FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2023 ANALISIS PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBAHASAN KEBIJAKAN TAMAN NASIONAL 1. Pendahuluan
1.1 Analisis Perhutanan Sosial
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
1.2 Tujuan
Perhutanan sosial dibuat untuk memudahkan masyarakat dalam mengelola
hutan dalam hal ini masyarakat adat dan berfungsi untuk mensejahterakan rakyat. Adanya program perhutanan sosial dilatarbelakangi oleh dua agenda besar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan menciptakan model pelestarian hutan yang efektif. Tujuan pengembangan perhutanan sosial adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola hutan sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar hutan.
2. Tinjauan Pustaka
Kegiatan Perhutanan Sosial (social forestry) didefinisikan sebagai bentuk
kehutanan industrial (konvensional) yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal (Gilmour dan Fisher, 1991). Jika mengacu pada data yang ada, di mana luas hutan rakyat (HR) diperkirakan 1.265.460 ha (Suryandari dan Puspitojati, 2003), hutan kemasyarakatan sampai tahun 2006 seluas 33.576 ha (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006) dan akan ditingkatkan sampai tahun 2015 menjadi 2,1 juta ha, sementara untuk program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) sampai tahun 2006 seluas 551.739 ha untuk reboisasi, 618.261 untuk hutan rakyat, 5.602 ha untuk hutan kota, dan 4.963 ha untuk hutan bakau (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2006), maka menampakkan kecenderungan peningkatan kemampuan pemerintah untuk mengelola model-model perhutanan sosial yang ada. Pemerintah menargetkan untuk membuka perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar pada 2019, namun terdapat banyak kendala. Saat ini, ada 5 skema Perhutanan Sosial (PS) beroperasi di Indonesia tertuang dalam aturan Permen LHK.83/2016 tentang Perhutanan Sosial yakni: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat (KLHK, 2016).
2.1 Rumusan Masalah
Kendala perhutanan sosial berupa penyediaan dana dan bentroknya izin
untuk membuka perhutanan sosial. Agar mampu mencapai target 12,7 juta hektar, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran sedikitnya Rp830,58 milyar setiap tahun. Biaya itu diperlukan meliputi sejumlah kebutuhan seperti pendampingan masyarakat, sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi usulan penerbitan izin perhutanan sosial. Kebijakan Perhutanan sosial didasarkan atas kondisi hutan dan kondisi sosial masyarakat di sekitar hutan yang belum berhasil ditingkatkan termasuk program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).
2.2 Rumusan Masalah
Pihak pemerintah sendiri mengatakan diantaranya kondisi hutan melalui
tutupan yang rendah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tidak meningkat meskipun terdapat program PHBM yang berjalan selama 15 tahun. Program PHBM menjadi sorotan karena beberapa hal menurut wacana yang berkembang. Pertama, PHBM belum mampu menggandeng masyarakat dalam memperbaiki kondisi tutupan hutan di beberapa areal kerja Perhutani. Kedua, masih lemahnya pemahaman petani hutan terhadap PHBM dan ketiga, adanya indikasi penyimpangan pelaksanaan PHBM yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program PHBM perlu dievaluasi keberadaannya sehingga masyarakat terlibat secara aktif sebagai subyek pengelola hutan. Karena tujuan dibentuknya Perhutanan sosial adalah untuk kesejahteraan rakyat (Maryudi, 2013).
Lalu, masyarakat kesulitan dalam mengusulkan area yang masuk menjadi
perhutanan sosial karena pemerintah mewajibkan wilayah yang diusulkan itu harus clean and clear (CnC). Tidak boleh ada tumpang tindih dengan izin yang berlaku di daerah tersebut. Sebagian besar hutan yang diusulkan oleh masyarakat untuk dijadikan hutan rakyat sudah mengantongi izin yang diberikan kepada perusahaan atau yang dimiliki pemerintah seperti hutan konservasi. Jadi, program perhutanan sosial dinyatakan belum terlalu berhasil untuk mencapai tujuannya. 3. Pembahasan
Kebijakan Taman Nasional
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Lebih dari dua dasawarsa kebijakan taman nasional diimplementasikan di Indonesia. Penetapan dan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu cara memperoleh manfaat sumberdaya hutan selain kayu, sehingga manfaatnya dapat dinikmati secara lestari lintas generasi.
3.1
Konflik di taman nasional terjadi karena praktek pengelolaan taman
nasional tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal dan cenderung lebih mementingkan aspek ekologis dan politik. Misalnya saja kondisi ekosistem hutan yang sangat baik sering dijadikan alasan pemerintah untuk menghindari tekanan dunia internasional. Sebagaimana diketahui Indonesia saat ini menjadi sorotan dunia internasional karena memiliki rekor sebagai perusak sumberdaya hutan tertinggi di dunia. Di kalangan konservasionis kondisi ekologi yang stabil akan tercapai jika tidak ada campur tangan manusia di dalamnya. Implikasi persoalan ini adalah masyarakat lokal akan semakin termarginalkan dan tidak memperoleh hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan, padahal ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya tersebut sangat tinggi. Untuk itulah pemerintah membentuk program Perhutanan sosial namun dalam pelaksanaannya masih menemukan banyak kendala.
Lalu, pemerintah mengeluarkan banyak peraturan mengenai perizinan yang
berhubungan dengan taman nasional misalnya pemanfaatan air dan energi air di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019. Namun pada pelaksanaannya masih banyak kendala di lapangan ataupun dari pihak pelaksana sendiri yaitu pemerintah sehingga manfaat taman nasional yang sesuai fungsi dan tujuannya tidak maksimal walaupun sudah dikeluarkan peraturan terbaru mengenai pemanfaatan dan pelestarian taman nasional. 3.2
Taman nasional termasuk dalam hutan konservasi. Undang-undang
Kehutanan tahun 1999 menetapkan bahwa hutan konservasi berfungsi utama untuk melindungi dan mengawetkan keanekaragaman hayati dan ekosistem. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan terdapat 6.381 desa, termasuk 134 komunitas masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan konservasi Indonesia. Permasalahan terjadi dikarenakan tidak ada kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat terutama masalah komunikasi. Hutan yang dijadikan sebagai taman nasional biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sejak dulu. Tapi fungsi dari adanya hutan konservasi adalah meminimkan aktivitas manusia agar hutan tetap alami. Tahun 2015, KLHK mengeluarkan peraturan mengenai pengelolaan berbasis zonasi sebagai solusi penyelesaian masalah klasik antara agenda konservasi dan keberlangsungan hidupmasyarakat di hutan konservasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik antara masyarakat setempat dengan pengelola kawasan masih terus terjadi.Sebagai contoh, Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau, di mana masyarakat masih membangun pemukiman dan menanam tanaman sawit secara ilegal di area yang seharusnya dilarang. Lalu, pengelolaan taman nasional tidak pernah luput dari konflik lahan, kekurangan sumberdaya manusia untuk menjaga taman nasional dan lainnya.
4. Kesimpulan
Untuk itu selain pemerintah, masyarakat sekitar hutan harus diberi
pengertian dan pemahaman bagaimana taman nasional dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat namun juga harus mampu melindungi wilayah taman nasional. Untuk itu diperlukan kepedulian pemerintah dalam pendampingan masyarakat, sosialisasi, dan fasilitasi mengenai taman nasional. Kerjasama antara pemangku kebijakan yaitu pihak pemerintah, perusahaan swasta, dan LSM sangat dibutuhkan demi mencapai pengelolaan taman nasional yang optimal.