Anda di halaman 1dari 8

Review Jurnal

GOVERNANCE, DECENTRALIZATION AND DEFORESTATION : THE CASE OF CENTRAL


KALIMANTAN PROVINCE, INDONESIA

Identitas Jurnal
Judul : Governance, Decentralisation and Deforestation: The Case of Central Kalimantan
Province, Indonesia
Penulis : Aritta Suwarno, Lars Hein dan Elham Sumarga
Publikasi : Quarterly Journal of International Agriculture 54 (2015), No. 1: 77-100
Reviewer : Arifin
Tanggal Review : 17 Januari 2017

Abstrak

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia, yang dimulai pada tahun 2000, secara
fundamental, telah mengubah kerangka tata kelola hutan negara. Studi ini menyelidiki
bagaimana desentralisasi telah mempengaruhi tata kelola hutan, dan hubungan tata kelola
hutan dengan tingkat deforestasi atau penggundulan hutan di tingkat kabupaten. Penulis
mengukur dan membandingkan kualitas tata kelola hutan di 11 kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah pada periode 2000-2005 dan 2005-2010 dan hubungan tata kelola hutan
dengan laju deforestasi.
Studi ini menunjukkan bahwa desentralisasi telah menyebabkan perbedaan dalam tata kelola
hutan antar kabupaten dan bahwa tingkat deforestasi atau penggundulan hutan sangat
berkaitan dengan perubahan tata kelola hutan. Penulis menyarankan untuk meninjau kembali
kerangka tata kelola hutan Indonesia untuk memastikan adanya checks and balances dalam
pengambilan keputusan, pemantauan yang lebih baik dan meningkatkan transparansi, dengan
dukungan khusus untuk Unit Pengelolaan Hutan sebagai alat baru untuk pengelolaan hutan,
dan dukungan pemerintah untuk memfasilitasi desain dan implementasi REDD + proyek.

Latar Belakang

Indonesia mengalamai penggundulan hutan (deforestasi) tingkat kedua di dunia, disebabkan


tekanan yang berkaitan dengan perubahan sosial-ekonomi dan politik. Deforestasi yang terjadi
di Indoneseia menjadi keperihatinan dunia.
Kalimantan Tengah menempati peringkat tertinggi kedua dari deforestasi yang terjadi di
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2000-2008 provinsi ini kehilangan sekitar
0,9 juta hektar hutan. Deforestasi di provinsi ini disebabkan oleh berbagai faktor ekonomi,
kelembagaan, sosial, ekologi dan infrastruktur. Salah satu isu kunci dalam konteks ini adalah
adanya dampak dari kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 2000.
Kebijakan ini, secara substansial telah mengubah kewenangan berbagai tingkat pemerintahan
dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan hutan, yang diidentifikasi sebagai salah satu
sebab deforestasi.
Mengingat deforestasi yang terjadi di Indonesia memiliki dampak yang luas, baik dampak lokal
bagi mata pencaharian maupun dampak global terhadap keanekaragaman hayati dan emisi
karbon, ada kebutuhan memberikan pemahaman yang lebih baik hubungan antara
desentralisasi dan deforestasi di negeri ini.

Permasalahan

Penelitian ini berupaya untuk menjawab permasalahan mengenai adanya hubungan antara
tingkat deforestasi dengan kebijakan desentralisasi yang terjadi baru-baru ini di Indonesia. Studi
ini mencakup 11 kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah. Penemuan utama dari makalah ini
adalah untuk menyediakan analisis deskriptif mengenai perubahan kelembagaan yang terjadi di
Indonesia sekaligus analisis empiris mengenai hubungan kelembagaan dan deforestasi di
tingkat kabupaten.

Metodologi

Untuk menganalisa dinamika deforestasi, penulis menguji perubahan lahan dan menganalisis
berbagai kebijakan dan aspek hukum dari deforestasi pada kawasan hutan yang ditunjuk.
Penulis juga membandingkan hutan yang dialokasikan sebagai hutan konversi oleh pemerintah
pusat atas usulan pemerintah provinsi. Dalam konteks ini, kawasan hutan yang ditunjuk adalah
setiap daerah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap.

