SDH
PERTEMUAN 2
A. Pengertian dan Ruang Lingkup
Manajemen Hutan
(1)penambangan kayu
(2)pengelolaan hutan tanaman
(3)pengelolaan sumberdaya hutan
(4)pengelolaan ekosistem hutan.
• Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan
fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan
manusia secara maksimal.
• Pada waktu masyarakat manusia belum
mengenal hubungan komersil secara luas,
hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat
untuk mengambil bahan makanan, nabati
ataupun hewani, atau tempat mengambil
kayu untuk membuat rumah tempat tinggal
dan untuk sumber energy.
• Hutan juga sering ditebang untuk
memperluas tempat pemukiman, lahan
pertanian, atau mengamankan wilayah dari
gangguan binatang buas.
A. Penambangan Kayu
1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris
Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar
tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah
berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk
melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia
ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya.
Salah satu ciri kejayaan suatu negara adalah tingginya intensitas
perdagangan yang dilakukan masyarakat negara tersebut, termasuk
perdagangan kayu. Secara konvensional, kayu diperlukan untuk
bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi
darat maupun air.
Karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber
extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan.
Bahkan begitu beratnya tingkat kerusakan hutan tersebut , daerah
yang semula terkenal dengan kesuburannya itu akhirnya sebagian
berubah menjadi padang rumput, bahkan padang pasir sampai
sekarang.
2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat
Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad
ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai
mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah
dan Barat. Negara yang paling banyak mengalami kegiatan ini,
dan oleh karena itu juga paling besar menerima dampak
negative, adalah Jerman. Jalan raya yang menghubungkan
Roma-Frankfurt sekarang ini adalah jalan yang dulu digunakan
untuk kepentingan mengontrol daerah jajahan itu oleh Romawi,
di sepanjang jalan ini relatif lebih banyak jumlah kota atau pusat
pemukiman, yang dulu merupakan pusat-pusat kegiatan
penebangan kayu dan pos-pos untuk mengontrol daerah
jajahan.
Perkembangan pengelolaan hutan yang sangat berarti sehubungan
dengan kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa Tengah dan
Barat adalah diumumkannnya Undang-Undang Kehutanan di Perancis,
terkenal dengan Ordonance de Melun , pada tahun 1376 oleh raja LUIS
XIV (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999).
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang
dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis
mendirikan sekolah kehutanan.
Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga
mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada
Tahun 1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode
berikutnya, pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi
kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang
pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga
tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan
akibat penambangan kayu di Eropa.
3. Penambangan Kayu di Indonesia
Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal
ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai
masa perang dunia II. Bnagsa-bangsa Eropa banyak yang keluar dari
tanah airnya mencari tanah jajahan, seperti Inggris, Spanyol Italia,
bahkan juga bangsa-bangsa kecil seperti Belanda, Belgia dan Portugal.
Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja
yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu
pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia.
Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan
penambangan kayu. Di negara jajahan itu, para penjajah menguras
sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan,
termasuk hutan. Itu juga lah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh
karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan
penambangan kayu.
B. Pengelolaan Kebun Kayu
Kerusakan hutan akibat Timber extraction kemudian mulai dipikirkan
benar-benar agar tidak berkepanjangan. Bahkan, kerusakan hutan
telah menyadarkan orang Jerman akan perlunya permudaan kembali
kawasan hutan bekas tebangan agar produksi kayu dapat lestari.
Oleh karena itu, salah satu hikmah yang dirumuskan Jerman dari
tragedy kerusakan hutan itu adalah munculnya istilah kelestarian
hasil, yang konon sudah mulai dikenal pada abad ke-9.
Istilah kelestarian hasil telah mendorong perlu adanya pengaturan
tebangan yang baik sehingga jumlah hasil kayu yang dipungut setiap
tahun tidak terlalu bervariasi. Dari sini, selanjutnya rimbawan Jerman
berhasil menemukan berbagai macam metode pengaturan hasil yang
dipergunakan untuk mengatur etat tebangan. Adanya metode
permudaan dan metode pengaturan hasil ini, setelah jangka waktu
yang cukup panjang, membentuk elemen-elemen pengelolaan hutan
modern yang berlandaskan pada kelestarian hasil hutan (sustained
yield principles). Sustainable yield principles
Berdasarkan semua pengalaman tersebut, maka
pada tahun 1816 HEINRICH VON COTTA dapat
menyelesaikan sebuah buku yang berjudul
Anweisung zum Waldbau (petunjuk silvikultur).
Dlam tulisannya, COTTA menjelaskan secara
sistematik metode pengaturan hasil yang sudah
dipraktekkan secara luas di Jerman sejak
beberapa abad terakhir. Oleh karena itu,
selanjutnya dikenal ada metode COTTA atau
metode Periodik Blok, yang nama aslinya adalah
Periodic Yields with A Regeneration Block method.
