Anda di halaman 1dari 54

KISAH 11 ECOPRENEUR KAMPUNG:

INOVASI USAHA HIJAU UNTUK TRANSFORMASI LOKAL


Penulis :
Bambang Isnaini
Dedi Gustian
Herdiansyah
Onna Samada
Editor :
Rivani Noor
Desain Cover :
Dedi Gustian
Layout :
Dedi Gustian

Cetakan 1, Januari 2024

Diterbitkan oleh Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi


Komplek Perumahan Puri Cemara Indah I
Lorong Cemara Indah 1 B1/04 RT 32 RW 04
Kelurahan Selamat
Kecamatan Danau Sipin
Kota Jambi
Kode Pos : 36126
Telp : +62 741 3063059
Sumatera – Indonesia

Didukung oleh :
Misereor
Selarik Catatan Penyunting

Ecopreneur Perhutanan Sosial: Bukan Hanya Komoditi


Rivani Noor (Badan Pengurus Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, Fasilitator Ecopreneur Kampung, Tenaga Ahli Menteri
LHK)

Perhutanan Sosial: Rumah Ekologi


Hutan dan masyarakat di Indonesia, terutama yang hidup
atau tinggal di kawasan hutan, mempunyai hubungan
mutualistik yang kuat. Hutan adalah sumber kehidupan
dalam dimensi yang luas, tidak hanya sebagai sumber
pangan, juga sebagai laboratorium alami, ladang
pengetahuan, bahkan wahana spiritual. Untuk itulah
hubungan antara hutan dan masyarakat menciptakan
kesatuan identitas bagi mereka. Seperti nama dan sistem
pengelolaan hutan beragam di berbagai tempat, misal
Rimbo di Jambi, Kheupong di Lampung, Kaleka di Kalimantan
Tengah, dan Tembawang di Kalimantan Barat.

Dalam sudut pandang ekologi maka hutan dan manusia


berada dalam rumah yang sama. Rumah maha luas. Mereka
saling melengkapi, sehingga jika salah satunya mengalami
kerusakan akan terjadi ketidakseimbangan dan fungsi-fungsi
rumah ekologi akan degradatif.
iii
Sejak Perhutanan Sosial menjadi program nasional, masyarakat mendapatkan akses mengelola manfaat hutan melalui
usaha-usaha berbasiskan sumber daya hutan. Usaha yang dikelola kelompok, telah memunculkan berbagai komoditi
unggulan yang memberikan manfaat penambahan pendapatan bagi masyarakat, seperti kopi, madu, kemiri, ekowisata,
serta berbagai jasa lingkungan lainnya. Menuju satu dekade program nasional Perhutanan Sosial telah menunjukan
banyak perubahan-perubahan dan ragam pembelajaran dalam tata kelola kehutanan oleh masyarakat.

Ecopreneur Kampung, Penggerak Transformasi Tapak


Ketika menggulirkan ide pembuatan buku tentang Ecopreneur, dan disetujui oleh Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, serta
didaulat sebagai penyuntingnya, saya senang sekali. Ide ecopreneur kampung ini muncul dari pengalaman berkunjung
ke berbagai lokasi Perhutanan Sosial, serta berkomunikasi sekaligus belajar dari para pelakunya.

Saya menyaksikan bagaimana masyarakat mengelola Perhutanan Sosial dengan menerapkan pengetahuan-
pengetahuan yang mereka bentuk. Baik berdasarkan kearifan lokal yang tumbuh kembang dalam sistem pengetahuan
mereka yang telah ada dari orang-orang tuanya, bertemu-menyatu dengan jenis macam pelatihan maupun ragam
informasi yang didapatkan.

Usaha-usaha Perhutanan Sosial bagi mereka bukan hanya bagaimana mengelola komoditi dan mendapatkan manfaat
ekonomi, tetapi juga menjadi alat produksi pengetahuan dan perubahan sosial. Dari 11 pengalaman para Ecopreneur
Kampung di buku ini, saya mencatat, sedikitnya 3 pengetahuan sekaligus perubahan yang terjadi saat mereka merintis
dan mengelola usaha Perhutanan Sosial.

Pertama, partisipasi kaum perempuan. Kelompok Perhutanan Sosial dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial memberikan
ruang yang luas bagi partisipasi kaum perempuan. Dalam kisah di buku ini, partisipasi bersifat menggerakan dan
membawa perubahan, perempuan bukan sekedar partisipasi pasif. Mereka menjadi tokoh utama, baik sebagai
pemimpin organisasi, juga sebagai inovator usaha Perhutanan Sosial.
iv
Kedua, restorasi kearifan lokal. Usaha Perhutanan Sosial tidak lepas dari bagaimana hubungan manusia dengan alam,
serta bagaimana hubungan itu membentuk sistem pengetahuan lokal. Dalam kisah madu Sialang di Jambi, minyak kelapa
dan sambal pedis di Sulawesi Tengah, terlihat bagaimana kearifan lokal terwujud pada produk-produk yang mereka
hasilkan.

Ketiga, kepedulian terhadap kelestarian alam. Masyarakat memahami besar dan beragamnya fungsi maupun manfaat
hutan. Perhutanan Sosial membuka kesempatan bagi masyarakat mengelola manfaatnya, akan tetapi dilakukan secara
seimbang dan lestari. Nilai ini dipahami oleh masyarakat, bahkan di beberapa lokasi, mereka membentuk kelompok
penjaga hutan, maupun membangun inisiatif pengelolaan manfaat hutan sekaligus berdampak terhadap pembatasan
aktivitas perambahan hutan, seperti ekowisata di Sulawesi Tengah dan Jambi.

Kisah-kisah yang muncul dari tapak, kisah-kisah nyata dari pelaku usaha Perhutanan Sosial, yang tidak hanya mengelola
manfaat berbagai jenis komoditi atau produk, tetapi juga membangun inovasi-inovasi pembangunan hijau di tingkat
tapak. Perhutanan Sosial telah melahirkan para Ecopreneur Kampung yang melakukan transformasi pembangunan di
kampung secara berkelanjutan.

Kota Bogor, Januari 2024

v
Menyampaikan Kabar Para Ecopreneur Kampung
Utari Octika Rani (Direktur Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Perhutanan Sosial merupakan model pengelolaan hutan


berkelanjutan berbasis masyarakat yang semakin
berkembang. Perhutanan Sosial adalah interaksi simbiosis
antara pelestarian alam dengan kesejahteraan sosial-
ekonomi, di Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi kami
menyebutnya sebagai praktik-praktik ecopreneur orang
kampung.

Sejak tahun 2015, Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi


mendampingi masyarakat yang tinggal di dalam dan di
sekitar kawasan hutan di Provinsi Jambi dan Provinsi
Sulawesi Tengah untuk mendapatkan akses Perhutanan
Sosial. Sampai dengan tahun 2023, telah difasilitasi akses
Perhutanan Sosial seluas 29.802 hektar dengan jumlah
penerima manfaat sebanyak 3.962 Kepala Keluarga (KK).

Setelah mendapatkan akses persetujuan Perhutanan Sosial


dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selanjutnya
difasilitasi penyusunan Rencana Kelola Perhutanan Sosial
(RKPS) serta pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan
Sosial (KUPS). Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi telah memfasilitasi pembentukan 24 KUPS yang memproduksi berbagai
jenis usaha seperti sambal cabai, madu, kopi, minyak kelapa kampung, kemiri, dan ekowisata.

vi
Buku ini berisi kisah sukses masyarakat kampung dalam pengelolaan usaha Perhutanan Sosial serta dampak positif yang
dihasilkan, baik terhadap pelestarian hutan maupun peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagaimana kita ketahui,
salah satu tujuan Perhutanan Sosial adalah untuk meningkatkan manfaat sumber daya hutan agar dan pada gilirannya
menambah pendapatan masyarakat.

Ada 11 pengalaman para Ecopreneur Kampung tersemat pada buku ini. Para local champion berasal dari masyarakat
biasa. Beberapa usaha digerakan oleh kaum perempuan. Mereka pendulum penting dari organisasi, menjadi pemimpin
dan aktor transformasi kampung.

