Anda di halaman 1dari 9

NAMA : ENGGITA ANGGRAENI OKTA

NIM : 2199016350
MATA KULIAH : HUKUM LINGKUNGAN
KELAS :C

C. Hak dan Kewajiban Berperan Serta

1. Judul Jurnal : Hak, Kewajiban Dan Peran serta (Partisipasi) Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sejak
pengelolaan lingkungan hidup berorientasi pada kepentingan ekonomi atau juga dapat
dikatakan antroposentris, maka akan cenderung pada usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan
yang eksploitatif terhadap lingkungan hidup. Untuk memenuhi kepentingannya, seringkali
manusia cenderung melakukan dosa-dosa terhadap lingkungan hidup. Di sinilah kesadaran
manusia terhadap kelesatrian lingkungan diuji.
Kesadaran manusia terhadap lingkungan akan melahirkan berbagai kebijakan
lingkungan yang berusaha untuk melestarikan sumber daya alam secara global. Pengelolaan
lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas
berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa
Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
diatur dalam UUPLH pada Pasal 7. Masyarakat diberikan kesempatan yang sama dan seluas-
luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan
bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat secara yuridis diberikan hak, kewajiban serta kesempatan untuk berperan
serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup bukanlah tanggung jawab
pemerintah semata-mata, melainkan merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa
dan negara. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 7 UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), diatur tentang hak, kewajiban dan peran serta
masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah seluruh komponen masyarakat termasuk
para pelajar (dari TK sampai Perguruan Tinggi).
Sebagaimana warga masyarakat lainnya, siswa SLTA juga mempunyai hak dan
kewajiban serta kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Para siswa merupakan generasi muda yang harus didik untuk berani menuntut hak-
haknya serta mau memenuhi kewajiban terhadap lingkungan hidup. Peran serta para siswa
dapat diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan potensi mereka untuk mengelaola
lingkungan, setidak-tidaknya pemberdayaan untuk mewujudkan kondisi sekolah yang
berwawasan lingkungan. Guru juga mempunyai posisi stretegis dalam membentuk pribadi
murid yang mencintai lingkungannya. Mereka harus bisa menjadi pelopor dalam pengelolaan
lingkungan hidup, khususnya di sekolah. Melalui kerjasama dengan instansi terkait, seperti
Perhutani, Bappedalda, Dinas Pertanian dan lain-lain masih dimungkinkan para siswa dan
guru untuk membuat area binaan, desa binaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Akhirnya perlu disampaikan bahwa: “ Hanya dalam lingkungan hidup yang optimal manusia
dapat berkembang dengan baik, dan hamya dengan manusia yang baik lingkungan hidup
akan berkembang ke arah yang optimal”.

Link Jurnal : http://eprints.undip.ac.id/5890/1/titi_wahyu.pdf


2. Judul Jurnal : Upaya Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Pembalakan Liar di Indonesia
Hutan adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang dianugerahkan kepada bangsa
Indonesia sebagai sebuah karunia kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri,
karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka
beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejalan dengan
ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional yang mewajibkan
agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan
senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan.
Dari ketentuan tersebut, nampak bahwa Negara menguasai sumber-sumber kekayaan
alam yang terkandung di bumi Indonesia, dan hutan merupakan di antara sumber kekayaan
alam yang dikuasai oleh Negara. Dalam hal penguasaan hutan oleh Negara bahwa Negara
bukan merupakan pemilik dalam arti mutlak, tetapi Negara memberi wewenang kepada
pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hutan, antara orang
dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum
mengenai kehutanan, selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberi izin
dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
Setiap pembangunan akan membawa dampak terhadap perubahan lingkungan terutama
eksploitasi sumber daya hutan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan jelas
akan menimbulkan efek dari perubahan. Perusakan hutan yang berdampak negatif salah
satunya adalah kejahatan pembalakan liar ( illegal loging) yang merupakan kegiatan
unpredictable terhadap kondisi hutan setelah penebangan. Dalam melakukan
pemberantasan atau menangani pembalakan liar ini pemerintah telah membentuk beberapa
kebijakan termasuk beberapa kebijakan atau ketentuan perundang-undangan yang berkaitan
dengan peran serta masyarakat. Dengan semakin meraknya pembalakan liar atau illegal
logging yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga
menimbulkan kerugian baik terhadap Negara maupun terhadap masyarakat maka sejauh
mana pemerintah terutama masyarakat dapat berperan serta dalam menanggulangi atau
memberantas pembalakan liar atau illegal logging. Merusak hutan yang berdampak pada
kerusakan lingkungan adalah merupakan suatu kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 108 BAB XV UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dalam hal pengelolaan hutan saat ini harus diarahkan pada sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sesuai dengan jiwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dimana Negara
menguasai sumber daya alam termasuk hutan yang dimanfaatkan untuk kemakmuran
rakyat.
Kerusakan hutan dan penurunan sumber daya hutan akibat penebangan liar tidak hanya
terjadi di kawasan hutan produksi tetapi sudah masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan
taman nasional serta kawasan konservasi lainnya. Pemerintah menciptakan lingkungan
politik dan hukum serta kebijakan yang kondusif dan transparan, sektor swasta menciptakan
pekerjaan dan pendapatan sedangkan masyarakat (society) berperan positif dalam interaksi
sosial, ekonomi dan politik khususnya dalam mendukung program pembangunan kehutanan.
Diperlukan upaya penegakan hukum secara sinergis oleh berbagai pihak pada semua
tingkatan serta berefek jera dan tidak menimbulkan kecemburuan akibat ketidakadilan,
untuk pengelolaan hutan tersebut harus melibatkan seluruh steakholders yaitu pemerintah,
masyarakat (society) dan sektor swasta atau dunia usaha, komponen tersebut saling
berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing secara gotong royong.
Link Jurnal : https://scholar.archive.org/work/u4vgzu6hoza4hd3aui244oiv5u/access/
wayback/http://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/download/404/pdf
3. Judul Jurnal : Peran Serta Desa Adat Dalam Pengelolaan Sampah Di Kota
Denpasar
Masalah sampah saat ini merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian
dari semua pihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah. Pertambahan jumlah
penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat juga telah meningkatkan
kualitas dan kuantitas jumlah timbulan sampah, jenis, dan keberagaman karakteristik
sampah. Meningkatnya volume sampah tersebut memerlukan pengelolaan sampai sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masalah sampah terjadi karena besarnya timbunan sampah. Besarnya timbunan sampah
yang tidak dapat ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan yang timbul
akibat kurangnya alternatif dan perspektif masyarakat terhadap pengelolaan dan
pemanfaatan sampah, baik langsung maupun tidak langsung.
Penumpukan sampah dengan membuang atau membakarnya secara sembarangan ke
kawasan terbuka akan mengakibatkan pencemaran air, tanah, dan udara. Kondisi ini
diperparah dengan pola hidup masyarakat yang instan serta minimnya pandangan
masyarakat terhadap pola hidup sehat, dan pada paradigma masyarakat yang masih
menganggap sampah sebagai sesuatu yang harus dibuang dan disingkirkan.
Permasalahan seperti yang dijelaskan diatas juga terjadi di kota Denpasar yang
merupakan ibukota dari provinsi Bali yang di kenal dengan pertumbuhan industri baik
dengan sekala besar maupun kecil serta di bidang pariwisatanya. Keadaan tersebut
mendorong kota Denpasar menjadi pusat kegiatan bisnis, pusat perkantoran, dan
menempatkan kota ini sebagai daerah yang memiliki pendapatan per kapita dan
pertumbuhan paling tinggi di provinsi Bali. Keadaan tersebut menyebabkan bertambahnya
volume sampah yang ada di kota Denpasar. Pemerintah kota Denpasar, tampaknya sangat
menyadari kondisi tersebut sehingga dipandang perlu adanya suatu sistem dan peran
