Identitas Jurnal
Judul : Governance, Decentralisation and Deforestation: The Case of Central Kalimantan
Province, Indonesia
Penulis : Aritta Suwarno, Lars Hein dan Elham Sumarga
Publikasi : Quarterly Journal of International Agriculture 54 (2015), No. 1: 77-100
Reviewer : Arifin
Tanggal Review : 17 Januari 2017
Abstrak
Pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia, yang dimulai pada tahun 2000, secara
fundamental, telah mengubah kerangka tata kelola hutan negara. Studi ini menyelidiki
bagaimana desentralisasi telah mempengaruhi tata kelola hutan, dan hubungan tata kelola
hutan dengan tingkat deforestasi atau penggundulan hutan di tingkat kabupaten. Penulis
mengukur dan membandingkan kualitas tata kelola hutan di 11 kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah pada periode 2000-2005 dan 2005-2010 dan hubungan tata kelola hutan
dengan laju deforestasi.
Studi ini menunjukkan bahwa desentralisasi telah menyebabkan perbedaan dalam tata kelola
hutan antar kabupaten dan bahwa tingkat deforestasi atau penggundulan hutan sangat
berkaitan dengan perubahan tata kelola hutan. Penulis menyarankan untuk meninjau kembali
kerangka tata kelola hutan Indonesia untuk memastikan adanya checks and balances dalam
pengambilan keputusan, pemantauan yang lebih baik dan meningkatkan transparansi, dengan
dukungan khusus untuk Unit Pengelolaan Hutan sebagai alat baru untuk pengelolaan hutan,
dan dukungan pemerintah untuk memfasilitasi desain dan implementasi REDD + proyek.
Latar Belakang
Permasalahan
Penelitian ini berupaya untuk menjawab permasalahan mengenai adanya hubungan antara
tingkat deforestasi dengan kebijakan desentralisasi yang terjadi baru-baru ini di Indonesia. Studi
ini mencakup 11 kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah. Penemuan utama dari makalah ini
adalah untuk menyediakan analisis deskriptif mengenai perubahan kelembagaan yang terjadi di
Indonesia sekaligus analisis empiris mengenai hubungan kelembagaan dan deforestasi di
tingkat kabupaten.
Metodologi
Untuk menganalisa dinamika deforestasi, penulis menguji perubahan lahan dan menganalisis
berbagai kebijakan dan aspek hukum dari deforestasi pada kawasan hutan yang ditunjuk.
Penulis juga membandingkan hutan yang dialokasikan sebagai hutan konversi oleh pemerintah
pusat atas usulan pemerintah provinsi. Dalam konteks ini, kawasan hutan yang ditunjuk adalah
setiap daerah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap.
Untuk melakukan analisis biofisik dari deforestasi, dalam penelitian ini, penulis ini melakukan
analis selama 2 periode yang berbeda : 2000-2005 dan 2005-2010. Sedangkan dari aspek
kebijakan dan analisis hukum, penulis memeriksa kebijakan dan dokumen hukum yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan
presentasi kawasan hutan yang ditunjuk untuk dialokasikan untuk konservasi hutan oleh
pemerintah nasional.
Dalam rangka untuk memahami desentralisasi dalam tata kelola hutan, penelitian ini
menerapkan teori dasar mengenai tata kelola sumber daya yang terdesentralisasi. Teori ini
mengasumsikan dan mengharapkan bahwa pemain lokal dapat mengelola sumber daya alam
secara efektif dan fokus pada karakteristik dan kinerja lembaga daerah. Pertimbangan
menggunakan teori ini, penelitian ini menilai tata kelola hutan, sebagai institusi hutan di tingkat
kabupaten, di 11 kabupaten di Kalimantan Tengah, untuk periode 2000-2005 dan 2005-2010.
Variable utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 4 prinsip tata kelola hutan yang
baik (akuntabilitas, keadilan, transparansi dan partisipasi) seperti yang dijelaskan dalam rangka
“good forest governance” yang dikembangkan oleh PROFOR-FAO dan kerangka “quality
governance” yang dikembangkan oleh Bank Dunia.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan survey lapangan dan Diskusi Kelompok Terfokus
(FGD)untuk 11 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dari Juli-Oktober 2012.
Hasil Penelitian
Kesimpulan
Deforestasi merupakan fungsi dari hubungan atau interaksi yang komplek antara proses alam
(nature), sosial-ekonomi dan kelembagaan. Dalam penelitian ini, penulis menguji hubungan
antara 10 indikator tata kelola hutan dan deforestasi yang terjadi di level kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah. Penelitian pada 11 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah tersebut,
menunjukan bahwa kualitas tata kelola pemerintahan daerah mempengaruhi laju deforestasi.
