Anda di halaman 1dari 19

PENDAPAT HUKUM ATAS PERMASALAHAN HUKUM

UPAYA BERKELANJUTAN SESUAI PERAN, HAK, DAN TANGGUNG JAWAB


PEMERINTAH DALAM UPAYA MENGATASI DEFORESTASI HUTAN: STUDI KASUS
DEFORESTASI DAN DEGRADASI LAHAN HUTAN KALIMANTAN

Oleh

MUHAMMAD ARVIN WICAKSONO (3020210011)

HUKUM LINGKUNGAN G

A. KASUS POSISI
Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya hutan di Kalimantan menempati posisi penting
sebagai donatur utama penghasil oksigen sekaligus penyerap karbondioksida. Penyematan gelar
paru-paru dunia kini tak hanya disandang oleh hutan Kalimantan, tetapi Papua dan Sumatera
hingga pulau-pulau kecil lainnya seperti Kepulauan Maluku. Dimana melalui sumbangsih dari
wilayah-wilayah penghasil utama oksigen ini Indonesia mampu menduduki posisi ketiga
terbesar di dunia setelah Brazil dan Kongo. Namun sayang, tidak banyak masyarakat yang kritis
dan mengetahui bahwasannya luas hutan Indonesia sudah mengalami penyusutan. Hal ini dapat
dilihat dari luas hutan Indonesia pada tahun 2006 berada di angka 98 juta hektare. Kemudian
mengalami penurunan di tahun 2014 menjadi 95 juta hektare hingga tahun 2019 tersisa 94 juta
hektare saja. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mendasarnya salah satunya adalah
alih fungsi lahan. Dimana eksistensi hutan sebagai paru-paru dunia mulai dibuka untuk
kebutuhan tertentu dalam hal yang sangat masif seperti kawasan industri hingga praktik
pertambangan. Beberapa cara yang ditempuh dalam menjalankan praktik kebutuhan tersebut
diantaranya dengan pembakaran yang menjadi pemicu polusi udara. Padahal asap yang
menjamah kehidupan warga sebagai dampak kebakaran di tahun 2015 tidak hanya dirasakan
oleh Indonesia tetapi juga Singapura dan Malaysia. Sehingga dijatuhkan sanksi untuk 10
perusahaan pelaku pembakaran. Lalu, alih fungsi lahan untuk pertambangan dan perkebunan
sawit yang notabene tidak ramah air. Sehingga justru dapat memicu terjadinya banjir seperti
yang terjadi di Konawe Sulawesi Utara. Lalu dampak pertambangan yang tidak segera
direhabilitasi atau direklamasi juga dirasakan oleh warga di Kutainegara Kalimantan Timur
dimana terjadi longsor yang menghancurkan 5 rumah warga. Tidak berhenti sampai disitu
permasalahan ketiga dalam berita media muncul bahwa akhir Agustus 2020 sejumlah pihak
keamanan merangkap ketua adat Dayak di Kinipan Kalimantan Tengah dengan dugaan tindak
pidana. Hingga terjadinya ketidakseimbangan ekosistem dan keterancaman populasi satwa
akibat aktivitas manusia yang menjamah hutan.

B. PERMASALAHAN
Berdasarkan paparan kasus posisi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan dari beberapa
pertanyaan seputar isu hukum yang berkorelasi dengan permasalahan yang sedang dibahas yaitu
:
1. Bagaimana hubungan antar sumber daya dalam lingkungan dalam upaya pencegahan
perusakan dan pencemaran lingkungan hidup?
2. Bagaimana implementasi asas tanggung jawab negara dalam kasus tersebut?
3. Bagaimana upaya berkelanjutan yang ditempuh oleh pemerintah sesuai peran, hak, dan
tanggung jawabnya dalam mengatasi deforestasi hutan yang terjadi di Indonesia?

C. PEMBAHASAN
1. Hubungan Antar Sumber Daya dalam Lingkungan dalam Upaya Pencegahan Perusakan dan
Pencemaran Lingkungan Hidup
Berbicara mengenai sumber daya ini merupakan sebuah aspek mutlak yang ada dalam
berjalannya setiap aktivitas manusia. Sumber daya ini bukan hanya tentang sumber daya wilayah
yang dapat dimanfaatkan namun juga berbicara mengenai sumber daya manusia sebagai pihak
pengelola dari sumber daya alam yang ada. Sebagai pihak pengelola sumber daya manusia
memegang peranan penting utamanya dalam melakukan planning, koordinasi lapangan,
pengadministrasian, pengorganisasian hingga manajemen terkait dampak terhadap kelestarian
alam. 1Eksistensi dari kelestarian lingkungan saat ini memiliki posisi yang sejajar dengan Hak
Asasi Manusia dan demokrasi. Namun fakta yang terjadi saat ini adalah sumber daya alam
dieksploitasi besar-besaran dengan mengorbankan kepentingan ekologi dan nilai sosial budaya dan
justru berkiblat pada liberalisasi ekonomi dan kapital. Maka dari sini dapat diketahui untuk
mencapai kondisi lingkungan hidup yang stabil dalam artian terbebas dari kerusakan dan

1
Cahyani, Ferina Ardhi. ‘’Upaya Peningkatan Daya Dukung Lingkungan Hidup Melalui Instrumen Pencegahan Kerusakan
Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmu Hukum (Vol. 2, No. 1, Juni 2019) : 53-60
pencemaran dibutuhkan keseimbangan antara SDA dan SDM yang baik dengan konstitusi yang
berlaku dan terikat.

