Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH KEHUTANAN

PELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT


PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG

Kondisi kawasan hutan di indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir menjadi problem
yang sangat mencemaskan untuk negara kita. Berbagai persoalan seperti
kebakaran lahan hutan, degradasi kawasan hutan, yang lebih mengkhawatirkan lagi
yaitu pembalakan dan pencurian kayu. Fenomena ini tentu sangat merugikan
negara terutama untuk kelangsungan hidup masyarakat dan ekosistem di dalam
kawasan hutan. Tidak banyak yang dapat di lakukan untuk menangani persoalan
ini, peran masyarakat dan pemerintah sangat di perlukan untuk mengkondisikan
keadaan ini. Akhir-akhir ini masyarakat bersama pemerintah seakan terbangun dan
sadar dengan keadaan yang terjadi, kemudian dengan gencar-gencar nya
melakukan suatu aktifits pembaharuan seperti rehabilitasi, atau penataan kembali
sistem keamanan hutan. Untuk rehabilitasi di lakukan penanaman seribu pohon,
atau program penanaman 1 milyar pohon, kemudiaan untuk penataan sistem
keamanan hutan yaitu dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk
berperan aktif dalam menjaga, mengawasi, dan memanfaatkan sumber daya dan
aspek-aspek di dalam kawasan hutan itu sendiri. Dengan peran aktif masyarakat
dalam mengawasi, menjaga dan memanfaatkan hutan ternyata sangat terbukti
efektif dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang di hadapi.
B.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Pengelolaan Hutan


Berbasis Masyarakat (PHBM) oleh pemerintah dan masyarakat yang berperan,
kemudian mengidentifikasikendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.
Penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa program PHBM dilakukan dengan merangkul masyarakat sekitar hutan untuk
bersama mengelola hutan dengan semangat berbagi peran, pemanfaatan lahan
atau ruang, maupun hasil hutan dengan adanya bagi hasil yang diperoleh
masyarakat sebagai kompensasi keterlibatannya dalam pelaksanaan PHBM.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM membuahkan hasil yaitu
berkurangnya lahan kosong karena masyarakat dilibatkan dan mau terlibat dalam
mengelola hutan serta dalam kegiatan reboisasi, menurunnya tingkat kerusakan
serta tingkat pencurian kayu di hutan karena masyarakat juga terlibat dalam
menjaga hutan, sehingga kelestarian dan keamanan hutan meningkat. Adapun
kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat dalam
pelaksanaan PHBM adalah kendala dalam kegiatan persiapan lapangan,

penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pengamanan hutan.


C. TINJAUAN PUSTAKA
Ani Purwati - 18 Jun 2010 Program penanaman 1 milyar pohon pada 2010 yang
dicanangkan Presiden Desember 2009 lalu cukup baik untuk mengatasi kerusakan
atau degradasi lahan dan hutan jika melibatkan masyarakat pedesaan dan dengan
sistem insentif.
Semiloka Membangun Hutan Menata Masa Depan 2013 HUTAN DAN REALITAS
SOSIAL MASYARAKAT KAWASAN HUTAN Oleh : G o l a r, Sekretaris Lembaga
Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) Untad, Dosen Fakultas
Kehutanan Untad Pendahuluan Sesuai Tema yang diberikan: Hutan, realitas sosial
masyarakat kawasan hutan .
Teguh - 04 Oktober 2012 Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM), PHBM
merupakan salah satu model pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta
masyarakat dalam upaya untuk pemberdayaan masyarakat. Bahkan PHBM ini
dianggap sebagai salah satu jalan resolusi konflik dalam menekan konflik-konflik
kehutanan yang marak akhir-akhir ini.
Prawestya Tunggul Damayatanti - UPAYA PELESTARIAN HUTAN MELALUI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
D. PEMBAHASAN
Program penanaman 1 milyar pohon pada 2010 yang dicanangkan Presiden
Desember 2009 lalu cukup baik untuk mengatasi kerusakan atau degradasi lahan
dan hutan jika melibatkan masyarakat pedesaan dan dengan sistem insentif. Bukan
sekedar saat menanam, tapi masyarakat diberi tugas untuk merawat hingga
tanaman tetap tumbuh dengan baik hingga tingkat keberhasilan hidup tinggi.
Pemilihan lokasi dan jenis tanaman juga harus tepat. Pemilihan tanaman yang
cepat tumbuh, tapi punya nilai ekonomis tinggi, kemudian untuk menanggulangi
dan mencegah degradasi lahan lebih lanjut langkah yang seharusnya diambil oleh
pemerintah dan semua elemen masyarakat adalah antara lain :
1. Untuk lahan gambut
jangan membuka lahan gambut, jika sudah terlanjur terbuka hindari drainase yang
berlebihan (tutup saluran-saluran drainase yang terdapat di lahan gambut). Jangan
menggunakan api di lahan gambut, karena jika terbakar sulit diatasi dan cepat
merambat ke lokasi lain (juga mengemisikan karbon dioksida dalam jumlah besar).
Moratorium gambut yang dicanangkan pemerintah baru-baru ini, harus didukung
semua pihak (swasta, LSM, instansi pemerintah di daerah dan pusat) dan jangka
waktu moratorium sebaiknya bukan dua tahun tapi hingga ada kajian lebih lanjut
tentang pemulihannya.
2. Kawasan hutan mangrove
Sedangkan untuk menanggulangi degradasi lahan di kawasan mangrove, langkah
yang perlu ditempuh adalah segera menetapkan kebijakan (dan tegakkan
aturannya) tentang lebarnya sabuk hijau (green belt), segera rehabilitasi wilayah

