 kepala keluarga yang seluruhnya adalah masyarakat adat Batin Sembilan.
16
Karet atau disebut getah bukan tanaman yang asing bagi masyarakat adat Batin Sembilan. Getah bagian dari
kehidupan mereka. Luas lahan karet yang dikelola KUPS Usaha Besamo sekitar 70 hektar dengan potensi sekitar 1,5 -
2 ton karet. Usia pohon karet bervariasi, ada yang sudah diambil getahnya (deres) dan ada yang masa tumbuh.
“Salah satu kendala kami adalah modal usaha. Karena masyarakat masih membutuhkan uang tunai. Untuk mengatasi
kendala tersebut kami membentuk koperasi”, ujar Bang Aini. Bersama dengan 4 Kelompok Perhutanan Sosial (KPS)
masyarakat adat Batin Sembilan lain, dibentuk Koperasi Batin Sembilan. Di koperasi ini Bang Aini kembali dipilih sebagai
Ketua. Melalui Koperasi ini dilakukan kerjasama dengan PT REKI guna mendapatkan modal usaha.
“Dipilih menjadi Ketua Koperasi Batin Sembilan sebuah tanggung jawab bagi saya untuk membawa Batin Sembilan lebih
sejahtera. Kami ingin mandiri dan berdaulat atas hidup kami. Kami terbuka bekerjasama dengan berbagai pihak”,
papar Bang Aini dengan suara bersemangat.
Sedang melakukan penimbangan getah karet hasil panen anggota KTH Maju Besamo
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
17
17
4
Getah karet yang dikumpulkan di bawa ke Kota Jambi untuk di jual ke pabrik
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
1818
4
Si Manis MELIANTHA
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
19
Stup Budidaya Madu Meliantha, KTH Lestari Sipayo
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
Usa ha tidak mendustakan hasil. Tahun 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan
untuk Hu tan Desa di Desa Sipayo, seluas 686 hektar. Keputusan ini disambut suka cita oleh Ibu Ece, Pemerintah Desa
dan warga desa. Mereka sekarang mempunyai akses legal, diakui oleh Negara mengelola hutan.
20
Di saat poses verifikasi dan penelaahan permohonan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KTH Lestari perlahan menata diri dan
menyusun rencana organisasi, bersama dengan LPHD Taipa Java.
Madu Meliantha
Madu yang hasilkan dinamakan Madu Meliantha. Meliantha berasal dari
bahasa Yunani, dapat diartikan secara harfiah sebagai bunga madu atau
beraroma madu. Kata tersebut berasal dari gabungan dua kata, yaitu: “Meli”
artinya madu, dan "Anthos" berarti bunga. Jadi, nama Meliantha mencerminkan
21
pesona bunga yang memiliki hubungan dengan manisnya manfaat madu.
Nama yang bernuansa keindahan serta aroma yang manis, kecantikan
bahkan menyegarkan.
Si Manis Meliantha dikemas dalam beberapa varian ukuran, yaitu 100 ml,
250 ml, dan 350 mili-liter (ml). Pemasaran dilakukan dengan menjual
secara langsung maupun melalui media online.
“Setiap setup madu rata-rata menghasilkan 300 ml. Ada kendala yang
kami hadapi, yaitu beberapa koloni lebah meninggalkan setup,
menyebabkan tidak menentunya hasil panen”, tutur Ibu Ece. “Permasalahan
tersebut kami atasi dengan memperkaya tanaman yang menjadi sumber
makanan lebah seperti kopi robusta, Kaliandra, dan jenis bunga-
bungaan”.
“Saya ingin memberikan manfaat bagi banyak orang, seperti hutan dan
juga madu. Menjadi penopang kehidupan, menjadi penyembuh saat sakit.
Kami berdo’a selalu berupaya agar usaha Perhutanan Sosial bermanfaat
pada kampung kami, Desa Sipayo yang kami cintai”, pungkas Ibu Ece
Persiapan pemanenan Madu Melianta sambil menggenggam erat jemarinya dan mata menengadah ke atas.
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Kardina Patola
22
Lebah Madu Apis Cerana
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Dedi Gustian
23
4
Setitik Nira dari Seroja
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
24
Upaya dari Kelompok Perempuan Seroja dan warga Desa Bondoyong ini membuahkan hasil. Tahun 2018, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Hutan Desa untuk Desa Bondoyong seluas 988 hektar.
Keberhasilan Kelompok Perempuan Seroja dan LPHD Bondoyong ini menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di sekitar
mereka, termasuk kaum perempuan. Beberapa inisiatif usulan tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.