Meskipun berjalan perlahan tetapi terus bergerak. Produk-produk yang dikelola KUPS mulai dikenal masyarakat. Saat
ini mereka memasarkannya ke masyarakat di sekitar kampung dan melalui media online. Produk makanan yang dibuat
oleh para ecopreneur ini diracik dengan bahan pilihan, tanpa menggunakan bahan kimia.

Kisah-kisah dalam buku ini ditulis oleh 3 orang fasilitator lapangan yang dalam keseharian mereka akrab bekerja dan
belajar bersama orang kampung. Bagi mereka ecopreneur kampung adalah aliran sumber pengetahuan tak ternilai.
Bekerja di kampung bukan sekadar pekerjaan, tetapi petualangan yang memperkaya hati dan pikiran. Setiap hari
membawa tantangan baru yang berbeda, pelajaran, dan kegembiraan. Bersama Ecopreneur kampung mereka
membangun jalan menuju perubahan keberlanjutan sosial-ekonomi dan lingkungan hidup.

Buku ini diharapkan menjadi sarana menyebarluaskan kisah-kisah ecopreneur kampung dalam pengelolaan usaha
Perhutanan Sosial, menjadi motivasi dan inspirasi bagi para pengelolaan akses Perhutanan Sosial lainnya. Kami sadar
buku ini jauh dari kata sempurna, kami sangat berharap masukan dan dukungan atas apa yang dilakukan Yayasan
CAPPA Keadilan Ekologi bersama Ecopreneur Kampung. Terima kasih.

Bulan Januari 2024, Jambi yang Mendung

vii
DAFTAR ISI

Ecopreneur Perhutanan Sosial: Bukan Hanya Komoditi ......................................................... iii

Menyampaikan Kabar Para Ecopreneur Kampung ................................................................. vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... viii

Menjaga Madu Sialang, Merawat Kearifan Lokal .................................................................... 1

Rehabilitasi Berbuah Nikmatnya Kopi ..................................................................................... 5

Inovasi Segelas Kopi ............................................................................................................... 8

Kemilau Air Terjun Penjaga Hutan ........................................................................................ 11

Besamo Meraih Kemandirian ............................................................................................... 15

Si Manis MELIANTHA ........................................................................................................... 19

Setitik Nira dari Seroja .......................................................................................................... 24

viii
Minyak Kelapa Perekah “Putri Malu” ................................................................................... 28

Batu Merah, Pelindung Hutan Sidoan................................................................................... 32

Kemiri, Alir Kehidupan Suku Laudje ...................................................................................... 36

Bersatu dalam Sambal.......................................................................................................... 40

ix
Menjaga Madu Sialang, Merawat Kearifan Lokal
Bambang Isnaini (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Batin Sembilan Sungai Telisak adalah salah satu komunitas


masyarakat adat di Provinsi Jambi. Mereka tinggal di Desa
Sepintun, Kabupaten Sarolangun. Secara turun temurun mereka
hidup dari mengambil hasil hutan. Salah satunya Madu Sialang.

Madu Sialang mempunyai hubungan erat dengan masyarakat adat.


Karena pohon ini tumbuh di dalam hutan, dengan tinggi mencapai
30 meter. Sehingga untuk mengambil madu yang berada di ujung
puncak pohon membutuhkan keahlian, yang secara adat terdapat
doa serta tradisi tertentu harus dilakukan.

Salah seorang masyarakat adat Batin Sembilan Sungai Telisak yang


mempunyai keahlian mengambil Madu Sialang adalah Bang
Marhoni. Berperawakan kurus, murah senyum, dan sangat mengenal
seluk-beluk hutan di wilayahnya, Bang Marhoni dikenal sebagai
“piawang” atau pemanen Madu Sialang.

Hutan tempat pohon-pohon Sialang berada diberikan hak


pengelolaannya kepada beberapa perusahaan, salah satunya PT
1 Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI). “Awalnya kami dilarang
Marhoni, Ketua KUPS Madu Telisak, Pemanjat
Pohon Sialang untuk pemanenan madu masuk ke dalam kawasan hutan, padahal sedari kecil kami sudah
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini biasa melakukan perburuan dan mencari berbagai hasil hutan”,
kata Bang Marhoni.
11
Sarang madu di Pohon Sialang KUPS Madu Telisak
sebelum proses pemanenan
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

Setelah melewati beberapa fase dialog dan negosiasi, akhirnya disepakati membangun Kemitraan Kehutanan antara
PT REKI dengan masyarakat adat Batin Sembilan Sungai Telisak. Masyarakat membentuk Gabungan Kelompok Tani
Hutan (Gapoktanhut) Sungai Telisak, sebagai organisasi yang melakukan kerjasama.

Untuk pengelolaan Madu Sialang masyarakat membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Madu Telisak,
“Saya berharap pengelolaan Madu Sialang dilakukan lebih baik dan lestari. Jangan sampai Madu Sialang ini lenyap
dan punah”, ujar Bang Marhoni. Sekitar 10 tahun lalu, ketika beberapa perusahaan melakukan aktivitas di wilayah
mereka, jumlah pohon Sialang dan madu berkurang.

2
Mereka kemudian melakukan pendataan Pohon Sialang, juga menandai posisi dengan titik koordinat, sehingga diketahui
jumlahnya. Selain itu, setiap piawang tidak boleh memotong atau mengambil habis sarang lebah, harus disisakan. Pohon-
pohon disekitar pohon Sialang tidak boleh ditebang, sementara pohon Sialang sendiri harus dibersihkan. Dengan strategi
ini, mereka sekarang bisa melakukan panen Madu Sialang sebanyak 2 sampai 3 kali dalam setahun.

Bang Marhoni dan KUPS Madu Sialang menyadari, jika Madu Sialang ingin dijual ke pasar, maka harus memenuhi
standar produksi tertentu, serta mempunyai keunikan. Saat sekarang, untuk mendapatkan madu dari sarangnya, tidak
dengan cara diperas, tapi ditiriskan agar tidak tersentuh tangan. Sehingga proses lebih bersih dan higienis.

“Madu Sialang ini anugerah buat kami, kekayaan alam yang diberikan Yang Maha Kuasa. Cara merawat pohon
Sialangnya dan memanen madunya adalah pengetahuan yang diwariskan turun temurun dari orang tua kami. Bagi kami,
merawat Pohon Sialang bagian dari merawat tradisi, sekaligus membantu perekonomian masyarakat Batin Sembilan”,
ucap Bang Marhoni.

33
Marhoni (Ketua KUPS Madu Telisak) sedang memasukan madu ke botol sebagai proses produksi yang baik
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini 44
Rehabilitasi Berbuah Nikmatnya Kopi
Bambang Isnaini (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Rehabilitasi Rusaknya Hutan


Pada tahun 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan
yang berdampak luas, tidak hanya ratusan hektar
hutan dan lahan terbakar, tetapi asap yang
mengandung partikel mikro beracun mengganggu
kesehatan warga, kegiatan pendidikan menjadi
tidak efektif, serta mobilitas transportasi menjadi
tidak normal.

Di Desa Sungai Penoban, ratusan hektar kawasan


hutan ikut terbakar, padahal lokasinya adalah sabuk
Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Hutan yang
dahulu rimbun hijau berubah menjadi bentangan
lahan gersang dan kritis.

Melihat hal tersebut, Pak Bayu, bersama warga Desa


Sungai Penoban mengajukan permohonan
Perhutanan Sosial kepada Menteri Lingkungan Hidup
Bayu Kusuma, Ketua KUPS Kopi Mahau dan Kehutanan, “Kami ingin memperbaiki kawasan
hutan kritis akibat kebakaran hutan tersebut. Kalau
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
dibiarkan gundul, pasti akan berdampak pada
lahan dan desa kami yang berada di bawahnya”,
ujar Pak Bayu.

