Anda di halaman 1dari 14

Laporan dan catatan proses

Pelatihan Pengembangan Ekowisata Nanga Lauk

Latar Belakang
Perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang mengarah pada pendekatan berbasis
masyarakat atau dikenal dengan istilah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
merupakan angin segar bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Melalui pendekatan
PHBM, masyarakat diberi kesempatan untuk dapat terlibat langsung dalam pengelolaan
hutan dan menjaga kelestarian hutan.
Kebijakan bidang kehutanan yang selama ini hanya memberikan manfaat bagi perusahaan-
perusahaan besar telah mengesampingkan masyarakat yang berada di sekitar hutan.
Mereka hanya menjadi penonton dari kegiatan eksploitasi hutan, yang akhirnya
menimbulkan kecemburuan sosial. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi
masyarakat untuk melakukan perambahan di kawasan hutan, apalagi adanya tuntutan atas
kebutuhan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum.
Berpijak dari pengalaman bahwa pengelolaan hutan tanpa melibatkan atau bahkan
memberdayakan masyarakat sekitar hutan akan bermuara kepada konflik sosial dan ketidak
adilan serta kerusakan lingkungan, dimana dampak yang paling besar juga dialami oleh
masyarakat, sehingga dalam perkembangannya kebijakan pemerintah dalam pengelolaan
hutan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, atau
pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat, salah satu skema pengelolaan
hutan tersebut yaitu Hutan Desa.
Disamping peran pemerintah dalam kaitannya dengan status hukum, keberhasilan
pengelolaan hutan tidak terlepas dari adanya kelembagaan pengelola dan dukungan pihak-
pihak terkait lainnya. Keberadaan hutan desa mampu mempertahankan dan mengangkat
kembali eksistensi lembaga adat dalam melaksanakan fungsinya sebagai kontrol terhadap
pengelolaan sumberdaya alam. Dalam skema hutan desa, hak untuk mengelola hutan
diberikan kepada lembaga lokal sehingga mereka memiliki tanggung jawab penuh dalam
mengelola 'Hutan Desa' sebagai mandat oleh kepala desa. Dalam hal ini individu-individu
masyarakat memiliki peran sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pembangunan pedesaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skema hutan desa merupakan suatu model
pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berada pada unit manajemen paling kecil
(pemerintahan desa). Akan tetapi didalamnya mengandung suatu prinsip pengelolaan yang
berorientasi kepada pengelolaan sumber daya hutan yang lestari. Hal yang paling mendasar
adalah suatu bentuk pengelolaan yang dipersiapkan dan dilaksanakan serta ditetapkan
secara bersama-sama dengan pemerintah. Di pihak lain, tentu saja pemerintah tidak dapat
bekerja sendiri. Masyarakat sebagai pemanfaat sumberdaya hutan merupakan kekuatan
penggerak (”driving force”) yang penting pula. Kesadaran masyarakat (”public awareness”)
juga menjadi kunci pokok agar sumberdaya hutan dapat termanfaatkan secara bijak dan
lestari.
Dalam Implementasinya Lembaga Pengelola Hutan Desa sebagai penerima mandat untuk
mengelola hutan perlu memiliki target-target capaian yang realistis sesuai dengan potensi
hutan yang akan dikelola dan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan hutan. Target-target
capaian tersusun dalam suatu rencana kerja yang menjadi suatu dokumen lembaga desa
untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan desa secara fungsional
dan lestari.

Dalam dokumen Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) desa Nanga Lauk, ditetapkan rencana
pengembangan jasa lingkungan salah satunya adalah pengembangan Ekowisata.

Ekowisata merupakan salah satu pilihan dalam pemanfaatan areal kerja hutan desa Nanga
Lauk. Potensi alam seperti Kawasan hutan dan Keanekaragaman hayati didalamnya, dan
pemandangan alam menjadi dasar dalam pengembangan ekowisata ke depan. Tetapi yang
tidak kalah menariknya adalah potensi flora dan fauna eksotis yang terdapat dalam kawasan
seperti Mamalia (Orangutan, bekantan dan beruang madu, dll), Burung, Ikan, dan
keragaman jenis flora yang ada.

Kegiatan lokalatih ekowisata, dimana kegiatan ini lebih kepada membangun pemahaman
dasar tentang apa itu ekowisata, kenapa ada ekowisata, menghitung keuntungan ekowisata,
apa saja yang harus disiapkan dalam mendukung ekowista dan hal hal lain yang mendasar
kenapa ekowisata menarik untuk dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengingkatan
mutu ekonomi, ekologi sebuah kawasan. Diikuti oleh 20 peserta, selama 7 hari, dengan
menggunakan metode pendidikan orang dewasa (POD), dengan porsi 30 teori dan 70%
praktek. Dipandu oleh seorang fasilitator, seorang narasumber dari Yayasan Desa Wisata
Nusantara (Yogyakarta), dan satu orang pembantu teknis lokal. Di kegiatan ini juga akan
dibangun kelompok pengelola ekowisata, aturan main (managerial), rencana pengadaan
dan pengelolaan sarana dan prasarana, strategi pemasaran dan rencana tindak lanjut.

