Anda di halaman 1dari 14

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TAU TAA WANA BULANG DALAM

MENGKONSERVASI HUTAN DI PROPINSI SULAWESI TENGAH*

Sahlan**

Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu


Jalan Tambolotutu Nomor 94, Palu, Sulawesi Tengah 94118

Abstract
This study found that the local community of Tau Taa Wana Bulang had local wisdoms favouring the
forest balance and continuance that would encourage the people to be involved actively and collectively
in the process of conserving the surrounding community forest. The factor of age, income, education,
experience, attitude, conception, and motivation were proven collectively to have the significant effect
to the cultural participation based on local wisdom of the community of Wana (R2= 0.92). The cultural
implementation was found in the amount of traditional ceremonies having influences directly and indi-
rectly to the conservation of surrounding forests.
Keywords: Wana, participation, forest conservation.

Intisari
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal Tau Taa Wana Bulang memiliki kearifan lokal
yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan keberlanjutan hutan, yang dapat mendorong warganya
terlibat secara sukarela dan kolektif dalam melestarikan hutan kemasyarakatan di sekitarnya. Faktor
umur, pendapatan, pendidikan, pengalaman, sikap, wawasan dan motivasi telah terbukti bersama-sama
memiliki pengaruh signifikan terhadap partisipasi kultural berbasis-kearifan lokal masyarakat Wana
(R2= 0.92). praktik kultural ini terwujud dalam sejumlah upacara tradisional yang secara langsung atau
tidak langsung berdampak pada pelestarian hutan di sekitarnya.
Kata Kunci: Wana, partisipasi, konservasi hutan.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah............................................................................................................. 319
B. Metode penelitian ...................................................................................................................... 323.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan............................................................................................... 323
1. Praktik Kearifan Lokal Masyarakat Wana............................................................................ 323
2. Praktik Partisipasi Kultural dalam Konservasi Hutan dan Faktor-Faktor yang Mem-
pengaruhi.............................................................................................................................. 328
3. Pengaruh Partisipasi Kultural dalam Konservasi Hutan serta Pengaruh Eksternal dalam
Pemanfaatan Hutan............................................................................................................... 329
4. Strategi Partisipasi Kultural untuk Keberlanjutan Fungsi Pelestarian Hutan....................... 330
D. Kesimpulan................................................................................................................................. 330

*
Hasil Penelitian Disertasi pada Program Doktor Ilmu Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2009.
**
Alamat korespondensi: ilham.sutandio@gmail.com
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 319

A. Latar Belakang Masalah juga partisipasi kelompok dan organisasi di dalam


Hutan memiliki fungsi-fungsi penting bagi masyarakat.
kehidupan warga masyarakat di sekitarnya, Kolektivitas dan aksi pelestarian hutan
khususnya di hutan negara dengan sistem penge- setempat ini menjadi sangat penting karena
lolaan yang bertujuan untuk memberdayakan biasanya jauh lebih efektif dan pemanfaatan hutan
masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi itu bukan hanya untuk kepentingan perorangan,
pokoknya. Agar berkelanjutan, program hutan melainkan lebih untuk kepentingan kesejahteraan
kemasyarakatan diadakan sebagai salah satu usaha lingkungan bersama dalam jangka panjang.
pemerintah untuk memotivasi masyarakat supaya Walau partisipasi sering dikaitkan dengan
turut berpartisipasi aktif dalam pengelolaan hak hidup berdemokrasi, tetapi dalam masyarakat
hutan. Hanya saja, sebelum program ini diadakan, sekitar hutan yang masih tradisional keterlibatan
masyarakat sekitar hutan sendiri umumnya sudah aktif tersebut banyak dicerminkan lewat aksi-
memiliki kearifan lokal yang mendorongnya turun- aksi kolektif berdasarkan nilai-nilai kultural
temurun terlibat secara sukarela dan kolektif untuk yang hidup dan diakui sebagai pedoman dalam
melestarikan hutan yang telah menjadi kawasan waktu lama di masyarakat. Dengan nilai kultural
tempat tinggal. ini, partisipasi konservasi hutan yang mereka
Masyarakat di sekitar hutan memiliki lakukan cenderung bersifat sukarela, bukan
konsep konservasi atas lingkungan sendiri yang karena paksaan atau persuasi pihak luar termasuk
memungkinkan dilakukannya langkah-langkah dari pemerintah atau kekuatan lain yang dominan
pemeliharaan hutan sejalan dengan, atau bahkan secara politik. Partisipasi masyarakat setempat
mendukung, upaya konservasi hutan yang kini ini cenderung terjadi karena ada insentif moral
digalakkan oleh pemerintah. Hal itu penting, untuk melangsungkan kehidupan secara serasi dan
karena tanpa pelestarian hutan ada kecenderungan seimbang dengan alam, bukan karena kepentingan
terjadinya penebangan liar untuk memenuhi yang harus diperjuangkan dalam ranah ekonomi
kebutuhan kelompok masyarakat yang tidak dan politik.
bertanggung jawab akan komoditas hutan Hutan dianggap memiliki fungsi ekonomi,
komersial. tetapi anggota masyarakat setempat umumnya
Keterlibatan aktif masyarakat untuk menge- menyadari bahwa fungsi ekonomi hutan tidak
lola hutan dapat dilakukan dengan memberikan terlalu besar dibandingkan pentingnya fungsi
informasi kepada pemerintah mengenai hal-hal perlindungan hutan bagi pencapaian kesejahteraan
yang seharusnya dilakukan untuk dapat melakukan hidup dalam pengertian yang lebih luas yang
konservasi di lingkungan hutan tersebut agar berkaitan dengan nuansa kultural dan spiritual
upaya itu sesuai dengan aspirasi dan kepentingan hutan itu sendiri. Dimensi ini sering tidak
masyarakat setempat itu sendiri. Semakin banyak mendapatkan perhatian memadai dalam kajian
masyarakat diberi kesempatan untuk berpartisipasi mengenai partisipasi masyarakat dalam sejumlah
dalam mengelola hutan setempat, semakin tinggi aktivitas publik dalam konteks modern pada
pula rasa memiliki hutan di kalangan masyarakat umumnya.
setempat. Dalam kaitannya dengan pengelolaan
Di tengah masyarakat setempat yang pada lingkungan, peran masyarakat diatur melalui
umumnya masih sangat tradisional, aspek kolektif peraturan perundang-undangan. Di dalam UU
seringkali dikedepankan dalam partisipasi konser- Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
vasi hutan setempat. Pengelolaan lingkungan hidup Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas disebutkan
cenderung terjadi dengan jangkauan luas, tidak bahwa setiap orang mempunyai hak informasi
hanya meliputi partisipasi individu, melainkan lingkungan hidup yang terkait dengan peran
320 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