5
Pak Bayu seorang lelaki dengan wajah keras dan tegas, intonasi bicara juga berat. Padahal dibalik semuanya, Pak
Bayu adalah sosok ramah dan nyaman diajak diskusi. Sesekali akan keluar candaan yang mencairkan suasana juga
mengeluarkan gelak tawa.

Didampingi Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, mereka membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Mahau Lestari, kemudian
menyusun dokumen, melakukan pemetaan partisipatif, serta menyampaikan dokumen permohonan. Pada tahun 2018,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyetujui permohonan mereka, dan menerbitkan Surat Keputusan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) seluas 172 hektar.

Setelah menerima surat persetujuan akses pengelolaan hutan, Pak Bayu bersama pengurus dan anggota KTH Mahau
Lestari, melakukan rapat pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Rapat tersebut menyetujui membentuk
KUPS Kopi Mahau, “Kenapa kami memilih kopi?, karena kopi dapat berfungsi rehabilitasi kawasan hutan yang rusak,
sekaligus bermanfaat untuk peningkatan ekonomi anggota Perhutanan Sosial”, ucap Pak Bayu. Sebuah pemikiran
sederhana perwujudan dari pembangunan berkelanjutan, yaitu integrasi pemulihan kawasan hutan dan manfaat ekonomi
bagi masyarakat.

Kopi Lokal, Identitas Kampung


Saat sekarang telah ditanam sekitar 5.000 batang kopi di 60 hektar kawasan hutan kritis. Setiap dua minggu, dapat
dipanen sekitar 20 kilogram kopi. Disebut kopi petik merah, “Kopi seperti buah cheri ini langsung dijemur, agar bisa
melalui proses selanjutnya. Semua dilakukan secara alami”, terang Pak Bayu.

Keahlian Pak Bayu memelihara dan mengolah kopi adalah hasil dari berbagai pelatihan yang dilaksanakan oleh
Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, juga oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) dan Forest Program (FP) 2. KUPS Kopi
Mahau juga mendapatkan dukungan seperti mesin pengolah kopi dan Rumah Produksi. Selain itu, Kopi Mahau telah
mendapatkan sertifikat Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
Meskipun saat sekarang kopi belum menjadi sumber pendapatan utama anggota KUPS Kopi Mahau, karena skala
produksinya masih kecil, akan tetapi Pak Bayu tetap bersemangat untuk menggerakan organisasi dan anggotanya,
“Bagi saya Kopi Mahau ini selain mempunyai fungsi rehabilitasi dan menambah pendapatan ekonomi, tapi Kopi Mahau

6
juga identitas kami. Kalau nanti Kopi Mahau sudah dikenal banyak orang, pasti Desa Sungai Penoban juga akan
dikenal”, kata Pak Bayu bersemangat.

Tanaman kopi Kelompok Tani Hutan Mahau Lestari


Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Mhd. Khalil Kayani

77
Inovasi Segelas Kopi

Bambang Isnaini (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Bermula dari Gelas Kopi


Namanya adalah Efendi, biasa dipanggil Bang
Lindut. Dia adalah Masyarakat Adat Batin
Sembilan Telisak. Setiap hari menyeduh kopi,
menikmatinya di kala pagi maupun petang, juga
saat berkumpul dengan warga lain. Kopi adalah
“minuman pergaulan” bagi warga di wilayah
Sepintun, tempat tinggal Bang Lindut.

Bang Lindut kemudian berpikir, kenapa tidak


mencoba menanam kopi saja, lahan ada dan
cukup subur, yang pasti juga akan menghemat
pengeluaran. Dia kemudian mencari bibit atau
anakan kopi yang tumbuh alami di sela-sela
pohon karet dan tanaman lainnya. Bibit yang
Efendi (Lindut) Anggota KUPS Kopi Karya Maju
sudah bagus dirawat dan dibiarkan tumbuh,
GAPOKTANHUT Sungai Telisak
selain itu dilakukan juga pembibitan di halaman
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
rumah.

Sebenarnya, memelihara, menanam, dan merawat bibit kopi bukanlah tradisi perladangan Batin Sembilan Telisak,
mereka terbiasa mengelola tanaman karet dan masuk ke dalam hutan mencari berbagai hasil hutan bukan kayu.

8
Imajinasi Bang Lindut yang muncul dari segelas kopi
satu hal baru, satu inovasi tradisi perladangan Batin
Sembilan Telisak.

“Saya tidak punya pengetahuan merawat kopi, yang


saya tahu apapun jenis bibit tanaman, jika ditanam di
tanah, kemudian dirawat baik, pasti akan tumbuh.
Sungguh saya belajar dari apa yang terjadi di alam
saja”, kata Bang Lindut.

Kopi Telisak Penggerak Ekonomi Lokal


Pada tahun 2020, setelah dilakukan kesepakatan
Kemitraan Kehutanan antara Gabungan Kelompok
Tani Hutan (Gapoktanhut) Sungai Telisak dengan PT
Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Bang Lindut
bersama kelompok tani membentuk Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial (KUPS) Kopi Karya Maju. KUPS ini
mempunyai fokus program kerja untuk pembibitan dan
pengelolaan kopi Telisak.

Melalui KUPS ini, Bang Lindut melakukan komunikasi


dengan berbagai kelompok pendukung. Pelatihan
pengelolaan bibit kopi, pengelolaan pasca panen,
serta dukungan alat pemecah maupun penjemur kopi
berhasil didapatkan. Ini berkat kerja keras Bang Lindut Buah kopi excelsa yang dibudidaya oleh SAD Batin Telisak
dan seluruh anggota KUPS Kopi Karya Maju, “Memang Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

9
tak mudah memberikan keyakinan kepada anggota bahwa kopi dapat memberikan manfaat ekonomi. Saya harus jalan,
datang rumah ke rumah, dan diskusi kepada mereka”, kenang Bang Lindut.

Saat sekarang sudah banyak anggota KUPS Kopi Karya Maju yang menanam kopi. Mereka juga mengelola areal
pembibitan kopi, untuk mendukung anggota yang ingin menanam kopi. Selain itu, dibuat juga satu kebun demplot,
sebagai wahana belajar bagi anggota bahkan masyarakat jika ingin belajar menanam dan merawat kopi, “Kami sudah
mempunyai lebih dari 10.000 bibit kopi siap tanam, dari 19.000 bibit yang dibutuhkan”, kata Bang Lindut dengan
bangga.

Harga kopi Telisak semakin membaik. Satu kilo biji kopi harganya Rp. 25.000,-. Rata-rata setiap anggota KUPS Kopi
Karya Maju menghasilkan sekitar 10 kilo per bulannya. Belum terlalu besar, tapi kopi telah memberikan manfaat ekonomi
bagi masyarakat adat Batin Sembilan Telisak. “Saat sekarang, saya sedang sosialisasi kepada warga untuk memanen
kopi petik merah, harganya lebih baik di pasar. Memang saya harus mengunjungi mereka satu per satu. Tapi bagi saya
ini adalah perjuangan. Perjuangan tak kenal lelah agar kami bisa lebih sejahtera dan hutan terus menjadi saudara
kami”, ujar Bang Lindut dengan wajah cerah.

10
Kemilau Air Terjun Penjaga Hutan
Dedi Gustian (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Desa Sungai Penoban tepat berbatasan dengan Taman Nasional


Bukit Tigapuluh (TNBT). Posisi dan peran masyarakat sangat
mempengaruhi kondisi Taman Nasional ini. Jika hubungan antara
keduanya tidak harmonis maka akan menimbulkan potensi degradasi
taman nasional. “Kami pernah bahu membahu memadamkan
kebakaran lahan bersama petugas taman nasional. Kami juga
melakukan patroli bersama”, kata Bang Samsul menceritakan bahwa
hubungan masyarakat di desanya dengan Taman Nasional berjalan
baik selama ini.

Bang Samsul adalah seorang tokoh masyarakat di Desa Sungai


Penoban. Sosok ramah ini adalah Ketua Rukun Tetangga (RT), juga
Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Mahau Lestari yang mendapatkan
akses pengelolaan hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan
(HKm). “Melalui Perhutanan Sosial kami berharap dapat memulihkan
kondisi hutan yang kritis, kami sangat memahami kerusakan kawasan
hutan termasuk di Taman Nasional akan mendatangkan bencana bagi
desa kami”, ujar Bang Samsul.

