Anda di halaman 1dari 9

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Oleh : Siti Nurbaya

https://www.sitinurbaya.com/artikelku/997-kebijakan-perhutanan-sosial-untuk-
kesejahteraan-rakyat

Sejarah umum social forestry

Pembangunan kehutanan yang melibatkan peran serta masyarakat, pertama kali


diperkenalkan oleh Komisi Nasional Pertanian di India pada tahun 1976. Saat itu,
masyarakat telah mulai dilibatkan dalam rangka mendorong agar warga yang telah
lama mengantungkan hidupnya hanya pada pencarian kayu bakar dan hasil hutan
lainnya, dapat menghasilkan sumber pendapatan sendiri, tanpa harus menggangu
sumber daya hutan yang ada. Dari sini diharapkan, fungsi hutan sebagai kawasan
lindung dan konservasi dapat terjaga dengan lestari.

Pelibatan peran serta masyarakat inilah, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal
terciptanya model pengelolaan hutan yang kini kita kenal sebagai Kebijakan Program
Perhutanan Sosial (PS).Selain diharapkan dapat menjaga kawasan hutan agar tetap
lestari, Program Perhutanan Sosial lahir untuk menjawab pertanyaan apakah benar
bahwa hutan sebagai sumber penghidupan warga masyarakat perdesaan, telah
dioptimalkan fungsinya secara sosial, sehingga dapat membantu mengurangi dan
mengatasi kemiskinan, bagi warga masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Di Indonesia program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based


forest management), dimulai tahun 1995, melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (Kepmen
622/95). Kebijakan ini lahir untuk bisa mengakomodir peranserta masyarakat, dalam
mengelola hutan, baik di dalam kawasan hutan produksi maupun di kawasan hutan
lindung. Sayangnya, oleh banyak pihak, SK 622/Kpts-II/1995 dinilai masih artifisial,
dalam model pemberdayaan masyarakatnya. Dimana, disamping jangka waktunya
pendek (2 tahun), pemanfatan hutan yang ada, ternyata sangat dibatasi hanya pada
kegiatan tumpangsari dan hasil hutan bukan kayu. Bobot program masih hanya pada
pemberdayaan masyarakat saja (yang mungkin belum utuh).

Kemudian pada tahun 1998, SK Menhut Nomor 622/Kpts-II/1995


diperbaharui menjadi SK. Menhut Nomor 677/Kpts-II/1998. Essensi dari perubahan
ini dimaksudkan untuk mengatur pemberian akses kepada masyarakat, dalam Hak
Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan melalui lembaga koperasi. Lagi-lagi disini
masih hanya pada konsep pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, seiring dengan kebijakan otonomi daerah, Menteri Kehutanan


menetapkan SK Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan
Kemasyarakatan, sebagai pengganti dari SK 865 tentang Penyempurnaan Keputusan
Menteri Kehutanan nomor 677 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Ketentuan (SK.31)
ini, dipandang sebagai bagian dalam pelaksanaan desentralisasi pengelolaan
sumberdaya hutan di tingkat daerah.

Dalam proses perjalanannya, di tahun 2007, program HKm kemudian diperluas


dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007, tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Berdasarkan PP tersebut, ditetapkan pula peraturan teknis yang mengatur tentang
HKm, HD, HTR dan Kemitraan Kehutanan.

Kebijakan Perhutanan Sosial, bukan sekedar pemberdayaan

Kebijakan perhutanan sosial saat ini merupakan kebijakan yang utuh untuk hutan bagi
kesejehteraan masyarakat dengan beberapa skema yakni HD (Hutan Desa), HTR
(Hutan Tanaman Rakyat) , HKm (Hutan Kemasyarakatan), HR (Hutan Rakyat),
Kemitraan dan HA (Hutan Adat).Dia merupakan kebijakan untuk kita bisa
mendapatkan orientasi baru, yakni produktivitas masyarakat tepi hutan dan atau
didalam hutan.