dalam pengelolaan lingkungan hidup.1 Artinya, memiliki kesempatan yang sama dan seluas-
hak terhadap informasi lingkungan hidup adalah luasnya untuk dapat berperan dalam pengelolaan
konsekuensi logis dari hak berperan dalam lingkungan hidup. Peran masyarakat tersebut
pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas dapat berupa pengawasan sosial, pemberian saran,
keterbukaan. Hak terhadap informasi lingkungan pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau
hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas penyampaian informasi dan/atau laporan, yang
peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan semuanya dilakukan untuk:3
hidup, selain akan membuka peluang masyarakat 1. Meningkatkan kepedulian dalam per-
untuk terlibat dalam mengaktualisasikan haknya lindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan
Di dalam undang-undang tersebut, setiap masyarakat, dan kemitraan;
orang mempunyai hak untuk berperan dalam 3. Menumbuhkembangkan kemampuan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan dan kepeloporan masyarakat
peraturan perundang-undangan yang berlaku.2 4. Menumbuhkembangkan ketanggapsege-
raan masyarakat untuk melakukan peng-
Partisipasi itu meliputi peran dalam proses,
awasan sosial; dan
pengambilan keputusan, baik dengan mengajukan 5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan
keberatan maupun dengan menyampaikan kearifan lokal dalam rangka pelestarian
pendapat atau dengan cara lain yang sudah fungsi lingkungan hidup.
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Tujuan dasar partisipasi masyarakat adalah
Peran itu dilakukan antara lain melalui penilaian untuk menghasilkan masukan dan persepsi
analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang berguna dari masyarakat setempat yang
yang pelaksanaannya dilakukan dengan prinsip berkepentingan dalam meningkatkan kualitas
keterbukaan. Peran tersebut memungkinkan pengambilan keputusan lingkungan. Dengan
masyarakat turut memikirkan dan memberikan melibatkan masyarakat yang berpotensi terkena
pandangan serta pertimbangan dalam proses dampak kegiatan, pengambil keputusan dapat
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharap-
lingkungan hidup. an dari masyarakat dan kelompok tersebut serta
Selain hak setiap orang juga berkewajiban menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan reaksi masyarakat itu sebaliknya menolong
serta mencegah dan menanggulangi segala jenis pengambil keputusan untuk menentukan prioritas,
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. kepentingan dan arah positif dari berbagai faktor.
Kewajiban ini tidak terlepas dari kedudukannya Perlindungan lingkungan berupa konservasi
sebagai anggota masyarakat yang mencerminkan sumber daya alam itu adalah bagian integral
harkat manusia sebagai individu dan makhluk dari pembangunan nasional secara global yang
sosial. Kewajiban tersebut mengandung makna harus diwujudkan. Konservasi sumber daya alam
bahwa setiap orang ikut berpartisipasi dalam sebagai salah satu sisi dari pembangunan nasional
upaya memelihara lingkungan hidup. bidang pelestarian alam dan lingkungan hidup
Selain itu, dalam Pasal 70 undang-undang mengemban tugas tetap menjaga terpeliharanya
tersebut juga menyebutkan bahwa masyarakat kelestarian sumber daya alam untuk kepentingan

1
Lihat Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059).
2
Lihat Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059).
3
Lihat Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059).
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 321

kesinambungan pembangunan dan generasi yang terutama di daerah-daerah pinggiran atau


akan datang. pedalaman luar Jawa, salah satunya masyarakat
Perhatian yang lebih besar terhadap ling- Tau Taa Wana Bulang di Provinsi Sulawesi
kungan hidup sebenarnya adalah bagian dari Tengah.
perjalanan ke arah pembangunan yang tidak hanya Ada dua alasan dapat dikemukakan menga-
mengejar jumlah, tetapi berorientasi kepada mutu. pa partisipasi berbasis kearifan lokal dalam pe-
Bahkan tidak hanya seberapa besar kemakmuran lestarian hutan perlu dikaji secara lebih mendalam.
materi bisa dicapai, tapi bagaimana mencapai Pertama, alternatif pelestarian lingkungan dan
kualitas hidup yang lebih baik. Hanya dalam iklim perlindungan hutan yang ditawarkan dengan
pembangunan yang demikian masalah kelestarian melibatkan masyarakat Wana didasarkan pada
dan pemeliharaan lingkungan hidup mampu fakta bahwa masyarakat Wana ternyata bukan
menjelma dalam kemauan politik yang kuat pelaku pembakaran hutan dan penebangan
didukung oleh semua kalangan. illegal hutan di lingkungannya. Apabila mereka
Sumber daya hutan tergolong sumber daya membakar hutan, pembakaran itu dilakukan di
alam yang dapat diperbaharui (renewable), area tertentu berdasarkan tanda-tanda yang sangat
sehingga bila dimanfaatkan secara bijaksana, jelas diketahui, baik berdasarkan pengalaman
keberadaannya dapat bertahan selama-lamanya. hidup sendiri maupun pengalaman orang tua
Sumber daya alam yang terbentang di areal serta leluhurnya. Ketika melakukan pembakaran,
pertanian, kehutanan dan lautan dapat diatur maka telah dipertimbangkan bahwa di lokasi
sedemikian rupa sehingga terus-menerus dapat tersebut pembakaran sudah dimungkinkan karena
memberi manfaat, tidak saja untuk masa kini, kemudian dapat segera ditanami kembali dengan
melainkan juga untuk generasi berikutnya. Jadi, tanaman yang akan menopang hidup keseharian,
pada hakikatnya, konservasi sumber daya alam bukan semata-mata untuk mencapai tujuan yang
bukan hanya pelestarian dan perlindungan, tetapi lebih besar, misalnya memperkaya diri dan
juga pemanfaatannya secara bijaksana, baik secara keluarganya. Pembakaran itu dilakukan karena
ekonomis, estetis maupun etis.4 kegiatan peladangan di tempat itu sebelumnya
Asas konservasi sumber daya alam hayati telah melewati jangka waktu cukup lama, yang
dan ekosistemnya tentu identik dengan pelestarian ditandai oleh tanda yang disengaja diletakkan pada
kemampuan lingkungan. Kemampuan lingkungan tempat itu, yang dibuatnya sebelum dan sesudah
yang serasi dan seimbang harus dikaitkan dan pembakaran, maupun tanda kehidupan makhluk
diartikan dengan melestarikan (melanggengkan yang berdiam kembali di sana.
dan tidak mengubah) kemampuan lingkungan.5 Artinya, perusak hutan pada umumnya
Karena itu, setiap perubahan yang merupakan bukan warga masyarakat Wana, yang dalam
konsekuensi dari proses pembangunan, selalu kesehariannya sangat mencintai lingkungan, baik
diupayakan untuk meniadakan atau mengurangi karena kehidupan mereka sangat bergantung
dampak negatifnya, agar keadaan lingkungan pada lingkungan maupun karena tanggung jawab
menjadi serasi dan seimbang pada tingkatan baru. pada leluhur, yang mengisyaratkan lingkungan
Pentingnya modal sosio-kultural, berupa hidup utamanya berupa hutan harus terus dijaga
kearifan lokal, dalam partisipasi masyarakat lokal kelestariannya. Menuduh masyarakat penghuni
untuk konservasi hutan kemasyarakatan sangat hutan yang sudah turun-temurun mendiami
menarik dan bisa dikaji secara lebih mendalam tempat itu sebagai penyebab terbakarnya hutan