Beberapa waktu sebelumnya GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA, telah
menulis buku yang menerangkan perlunya pembagian wilayah sebagai dasar
penyusunan organisasi lapangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan
yang efisien. Dalam tulisan HARTIG itu, juga ditekankan perlunya pembuatan
hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan permudaan
buatan. Walaupun ide HARTIG tentang hutan monokultur itu segera ditentang
pada ekolog dan rimbawan konservasionis, misalnya KARL HAYER (MANAN,
1988 dalam SIMON, 1999), karena alas an perkembangan hama dan penyakit
tetapi para praktisi kehutanan lebih menyukai metode HARTIG karena
monokultur lebih mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Nampaknya, monokultur juga akan menghasilkan kayu lebih tinggi karena
jumlah pohon komersial yang ditanam perhektar lebih baik.
Pada awal abd ke-18, yaitu pada tahun 1710, seorang ahli
kehutanan Jerman lainnya, HANS CARL VON
CARLOWITZ, menulis buku dengan judul Silvicultura
economika (ekonomi silvikultur). Di dalam buku ini,
CARLOWITZ menerangkan keuntungan yang diperoleh
dari penanaman hutan satu jenis (monokultur) untuk
mewujudkan apa yang dinamakan Sustained yield
forestry. Gagasan CARLOWITZ inilah yang dielaborasi
lebih lanjut oleh HARTIG dan muridnya COTTA.
Gagasan hutan tanaman monokultur dengan 1 daur itu menjadi
lebih kokoh lagi setelah pada tahun 1849 FAUSTMAN menulis
rumus daur finansial. Dengan dirumuskannya system pengelolaan
hutan seperti itu, seolah-olah Jerman telah memproklamirkan
system pengelolaan kebun kayu, yang kelak menjadi acuan
pembangunan hutan di seluruh dunia.
Selanjutnya, semua kegiatan teknik kehutanan mulai dari
pembuatan tanaman pemeliharaan sampai pemanenan dengan
segala kelengkapannya terus mengalami kemajuan. Paling tidak
selama lebih dari dua abad, yaitu abad ke-18 sampai pertengahan
abad ke-20, Jerman memang menjadi kiblat ilmu kehutanan
seluruh negara di dunia (PELUSO, 1993). Di Indonesia, system
Jerman diterapkan untuk membangun hutan jati yang rusak akibat
timber extraction selama masa VOC dan awal pemerintahan
Hindia Belanda.
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
4. Kelas umur (age class) adalah salah satu dari rangkaian selang
(interrval) waktu yang menyusun rentangan umur (life span) pohon
hutan. Jadi rentangan umur pohon hutan dibagi ke dalam beb erapa
selang waktu . Di Indonesia, biasanya panjang selang waktu
tanaman hutan adalah 5 atau 10 tahun. Untuk jenis pohon yang
rumbuh cepat panjang selang waktu hanya 1 tahun.
Biasanya tiap jenis pohon ditetapkan panjang selang waktui yang
sama. Untuk Albizia falcataria panjang selang waktu ditetapkan 1
tahun, Pinus merkusii 5 tahun, Tectona grandis yang tumbuh lebih
lama 10 tahun.
5. Hutan Seumur (Even-aged Forest) adalah hutan yang
terdiri atas tegakan-tegakan seumur, meskipun perbedaan
umur yang sangat besar (lebih dari ¼ rotasi) antara pohon-
pohon dalam suatu tegakan dengan pohon-pohon dalam
tegakan lainnya.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari 4 tegakan yaitu A, B, C, dan D.
Tiap tegakan tersebut adalah tegakan seumur. Kemudian kita
perhatikan bahwa pada tegakan A terdapat pohon pohon yang
berumur 60 tahun dan pada tegakan C terdapat pohon-pohon
yang berumur 10 tahun. Kalau diketahui pula bahwa hutan
tersebut mempunyai rotasi 80 tahun, apakah hutan tersebut
masih dapat dikatakan hutan seumur?
Jawabannya adalah benar hutan tersebut adalah hutan seumur.
Hal ini disebabkan karena tiap tegakan dalam hutan tersebut
adalah tegakan seumur, meskipun perbedan umur antara pohon
dalam suatu tegakan dengan pohon dalam tegakan yang lain
melebihi ¼ rotasi
6. Hutan Tidak Seumur (Uneven-aged Forest) adalah hutan yang
terdiri dari tegakan-tegakan tidak seumur.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari tegakan-tegakan A, B, C, dan D.
Hutan tersebut dapat dikatakan tidak seumur kalau tegakan A tidak
seumur, tegakan B tidak seumur, tegakan C tidak seumur, dan
tegakan D tidak seumur.