Konsitusi kita menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dan menjadi mansuisa yang produktif juga merupakan
salah satu dari unsur hak azasi manusia. UUD 1945 menjamin hal tersebut. Jadi
kebijakan perhutanan sosial, bukan hanya soal perizian semata, melainkan soal pintu
masuk, akses kelola hutan menuju kesejahteraan. Rakyat harus menjadi komunitas
produktif dan berbisnis secara sistimatis. Dengan demikian banyak aspek dalam
kebijakan perhutanan sopsial seperti kelembagaan Kelompok Tani Hutan (KTH),
teknologi, pemasaran dll yang juga harus siap.
Perkembangan luasan areal hutan menunjukkan evolusi hutan Indonesia dikaitkan
dengan kesejahteraan masyarakat. Pada era TGHK atau Tata Guna Hutan
Kesepakatan sekitar tahun 1978-1983an dan sebelumnya, dikenal dengan istilah
hutan register, tercatat luas hutan Indonesa sekitar 144 juta hektar. Luas hutan ini
kemudian menjadi sekitar 137 juta hektar pada sekitar tahun 1992-1997 pada era
padu serasi antara tata ruang hutan dan tata ruang wilayah. Serta kemudian pada
penerapan penuh tata ruang wilayah ditahun 2007 danseterusnya tercatatluas areal
hutan menjadi 126 juta hektar. Yang bisa dilihat dari isni ialah bahwa selama proses
itu telah terjadi pelepasan kawasan hutan untyuk masyarkat seluas tidak kurang dari
18 juta hektar, yang harusnya sudah bisa menunjukkan kesjehteraan masyarakat. Apa
yang terjadi bahwa ketika era pemerintahan Presiden Jokowi ini dimulai, dalam Nawa
Cita Presiden diidentifikasi dengan baik adanya permasalahan tenurial, konflik dan
lain-lain. Begitu pula kesenjangan dalam land holding atau pengelolaan lahan. Data
perijinan menunjukkan bahwa tidak kurang dari 43 juta areal kawasan hutan telah
diberikan ijin sejak tahu 1980-an seperti HPH, HTI, pelepasan menjadi penggunaan
lain seperti kebun, tambang dan lain-lain. Perijinan itu di waktu yang lalu lebih banyak
diberikan kepada korporat atau sekitar 96 % sedangkan hanya sekitar 4 % dalam
bentuk perijinan bagi masyarakat. Presiden Jokowi melalui Nawa Cita melakukan
langkah korektif. Mengubah dan menjadikan keberpihakan kepada rakyat lebih
mengemuka, diaktualisasikan. Dengan 43 juta hektar areal berijin
tersebut, ditambahkan dengan areal ijin hutan sosial seluas 12,4 juta hektar serta
pencadangan kawasan untuk tanah reforma agraria, serta dengan memproyeksikan
bahwa penambahan ijin untuk korporat dibatasi secara proporsional dan tidak akan
berkembang luas, diproyeksikan bahwa perubahan proporsi perjinan akan bergeser
dari 96 % bagi korporat dan 4 % bagi rakyat, akan menjadi sekitar 29-31 % untuk
rakyat dan sekitar 69-71 % untuk korporat.

Persoalannya lebih lanjut, pola perijinan rakyatyang bagaimana yang tepat untuk
betul-betul dapat menjawab bagi hadirnya kesejahteraan rakyat? Maka
pengembangan kebijakan perhutanan sosial menjadi tidak mudah serta-merta
dirumuskan, dan harus dilakukan denganhati-hati dan harus dapat diyakini
implementasinya dapat berjalan baik. Itu sebabnya maka penetapan kebijakan tidak
dapat langsung serta-merta dirumuskan. Tetapi dirumuskan dalam formulasi yang
tepat dan komprehensif.
Beriringan dengan kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial, Presiden Jokowi
juga terus memikirkan konsep pengembangan ekonomi yang berkeadilan. Dengan
mendapatkan saran, masukan dan berbagai referensi dan digodok secara
teknis dalam koordinasi Menko Perekonomian, MenLHK, Menteri BUMN dan Menteri
ATR serta KSP (era Teten Masduki), terus diyakinkan kepada Presiden. Pada
akhirnya dapat ditetapkan kebijakan Presiden Jokowi untuk kernagka pemerataan
ekonomi terdapat 3 elemen dasar yaitu : 1) akses kepada aset (dalam hal ini lahan);
2) kesempatan untuk berusaha serta 3) kapasitas manajamen oleh SDM/masyarakat.

Dalam kerangka inilah maka Program Perhutanan Sosial berkembang secara utuh dan
menjadikan penanda baru eraJokowi untuk membangun kesejahteraan masyarakat,
khususnya masyarakat didalam dan disekitar kawasan hutan, yang ditetapkan ancer-
ancer arahnya pada bulan September 2016 bagi kebijakan perhutanan sosial.

Dalam proses yang panjang sejak akhir 2014 dan sepanjang tahun 215 serta sebagain
waktu di tahun 2016, upaya untuk meyakinkan Presiden menjadi bagian sangat
penting akan hadirnya program Perhutanan Sosial penanda baru di era Presdien
Jokowi ini.