Dalam UU No. 18 Tahun 2013 Bab I Pasal I Ayat I disebutkan bahwasannya hutan
merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara
yang satu dan yang lainnya. Lalu dilanjutkan dengan ayat 2 bahwasannya kawasan hutan ini adalah
wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
sebuah hutan tetap. Dalam kaitannya dengan upaya pencegahan terhadap perusakan ekosistem
hutan, pada dasarnya deforestasi atau pengonversian kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan ini
sudah legal dilakukan oleh setiap negara dengan aturan tertentu. 2Dimana syarat dan ketentuan
dalam deforestasi Indonesia ini pemerintah telah mengeluarkan perundang-undangan sebagai aturan
mutlak dalam konstitusi yakni UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 41/199
tentang Kehutanan. Hal ini diperkuat kembali dengan adanya peraturan UU No. 32 Tahun 2009
yang mengatur mengenai Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan. Dalam mempertimbangkan
makna yang terkandung dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan yakni

a. Bahwa hutan, sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada
bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat
bagi umat manusia yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal serta
dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dinyatakan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan
berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk
menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang
c. Bahwa telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan

2
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. ‘’Deforestasi Tidak Diharamkan Di Seluruh
Negara’’.Https://Gapki.Id/News/2278/Deforestasi-Tidak-Diharamkan-Di-Seluruh-
Negara#:~:Text=Berbeda%Dengan%20Eropa%20dan26%2F2007%20tentang%20Penataan%20ruang. Diakses pada
tanggal 7 May 2022 pukul 20.00
d. Bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan
perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya
dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional,
regional, dan internasional
e. Bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi,
dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam
kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat
dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum
f. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum
mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang
terorganisasi; dan
g. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
Diatur dalam Undang-Undang Perhutanan yakni Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 3 Bab II yang menyatakan bahwasannya
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan
dan berkelanjutan dengan:
a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional
b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi
produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan
lestari
c. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai
d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan
ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.
e. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Maka dari uraian konstitusi negara kita bisa mengetahui bahwasannya pada dasarnya
keberadaan hutan di Indonesia ini mutlak untuk dimanfaatkan unutk kemakmuran masyarakat
menjadi sebuah sumber daya karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk menunjang
perkembangan hidup manusia yang lebih seimbang dan dinamis. Keberadaan hutan Indonesia ini
menjadi salah satu dari modal utama terbangunnya tujuan pembangunan nasional utamanya dalam
hal keberlangsungan menunjang kemakmuran masyarakat Indonesia. Dalam pengaplikasian
memanfaatkan potensi hutan sebagai sumber daya asli Indonesia maka membutuhkan sebuah
perencanaan rasional, optimal, dan mengedepankan tanggung jawab utamanya dalam
memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Ini menjadi langkah dasar dalam upaya
pencegahan perusakan hutan dan sebagai bentuk supportif terhadap pengelolaan hutan serta
pembangunan terhadap ekosistem kehutanan. Pada dasarnya potensi dan seluruh sumber daya yang
ada di hutan boleh dimanfaatkan utamanya dalam hal menunjang penghidupan yang layak dan
sejahtera bagi masyarakat. Namun harus memperhatikan aturan legal, serta kelestariannya karena
hutan Indonesia turut menjadi tiga besar penyumbang oksigen terbesar di dunia maka pencegahan
perusakan hutan ini sangat perlu dilakukan.
Pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengatur mengenai sumber daya alam.
Contohnya dalam pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwasannya bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Oleh karenanya, terdapat UU P3H yang juga mengatur mengenai kegiatan perusakan hutan
pada dasarnya sangat dilarang sesuai dengan pasal 19, pasal 20, pasal 21, hingga pasal 22. Dimana
pada pasal-pasal tersebut diatur mengenai bentuk kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan
hutan, diantaranya
1. Pada pasal 19 menyatakan bahwasannya setiap orang yang berada di dalam atau di luar
wilayah Indonesia dilarang
a. Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah
b. Ikut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah
c. Melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah
d. Mendanai pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara
langsung atau tidak langsung
e. Menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah
f. Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah, atau hasil penggunaan kawasan
hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupu di luar negeri
g. Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk
pemanfaatan limbahnya
h. Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan atau menukarkan uang atau
surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah.
i. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga
berasal dari hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah
2. Pasal 20 menyatakan bahwasannya setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan atau
menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar
dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
3. Pasal 21 menyatakan bahwasannya setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil
pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan
konservasi
4. Pasal 22 menyatakan bahwasannya setiap orang dilarang menghalang-halangi dan atau
menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan
tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Maka menilik undang-undang dan seluruh konstitusi yang berlaku, sudah seharusnya seluruh
warga Indonesia atau para pihak swasta pemiliki pertambangan dan industri sadar akan hal ini maka
keduanya akan dapat berjalan secara seimbang dan beriringan. Namun sayang, kondisi yang ada di
lapangan tidak demikian. Deforestasi yang seharusnya dapat dilakukan secara legal dan memiliki
aturan-aturan terikat agar keseimbangan dan kelestarian alam terjaga tetapi tidak demikian dalam
praktiknya. Kondisi ini tentu tidak sejalan dengan kasus deforestasi yang terjadi di hutan
Kalimantan. Eksploitasi besar-besaran dengan cara yang tidak memperhatikan AMDAL masih terus
dilakukan. Ditambah lagi jumlah luas hutan Indonesia mengalami penurunan dan menyempit setiap
tahunnya. Maka dibutuhkan adanya perlindungan akan kondisi perhutanan Indonesia. Namun untuk
dapat memahami mengenai perlindungan akan pencegahan kerusakan lingkungan hidup tersebut
diperlukan sumber daya manusia yang melek akan hukum dan aturan yang berlaku. SDM yang baik
tidak akan melakukan hal negatif yang membawa pengaruh negatif baik bagi ekologi, populasi
satwa, hingga masyarakat adat setempat. 3Karena mereka paham akan esensi dalam UUD 1945 pun
disebutkan bahwasannya lingkungan hidup yang baik ini menjadi hak asasi manusia sekaligus hak
konstitusional bagi setiap warga negara.