4
St. Munadjat Danusaputro, 1985, Hukum Lingkungan, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 113.
5
Koesnadi Hardjosoemantri, 1993, Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 76.
322 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

di area yang luas, jelas bertentangan dengan religio-magis dalam berhubungan dengan alam,
kenyataan yang sebenarnya dan dirasa kurang khususnya dalam melindungi kelestarian alam.
memahami keterkaitan masyarakat adat penghuni Pikiran tradisional semacam itu biasanya akan
sekitar hutan dan lingkungannya, khususnya hutan diliputi unsur kepercayaan kepada makhluk
sekeliling masyarakat tersebut. halus, roh dan hantu yang menempati seluruh
Kedua, pada masyarakat adat Wana, hubung- alam semesta dan aneka gejala alam, tumbuh-
an dengan lingkungan menjadi sesuatu yang tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-
sangat penting, yang dibina sejak awal kehidup- benda. Mereka juga percaya pada benda dengan
annya, bahkan sejak awal kehidupan masyarakat- kekuatan sakti yang meliputi alam semesta ini
nya. Mereka merasakan bahwa lingkungan se- dan khususnya yang terdapat pada berbagai
kitarnya adalah tempat menggantungkan segala peristiwa yang luar biasa. Kekuatan sakti yang
kehidupan karena dari alam lingkungan itu mereka pasif dalam benda-benda itu digunakan sebagai
memperoleh sumber kehidupan, dimakamkan kekuatan magis dalam pembentukan ilmu gaib
dan tempat kediaman arwah nenek moyang untuk mencapai kemauan manusia atau menolak
pelindungnya. Mereka menjaga lingkungan bahaya gaib. Akhirnya, mereka juga berpandangan
dengan pedoman pada pandangan hidup yang bahwa kelebihan kekuatan sakti di alam dapat
bersumber dari petuah para leluhur pendahulu, menyebabkan timbulnya bahaya gaib yang hanya
dan dengan pengalaman hidupnya sendiri yang dapat dihindari dengan berbagai pantangan.
berkaitan dengan lingkungannya. Banyak pola Pandangan-pandangan ini pada gilirannya mem-
hidup dan tradisi dikembangkan masyarakat dengan berikan kontribusi pada pencegahan penebangan
kearifan lokal masing-masing untuk melindungi liar di hutan-hutan kemasyarakatan yang umum-
keberlanjutan hidup lingkungannya. Dalam nya masih alami.
menjaga kelestarian hutan itu, seringkali dijumpai Berdasarkan uraian latar belakang dan
pula adanya kearifan ekologi yang diselubungi identifikasi masalah di atas, empat rumusan
oleh mistik atau tahayul, misalnya adanya kolam masalah dapat ditetapkan sebagai pedoman dalam
yang ikannya tidak boleh ditangkap, apalagi pelaksanaan penelitian. Keempat pertanyaan
dimakan, atau tempat tertentu seperti hutan yang itu adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana
tidak boleh dimasuki, apalagi menebang pohon praktik kearifan lokal masyarakat Wana dalam
yang tumbuh di sana. Tindakan yang melanggar memanfaatkan komoditas hutan dan partisipasi
hal ini dikatakan dapat berakibat membahayakan kultural berbasis kearifan lokal itu dalam upaya
hidup dan kehidupannya. melestarikan hutan di sekitarnya? (2) Apakah
Pengeramatan tersebut dinilai tidak logis faktor yang mempengaruhi partisipasi kultural
oleh sejumlah pihak, tetapi jika dikaitkan dengan berbasis kearifan lokal masyarakat Wana dalam
upaya perlindungan sumber daya alam tertentu, mengkonservasi hutan serta bagaimana keeratan
perannya sangat besar. Dengan pengeramatan itu, hubungan di antara faktor-faktor tersebut? (3)
ikan, satwa, pohon dan tumbuhan lainnya yang Bagaimana pengaruh dari partisipasi kultural
menjadi penghuni sungai atau hutan itu aman berbasis kearifan lokal oleh masyarakat Wana
dari penangkapan, pemburuan dan penebangan. terhadap pelaksanaan fungsi hutan dan fungsi
Setiap pelanggaran akan dinilai masyarakat komoditas dalam konservasi hutan serta
sebagai merusak tatanan adat yang mereka ikuti pengaruh eksternal dalam pemanfaatan hutan di
sepanjang hidup, sehingga perlu diberikan sanksi. sekitarnya pada masa sekarang? (4) Bagaimana
Dalam banyak aspek, pelestarian lingkungan strategi partisipatif berbasis kearifan lokal
itu terselubungi mistik dan tahayul. Artinya, yang dikembangkan masyarakat Wana untuk
masyarakat lokal cenderung memakai pikiran keberlanjutan pelaksanaan fungsi hutan dan fungsi
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 323

komoditas dalam konservasi hutan di masa yang fungsi hutan dan komoditas hutan di masa sekarang
akan datang? dianalisis dengan teknik analisis regresi berganda,
dan data tentang strategi kebijakan partisipasi
B. Metode Penelitian berbasis kearifan lokal yang dikembangkan
Penelitian ini dilakukan dengan metode masyarakat Wana untuk keberlanjutan fungsi
kuantitatif, yang didukung dengan metode kua- konservasi hutan di masa sekarang dianalisis
litatif, untuk meneliti masyarakat Tau Taa Wana dengan deskriptif kualitatif.
Bulang yang tersebar di tiga kabupaten Provinsi
Sulawesi Tengah, yaitu Kabupaten Tojo Una-Una, C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Banggai dan Morowali. Daerah penelitian ini 1. Praktik Kearifan Lokal Masyarakat
ditetapkan dengan metode pengambilan sampel Wana
terarah (purposive sampling method) berdasarkan Secara umum bisa dikatakan bahwa masya-
kondisi sosial-ekonomi penduduk, yaitu satu rakat Wana di Sulawesi Tengah adalah masyarakat
daerah kampung (Lipu Mpoa) yang mewakili yang relatif subsisten dan menerapkan tradisi
kondisi sosial-ekonomi yang relatif maju dan kearifan lokalnya untuk menjalani kehidupan
enam daerah lain (Lipu Keblenga, Lipu Ueveyao, sehari-hari tanpa banyak bergantung kepada
Lipu Sabado, Lipu Vatutana, Lipu Ratuvoli, Lipu eksistensi dari masyarakat luar.
Partambung) mewakili kondisi sosial yang kurang Salah satu wujud kearifan lokal yang
maju atau masih terasing. Metode ini dipilih agar diterapkan oleh masyarakat Wana adalah dalam
mendapatkan lokasi yang dihuni suku terasing praktik penggunaan produk hutan sebagai salah
Tau Taa Wana Bulang. Jadi, Kabupaten Banggai satu sumber penghidupan dan upaya mereka
diwakili oleh Lipu Mpoa dan Lipu Ueveyao, untuk melestarikannya melalui tingkah laku
Kabupaten Morowali diwakili oleh Lipu Keblenga sosial berbasis adat. Dalam konteks itu, perlakuan
dan Lipu Sabado, sementara Kabupaten Tojo Una- mereka terhadap tanah dan pepohonan di hutan
Una diwakili oleh Lipu Vatutana, Lipu Ratuvoli, benar-benar terlihat sangat sarat dengan makna
dan Lipu Partambung. hutan sebagai orang tua dan sebagai tempat
Data yang digunakan adalah data primer keramat. Prosesi pengolahan hutan dipersyarat-
yang diperoleh lewat penyebaran kuesioner dan kan dengan berbagai ritual adat masyarakat
wawancara mendalam, dan data sekunder yang Wana.
diperoleh dengan teknik dokumenter. Data tentang Berdasarkan hasil penelitian lapangan, dapat
praktik kearifan lokal di masyarakat Wana dalam diketahui bahwa setidaknya ada beberapa bentuk
penggunaan hasil hutan serta partisipasi kultural- praktik ritual yang dijalankan oleh masyarakat
nya dalam mengelola hutan serta pemanfaatan Wana selama ini dalam kerangka pelestarian
hasil hutan berdasarkan kearifan lokalnya hutan dan lingkungan sekitarnya. Praktik ritual
dianalisis dengan teknik analisis deskriptif. Data itu adalah ritual manziman tana, mompoyoni,
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi monovo, monunju, monguyu sua, mpopondoa
partisipasi kultural dari masyarakat Wana dalam sua, ra’a pakuli, panto’o, palampa tuvu, kapongo
melestarikan hutan, yaitu umur, pendidikan, luas tumpulana, mangapaka roso lipu, nunju, runja,
lahan, pendapatan, pengalaman, pengetahuan dan polobian dengan penjelasan sebagai berikut:
hutan, pengalaman konservasi, wawasan, sikap Pertama, Manziman Tana, yaitu sebuah ritual
dan motivasi, serta kearifan lokal dianalisis dengan permohonan izin pada Sang Penguasa Tanah
teknik analisis regresi berganda. Data mengenai (Lamba Jadi), Sang Penguasa Mata Air (Malindu
pengaruh partisipasi kultural berbasis kearifan Maya), dan Sang Penguasa Muara (Malindu
lokal masyarakat Wana terhadap pelaksanaan Oyo) apabila warga masyarakat ingin membuka
324 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