Menteri LHK melakukan konfirmasi empirik di lapangan, simulasi perkembangan


kebijakan, stimulasi, fasilitasi pendampingan aktivis di lapangan. Konfirmasu
langsung ditengah-tengah masyarakat, dengan kunjungan kerja lapangan untuk
melihat format bisnis, pembinaan kelembagaan kelompok tani hutan, orientasi
ekonomi kreatif, potensi wisata, dan industri kayu rakyat guna menopang upaya
pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan melalui
skema Perhutanan Sosial.

Beberapa snapshots yang dilakukan oleh MenLHK sebagai berikut :

Untuk skema Hutan Kemasyarakatan, saya berkunjung ke Kalibiru Kabupaten Kulon


Progo. Di sana rakyatmemanfaatkan ekowisata pemandangan yang indah dan mampu
meningkatkan ekonomi rakyat disekitarnya.
Adapun untuk skema Mitra Konservasi saya berkunjung ke Tahura Wan Abdurahman
di Lampung. Di sini saya melihat agroforestry dan rakyat setempat yang dulunya
merambah dan melakukan penebangan ilegal, sekarang menikmati HHBK (hasil
Hutan Bukan Kayu), kelimpahan air dan terbebas dari longsor, banjir, dan kebakaran
hutan.Selain itu di Gedong Wani, saya melihat potensi pengembangan pangan dan
ternak melalui Kemitraan dengan KPHP.

Selanjutnya untuk skema Hutan Desa/Hutan Nagari saya berkunjung ke Hutan Nagari
Sungai Buluh di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Di sana rakyat
mengelola hutan dengan kearifan lokal dan menerapkan hukum adat nagari.Ada
Lubuk Larangan dengan sungainya yang jernih, kalau ada penduduk yang mengambil
ikan tanpa upacara adat, dikenakan sanksi pembayaran 10 sak semen. Juga saya
hadir di Desa Indudur Kabupaten Solok, dengan konsep kelembagaan yang telah
cukup baik melalui kelembagaan Peraturan Nagari.

Untuk skema pembayaran jasa lingkungan tata air (Payment for Environmental
Services/ PES), saya berkunjung ke Rawa Danau Kabupaten Serang, Banten. Di sana
kelompok tani hutan mau menanam, dan memelihara hutan di pekarangannya dan
menjaga Cagar Alam Cidanau karena ada pembayaran dari pengguna air di Cilegon
yaitu Krakatau Steel, Asahimas, dan Candra Asri yang membutuhkan air untuk
kegiatan industri dan air minum kota Cilegon. Di sini kelompok tani sebagai sellers dan
industri di Cilegon sebagai buyers.

Untuk skema Hutan Adat saya mendatangi Masyarakat Hukum Adat Amatoa di
Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Saya masuk di Hutan Adat yang
berfungsi produksi dimana struktur hutan, strata canoppy, terjaga dengan baik, karena
mereka mempraktekan tebang pilih atau memungut Hasil Hutan Bukan Kayu-nya
untuk kebutuhan sendiri. Ketika memasuki kampung adat dan bersama-sama di balai
pertemuan adat, bisa kita rasakan suasana kebatinan yang sulit diutarakan, dan terasa
ketulusan para tetua adat, juga saya mendengarkan penjelasan bagaimana aktualisasi
selama ini dan saya melihat konsep kelembagaan dengan nilai-nilai yang
diaktualisasikan dlaam keselrasan prinsip-prinsip budaya desa adat dengan pola
kerja desa administratif/pelayanan umum. Saya kira ini sangat penting sebagai
aktualisasi pengakuan dan perlindungan oleh negara atas Masyarakat Hukum Adat.

Demikian juga untuk skema HTR, saya mengunjungi Desa Hajran di Jambi dimana
rakyat setempat akan mengusahakan jenis-jenis tanaman cepat tumbuh untuk
membangun industri veneer milik sendiri. Ini juga sejalan dengan perintah Bapak
Presiden kepada Kementerian LHK dan APHI agar menyusun Road Map Industri
Perkayuan untuk membangkitkan kejayaan industri perkayuan di Indonesia, yang juga
sednag dbahasa leh KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional)

Untuk skema Hutan Rakyat, saya datang ke Kalimantan Selatan ke Desa Telaga
Langsat Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah Laut untuk bertemu dan berdialog
dengan anggota kelompok tani Hutan Rakyat Silvopastur. Di sini Hutan Rakyat dikelola
dengan baik antara lain ditanami jenis pohon, juga ada ternak sapi yang sehat dan
kotorannya digunakan untuk biogas, ada kolam ikan, dan lebah madu sekitar 500
koloni yang tersebar hingga kecamatan-kecamatan.
Cukup sulit mengekspresikan dengan kata-kata, tentang pancaran kondisi
masyarakat yang memilki harapan besar, ketulusan, kejujuran, kegembiraan,
optimisme dan semangat yang besar untuk perwujudan Perhutanan Sosial
di Indonesia secara utuh.