7. Dinamika Tegakan.
Dinamika suatu tegakan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi
yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari
tegakan tersebut, seperti suksesi, kompetisi, toleransi,dan
konsep zona optimum. Faktor-faktor inilah yang secara lansung
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari tegakan
yang dibangun. Pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi
pertumbuhan tinggi, diameter, dan volume dari tegakan yang
telah dibangun. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan
mempengaruhi apakah tegakan itu tegakan seumur atau
tegakan tidak seumur. Tegakan seumur dan tegakan tidak
seumur inilah yang menentukan sistem silvikultur yang akan
dibangun.
Prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada
sifat dasar dari tegakan, yaitu:
A. Suksesi Hutan
• Suksesi tumbuhan adalah pergantian suatu komunitas tanaman
pada suatu areal oleh komunitas tanaman lain.
• Suksesi primer mulai dari permukaan bumi yang tidak ditumbuhi
tanaman, kemudian terjadi perkembangan pergantian ke arah
yang lebih maju, dan akhirnya mencapai tahap ekspresi ekologi
yang paling tinggi yang disebut klimaks. Apabila perjalanan
suksesi tadi mundur akibat adanya gangguan seperti api,
penebangan oleh peladangan berpindah, maka penyembuhan
ke arah tahap sebelum datangnya gangguan disebut suksesi
sekunder.
• Suksesi primer terjadi karena adanya pergantian sekelompok
spesies oleh yang lainnya yang disebabkan oleh perkembangan
dalam ekosistem itu sendiri, sedangkan
• suksesi sekunder terjadi karena pengaruh kekuatan luar yang
merubah ekosistem seperti pengrusakan hutan, dan lain-lain
b. Kompetisi
• Kompetisi adalah suatu proses yang bergerak maju karena
setiap spesies memiliki kemampuan yang berbeda dalam
suatu lingkungan tertentu, dan spesies yang kurang mampu
mengadakan penyesuaian akan hilang dari persaingan.
• Agar sukses dalam persaingan, suatu spesies harus memiliki
sumber biji yang cukup, tempat perkecambahan biji yang
cocok, keadaan pertumbuhan yang cukup, dan tidak memiliki
kelemahan utama dalam terhadap serangan penyakit, hama,
dan binatang yang dapat merintangi kelansungan hidupnya
• Dalam proses kompetisi ini, suatu spesies dapat
menempatkan dirinya sebagai spesies yang dominan dan
bahkan suatu spesies dapat menggantikan spesies lainya
sehingga terdapat suatu proses saling ganti mengganti antar
berbagai spesies.
c. Toleransi
• Toleransi dalam kehutanan diartikan sebagai kapasitas relatif
suatu pohon untuk bersaing dalam keadaan cahaya yang
rendah dan persaingan akar yang tinggi. Pohon-pohon yang
toleran memperbanyak diri dan membentuk lapisan tanah
bawah tajuk dari pohon-pohon yang kurang toleran dan bahkan
di bawah naungannya sendiri.
• Pohon-pohon yang tidak toleran memperbanyak diri dengan
sukses hanya pada daerah-daerah terbuka dimana terdapat
tajuk yang terbuka lebar. Tentunya terdapat spesies yang
sangat toleran, toleran, tingkat menengah, tidak toleran, dan
sangat tidak toleran.
• Pengetahuan mengenai toleransi dan implikasinya terhadap
persaingan dan pertumbuhan adalah suatu hal yang mendasar
untuk memperoleh sistim silvikultur yang baik dan mendasar
pula bagi setiap keputusan kita dalam pengelolaan hutan.
d. Zone Optimum
• Zone optimum adalah tempat dimana suatu spesies tertentu
sering dijumpai pada berbagai macam tanah dan tempat
tumbuh (site).
• Pada tempat tumbuh yang paling baik, spesies tersebut
mencapai ukuran, umur, dan berbagai sifat baik yang
maksimum.
• Ukuran, umur, dan sifat-sifat baik tersebut menurun pada
zone-zone yang lebih dingin atau lebih panas. Pada zone
optimum tersebut spesies yang bersangkutan paling mudah
memperbanyak diri. Suatu spesies yang toleran kemungkinan
besar akan membentuk suatu klimaks pada zone
optimumnya.
B. Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan
b. Karaktersitik vegetasi
1) Penutupan lahan (3 kelas) soft woods, hard woods, dan Grasses
2) Potensi tegakan (2 kelas) diameter rata-rata < 14 inci dan
diameter rata-rata > 1 inci
c. Karakteristik pembangunan
1) Jarak dari jalan raya (2 kelas) < 200 ft dari jalan, > 200 ft dari
jalan