Salah seorang perempuan pengukir kisah inspiratif ini adalah Ibu Merclyn. Seorang ibu rumah tangga sederhana,
memiliki intonasi suara tegas, dan mempunyai minat belajar tinggi, “Saya ingin membawa perubahan di desa saya, di
tanah kelahiran saya. Saya tahu salah satunya dengan banyak belajar. Salah seorang yang memberikan semangat
adalah Ibu Onna Samada”, kata Ibu Mercylin. “Bagi saya Kelompok Perempuan Seroja adalah sekolah hidup, tempat
saya menuliskan jalan hidup saya lebih bermakna”.
“Akhirnya kami menemukan, Nira bisa diolah menjadi Gula Aren. Kami mencoba. Belajar pelan-pelan. Ada kesalahan,
kami coba lagi. Sampai kami menilai sudah layak untuk dijual”, tutur Ibu Mercylin. Produk gula aren ini diberi nama Gula
Aren Seroja. Saat sekarang telah dijual baik ke masyarakat di Desa Bondoyong serta desa lainnya, “Setiap produksi
selalu habis. Kami ingin produksi lebih banyak, akan tetapi bahan baku Nira tidak selalu tersedia, karena masih lebih
banyak diolah menjadi minum alkohol”, kata Ibu Merclyin dengan mata tertunduk, “Kami sadar ini tantangan. Tidak akan
mematahkan semangat, pasti kami bisa menemukan jalan keluarnya”.
25
Gula Aren Seroja ikut salah satu pameran UMKM di Kota Palu
Sebuah tekad untuk menciptakan banyak
perubahan di desa, melakukan transformasi di Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
kampung, oleh perempuan sederhana. Sebuah
inspirasi pengelolaan manfaat sumber daya
alam di kawasan hutan, yaitu air Nira diolah
menjadi Gula Aren dan menghasilkan
pendapatan bagi masyarakat. Pola ekonomi
hijau, atau Ecopreneur yang dipraktikan
perempuan kampung. Ibu Merclyin dan
kelompoknya menambahkan satu nilai pada
pola ini, yaitu perlawanan budaya. Mereka
melawan budaya sub-ordinasi terhadap
perempuan dan budaya konsumsi minuman
beralkohol.
2626
4
Proses pencetak Gula Aren oleh Kelompok Perempuan Seroja
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
27
4
Minyak Kelapa Perekah “Putri Malu”
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Ya, Bu Arna adalah sosok perempuan dibalik kisah sukses KUPS Niu Kencana. Sosok ibu rumah tangga yang ulet, luwes
dalam pergaulan, hangat dalam berkomunikasi, juga pekerja keras. Menunaikan tugas sebagai ibu rumah tangga,
sekaligus mengelola usaha organisasi sungguh tidak mudah.
Saat pertama bergabung di organisasi LPHD Tambera, Bu Arna lebih banyak diam, dan hanya menyimak saat rapat
dan diskusi. Tidak terduga saat diberikan kepercayaan menjadi pengurus KUPS Niu Kencana, bakat dan kemampuannya
sebagai penggerak organisasi menjulang muncul.
“Kata kunci dalam organisasi adalah kebersamaan, pupuknya adalah kepercayaan”, ujar Bu Arna, “Secara terjadwal,
atau jika ada waktu luang, kami berkumpul. Bicara apa saja, dan tentang organisasi. Berbagai informasi dan perasaan
kami. Ini saling mendekatkan. Dan juga bisa dilakukan sambil memproduksi minyak kelapa kampung”, papar Ibu Arna
tentang trik dan tips mengelola organisasi.
29
Pendekatan sederhana yang dilakukan oleh Ibu Arna
tidak hanya berhasil mengokohkan organisasi, serta
meningkatkan pengetahuan kaum perempuan
tentang pengelolaan organisasi. Sebuah pendekatan
budaya dalam membangun gerakan perempuan di
kampung.
30
Minyak Kampung Niu Kencana ikut Festival Teluk Tomini
di Kabupaten Parigi Moutong Saling percaya dan kebanggaan terhadap
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah komoditi produksi mereka, mendorong semua
anggotanya bergandengan tangan melakukan
pemasaran. Strategi kolektif, mudah, murah,
namun meriah disepakati, yaitu melalui media
sosial. “Selain itu, kami juga melengkapi
produk kami dengan berbagai sertifikat.