Tidak mudah bagi Bang Samsul dan kelompoknya untuk memberikan Samsul, Ketua KTH Mahau Lestari
kesadaran terhadap masyarakat pentingnya menjaga hutan. Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini
Keinginan masyarakat untuk membuka kawasan hutan untuk
membangun perkebunan monokultur masih terjadi, “Perlu strategi

11
melibatkan banyak pihak dalam menjaga hutan, serta menunjukkan bukti nyata manfaat menjaga hutan”, kata Bang
Samsul.

Untuk itu, pada tahun 2019 Bang Samsul bersama pengurus KTH Mahau Lestari membentuk Kelompok Usaha Perhutanan
Sosial (KUPS) Mahau Kemilau. KUPS ini fokus untuk pengembangan ekowisata air terjun. Sebelumnya, saat melakukan
pemetaan partisipatif untuk kelengkapan dokumen permohonan Perhutanan Sosial
ditemukan potensi air terjun yang indah. Jika terkena sinar matahari airnya memantulkan
cahaya.

Untuk menuju ke air terjun ini, harus ditempuh dengan jalan kaki melintasi beberapa
sungai, serta perkebunan masyarakat, termasuk tanaman kopi yang ditanam oleh KTH
Mahau Lestari untuk rehabilitasi hutan. “Kepala Desa telah bersedia mendukung inisiatif
KUPS Mahau Kemilau, beliau bersedia mengalokasikan Dana Desa untuk memperbaiki
jalan menuju air terjun”, kata Bang Samsul, “Jika jalan sudah cukup bagus, saya
berharap akan banyak masyarakat yang berkunjung. Ini akan memberikan manfaat
ekonomi bagi anggota KUPS dan masyarakat, tentu tantangannya adalah bagaimana
tingginya kedatangan pengunjung tidak berdampak pada kondisi hutan dan air terjun.
Perlu juga diketahui, bagi kami dengan menjaga air terjun ini, maka hutan disekitarnya
juga akan terjaga, termasuk taman nasional, karena letak air terjun berada di hulu
desa”. Semoga kemilau air terjun membawa kemilau bagi Desa Sungai Penoban.

12
Pak Samsul sedang melakukan pendataan tanaman tumbuh yang ada di areal KTH Mahau Lestari
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Utari Octika Rani

13
Kondisi lokasi Wisata Air Terjun Mahau Kemilau
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

14
14
Besamo Meraih Kemandirian
Dedi Gustian (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Bang Aini, Pemimpin Muda Lahir dari Pengalaman


Sekitar 10 tahun yang lalu, Bang Aini seorang anak muda biasa. Saat itu
bersama dengan masyarakat adat Batin Sembilan yang tinggal di Simpang
Macan Luar, dimana Bang Aini menjadi salah satu anggota keluarga, sedang
dalam proses penyelesaian konflik tenurial dengan PT Restorasi Ekosistem
Indonesia (PT REKI). Dalam pertemuan, Bang Aini lebih banyak mendengarkan,
mengamati, dan atas permintaan Almarhum Bapak Hasan, orang tua Bang Aini
yang juga tokoh masyarakat adat Batin Sembilan, Bang Aini mulai aktif dalam
beberapa kegiatan.

Seorang pemimpin kadang lahir dari pengalaman yang menempanya. Itulah


Bang Aini. Karena kerap aktif dalam kegiatan, sering melakukan komunikasi
dengan berbagai pihak, dia banyak belajar. Pada tahun 2017, dalam sebuah
rapat masyarakat, disepakati membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan
nama Maju Besamo, sekaligus memberikan mandat kepada Bang Aini sebagai
Ketua.

Melalui KTH Maju Besamo dilakukan koordinasi masyarakat adat Batin


Aini, Sekretaris KTH Maju Besamo Sembilan untuk menjalin kesepakatan kerjasama melalui skema Kemitraan
Sumber: Dokumen CAPPA, Kehutanan dengan PT REKI, sebagai pilihan penyelesaian konflik tenurial.
Foto: Dedi Gustian Melalui organisasi ini juga, Bang Aini melakukan beragam kegiatan untuk
penyiapan berbagai dokumen permohonan Kemitraan Kehutanan, serta
melaksanakan penguatan organisasi. Sebuah kerja tidak mudah tentunya.

15
Bang Aini berusia 38 tahun. Murah senyum, berbadan
kurus, tetapi mempunyai lengan yang kekar. Seorang
anak muda yang santun, meski mempunyai keteguhan
dalam bersikap. Hasrat untuk belajar banyak hal
terlihat dalam setiap komunikasi dengan Bang Aini,
terutama jika terkait tentang hak-hak masyarakat
adat, “Kami merasakan bagaimana hak-hak kami
selalu dikecilkan, tanah adat kami digusur. Kami ingin
hak kami sebagai masyarakat adat dihargai. Kami
ingin hidup mati di tanah leluhur kami”, kata Bang Aini.

Tempat tinggal Bang Aini dan masyarakat adat Batin


Sembilan berada di kawasan hutan, yang tepat
berbatasan dengan kebun sawit sebuah perusahaan
besar. Masyarakat adat Batin Sembilan menanam ubi Salah satu kondisi kebun karet KTH Maju Besamo
kayu dan pisang sebagai pangan mereka. Selain juga di Simpang Macan Luar, dengan usia tanam 3 tahun
menanam kopi dan merawat tanaman karet. Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

Wilayah Simpang Macan Luar ditempuh sekitar 3 - 4 jam dengan kendaraan roda empat, dan di beberapa tempat
jalannya masih berupa tanah merah, yang jika musim kering akan berdebu, dan jika musim hujan menjadi licin seperti
tanah liat. Disini tinggal 15 kepala keluarga yang seluruhnya adalah masyarakat adat Batin Sembilan.

Usaha Getah Perekat Kehidupan


Setelah memimpin KTH Maju Besamo sekitar 3 tahun, Bang Aini digantikan oleh Yunani. Seorang perempuan yang
mempunyai karakter kepemimpinan dan ketegasan yang kuat. Bang Aini sendiri diberikan mandat sebagai Sekretaris.
Selain itu, pengurus KTH Maju Besamo setuju membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dengan nama Usaha
Besamo untuk mengelola komoditi karet.

16
Karet atau disebut getah bukan tanaman yang asing bagi masyarakat adat Batin Sembilan. Getah bagian dari
kehidupan mereka. Luas lahan karet yang dikelola KUPS Usaha Besamo sekitar 70 hektar dengan potensi sekitar 1,5 -
2 ton karet. Usia pohon karet bervariasi, ada yang sudah diambil getahnya (deres) dan ada yang masa tumbuh.

“Salah satu kendala kami adalah modal usaha. Karena masyarakat masih membutuhkan uang tunai. Untuk mengatasi
kendala tersebut kami membentuk koperasi”, ujar Bang Aini. Bersama dengan 4 Kelompok Perhutanan Sosial (KPS)
masyarakat adat Batin Sembilan lain, dibentuk Koperasi Batin Sembilan. Di koperasi ini Bang Aini kembali dipilih sebagai
Ketua. Melalui Koperasi ini dilakukan kerjasama dengan PT REKI guna mendapatkan modal usaha.
“Dipilih menjadi Ketua Koperasi Batin Sembilan sebuah tanggung jawab bagi saya untuk membawa Batin Sembilan lebih
sejahtera. Kami ingin mandiri dan berdaulat atas hidup kami. Kami terbuka bekerjasama dengan berbagai pihak”,
papar Bang Aini dengan suara bersemangat.