2. Implementasi Asas Tanggung Jawab Negara Dalam Kasus Tersebut.

Asas tanggung jawab atau yang biasa disebut dengan strict liability dimana menurut sejarah
ini diartikan sebagai sebuah asas tanggung jawab mutlak dimana terdapat tiga aspek mengenai asas
tanggung jawab ini diantaranya tanggung jawab seketika dimana pihak yang bertindak sebagai
tergugat harus melakukan tanggung jawab seketika pelanggaran dilakukan. Sementara tanggung
jawab langsung dilakukan secara langsung oleh tergugat tanpa menunggu hasil keputusan
pengadilan yang menetapkan kebersalahan tergugat. Dan tanggung jawab yang dilakukan secara
terbatas ini merupakan tanggung jawab yang dilakukan secara terbatas dikarenakan adanya
keterkaitan dengan asuransi dimana pihak yang memberikan jaminan asuransi akan menanggung
seluruh kerugian secara terbatas hingga nilai asuransi yang ditanggungkan.

Problematika dalam lingkungan hidup utamanya di wilayah hutan Kalimantan kian hari
kian berkembang diikuti dengan jumlah kebutuhan akan pembangunan. Namun kebutuhan akan
pembangunan dan lahan tersebut mutlak harus diimbangi dengan adanya ketentuan-ketentuan
khusus sebagai upaya dasar untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan akibat deforestasi yang
dilakukan oleh kontraktor industri atau pelaku lainnya. 4Sebagaimana hal tersebut sebenarnya sudah
diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 terkait dengan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (UU P3H) khususnya di pasal 19, pasal 20, pasal 21, hingga pasal 22 tentang kegiatan
perusakan hutan. Ini menjadi sebuah ketentuan khusus untuk melakukan tindak lanjut jeratan atas
kejahatan kehutanan yang terstruktur dan sulit terselesaikan dari adanya UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
Penguatan perundangan ini merupakan salah satu langkah dari asas tanggungjawab yang
ditempuh oleh negara mengingat posisi pemerintah disini diwajibkan melakukan perlindungan
lingkungan sekaligus pemenuhan hak warga negara atas lingkungan hidup. 5Penerapan strict liability
atau yang biasa disebut dengan asas tanggung jawab ini dilakukan oleh pemerintah secara intens

3
Dahwir Ali, Barhamudin. ‘’Pengaturan Hukum Indonesia Tentang Pemanfaatan Lingkungan Untuk Kesejahteraan
Rakyat’’. Jurnal Solusi (Vol. 18, No. 3, September 2020). 298-311
4
Enviromental Law. ‘’Kerusakan Hutan Di Indonesia Dan Tinjauan Hukumnya’’.
Https://Www.Dslalawfirm.Com/Id/Kerusakan-Hutan/ Diakses Pada Tanggal 7 May 2022 Pukul 20.30
5
Imamulhadi. ‘’Perkembangan Prinsip Strict Liability Dan Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Di Pengadilan’’. Jurnal Mimbar Hukum (Vol. 25, No. 3, Oktober 2013) 417-432
terbukti dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999 dimana perum perhutani
diwajibkan melakukan penyelenggaraan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil,
pengelolaan, pemasaran, perlindungan hingga pengamanan hutan. Tidak hanya itu, perum perhutani
juga diwajibkan melalukan peningkatan mutu lingkungan hidup hingga pelestarian sumber daya
hutan sebagai maksud dan tujuan perusahaan. Ini merupakan sebuah langkah asas tanggungjawab
yang diambil oleh pemerintah untuk menanggulangi dampak deforestasi yang tidak memperhatikan
lingkungan hidup.
Pemerintah sebagai pelaku keberlangsungan hidup berbangsa bernegara terus menerus
menggagas upaya dan perbaikan kebijakan pemerintah sebagai langkah dasar dalam mengatasi
seluruh problematika lingkungan hidup utamanya dalam hal ruang lingkup kehutanan Indonesia.
Dalam kasus deforestasi hutan Indonesia ini diawali dari adanya aturan perizinan yang tidak
diberlakukan secara tegas serta tidak disebarkannya aturan deforestasi secara legal kepada para
pelaku industri, pertambangan, dan lain-lain. sehingga pihak-pihak swasta yang akan melakukan
deforestasi untuk menjalankan kebutuhannya tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang dijunjung
tinggi. Pembangunan pertambangan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan praktik-praktik
penggusuran lahan hutan lainnya yang terjadi di Kalimantan tentu pada dasarnya hal ini merenggut
hak dari setiap populasi yang hidup dalam habitat hutan Kalimantan. Misalnya jika hutan yang
awalnya menjadi tempat hidup bagi satwa liar atau satwa langka yang dilindungi, dengan adanya
deforestasi liar atau melalui tahap pembakaran hutan maka satwa-satwa akan kehilangan habitatnya.
Dengan kehilangan habitat tempatnya hidup maka satwa berpotensi akan turun menuju pemukiman
warga atau bahkan mengalami kepunahan dikarenakan tidak lagi ada makanan untuk menunjang
kebutuhannya. Hal ini akan membutuhkan peran pemerintah untuk menyediakan lahan baru atau
tempat baru semacam suaka margasatwa ataukah kebun binatang untuk tetap menjaga spesies
langka satwa-satwa asli dari hutan. Tidak hanya satwa, berbagai tumbuhan juga akan rentan
mengalami kepunahan diakibatkan tidak lagi ada media yang menjadi tempatnya tumbuh dan
berkembang. Dengan dilakukannya deforestasi besar-besaran apalagi secara ilegal maka tumbuhan-
tumbuhan dengan spesies kayu tertentu atau langka tentu akan mengalami kepunaha. Dengan
demikian maka ini sangat berbahaya utamanya mempertimbangkan keanekaragaman yang dimiliki
oleh Indonesia. Maka deforestasi hutan apalagi melalui pembakaran bukan hanya dapat
menyusutkan luasnya lahan perhutanan Indonesia tetapi juga menyempitkan kekayaan flora fauna
yang beraneka ragam spesies asli dari Indonesia.
Tidak hanya itu, deforestasi hutan melalui pembakaran ataupun melalui penebangan secara
ilegal dapat merenggut secara paksa hak masing-masing warga negara dalam mendapatkan
penghidupan yang baik dalam lingkungan layak. Secara tidak langsung jika pembakaran hutan
dilakukan, maka udara sekitar akan tercemar oleh asap yang notabene tidak baik untuk sistem
pernapasan manusia bahkan asap kotor dapat mengendap dalam paru-paru sehingga dapat
menimbulkan penyakit yang berkepanjangan. Padahal setiap warga negara memiliki hak pokok
untuk dapat menghirup udara yang bersih Selain itu, adanya lahan hutan yang diubah menjadi
perkebunan kelapa sawit atau pertambangan misalnya, dapat berpotensi besar menimbulkan bencana
alam baik berupa tanah longsor ataupun rawan terjadi gempa. Penghidupan yang baik di lingkungan
layak ini dalam artian bukan hanya tercapai dan terpenuhi secara kebutuhan pokok sehari-hari tetapi
juga kebutuhan akan mendapatkan oksigen yang bersih, penghidupan yang aman di lingkungan yang
layak.6 Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara 1945 Pasal 28H ayat 1 dimana setiap
manusia memiliki hak asasi manusia untuk mendapatkan penghidupan yang baik dan sehat atau
tinggal dan hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat. Dimana ketentuan atas hak asasi manusia
atas penghidupan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat ini kemudian ditekankan dan dipertegas
dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana dalam UU
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 ini khususnya dalam Pasal 2 diatur mengenai asas tanggung
jawab yang dibebankan kepada negara dalam perannya mengatasi permasalahan deforestasi. Dimana
dalam pasal tersebut berbunyi sebagai berikut
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan atas asas
a. Tanggung jawab negara
b. Kelestarian dan keberlanjutan
c. Keserasian dan keseimbangan
d. Keterpaduan
e. Manfaat
f. Kehati-hatian
g. Keadilan
h. Ekoregion
i. Keanekaragaman hayati
j. Pencemar membayar
k. Partisipatif
l. Kearifan lokal