lahan baru supaya lahan yang ditanami dapat sesajian untuk mendapat jalan keluar dari masalah
memberikan hasil yang baik sesuai dengan dan kesulitan itu. Dalam bahasa mereka, ritual
harapan. Ritual ini dijalankan supaya pembukaan atau kapongo itu ditujukan kepada tanah, air, kayu
lahan baru tersebut tidak menimbulkan dampak dan pohon agar segala kesulitan teratasi. Dengan
buruk di masa yang akan datang, baik bagi ritual ini, masyarakat Wana menjadi lebih ber-
masyarakat Wana sendiri maupun terhadap hutan sikap hati-hati dalam memperlakukan hutan dan
yang ada di sana secara keseluruhan. Ritual ini praktik ini memiliki pengaruh positif terhadap
menunjukkan sikap hati-hati di masyarakat Wana kelestarian hutan masyarakat Wana.
terhadap segala bentuk perusakan alam, karena Ketiga, Monovo, yaitu sebuah ritual mene-
dari pengalaman sebelumnya diyakini bahwa bang kayu yang ada di areal navu, yang akan
pembukaan hutan yang tidak didahului dengan dibuka menjadi areal pertanian agar diberi izin
ritual permohonan izin yang memadai kepada oleh penguasa alam. Ritual ini diadakan secara
roh-roh keramat cenderung akan menimbulkan khusus untuk membuka lahan yang dilakukan
dampak negatif berupa kerusakan hutan atau secara masal atau kolektif karena lahan yang
bencana bagi masyarakat Wana sendiri. bersangkutan akan digunakan secara kolektif
Kedua, Mompoyoni, yaitu sebuah ritual sebagai area pertanian. Ritual ini dilakukan
memindahkan nyawa atau penjaga atau penghuni karena Ketua Adat mengetahui betul bahwa setiap
pohon kepada pohon yang lainnya yang tidak wilayah di dalam hutan mempunyai penunggu-
ditebang. Biasanya ritual ini khusus pada kayu- nya masing-masing. Ritual ini juga dilakukan
kayu yang besar. Ritual ini menunjukkan bahwa sebagai wujud riil permintaan izin kepada Sang
masyarakat Wana meyakini betul bahwa ada roh- Penguasa Alam, khususnya di area pertanian
roh penguasa alam yang bersemayam di dalam tersebut, supaya lahan yang akan dikelola nantinya
kayu-kayu besar sebagai penunggu selama ini, bisa memberikan hasil yang maksimal, tidak
yang akan mengganggu kehidupan masyarakat menimbulkan malapetaka bagi masyarakat Wana
Wana apabila roh-roh itu sampai merasa dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
terganggu. Karena tahu bahwa kayu-kayu besar Wana secara keseluruhan. Tak mudah melakukan
tertentu memiliki penunggunya masing-masing, ritual ini karena harus dipimpin oleh Ketua Adat,
maka tidak ada warga masyarakat Wana berani dan karena itu tanpa izin dari Ketua Adat, maka
menebang pohon-pohon besar yang bersangkutan tidak akan terjadi penebangan liar di tengah hutan
dengan cara sembarangan. Karena itu, sesepuh masyarakat Wana. Hal ini tentu berpengaruh
adat selama ini sudah menetapkan ritual khusus positif terhadap kelestarian hutan di sana dengan
untuk menyikapi roh-roh penunggu kayu-kayu kondisi yang baik dari generasi ke generasi.
besar tersebut. Cara yang dilakukannya adalah Keempat, Monunju, yaitu sebuah ritual
dengan memindahkan penunggu dari kayu yang membakar tebangan dengan melakukan ritual
akan ditebang menuju pohon lain yang juga besar atau kapongo berupa memberikan persembahan
dan dirasa akan cocok bagi roh penunggu yang sesajian kepada Lamba Jadi untuk memindahkan
dipindahkan tersebut. Kewajiban masyarakat bala mereka dari daerah terseb7ut hingga mereka
Wana untuk melakukan ritual setiap kali akan akan terbang mengikuti asap. Ritual ini menjadi
menebang pohon juga menjadi tanda pamit simbol yang ditunjukkan oleh masyarakat Wana
atau minta izin kepada Tuhan (Pue). Jadi, dapat bahwa roh-roh penunggu kayu-kayu atau pohon-
disimpulkan bahwa semua kesulitan, baik masalah pohon besar atau area tertentu di dalam hutan
maupun bencana selalu dilakukan secara ritual. pada dasarnya dapat berpindah dari satu tempat ke
Jadi, masalah yang tidak terselesaikan masyarakat tempat lain asalkan ada ritual yang mengiringinya.
Wana dilakukan secara ritual (kapongo) dengan Dengan kearifan lokalnya, masyarakat Wana
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 325