Minyak Kampung Niu Kencana telah
mempunyai Nomor Induk Berusaha (NIB),
sertifikat PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga),
dan sertifikat Halal. Ini semakin memberi
keyakinan kepada konsumen, kepada pasar,
bahwa minyak kelapa kampung kami Narasa.
Dijamin kualitasnya!”, pungkas Ibu Arna.
31
31
4
Batu Merah, Pelindung Hutan Sidoan
27
Herdiansyah
4 (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Bersama dengan Pak Mayon, Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi membantu masyarakat Sidoan Barat mendapatkan
akses legal pengelolaan kawasan hutan melalui skema Hutan Desa. Sosialisasi tentang apa itu Perhutanan Sosial
dilakukan bersama dengan Kepala Desa, yang dilanjutkan dengan pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD)
yang dinamakan Beringin Fajar.
Melalui LPHD Beringin Fajar dilakukan Pemetaan Partisipatif untuk mengetahui kawasan hutan yang akan dimohonkan,
sekaligus dibuat dokumen permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Akhirnya, tahun 2021 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan persetujuan Hutan Desa
kepada LPHD Beringin Fajar seluas 5.462 hektar. Jumlah yang cukup besar untuk dikelola oleh masyarakat.
KUPS Wibing mengelola areal Batu Merah. Areal ini unik dan khas, yaitu hamparan bebatuan berwana merah di
sepanjang aliran sungai dengan panjang sekitar 500 meter. Jika terkena sinar matahari, warna merah batu semakin
terlihat jelas. “Selain untuk wisata, areal Batu Merah ini dapat menjadi tempat beristirahat sementara warga yang
pulang dari hutan ke desa setelah mencari rotan dan berburu”, kata Pak Mayon.
Letak Batu Merah berada di bagian hilir kawasan hutan Sidoan Barat, “Sehingga, Batu Merah juga menjadi pagar bagi
orang-orang yang ingin melakukan kegiatan illegal di kawasan hutan. Jika mereka ingin membawa hasil hutan, harus
melewati Batu Merah”, imbuh Pak Mayon.
33
Wisata Batu Merah yang dikelola oleh KUPS Wisata Wibing, Mimpi yang dikuatkan dengan doa, serta
Desa Sidoan Barat dilaksanakan dengan berbagai kegiatan,
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah membuahkan dukungan dari Forest Investment
Program (FIP) II. Melalui program ini KUPS
Wibing dapat membangun 3 unit gazebo, 1
tempat pertemuan, dan 1 unit kamar kecil,
“Dengan adanya beberapa bangunan ini, saya,
pengurus KUPS, dan masyarakat berharap
minat orang berwisata ke Batu Merah tumbuh.
Banyak orang akan datang. Karena Batu
Merah tidak hanya untuk wisata, tetapi juga
berfungsi menjaga kelestarian hutan. Kami tidak
akan lelah mewujudkan mimpi-mimpi kami, demi
kesejahteraan masyarakat Laudje dan
kelestariaan hutan Sidoan”, ucap Pak Mayon
dengan memandang lurus kedepan.
34
Survey lokasi Wisata Batu Merah KUPS Wisata Wibing, Desa Sidoan Barat
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
35
Kemiri, Alir Kehidupan Suku Laudje
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Penduduk Desa Baina’a Barat adalah Suku Laudje, komunitas masyarakat adat di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari kisah
beberapa warga, secara sosio-geografis Suku Laudje terbagi dalam 3 kelompok, pertama, Laudje pesisir yaitu mereka
yang mendiami pesisir pantai sepanjang Sidoan-Tinombo. Kedua, Laudje pegunungan tengah yaitu mereka hidup di
pegunungan dekat pesisir pantai, dan yang ketiga, Laudje pedalaman yaitu mereka yang tinggal jauh di dalam wilayah
hutan.
Masih menurut penuturan warga, alasan Suku Laudje di Desa Baina’a Barat tinggal jauh di kawasan hutan, karena nenek
moyang mereka menentang kolonialisme VOC, mereka masuk ke dalam hutan untuk menghindari aksi penjajahan
Belanda.
Untuk mengelola potensi Kemiri yang melimpah di desanya, Pak Munsyakir menyampaikan permohonan bantuan mesin
pemecah Kemiri. Gayung bersambut, melalui KPH Dampelas-Tinombo didapatkan bantuan Corporate Social
Responsibility (CSR) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sayangnya, duka menghampiri, 2 minggu setelah mesin tiba
di desa, Pak Munsyakir dipanggil Sang Khalik.