6
Dr. Sodikin. ‘’Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat Pada Masyarakat’’. Prosiding Seminar Nasional. 31-46
m. Tata kelola pemerintahan yang baik
n. Otonomi daerah
Maka disinilah kemudian peran negara atas asas tanggung jawab sangat diperlukan sebagai
alternatif dan harapan masyarakat dalam mengatasi munculnya berbagai dampak negatif dari
deforestasi yang dilakukan tanpa aturan. Dimana sebenarnya sudah terbentuk sebuah komunitas
anak muda di Kalimantan yang kritis dalam menyikapi permasalahan tentang deforestasi hutan
melalui pembakaran hingga menyebabkan krisis iklim di Kalimantan. Ini merupakan dorongan dari
masyarakat yang menunggu jawaban kepada negara atas problematika kehidupan yang sedang
dialami. Negara memiliki hak mutlak sepenuhnya untuk mengelola perhutanan Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perhutanan yakni Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 4 Bab III tentang Penguasaan Hutan yang menyatakan bahwasannya
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang
kepada pemerintah untuk:
a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan
b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai
bukan kawasan hutan
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan,
serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.
Dapat dilihat dari kutipan undang-undang di atas bahwasannya negara memegang kendali
penuh atas tata kelola perhutanan Indonesia yang diaplikasikan guna kepentingan dan kemakmuran
masyarakat. Negara memiliki peran yang intens melalui asas tanggung jawab ini diantaranya adalah
dengan memberikan jaminan bukan sekedar kepercayaan dan harapan belaka terkait dengan
keberadaan hutan asli Kalimantan yang tidak dijamah oleh manusia. Karena hutan ini merupakan
kebutuhan mutlak warga Indonesia untuk mendapatkan oksigen dan udara murni dalam kehidupan
sehari. Bukan hanya bagi manusia, namun hutan juga menjadi habitat asli flora dan fauna dengan
spesies yang beraneka ragam sebagai kekayaan alam Indonesia. Kedua, negara memiliki peran
untuk memberikan jaminan atas pemanfaatan sumber daya dan potensi hutan secara baik guna
menunjang kemakmuran berlangsungnya hidup warga negara tanpa melakukan eksploitasi tanpa
batas dan tanpa aturan yang justru mematikan sumber daya Indonesia. Ketiga, negara berperan
penting dalam upaya penegakan konstitusi dan hukum yang berlaku utamanya dalam menekankan
aturan deforestasi legal atau menindak dengan tegas secara hukum terhadap oknum-oknum yang
menbahaya
3. Langkah Berkelanjutan Yang Ditempuh Oleh Pemerintah Sesuai Peran, Hak, Dan Tanggung
Jawabnya Sebagai Upaya Dalam Mengatasi Deforestasi Yang Terjadi Di Indonesia.
7
Keanekaragaman dan kemajemukan hayati Indonesia memang sudah masyhur di kalangan
manca negara. Hampir seluruh penjuru dunia mengetahui bahwasannya Indonesia merupakan negara
dengan potensi hayati terbesar di dunia dengan keberadaan hutan yang kaya akan kandungan baik di
dalam maupun di permukaan tanah. Utamanya kawasan hutan di Kalimantan masih menjadi
wilayah ikonik terkait kekayaan hayati Indonesia dengan persebaran hutan terbesar di Indonesia.
Namun sayang, kondisi ini tidak akan terlepas dengan adanya deforestasi entah untuk alasan
pembukaan lahan perkebunan, pembukaan lahan pertambangan, kawasan hunian baru, dan
sebagainya. Masih banyak manusia yang tidak menyadari bahwasannya deforestasi ini mampu
menjadi penyebab kerusakan hutan yang ekstrem, hingga krisis dan perubahan iklim dunia. Lebih
parahnya lagi, deforestasi mampu mengancam keberadaan habitat satwa-satwa asli yang ada dalam
ekosistem hutan tersebut. Hal ini tentu menjadi tuntutan tersendiri bagi masyarakat kepada
pemerintah selaku pemegang konstitusi untuk memberikan upaya dan solusi dalam mengatasi
deforestasi yang terus menerus terjadi.
Pada tanggal 6 Agustus 2013 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono menempuh upaya sebagai cara mengatasi adanya deforestasi atau perusakan hutan
melalui penggundulan itu dengan mengesahkan UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan dimana UU ini diundangkan oleh Menkumham Amir
Syamsudin di Jakarta yang ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2013 Nomor 130
lengkap beserta penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5432. Hal ini didasari
karena adanya langkah kritis yang ditempuh pemerintah atas potensi hutan sebagai kekayaan yang
dikuasai oleh negara dimana pemanfaatannya menyangkut hajat hidup banyak makhluk hidup
termasuk manusia, satwa, dan tumbuhan sehingga harus dilakukan pendayagunaan secata tepat dan
berkelanjutan dengan mengedepankan pertimbangan fungsi ekologis, sosial, budaya, dan ekonomis.