Faktor kunci nampak pada transparansi prosedur lokal, sebagaimana diungkapkan dalam
sejumlah dengar pendapat dan konsultasi publik organisasi-organisasi dalam mendukung
perumusan kebijakan hutan dan implementasinya.
Selain itu, penelitian ini menunjukan bahwa desentralisasi kebijakan kehutanan Indonesia,
dalam kasus Kalimantan Tengah, menyebabkan penurunan kualitas tata kelola pemerintahan
daerah dan peningkatan deforestasi selama periode 2000-2010. 10 dari 11 Kabupaten yang
diteliti (kecuali Kabupaten Seruyan), laju deforestasi meningkat pada periode 2005-2010
dibandingkan pada periode 2000-2005. Sebaiknya meninjau kembali kerangka tata kelola hutan
Indonesia untuk memastikan meningkatnya keseimbangan atau check and balances dalam
penambilan keputusan, pemantauan yang lebih baik dan meningkatkan transparansi, dengan
dukungan khusus untuk Unit Pengelolaan Hutan sebagai alat baru untuk pengelolaan hutan
serta proyek REDD+ yang baru-baru ini terbentuk.
Telaah Artikel
Desentralisasi adalah bagian dari trend global, yang dilakukan dengan alasan dan arti yang
berbeda-beda. (Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird: 1998). Desentralsiasi merupakan
transfer kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke daerah, is a process
through which authority and responsibility for some functions are transferred from the central
government to local government, communities and the private sector (www.fao.org akses
17/01/2017).
Dalam konteks Indonesia, terdesentralisasi yang dikembangkan dalam kerangka otonomi
daerah dianggap sebagai pilihan ideal yang dianggap oleh sejumlah pihak mampu mendorong
Indonesia bangkit dari keterpurukan akibat krisis moneter 1997/1998. Hal ini dikarenakan krisis
ekonomi tahun 1997 menunjukan krisis legitimasi lembaga-lembaga negara. Ketidakmampuan
sistem pemerintahan terpusat untuk menanggapi krisis ekonomi dan politik menimbulkan
pertanyaan yang serius tentang efektivitas mereka.
Idealitas ini didukung oleh sejumlah kajian yang menjelaskan bagaimana pengambilan
keputusan yang inklusif dalam pemerintahan yang terdesentralisasi dapat meningkatkan
kualitas pelayanan publik, peningkatan responsivitas dan akuntabilitas pemerintahan daerah
serta meningkatkan akses yang adil terhadap pelayanan dan asset-aset produktif. Namun,
kajian tersebut juga telah menunjukan bahwa kurangnya kapasitas kelembagaan, kurangnya
transparansi, tingkat partisipasi warga yang terbatas menjadi kendala utama dalam
mewujudkan efektifitas pengambilan keputusan desentralisasi(Aritta Suwarno, dkk : 2015).
Pemerintah daerah otonomi masih dianggap rakus karena menerapkan pajak tertinggi untuk
bagi hasil tambang sehingga memberatkan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah.
Desentralisasi otonomi daerah juga memicu adanya desentralisasi korupsi yang tersebar ke
berbagai daerah yang kemudian menyeret elit pusat. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan
otonomi daerah sendiri sebenarnya pisau bermata dua, yakni mendorong terjadinya
desentralisasi oligarkis dan mendorong terjadinya praktik klientelisme politik. (Wasis : 2012).
Dalam pembangunan Lingkungan Hidup ada sejumlah kendala yang terjadi dalam pelaksanaan
otonomi daerah, yaitu : 1) Kebijakan/Peraturan PPLH daerah yang belum jelas, termasuk
didalamnya visi dan misi Kepala Daerah yang kurang terhadap lingkungan; 2) Sarana dan
prasarana/infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang belum memadai; 3)
Ketersediaan SDM lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai; 4)
Pengalokasian anggaran yang sangat terbatas; 5) Iklim politik yang masih kurang berpihak
kepada lingkungan.
Terkait dengan kebijakan sektor kehutanan, pemerintah juga tidak konsisten dengan kebijakan
yang telah dibuatnya, sebagai contoh Departemen Kehutanan dan Departemen perindustrian
sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih.
Tapi fakta menunjukan, hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang
menunjukan adanya pelanggaran dari kebijakan pemerintah sendiri (Atjeh Lagi, 2014). Atau
contoh lain, komitmen pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi dari sector LULUCF (Land
Use, Land Use Change and Forestry) sebesar 26.6% pada tahun 2020. Komitmen ini bertolak
belakang dengan kebijakan menteri kehutanan yang memperbolehkan pemanfaatan kayu dari
hutan alam untuk pemenuhan bahan baku industry pulp and paper sampai dengan tahun 2014,
yang mana kebijakan ini hanya akan mempercepat proses konversi hutan dan berpotensi besar
untuk melepas emisi dari sektor kehutanan(www.fwi.or.id akses 0
17/01/2020).
Mengingat kekurangan dari otonomi daerah dan kebijakan yang diakibatkannya tersebut,
muncul berbagai pemikiran yang menekankan pentingnya reformasi pelaksanaan otonomi
daerah secara menyeluruh. Siti Zuhro, peneliti LIPI, dalam tulisannya, “Quo Vadis Otonomi
Daerah” berpendapat, diperlukan : reformasi kelembagaan daerah atau birokrasi lokal, secara
konseptual maupun comprehensive, yang mencakup perbaikan pusat dan daerah. (Kompas,
2011)
Ketika pendekatan ini digunakan dengan baik, maka akan menjadi metode yang bernilai bagi
riset pengetahuan bagi pengembangan teori, evaluasi program, dan mengembangkan
intervensi (Pamela Baxter : 2008). Sebagai metode penelitian, case study memiliki beberapa
kelebihan, menurut Flybjerg, keuntungan studi kasus adalah bahwa ia dekat dengan situasi real
dan melihat secara langsung hubungan antara fenomena sebagaimana mereka lihat dalam
praktik. Lindval melihat keuntungan studi kasus adalah menyediakan analisis yang detail dalam
kasus individual. Studi kasus mengkaji kasus individual secara mendalam dan peneliti dapat
menemukan informasi yang tidak diantisipasid dari awal riset, karenanya studi kasus
merupakan metode riset yang sangat bagus untuk membangun hipotesis (Linnea Krusenvik :
tt).
Di samping sisi kelebihannya, studi kasus juga memiliki sisi lemah antara lain : tidak dapat
digenerelalisasikan dari kasus tunggal, pengetahuan teoretik lebih bernilai ketimbang
pengetahuan praktis, studi ini hanya sangat berguna bagai pembentukan hipotesis,
mengandung bias (Linnea Krusenvik : tt).
Kajian hubungan antara desentralisasi dengan deforestasi pada 11 kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah yang dilakukan secara serial pada periode 2000-2005 dan periode 2005-
2010 memang telah menyuguhkan informasi yang spesifik, detail dan mendalam mengenai
kasus yang diamati, namun demikian, apakah fenomena ini dapat digeneralisasikan pada
kasus-kasus yang lain tentu saja harus diuji.
Di samping itu, data yang digunakan untuk analisis kerusakan hutan dalam penelitian ini adalah
peta tutupan hutan, padahal peta tutupan hutan secara global yang bisa diandalkan seringkali
ketinggalan zaman beberapa tahun. Jadi ada sebuah kebutuhan mendesak untuk membangun
sebuah teknik untuk memonitor dan melakukan verifikasi tutupan lahan dan keterganggunag
hutan secara singkat, murah dan akurat. Penginderaan jarak jauh dengan stelit, seperti
digunakan NASA yaitu Moderate resolurate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)
menawarkan metode yang konsisten dan sangat murah untuk pemetaan perubahan tutupan
hutan. Data MODIS diperoleh secara gratis dengan cakupan produk secara global. Peniliti perlu
memanfaatkan The Global Forest Disturbance Disturbance Alert System (GloFDAS)
menyediakan data-data seputar gangguan-gangguan pada hutan secara global, yang dirilis
setiap3 bulan sekali. (www.mongabay.go.id akses 17/01/2017).
Referensi :
Aritta Suwarno, Lars Hein dan Elham Sumarga, “Governance, Decentralisation and
Deforestation: The Case of Central Kalimantan Province, Indonesia” dalam Quarterly Journal of
International Agriculture 54 (2015), No. 1: 77-100
Jennie Litvack, junaid Ahmad, Richard Bird (1998) Rethinking Decentralization in Developing
Countries .Washington .The International Bank for Reconstruction and Development
Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah Indonesia : Dilema
Sentralisasi atau Desentralisasi” dalam Jurnal KonstitusiVolume 9, Nomor 4, Desember 2012
Yin, R.K., (1984). Case Study Research: Design and Methods. Beverly Hills, Calif: Sage
Publications.
Pamela Baxter, “Qualitative Case Study Methodology: Study Design and Implementation for
Novice Researchers” dalam The Quality Report Vol. 13 Number 4, 2008
Linnea Krusenvik, “Using Case Studies as a Scientific Methode : Advantages and
Disadvantages”, tt
Lawrence W. Friedman (1987). The Legal System : A Social Sciences Perspective New York :
Russel Sage Foundation
www.fao.org
www.mongabay.go.id
www.fwi.or.id
www.kompas.com