Sedang melakukan penimbangan getah karet hasil panen anggota KTH Maju Besamo
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

17
17
4
Getah karet yang dikumpulkan di bawa ke Kota Jambi untuk di jual ke pabrik
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

1818
4
Si Manis MELIANTHA
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Ibu Ece, Perempuan Semangat Super


Namanya sangat khas, Kardina Patola. Lebih akrab dipanggil Ibu Ece.
Seorang perempuan dengan semangat kerja super hebat. Bagaimana
tidak?, Ibu Ece sehari-hari bekerja sebagai petani. Dia mengelola berbagai
macam jenis tanaman di lahannya, diantaranya cengkeh, kakao, dan
jagung. Ibu Ece juga memelihara ayam. Jika ada kegiatan pendataan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), Ibu Ece salah satu petugasnya, karena
pengetahuan dia tentang kondisi desanya dinilai baik, dan hasil
pengumpulan datanya juga dinilai memenuhi standar BPS.

Disaat Pemerintah Nasional menerbitkan Program Perhutanan Sosial, Ibu


Ece yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Lestari, dengan
dukungan dari Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, melalui Lembaga
Pengelola Hutan Desa (LPHD) Taipa Java menyampaikan permohonan
akses pengelolaan hutan dengan skema Hutan Desa.

Berbagai persiapan untuk permohonan dilakukan secara gotong-royong.


Kardina Patola, Bendahara KTH Lestari “Bagi saya hutan adalah bagian kehidupan kami. Perhutanan Sosial
Sumber: Dokumen CAPPA, membuka dan memperkuat interaksi petani, desa, dan kehidupan ekonomi
Foto: Kardina Patola kami dengan hutan. Semua saling menopang”, kata Ibu Ece dengan wajah
tegar.

19
Stup Budidaya Madu Meliantha, KTH Lestari Sipayo
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

Usa ha tidak mendustakan hasil. Tahun 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan
untuk Hu tan Desa di Desa Sipayo, seluas 686 hektar. Keputusan ini disambut suka cita oleh Ibu Ece, Pemerintah Desa
dan warga desa. Mereka sekarang mempunyai akses legal, diakui oleh Negara mengelola hutan.

Membuka Pintu Usaha


Sebenarnya KTH Lestari telah berdiri tahun 2014 dengan tujuan pengelolaan hutan secara lestari oleh komunitas
kampung. Sebagai sebuah organisasi tentu banyak pandangan, keinginan, dan kepentingan yang harus dikelola.
Kompleksitas dalam dinamika KTH Lestari membuatnya “tidur panjang”. Sampai tahun 2019, saat LPHD Taipa Java
dibentuk dan berencana memohon akses pengelolaan hutan, KTH Lestari bangun kembali.

20
Di saat poses verifikasi dan penelaahan permohonan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KTH Lestari perlahan menata diri dan
menyusun rencana organisasi, bersama dengan LPHD Taipa Java.

Bagaikan sebuah takdir yang menemukan jalannya, satu proyek kerjasama


internasional yaitu Forest Investment Program (FIP) II menetapkan area kerjanya Madu Meliantha dalam kegiatan
di kawasan hutan yang salah satu cakupan wilayah administrasinya adalah Festival Pesona 2023
Desa Sipayo. Ibu Ece bersama anggota menggerakkan KTH Lestari untuk Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
mencoba mendapatkan dukungan dari proyek ini. Sebuah proposal
diselesaikan dan disampaikan. Tahap penapisan, verifikasi, dan pengujian
proposal dilewati. Hingga kabar gembira datang, proposal mereka lolos dan
diterima untuk mendapatkan dukungan pendanaan.

KTH Lestari sepakat mempergunakan dukungan pendanaan untuk


mengembangkan budidaya lebah madu bagi usaha kelompok mereka.
Pengembangan usaha dimulai dengan membangun setup lebah, rumah
produksi, pengadaan koloni, dan pengadaan fasilitas penunjang lainnya.

Madu Meliantha
Madu yang hasilkan dinamakan Madu Meliantha. Meliantha berasal dari
bahasa Yunani, dapat diartikan secara harfiah sebagai bunga madu atau
beraroma madu. Kata tersebut berasal dari gabungan dua kata, yaitu: “Meli”
artinya madu, dan "Anthos" berarti bunga. Jadi, nama Meliantha mencerminkan

21
pesona bunga yang memiliki hubungan dengan manisnya manfaat madu.
Nama yang bernuansa keindahan serta aroma yang manis, kecantikan
bahkan menyegarkan.

Si Manis Meliantha dikemas dalam beberapa varian ukuran, yaitu 100 ml,
250 ml, dan 350 mili-liter (ml). Pemasaran dilakukan dengan menjual
secara langsung maupun melalui media online.

“Setiap setup madu rata-rata menghasilkan 300 ml. Ada kendala yang
kami hadapi, yaitu beberapa koloni lebah meninggalkan setup,
menyebabkan tidak menentunya hasil panen”, tutur Ibu Ece. “Permasalahan
tersebut kami atasi dengan memperkaya tanaman yang menjadi sumber
makanan lebah seperti kopi robusta, Kaliandra, dan jenis bunga-
bungaan”.

Omset pendapatan KTH Lestari dari penjualan madu berkisar dari


Rp500.000,- sampai dengan Rp1.500.000,- per bulan. Si Manis Meliantha
juga beberapa kali ikut serta pameran di tingkat daerah Sulawesi Tengah
maupun Nasional. Pada tahun 2023 dipamerkan pada kegiatan Festival
Perhutanan Sosial Nasional (PeSoNa) di Gedung Manggala Wanabakti,
Jakarta. Dan, Si Manis Meliantha habis dibawa pulang para pembeli.

“Saya ingin memberikan manfaat bagi banyak orang, seperti hutan dan
juga madu. Menjadi penopang kehidupan, menjadi penyembuh saat sakit.
Kami berdo’a selalu berupaya agar usaha Perhutanan Sosial bermanfaat
pada kampung kami, Desa Sipayo yang kami cintai”, pungkas Ibu Ece
Persiapan pemanenan Madu Melianta sambil menggenggam erat jemarinya dan mata menengadah ke atas.
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Kardina Patola
22
Lebah Madu Apis Cerana
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Dedi Gustian

23
4
Setitik Nira dari Seroja
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Ibu Mercylin, Inspirator dari Seroja


Seroja. Saat mendengar nama ini apa yang terbayang?. Benar, nama
bunga mirip teratai, hidup di atas air, berdaun lebar mengapung di
air, serta menebar aroma wangi. Sungguh menawan. Bunga ini juga
bermanfaat untuk memperkuat ketahanan tubuh dari infeksi. Pada
beberapa kelompok masyarakat, bunga Seroja mengandung nilai
sakral, serta mengandung makna sakral.
Nama bunga Seroja ini dipilih oleh sekelompok perempuan di Desa
Bondoyong, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah,
sebagai nama organisasi mereka: Kelompok Perempuan Seroja.
Kelompok ini bertujuan memperjuangkan hak-hak partisipasi
perempuan dalam pembangunan, termasuk dalam tata kelola sumber
daya alam. Kelompok ini dibentuk pada tanggal 5 September 2008.
Pada tahun 2016, mereka menjadi motor penggerak usulan
Perhutanan Sosial di desanya. Mereka membentuk Lembaga
Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bondoyong, melatih diri melakukan
Pemetaan Partisipatif, dan bersama masyarakat desa bergotong
Mercylin, Wakil Ketua Kelompok Perempuan Seroja, royong mempetakan hutan untuk diusulkan menjadi dikelola dengan
proses pencetakan Gula Aren Seroja skema Hutan Desa. Mereka juga tidak lelah mempersiapkan dokumen
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah permohonan.

24
Upaya dari Kelompok Perempuan Seroja dan warga Desa Bondoyong ini membuahkan hasil. Tahun 2018, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Hutan Desa untuk Desa Bondoyong seluas 988 hektar.
Keberhasilan Kelompok Perempuan Seroja dan LPHD Bondoyong ini menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di sekitar
mereka, termasuk kaum perempuan. Beberapa inisiatif usulan tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Salah seorang perempuan pengukir kisah inspiratif ini adalah Ibu Merclyn. Seorang ibu rumah tangga sederhana,
memiliki intonasi suara tegas, dan mempunyai minat belajar tinggi, “Saya ingin membawa perubahan di desa saya, di
tanah kelahiran saya. Saya tahu salah satunya dengan banyak belajar. Salah seorang yang memberikan semangat
adalah Ibu Onna Samada”, kata Ibu Mercylin. “Bagi saya Kelompok Perempuan Seroja adalah sekolah hidup, tempat
saya menuliskan jalan hidup saya lebih bermakna”.