pesisir yang mangrovenya sudah rusak (misal melalui penanaman), batasi


pembangunan di wilayah pesisir (terutama yang membongkar hutan mangrove)
karena jika terjadi kenaikan air laut akibat perubahan iklim, mangrove yang sehat
dapat berperan sebagai benteng daratan dan mendukung berbagai
kepentingan/infrastruktur lain di darat. Lalu adakan kampanye besar-besaran
tentang fungsi hutan mangrove dan gambut dalam rangka mitigasi dan adaptasi
terhadap adanya perubahan iklim global.
Untuk memperbaiki kerusakan hutan dan lahan yang terdegradasi, perlu terus
dilakukan upaya penerapan teknik konservasi hutan, tanah, dan air dalam
pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Selain itu lahan harus digunakan sesuai
peruntukkannya, dan tidak boleh melebihi daya dukungnya. Kegiatan ini selain
untuk lebih meningkatkan kepedulian berbagai pihak akan pentingnya penanaman
dan pemeliharaan pohon, juga merupakan bagian dari upaya mencegah atau
mengurangi pemanasan global, dan perubahan iklim dengan memperbanyak
penyerap karbon tentunya ini menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah
yang cukup membantu.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) menjadi isu yang gencargencarnya didorong oleh pemerintah hari ini. Pengelolaan hutan berbasis
masyarakat merupakan salah satu model pengelolaan hutan yang melibatkan
peran serta masyarakat dalam upaya untuk pemberdayaan masyarakat. Bahkan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini dianggap sebagai salah satu jalan
resolusi konflik dalam menekan konflik-konflik kehutanan yang marak akhir-akhir
ini. Seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah dengan kondep desentralisasi
memberikan kewenangan lebih bagi pemerintah daerah untuk mengelola
wilayahnya serta kesadaran pemerintah akan pentingnya keterlibatan masyarakat
lokal dalam pengelolaan hutan, maka paradigma pengelolaan dan pembangunan
kehutanan yang dulu berorientasi pada hutan sebagai penghasil kayu menjadi lebih
pada menem-patkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama pengelolaan sumber
daya hutan.
Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini dilaksanakan dengan cara
memanfaatkan kawasan hutan lindung yang diatasnya belum dibebani hak
serta belum dibuka ataupun terlanjur dibuka oleh masyarakat setempat
melalui penanaman Tanaman Serba Guna (Multi Purpose Trees Spestes) dan
kawasan hutan produksi yang dapat ditanam dengan tanaman kayu-kayuan yang
dapat diambil hasilnya dengan berpijak pada peraturan yang telah ditetapkan.
Melalui program ini lahan yang semula terbuka bisa tertutup kembali oleh Tanaman
Serba Guna (Multi Purpose Trees Spesies) dan masyarakat dapat mengambil
manfaatsecara ekonomi dari hasil tanaman tersebut. Dengan program pengelolaan
hutan berbasis masyarakat kerusakan hutan yang selama ini selalu dikaitkan
kepada masyarakat sebagai perambah hutan dan peladang liar dapat dicegah dan
ditanggulangi melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan
pengelolaan sumberdaya hutan. Sehingga pada akhirnya masyarakat jauh dari
bencana alam baik longsor mapun banjir, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.

Kiranya jelas bahwa man-faat pengelolaan hutan berbasis masyarakat bagi


masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan itu sendiri yaitu:
Pertama, bagi masyarakat (a) memberikan kepastian akses untuk turut mengelola
kawasan hutan, (b) menjadi sumber mata pencarian, (c) ketersediaan air yang
dapat dimanfaatkan untuk rumahtangga dan pertanian terjaga, dan (d) hubungan
yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.
Kedua, bagi pemerintah bermanfaat untuk, (a) sumbangan tidak langsung oleh
masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana, dan
(b) kegiatan hutan desa/nagari berdampak kepada pengamatan hutan.
Ketiga, bagi fungsi hutan dan restorasi habitat, seperti; (a) terbentuknya keaneka
ragaman tanaman, (b) terjaganya fungsi ekologis dan hidro orologis, melalui pola
tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan, dan (c) menjaga
kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya.
Selanjutnya melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini secara tidak
langsung akan dapat mengembangkan ekonomi masyarakat terutama yang
berada dipinggiran hutan. Salah satu contoh pengelolaan hutan yang dapat
dibilang cukup berhasil melalui skema HKm yaitu di daerah Pabaraseng Kab.
Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan, Das Jeneberang. Kondisi awal lahan tersebut
merupakan padang alang-alang dan sekarang ditumbuhi oleh pohon kemiri, jambu
mente, jati putih. Setelah dikembangkan oleh masyarakat setempat maka
masyarakat pun mendapatkan tambahan pendapatan hingga Rp 10.100.000
/ha/tahun. Sudah jelas, manfaat apa saja yang bisa di ambil dari penerapan sistem
pengelolaan hutan berbasis masyarakat tersebut.
Akan tetapi, pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai
pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10%
pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena pengusahaan
hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Tidak sepenuhnya
masyarakat menggantungkan kehidupan dan perekonomian dari potensi hutan.
Karena hutan juga menyediakan semua sumber daya nya berdasaran kurun waktu
tertentu, tidak akan selalu tersedia melainkan memerlukan kurun waktu untuk
memperbaharuinya. saha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga
petani kecil biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia.
Golongan petani subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan
mendahulukan selamat artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah
untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri, yang biasa disebut dengan etika
subsisten. Luasnya cakupan penguasaan hutan memberikan sebaran kontribusi
ekonomi yang juga cukup luas di masyarakat desa. Pada sub sistem produksi dan
pengolahan, hutan rakyat juga memberikan kontribusi pendapatan terhadap orangorang diluar pemilik hutan rakyat, misalnya buruh tani atau tenaga kerja lainnya. Ini
dapat terlihat jelas pada hutan-hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun
secara sambilan, dimana pengusahaan hutan rakyat ini mampu menyerap tenaga
kerja di desa tersebut.
Untuk aktivitas pemasaran hasil, pengusahaan rakyat memberikan kontribusi
pendapatan terhadap para pelaku dalam sistem distribusi. Dapat dipahami bahwa

jika pengusahaan hutan dilakukan secara sambilan (input teknologi dan manajemen
yang rendah) hanya memiliki manfaat langsung ekonomi kepada pemilik lahan dan
tengkulak, sehingga belum nampak adanyakontribusi pendapatan terhadap pihak
lain. Sedangkan pada pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan secara intensif,
diperkirakan mampu memberikan manfaat ekonomi terhadap pihak-pihak penyedia
input yang lebih luas. Dengan demikian peran pengusahaan hutan rakyat dalam
perekenomian desa, minimal mampu memberikan kontribusi pendapatan rumah
tangga pelaku hutan rakyat (secara mikro), yang pada gilirannya memberikan
kontribusi terhadap pendapatan desa. Selain peran dalam memberikan kontribusi
pendapatan, pengusahaan hutan rakyat juga mampu memberikan lapangan
pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif juga mampu menstimulir usaha ekonomi
produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan
hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter.
Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka perlu
adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu
melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di
pedesaan sebagai basis usaha hutan rakyat. Makin intensifnya pengusahaan hutan
rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan
kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam
pengusahaan hutan rakyat makin banyak. Dengan terjadinya peningkatan
pendapatan dari masing-masing individu yang terlibat dalam pengusahaan hutan
maka secara tidak langsung, usaha hutan rakyat ini akan ikut mendongkrak
perekonomian pedesaan. Pengusahaan hutan rakyat dalam perekonomian
pedesaan memegang peranan penting baik bagi petani pemilik lahan hutan rakyat
maupun untuk tumbuhnya industri pengolahan kayu rakyat. Meskipun demikian,
sampai saat ini masih banyak diterapkan apa yang disebut daur butuh, yakni
umur pohon yang dipanen ditentukan oleh kebutuhan pendapatan.
Di masa mendatang sistem pemanenan seperti ini diharapkan akan berubah
menjadi sistem pemanenan yangterencana karena semakin meningkatnya
permintaan dari industri-industri pengolahan kayu yang berada dekat di daerah
sekitar hutan rakyat, seperti industri penggergajian dan industri meubel.
Permintaan kayu rakyat dirasakan semakin meningkat sejak pemerintah
memberlakukan moratorium atau jeda balak. Dengan adanya kebijakan tersebut
maka pasokan kayu dari hutan negara ke industri pengolahan kayu juga semakin
berkurang. Dalam kondisi seperti ini, hutan rakyat muncul menjadi salah satu
alternatif sumber pasokan bahan baku kayu.
Permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini meliputi empat aspek
yaitu: a) produksi, b) pengolahan, c) pemasaran dan d) kelembagaan. Aspek
produksi,
khususnya tentang struktur tegakan dan potensi produksi, penelitian Hardjanto
(2003)
menemukan bahwa disatu sisi struktur tegakankayu rakyat menunjukkan struktur
hutan normal, namun disisi lain ternyata pohon-pohon yang dijual mengalami