memahami bahwa roh-roh itu, baik penguasa ritual memberikan giliran kepada roh-roh leluhur
maupun bala tentaranya, bisa pindah ke tempat lain (Rate-Rate) untuk memberikan kekuatan hidup
dengan tanpa gangguan bersama dengan asap yang kepada pohon dan padi (pae). Rentang waktu
diadakan bersama lewat ritual yang dilakukan. Mpopondoa Sua ini selama 3 hari, dan dalam
Karena itu, masyarakat Wana melakukan ritual masa itu diadakan Mentivung berupa ritual
membakar kayu atau ranting tebangan sebagai upacara Nyepi. Semua aktivitas di lahan kelola
wujud persembahan kepada Penguasa Alam (navu) dihentikan dan alat-alat yang dipergunakan
(Lamba Jadi) agar mereka rela meninggalkan untuk mengolah ladang dikumpulkan jadi satu dan
area yang akan dijadikan oleh masyarakat sebagai diistirahatkan, setelah dipoles darah ayam. Ritual
lahan garapan atau tempat tinggal baru. Ritual ini ini diadakan untuk memberi setiap tanaman yang
menunjukkan kepada generasi muda masyarakat telah ditanam di area pertanian baru kekuatan
Wana bahwa penebangan liar tidak diperbolehkan roh yang nantinya akan menjadi penunggunya
karena cenderung akan menimbulkan malapetaka di kelak kemudian hari. Tanaman yang baru
apabila Penguasa Alam (Lamba Jadi) sampai ditanam harus dibiarkan selama tiga hari, begitu
merasa terganggu. Ritual ini, secara langsung atau pula dengan berbagai peralatan yang digunakan
tidak, menimbulkan pengaruh positif terhadap dalam proses penanaman itu. Dalam prosesi
praktik pengelolaan hutan dari waktu ke waktu. Nyepi selama tiga hari ini, semua peralatan
Kelima, Monguyu Sua, yaitu sebuah ritual yang digunakan untuk mengolah lahan dipolesi
penanaman pertama, yang dipimpin oleh Waro- dengan darah, sebagai simbol bahwa masyarakat
tanah dengan melakukan sesajian (kapongo), Wana menyadari bahwa darah merupakan simbol
meminta berkat kepada Bintang Tiga (Betue Togo) kehidupan yang dapat menjadi sarana penting
dan Bintang Tujuh (Betue Pitu) supaya dapat untuk memanggil roh-roh yang berkeliaran di
memberi hasil yang baik. Dalam penanaman hutan untuk hadir dan dapat merasuki tanaman-
pertama ini, beberapa jenis pohon ditanam di tanaman yang baru ditanam. Dengan sesaji yang
tengah-tengah navu bersama beberapa padi. telah diberikan, masyarakat Wana berharap roh-
Kemudian pada empat sudutnya, beberapa roh penunggu tanaman-tanaman baru tersebut
pohon ditanami juga sebagai tanda bahwa tanah akan memberikan energi baru sehingga nantinya
tersebut sudah digarap. Ritual ini dilakukan untuk dapat memberikan hasil panen yang baik, yang
memperoleh hasil yang baik dalam setiap siklus pada gilirannya dapat memberikan kesejahteraan
penanaman, karena masyarakat Wana yakin bahwa dan kemakmuran bagi masyarakat Wana secara
hasil yang baik diberikan Penguasa Alam di area keseluruhan.
pertanian yang digarap. Karena itu, Ketua Adat, Ketujuh, Ra’a Pakuli, yaitu ritual
dengan kearifan lokalnya, mewajibkan masyarakat pengobatan padi (pae) dan pohon yang gagal.
Wana untuk selalu mengadakan sesajian ketika Pada saat berlangsung upacara pengobatan tidak
melakukan prosesi penanaman pertama di area diperbolehkan ribut. Hal ini biasanya berlaku
pertanian yang digarap. Perhatian yang diberikan hingga tiga hari. Setelah pengobatan, padi dan
Masyarakat Wana terhadap prosesi ini sangat pohon kembali ditanam. Dengan pengalaman
positif terhadap praktik pengelolaan hutan di selama ini, masyarakat Wana sangat paham
sekitarnya karena hampir setiap tahap dalam bahwa pada awal penanaman, tidak menutup
proses pencapaian hasil panen yang baik selalu kemungkinan benih-benih yang ditanam ada yang
didahului dengan ritual yang baik, baik sejak mati atau gagal tumbuh dengan baik. Karena
membuka lahan maupun ketika akan menanami- itu, masyarakat perlu melakukan antisipasi agar
nya untuk pertama kali. tanaman yang ditanam itu dapat hidup dan tumbuh
Keenam, Mpopondoa Sua, yaitu sebuah dengan subur. Ritual ini menunjukkan bahwa
326 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

masyarakat Wana harus mengantisipasi kegagalan ternyata praktik pembukaan lahan di hutan untuk
tanam dengan melakukan ritual Nyepi sambil area pertanian tidak dapat dilakukan sembarang-
memperhatikan bagaimana pertumbuhan awal an, melainkan harus dengan izin dari apa yang
tanaman yang mereka tanam. Jika ada yang sakit, disebut Worotana. Jika tanpa izin dari Worotana,
maka tanaman itu perlu diobati, dan jika ada yang tidak ada jaminan penanaman di area pertanian itu
mati atau rusak, maka tanaman itu perlu diganti. akan menghasilkan panen yang baik.
Ritual ini menjadi simbol penting dari perhatian Kesembilan, Palampa Tuvu, yaitu sebuah
masyarakat Wana terhadap apa yang disebut ritual untuk dapat menolak bahaya yang akan
kehidupan dari alam di sekitarnya, baik berupa datang. Pada umumnya, ritual ini dilakukan di
alam hutan maupun alam buatan yang diciptakan Banua Bae bila ada tempat yang dicurigai akan
melalui penanaman benih-benih di area pertanian terjadi bencana dan juga apabila ada pihak luar
yang digarapnya. Dengan ritual ini, masyarakat yang ingin mengganggu hutan masyarakat Wana
Wana dapat menjamin bahwa tanaman yang dengan menebang pohon sembarangan atau
mereka tanam akan hidup dengan subur. pemerintah yang ingin menguasai tanah adat,
Kedelapan, Ritual Panto’o, yaitu sebuah dengan cara memindahkan masyarakat Wana
ritual pemberian ucapan terima kasih kepada ke tempat lain (resettlement). Apabila dikaitkan
seluruh kekuatan supranatural yang sudah dengan pelestarian lingkungan, ritual ini sangat
memberi kekuatan hidup kepada tanaman dan berkaitan dengan pelestarian lingkungan, karena
pohon mereka. Dalam Panto’o ini, segala bahan mengurungkan niat orang yang mempunyai niat
yang akan digunakan dalam pesta (para’a) jahat. Biasanya ritual ini juga dilakukan untuk
didoakan. Masyarakat Wana yang berhasil dengan pengobatan selama tiga hari ketika ada tempat
baik dalam panen tanaman dan pepohonan coklat atau daerah sedang dilanda bencana wabah
serta kopi wajib mengundang worotana (ahli penyakit atau tanaman diserang hama. Biasanya
melihat lokasi lahan yang baik) dan lipu-lipu dilanjutkan dengan upacara Panto’o untuk
lain untuk bersama-sama melakukan panto’o dan memanjatkan syukur karena bencana tidak terjadi
para’a (pesta syukur). Ritual ini sengaja diadakan dan Tuhan (Pue) akhirnya memberi kesembuhan
oleh masyarakat Wana untuk mensyukuri semua dari penyakit. Ritual dilakukan untuk melindungi
jenis kebaikan yang diterima dari keberhasilan masyarakat Wana dari marabahaya yang mungkin
penanaman benih-benih tanaman di area pertanian akan menimpa mereka, dan bila marabahaya itu
yang mereka garap. Rasa syukur diwujudkan dapat terhindarkan, mereka juga akan segera
dengan pengadaan ritual penyampaian ucapan melakukan ritual syukur kepada Tuhan karena
terima kasih kepada Sang Penguasa Alam karena akhirnya mereka dibebaskan dari bahaya tersebut.
telah memberikan kekuatan hidup pada tanaman- Ritual ini sangat positif bagi pelestarian alam
tanaman yang telah mereka tanam sampai hutan masyarakat Wana karena hampir semua
akhirnya bisa memberikan hasil panen yang baik. kejadian buruk yang menimpa mereka selalu
Dalam hubungannya dengan sesama manusia, dialihkan, kepada kesadaran bahwa semua itu
keberhasilan penanaman di area pertanian yang merupakan pemberian Tuhan dan karena itu
digarap tersebut mendorong mereka untuk mereka perlu sering melakukan ritual agar mereka
berterima kasih pula kepada Worotana, yaitu orang dapat terhindar dari bencana di lingkungan hutan
yang sangat dihormati di masyarakat Wana karena sekitarnya. Kehati-hatian membuat masyarakat
dianggap ahli dalam menentukan lokasi-lokasi Wana menjadi lebih peduli pada hal-hal buruk
yang paling baik untuk dijadikan sebagai area yang menimpa hutan di sekitar mereka dan mereka
pertanian. Hal ini sangat positif bagi pelestarian akan segera memperbaiki kondisi buruk di hutan
hutan di lingkungan masyarakat Wana, karena tersebut bila bahaya diyakini akan segera me-
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 327

nimpa mereka akibat keburukan tersebut. memiliki kepentingannya sendiri dan tidak mau
Kesepuluh, Kapongo Tumputana, yaitu berbagi area hutan dengan manusia. Ketua Adat
sebuah ritual adat untuk memohon izin atas tanah sebagai orang yang dituakan di dalam masyarakat
yang akan diolah agar tidak diganggu dan panen Wana merasa harus ada ritual khusus yang
bisa berhasil. Ketua Adat di masyarakat Wana diadakan untuk mengusir roh-roh yang memang
selama ini menekankan perlunya memohon izin selama ini terbukti bersikap jahat pada manusia,
kepada Penguasa Alam supaya mereka diberi khususnya warga masyarakat Wana itu sendiri.
kemudahan dalam membuka lahan hutan baru Pengusiran roh-roh ini bukan berarti Ketua Adat
untuk dijadikan sebagai area pertanian. Tujuan tidak menjalin harmoni dengan roh-roh penguasa
utamanya adalah agar mereka tidak sampai alam, melainkan ia menunjukkan sikap keras pada
diganggu oleh roh-roh penunggu yang tidak para penguasa alam yang jahat bahwa masyarakat
menyukai aktivitas pertanian di lahan hutan yang Wana sudah memiliki sikap baik dalam menjaga
baru mereka buka. Ritual ini dilakukan dengan dan memanfaatkan hutan dan tidak ada alasan
sungguh-sungguh supaya tanaman yang telah bagi mereka untuk mengganggu masyarakat
ditanam di area pertanian baru tersebut bisa Wana. Bahkan, dalam setiap prosesi penanaman
tumbuh dengan baik dan pada akhirnya dapat tanaman baru di area pertanian yang baru dibuka,
memberikan hasil panen yang baik dan melimpah masyarakat Wana sudah melakukan ritual dengan
kepada masyarakat Wana secara keseluruhan. memberikan sesaji secara memadai. Karena
Kesebelas, Mangapaka Roso Lipu, yaitu itu, jika tetap saja ada roh-roh jahat yang akan
sebuah ritual menguatkan lipu untuk menjaga agar mengganggu masyarakat Wana, maka Ketua Adat
hutan tetap lestari dan tidak dirusak oleh pihak perlu mengusirnya dengan ritual khusus seperti
luar atau orang yang berkepentingan terhadap Nunju.
hutan tersebut (misalnya, mengambil kayu). Jenis Ketiga belas, Ranja, yaitu ritual yang
ritual ini sengaja diadakan untuk memperkuat aura dilakukan untuk mengusir/memindahkan wabah
perlindungan hutan di lingkungan masyarakat yang terjadi pada masyarakat dan tanaman atau
Wana agar pohon-pohon yang ada di hutan tersebut pepohonan. Ritual seperti ini hanya dilaksanakan
bisa selamat dari gangguan pihak luar yang apabila ada warga masyarakat atau tanaman
berkepentingan dan umumnya tidak bertanggung atau pepohonan di sekitarnya mengalami wabah
jawab. Ritual pemberi aura penguat kampung yang membahayakan. Ritual ini dilakukan untuk
sangat mendukung pelestarian hutan masyarakat melakukan pengusiran atau pemindahan wabah
Wana karena dengan kepekaan yang dimiliki oleh dari seseorang atau suatu tanaman atau suatu
masyarakat Wana, maka hampir semua gejala pohon ke benda-benda lain yang dapat menerima-
perusakan hutan, walau dalam bentuk sekecil apa nya. Ritual ini merupakan wujud perhatian
pun, relatif dapat dicegah melalui pertanda gaib masyarakat di lingkungan hutan untuk selalu
yang membuat pihak luar yang ingin merusak melindungi tanaman atau pepohonan yang ada
hutan menjadi beralih dan mengurungkan niat di hutan dan dapat memberikan kesejahteraan
buruknya. hidup kepadanya. Ritual ini sangat baik untuk
Kedua belas, Nunju, yaitu sebuah ritual pelestarian hutan dan lahan-lahan pertanian sempit
mengusir roh jahat, yang sering mengganggu yang baru dibuka. Dengan ritual ini, tanaman atau
masyarakat dalam mengelola hutan. Ritual pepohonan yang hampir mati akibat dilukai untuk
ini sengaja dilakukan karena masyarakat kepentingan manusia relatif dapat diselamatkan
Wana menyadari bahwa tidak semua roh yang melalui ritual pengusir roh tersebut.
bersemayam di tengah hutan adalah roh-roh Keempat belas, Polobian, ritual ini bertujuan
penguasa alam yang baik. Ada saja roh-roh yang untuk melihat lokasi lahan yang akan ditanam
328 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