7
Tando, Edi Cahyoko, Sudarmo, Rina Herlina Haryanti. ‘’Collaborative Governance As Solution For Deforestation Case In
Kalimantan Island : A Literature Review. Jurnal Borneo Administrator (Vol. 15, No. 3, Desember 2019)
8
Terdapat total 13 instrumen khusus perundang-undangan yang memang diatur untuk melakukan
pencegahan terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang termaktub dalam pasal 14
UUPPLH. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan dimana pemerintah daerah setempat berhak memberikan perizinan legal
terkait deforestasi yang berjalan sesuai dengan aturan-aturan mutlak pemerintah dengan
memperhatikan keseimbangan lingkungan dan AMDAL. Selain itu dalam padal 17 ayat 1 dan 2 UU
Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwasannya ‘’Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah sebagaiman dimaksud
dalam pasal 2 ayat 4 dan ayat 5 tertuang dalam tiga poin yang berbunyi,
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budi daya,
dan pelestarian.
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya alam lainnya, dan
c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Lebih lanjut terkait kewenangan pemerintah daerah dalam memanfaatkan hal ini juga diatur
dalam pasal 17 ayat 2 yang memberikan penegasan bahwasannya
‘’ hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya alam lainnya
antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 4 dan ayat 5
meliputi’’
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi
kewenangan daerah
b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar
pemerintahan daerah, dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumbe daya
lainnya.
Berdasarkan hukum konstitusi tersebut, maka dapat dilihat bahwasannya pemerintah daerah
setempat memiliki kewenangan dalam membudidayakan dan memanfaatkan sumber daya setempat.
Tentu hal ini membawa implikasi bahwa terkait pengelolaan lingkungan hutan mulai dari pemberian
izin hingga tindakan yang akan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu harus sepenuhnya mendapatkan
izin dari pemerintah daerah setempat. Maka disini melalui instrumen tersebut pemerintah daerah
dapat mengontrol pemberian izin pemanfaatan lahan hutan setempat sehingga problematika tentang

8
Saija, Vica J.E. ‘’ Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup. Jurnal Sasi (Vol. 20, No. 1,
Januari-Juli 2014) : 68-80
potensi timbulnya kerusakan hutan, menyempitnya lahan hutan, dan sebagainya dapat dicegah dan
diatasi.
Salah satu masalah yang dialami oleh Kalimantan sebagai paru-paru dunia saat ini adalah
terjadinya penyusutan lahan kehutanan akibat peralihan fungsi yang tidak sesuai dengan aturan
berlaku. Namun alih fungsi lahan yang dilakukan selama ini melalui tahap pembakaran hutan,
peralihan lahan menjadi pertambangan, dan sebagainya. Dimana hal tersebut membawa dampak
negatif yang sangat besar bagi ekosistem hutan Kalimantan. Oleh karenanya, hal ini menuntut
pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk lebih intens dalam mengatasi permasalahan
tersebut. 9Pada dasarnya pemerintah sudah sangat gencar melakukan berbagai usaha dalam rangka
mencegah dan menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan. Diantara upaya-
upaya tersebut adalah dengan melakukan pengefektifan berbagai perangkat hukum dan seluruh
pihak terkait yang memiliki kompetensi dan kewenangan di bidang kehutanan. Secara konstitusional
juga sudah diatur Undang-Undang dan berbagai aspek hukum mengenai sanksi yang cukup tegas
dalam menindaklanjuti perkara pembakaran hutan di Kalimantan. Dalam sebuah penelitian
disebutkan bahwasannya pemerintah daerah Kalimantan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2003 dan Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2017, hingga kebijakan dalam mencegah dan
menangani kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan. Contohnya di lahan Kalimantan Tengah
pemerintah daerah setempat melakukan dua kali tahapan dalam penanggulangan kebakaran hutan
yakni melalui kebijakan pencegahan dan kebijakan mengenai penanganan kebakaran hutan dan
lahan. Namun seringkali upaya penanganan dan pencegahan ini mengalami kendala dikarenakan ada
beberapa faktor mendasar yang menjadi penyebabnya. Pertama faktor geografis, dimana seperti
yang telah dipaparkan dalam kasus posisi di atas, keberadaan tanah gambut yang cenderung kering,
ditambah lagi dengan sumber air yang sangat terbatas, iklim dan cuaca yang kering menjadi faktor
alam yang mampu menghambat proses penanganan kebakaran yang rentan terjadi akibat deforestasi.
Tidak cukup sampai disitu, kendala utama dalam proses penanganan ini salah satunya
adalah sumber daya manusia setempat kurang memadai. Tidak hanya itu, kondisi ini semakin
diperkuat dengan keterbatasan anggaran daerah yang ada hingga sarana dan prasarana yang kurang
mampu menjangkau atau terbilang sangat terbatas. Jika sumber daya manusia mampu menjadi
faktor kendala utama dalam mobilisasi peran dan tanggungjawab pemerintah sebagai upaya
mengatasi dan menanggulangi deforestasi hutan Kalimantan, maka sudah seharusnya dipikirkan cara
alternatif untuk terlebih dahulu memberikan basic edukasi seputar kehutanan kepada masyarakat