Mengubah Manfaat Nira


Di Desa Bondoyong banyak terdapat pohon Nira, kualitasnya bagus. Umumnya Nira disadap, kemudian dilakukan
proses fermentasi untuk menghasilkan minuman mengandung alkohol. Bersama dengan ibu-ibu Kelompok Perempuan
Seroja, Ibu Mercylin berdiskusi, mencari informasi, dan merancang ide, bagaimana memanfaatkan Nira selain diolah
menjadi minuman beralkohol.

“Akhirnya kami menemukan, Nira bisa diolah menjadi Gula Aren. Kami mencoba. Belajar pelan-pelan. Ada kesalahan,
kami coba lagi. Sampai kami menilai sudah layak untuk dijual”, tutur Ibu Mercylin. Produk gula aren ini diberi nama Gula
Aren Seroja. Saat sekarang telah dijual baik ke masyarakat di Desa Bondoyong serta desa lainnya, “Setiap produksi
selalu habis. Kami ingin produksi lebih banyak, akan tetapi bahan baku Nira tidak selalu tersedia, karena masih lebih
banyak diolah menjadi minum alkohol”, kata Ibu Merclyin dengan mata tertunduk, “Kami sadar ini tantangan. Tidak akan
mematahkan semangat, pasti kami bisa menemukan jalan keluarnya”.

25
Gula Aren Seroja ikut salah satu pameran UMKM di Kota Palu
Sebuah tekad untuk menciptakan banyak
perubahan di desa, melakukan transformasi di Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
kampung, oleh perempuan sederhana. Sebuah
inspirasi pengelolaan manfaat sumber daya
alam di kawasan hutan, yaitu air Nira diolah
menjadi Gula Aren dan menghasilkan
pendapatan bagi masyarakat. Pola ekonomi
hijau, atau Ecopreneur yang dipraktikan
perempuan kampung. Ibu Merclyin dan
kelompoknya menambahkan satu nilai pada
pola ini, yaitu perlawanan budaya. Mereka
melawan budaya sub-ordinasi terhadap
perempuan dan budaya konsumsi minuman
beralkohol.

2626
4
Proses pencetak Gula Aren oleh Kelompok Perempuan Seroja
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Bambang Isnaini

27
4
Minyak Kelapa Perekah “Putri Malu”
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Berawal dari Hutan Desa


Desa Sidoan Selatan sebuah desa di Provinsi Sulawesi Selatan
yang terletak di antara 3 bentang alam, yaitu hamparan pantai
dengan laut biru, jajaran pemukiman dan perkebunan, serta
baris lekuk perbukitan. Penduduk hidup dengan suasana
harmonis, meski terdapat perbedaan keyakinan agama,
perbedaan suku, semua mengutamakan toleransi. Mewujudkan
harmonisasi bentang alam dalam hubungan sosial.

Wilayah desa dan perkebunan masyarakat di Desa Sidoan


Selatan sebagian berada di kawasaan hutan, untuk itu pada
tahun 2018 bersama Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi,
Pemerintah Desa dan warganya sepakat mengajukan
permohonan akses pengelolaan Perhutanan Sosial skema Hutan
Desa.

Melalui musyawarah desa dipilih nama Tambera sebagai


Lembaga Pengelola Hutan Desa (LHPD) Desa Sidoan Selatan.
Warga bergerak bersama-sama melakukan pemetaan
partisipatif wilayah usulan Hutan Desa, mempersiapkan
Arna, Sekretaris KUPS Niu Kencana. dokumen usulan, kemudian menyampaikan ke Kementerian
Proses pengemasan minyak kampung Niu Kencana Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tahun 2021, Menteri
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Risnawati Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan
Hutan Desa untuk Desa Sidoan Selatan seluas 330 hektar.
28
Setelah menerima Surat Keputusan tersebut, para pengurus LPHD Tambera melakukan rapat untuk membentuk unit usaha
sebagai amanat pengelolaan Perhutanan Sosial, agar memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa. Hasil dari
rapat ini, terbentuk 2 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), salah satunya adalah KUPS Niu Kencana dengan fokus
usaha minyak kelapa kampung. Pembentukan KUPS ini disahkan oleh Kepala KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
Dampelas-Tinombo pada bulan Juli 2022.

Bu Arna, dari Minyak Kelapa ke Penguatan Perempuan


Kurang dari 1 tahun, KUPS Niu Kencana telah mampu memproduksi minyak kelapa kampung secara teratur, dikenal
kualitasnya, dan mempunyai pembeli atau pasar. Setiap kali produksi minyak kelapa kampung Niu Kencana selalu habis
tandas. “Saat sekarang, kami membatasi produksi. Sekitar 100 - 150 biji kelapa setiap produksi. Karena dilakukan
secara manual, dan kami sangat menjaga kualitasnya”, kata Bu Arna.

Ya, Bu Arna adalah sosok perempuan dibalik kisah sukses KUPS Niu Kencana. Sosok ibu rumah tangga yang ulet, luwes
dalam pergaulan, hangat dalam berkomunikasi, juga pekerja keras. Menunaikan tugas sebagai ibu rumah tangga,
sekaligus mengelola usaha organisasi sungguh tidak mudah.

Saat pertama bergabung di organisasi LPHD Tambera, Bu Arna lebih banyak diam, dan hanya menyimak saat rapat
dan diskusi. Tidak terduga saat diberikan kepercayaan menjadi pengurus KUPS Niu Kencana, bakat dan kemampuannya
sebagai penggerak organisasi menjulang muncul.

“Kata kunci dalam organisasi adalah kebersamaan, pupuknya adalah kepercayaan”, ujar Bu Arna, “Secara terjadwal,
atau jika ada waktu luang, kami berkumpul. Bicara apa saja, dan tentang organisasi. Berbagai informasi dan perasaan
kami. Ini saling mendekatkan. Dan juga bisa dilakukan sambil memproduksi minyak kelapa kampung”, papar Ibu Arna
tentang trik dan tips mengelola organisasi.

29
Pendekatan sederhana yang dilakukan oleh Ibu Arna
tidak hanya berhasil mengokohkan organisasi, serta
meningkatkan pengetahuan kaum perempuan
tentang pengelolaan organisasi. Sebuah pendekatan
budaya dalam membangun gerakan perempuan di
kampung.

Pengolahan Tradisional dan Strategi Pemasaran


Niu Kencana terdiri dari 2 kata, yaitu Niu berarti
kelapa, dan Kencana berarti emas. Jadi Niu Kencana
bermakna kelapa kampung yang menghasilkan
emas. Sebuah cerminan harapan kaum perempuan
pengelolanya.

Ya, semua anggota dan pengelola KUPS Niu


Kencana adalah perempuan. “Dalam melakukan
produksi, kami bergotong-royong. Dari
pengumpulan, pengupasan, pembelahan,
penggilingan, peremasan, pemasakan, sampai
terakhir pengemasan. Semua dilakukan secara
tradisional”, Ibu Arna menjelaskan dengan lancar.
Pola pengolahan tradisional ini membuat kemurnian
dan kualitasnya terjaga.

Tak salah jika KUPS Niu Kencana mendapatkan


penghargaan sebagai pengelola usaha peningkatan
Minyak Kampung Niu Kencana pendapatan keluarga dari Pemerintah Kabupaten
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah Parigi Moutong.