Untuk melakukan analisis biofisik dari deforestasi, dalam penelitian ini, penulis ini melakukan
analis selama 2 periode yang berbeda : 2000-2005 dan 2005-2010. Sedangkan dari aspek
kebijakan dan analisis hukum, penulis memeriksa kebijakan dan dokumen hukum yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan provinsi. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan
presentasi kawasan hutan yang ditunjuk untuk dialokasikan untuk konservasi hutan oleh
pemerintah nasional.
Dalam rangka untuk memahami desentralisasi dalam tata kelola hutan, penelitian ini
menerapkan teori dasar mengenai tata kelola sumber daya yang terdesentralisasi. Teori ini
mengasumsikan dan mengharapkan bahwa pemain lokal dapat mengelola sumber daya alam
secara efektif dan fokus pada karakteristik dan kinerja lembaga daerah. Pertimbangan
menggunakan teori ini, penelitian ini menilai tata kelola hutan, sebagai institusi hutan di tingkat
kabupaten, di 11 kabupaten di Kalimantan Tengah, untuk periode 2000-2005 dan 2005-2010.

Variable utama yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 4 prinsip tata kelola hutan yang
baik (akuntabilitas, keadilan, transparansi dan partisipasi) seperti yang dijelaskan dalam rangka
“good forest governance” yang dikembangkan oleh PROFOR-FAO dan kerangka “quality
governance” yang dikembangkan oleh Bank Dunia.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan survey lapangan dan Diskusi Kelompok Terfokus
(FGD)untuk 11 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dari Juli-Oktober 2012.
Hasil Penelitian

Dinamika Deforestasi di Tingkat Kabupaten


Analisis peta tutupan lahan untuk tahun 2000-2005 dan 2005-2010 menunjukan perubahan
negatif dalam tutupan hutan di hampir semua kabupaten. Pada periode 2000-2005, beberapa
Kabupaten seperti Kabupaten Murung Raya dan Kota Palangkaraya berhasil mempertahankan
hutan mereka dan tidak mengalami perubahan tahunan tutupan hutan mereka. Namun pada
periode 2005-2010, perubahan negatif dalam tutupan hutan terjadi di semua kabupaten.

Kualitas Tata Kelola Hutan di Tingkat Kabupaten


Pada periode pertama desentralisasi (2000-2005), kualitas tata kelola hutan sebagian besar
kabupaten relatif stabil. Pada periode ini kabupaten baru saja didirikan dan mereka mendapat
dukungan anggaran tambahan dari pemerintah pusat dan/atau dari kabupaten lama. Perubahan
kualitas tata kelola hutan di kabupaten dimulai pada periode 2005-2010, ketika sebagian besar
kabupaten mengalami tren negatif. Namun, beberapa kabupaten berhasil meningkatkan
kualitas mereka yang diukur dengan beberapa indikator. Perbaikan ini sebagaian besar
berkaitan dengan komitmen mereka untuk praktik-praktik pengelolaan hutan secara
berkelanjutan melalui perencanaan dan pembentukan Satuan Pengelolaan Hutan (KPH) di
Kapuas dan Barito Selatan dan penyediaan kawasan untuk melepaskan orang utan di Murung
Raya. Kondisi ini mendukung temuan penelitian sebelumnya bahwa upaya desentralisasi tidak
secara seragam membawa pemerintah daerah lebih baik atau lebih buruk.

Dampak Desentralisasi terhadap Deforestasi


Dinamika pengaturan kelembagaan di bawah tata kelola hutan yang terdesentralisasi telah
mengubah kepentingan kepala daerah, partai politik yang dominan dan mengubah kualitas tata
kelola hutan. Hasil analisis komparatif menunjukan bahwa sebagian besar mengalami
penurunan skor untuk tata kelola hutan periode 2000-2005 dibandingkan dengan periode 2005-
2010 (kecuali Kabupaten Kapuas). Selain itu, laju deforestasi untuk sebagian besar kabupaten
pada periode 2005-2010 mengalami peningkatan dibandingkan periode 2000-2005 (kecuali
Kabupaten Seruyan)