9
Wahyudi, Muhammad. ‘’Policy Analysis Of Forest And Land Fire Prevention And Management In Centra Kalimantan
Province’’. Jurnal Anterior (Vol. 20, No. 2, 2021).
atau warga negara untuk kemudian dapat bersinergi bersama aparat dan pemerintah dalam
melakukan pemanfaatan dan pemberdayaan potensi hutan Indonesia.
10
Dapat diketahui bahwasannya pemerintah daerah sangat gencar memanfaatkan
kewenangan dan peran serta tanggung jawabnya dalam mengatasi permasalahan deforestasi dan
degradasi hutan yang terjadi di wilayah Kalimantan. Dapat dilihat pada contohnya kejadian di
Pemerintahan Kalimantan Timur dimana pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan dan program
Kaltim Green, Low Carbon Growth Strategy (LCGS), Strategi Recana Aksi Provinsi Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (SRAP REDD+), dan Rencana Aksi
Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Beberapa aksi kegiatan tersebut merupakan langkah
antisipatif dan kuratif yang diambil oleh pemerintah daerah setempat untuk dengan cepat
memperbaiki Tata Kelola Hutan dan Lahan (TKHL) untuk menurunkan emisi GRK dunia dengan
rencana mitigasi sebesar 26% dan 41% sampai tahun 2020. Melalui penelitian dan tindakan yang
dilakukan oleh pihak pemerintah Kalimantan Timur menyebutkan bahwasannya perizinan di
wilayah kehutanan dan perkebunan inilah yang sebenarnya menjadi penyebab terbesar dari
deforestasi. Sedangkan terjadinya degradasi lahan dan perhutanan disebabkan karena adanya
praktik pertambangan yang bahkan jarang memperhatikan struktur geografis setempat sehingga
potensi bencana yang ditimbulkan sangat besar.
Selanjutnya pemerintah tidak akan mampu jika berjalan sendirian, maka langkah lanjutan
yang harus ditempuh pemerintah adalah mulai melancarkan upayanya dalam membentuk
pemerintahan kolaboratif yang bekerjasama dengan aktor lain yaitu masyarakat dan pihak-pihak
swasta untuk mengatasi dan mengurangi adanya masalah lingkungan dan ekosistem hutan yang
ditimbulkan akibat adanya deforestasi. Ketika pemerintah mampu bersinergi dengan masyarakat
maka akan dipastikan pencegahan perusakan hutan akan dapat berjalan dengan maksimal. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 68, 69,
dan 70 Bab X tentang Peran Serta Masyarakat dimana masyarakat memiliki peran dan tanggung
jawab mutlak untuk turun tangan serta menjaga kelestarian perhutanan Indonesia, yang berbunyi
sebagai berikut
1. Pasal 68
1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

10
Angi, Eddy Mangopo, Catur Budi Wiati. ‘’Kajian Ekonomi Politik Deforestasi Dan Degradasi Hutan Dan Lahan Di
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur’’. Jurnal Penelitisn Ekosistem Dipterokarpa (Vol. 3, No. 2, 2017)
a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi
kehutanan
c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan
d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik
langsung maupun tidak langsung
3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena
hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya
sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pasal 69
1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari
gangguan dan perusakan.
2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan,
pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau
pemerintah.
3. Pasal 70
1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.
2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di
bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah
dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal tersebut dapat diketahui bahwasannya meski kewenangan mutlak atas
perhutanan Indonesia berada pada negara namun masyarakat juga memiliki peran dan tanggung
jawab untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia, melakukan reklamasi dan konservasi agar tujuan
utama dari kekayaan perhutananan Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang yakni
dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat dapat berjalan. Dengan demikian hal ini menjadi
langkah mutlak yang harus ditempuh pemerintah dalam mengatasi adanya praktik deforestasi yang
merusak lahan khususnya yang terjadi di hutan Kalimantan.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang telah saya tuangkan di atas sampailah pada sebuah kesimpulan
dimana menurut pendapat saya, dalam kasus perkara deforestasi hutan secara ilegal atau
tanpa memperhatikan aturan-aturan mutlak dengan keseimbangan ekosistem menjadi isu
hukum yang harus dapat diatasi dengan baik dan diselesaikan dengan tepat. Utamanya
mengingat adanya dampak yang diderita oleh penduduk sekitar hingga ke negara tetangga.
Dimana setiap masyarakat yang menjalankan keberlangsungan hidup berhak atas
lingkungan hidup yang layak dan pemanfaatan potensi wilayah dengan baik. Masalah
deforestasi hutan dengan cara yang salah ini tidak dapat disepelekan begitu saja, perlu
mendapatkan perhatian khusus mengingat dampak yang ditimbulkan baik dalam jangka
waktu dekat maupun panjang hal tersebut sangat berbahaya bukan hanya bagi manusia,
namun juga bagi satwa dan bencana-bencana yang berpotensi timbul dari kondisi ini.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan atas konstitusi wajib melakukan langkah
penanggulangan terkait dampak yang ditimbulkan dari adanya kerusakan hutan. Sesuai
undang-undang dan seluruh konstitusi yang berlaku pemerintah wajib melakukan
perhitungan dan penyelarasan antara kebijakan keseimbangan lingkungan dan hak warga
negara. Dalam perannya mengatasi permasalahan deforestasi dan degradasi lahan yang
menjadi permasalahan perhutanan Indonesia khususnya wilayah Kalimantan, fungsi
kolaborasi yang dicanangkan pemerintah untuk bersinergi bersama masyarakat sangat perlu
diterapkan. Utamanya peran serta masyarakat tersebut telah diatur dalam Undang-Undang
secara mutlak. Sehingga dapat tercapai antara pemenuhan kebutuhan perkembangan
industri dan pembangunan, lingkungan hidup yang layak, serta pemanfaatan potensi dan
sumber daya sekitar secara seimbang.
2. Saran
Sejauh ini pemerintah sudah mencanangkan dan mengesahkan Undang-Undang atau
peraturan konstitusional lainnya dalam mengatasi adanya praktik deforestasi hutan yang
tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan ini. Namun belum ada sanksi yang tegas
dalam menindak setiap pelaku perusakan hutan. Maka terdapat beberapa hal yang harus
lebih diperhatikan diantaranya adalah memberikan payung hukum yang lebih tegas terhadap
pelaku deforestasi tak bertanggungjawab utamanya yang melakukannya secara ilegal,
meningkatkan koordinasi antara aparat penegak hukum dan pihak terkait, meningkatkan
peran serta masyarakat hingga mengembangkan kerjasama dan menjamin adanya upaya
berkelanjutan dalam memperhatikan secara khusus keseimbangan ekosistem sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

Ali, B. D. (2020). Pengaturan Hukum Indonesia Tentang Pemanfaatan Lingkungan Untuk


Kesejahteraan Rakyat. Jurnal Solusi Vol. 18 No. 3 , 298-311.

Cahyani, F. A. (2019). ‘’Upaya Peningkatan Daya Dukung Lingkungan Hidup Melalui Instrumen
Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 1 , 53-60.

Eddy Mangopo Angi, C. B. (2017). Kajian Ekonomi Politik Deforestasi Dan Degradasi Hutan Dan
Lahan Di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitisn Ekosistem Dipterokarpa Vol. 3 No. 2

Edi Cahyoko Tando, S. R. (2019). Collaborative Governance As Solution For Deforestation Case In
Kalimantan Island : A Literature Review. Jurnal Borneo Administrator Vol. 15, No. 3 .

Imamulhadi. (2013). Perkembangan Prinsip Strict Liability Dan Precautionary Dalam Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup Di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25 No. 3 , 417-432.

Saija, V. J. (2014). Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup. Jurnal
Sasi Vol. 20 No. 1 , 68-80.

Sodikin, D. (n.d.). ’Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat Pada Masyarakat. Prosiding
Seminar Nasional , 31-46.

Wahyudi, M. (2021). Policy Analysis Of Forest And Land Fire Prevention And Management In Centra
Kalimantan Province. Jurnal Anterior Vol. 20 No. 2 .
ONLINE

Indonesia, G. P. (n.d.). Deforestasi Tidak diharamkan di seluruh negara. Retrieved May 7, 2022, from
Https://Gapki.Id/News/2278/Deforestasi-Tidak-Diharamkan-Di-Seluruh-
Negara#:~:Text=Berbeda%Dengan%20Eropa%20dan26%2F2007%20tentang%20Penataan%20ruang.

Law, E. (n.d.). kerusakan hutan di indonesia dan tinjauan hukumnya. Retrieved May 7, 2022, from
Https://Www.Dslalawfirm.Com/Id/Kerusakan-Hutan/ .

Anda mungkin juga menyukai