Tujuan:

Memberikan pemahamam tentang apa itu ekowisata, keuntungan menggerakan kegiatan


ekowisata, terbentuknya kelompok ekowisata desa dan aturan main yang disepakati, serta
rencana pengelolaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekowisata.

Output:

Adanya pemahaman yang sama tentang apa itu ekowisata, keuntungan menggerakan
kegiatan ekowisata, terbentuknya kelompok ekowisata desa dan aturan main yang
disepakati, serta rencana pengelolaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekowisata.

Peserta:
Peserta adalah anggota masyarakat nanga lauk yang juga anggota LPHD Nang Lauk
mempunyai keinginan tinggi untuk belajar tentang ekowisata dengan jumlah peserta 20
orang dan memperhatikan syarat keterwakilan perempuan.

Lokasi dan waktu pelaksanaan:

Lokasi kegiatan di desa Nanga lauk dan sekitarnya dengan tanggal pelaksanaan mulai
tanggal 15 sampai dengan 21 Oktober 2017

Catatan Proses

Hari Pertama, 15 Oktober 2017

Fasilititator dan trainer tiba di Nanga Lauk menjelang sore, langsung melakukan transek
keliling perkampungan untuk melihat-lihat suasana perkampungan, berbagai bentuk rumah
panggung, jalan kayu, jembatan gantung, balai pertemuan warga dan berkenalan dengan
beberapa penduduk yang tergabung dalam LPHD.

Di beberapa titik pertemuan dengan warga digunakan kesempatan untuk berbincang


dengan pengrajin tas rotan, dengan anak-anak penjual umbut rotan serta ibu-ibu yang
sedang bersantai duduk di kanan kiri jalan kayu. Semuanya unik, namun ada yang lebih unik
yaitu ketika mata tertuju pada handphone yang digantung di bawah pohon mangga.
Ternyata disitulah terdapat sinyal yang kuat kata warga, dan lokasinya tidak bisa bergeser
sedikitpun karena sinyal akan hilang. Itulah data-data awal yang didapatkan selama transek
menyusuri kampung di sore hari yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan diskusi
dengan kelompok ekowisata yang akan mengadakan pertemuan pada malam harinya.

Pertemuan yang rencananya akan dilakukan mulai tanggal 16 Oktober 2017 dimajukan pada
tanggal 15 Oktober 2017 mulai pukul 19.30 hingga 22.00 wib.

Pertemuan diawali oleh Rio dengan menggali harapan peserta pelatihan terkait dengan
rencana dikembangkannya ekowisata. Semua peserta yang memang belum pernah
mendapatkan pelatihan tentang ekowisata hampir semuanya menjawab agar desa Nanga
Lauk dikenal oleh wisatawan, terutama wisatawan yang gemar memancing ikan, sehingga
masyarakat bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Dan anehnya, tidak ada satupun yang
mengkaitkan dengan upaya pelestarian alam di sekitarnya ataupun program yang dijalankan
oleh LPHD.

Setelah itu giliran fasilitator dan trainer yang menerapkan metode pembelajaran orang
dewasa dalam pelatihan perencanaan pengembangan ekowisata Nanga Lauk kemudian
mengajak peserta untuk menjawab pertanyaan, “Apakah tujuan orang berwisata?”, banyak
sekali jawaban dari peserta dan dari beberapa jawaban akhirnya disimpulkan bahwa tujuan
orang berwisata adalah melakukan perjalanan mencari kepuasan atau kesenangan dengan
menikmati pemandangan alam ataupun hal lain sesuai dengan minatnya.

Kata kunci : perjalanan, kepuasan, kesenangan, menikamati, dan minat.

Pertanyaan selanjutnya, “Apa bedanya wisata umum dengan ekowisata?”. Di pertanyaan


inilah peserta belum mengetahui sama sekali perbedaannya. Oleh karenanya, trainer mulai
masuk dalam materi tentang ekowisata, dan pentingnya ekowisata bagi pelestarian alam
dan budaya, serta bagaimana cara menggali dan mengenali potensi yang dimiliki oleh desa
sehingga bisa diolah dan dikemas menjadi daya tarik ekowisata dan mampu menjadi
alternatif tambahan penghasilan bagi masyarakat.

Dari paparan yang disampaikan akhirnya masyarakat mengetahui bahwa perbedaan wisata
umum dengan ekowisata terletak pada niat dan tanggung jawab terhadap pelestarian
alamnya. Wisata umum hanya menginginkan kesenangan semata, namun ekowisata lebih
mengedepankan upaya untuk turut serta dalam pelestarian alam dan budaya yang
dilakukan oleh masyarakat di suatu wilayah sehingga mampu meningkatkan penghasilan
kehidupannya. Seperti yang tertuang dalam The International Ecotourism Sosiety tahun
1991, yang dimaksud dengan ekowisata adalah sebuah perjalanan yang bertangggung jawab
ke tempat-tempat alami yang bertujuan melestarikan lingkungan hidup dan menjaga
kesejahteraan masyarakat setempat.

Kalimat kunci: ekowisata lebih mengedepankan upaya untuk turut serta dalam
pelestarian alam dan budaya yang dilakukan oleh masyarakat di suatu wilayah sehingga
mampu meningkatkan penghasilan kehidupannya

Lalu bagaimana dengan Nanga Lauk? Ekowisata seperti apa yang akan dikembangkan? Dan
apa potensi unggulannya?

Agar memahami itu semua maka fasilitator dan trainer mengajak peserta untuk mulai
menggali potensi desa yang dimilikinya. Hasil dari penggalian sementara antara lain :

 Potensi Keanekaragaman Hayati (lebah hutan, ikan, burung, primata, dll). Ada
daerah tertentu yang seringkali dijumpai satwa liar seperti bekantan, orangutan,
burung rangkong dan tempiyao.
 Potensi Seni Budaya (kesenian belangkah, kerajinan rotan, kerajinan pandan,
kerajinan sampan, permainan tradisional)
 Potensi Kuliner (berbahan lokal dengan menu utama ikan dan sayur dari
tanaman hutan)
 Potensi SDM (nelayan, petani madu, pengrajin, seniman, ahli masakan lokal)

Dari beberapa hasil penggalian potensi tersebut adakah cerita menarik yang perlu
diceritakan terkait dengan mengapa diperlukan pengelolaan hutan desa secara lestari?
Beberapa peserta menjawab bahwa pohon-pohon besar jenis tertentu yang dikenal dengan
istilah “Lalau” sangat disukai lebah untuk bersarang dan memproduksi madu. Dan madu
hutan inilah yang sekarang memberikan penghasilan cukup besar bagi masyarakat desa
Nanga Lauk selain hasil dari nelayan.

Saat ini hampir semua warga berprofesi sebagai petani lebah madu, kontras dengan jaman
dahulu yang hampir semuanya menjadi penebang kayu ilegal. Setelah menyadari bahwa
hutan dapat memberikan hasil selain dari kayu, maka didoronglah upaya untuk memperluas
hutan yang dapat dikelola oleh warga desa (hutan desa) agar dapat menjadi lestari kembali.
Dan saat ini, profesi sebagai nelayan dan petani lebahlah yang dapat diandalkan. Sehingga
dapat disepakati, bahwa hutan dan sungailah yang harus dijaga dan dimanfaatkan secara
lestari.

Setelah mendapatkan informasi seperti itu maka fasilitator mengajak peserta esok hari
untuk menggali lebih dalam potensi yang ada di lingkungan sekitar, terutama menggali
profesi nelayan sambil melihat keanekaragaman hayatinya, langsung ke lokasi. Apa saja
peralatan dan kebutuhan nelayan dalam mencari ikan perlu dipersiapkan, seperti perahu,
tanggui, pancing, dsb. Disepakati waktu keberangkatan adalah hari Senin tanggal 16 Oktober
2017 pukul 09.00 wib.

Hari kedua, 16 Oktober 2017

Kegiatan hari kedua dimulai dengan permainan ‘hitung merdeka’ yaitu permainan yang
melatih konsentrasi, ketelitian, kesabaran dan perjuangan. Permainan yang dilakukan
dengan dua variasi dengan dua tingkat kesulitan tersebut akhirnya mampu diselesaikan
dengan waktu bermain sekitar 15 menit setelah beberapa kali mengalami kegagalan.

Pembelajaran yang dapat diambil dari permainan ini adalah bahwa jika kita sedang memulai
usaha maka akan mendapatkan banyak permasalahan dan berulangkali mengalami
kegagalan, namun demikian tidak diperbolehkan putus asa, harus terus berjuang hingga
mencapai keberhasilan. Semangat dalam permainan inilah yang harapannya dapat
mengingatkan masing-masing anggota kelompok untuk saling menyemangati kawan-kawan
sesama anggota kelompok ekowisata yang sedang belajar untuk mengembangkan
ekowisata di Nanga Lauk.

Jam 09.15 seluruh peserta berangkat dengan menggunakan dua perahu. Di sepanjang
perjalanan suasana begitu lengang, bahkan suara burungpun tidak terdengar. Hanya burung
cekakak yang beberapa kali menampakkan dirinya terbang di sekitar perahu. Sesampai di
lanting semua peserta turun dan beberapa peserta menjelaskan tentang karamba ikan
tomang yang ada di depan lanting. Ikan tomang yang dipelihara cepat besar namun beresiko
diserang oleh segerombolan berang-berang yang datang untuk merusak karamba dan
memangsa ikan tomang yang ada di dalamnya.
Kemudian trainer meminta salah satu peserta perempuan untuk menjelaskan tentang
lanting dan fungsinya. Dengan sangat cekatan dan jelas beliau menjelaskan fungsi lanting
sebagai tempat berteduh, beristirahat, memasak dan menginap bila musim air surut.

Peserta tersebut juga menjelaskan berbagai fungsi peralatan yang ada di dalam lanting.
Sebagian besar adalah berfungsi untuk mencari ikan dan sebagian lagi adalah perlengkapan
untuk memanen madu lebah hutan. Secara bergantian beberapa peserta menjadi pemandu
sebisanya. Walaupun belum pernah mendapatkan pelatihan pemandu ternyata mereka
cukup bagus dalam menyampaikan informasi. Itu dikarenakan mereka semua adalah
pelakunya sendiri. Sehingga apa yang diceritakan adalah pengalaman hidupnya sehari-hari.
Dan inilah salah satu kekuatan dari SDM anggota ekowisata.

Setelah berbagi tugas, sebagian memasak di dapur lanting untuk makan siang, sebagian
peserta menggunakan perahu untuk mempraktekkan beberapa cara atau tehnik menangkap
ikan dengan alat yang berbeda-beda. Kegiatan ini dilakukan disepanjang sungai dan di
danau. Peserta yang mempraktekkan terus diminta untuk menjelaskan tentang apa yang
dilakukannya, seolah-olah mereka sedang mengajak tamu wisatawan yang datang ke
desanya.

Menjelang makan siang semua sudah kembali ke lanting. Sambil menunggu nasi matang,
beberapa peserta menjelaskan tentang proses pembuatan ikan asin dan ikan asap sebagai
salah satu cara mengawetkan ikan agar tidak busuk terutama di saat air surut dan musim
panen ikan yang berlimpah. Dan begitu nasi dan lauk ikan matang maka semua peserta
berkumpul dan menikmati hidangan dengan cara penyajian yang khas nelayan Nanga Lauk.
Istimewa!!

Selesai makan siang, acara dilanjutkan dengan diskusi tentang potensi nelayan yang sudah
dipetakan dan dipraktekkan. Beberapa kegiatan yang belum dilakukan akan dilakukan di hari
berikutnya. Dan siang itu, acara dilanjutkan dengan berkeliling sungai dan danau untuk
melihat kehidupan liar yang ada disana. Namun hingga hampir sejam lebih berkeliling, tidak
satupun satwa liar yang ditemui, kecuali sekawanan lebah di pohon lalau yang sedang
berputar-putar sehingga memaksa kami untuk pergi menjauh dan melanjutkan perjalanan
pulang ke kampung.

Sebelum bubar, disepakati diadakan pertemuan di malam harinya untuk mengevaluasi dan
membahas rencana tindak lanjut untuk kegiatan keesokan harinya.

Hasil evaluasi pemetaan potensi:

Yang dilakukan hari ini Yang perlu diperbaiki/ rencana tindak lanjut
Berangkat jam 9 pagi, kondisi sudah panas Berangkat lebih pagi, jam 5 atau maksimal
jam 7
Berangkat sore jam 15
Terlalu siang, tidak bertemu dengan burung, Berpeluang bertemu dengan satwa liar,
kera, monyet dan fauna lainnya terutama burung enggang, bekantan dan
satwa liar lainnya
Alat/ perlengkapan kurang : - Tanggui perlu diperbanyak terutama
- Tanggui terbatas untuk wisatawan, bisa jadi tambahan
- Sampan belum ada atap hasil bagi pengrajin tanggui (souvenir
- Belum ada pengaman yang memadai khas nanga lauk)
- Belum ada jaket pelampung - Perlu membuat perahu wisata yang
- Tidak ada teropong lebih lebar agar tidak oleng dengan
- Lanting : belum ada tolet, atap seng bangku yang nyaman dan dipasang
terlalu panas, batang lanting perlu atap agar tidak panas (perlu didesain
diperbaiki karena sebagian yang ideal)
tenggelam, dapur belum tertata, - Perlu kotak P3K di perahu, ban
belum ada tempat memanggang ikan pelampung dengan tali, topi
pengaman lebah, dayung cadangan
bila mesin perahu mati dan setiap
wisatawan wajib menggunakan jaket
pelampung, perlu pelatihan rescue
dan PPGD (pertolongan pertama
gawat darurat)
- Pembelian teropong (binoculair dan
monoculair) dan buku panduan
pengamatan satwa liar.
- Lanting : perlu dibuat toilet,
membuat dek peredam panas,
mengganti batang lanting dengan
kayu baru atau membuat alternatif
lanting dengan tong sebagai
pelampungnya, dipasang kursi santai,
perlu ditata ulang dan dilengkapi
peralatan dapur, dilengkapi peralatan
nelayan sehingga dapat menjadi
wahana belajar atau museum rumah
nelayan namun alat-alatnya dapat
digunakan praktek oleh tamu wisata,
- Membuat buku panduan wisata dan
perlengkapan yang dibutuhkan
sebagai acuan standar pelaksanaan
ekowisata
- Membuat peta ekowisata
- Membuat paket-paket wisata
- Membuat alternatif lanting wisata a)
milik bang rusli, b) buat baru khusus
untuk wisatawan
Dari hasil evaluasi tersebut maka dibuat rencana untuk keesokan harinya yaitu eksplorasi
potensi khusus pengamatan satwa liar dan sarang lebah akan dilakukan mulai pukul 15.00
dan akan dibuktikan apakah waktu tersebut tepat atau tidak untuk tujuan diatas.

Selain itu, peserta juga mempersiapkan acara di Rabu malam yaitu mengeksplorasi potensi
seni budaya berupa musik Gambus dengan tarian Pejangkah.

Hari Ketiga, 17 Oktober 2017

Sekitar pukul 14.00 peserta sudah berkumpul dan mulai mendiskusikan seputar ekowisata.
Tampaknya kali ini, peserta jauh lebih siap dari hari kemarin. Setelah semua berkumpul,
pukul 15.00 diberangkatkanlah peserta yang juga berperan sebagai wisatawan untuk
menelusuri sungai dan danau untuk harapan bertemu dengan satwa liar di alamnya.

Cekakak, menjadi burung pertama yang terlihat. Mengikuti terbangnya hingga kami melihat
papan kayu yang telah menjadi sarang lebah sedemikian lebatnya sehingga menjadikan
kami harus melaju untuk meninggalkan tempat itu dengan segera. Dan pada sebuah tempat
yang terdapat dahan pohon yang licin perahu berhenti dan peserta menjelaskan bahwa
tempat tersebut adalah singgasana bekantan untuk bersantai di pinggir sungai. Sayangnya
bekantan tersebut tidak menampakkan batang hidungnya. Di depan kami bertemu dengan
burung gagak, tupai, sarang semut, biawak, dan elang bondol. Peserta memberi aba-aba
agar memperhatikan gerakan burung elang karena dikhawatirkan akan mengganggu sarang
lebah yang ada di lalau. Apabila itu terjadi maka semua yang ada di perahu harus siap-siap
menceburkan diri ke sungai sambil membawa tanggui sebagai pelindung dan sirkulasi udara
bernafas sambil berenang. Beruntung, burung elang bondol jauh pergi meninggalkan lokasi.

Di daerah tertentu area yang dilewati banyak terdapat umbut atau rotan muda yang sering
digunakan sebagai bahan memasak sayur. Demi memperlihatkan kepada tamu, salah
seorang peserta mempraktekkan bagaimana cara memanen umbut yang akan digunakan
sebagai bahan memasak besok siang. Sambil memotong, peserta tersebut menjelaskan
tahapan cara memanen umbut.

Menarik!!

Setelah kondisi menjelang petang, perahu segera diluncurkan menuju danau untuk melihat
sekawanan burung enggang atau rangkong badak yang katanya setiap sore ada di sana.
Betul!! Tak selang lama sesampai di danau terdengar suaranya dan ternyata dijumpai cukup
banyak burung rangkong badak dan kemungkinannya lagi burung enggang yang terbang dan
hinggap di pepohonan yang rendah. Sayangnya moment tersebut tidak tertangkap mata
dengan sangat baik alias tidak ada teropong. Namun demikian suasana danau menjelang
matahari terbenam ditemani sekawanan burung rangkong adalah luar biasa. Saking asyiknya
mendekati lokasi burung tersebut ternyata gelombang di air yang dihasilkan perjalanan
perahu mengakibatkan batang-batang pohon yang tercelup air menjadi ikut bergoyang.
Bukan burung yang terbang, namun sekawanan lebah yang terbang berdengung-dengung di
seputar perahu dengan kecepatan tinggi.

Akhirnya kami mengalah dan berputar untuk meninggalkan tempat tersebut daripada
peringatan yang diberikan oleh pasukan tempur lebah diabaikan, bisa fatal akibatnya. Dan
ternyata setelah kami berputar, lebah –lebah tersebut tidak mengikuti lagi. Jadi benar,
bahwa lebah tadi semacam memberi warning bahwa kami telah memasuki daerah
terlarang. Perumpamaan yang menarik untuk menceritakan tentang lebah.

Seru!!

Akhirnya kedua perahu berkumpul di tengah danau dan menikmati kesunyian agar mampu
mendengar suara alam. Namun apa yang terjadi ketika peserta diminta untuk diam 1 menit
saja? Hasilnya bukanlah suara alam yang terdengar, namun suara orang yang menahan
tertawa. Akhirnya tertawalah kami semua. Itulah berwisata!! Kami menemukan
kebahagiaan bersama di tengah danau ditemani sang mentari yang mulai beringsut
tenggelam.

Dan setelah matahari terbenam kami memutuskan untuk kembali ke perkampungan


walaupun sebenarnya cuaca terang dan sangat memungkinkan untuk melihat jutaan
bintang dari atas perahu di tengah danau hingga malam hari. Namun rencana itu disimpan
untuk lain waktu dan menjadi tawaran menarik bagi wisatawan. Sesampai di kampung, kami
membuat rencana dulu untuk esok paginya yaitu menggali potensi kerajinan yang ada di
desa Nanga Lauk.

Hari keempat, 18 Oktober 2017

Hari keempat sebelum keliling melihat para pengrajin sampan, rotan dan pandan, peserta
diajak oleh fasilitator dan trainer untuk membayangkan sebuah perahu wisata yang ideal
bagi tamu wisatawan atau disebut sebagai perahu pelancong. Kemudian peserta dibagi
menjadi 5 kelompok untuk menggambarkan perahu pelancong yang dimaksud ke dalam
kertas plano dan kemudian mempresentasikannya.

Mungkin karena sudah beberapa kali diskusi dan pergi bersama selama dua hari, model
perahu yang digambarkan oleh masing-masing kelompok hampir sama yaitu : berbadan
lebar agar tidak goyang, terdapat bangku yang nyaman, beratap dan terdapat jaring dan
plastik yang dapat diturunkan untuk pelindung dari sengatan lebah, ada kotak p3k, jaket
pelampung dan ban pelampung dengan tali penariknya.

Tujuan dari kegiatan merancang perahu pelancong tersebut sebenarnya adalah untuk
melatih kerjasama tim dan keberanian untuk tampil berbicara di depan umum. Dan setelah
selesai presentasi barulah semua peserta berkeliling kampung untuk melihat potensi budaya
dalam hal ini mata pencaharian sebagai pengrajin. Kunjungan yang dilakukan antara lain ke
pengrajin sampan, pengrajin tanggui, tikar pandan, tas rotan, bakul nasi dan berbagai wadah
dari rotan. Semuanya menarik dan potensial untuk dieksplorasi dan dijadikan paket wisata
bagi wisatawan yang datang. Selain itu, beberapa pengrajin perlu dilatih untuk membuat
kerajinan yang ikonik dan mudah untuk dibawa pulang oleh wisatawan.

Malam harinya, saatnya berdendang dengan para wisatawan dengan musik gambus. Tak
disangka, warga desa Nanga Lauk banyak sekali yang menonton. Anak-anak, para remaja
dan ibu-ibu pun silih berganti menarikan tarian pejangkah dan membuat para musisi yang
semuanya adalah anggota LPHD, termasuk sang ketuanya. Tak luput, para peneliti burung,
katak dan ikan yang baru dua hari datang untuk penelitian pun ikut menari dan bersuka cita,
walaupun tariannya kacau balau, yang penting membuat para penonton senang tertawa
gembira. Sungguh pemandangan yang langka bagi warga sekitar dan menjadi hiburan yang
mungkin belum pernah terjadi di desa Nanga Lauk. Di sesi kedua, para tamu dipersilakan
untuk ikut memainkan alat musiknya, dan .... lumayan, mampu mengikuti irama musik yang
dilantunkan. Setelah grup musik lokal pimpinan pak Alam bermain sejam lebih kini giliran
para muda mudi yang memainkan musiknya, tentu dengan corak yang berbeda. Dangdut!!
Dan penonton pun bergoyang lagi dengan tarian dangdutnya.

Kegiatan ini bisa menjadi alternatif hiburan bagi tamu yang bermalam. Suasana akrab yang
ditunjukkan masyarakat dalam kegiatan semacam ini pasti akan membawa kesaan tersendiri
bagi para tamu. Keramahan, ketulusan dan kebaikan mereka akan terpancar dari tatapan
mata dan gerak langkah warganya. Dan kegiatan semacam itu akan menjadi lebih asyik
ketika disuguhkan kopi panas atau minuman dengan pemanis madu hutan alami.

Hari kelima, 19 Oktober 2017

Setelah tiga hari melakukan pemetaan potensi yang ada di desa hingga ke danau, di hari
kelima ini peserta diajak untuk mengenal HOMESTAY, SAPTA PESONA, SADAR WISATA, dan
PEMANDU WISATA.

Desa wisata atau ekowisata Nanga Lauk perlu menata rumah milik warganya yang dapat
digunakan sebagai homestay secara prima sebagai kebutuhan wisatawan untuk menginap
sehingga mereka merasa nyaman, betah dan ingin tinggal lebih lama. Homestay rumahan ini
diartikan sebagai usaha jasa penyediaan akomodasi berupa bangunan rumah tinggal yang
dihuni oleh pemiliknya dan dimanfaatkan sebagian kamar atau ruangannya untuk
disewakan dengan memberi kesempatan kepada wisatawan untuk berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari pemilik rumahnya, mengenal keluarganya dan dapat mengenal pula
budaya serta tradisi yang ada di lingkungan sekitar.

Fasilitas yang diberikan antara lain :


- Pelayanan kamar (kasur, bantal, selimut dan bila ada bisa dilengkapi lemari, meja
kecil, kursi, keranjang sampah kecil)
- Makanan dan minuman (menu bisa mengikuti apa yang dimasak oleh pemilik
rumah, atau disediakan menu pilihan untuk tamu baik menu untuk makan di
homestay maupun untuk bekal perjalanan wisata)
- Paket wisata (tamu bisa diajak ke kebun untuk menderes karet, mencari ikan,
membuat kerajinan, memainkan permainan tradisional, berkesenian, bertualang
mengamati satwa liar, bermain sampan, olah raga air, dsb. Namun paket-paket ini
perlu dikoordinasikan dengan kelompok agar lebih terorganisir)

Jenis Homestay :

1. Rumah tinggal ( di kampung/ dusun/ desa) seperti keterangan di atas


2. Pondok wisata (homestay jenis ini biasanya diperuntukkan bagi tamu di area
tertentu yang membutuhkan privasi dan ketenangan, misal di sekitar danau atau
sungai yang tentu memiliki pemandangan yang mempesona. Pondok dapat berupa
rumah panggung ataupun rumah lanting/ apung)

Syarat mendirikan homestay rumah tinggal:

1. Pemilik rumah yang ramah dan bersedia melayani tamu dengan prima
2. Aman, bersih, sehat dan nyaman
3. Tersedia kamar/ ruang tidur, toilet/ wc, ruang bersantai seperti teras/ ruang tamu/
ruang keluarga, dan ada dapur.
4. Homestay dilengkapi dengan papan nama (dengan tanggui), peta wisata dan
informasi nama serta nomor telepon penting.

SAPTA PESONA adalah kondisi ideal yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat
wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah di negara kita.

SADAR WISATA sangat diperlukan bagi masyarakat yang berperan sebagai tuan rumah
(host) yang harus mampu mewujudkan unsur-unsur Sapta Pesona, antara lain :

1. AMAN
2. TERTIB
3. BERSIH
4. SEJUK
5. INDAH
6. RAMAH
7. KENANGAN

Kesadaran wisata harus selalu dilatih dan dilakukan terus menerus sehingga menjadi
kebiasaan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas. Dan masyarakat dapat membentuk
kelompok sadar wisata atau sering disingkat menjadi POKDARWIS. Namun demikian pilihan
kelompok tergantung dengan organisasi yang menaunginya ataupun kemauan
masyarakatnya. Satu hal yang perlu diingat, apapun nama kelompoknya, semua anggotanya
harus sadar wisata dan menjadi pelopor bagi masyarakat yang lain.

PEMANDU EKOWISATA

Pemandu ekowisata adalah seseorang yang mempunyai ketrampilan berkomunikasi, ramah,


tanggap dan menguasai informasi seputar desa. Tugas utamanya adalah
menginterpretasikan segala hal yang terkait dengan ekowisata di Nanga Lauk. Dia harus tau
tehnik pengamatan satwa dan informasi kehidupan satwa liar. Menguasai pertolongan
pertama pada kecelakaan. Dan helpfull atau siap membantu dan melayani secara prima
kepada tamu wisata.

Pemandu ekowisata memang perlu dibekali kemampuan melalui pelatihan serial sehingga
benar-benar menguasai pekerjaannya. Pemandu ekowisata juga harus mempunyai dan
mempelajari buku panduan pemandu ekowisata Nanga Lauk (penting untuk dibuat) agar
beberapa yang berminat menjadi pemandu ekowisata mempunyai standar dalam pelayanan
dan cerita yang sama. Karena bila tidak ada panduan seringkali terjadi cerita yang berbeda
antara satu pemandu dengan pemandu yang lain.

Namun dalam waktu singkat ini, peserta mencoba praktek memandu tamu yang baru
datang ke nanga Lauk, masuk ke homestay, beraktifitas di homestay dan beraktifitas di
kebun karet. Pemandu yang sudah ditunjuk stand by di dermaga menjemput tamu yang
datang dengan mengucapkan selamat datang di desa Nanga Lauk. Pemandu mempersilakan
tamu untuk langsung naik ke dermaga yang nanti akan dibantu pemandu lainnya.
Sementara barang bawaan tamu ditinggal saja karena nanti akan dibawakan oleh pemandu
yang menjemput. Di posisi saat tamu turun dari perahu, pemandu mengulurkan tangan
untuk memudahkan tamu agar tidak oleng dan terpeleset. Ini merupakan bagian dari safety
procedure yang perlu diterapkan. Karena bisa jadi tamu tersebut tidak terbiasa
menggunakan perahu kecil.

Sesampai di depan homestay, tamu disambut oleh pemilik rumah yang menyalami dan
mempersilakan masuk rumah dan menunjukkan kamar yang akan digunakan untuk istirahat.
Karena perjalanan jauh, pemilik rumah menawarkan tamu untuk ke kamar mandi untuk
buang air atau sekedar cuci kaki, tangan atau muka. Setelah itu barulah tamu diajak untuk
duduk di ruang tamu atau teras untuk menikmati sajian minuman teh atau kopi dan
bercerita tentang perjalanan yang dialami oleh tamunya.

Karena menjelang makan siang, tamu ditawari untuk memancing ikan atau mengambil ikan
di karamba sebagai bahan untuk dimasak. Ini menjadi bagian dari atraksi wisata agar tamu
mendapatkan sensasi di awal kedatangannya. Kemudian apabila berkenan tamu diajak
untuk ikut memasak, tentunya hanya sekedarnya sambil bersantai menunggu masakan
matang. Setelah matang barulah disajikan ala Nanga Lauk dan disantap bersama tamu.
Setelah makan siang tamu ditawari untuk istirahat tiduran dulu dan setelah tidur akan diajak
untuk praktek menderes karet di belakang rumah.

Praktek menjadi pemandu ekowisata yang dilakukan tersebut bagi peserta ternyata cukup
menguras energi karena mereka masih khawatir melakukan kesalahan. Namun demikian
mereka melakukannya dengan bersuka cita.

Hari keenam, 20 Oktober 2017

Di hari terakhir pelatihan fasilitator mengajak peserta untuk membuat peta ekowisata
Nanga Lauk yang akan menjadi acuan dalam pengembangan ekowisatanya. Dalam proses
pembuatannya, seluruh peserta memberikan kontribusi untuk menentukan di titik mana
terdapat potensi desa atau persebaran satwa liar. Ke depan peta ini perlu dibuat lebih
menarik sehingga memudahkan tamu untuk mengakses dan menentukan paket apa yang
akan mereka beli.

Materi yang kedua, fasilitator mengajak peserta untuk membuat paket ekowisata beserta
cara menghitung harga paketnya. Paket yang dipilih antara lain : paket memancing, paket
main sampan, paket pengamatan satwa liar, dll. Fasilitator juga mengajak peserta untuk
mengenal promosi dan pemasaran produk wisata melalui media sosial facebook dan
instagram. Karena media ini bisa menjangkau hingga ke dunia luar, walaupun masih ada
kendala masalah sinyal. Namun itu bisa teratasi ketika mitra atau tamu yang datang ke
Nanga Lauk kembali ke kota dan mereka pasti akan memberitakan tentang keramahan dan
keunikan desa ekowisata Nanga Lauk.

Kemudian materi yang ketiga, fasilitator memberikan gambaran akan pentingnya organisasi
yang bertanggung jawab dalam program pengembangan ekowisata Nanga lauk. Organisasi
tersebut harus solid dan mengedepankan musyawarah. Bidang-bidang yang ada di bawah
ketua kelompok yang memang menjadi kebutuhan segera diisi dengan nama-nama. Dan
sudah barang tentu nantinya akan diberikan pelatihan yang lebih memadai melalui fokus
grup diskusi dari masing-masing bidang sampai betul-betul bisa memahami pekerjaannya.

Setelah ditentukan bidang-bidangnya, fasilitator menyerahkan kepada ketua kelompok


ekowisata dan fasilitator dari PRCF untuk membuat bagan organisasi kelompok ekowisata
yang berada di bawah program LPHD, dan mengisi nama-nama pengurusnya yang
didasarkan pada musyawarah peserta yang hadir pada saat itu.

Di malam harinya, peserta dan warga lain bersama-sama menonton film-film tentang
ekowisata di daerah lain agar mendapatkan gambaran yang jelas tentang ekowisata. Dan
yang ditunggu-tunggu adalah menonton foto-foto dan video peserta selama menjalankan
pelatihan. Sungguh menjadi pemandangan yang menggembirakan sekaligus mengharukan!!
Hari ketujuh, 21 Oktober 2017

Pagi Hari, seluruh peserta mengadakan diskusi dengan para peneliti yang kebetulan telah
mendapatkan data sementara tentang keanekaragaman hayati yang ada di hutan desa
Nanga lauk. Diskusi berjalan serius dan santai, antusias peserta sangat tinggi terutama
terdapat beberapa jenis ikan yang ternyata baru.

Ini kekayaan baru Nanga Lauk!!!

Kemudian di sesi terakhir, fasilitator dari PRCF meminta peserta untuk menuliskan
pengalaman peserta selama mengikuti pelatihan pengembangan ekowisata dan rencana
tindak lanjutnya.

Rekomendasi :

 Perlu dibuat peta ekowisata dan buku panduan bagi pemandu ekowisata
 Pembuatan poster-poster ekowisata Nanga Lauk
 Pembuatan video profil ekowisata Nanga Lauk
 Penulisan singkat untuk pemasaran melalui fb, instagaram dan medsos lainnya
 Pelatihan lanjutan untuk pemandu, pengemasan paket ekowisata dan penyediaan
homestay.

Anda mungkin juga menyukai