pengelolaan sampah dari hulu yaitu pengelolaan yang dilakukan sedekat mungkin dengan
sumbernya, hal ini dilakukan agar pengurangan, penanganan, dan penegakan hukum
terhadap pengelolaan sampah dapat berjalan disatuan terkecil masyarakat secara
desentralisasi. Oleh karena itu dibutuhkannya peran serta desa adat dalam pengelolaan
sampah di kota Denpasar untuk melakukan pengawasan, pembinaan, dan penegakan hukum
melalui pembentukan suatu aturan hukumnya sendiri berupa awig-awig atau perarem untuk
mengatur hak dan kewajiban masyarakat (krama desa, krama tamiu, tamiu, serta badan
usaha yang berada dalam wilayah desa adat tersebut).
Peran serta desa adat dalam pengelolaan sampah di Kota Denpasar belum berjalan
efektif karena 1) Belum semua atau masih sedikitnya keberadaan fasiltas pengelolaan
sampah seperti swakelola sampah, TPST 3R, TPS 3R, dan Bank Sampah yang dimiliki dan
berada dibawah pengelolaan desa adat, 2) Masih rendahnya kesadaran masyarakat kota
Denpasar untuk melakukan pengelolaan sampah dari ruang lingkup keluarga atau rumah
tangga sendiri, 3) Belum semua desa adat yang ada di kota Denpasar memiliki aturan dalam
bentuk awig-awig atau perarem yang secara khusus mengatur hak dan kewajiban
masyarakat (krama desa, krama tamiu, tamiu, serta badan usaha yang berada dalam
wilayah desa adat tersebut) untuk melakukan pengelolaan sampah dan mewajibkan memilah
sampah sesuai jenisnya dalam ruang ruang lingkup keluarga atau rumah tangga sendiri dan
mengatur larangan beserta sanksi bagi yang membuang atau membakar sampah secara
sembarangan, 4) Kurangnya pelaksanaan pengelolaan sampah yang diwujudkan melalui
sosialisasi ke setiap banjar.
Link Jurnal : http://www.ejournal.ihdn.ac.id/index.php/VD/article/view/1104
4. Judul Jurnal : Bentuk–bentuk partisipasi warga negara dalam pelestarian
lingkungan hidup berdasarkan konsep Green Moral Di Kabupaten Blitar
Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Upaya untuk mencerdaskan bangsa salah satunya adalah dengan
pendidikan. Suatu bangsa kehidupannya akan maju dan sejahtera apabila bangsa tersebut
cerdas. Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan pendidikan yang
hendak dicapai berdasarkan pembangunan nasional yang hakekatnya dilaksanakan oleh
bangsa Indonesia meliputi seluruh bidang kehidupan. Salah satu bidang pendidikan yang
diajarkan di sekolah adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari
tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Penanaman nilai-nilai lingkungan hidup sudah
diintegrasikan kepada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di dalam pendidikan
formal meskipun pada proses pembelajaran belum sebagian guru PKn hanya sebatas
memberikan materi saja belum sampai pengamalan nilai-nilai dan melestarikan lingkungan
hidup.
Untuk memperbaiki kesalahan perilaku dan kesalahan pandang manusia tentang dirinya
dengan lingkungannya serta melakukan perubahan fundamental tentang cara pandang
tersebut, bisa melalui "Citizenship Education" atau "Civic Education" Dengan kata lain
"Citizenship Education" atau "Civic Education" dapat merubah cara pandang dan perilaku
manusia atau warga negara dalam memandang lingkungannya. Civic Education, seyogyanya
memiliki jati diri: diorganisasikan secara lintas bidang ilmu; difasilitasi dengan pembelajaran
yang bersifat partisipatif dan interaktif;, isi dan prosesnya dikaitkan pada kehidupan nyata;
diselenggarakan dalam situasi yang demokratis; diupayakan agar mewadahi
keanekaragaman sosial budaya masyarakat; dan dikembangkan bersama secara kolaboratif
oleh sekolah, orang tua dan masyarakat termasuk pemerintah.
Dalam permasalahan lingkungan hidup khususnya Indonesia masih kurang adanya
partisipasi Warga Negara salah satunya partisipasi hanya sebatas proyek selain itu
kenyataannya masih banyak anggota masyarakat dalam hal ini oknum-oknum tertentu
kurang sadar akan makna lingkungan hidup sehingga berdampak buruk pada lingkungan
hidup, misalnya illegal logging, limbah industri pabrik, pencemaran udara, tanah, air,
penebangan pohon dan lain-lain. Oleh karena itu partisipasi Warga Negara sangat
dibutuhkan bukan hanya mengajak Warga Negara dalam proses pelaksanaan program
ataupun proyek tetapi memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi masalah
memecahkannya, membuat keputusan, melaksanakan, memonitoring, dan mengevaluasi.
Bentuk-bentuk partisipasi Warga Negara dalam pelestarian lingkungan hidup dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan masyarakat dan dunia pendidikan (monolitik dan integratif).
Kompetensi kewarganegaraan diperlukan agar warga Negara dapat berpartisipasi dalam
lingkungan hidup dengan pembekalan dimensi / domain knowledge, skill dan disposition
tentang lingkungan hidup melalui berbagai kegiatan di masyarakat dan pendidikan. Bentuk
penguatan partisipasi warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dilakukan melalui
kegiatan pelatihan bagi masyarakat, sekolah, sosialisasi tentang lingkungan hidup,
penguatan peran organisasi-organisasi relawan lingkungan hidup, serta KMDM di SD dan
sekolah SMP.
Penguatan partisipasi warga negara tentang pelestarian lingkungan hidup berdasar
konsep green moral dalam pembangunan berkelanjutan mengacu pada nilai-nilai Pancasila
untuk sopan santun, bersih, mencintai lingkungan, dan menjaga lingkungan hidup untuk
tercapai kepekaan terhadap lingkungan hidup melalui adaptasi dari hidup modern dengan
mempertahankan dan melindungi lingkungan hidup, tujuan yang jelas dari pelestarian
lingkungan hidup, integrasi dari nilai-nilai Pancasila dan lingkungan dalam integrasi berbagai
macam kegiatan, serta adanya latency dalam sistem yang dibuat masyarakat dan
pemerintah.

Link Jurnal : https://ejournal.upi.edu/index.php/JER/article/view/3423


5. Judul Jurnal : Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan
dan lahan di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur
Sumberdaya lahan memiliki peranan vital karena merupakan aset kunci bagi suatu
negara, dimana kondisi kualitas dan kuantitas sumberdaya lahan tersebut menjadi penentu
kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Menyadari hal tersebut Pemerintah Republik
Indonesia terus mengupayakan konservasi tanah dan air sebagai program penting dalam
pembangunan agar sumber daya lahan tersebut tidak mengalami degradasi yang pada
akhirnya berdampak negatif bagi pembangunan bangsa. Kebijakan pengendalian laju
degradasi lahan di Indonesia diupayakan pemerintah melalui program Rehabilitasi dan
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk
mengatasi dan mengantisipasi degradasi sumber daya lahan melalui upaya rehabilitasi lahan
dan konservasi tanah secara teknis dan biologis serta pengaturan dan pengendalian tata
ruang.
Laju Kerusakan hutan dan lahan di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur tergolong
cukup tinggi. Menurut hasil review data dan peta lahan kritis Provinsi Sulawesi Utara Tahun
2013 luas lahan dengan kategori tidak kritis seluas ± 41,86 Ha, Potensial kritis 32.240.84 Ha,
Agak kritis 33,239.94 Ha, Kritis 20,595.69 Ha dan kategori sangat kritis seluas ± 2,347.04
Ha. Luas lahan kritis diperkirakan bertambah, penyebab pertambahan luas lahan kritis
tersebut diantaranya disebabkan oleh aktifitas perluasan pemukiman, pertambangan di luar
dan dalam kawasan hutan, perladangan serta kerusakan vegetasi akibat bencana alam.
Tingkat persepsi masyarakat peserta program terhadap hutan dan fungsinya diperoleh
nilai persepsi tergolong tinggi yaitu sebesar 48,0% yang diikuti oleh persepsi sedang 45,1%
dan persepsi rendah 6,9%. Sedangkan persepsi terhadap program rehabilitasi hutan dan
lahan didapatkan sekitar 51% persepsi tinggi, 35% persepsi sedang dan 10% persepsi
rendah. Sedangkan tingkat partisipasi peserta program rehabilitasi hutan dan lahan
didapatkan sebesar 36,27% tergolong tinggi, 34,3% sedang dan 29,41 tergolong rendah.
Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi persepsi terhadap hutan dan fungsinya serta
persepsi terhadap program rehabilitasi hutan dan lahan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Selanjutnya tingkat partisipasi juga dipengaruhi oleh tingkat Pendidikan.
Perlu tindakan sosialisasi dalam rangka mengarahkan persepsi dan partisipasi
masyarakat setempat agar secara holistik memahami makna pelestarian hutan yang
dilakukan melalui program rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam rangka sosialisasi ini, perlu
juga dirumuskan tingkat kedalaman materi yang perlu disampaikan terkait dengan konteks
kejadian di lapangan yang ada (keseimbangan teori dan praktek), misalnya dalam hal
aktivitas pertanian yang sudah ada dapat dicontohkan lewat simulasi tentang kemampuan
daya resap tanaman semusim dan tanaman tahunan sehingga masyarakat setempat
mengetahui makna penurunan fungsi ekologis hutan. Kegiatan sosialisasi juga perlu
mempertimbangkan keragaman kondisi sosial ekonomi warga, perlu ada pemilahan target
group (kelompok sasaran) untuk dapat mewujudkan peran dari setiap individu atau
kelompok individu yang bermukim di sekitar kawasan hutan.
Perlu adanya penguatan kapasitas lembaga baik lembaga pemerintah maupun lembaga
masyarakat dalam rangka pelestarian hutan. Idealnya, lembaga masyarakat dalam hal ini
Kelompok Tani Hutan (KTH) yang sudah terbentuk dapat digunakan sebagai wadah
pemberdayaan masyarakat yang berlangsung secara kontinyu dalam rangka upaya
rehabilitasi hutan dan lahan. Berkaitan dengan tingkat persepsi dan partisipasi masyarakat
terhadap proram rehabilitasi hutan dan lahan yang sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan masyarakat maka perlu dilakukan penguatan kemampuan masyarakat melalui
pendekatan pendidikan non formal seperti pelatihan, bimbingan teknis, magang, dan
lainnya.

Link Jurnal : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eugenia/article/view/12959

Anda mungkin juga menyukai