Kesimpulan

Deforestasi merupakan fungsi dari hubungan atau interaksi yang komplek antara proses alam
(nature), sosial-ekonomi dan kelembagaan. Dalam penelitian ini, penulis menguji hubungan
antara 10 indikator tata kelola hutan dan deforestasi yang terjadi di level kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah. Penelitian pada 11 Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah tersebut,
menunjukan bahwa kualitas tata kelola pemerintahan daerah mempengaruhi laju deforestasi.
Faktor kunci nampak pada transparansi prosedur lokal, sebagaimana diungkapkan dalam
sejumlah dengar pendapat dan konsultasi publik organisasi-organisasi dalam mendukung
perumusan kebijakan hutan dan implementasinya.
Selain itu, penelitian ini menunjukan bahwa desentralisasi kebijakan kehutanan Indonesia,
dalam kasus Kalimantan Tengah, menyebabkan penurunan kualitas tata kelola pemerintahan
daerah dan peningkatan deforestasi selama periode 2000-2010. 10 dari 11 Kabupaten yang
diteliti (kecuali Kabupaten Seruyan), laju deforestasi meningkat pada periode 2005-2010
dibandingkan pada periode 2000-2005. Sebaiknya meninjau kembali kerangka tata kelola hutan
Indonesia untuk memastikan meningkatnya keseimbangan atau check and balances dalam
penambilan keputusan, pemantauan yang lebih baik dan meningkatkan transparansi, dengan
dukungan khusus untuk Unit Pengelolaan Hutan sebagai alat baru untuk pengelolaan hutan
serta proyek REDD+ yang baru-baru ini terbentuk.

Telaah Artikel

Diperlukan Wacana Kritis atas Otonomi Daerah


Secara paradigmatis, kekuatan artikel ini terletak pada dukungannya bagi berkembangnya
wacana yang lebih kritis terhadap kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah (decentralization)
kaitannya dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya tata
kelola hutan negara. Wacana kritis ini diperlukan disebabkan oleh adanya kesenjangan antara
idealitas konsep otonomi daerah dengan realitas pelaksanannya.

Desentralisasi adalah bagian dari trend global, yang dilakukan dengan alasan dan arti yang
berbeda-beda. (Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird: 1998). Desentralsiasi merupakan
transfer kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke daerah, is a process
through which authority and responsibility for some functions are transferred from the central
government to local government, communities and the private sector (www.fao.org akses
17/01/2017).
Dalam konteks Indonesia, terdesentralisasi yang dikembangkan dalam kerangka otonomi
daerah dianggap sebagai pilihan ideal yang dianggap oleh sejumlah pihak mampu mendorong
Indonesia bangkit dari keterpurukan akibat krisis moneter 1997/1998. Hal ini dikarenakan krisis
ekonomi tahun 1997 menunjukan krisis legitimasi lembaga-lembaga negara. Ketidakmampuan
sistem pemerintahan terpusat untuk menanggapi krisis ekonomi dan politik menimbulkan
pertanyaan yang serius tentang efektivitas mereka.
Idealitas ini didukung oleh sejumlah kajian yang menjelaskan bagaimana pengambilan
keputusan yang inklusif dalam pemerintahan yang terdesentralisasi dapat meningkatkan
kualitas pelayanan publik, peningkatan responsivitas dan akuntabilitas pemerintahan daerah
serta meningkatkan akses yang adil terhadap pelayanan dan asset-aset produktif. Namun,
kajian tersebut juga telah menunjukan bahwa kurangnya kapasitas kelembagaan, kurangnya
transparansi, tingkat partisipasi warga yang terbatas menjadi kendala utama dalam
mewujudkan efektifitas pengambilan keputusan desentralisasi(Aritta Suwarno, dkk : 2015).