30
Minyak Kampung Niu Kencana ikut Festival Teluk Tomini
di Kabupaten Parigi Moutong Saling percaya dan kebanggaan terhadap
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah komoditi produksi mereka, mendorong semua
anggotanya bergandengan tangan melakukan
pemasaran. Strategi kolektif, mudah, murah,
namun meriah disepakati, yaitu melalui media
sosial. “Selain itu, kami juga melengkapi
produk kami dengan berbagai sertifikat.
Minyak Kampung Niu Kencana telah
mempunyai Nomor Induk Berusaha (NIB),
sertifikat PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga),
dan sertifikat Halal. Ini semakin memberi
keyakinan kepada konsumen, kepada pasar,
bahwa minyak kelapa kampung kami Narasa.
Dijamin kualitasnya!”, pungkas Ibu Arna.

31
31
4
Batu Merah, Pelindung Hutan Sidoan
27
Herdiansyah
4 (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Pak Mayon “Vokalis” Beringin Fajar


Desa Sidoan Barat salah satu desa di bentang
alam Sidoan-Tinombo. Desa Sidoan salah satu
desa pemekaran dari Desa Sidoan. Mayoritas
warganya adalah Suku Laudje, hidup di wilayah
perbukitan dan lembah. Mereka hidup
bergantung dari hasil hutan dan pertanian,
seperti mengambil madu, mencari rotan,
mengambil sisa limbah kayu, berburu hewan, dan
menanam tumbuhan jangka panjang. Ratusan
tahun Suku Laudje hidup bersama dengan
ekosistem hutan bentang Sidoan-Tinombo. Hutan
bagai saudara buat mereka dalam satu ikatan
keluarga.

Melalui telaahan awal, sebagian besar wilayah


kehidupan warga Sidoan Barat berada di dalam
kawasan hutan. Hal ini membuat masyarakat
terkejut, apalagi mereka dapat dikategorikan
melanggar hukum, karena melakukan aktivitas di
kawasan hutan tanpa izin.
Mayon Ali, Ketua LPHD Beringin Fajar
Salah seorang warga yang kritis dan sangat Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
vokal menyuarakan kepentingan masyarakat
32
terhadap hutan adalah Pak Mayon Ali. Beliau seorang petani, bermata tajam, sederhana, namun berpikir logis saat
berkomunikasi. Sangat terbuka menerima pendapat orang lain.

Bersama dengan Pak Mayon, Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi membantu masyarakat Sidoan Barat mendapatkan
akses legal pengelolaan kawasan hutan melalui skema Hutan Desa. Sosialisasi tentang apa itu Perhutanan Sosial
dilakukan bersama dengan Kepala Desa, yang dilanjutkan dengan pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD)
yang dinamakan Beringin Fajar.

Melalui LPHD Beringin Fajar dilakukan Pemetaan Partisipatif untuk mengetahui kawasan hutan yang akan dimohonkan,
sekaligus dibuat dokumen permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Akhirnya, tahun 2021 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan persetujuan Hutan Desa
kepada LPHD Beringin Fajar seluas 5.462 hektar. Jumlah yang cukup besar untuk dikelola oleh masyarakat.

Mimpi di Batu Merah


Setelah menerima Surat Keputusan Perhutanan Sosial, Pak Mayon menggerakkan LPHD Beringin Fajar membentuk
Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Salah satu KUPS yang dibentuk adalah KUPS Wisata Wibing. Wibing berarti
“tali”, penghubung antara masyarakat dengan hutan.

KUPS Wibing mengelola areal Batu Merah. Areal ini unik dan khas, yaitu hamparan bebatuan berwana merah di
sepanjang aliran sungai dengan panjang sekitar 500 meter. Jika terkena sinar matahari, warna merah batu semakin
terlihat jelas. “Selain untuk wisata, areal Batu Merah ini dapat menjadi tempat beristirahat sementara warga yang
pulang dari hutan ke desa setelah mencari rotan dan berburu”, kata Pak Mayon.

Letak Batu Merah berada di bagian hilir kawasan hutan Sidoan Barat, “Sehingga, Batu Merah juga menjadi pagar bagi
orang-orang yang ingin melakukan kegiatan illegal di kawasan hutan. Jika mereka ingin membawa hasil hutan, harus
melewati Batu Merah”, imbuh Pak Mayon.

33
Wisata Batu Merah yang dikelola oleh KUPS Wisata Wibing, Mimpi yang dikuatkan dengan doa, serta
Desa Sidoan Barat dilaksanakan dengan berbagai kegiatan,
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah membuahkan dukungan dari Forest Investment
Program (FIP) II. Melalui program ini KUPS
Wibing dapat membangun 3 unit gazebo, 1
tempat pertemuan, dan 1 unit kamar kecil,
“Dengan adanya beberapa bangunan ini, saya,
pengurus KUPS, dan masyarakat berharap
minat orang berwisata ke Batu Merah tumbuh.
Banyak orang akan datang. Karena Batu
Merah tidak hanya untuk wisata, tetapi juga
berfungsi menjaga kelestarian hutan. Kami tidak
akan lelah mewujudkan mimpi-mimpi kami, demi
kesejahteraan masyarakat Laudje dan
kelestariaan hutan Sidoan”, ucap Pak Mayon
dengan memandang lurus kedepan.

34
Survey lokasi Wisata Batu Merah KUPS Wisata Wibing, Desa Sidoan Barat
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah

35
Kemiri, Alir Kehidupan Suku Laudje
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Suku Laudje dan Perhutanan Sosial


Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Silansa
mendapatkan akses pengelolaan hutan dari Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021
seluas 4.798 hektar. Terletak di Desa Baina’a Barat,
Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.
Sebuah desa yang jaraknya cukup jauh dari jalan raya
Trans-Sulawesi, berada di ketinggian, untuk menuju
kesana melewati jalan kecil berkelok serta curam. Jika
hujan, petualangan semakin lengkap, karena jalan
menjadi lebih licin.

Tetapi, sesampai di desa, lelah di perjalanan terbayar


lunas. Terletak tepat di kaki bukit. Tata rumah di desa ini
linier, seperti sebuah garis berseberangan. Air sungai
mengalir deras, jernih dan dingin. Saat pagi hari, kabut
masih menyelimuti, dari teras rumah terlihat rimbunan
pohon-pohon Kemiri.
Ruslan, Ketua LPHD Silansa
Pohon-pohon Kemiri ini telah tumbuh puluhan tahun.
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
Tumbuh berkembang alami. Berada di dalam kawasan
hutan, termasuk hampir keseluruhan wilayah desanya.
36
Persetujuan Perhutanan Sosial skema Hutan Desa sangat membantu warga Baina’a Barat, “Kami tidak lagi seperti orang
asing dengan hutan. Selama ini kami hidup di dalam hutan, pohon-pohon Kemiri kami di dalam hutan. Hutan dan warga
Laudje itu saudara sekandung”, kata Pak Ruslan, Ketua LPHD Silansa.

Penduduk Desa Baina’a Barat adalah Suku Laudje, komunitas masyarakat adat di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari kisah
beberapa warga, secara sosio-geografis Suku Laudje terbagi dalam 3 kelompok, pertama, Laudje pesisir yaitu mereka
yang mendiami pesisir pantai sepanjang Sidoan-Tinombo. Kedua, Laudje pegunungan tengah yaitu mereka hidup di
pegunungan dekat pesisir pantai, dan yang ketiga, Laudje pedalaman yaitu mereka yang tinggal jauh di dalam wilayah
hutan.

Masih menurut penuturan warga, alasan Suku Laudje di Desa Baina’a Barat tinggal jauh di kawasan hutan, karena nenek
moyang mereka menentang kolonialisme VOC, mereka masuk ke dalam hutan untuk menghindari aksi penjajahan
Belanda.

Pak Ruslan, Inovator Usaha Kemiri


Berwajah tegas, bermata tajam, namun cepat akrab dengan banyak orang. Itulah Pak Ruslan, Ketua LPHD Silansa. Pak
Ruslan adalah putra dari Pak Munsyakir, tokoh masyarakat Laudje yang juga Ketua LPDH Silansa. Pak Munsyakir lah
yang mengumpulkan warga, meyakinkan mereka, serta memberikan pemahaman agar menyampaikan permohonan
Perhutanan Sosial.

Untuk mengelola potensi Kemiri yang melimpah di desanya, Pak Munsyakir menyampaikan permohonan bantuan mesin
pemecah Kemiri. Gayung bersambut, melalui KPH Dampelas-Tinombo didapatkan bantuan Corporate Social
Responsibility (CSR) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sayangnya, duka menghampiri, 2 minggu setelah mesin tiba
di desa, Pak Munsyakir dipanggil Sang Khalik.

37
Proses penjemuran Buah Kemiri
Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah

Proses Pemecahan Kemiri mempergunakan mesin


Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah

Meneruskan semangat pengabdian orang tuanya, Pak Ruslan bersama dengan pengurus LPHD Silansa membentuk 2
Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), yaitu KUPS Boyaba Lestari fokus pengelolaan usaha Kemiri, dan KUPS Polu
Tinobong fokus pada pengelolaan rotan.

Melalui KUPS Boyaba Lestari, Pak Ruslan membeli Kemiri mentah dari masyarakat dengan kisaran harga Rp. 5.000,-
sampai Rp. 7.000,-. Dalam 1 bulan rata-rata arus penjualan Kemiri mentah mencapai 5 ton. Jika rata-rata harga Kemiri
mentah Rp. 5.000,- per kilogram, maka dana pembelian Kemiri mentah warga mencapai Rp. 25.000.000,-. Sebuah
angka cukup besar bagi sebuah desa dalam kawasan hutan!. Informasi yang kami dapatkan, sebagian besar dana
pembelian Kemiri tersebut berasal dari Pak Ruslan.

“Jangan dilihat nilai uangnya. Saya bahagia bisa membantu warga dengan meningkatkan pendapatan mereka. Dengan
LPHD Silansa membeli Kemiri warga, uang akan berputar di desa. Kita juga mempekerjakan warga untuk menjemur dan
memecah Kemiri. Meski masih skala kecil, tapi sangat membantu pergerakan ekonomi warga desa dari pengelolaan
Kemiri dari areal Perhutanan Sosial”, tutur Pak Ruslan dengan tulus.

38
Awalnya Kemiri yang dihasilkan masih dalam kategori C, karena menjadi serpihan saat dipecahkan oleh mesin. Diskusi
dengan organisasi pendamping Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi untuk mengatasi masalah ini, maka diberikan
dukungan pengadaan mesin pendingin (freezer). Hasilnya Kemiri saat dipecahkan lebih sempurna dan mencapai kategori
A.

Inovasi sederhana dalam pengelolaan usaha Perhutanan Sosial dari warga Kampung, tapi berdampak pada
tumbuhnya gerak ekonomi lokal dan berjalannya usaha berbasis sumber daya hutan berkelanjutan. Ekonomi lokal
yang ditopang pengelolaan hutan secara lestari. Perubahan tidak selalu dari karya besar oleh orang besar, namun
bisa dilakukan orang biasa dengan karya sederhana.

Tanaman Kemiri di areal Hutan Desa LPHD Silansa


Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Muhammad Zuhdi

39
Bersatu dalam Sambal
Onna Samada (Ketua LPHD Bondoyong, Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)
Herdiansyah (Fasilitator Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi)

Ibu Onna, Sang Penggerak Kampung


Perawakannya tinggi besar untuk rata-rata perempuan
Indonesia. Sangat aktif bergerak dan melakukan aktivitas.
Rajin menyampaikan pendapat maupun pandangannya.
Kadang, jika sudah bicara, lupa kapan akan berhenti.
Itulah sosok Ibu Onna. Dikenal luas di wilayah Dampelas-
Tinombo karena energi besarnya menggerakkan program
Perhutanan Sosial.

Lebih dari 5 persetujuan Perhutanan Sosial di Kabupaten


Parigi Moutong atas fasilitasi Ibu Onna. Sebagai ibu rumah
tangga, dia masuk kampung ke kampung, melewati
perbukitan dan jalan licin berbatu, dengan mengendarai
sepeda motor. Kemampuan komunikasi Ibu Onna yang
baik mampu menggerakkan banyak orang untuk
bergabung mengelola hutan lestari melalui Perhutanan
Sosial.

Ibu Onna adalah motor sebuah organisasi petani


perempuan kampung bernama Seroja. Melalui organisasi Onna Samada, Ketua LPHD Bondoyong
ini, dengan tekun dan bersemangat, mereka saling belajar Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah
bagaimana perempuan kampung memahami hak-hak
mereka, mengambil peran dalam pembangunan, bahkan
40
menjadi aktor-aktor perubahan. “Setiap ada teman yang ingin bergabung, ikut belajar, kemudian mereka berani
menyampaikan pendapatnya di muka umum. Saya bahagia, terharu. Itu bagaikan memecahkan kebekuan. Berani
bicara, menyampaikan pendapat di muka umum, itu merobek tabu feodalisme, membuka belenggu perasaan rendah
perempuan”, kata Ibu Onna.

Ibu Onna sendiri adalah Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bondoyong. Pada tahun 2019, atas peran Ibu
Onna menggerakkan Perhutanan Sosial di tingkat tapak, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan
penghargaan kepadanya sebagai Tokoh Penggerak Perhutanan Sosial Tingkat Tapak.

Kecintaan Ibu Onna terhadap isu-isu sosial dan


lingkungan hidup kuat tertanam pada dirinya,
termasuk tentang hak-hak perempuan kampung. Dia
bukan orang sekolahan, belajar langsung dari
dinamika sosial serta fakta di tapak, “Saya ingin
perempuan tidak rendah diri, mereka harus mau
belajar dan yakin akan kemampuannya. Sepanjang
saya masih kuat, saya tidak akan berhenti bergerak
untuk memperkuat gerakan perempuan di kampung,
juga untuk Perhutanan Sosial”, terawang Ibu Onna
dengan mata berbinar.

Rasa Pedis Kaya Nilai


Dari hasil identifikasi Ibu Onna dan pengurus LPHD
Bondoyong, rata-rata anggota mereka menanam
cabai, pada saat bersamaan cabai yang dijual ke pengepul
Sambal Tradisional KUPS Sadis
harganya tidak menentu. Cabai di daerah Tinombo dan
Sidoan terkenal pedas. Rasa Sumber: Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah pedas yang membuat tobat,
sekaligus menumbuhkan rindu.

41
Proses produksi Sambal Tradisional KUPS Sadis, Desa Bondoyong
Sumber; Dokumen CAPPA, Foto: Herdiansyah

Menurut kisah orang tua di Desa Bondoyong, secara tradisional, Bondoyong mempunyai sambal khas yang selalu ada
di meja makan. Sambal bagi masyarakat Bondoyong tidak hanya soal rasa, juga mengandung nilai warisan
pengetahuan leluhur dan identitas budaya. Sambal Bondoyong dibuat dengan campuran santan kelapa. Kelapa banyak

42
ditemui di kawasan Perhutanan Sosial. Sehingga, meskipun sambal Bondoyong menggigit pedasnya, tetapi
mengeluarkan bau harum dan gurih.

“Untuk itu, dengan tujuan melestarikan pengetahuan tradisional, peningkatan manfaat ekonomi, serta pengelolaan
Perhutanan Sosial, kami sepakat membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang memproduksi sambal. Kami
namakan KUPS Sadis, kepanjangan Sambal Pedis”, ujar Ibu Onna. Pedas diucapkan pedis oleh masyarakat Sulawesi
Tengah.
Reaksi pembeli sangat baik. Setiap kali produksi selalu ludes dibeli. Dan permintaan pembeli dan pasar agar KUPS
Pedis menambah jumlah produksi belum bisa terpenuhi, karena masih terbatasnya bahan baku, “Disamping itu, kami
masih terus melakukan evaluasi produksi, untuk meningkatkan kualitas produksi, seperti rasa, daya tahan, juga bungkus
yang menarik”, papar Ibu Onna, “Karena bagi kami, sambal Bondoyong, sambal pedis ini bukan hanya soal bagaimana
menjual produknya, tetapi bagaimana orang mengenal bahwa sambal bagian dari kekayaan budaya lokal”.

43
44

Anda mungkin juga menyukai