37
Proses penjemuran Buah Kemiri
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
Meneruskan semangat pengabdian orang tuanya, Pak Ruslan bersama dengan pengurus LPHD Silansa membentuk 2
Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), yaitu KUPS Boyaba Lestari fokus pengelolaan usaha Kemiri, dan KUPS Polu
Tinobong fokus pada pengelolaan rotan.
Melalui KUPS Boyaba Lestari, Pak Ruslan membeli Kemiri mentah dari masyarakat dengan kisaran harga Rp. 5.000,-
sampai Rp. 7.000,-. Dalam 1 bulan rata-rata arus penjualan Kemiri mentah mencapai 5 ton. Jika rata-rata harga Kemiri
mentah Rp. 5.000,- per kilogram, maka dana pembelian Kemiri mentah warga mencapai Rp. 25.000.000,-. Sebuah
angka cukup besar bagi sebuah desa dalam kawasan hutan!. Informasi yang kami dapatkan, sebagian besar dana
pembelian Kemiri tersebut berasal dari Pak Ruslan.
“Jangan dilihat nilai uangnya. Saya bahagia bisa membantu warga dengan meningkatkan pendapatan mereka. Dengan
LPHD Silansa membeli Kemiri warga, uang akan berputar di desa. Kita juga mempekerjakan warga untuk menjemur dan
memecah Kemiri. Meski masih skala kecil, tapi sangat membantu pergerakan ekonomi warga desa dari pengelolaan
Kemiri dari areal Perhutanan Sosial”, tutur Pak Ruslan dengan tulus.
38
Awalnya Kemiri yang dihasilkan masih dalam kategori C, karena menjadi serpihan saat dipecahkan oleh mesin. Diskusi
dengan organisasi pendamping Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi untuk mengatasi masalah ini, maka diberikan
dukungan pengadaan mesin pendingin (freezer). Hasilnya Kemiri saat dipecahkan lebih sempurna dan mencapai kategori
A.
Inovasi sederhana dalam pengelolaan usaha Perhutanan Sosial dari warga Kampung, tapi berdampak pada
tumbuhnya gerak ekonomi lokal dan berjalannya usaha berbasis sumber daya hutan berkelanjutan. Ekonomi lokal
yang ditopang pengelolaan hutan secara lestari. Perubahan tidak selalu dari karya besar oleh orang besar, namun
bisa dilakukan orang biasa dengan karya sederhana.
39
Bersatu dalam Sambal
Onna Samada (Ketua LPHD Bondoyong, Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Ibu Onna sendiri adalah Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bondoyong. Pada tahun 2019, atas peran Ibu
Onna menggerakkan Perhutanan Sosial di tingkat tapak, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan
penghargaan kepadanya sebagai Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Tingkat Tapak.
41
Proses produksi Sambal Tradisional KUPS Sadis, Desa Bondoyong
Sumber; Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
Menurut kisah orang tua di Desa Bondoyong, secara tradisional, Bondoyong mempunyai sambal khas yang selalu ada
di meja makan. Sambal bagi masyarakat Bondoyong tidak hanya soal rasa, juga mengandung nilai warisan
pengetahuan leluhur dan identitas budaya. Sambal Bondoyong dibuat dengan campuran santan kelapa. Kelapa banyak
42
ditemui di kawasan Perhutanan Sosial. Sehingga, meskipun sambal Bondoyong menggigit pedasnya, tetapi
mengeluarkan bau harum dan gurih.
“Untuk itu, dengan tujuan melestarikan pengetahuan tradisional, peningkatan manfaat ekonomi, serta pengelolaan
Perhutanan Sosial, kami sepakat membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang memproduksi sambal. Kami
namakan KUPS Sadis, kepanjangan Sambal Pedis”, ujar Ibu Onna. Pedas diucapkan pedis oleh masyarakat Sulawesi
Tengah.
Reaksi pembeli sangat baik. Setiap kali produksi selalu ludes dibeli. Dan permintaan pembeli dan pasar agar KUPS
Pedis menambah jumlah produksi belum bisa terpenuhi, karena masih terbatasnya bahan baku, “Disamping itu, kami
masih terus melakukan evaluasi produksi, untuk meningkatkan kualitas produksi, seperti rasa, daya tahan, juga bungkus
yang menarik”, papar Ibu Onna, “Karena bagi kami, sambal Bondoyong, sambal pedis ini bukan hanya soal bagaimana
menjual produknya, tetapi bagaimana orang mengenal bahwa sambal bagian dari kekayaan budaya lokal”.
43
44