penurunan kelas diameter. Hal ini berarti akan mengancam kelestarian tegakan
hutan rakyat, dan sekaligus berarti mengancam pula kelestarian usahanya. Aspek
pengolahan yang dimaksud disini adalah semua jenis tindakan/perlakuan yang
merubah bahan baku (kayu bulat) menjadi barang setengah jadi maupun barang
jadi. Masalah terbesar saat ini pada aspek pengolahan adalah masalah jumlah dan
kontinuitas sediaan bahan baku. Sementara itu permasalahan pada aspek
pemasaran
meliputi beberapa hal antara lain yaitu: sistem distribusi, struktur pasar (market
structure), penentuan harga, perilaku pasar (market conduct) dan keragaan pasar
(market performance). Kelembagaan yang mendukung pada setiap sub sistem juga
masih perlu disempurnakan agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan
menjadi lebih baik.
E. KESIMPULAN
Dalam struktur sistem usaha, pihak petani berada dalam posisi termiskinkan,
dimana nasibnya ditentukan oleh pelaku lain. Dengan demikian sudah seharusnya
tujuan utama dalam strategi dan program pengembangan usahan kayu rakyat
adalah pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani, mewujudkan
kelestarian usaha dan kelestarian sumberdaya kayu rakyat. Untuk itu secara umum
diperlukan kebijakan dan program operasional dalam bidang: pemasaran,subsidi,
pemanfaatan lahan (terlantar, negara), peningkatan teknologi, permodalan,
perencanaan sumberdaya (hutan) secara terpadu dalam setiap kabupaten dan atau
antar kabupaten. Disamping itu perlu dilakukan revisi terhadap kebijakan yang
sedang dan akan berlaku yang pada akhirnya memberatkan petani, seperti pajak
dan retribusi yang tidak tepat, rencana pengenaan semacam provisi sumberdaya
hutan (PSDH) terhadap kayu rakyat dan sebagainya. Dari uraian tersebut di atas,
secararingkas permasalahan pengelolaan hutan rakyat masih sangat banyak.
Permasalahan tersebut terdapat pada keempat sub sistemnya yaitu sub sistem
produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan. Oleh karenanya tugas-tugas
penelitian masih sangat terbuka lebar pada setiap sub sistem tersebut. Namun
demikian jika prioritas penelitian harus dilakukan, maka sebaiknya diletakkan pada
penelitian yang terfokus untuk mewujudkan kelestarian hutan rakyat dan
kelestarian usahanya dengan mengedepankan peningkatan manfaat yang diterima
oleh petani pemiliknya.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.dephut.go.id/files/ekonomi_hr.pdf
http://panchesatoko.blogspot.com/2013/01/pelestarian-hutan-memberi-manfaatbagi.html
http://piliangsani.blogspot.com/2012/04/pelaksanaan-pengelolaan-hutanberbasis.html

http://artikelperpustakaanfktugm.blogspot.com/2013/05/dengan-insentif-danlibatkan-masyarakat.html
http://www.harianhaluan.com
http://www.google.com
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2296
http://indonesiaforest.webs.com/hutan_ro.pdf
http://forester-untad.blogspot.com/2013/04/hubungan-masyarakat-denganhutan.htm

Anda mungkin juga menyukai