Dalam realitasnya, otonomi memang menimbulkan sejumlah persoalan.Alasan untuk


mendemokratiskan maupun untuk mensejahterakan masyarakat daerah yang menjadi
paradigma mendasar dari UU Pemerintahan Daerah baik UU 22/1999 maupun UU 32/2004
hanyalah retorika semu dan hanya hitam diatas putih yang mana bagus dalam perencanaan
tetapi tidak konsekuen dalam pelaksanaan. Faktanya kini banyak bermunculan di daerah
otonom, akan tetapi kesejahteraan masyarakat kurang. Banyaknya elite pusat maupun daerah
ditengarai menjadi sumber masalah tersebut.
Prinsip “money follow function” yang tujuan awalnya untuk membiayai kesejahteraan
masyarakat justru banyak disalahgunakan. Banyak dana kemudiandigunakan untuk membiayai
birokrasi daripada membiayai proyek pembangunan. Berdasarkan data FITRA, pada tahun
2011 terdapat 124 daerah yang 50% lebih anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai,
jumlahnya meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012, bahkan 16 daerah diantaranya
menganggarkan belanja pegawainya di atas 70%. Dengan postur anggaran seperti ini, tujuan
otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan
pelayanan publik akan sulit dicapai, meski otonomi daerah telah berjalan lebih dari satu
dasawarsa. Hal itu yang kemudian memicu banyak daerah mengeluarkan banyak konsensi
pertambangan untuk memicu PAD dengan melakukan kavlingisasi hutan maupun sumber daya
alam lainnya sebagai area pertambangan.

Pemerintah daerah otonomi masih dianggap rakus karena menerapkan pajak tertinggi untuk
bagi hasil tambang sehingga memberatkan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah.
Desentralisasi otonomi daerah juga memicu adanya desentralisasi korupsi yang tersebar ke
berbagai daerah yang kemudian menyeret elit pusat. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan
otonomi daerah sendiri sebenarnya pisau bermata dua, yakni mendorong terjadinya
desentralisasi oligarkis dan mendorong terjadinya praktik klientelisme politik. (Wasis : 2012).

Dalam pembangunan Lingkungan Hidup ada sejumlah kendala yang terjadi dalam pelaksanaan
otonomi daerah, yaitu : 1) Kebijakan/Peraturan PPLH daerah yang belum jelas, termasuk
didalamnya visi dan misi Kepala Daerah yang kurang terhadap lingkungan; 2) Sarana dan
prasarana/infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang belum memadai; 3)
Ketersediaan SDM lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai; 4)
Pengalokasian anggaran yang sangat terbatas; 5) Iklim politik yang masih kurang berpihak
kepada lingkungan.

Terkait dengan kebijakan sektor kehutanan, pemerintah juga tidak konsisten dengan kebijakan
yang telah dibuatnya, sebagai contoh Departemen Kehutanan dan Departemen perindustrian
sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih.
Tapi fakta menunjukan, hingga tahun 2002 masih dilakukan ekspor kayu bulat yang
menunjukan adanya pelanggaran dari kebijakan pemerintah sendiri (Atjeh Lagi, 2014). Atau
contoh lain, komitmen pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi dari sector LULUCF (Land
Use, Land Use Change and Forestry) sebesar 26.6% pada tahun 2020. Komitmen ini bertolak
belakang dengan kebijakan menteri kehutanan yang memperbolehkan pemanfaatan kayu dari
hutan alam untuk pemenuhan bahan baku industry pulp and paper sampai dengan tahun 2014,
yang mana kebijakan ini hanya akan mempercepat proses konversi hutan dan berpotensi besar
untuk melepas emisi dari sektor kehutanan(www.fwi.or.id akses 0
17/01/2020).
Mengingat kekurangan dari otonomi daerah dan kebijakan yang diakibatkannya tersebut,
muncul berbagai pemikiran yang menekankan pentingnya reformasi pelaksanaan otonomi
daerah secara menyeluruh. Siti Zuhro, peneliti LIPI, dalam tulisannya, “Quo Vadis Otonomi
Daerah” berpendapat, diperlukan : reformasi kelembagaan daerah atau birokrasi lokal, secara
konseptual maupun comprehensive, yang mencakup perbaikan pusat dan daerah. (Kompas,
2011)

Kelebihan dan Kekurangan Study Kasus


Secara metodologis, penelitian mengenai hubungan desentralisasi dan deforestasi ini
berbentuk studi kasus (case study). Yin (1984) mendefinisikan studi kasus, “as an empirical
inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the
boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple
sources of evidence are used.”

Ketika pendekatan ini digunakan dengan baik, maka akan menjadi metode yang bernilai bagi
riset pengetahuan bagi pengembangan teori, evaluasi program, dan mengembangkan
intervensi (Pamela Baxter : 2008). Sebagai metode penelitian, case study memiliki beberapa
kelebihan, menurut Flybjerg, keuntungan studi kasus adalah bahwa ia dekat dengan situasi real
dan melihat secara langsung hubungan antara fenomena sebagaimana mereka lihat dalam
praktik. Lindval melihat keuntungan studi kasus adalah menyediakan analisis yang detail dalam
kasus individual. Studi kasus mengkaji kasus individual secara mendalam dan peneliti dapat
menemukan informasi yang tidak diantisipasid dari awal riset, karenanya studi kasus
merupakan metode riset yang sangat bagus untuk membangun hipotesis (Linnea Krusenvik :
tt).

Di samping sisi kelebihannya, studi kasus juga memiliki sisi lemah antara lain : tidak dapat
digenerelalisasikan dari kasus tunggal, pengetahuan teoretik lebih bernilai ketimbang
pengetahuan praktis, studi ini hanya sangat berguna bagai pembentukan hipotesis,
mengandung bias (Linnea Krusenvik : tt).
Kajian hubungan antara desentralisasi dengan deforestasi pada 11 kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah yang dilakukan secara serial pada periode 2000-2005 dan periode 2005-
2010 memang telah menyuguhkan informasi yang spesifik, detail dan mendalam mengenai
kasus yang diamati, namun demikian, apakah fenomena ini dapat digeneralisasikan pada
kasus-kasus yang lain tentu saja harus diuji.

Di samping itu, data yang digunakan untuk analisis kerusakan hutan dalam penelitian ini adalah
peta tutupan hutan, padahal peta tutupan hutan secara global yang bisa diandalkan seringkali
ketinggalan zaman beberapa tahun. Jadi ada sebuah kebutuhan mendesak untuk membangun
sebuah teknik untuk memonitor dan melakukan verifikasi tutupan lahan dan keterganggunag
hutan secara singkat, murah dan akurat. Penginderaan jarak jauh dengan stelit, seperti
digunakan NASA yaitu Moderate resolurate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)
menawarkan metode yang konsisten dan sangat murah untuk pemetaan perubahan tutupan
hutan. Data MODIS diperoleh secara gratis dengan cakupan produk secara global. Peniliti perlu
memanfaatkan The Global Forest Disturbance Disturbance Alert System (GloFDAS)
menyediakan data-data seputar gangguan-gangguan pada hutan secara global, yang dirilis
setiap3 bulan sekali. (www.mongabay.go.id akses 17/01/2017).

Project REDD+ saja Tidak Cukup


Dalam penelitian ini, penulis menyarankan untuk meninjau kembali kerangka tata kelola hutan
Indonesia untuk memastikan adanya checks and balances dalam pengambilan keputusan,
pemantauan yang lebih baik dan meningkatkan transparansi, dengan dukungan khusus untuk
Unit Pengelolaan Hutan sebagai alat baru untuk pengelolaan hutan, dan dukungan pemerintah
untuk memfasilitasi desain dan implementasi REDD + proyek. Namun demikian, pengambilan
keputusan, pemantauan dan transparansi dan pembentukan projek atau alat baru pengelolaan
hutan, tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan komitmen dan perbaikan sistem penegakan
hukumnya.
REDD+ sendiri awalnya adalah REDD, singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation, yaitu suatu mekanisme global yang bertujuan untuk memperlambat
perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang untuk
melindungi hutannya.Indonesia maju untuk memperjuangkan REDD pada COP 13 di Bali 3-14
Desember 2007, di mana ide tersebut telah berkembang dengan mengikutsertakan isu
‘degradasi hutan’. Berbagai usul penambahan isu tentang agroforestri dan pertanian juga
muncul. REDD berkembang lebih jauh lagi — tanda ‘plus’ di belakangnya menambahkan
konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali,
serta peningkatan cadangan karbon hutan. Dengan cepat REDD+ menjadi faktor penting dalam
berbagai negosiasi internasional karena dianggap sebagai salah satu cara paling murah untuk
memperlambat laju perubahan iklim. Modelnya menuruti prinsip “common but differentiated
responsibility”, di mana negara maju, yang menghasilkan banyak emisi dalam proses
industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara
berkembang sebagai bentuk komitmen mengurangi dampak emisi karbon mereka. Nantinya,
dana ini akan berfungsi sebagai kompensasi bagi negara-negara yang kehilangan pendapatan
karena telah menghentikan pengeksploitasian hutan. Guna memperlancar program ini, dimana
dalam KTT Perubahan Iklim di Warsawa tahun 2013 telah mencapai terobosan baru dengan
menyepakati program batuan dana bagi negara-negara miskin untuk mengatasi emisi akibat
perusakan hutan.
Namun, banyak pihak, sejak awal berpendapat bahwa REDD tidak akan dapat menyelesaikan
permasalahan kehutanan Indonesia, bahkan akan memperparah permasalahan yang ada.
Tentu saja pendapat ini sangat beralasan, mengingat rumitnya permasalahan yang dihadapi
sektor kehutanan pada saat ini. Permasalahan-permasalahan yang timbul dipercaya
merupakan akibat keterlajuran kesalahan dalam pengelolaan kehutanan pada masa lalu yang
berdampak kepada proses pembiaran sehingga berimplikasi kepada menumpuknya
permasalahan yang harus dihadapi pada saat ini.Permasalahan yang paling banyak
mengemuka adalah mengenai status dan kepastian kawasan, illegal logging, dan masih banyak
lagi permasalahan lainnya. Kawasan hutan Indonesia hampir sebagian besar merupakan open
access resources karena tidak adanya kejelasan tata batas yang berimplikasi kepada
ketidakjelasan hak dan kepemilikan atas kawasan tersebut.
Tentu saja, meskipun dalam implementasinya terdapat berbagai kendala, peran REDD+ projek
sangat penting dalam mempengaruhi kebijakan tata kelola hutan Indonesia, namun mengingat
dalam sejumlah kasus pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya sendiri, maka
diperlukan kebijakan dan pengawasan yang menitikberatkan pada pentingnya fungsi sistem
hukum sektor kehutanan yang komprehensif, mencakup pembuatan produk hukum terkait
pengelolaan kehutanan yang baik dengan memberikan ruang partisipasi dan kontrol
masyarakat secara lebih besar, komitmen penegakan hukum melalui struktur hukum (polisi,
PPNS, Jaksa, Hakim)secara sinergis baik penegakan hukum administrasi, perdata maupun
pidana serta pembinaan kultur masyarakat yang mendukung terhadap pengelolaan hutan.
Bagian-bagian mana harus dilaksanakan secara sinergis-bersama-sama, seperti teori Friedman
yang sangat popular dan klasik, a legal system is actual operation is a complex organism in
which structure, substance and culture interact (Lawrence W. Friedman : 1987)

Referensi :
Aritta Suwarno, Lars Hein dan Elham Sumarga, “Governance, Decentralisation and
Deforestation: The Case of Central Kalimantan Province, Indonesia” dalam Quarterly Journal of
International Agriculture 54 (2015), No. 1: 77-100
Jennie Litvack, junaid Ahmad, Richard Bird (1998) Rethinking Decentralization in Developing
Countries .Washington .The International Bank for Reconstruction and Development
Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah Indonesia : Dilema
Sentralisasi atau Desentralisasi” dalam Jurnal KonstitusiVolume 9, Nomor 4, Desember 2012
Yin, R.K., (1984). Case Study Research: Design and Methods. Beverly Hills, Calif: Sage
Publications.
Pamela Baxter, “Qualitative Case Study Methodology: Study Design and Implementation for
Novice Researchers” dalam The Quality Report Vol. 13 Number 4, 2008
Linnea Krusenvik, “Using Case Studies as a Scientific Methode : Advantages and
Disadvantages”, tt
Lawrence W. Friedman (1987). The Legal System : A Social Sciences Perspective New York :
Russel Sage Foundation
www.fao.org
www.mongabay.go.id
www.fwi.or.id
www.kompas.com

Anda mungkin juga menyukai