Anda di halaman 1dari 24

IMPLEMENTASI KEARIFAN LOKALPAMALI SEBAGAI STRATEGI

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP MASYARAKAT KAMPUNG KUTA CIAMIS


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Lingkungan yang
Diampu oleh Prof. Dr. H. Achmad Munandar, M.Pd.

disusun oleh :
HASBI YUSUF
1402050

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BIOLOGI


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Segala sesuatu yang ada di sekitar kita yang mempengaruhi sikap dan perilaku

merupakan lingkungan. Definisi lingkungan menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup


No.23 Tahun 1997 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup (termasuk manusia dan perilakunya) yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dalam lingkungan terjadi interaksi yang
dinamis antara manusia dengan manusia lainnya dan antara manusia dengan komponen
biogeofisikkimia di lingkungan.Interaksi tersebut tidaklah selalu sederhana namun sangat
kompleks.Dalam interaksi tersebut manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungannya.
Dalam interaksi dengan lingkungan sekitarnya, manusia menempati posisi yang
dominan karena manusia dikaruniai kemampuan budaya melebihi kemampuan makhlukmakhluk lainnya. Oleh karena itu, komponen sosial budaya akan mempengaruhi faktor biotik
maupun abiotik di lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
memanfaatkan lahan dan hutan untuk kegiatan pertanian maupun non pertanian.Semakin
maju suatu masyarakat, maka semakin intensif pula usaha mereka dalam pemanfaatan
lingkungan. Begitu pula dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkannya.pun akan berbeda.
Masyarakat yang telah maju teknologinya akan cenderung untuk mengeksploitasi sumber
daya alam lebih besar karena dorongan kebutuhan yang semakin besar dan beragam serta
didukung oleh kemampuan teknologinya. Sebaliknya, masyarakat sederhana cenderung
mampu mempertahankan kelestarian lingkungannya karena adanya norma dan nilai tertentu
yang diterapkan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat membuat nilai dan
norma tersebut agar dijadikan acuan dalam bersikap dan berbuat. Setiap anggota masyarakat
dituntut untuk mematuhinya dan tidak boleh keluar dari nilai dan norma yang berlaku.
Melalui argumentasi tersebut, kita dapat memahami bahwa dengan kemampuan budaya,
manusia mampu mengubah permukaan muka bumi.
Manusia seharusnya senantiasa untuk menjaga kelestarian lingkungannya bagi masa
sekarang hingga masa yang akan datang sehingga tindakan penyelamatan lingkungan hidup
tersebut dapat dilakukan terus menerus secara berkesinambungan dari setiap generasi. Namun
sayangnya, kenyataan yang terjadi hari ini adalah lunturnya sebagian besar budaya atau
kearifan lokal masyarakat yang berbanding lurus dengan majunya teknologi dan peradaban
manusia sehingga dampaknya terhadap lingkungan hidup ternyata bertambah buruk.Sejalan
dengan berkembangnya zaman, terbentuklah masyarakat industri maju, peningkatan populasi,

pelipatan ekonomi dunia, pemanfaatan sumber daya alam naik drastis dan mulai timbul krisis
lingkungan berupa pencemaran lingkungan dan pemborosan sumber daya alam.Pada saat itu
terjadi pelanggaran terhadap etika lingkungan secara besar-besaran. Salah satu contohnya
adalah kasus lingkungan yang terkini di Indonesia, yaitu terjadinya pembakaran lahan yang
dilakukan secara besar-besaran di pulau sumatera sehingga menimbulkan kabut asap yang
berkepanjangan yang sangat merugikan masyarakat sekitar. Hal ini jika tidak segera
mendapat perhatian dari pemerintah, tentunya tidak hanya menjadi masalah domestik saja,
tetapi akan menjadi permasalahan lingkungan global, karena bisa jadi Negara tetangga akan
terkena dampaknya.
Masalah lingkungan secara global biasanya menjadikan titik balik manusia dari
pemboros sumber daya alam menjadi pemerhati etika lingkungan dengan menekankan
pembangunan berwawasan lingkungan.Oleh karena itu, penting sekali bagi manusia untuk
terus mengkaji dan mengusahakan hal-hal yang bisa membantu aktifitas pelestarian
lingkungan.Salah satu wacana yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan
antara lingkungan dengan manusia saat ini adalah dengan membangkitkan kembali spirit
budaya dan kearifan lokal pada masyarakat sehingga bisa menjadi pemicu manusia
memperhatikan kembali etika lingkungan.Oleh karena itu penting sekali bagi manusia untuk
mengambil nilai-nilai etnopedagogi dari suatu kearifan lokalmasyarakat sehingga pelestarian
lingkungan hidup bisa terwujud melalui solusi yang bijak. Salah satu masyarakat yang
memiliki karakteristik menarik untuk dikaji adalah masyarakat kampung kuta Ciamis
1.2.

TUJUAN
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk mengkaji dan mendeskripsikan kearifan

lokal pada suatu masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat Kampung Kuta Ciamis
dalam memelihara keasrian lingkungan hidup dalam perspektif ekologi manusia.
1.3.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tujuan dari penulisan makalah ini, maka rumusan masalah yang relevan

dengan pembahasan makalah ini adalah Bagaimana implementasi kearifan lokal pamali oleh
masyarakat Kampung Kuta Ciamis dalam mengelola dan memelihara lingkungan sekitar?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. LINGKUNGAN HIDUP
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, definisi Lingkungan Hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia

dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.Lingkungan Hidup dapat dibagi menjadi lingkungan alam (biotik dan
abiotik), lingkungan binaan, dan lingkungan sosial budaya.
Lingkungan Hidup alami adalah lingkungan hidup yang telah ada di alam tanpa
memperoleh gangguan atau dimodifikasi oleh manusia.Lingkungan Hidup alami terdiri atas
komponen biotik dan abiotik.Komponen biotik adalah segala makhluk hidup, mulai dari
mikroorganisme sampai dengan tumbuhan dan hewan. Lingkungan abiotik adalah segala
kondisi yang terdapat di sekitar makhluk hidup tetapi bukan berupa organisme, namun faktorfaktor lain yang bisa mempengaruhinya, seperti tanah, mineral, udara, angina, curah hujan,
cahaya matahari, dan lain-lain.Usaha manusia untuk memperpanjang usia lingkungan hidup
dikenal dengan penciptaan lingkungan hidup binaan, yaitu usaha membentuk, memodifikasi,
atau mengelola lingkungan hidup. Tujuannya agar lingkungan hidup dapat normal kembali
seperti semula yaitu memiliki keseimbangan energi.Prinsip penciptaan lingkungan hidup
binaan misalnya melakukan reboisasi hutan, melakukan pengelolaah air limbah agar bersih
kembali dan aman jika dibuang ke sungai. Contoh yang sederhana dalam penciptaan
lingkungan hidup binaan adalah penanaman pohon agar udara lingkungan lebih segar, terlihat
asri, dan nyaman. Kegiatan manusia yang tidak menciptakan lingkungan binaan
mengakibatkan dampak-negatif terhadap lingkungan alam.Lingkungan sosial budaya
merupakan

lingkungan

hidup

manusia

yang

melakukan

interaksi

dengan

sesamanya.Lingkungan sosial budaya tidak terlepas dari lingkungan alam.Banyak kerusakan


alam akibat interaksi antar manusia yang negatif, contohnya peperangan.
Lingkungan hidup sosial adalah kesatuan ruang dengan sejumlah manusia yang hidup
berkelompok sesuai dengan suatu keteraturan sosial dan kebudayaan.Dalam lingkungan ini
norma umum serta sanksi berlaku sebagai kontrol serta membentuk suatu sistem nilai. Status
manusia dalam lingkungan ini sebagai komponen yang aktif dan dapat mengubah lingkungan
untuk memenuhi kepentingan hidupnya. Manusia juga dominan terhadap makhluk hidup lain,
baik dalam jumlah organisasi structural, ilmu pengetahuan, budaya, maupun sistem sosial.
Adapun peranan manusia dalam lingkungan hidup adalah diantaranya sebagai berikut.
1) Sebagai pengeksploitasi yang dapat mengakibatkan punahnya beberapa biota dan
menciutnya sumber daya alam.
2) Sebagai perombak yaitu merombak ekosistem alami menjadi ekosistem binaan dan
dengannya mengubah profil permukaan bumi
3) Sebagai pengotor, karena membuang limbah ke lingkungan sehingga terjadi
pencemaran
4) Sebagai penyebab evolusi melalui domestikasi organisme serta penyebarannya

5) Sebagai Pembina lingkungan dengan mengusahakan kelestarian lingkungan serta


mengelolanya secara bijaksana
(Kaligis et al, 2005)
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyebab masalah lingkungan
hidup sekaligus pembuat kebijakan solutif untuk setiap permasalahan lingkungan adalah
manusia itu sendiri.Oleh karena itu, manusia sangat berperan penting dalam misi
penyelamatan ekosistem melalui kajian-kajian ekologi dan lingkungan hidup.Jika peran
manusia dalam lingkungan hidup tersebut dapat terlaksana dengan semestinya, niscaya setiap
gejala ketidakseimbangan lingkungan akibat kependudukan, pemanfaatan sumber daya alam,
limbah, dan lain-lain bisa diselesaikan dengan baik.
2.2. EKOLOGI MANUSIA
Ekologi manusia (Human Ecology) memiliki definisi yang terus mengalami
perkembangan dari masa ke masa.Dahulu Ekologi Manusia dipandang sebagai ilmu
monodisipliner. Pada tahun 1916, istilah ekologi manusia dikemukakan untuk pertama
kalinya oleh Huntington, yakni sebuah konsep baru untuk menjelaskan entitas dari hubungan
antara konten geologis, lanskap, dan objek pada permukaannya serta analisis populasi
manusia dan produk budaya pada latar belakang lingkungan (Wolanski dan Siniarska, 2009).
Dalam hal ini, faktor iklim yang menentukan kapasitas manusia.Dua puluh tahun kemudian,
Ekologi Manusia dipahami sebagai suatu disiplin ilmu yang disebut juga epidemiologi yang
mencakup perihal lingkungan penyebab penyakit.
Sejak tahun 1964, Ekologi Manusia
multidisipliner.Pengertiannya

pun

menjadi

lebih

berkembang
kompleks

sebagai

ilmu

dibandingkan

yang
dengan

sebelumnya.Menurut Sutton dan Anderson (2010), Ekologi manusia adalah studi mengenai
hubungan dan interaksi antara manusia dengan aspek biologis, budaya, serta lingkungan
fisiknya.Di bawah disiplin ilmu ini budaya dan perilaku manusia tidak hanya dipandang
sebagai produk masyarakat, tetapi juga sebagai hasil dari pengaruh dan interaksi dengan
variable fisik dan biologi (Lopes dan Begossi, 2009).Di samping itu, Ekologi Manusia juga
didefinisikan sebagai sains tentang Homo sebagai genus Biologi dan budayanya sebagai
komponen dinamis dalam ekosistem (Wolanski dan Siniarska, 2009).Homo sapiens dianggap
sebagai spesies yang istimewa jika dibandingkan dengan spesies lainnya karena budayanya
yang unik.Berdasarkan definisi tersebut, terdapat kesatuan yang dekat antara biologi dan
budaya manusia.
Adapun subjek dari kajian Ekologi Manusia adalah manusia sebagai organisme dan
manusia sebagai populasi serta interaksinya dengan lingkungan yang telah ada, khususnya
hubungan antara aspek biologi, sosial, budaya, serta kondisi kehidupannya.Dalam hal ini

Ekologi Manusia modern dipahami sebagai sains transdisipliner mengenai populasi manusia
dan budayanya, di mana manusia diperlakukan sebagai elemen kreatif dari ekosistem dan
sistem sosial (Wolanski dan Henneberg, 2001). Dengan demikian, berdasarkan sudut pandang
Ekologi Manusia, manusia menghadapi lingkungan untuk dapat sintas dengan dua cara, yaitu
adaptasi biologi dan adaptasi perilaku budaya.
Persamaan dari definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut adalah bahwa
Ekologi Manusia merujuk pada suatu ilmu tentang tempat tinggal (oikos artinya tempat
tinggal; logos artinya ilmu) untuk manusia mempelajari interaksi lingkungan dengan manusia
sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.Dalam beberapa hal, manusia
menghadapi dorongan alam menggunakan budaya dan menciptakan kondisi baru untuk
keberlangsungannya.Pengaruh aktivitas manusia pada lingkungan dan manusia lainnya dan
pengaruh dari lingkungan terhadap manusia atau sekelompok manusia merupakan pengaruh
dari interaksi.
2.3. KEARIFAN LOKAL
Konsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al. (2000) berakar dari sistem pengetahuan
dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara
berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama kurun waktu yang lama. Pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan
tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan
dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.Kearifan
tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap
tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia
(masyarakat) dan lingkungan alamnya.
Ridwan (2007) mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap
sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.Pengertian tersebut disusun
secara etimologi, dimana wisdom/kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap
sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi.Sebagai sebuah istilah wisdom kemudian diartikan
sebagai kearifan/kebijaksanaan.Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-

macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi
tersebut antara lain adalah:
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
2.4. KEARIFAN LOKAL PAMALI
Pamali merupakan salah satu jenis kearifan lokal berupa pantangan/tabu atau larangan
yang umumnya berkembang di kalangan suku sunda.Biasanya budaya pamali ini diturunkan
atau disampaikan dari tetua terhadap generasi muda.Banyak hal yang dilarang (Tabu/Pamali)
dalam budaya orang sunda jaman dahulu,baik dalam ucapan ataupun perilaku kegiatan
sehari-hari yang semuanya sudah menjadi budaya sosial masyarakat sunda dan Jawa Barat
pada umumnya.
Semua itu sebenarnya tidak terlepas dari budaya orang sunda antara lain :
- Tarapti (tertib)
- Siloka (meminjam kata atau bahasa lain agar tidak menyinggung perasaan orang lain).
- Ramah Tamah Someah Hade Kasemah (sopan santun dan ramah pada tamu).
- Teu Adigung Adiguna Luhur Kuta Gede Dunya (tidak sok/sombong/angkuh atau pamer).
- Handap Asor (merendah tidak ingin menonjolkan diri).
Namun dari beberapa yang dilarang/tabu (Pamali) orang Sunda jaman dahulu ada
beberapa yang masih dilakukan atau dipercayai dan hal ini sekarang tergantung kepercayaan
kita masing-masing meskipun sebenarnya secara nalar logika (diluar kontek mitos) bisa
dibuktikan bahwa perkataan tersebut (pamali) sebenarnya untuk tujuan menghormati orang
lain atau menghindari kecelakaan atau bahaya karena kondisi jaman dahulu berbeda dengan
zaman sekarang, seperti belum ada penerangan listrik, budaya yang berbeda, dan lain-lain.
Berikut ini merupakan contoh-contoh pamali yang berkembang di suku sunda.
- Ulah tatalu ti peuting(Jangan memukul-mukul pada malam hari)
Logika :Suka banyak tikus.Memukul-mukul sesuatu pada malam hari,seperti pasang paku
pakai paluMalam hari selain gelap juga dikhawatirkan orang lain sedang tidur.
- Ulah neukteukan kuku ti peuting (Jangan memotong kuku pada malam hari)

Logika : Dikhawatirkan teriris/terpotong bagian lain kuku yang punya makna penuh dengan
kehati-hatian,ke-waspada-an,saling

hormat

menghormati,segala

sesuatu

penuh

persiapan,melakukan segala sesuatu sesuai waktu dan tempatnya.


- Ulah kaluar imah sareupna (Jangan keluar rumah menjelang malam/petang)
Logika : makna syiar Islam,karena biasanya menjelang maghrib semua pergi ke Masjid untuk
belajar baca tulis Al Quran kemudian sholat berjamaah. Berdasarkan agama islam juga
dijelaskan bahwa syaithan dan jin mulai berkeliaran untuk menggoda manusia ketika petang.
Berdasarkan sains, udara dan spectrum cahaya ketika petang tidak baik bagi kesehatan.
.
- Ulah cicing di lawang panto (Terhalangnya jodoh; Jangan duduk diam di muka pintu)
Logika : Menghalangi jalan orang masuk ke dalam rumah sehingga bisa dianggpap tidak
sopan dan jadinya tidak disukai orang lain
- Ulah dahar dina coet (Jangan makan beralaskan cobekan)
Suka mendapatkan jodoh yang lebih tua (kakek-kakek atau nenek-nenek). Logika : Cobekan
biasanya terbuat dari batu dikhawatirkan kerikilnya termakan atau terdapat bakteri
Itulah tabu/pamali yang ada di lingkungan masyarakat orang sunda jaman dahulu yang
diketahui, namun mungkin masih banyak lagi dan sampai saat ini mengakar kuat dalam
kehidupan masyarakat yang kukuh dan keukeuh memegang Budaya Tatali Karuhun.

BAB III
KEARIFAN LOKAL PAMALI SEBAGAI STRATEGI PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP PADA MASYARAKAT KAMPUNG KUTA CIAMIS
3.1. RIWAYAT SINGKAT KAMPUNG KUTA
Dalam budaya masyarakat tertentu di Indonesia, adat pamali atau pantangan masih
berlaku. Masyarakatnya percaya sesuatu yang buruk akan terjadi bagi mereka yang
melanggar.Di antara pantangan yang dikenal umum di masyarakat, ternyata ada yang
bermanfaat untuk menjaga alam serta kelestarian lingkungan. Penduduk Dusun Kuta di Desa
Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat adalah
salah

satu

masyarakat

yang

masih

menjaga

dan

melestarikan

budaya

pamali

tersebut.Masyarakat Kampung Kuta atau lebih dikenal dengan kelompok Masyarakat Adat
Kutasari, dikenal sangat kental dengan adat-istiadat dan kearifan lingkungannya. Mereka
melakukan pelestarian hutan keramat, rumah adat, pohon aren, dan sumber mata air karena
kepercayaan pamali tersebut.Di Kampung Kuta, hutan seluas 40 hektar terjaga asri berkat
konsep pamali seperti ini. Masyarakat tidak berani mengambil apa pun dari sini. Jika aturan
dilanggar, dipercaya ada harimau yang sewaktu-waktu muncul memberi peringatan.
Jumlahnya tak hanya satu, tetapi lima. Keyakinan menjaga hutan dipraktekkan tanpa pamrih.
Di Kuta, ketinggian hutan berada di bawah perkampungan warga. Akibatnya sumber air
bersih melimpah dari hutan larangan yang mereka jaga tidak bisa secara langsung mereka
nikmati. Justru orang-orang kota yang hilir yang memperoleh banyak manfaat. Meski
demikian hal itu, tidak menyurutkan ketaatan mereka pada kearifan lokal yang telah dilakoni
secara turun temurun. Salah satu tonggak pengakuan keberhasilan konservasi hutan di
Kampung Kuta adalah penganugerahan Kalpataru (Kategori Penyelamat Lingkungan)pada
tahun 2002.

Gambar 1. Penghargaan Kalpataru yang diperoleh Kampung Kuta


Menurut Aulia dan Dharmawan (2010), nama Kampung Kuta diberikan karena sesuai
dengan lokasinya yang berada di lembah curam sedalam kurang lebih 75 meter dan
dikelilingi oleh tebing-tebing/perbukitan. Nama kuta sendiri dalam bahasa Sunda berarti
pagar tembok.Asal- usul Kampung Kuta terdiri atas dua bagian yang masing-masing berdiri
sendiri, yaitu Kampung Kuta pada masa kerajaan Galuh dan pada masa Kerajaan
Cirebon.Versi Kampung Kuta pada masa Kerajaan Galuh ini dimulai pada awal pendirian
Kerajaan Galuh.Seorang Raja Galuh bernama Prabu Ajar Sukaresi sedang mengembara
bersama beberapa pengawal terpilih dan berpengalaman.Pengembaraan dilakukan untuk
mencari daerah yang cocok untuk mendirikan pusat pemerintahan kerajaan.Versi asal- usul
Kampung Kuta pada masa Kerajaan Cirebon diawali oleh dua kerajaan yang menaruh
perhatian besar terhadap Kampung Kuta, yaitu Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram

Solo.Akhirnya Raksabumi menjadi pemimpin di Kampung Kuta atau penunggu dan penjaga
daerah Kuta (kuncen) hingga akhir hayatnya. Setelah meninggal Raksabumi dimakamkan di
Cibodas dan dikenal dengan nama Ki Bumi. Beliau dianggap sebagai cikal bakal dan leluhur
yang menurunkan masyarakat Kuta.Raksabumi adalah pemimpin pertama dan sampai
sekarang Kampung Kuta tetap dipimpin oleh keturunan Ki Bumi.
Secara administratif, Kampung Kuta berada di wilayah Kabupaten Ciamis,Kecamatan
Tambaksari, tepatnya di dalam Desa Karangpaningal.Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4
RT. Daerah ini disebut kampung kuta karena terletak dalam lembah yang dikelilingi tebingtebing curam setinggi 30-60m, seakan-akan dipagari oleh tembok-tembok besar menjulang.
Tebing-tebing tersebut membentuk lingkaran sehingga tampak seperti sebuah mahkota
dengan kampung kuta yang berada di tengah-tangahnya.Kampung kuta berbatasan langsung
dengan jawa tengah. Adapun batas-batas kampung kuta yaitu:
Sebelah Barat

: Kampung Margamulya

Sebelah Timur

: Sungai Cijolang / Jawa Tengah

Sebelah Utara

: Kampung Cibodas

Sebelah Selatan

: Sungai Cijolang / Jawa Tengah

Kampung kuta terletak di ujung Kabupaten Ciamis dan cukup terpencil. Dari kabupaten
Ciamis jaraknya sekitar 34 km menuju arah utara. Dapat dicapai dengan mengunakan mobil
angkutan umum sampai di Kecamatan Rancah. Dari Kecamatan Rancah bisa mengunakan
ojek. Jika kondisi hujan sebaiknya tidak menggunakan mobil, karena kondisi jalan aspal yang
berkelok-kelok dan tanjakan yang cukup curam ketika hujan akan sangat licin. Selain itu
sebagian jalan juga rusak dan berlubang cukup dalam.Jumlah penduduk berdasarkan hasil
sensus penduduk 2010 yaitu sebanyak 298 jiwa terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 145
jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 153 jiwa dengan kepala keluarga sebanyak 127
Kepala Keluarga (KK). Seluruh masyarakat di Kampung Kuta berkewarganegaraan Indonesia
dan beragama Islam.Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah melalui hasil tani.
Namun selain profesi petanian, sisanya ada juga yang bekerja sebagai pegawai swasta, buruh,
dan pedagang.(Aulia dan Dharmawan, 2010)
Warga di kampung kuta meyakini bahwa Pada masa Prabu Sliwangi (Raja Galuh)
pernah bermukim di kampung Kuta dan merencanakan akan mendirikan keraton sebagai
pusat Kerajaan galuh. Bukti dari persiapan tersebut sampai sekarang masih ada yaitu :
1) Semen merah dari tanah (yang bernama gunung semen).
2) Kapur (terampar seluas 0,25 ha).
3) Batu Soko (sebanyak 3 buah terletak di gunung gede).

Namun rencana pembangunan tersebut gagal. Adapun barangbarang yang telah di


buatnya tersimpan di Gunung barang.Di kampung kuta juga terdapat orang yang bertugas
untuk memelihara kampung Kuta yang diberinama Kuncen (kunci). Adapun daftar nama
sejak kuncen pertama sampai dengan Kuncen ke lima adalah sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)

Kuncen Pertama : Aki Bumi


Kuncen Kedua : Aki Danu
Kuncen Ketiga : Aki Maena
Kuncen Keempat : Aki Surabangsa
Kuncen Kelima : Aki Rapisan
Kelima kuncen tersebut di makamkan di makam Bumimargamulya. Adapun yang

menjadi Kuncen selanjutnya sampai sekarang harus keturunan Aki Rasipan.


3.2 KEARIFAN LOKAL PAMALI MASYARAKAT KAMPUNG KUTA
Masyarakat Kampung Kuta memiliki kearifan lokal yang sudah diwariskan oleh
leluhur.Kearifan lokal masih tetap dijalankan sampai saat ini karena sifatnya amanah
sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang ada di Kampung Kuta.Bentuk
kearifan lokal yang sudah dijalankan masyarakat Kuta tersebut yaitu budaya pamali.Pamali
(tabu) adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat.
Tabu atau pamali terungkap dalam prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat
atau kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Prinsipprinsip tersebut. dianggap sebagai kearifan tradisional/kearifan lokal karena berasal dari
warisan leluhur yang telah berlaku secara turun temurun. Di Kampung Kuta, prinsip
tradisional itu masih berlaku sebagai pranata sosial yang dapat mengandalikan perilaku
manusia dalam berinteraksi dengan alam atau dengan sesamanya.
Budaya Pamali sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Kampung Kuta terbagi
menjadi empat bagian, yaitu pamali yang berhubungan dengan rumah adat, peraturan tentang
Hutan Keramat, Pelarangan pembuatan Sumur, dan pelarangan penguburan mayat. Berikut
ini merupakan tabel bentuk kearifan lokal yang ditekankan di Kampung Kuta.
Tabel 1. Kearifan-kearifan lokal di Kampung Kuta Ciamis
KEARIFAN LOKAL
Nilai
Norma
Pelaku

BUDAYA PAMALI
Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural
1) Pelestarian Rumah Adat
2) Peraturan tentang Hutan Keramat
3) Larangan Pembuatan Sumur
4) Larangan Penguburan Mayat di Tanah Setempat
Seluruh Masyarakat Kampung Kuta

Seluruh pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan


terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga
Sanksi

mengenai seluruh penduduk kampong. Mayarakat Kampung Kuta


meyakini bahwa sanksi yang diterima oleh pelanggar berasal dari
karuhun yang murka

Budaya pamali memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh masyarakat Kampung Kuta.
Setiap orang yang melanggarnya selalu mendapatkan balasan yang diyakini berasal dari
karuhun mereka yang murka. Pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan
terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga mengenai seluruh
penduduk kampung. Bentuk-bentuk musibah yang datang dapat bermacam-macam seperti
penyakit, serangan hama tanaman, gempa bumi berupa tanah longsor, angin topan atau banjir,
dan bahkan kematian. Oleh karena itu, jargon yang sering dikatakan oleh masyarakat
kampung kuta adalah leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak yang berarti jika hutan
rusak dan sumber air habis, maka manusia akan sengsara. Hal tersebut sangat berkaitan
dengan implementasi kearifan lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Prinsip pamali pertama di Kampung Kuta adalah tentang pemeliharaan Hutan
Keramat yang terletak di dalam Kampung Kuta.Untuk memasuki Hutan Keramat harus
ditemani dan meminta bantuan kuncen sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu
berhubungan dengan leluhur yang tinggal di Hutan Keramat.Kuncen dianggap sebagai
penjaga Hutan Keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu Hutan Keramat
dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Dalam memasuki Hutan Keramat diwajibkan
untuk mentaati aturan-aturan berikut:
1. Tidak boleh memasuki Hutan Keramat, kecuali hari Jumat dan Senin.
2. Tidak boleh menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal).
3. Tidak boleh mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas.
4. Tidak boleh meludah, buang air kecil dan besar di areal Hutan Keramat.
5. Tidak boleh membawa alat-alat yang terbuat dari besi seperti golok dan sabit.
6. Tidak boleh mengenakan pakaian serba hitam.
7. Tidak boleh mengenakan pakaian dinas.
8. Tidak boleh menangkap apalagi membunuh binatang yang ada di Hutan Keramat.
9. Tidak boleh mematahkan ranting apalagi menebang pohon-pohon yang ada di Hutan
Keramat.
10. Tidak boleh membuang sampah yang mengandung api.

11. Tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (sompral).


12. Tidak boleh memasuki Hutan Keramat tanpa didampingi oleh kuncen.

Gambar 2 Gapura Selamat Datang dan Papan Peraturan bagi Tamu Kampung Kuta
Jika kita melihat setiap larangan pada setiap tabu/pamali di Hutan Keramat yang
dibahas sebelumnya, dapat kita pahami bahwa setiap larangan tersebut bertujuan untuk
memelihara kelestarian hutan keramat.Oleh karena itu, tabu atau pamali terkait hutan keramat
ini adalah merupakan salah satu usaha masyarakat setempat dalam memelihara kelestarian
lingkungan hidup di Kampung Kuta.Hal ini bisa dilihat dari tingkat kebersihan, kualitas air
bersih, dan suasana hutan tersebut yang masih alami.
Kedekatan dengan alam dalam bingkisan pamali di Kampung Kuta terwujud juga
dalam pembuatan rumah.Bagi masyarakat adat Kutasari, rumah tinggal harus dibangun
dengan ukuran 10 X 6 meter dengan dinding dari anyaman bambu, lantai papan atau kayu,
serta atap menggunakan ijuk dan rumbia.Tidak ada tembok yang digunakan dalam
pembangunan rumah-rumah. Bahan yang dipakai adalah bahan-bahan alam, seperti kayu dan
daun. Filosofinya jelas, yakni hidup seturut dengan alam. Oleh karena itu, di rumah panggung
batu diletakkan di bawah sebagai fondasi, kayu di tengah, dan daun di tempat paling atas
sebagai atap. Cara berdiri tiang-tiang kayu juga mesti sesuai dengan kondisi aslinya. Tidak
boleh terbalik antara pangkal dan ujungya.Penggunaan tembok merupakan sesuatu yang tabu.
Tembok dinilai menjadi representasi kuburan yang hanya diperlukan bagi orang mati.

Penggunaan genting sebagai atap rumah juga sesuatu yang harus dihindari. Genting terbuat
dari tanah. Dan tanah diperuntukan bagi orang mati.Menurut masyarakat adat ini,
membangun rumah tinggal dengan menggunakan semen adalah hal yang pamali atau tabu
untuk dilakukan. Aturan adat juga menyebutkan bahwa rumah harus berbentuk panggung
dengan ukuran persegi panjang. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau
marabahaya bakal melanda kampung mereka.Namun, jika diteliti lebih lanjut, kontur tanah di
Dusun Kuta memang sangat labil dan lebih cocok ditinggali dengan konstruksi bangunan
tanpa semen.

Gambar 3. Pemandangan keasrian lingkungan dan rumah warga Kampung Kuta


Bentuk rumah di Kampung Kuta terikat oleh suatu aturan dalam bentuk dan bahan
bangunan yang digunakan, kriteria dari rumah adat tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
Tabel 2. Spesifikasi Rumah Adat Kampung Kuta (Aulia dan Dharmawan, 2010)
No

Kriteria

Keterangan

.
1.
2.
3.
4.
5.

Model Rumah
Bentuk
Atap
Plafon/Langit-langit
Dinding

Panggung tanpa tembok


Persegi panjang tidak boleh berbentuk sikon (menyiku)
Terbuat dari rumbia dan atau ijuk
Seluruh plafon/langit-langit terbuat dari anyaman bambu (bilik)
Bahan dinding bangunan rumah terbuat dari bilik (anyaman

6.
7.

Tiang
Pintu

irisan bambu) atau triplek


Tiang dari kayu yang mendukung rangka atap
Memiliki satu pintu depan yang terletak di bagian depan dan

8.

Jendela

satu pintu belakang di bagian dapur


Jendela berbentuk persegi panjang dengan daun jendela kayu

9.

Lantai

atau kaca sebagai penutupnya


Lantai terbuat dari papan kayu

10.

Tempat Masuk

Menggunakan tungku (hawu) dan terdapat parako, dan


paraseuneu

Gambar 4.Spesifikasi model rumah warga Kampung Kuta yang beratapkan ijuk,
tanpa tembok, memiliki tiang, dan berdinding bilik
Contoh pamali lain yang diterapkan di Kampung Kuta adalah terkait sumber air. Dusun
yang ditinggali oleh 120 Kepala keluarga dengan total penduduk berjumlah 370 jiwa tersebut
tidak diperbolehkan untuk menggali sumur. Ketua adat Kampung Kuta mengatakan bahwa
untuk mendapatkan air bersih, masyarakat memanfaatkan empat sumber mata air, yaitu mata
air Cibangbara, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan.Larangan ini pun bisa dilihat sebagai
salah satu bentuk untuk menjaga kondisi tanah yang labil di Kampung Kuta.Selain pantangan
untuk menggali sumur, masyarakat juga dilarang untuk menguburkan jenazah di kawasan
dusun. Jenazah yang akan dikebumikan dilakukan di pemakaman umum Dusun Cibodas yang
bersebelahan dengan Dusun Kuta. Hal ini dilakukan agar air tanah Dusun Kuta tidak
terkontaminasi dengan zat-zat yang berbahaya dari jenazah.
Adapun daftar prinsip-prinsip utama pamali yang diterapkan oleh masyarakat Kampung
Kuta terangkum dalam tabel berikut ini.
Tabel 3. Prinsip-Prinsip utama pamali di Kampung Kuta (Aulia dan Dharmawan, 2010)

Prinsip-prinsip utama tersebut dibedakan menjadi dua bagian yaitu prinsip utama yang
berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam (1 - 5) dan prinsip yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari (6 - 21). Kelima prinsip yang berhubungan dengan pengelolaan
sumberdaya alam merupakan norma adat yang sangat mengikat masyarakat karena sudah
dilakukan secara turun-temurun dan diketahui oleh seluruh masyarakat Kampung Kuta. Jadi,
yang ditekankan dalam budaya pamaliKampung Kutaadalah pelestarian bentuk rumah,
larangan penguburan mayat, larangan membuat sumur, dan peraturan mengenai Hutan
Keramat.
Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan
lokal.Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh
leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat

Kampung Kuta.Pergeseran memang terlihat dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok
di Kampung Kuta.Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan
lokal.Bentuk kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif
dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan
rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung
Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya
pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian
kearifan lokal budaya pamali. Selain itu, penggunaan Sanyo juga dapat mengancam
kelestarian kearifan lokal yang akan berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan.
Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi
tua ke generasi muda sejak mereka kecil.Moda transfer of knowledge dilakukan dengan
lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui
keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.
Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menjaga kelestarian hutan dan
sumberdaya air di Kampung Kuta.Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk aplikasi
konservasi hutan dan air.Masyarakat secara sadar melakukan pengelolaan hutan dan air
dengan berlandaskan budaya pamali yang telah dilakukan secara turun-temurun.Adapun
keberhasilan Kampung Kuta dalam melestarikan budaya Pamali adalah sebagai berikut.
1) Melestarikan rumah adat dusun Kuta.
2) Melestarikan hutan lindung (Hutan Keramat) dan satwa yang ada di dalamnya.
3) Melestarikan sumber-sumber mata air melalui penanaman/pemeliharaan tanaman
tahunan sekitar mata air.
4) Melestarikan kesenian setempat seperti Ronggeng Tayub, Terbang, dan Gondang
Buhun.
5) Melestarikan upacara adat setempat yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan Babarit.
Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian rumah adat,
pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur, dan pelarangan
menguburkan mayat memiliki implikasi terhadap pelestarian sumberdaya alam. Hubungan
kearifan lokal dan implikasinya terhadap pelestarian sumberdaya alam terlihat pada tabel
berikut ini.

Tabel 4.Implikasi Budaya Pamali di Kampung Kuta (Aulia dan Dharmawan, 2010)

No
.

Budaya Pamali

1.

Pelestarian rumah adat

2.

Peraturan mengenai Hutan


Keramat

3.

Pelarangan pembuatan
sumur

4.

Pelarangan menguburkan
mayat

Implikasi terhadap Pelestarian Sumber Daya Alam


Menjaga keadaan tanah karena kondisi tanah di Kampung
Kuta bersifat labil sehingga jika menggunakan rumah dari
tembok dan beratap genting akan menambah bobot
tekanan terhadap tanah, hal ini dikhawatirkan rumah akan
melesat dan ambruk. Kemungkinan akan membahayakan
keselamatan penghuninya
Menjaga Kelestarian Hutan Keramat sebagai penyangga
Kampung Kuta sehingga tetap lestari. Keanekaragaman
tumbuhan, satwa, dan ekosistem di dalamnya akan terjaga
dengan baik
Menjaga keadaan tanah karena kondisi tanah di Kampung
Kuta bersifat labil sehingga jika membuat sumur dalam
akan membahayakan masyarakat sendiri (longsor)
Menjaga Keadaan tanah Kuta yang merupakan endapan
rawa yang sifatnya labil sehingga jika digali terlalu dalam
akan mengakibatkan longsor

Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyakat Kampung Kuta memberikan hasil
dampak untuk kehidupan mereka. Keberhasilan tersebut telah membawa masyarakat
Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru Tingkat Nasional tahun 2002 yang
penyerahannya dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juni 2002 di Bali.
Manfaat yang dapat dirasakan dari keberhasilan masyarakat Kampung Kuta dalam
melestarikan lingkungan dan budaya adat yang diturunkan dari leluhurnya yaitu:
1. Biaya pembuatan/perbaikan rumah lebih murah.
2. Menumbuhkan pola hidup sederhana.
3. Kerusakan lingkungan dapat ditekan/dikendalikan.
4. Lestarinya sumber-sumber mata air, meskipun musim kemarau airnya tetap tersedia.
5. Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong.
6. Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih.
7. Memiliki potensi hiburan tradisional khas Kampung Kuta.

Pelestarian lingkungan di kampung ini bisa dijadikan contoh dalam menjaga alam dan
lingkungan dengan berpegang teguh pada budaya lokal. Karena kearifan lokal ini pula,
Masyarakat Adat Kutasari mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Kementerian
Lingkungan Hidup pada tahun 2002 lalu, dengan kategori Kampung Penyelamat Lingkungan.

3.3.

NILAI-NILAI

ETNOPEDAGOGI

DARI

KEARIFAN

LOKAL PAMALI

KAMPUNG KUTA
Kearifan lokal pamali yang diterapkan oleh masyarakat kampung kuta menitikberatkan
terhadap upaya konservasi lingkungan sehingga pantaslah jika Kampung tersebut
mendapatkan penghargaan kalpataru.Selain berdampak positif bagi lingkungan, sebetulnya
kearifan lokal kampung kuta tersebut jika dikaji nilai-nilainya dapat memberikan kontribusi
bagi bidang-bidang lain seperti pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain.Adapun nilai-nilai
yang bisa kita dapatkan melalui local wisdom kampung kuta tersebut adalah sebagai berikut.
1) Nilai Religi
Setiap pamali dan upaya masyarakat kampung kuta dalam melestarikan lingkungan
sebetulnya sesuai dengan perintah Allah dalam agama bahwa tugas manusia di bumi selain
ibadah adalah melaksanakan amanahnya dalam menjaga kedamaian dan kelestarian alam
yang sudah Ia ciptakan.
2) Nilai Pendidikan
Kearifan lokal pamali tentunya berkaitan erat dengan proses mendidik yang
dilakukan oleh orangtua terhadap generasi di bawahnya melalui sebuah pantangan. Hal ini
memberikan kita sebuah nilai pendidikan bahwa sebuah kondisi akan bisa berubah ke arah
yang lebih baik melalui proses pendidikan dalam bentuk larangan yang disampaikan oleh
orang tua terhadap generasi yang lebih muda dan orang-orang baru. Orangtua memiliki peran
disini karena asumsinya mereka sudah memiliki lebih banyak ilmu dan pengalaman.
3) Nilai Sosial
Masyarakat Kampung Kuta akan diterima oleh masyarakat lain jika mematuhi aturan
atau pamali yang telah diterapkan oleh kuncen pada kampung tersebut. Hal tersebut berkaitan
dengan nilai sosial bahwa penerimaan manusia dalam interaksinya dengan masyarakat
bergantung kepada sikapnya terhadap norma-norma yang ada pada masyarakat tersebut.

BAB IV
KESIMPULAN

Kampung kuta merupakan salah satu kampung adat yang menjaga dengan baik adat
leluhurnya. Warga kampung kuta sangat memegang adat leluhur yang sudah berumur ratusan
tahun. Segala sesuatu yang dilakukan oleh leluhurya masih dipelihara dan dilaksanakan
sampai sekarang. Warga di Kampung Kuta memiliki kata pamali. Yang mana kata-kata
terabut merupakan pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga di kampung kuta. Jika
pamali dilanggar maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti bencana.Di kampung
kuta terdapat hutan keramat. Setiap warga yang ada disana memiliki aturan khusus untuk
mengunjungi hutan tersebut.Karena peraturan-peraturan yang dijaga dengan baik itulah
akhirnya warga disana dapat menjaga kelestarian hutan lindung, areal pohon aren, sumbersumber mata air, dan budaya bersih yang ada disana.Masyarakat kampung kuta dengan
kearifan tradisionalnya telah berhasil mempertahankan kelestarin lingkungan dan budaya adat
kampung kuta. Keberhasilan tersebut telah menghantarkan masyarakat kampung kuta
memperoleh penghargaan kalpataru tingkat nassional tahun 2002 (Kategori Penyelamat
Lingkungan).
Tabu atau pamali terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan prinsipprinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan adat yang harus
dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lokal yang ada,
terdapat empat hal yang sangat diutamakan dalam budaya pamali yang terbukti masih
dipertahankan, dijaga, dan dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta.Keempat hal
tersebut adalah pelestarian rumah adat, pelarangan penguburan mayat di Kampung Kuta,
pelarangan pembuatan sumur, dan pelestarian Hutan Keramat berdasarkan aturan-aturan
pamali tersebut. Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat masyarakat karena
bersumber dari kepercayaan spiritual masyarakat Kampung Kuta. Budaya pamali di
Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan peluruhan kearifan lokal secara nyata.
Sekalipun demikian terdapat indikasi awal adanya modifikasi terhadap nilai-nilai baru yang
masuk, seperti penggunaan teknologi mesim pompa air, modifikasi bentuk rumah dan gaya
modern, dan penerimaan masyarakat terhadap gagasan pariwisata. Namun, hingga saat ini
masyarakat masih memegang teguh amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan
budaya

pamali

sudah

menjadi

landasan

bagi

kehidupan

masyarakat

Kampung

Kuta.Pergeseran memang terlihat dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di


Kampung Kuta.Namun hal ini tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal.
Bentuk kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif
dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan
rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung

Kuta dan kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Adanya
pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu ancaman terhadap kelestarian
kearifan lokal budaya pamali. Proses pelanggengan kearifan lokal budaya Pamali dilakukan
dengan penurunan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda sejak
mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita
yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi
yang efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.

DAFTAR PUSTAKA
Aulia, T.O.S&Dharmawan, A.H. (2010).Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya
Air di Kampung Kuta.Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi
Manusia volume 04 nomor 03 hlm. 345-3595.
Kaligis, J.R.E., Kiswoyo, S.B., dan Miarsyah, M. 2005. Pendidikan Lingkungan Hidup.
Jakarta : Universitas Terbuka
Lopes, P. & A. Begossi.(2009). Current Trends in Human Ecology.Cambridge Scholars
Publishing

Mitchell, B., Setiawan, B.,

dan Rahmi, D.H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta


Ridwan,

N.

2007.

Landasan

Keilmuan

Kearifan

Lokal.http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf.diakses 13 Oktober 2015, pukul 20.30


Sutton, M.Q. &Anderson, E.N. (2010).Introduction to Cultural Ecology: Second Edition.
Maryland : Altamira Press
Wolanski, N. & Henneberg, M. (2001).Perspective of Human Ecology.Human Ecology
Special Issue.10 : 3-7
Wolanski, N. &Siniarska, A. (2009).A Model for Human Ecology. Encyclopedia of Life
Support System : 111-119

Anda mungkin juga menyukai