Dengan keyakinan yang ada, digulirkan secara resmi program Perhutanan Sosial pada
21 September 2016 dan selanjutnya melangkah dengan segala perangkat regulasi
dan berbagai aktivitas. Tidak mudah, cukup rumit di lapangan dan penuh
tantangan. Beberapa kali Presiden Jokowi melakukan observasi lapangan sambil
melakukan penyerahan keputusan tentang SK Perhutanan Sosial di luar Jawa dan di
Jawa. Dalam perjalanan ini juga terus dilakukan pembelajaran di tengah masyarakat
untuk terus ditingkatkan agar implementasi dapat berlangsung baik. Terus menerus
petunjuk lapangan diberikan oleh Presiden kepada Menko Ekuin, MenLHK dan
MenBUMN serta seluruh jajaran yang terlibat.
Era Presiden Jokowi, Penanda Baru

Konsep perhutanan sosial harus mampu sejahterakan masyarakat di dalam dan


sekitar hutan.Penegasan Presiden Jokowi pada penyerahan SK Perhutanan Ssial di
Kaliantan Tengah : “Hutanharusmendatangkankesejahteraanbagimasyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan. Konsep perhutanan sosial akan memberikan aspek
legal masyarakat menanam di hutan rakyat.Semangat perhutanan sosial
memunculkan keadilan sosial. Masyarakat hidup di perhutanan sembari melestarikan
sumberdaya hutan” ( Jokowi, 21 Desember 2016,Pulang Pisau,
Palangkaraya.Kalimantan Tengah ).
Target Program Pehrutanan Sosial dituangkan dan dijabarkan, dalam Renstra
Kementerian LHK dan berdasarkan data Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial
(PIAPS) dengan Keputusan Menteri Nomor SK.4865/MENLHK-
PKTL/REN/PLA.0/9/2017 tanggal 25 September 2017. Maka dari sinilah mulai
Perhutanan Sosial Era Baru.

Selanjutnya, dilakukan penyerahan SK Perhutanan Sosial di Kabupaten Pulang Pisau


(20 Desember 2016), dan diikuti dengan Pencanangan Hutan Adat di Istana Negara
(tanggal 30 Desember 2016).

Yang harus diperhatikan, bahwa lahan kawasan bukan untuk dibagi-bagikan, tetapi
berupa akses kelola kawasan hutan, pemberian hak dan izin pemanfaatan kawasan
hutan negara, untuk kemakmuran rakyat.

Sejak diberikan kali pertama oleh Presiden RI, hingga kini telah direalisasikan areal
perhutanan sosial bagi rakyat seluas 1.573.459.04 Ha, berupa SK Ijin bagi sebanyak
4.345 SK dan mencakup 364.717KK di seluruh Indonesia.
Melengkapi target 12,7 Juta Ha (RPJMN 2015-2019), terus dilakukan penyesuaian
dari berbagai implementasi lapangan. Penyederhanaan Peraturan Terkait Skema PS
menjadi 2 Permenhut yaitu P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan
Sosial dan P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah
Kerja Perum Perhutani. Aplikasi Perijinan Perhutanan Sosial secara online (Akses
Kelola Perhutanan Sosial) online, difasilitasid na didukung oleh POKJA Perhutanan
Sosial di pusat dan daerah, serta kegiatan Pendampingan PS dan Fasilitasi
Peningkatan kapasitas Usaha PS. Berbagai model juga terus berkembang. Pola kerja
bersama rakyat dan swasta dalam kolaborasi untuk mengatasi masalah-masalah
tenurial di lapangan juga diharapkan berangsur hilang dan konflik lahan yang selalu
menjadi momok bagi rakyat desa harus segera berakhir.

Proram Perhutanan Sosial era Presiden Jokowi ini sangat penting bagi kemajuan
rakyat yang ditandai dengan ciri-ciri : utuh, tidak sekedar pemberdayaan masyarakat
sebagai peerja, tetapi masyarakat sebagai dan dalam kapasitas sebagai pelaku
usaha. Ada fasilitasi yang utuh, dimana akses terhadap lahan usaha disertai
dengan akses fasilitasi pemerintah seperti sarana usaha tani termasuk
permodalan usaha serta perintisan bersama pola off-taker, penerima produk akhir,
dan dalam cluster usaha, sehingga timbul interaksi ekonomi dan sentra ekonomi
domestik, juga dapat terbangun kohesi sosial masyarakat dalam kondisi yang jauh
lebih baik dan rakyat akan lebih optimis menatap masa depan.

Anda mungkin juga menyukai