melalui sebuah kayu yang panjangnya se depa disi. Karena menurut pandangan masyarakat
selanjutnya diberikan ritual dengan cara digosok- Wana bahwa kearifan lokal tersebut merupakan
gosok atau diusap-usap dengan tangan terhadap perpaduan antara nilai-nilai suci dari Tuhan
kayu tersebut selama tiga hari apabila kayu dengan berbagai nilai yang ada. Oleh karena
tersebut berubah panjang atau bertambah panjang itu, kearifan lokal sebagai produk budaya masa
satu sentimeter maka lahan tersebut cocok untuk lalu yang patut secara terus menerus dijadikan
ditanami dan apabila tidak bertambah panjang pegangan hidup. Hasil penelitian ini menunjuk-
maka lahan tersebut tidak cocok untuk digarap atau kan bahwa masyarakat lokal Tau Taa Wana Bulang
ditanami, karena menurut pandangan masyarakat memiliki kearifan lokal yang mengedepankan
Wana dilarang oleh Tuhan (Pue) atau penunggu prinsip keseimbangan dan keberlanjutan hutan,
hutan tersebut. Umumnya masyarakat Wana yang dapat mendorong warganya terlibat secara
melakukan Ritual Polobian yaitu ritual untuk sukarela dan kolektif dalam melestarikan hutan
melihat lahan yang akan diolah, maksud ritual kemasyarakatan di sekitarnya.
bahwa untuk mendapat persetujuan Tuhan (Pue) Dalam ritual adat tersebut biasanya
agar tanaman berhasil. Ritual Polobian kaitannya dipersyaratkan diberikan sesajian (Kapongo),
dengan pelestarian lingkungan sangat besar disertai doa pujian (Panto’o) kepada Tuhan
pengaruhnya karena dalam membuka lahan sangat (Pue), penguasa tanah (Lamba Jadi), Penguasa
berhati-hati. Selanjutnya dengan ritual tersebut Mata Air (Malindu Maya), dan Penguasa Muara
juga masyarakat tidak seenaknya membuka (Malindu Oyo), serta Arwah Leluhur (Rate dan
lahan tanpa izin dari Worotana sebagai penguasa Walia). Ritual yang dilakukan itu biasanya juga
tanah dan sebagai pelaksana ritual Polobian. dilengkapi dengan unsur kesenian, terutama balas
Kaitannya dengan pelestarian lingkungan adalah pantun (kayori), tarian lingkar (tandebomba) dan
dalam membuka lahan sangat berhati-hati serta tari perang (momose) yang diiringi alat musik
masyarakat tidak seenaknya membuka lahan. tradisional, yakni geso-geso dan due (gesek), telalo
Biasanya, sebelum ritual adat dilaksanakan, dan telali (tiup), serta gimba dan goo (pukul).
pertemuan adat diadakan di rumah besar Tingkat penggunaan kearifan lokal masya-
(Banua Bae) di Lipu Mpoa. Bahan ritual adalah rakat Wana dalam mengkonservasi hutan
tembakau, sirih, garam, kapur, pinang. Biasanya masuk kategori tinggi, dijawab oleh 92,7 persen
juga dilengkapi dengan baru, sarung, pakaian, responden masih memegang teguh kearifan lokal
gong, gendang, kemangi, pinang, sirih, kapur sebagai aturan adat yang dipatuhi warga adat di
sirih, damar. Proses ritual adalah sebagai pertama- masyarakat Wana karena hampir semua aspek
pertama adanya bunyi gendang untuk meng- kehidupan masyarakat Wana saat ini diatur oleh
undang, selanjutnya ba-gone-gone (membaca adat, khususnya yang terkait dengan kearifan
mantra-mantra) untuk mengundang makhluk lokalnya. Keadaan ini merupakan akibat dari
halus atau makhluk gaib, lalu setelah makhluk sangat kuatnya mereka memegang adat dan
gaib datang dilakukan Ritual Panto’o yang lalu melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab.
disertai dengan melakukan doa pujian, kemudian
diikuti dengan balas pantun (kayori), tarian 2. Praktik Partisipasi Kultural dalam Kon-
lingkar (tende bomba), dan akhirnya tarian perang servasi Hutan dan Faktor-Faktor yang
(momose). Mempengaruhi
Adanya pelaksanaan ritual secara terus Hasil penelitian ini menunjukkan praktik
menerus yang dilakukan oleh masyarakat Wana partisipasi kultural masyarakat Wana terwujud
menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat di dalam sejumlah upacara tradisional yang
Wana merupakan kebenaran yang telah mentra- secara langsung atau tidak langsung berdampak
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 329

pada pelestarian hutan di sekitarnya. Partisipasi motivasi mengkonservasi hutan, serta kearifan
kultural ini menunjukkan praktik positif terhadap lokal maka semakin tinggi pula partisipasi kultural
pemanfaatan hasil hutan yang mempertimbang- masyarakat Wana dalam pelestarian hutan, kecuali
kan prinsip konservasi hutan beberapa diantara pendidikan dan pendapatan tidak signifikan. Jadi,
teknik partisipasi yang dilakukan masyarakat pengaruh sebelas faktor terhadap partisipasi
Wana dalam mengkonservasi hutan berbasis kultural masyarakat itu adalah 92,1%, sementara
kearifan lokalnya adalah: (a) fasilitas pertumbuh- 7,9% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
an hutan; (b) penciptaan cadangan benih spesies tercakup dalam penelitian ini.
berbeda-beda; (c) karakteristik dan akomodasi
banyak nilai hutan; (d) perencanaan pengelolaan 3. Pengaruh Partisipasi Kultural dalam Kon-
hutan, terkait dengan penggunaan lahan; (e) servasi Hutan serta Pengaruh Eksternal
integrasi ke dalam manajemen hukum nasional; dalam Pemanfaatan Hutan
dan (f) kerjasama aktif dengan pihak peduli Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
konservasi. pengaruh praktik partisipasi kultural masyarakat
Dilandasi dengan praktik kearifan lokal, Wana terwujud di dalam sejumlah upacara
teknik partisipasi dan pola pemanfaatan seimbang tradisional yang secara langsung atau tidak
sebagaimana disimpulkan di atas, praktik partisi- langsung berdampak pada pelestarian hutan di
pasi tersebut menghasilkan jenis-jenis partisipasi sekitarnya. Partisipasi kultural itu berpengaruh
kultural yang memiliki dampak positif terhadap positif terhadap pemanfaatan hasil hutan yang
pemeliharaan fungsi hutan maupun komoditas mempertimbangkan prinsip konservasi hutan.
hutan, antara lain: (a) penciptaan sistem religi Beberapa di antara pengaruh partisipasi terhadap
(ritual); (b) pengutamaan lembaga adat; (c) konservasi hutan yang dilakukan masyarakat
sosialisasi kepatuhan pada adat; (d) pengeramatan Wana dalam mengkonservasi hutan berbasis
tempat tertentu; (e) penekanan aspek tabu; (f) kearifan lokalnya adalah pengaruh terhadap
larangan perambahan hutan liar; dan (g) aksi fungsi orologis hutan, fungsi hidrologis hutan,
kolektif dari seluruh warga. fungsi plasma nutfah hutan, fungsi jasa,
Hasil analisis regresi berganda menunjuk- komoditas kayu, obat-obatan, kebutuhan lahan
kan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertanian, perdagangan dan produk hutan,
partisipasi kultural masyarakat Wana dalam berdasarkan perhitungan analisis regresi berganda
mengkonservasi hutan antara lain umur, menunjukkan seluruhnya mempunyai hubungan
pendidikan, luas lahan, pendapatan, pengalaman, yang signifikan.
pengetahuan hutan, pengalaman konservasi, Pengaruh praktik ritual itu dilakukan untuk
wawasan pengelolaan hutan, sikap terhadap mengimbangi pola pemanfaatan hutan, yang
konservasi, dan motivasi dalam mengkonservasi didasarkan pada prinsip subsistensi (sesuai dengan
hutan, serta kearifan lokal. Faktor tersebut telah kebutuhan), sesuai dengan sistem tebang dan bakar
terbukti bersama-sama memiliki pengaruh pilih, terbatas pada pengumpulan ranting dan
signifikan terhadap partisipasi kultural berbasis- kayu mati, tidak lalai pada kebutuhan tetangga,
kearifan lokal di masyarakat Wana (R2 = 0,92). sesuai dengan keputusan mayoritas dimana semua
Keeratan hubungan antar faktor yang mem- penduduk desa menjadi penentu, sesuai dengan
pengaruhi partisipasi itu termasuk tinggi. Artinya, ketersediaan sumberdaya hutan, menerapkan
semakin tinggi nilai faktor umur, pendidikan, luas prinsip keberlanjutan/sustainabilitas ekologi dan
lahan, pendapatan, pengalaman, pengetahuan berusaha melakukan konversi menjadi usaha
hutan, pengalaman konservasi, wawasan produktif.
pengelolaan hutan, sikap terhadap konservasi, dan Dampak positif itu ditandai dengan terjadinya
330 MIMBAR HUKUM Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, Halaman 187 - 375

kelestarian hutan dengan kecenderungan bahwa kebakaran; (5) keanekaragaman spesies flora-
semakin tinggi kearifan lokal masyarakat dalam fauna, yaitu kondisi keanekaragaman spesies flora
mengelola lingkungan alamnya, semakin tinggi maupun fauna di kawasan lindung dalam berbagai
partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan. formasi hutan; (6) keterlindungan ekosistem
Hasilnya adalah kelestarian hutan yang ditandai biotik dan abiotik, yaitu kondisi sumber daya air,
dengan indikator-indikator: (1) pengelolaan hutan tanah, ekosistem dan lanskap unik yang masih
lestari; (2) pengendalian kerusakan hutan; (3) terlindungi dengan baik; dan (7) unit manajemen
keterkendalian pemanenan hutan; (4) perlindungan konservasi adat kolektif, yaitu eksistensi lembaga
kawasan hutan; (5) keanekaragaman spesies flora adat dalam upaya pelestarian hutan di lingkungan
­fauna; (6) keterlindungan ekosistem biotik & sekitarnya.
abiotik; dan (7) unit manajemen konservasi adat
kolektif. D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik
4. Strategi Partisipasi Kultural untuk beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama,
Keberlanjutan Fungsi Pelestarian Hutan masyarakat lokal Wana memiliki kearifan lokal
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang mengedepankan prinsip keseimbangan dan
strategi partisipasi kultural yang selama ini keberlanjutan hutan, yang mendorong warga
dikembangkan masyarakat Wana adalah terlibat secara sukarela dan kolektif dalam
pengembangan sistem religi, pengutamaan melestarikan hutan kemasyarakatan di sekitarnya.
lembaga adat, sosialisasi kepatuhan pada adat, Beberapa di antara teknik partisipasi dan pola
pengeramatan tempat tertentu, penekanan aspek pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat
tabu, larangan perambahan hutan liar, dan aksi Wana dalam mengkonservasi hutan berdasarkan
kolektif semua warga. kearifan lokalnya dapat menghasilkan jenis-jenis
Strategi partisipasi dalam pengembangan partisipasi kultural yang memiliki dampak positif
kearifan lokal adalah: (1) melanjutkan eksistensi terhadap pemeliharaan fungsi hutan maupun
hukum adat pada masyarakat wana; (2) komoditas hutan. Kedua, faktor-faktor yang
bekerjasama dengan pemerintah mengkonservasi mempengaruhi partisipasi kultural masyarakat
hutan; (3) menggunakan kelembagaan adat - Wana dalam mengkonservasi hutan sangat tinggi.
untuk mengelola kerusakan hutan; (4) melindungi Artinya, semakin tinggi nilai dari variabel umur,
hutan dari pembalakan liar; (5) peningkatan pendidikan, luas lahan, pendapatan, pengalaman,
kesejahteraan masyarakat wana dari hutan; (6) pengetahuan hutan, pengalaman konservasi,
melakukan pembinaan/pendampingan pada wawasan pengelolaan hutan, sikap terhadap
masyarakat Wana. Praktik partisipasi kultural itu konservasi, dan motivasi mengkonservasi hutan,
menghasilkan kelestarian hutan yang ditunjukkan serta kearifan lokal maka semakin tinggi pula
oleh tujuh indikator antara lain: (1) pengelolaan partisipasi kultural masyarakat Wana dalam
hutan lestari, yaitu pemanfaatan hasil hutan mengkonservasi hutan. Faktor yang paling
seimbang dan terkendali; (2) pengendalian berpengaruh dalam partisipasi kultural Masya-
kerusakan hutan; (3) keterkendalian pemanenan rakat Wana adalah motivasi, hal ini menunjuk-
hutan, yaitu besarnya proporsi hutan yang masih kan motivasi yang muncul dalam diri seseorang
terlindungi dibanding hutan yang dimanfaatkan, akan mampu mendorong untuk melakukan
baik dilihat dari jumlah, luas, maupun persentase partisipasi.
rata-rata kawasan lindung, (4) Perlindungan Ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan
kawasan hutan yaitu rendahnya intensitas bahwa pengaruh praktik kultural masyarakat
gangguan kawasan lindung termasuk dari bahaya Wana terwujud dalam sejumlah upacara ritual.
Sahlan, Kearifan Lokal Masyarakat Tau Taa Wana Bulang dalam Mengkonservasi Hutan 331

Beberapa diantara pengaruh partisipasi kultural lingkungan alamnya, semakin tinggi partisipasi
yang berdampak positif terhadap konservasi masyarakat dalam konservasi hutan. Keempat,
hutan yang dilakukan masyarakat Wana dalam strategi masyarakat Wana dalam melestarikan
mengkonservasi hutan berbasis kearifan lokalnya dan mempertahankan kearifan lokalnya
adalah fungsi hutan dan komoditas hutan. Dampak adalah melanjutkan eksistensi hukum adat dan
positif itu ditandai dengan terjadinya kelestarian kerjasama dengan pemerintah melestarikan hutan,
hutan dengan kecenderungan bahwa semakin menggunakan kelembagaan adat untuk mengelola
tinggi kearifan lokal masyarakat dalam mengelola kerusakan hutan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku B. Peraturan Perundang-undangan


Danusaputro, St. Munadjat, 1985, Hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Lingkungan, Bina Cipta, Jakarta. Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hardjosoemantri, Koesnadi, 1993, Hukum Per- Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
lindungan Lingkungan: Konservasi Sumber Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Negara Nomor 5059).
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai