Anda di halaman 1dari 5

Analisis dan Pembahasan Kebijakan UU Kehutanan Medan, September 2021

ANALISIS PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBAHASAN


KEBIJAKAN TAMAN NASIONAL
Dosen Penanggungjawab:
Dr. Ir. OK Hasnanda, MP.

Disusun oleh:

Josiah Satya Yuda 201201178


Jihan Fitri Aribah Br Nadeak 201201198
Muhammad Afif Haifan 201201036
M. Alfarazi 201201080
Syahriani Siregar 201201165

KELOMPOK 12
HUT3B

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
ANALISIS PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBAHASAN
KEBIJAKAN TAMAN NASIONAL
Analisis Perhutanan Sosial
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan
lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan
Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat
sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan
lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

Perhutanan sosial dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam mengelola


hutan dalam hal ini masyarakat adat dan berfungsi untuk mensejahterakan rakyat.
Adanya program perhutanan sosial dilatarbelakangi oleh dua agenda besar dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, yaitu
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan menciptakan model
pelestarian hutan yang efektif. Tujuan pengembangan perhutanan sosial adalah
meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola hutan sehingga dapat
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar hutan.

Kegiatan Perhutanan Sosial (social forestry) didefinisikan sebagai bentuk


kehutanan industrial (konvensional) yang dimodifikasi untuk memungkinkan
distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal (Gilmour dan Fisher, 1991). Jika
mengacu pada data yang ada, di mana luas hutan rakyat (HR) diperkirakan
1.265.460 ha (Suryandari dan Puspitojati, 2003), hutan kemasyarakatan sampai
tahun 2006 seluas 33.576 ha (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
2006) dan akan ditingkatkan sampai tahun 2015 menjadi 2,1 juta ha, sementara
untuk program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) sampai
tahun 2006 seluas 551.739 ha untuk reboisasi, 618.261 untuk hutan rakyat, 5.602
ha untuk hutan kota, dan 4.963 ha untuk hutan bakau (Ditjen Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial, 2006), maka menampakkan kecenderungan peningkatan
kemampuan pemerintah untuk mengelola model-model perhutanan sosial yang ada.
Pemerintah menargetkan untuk membuka perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar
pada 2019, namun terdapat banyak kendala. Saat ini, ada 5 skema Perhutanan Sosial
(PS) beroperasi di Indonesia tertuang dalam aturan Permen LHK.83/2016 tentang
Perhutanan Sosial yakni: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,
kemitraan kehutanan dan hutan adat (KLHK, 2016).

Kendala perhutanan sosial berupa penyediaan dana dan bentroknya izin


untuk membuka perhutanan sosial. Agar mampu mencapai target 12,7 juta hektar,
pemerintah perlu mengalokasikan anggaran sedikitnya Rp830,58 milyar setiap
tahun. Biaya itu diperlukan meliputi sejumlah kebutuhan seperti pendampingan
masyarakat, sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi usulan penerbitan izin perhutanan
sosial. Kebijakan Perhutanan sosial didasarkan atas kondisi hutan dan kondisi
sosial masyarakat di sekitar hutan yang belum berhasil ditingkatkan termasuk
program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).

Pihak pemerintah sendiri mengatakan diantaranya kondisi hutan melalui


tutupan yang rendah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tidak meningkat
meskipun terdapat program PHBM yang berjalan selama 15 tahun. Program PHBM
menjadi sorotan karena beberapa hal menurut wacana yang berkembang. Pertama,
PHBM belum mampu menggandeng masyarakat dalam memperbaiki kondisi
tutupan hutan di beberapa areal kerja Perhutani. Kedua, masihlemahnya
pemahaman petani hutan terhadap PHBM dan ketiga, adanya indikasi
penyimpangan pelaksanaan PHBM yang hanya menguntungkan pihak-pihak
tertentu saja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program PHBM perlu
dievaluasi keberadaannya sehingga masyarakat terlibat secara aktif sebagai subyek
pengelola hutan. Karena tujuan dibentuknya Perhutanan sosial adalah untuk
kesejahteraan rakyat (Maryudi, 2011).

Lalu, masyarakat kesulitan dalam mengusulkan area yang masuk menjadi


perhutanan sosial karena pemerintah mewajibkan wilayah yang diusulkan itu
harus clean and clear (CnC). Tidak boleh ada tumpang tindih dengan izin yang
berlaku di daerah tersebut. Sebagian besar hutan yang diusulkan oleh masyarakat
untuk dijadikan hutan rakyat sudah mengantongi izin yang diberikan kepada
perusahaan atau yang dimiliki pemerintah seperti hutan konservasi. Jadi, program
perhutanan sosial dinyatakan belum terlalu berhasil untuk mencapai tujuannya.
Kebijakan Taman Nasional
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Lebih dari dua dasawarsa kebijakan
taman nasional diimplementasikan di Indonesia. Penetapan dan pengelolaan taman
nasional merupakan salah satu cara memperoleh manfaat sumberdaya hutan selain
kayu, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara lestari lintas generasi.

Konflik di taman nasional terjadi karena praktek pengelolaan taman


nasional tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dan cenderung lebih
mementingkan aspek ekologis dan politik. Misalnya saja kondisi ekosistem hutan
yang sangat baik sering dijadikan alasan pemerintah untuk menghindari tekanan
dunia internasional. Sebagaimana diketahui Indonesia saat ini menjadi sorotan
dunia internasional karena memiliki rekor sebagai perusak sumberdaya hutan
tertinggi di dunia. Di kalangan konservasionis kondisi ekologi yang stabil akan
tercapai jika tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Implikasi persoalan ini
adalah masyarakat lokal akan semakin termarginalkan dan tidak memperoleh hak
untuk memanfaatkan sumberdaya hutan, padahal ketergantungan masyarakat
sekitar hutan terhadap sumberdaya tersebut sangat tinggi. Untuk itulah pemerintah
membentuk program Perhutanan sosial namun dalam pelaksanaannya masih
menemukan banyak kendala.

Lalu, pemerintah mengeluarkan banyak peraturan mengenai perizinan yang


berhubungan dengan taman nasional misalnya pemanfaatan air dan energi air di
suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata yaitu
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Namun pada pelaksanaannya masih
banyak kendala di lapangan ataupun dari pihak pelaksana sendiri yaitu pemerintah
sehingga manfaat taman nasional yang sesuai fungsi dan tujuannya tidak maksimal
walaupun sudah dikeluarkan peraturan terbaru mengenai pemanfaatan dan
pelestarian taman nasional.
Taman nasional termasuk dalam hutan konservasi. Undang-undang
Kehutanan tahun 1999 menetapkan bahwa hutan konservasi berfungsi utama untuk
melindungi dan mengawetkan keanekaragaman hayati dan ekosistem. Laporan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan terdapat
6.381 desa, termasuk 134 komunitas masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan
konservasi Indonesia. Permasalahan terjadi dikarenakan tidak ada kolaborasi antara
pemerintah daerah dan masyarakat terutama masalah komunikasi. Hutan yang
dijadikan sebagai taman nasional biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
sejak dulu. Tapi fungsi dari adanya hutan konservasi adalah meminimkan aktivitas
manusia agar hutan tetap alami. Tahun 2015, KLHK
mengeluarkan peraturan mengenai pengelolaan berbasis zonasi sebagai solusi
penyelesaian masalah klasik antara agenda konservasi dan keberlangsungan hidup
masyarakat di hutan konservasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa
konflik antara masyarakat setempat dengan pengelola kawasan masih terus terjadi.
Sebagai contoh, Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau, di mana masyarakat
masih membangun pemukiman dan menanam tanaman sawit secara ilegal di area
yang seharusnya dilarang. Lalu, pengelolaan taman nasional tidak pernah luput dari
konflik lahan, kekurangan sumberdaya manusia untuk menjaga taman nasional dan
lainnya.

Untuk itu selain pemerintah, masyarakat sekitar hutan harus diberi


pengertian dan pemahaman bagaimana taman nasional dimanfaatkan demi
kesejahteraan rakyat namun juga harus mampu melindungi wilayah taman nasional.
Untuk itu diperlukan kepedulian pemerintah dalam pendampingan masyarakat,
sosialisasi, dan fasilitasi mengenai taman nasional. Kerjasama antara pemangku
kebijakan yaitu pihak pemerintah, perusahaan swasta, dan LSM sangat dibutuhkan
demi mencapai pengelolaan taman nasional yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai