Anda di halaman 1dari 106

DASAR-DASAR MANAJEMEN

SDH
PERTEMUAN 2
A. Pengertian dan Ruang Lingkup
Manajemen Hutan

 Manajemen dapat diartikan sebagai seni, ilmu,


dan proses untuk mencapai tujuan yang telah
dirumuskan melalui kegiatan dengan orang lain.

 Manajemen Hutan, dalam pandangan luas,


adalah integrasi faktor-faktor biologi, sosial,
ekonomi, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi keputusan pengelolaan hutan
B. Tujuan dan Fungsi Manajemen
Hutan
1. Tujuan Manajemen Hutan
Hutan dikelola untuk tujuan serbaguna, dengan tujuan akhir
adalah untuk mendapatkan nilai manfaat bersih total yang paling
tinggi.
Pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu, harus
memperhatikan dan mendukung (compatible) tujuan lain, seperti
DAS, wildlife, rekreasi, dll.
Pada beberapa kasus, penggunaan kawasan hutan
bertentangan (incompatible) dengan tujuan pengelolaan yang
lain seperti pengelolaan areal penggembalaan di dalam
kawasan hutan terkadang tidak compatible dengan pengelolaan
hutan untuk tujuan produksi kayu. Hal ini mengharuskan
pengelola hutan membuat keputusan tentang prioritas
penggunaan lahan hutan.
Manajemen hutan membutuhkan pengkajian dan aplikasi teknik-
teknik analisis untuk membantu memilih alternatif manajemen
yang memberikan kontribusi terbaik bagi pencapaian tujuan
pengelolaan hutan.
1. Tujuan Manajemen Hutan
 Tujuan pengelolaan hutan sangat tergantung pada tujuan
pemilik hutan dan situasi ekonomi yang ada pada wilayah
dimana hutan tersebut berada.
 Pada kawasan hutan negara, tujuan pengelolaan hutan
sangat ditentukan oleh faktor politik dan tingkat
kepentingan terhadap areal hutan. Tingkat kepentingan
tersebut terkadang tidak dapat diukur dalam satuan
ukuran nilai uang. Pengelolaan hutan negara biasanya
lebih banyak difokuskan pada perlindungan tata air yang
dibayar dengan kelestarian supply air, dan dikeola
dengan tujuan serba guna. Sedangkan hutan milik
dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan barang dan
jasa yang biasanya terfokus pada total produksi dan total
benefit yang dapat diperoleh dari lahan hutan tersebut.
2. Fungsi Manajemen Hutan
 Pengelolaan hutan lestari harus mencakup beberapa
fungsi yaitu fungsi teknis, komersil, finansial, personial,
fungsi administrasi, dan fungsi kepemimpinan.
 Fungsi teknis dalam manajemen hutan diarahkan untuk
mencapai tujuan teknis
 Fungsi komersiil untuk mencapai tujuan ekonomi
(berkaitan dengan pasar),
 Fungsi finansial untuk mencapai tujuan finansial
(berkaitan dengan biaya dan pendapatan)
 Fungsi personil berkaitan dengan kuantitas dan kualitas
sumberdaya manusia (SDM)
 Fungsi administrasi merupakan fungsi penunjang,
berkaitan dengan pengembangan, dan fungsi
kepemimpinan berkaitan dengan unsur-unsur manajemen
C. Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi,
dan Lingkungan dalam Manajemen
Hutan
 Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut di lapangan,
seorang manajer hutan harus memperhatikan aspek-aspek
teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagai berikut
1. ASPEK TEKNIS
 Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya berkaitan dengan
pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya alam dan sebagai
suatu ekosistem. Kegiatan manajemen hutan akan dan harus
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis yaitu, penanaman,
pemeliharaan, perlindungan hutan, pemanenan hutan,
pengolahan hasil hutan (industri pengolahan hasil hutan, dan
pemasaran hasil hutan. Untuk dapat mewujudkan aspek-
aspek tersebut di atas dalam pelaksanaan kegiatan
manajemen hutan secara operasional di lapangan diperlukan
penguasaan pengetahuan teknis kehutanan
2. Aspek Sosial Ekonomi
 Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan
pengusahaan hutan. Oleh karena itu, aspek-aspek
perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek keuangan
sangat erat hubungannya dengan manajemen hutan.
 Untuk dapat melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis
manajemen hutan, dibutuhkan investasi (SDM, peralatan
dan teknologi) dan analisis-analisis ekonomi dan finansial.
Hal ini terutama karena manajemen hutan berkaitan dengan
dimensi waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan
produk serta harus bertumpu pada prinsip kelestarian
sebagai prinsip dasar pengelolaan hutan. Untuk dapat
mewujudkan manajemen hutan lestari diperlukan adanya
perencanaan yang efisien dan rasional.
3. Aspek Lingkungan
 Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai
sumberdaya alam, harus pula memperhatikan sisi lain dari
hutan yaitu sebagai Ekosistem (ekosistem hutan).
 Secara operasional, pengelolaan hutan akan memanfaatkan
ekosistem hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan
harus diperhatikan pula pengaruh pemanfaatan tersebut
terhadap komponen ekosistem hutan yang terdiri dari “tanah-
biologi hutan-iklim/lingkungan”.
 Pengelolaan hutan utamanya hutan alam tropis lembab
(tropical rain forest) yang kaya akan jenis penyusun
tegakannya, harus diperhatikan pula adanya
“keanekaragaman hayati” didalamnya dalam perspektif
jangka panjang.
QUIS
Latihan Soal-soal:
1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup mata
kuliah manajemen hutan
2. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen hutan
3. Jelaskan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan
lingkungan manejemen hutan
PERTEMUAN KE -3
Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah
dilakukan, khususnya di negara- negara maju, dari dulu
sampai sekarang dapat dibedakan menjadi tiga atau empat
macam (Simon, 1999), yaitu:

(1)penambangan kayu
(2)pengelolaan hutan tanaman
(3)pengelolaan sumberdaya hutan
(4)pengelolaan ekosistem hutan.
• Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan
fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan
manusia secara maksimal.
• Pada waktu masyarakat manusia belum
mengenal hubungan komersil secara luas,
hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat
untuk mengambil bahan makanan, nabati
ataupun hewani, atau tempat mengambil
kayu untuk membuat rumah tempat tinggal
dan untuk sumber energy.
• Hutan juga sering ditebang untuk
memperluas tempat pemukiman, lahan
pertanian, atau mengamankan wilayah dari
gangguan binatang buas.
A. Penambangan Kayu
1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris
Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar
tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah
berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk
melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia
ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya.
Salah satu ciri kejayaan suatu negara adalah tingginya intensitas
perdagangan yang dilakukan masyarakat negara tersebut, termasuk
perdagangan kayu. Secara konvensional, kayu diperlukan untuk
bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi
darat maupun air.
Karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber
extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan.
Bahkan begitu beratnya tingkat kerusakan hutan tersebut , daerah
yang semula terkenal dengan kesuburannya itu akhirnya sebagian
berubah menjadi padang rumput, bahkan padang pasir sampai
sekarang.
2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat
Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad
ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai
mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah
dan Barat. Negara yang paling banyak mengalami kegiatan ini,
dan oleh karena itu juga paling besar menerima dampak
negative, adalah Jerman. Jalan raya yang menghubungkan
Roma-Frankfurt sekarang ini adalah jalan yang dulu digunakan
untuk kepentingan mengontrol daerah jajahan itu oleh Romawi,
di sepanjang jalan ini relatif lebih banyak jumlah kota atau pusat
pemukiman, yang dulu merupakan pusat-pusat kegiatan
penebangan kayu dan pos-pos untuk mengontrol daerah
jajahan.
Perkembangan pengelolaan hutan yang sangat berarti sehubungan
dengan kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa Tengah dan
Barat adalah diumumkannnya Undang-Undang Kehutanan di Perancis,
terkenal dengan Ordonance de Melun , pada tahun 1376 oleh raja LUIS
XIV (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999).
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang
dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis
mendirikan sekolah kehutanan.
Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga
mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada
Tahun 1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode
berikutnya, pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi
kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang
pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga
tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan
akibat penambangan kayu di Eropa.
3. Penambangan Kayu di Indonesia
Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal
ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai
masa perang dunia II. Bnagsa-bangsa Eropa banyak yang keluar dari
tanah airnya mencari tanah jajahan, seperti Inggris, Spanyol Italia,
bahkan juga bangsa-bangsa kecil seperti Belanda, Belgia dan Portugal.
Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja
yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu
pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia.
Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan
penambangan kayu. Di negara jajahan itu, para penjajah menguras
sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan,
termasuk hutan. Itu juga lah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh
karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan
penambangan kayu.
B. Pengelolaan Kebun Kayu
Kerusakan hutan akibat Timber extraction kemudian mulai dipikirkan
benar-benar agar tidak berkepanjangan. Bahkan, kerusakan hutan
telah menyadarkan orang Jerman akan perlunya permudaan kembali
kawasan hutan bekas tebangan agar produksi kayu dapat lestari.
Oleh karena itu, salah satu hikmah yang dirumuskan Jerman dari
tragedy kerusakan hutan itu adalah munculnya istilah kelestarian
hasil, yang konon sudah mulai dikenal pada abad ke-9.
Istilah kelestarian hasil telah mendorong perlu adanya pengaturan
tebangan yang baik sehingga jumlah hasil kayu yang dipungut setiap
tahun tidak terlalu bervariasi. Dari sini, selanjutnya rimbawan Jerman
berhasil menemukan berbagai macam metode pengaturan hasil yang
dipergunakan untuk mengatur etat tebangan. Adanya metode
permudaan dan metode pengaturan hasil ini, setelah jangka waktu
yang cukup panjang, membentuk elemen-elemen pengelolaan hutan
modern yang berlandaskan pada kelestarian hasil hutan (sustained
yield principles). Sustainable yield principles
Berdasarkan semua pengalaman tersebut, maka
pada tahun 1816 HEINRICH VON COTTA dapat
menyelesaikan sebuah buku yang berjudul
Anweisung zum Waldbau (petunjuk silvikultur).
Dlam tulisannya, COTTA menjelaskan secara
sistematik metode pengaturan hasil yang sudah
dipraktekkan secara luas di Jerman sejak
beberapa abad terakhir. Oleh karena itu,
selanjutnya dikenal ada metode COTTA atau
metode Periodik Blok, yang nama aslinya adalah
Periodic Yields with A Regeneration Block method.
Beberapa waktu sebelumnya GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA, telah
menulis buku yang menerangkan perlunya pembagian wilayah sebagai dasar
penyusunan organisasi lapangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan
yang efisien. Dalam tulisan HARTIG itu, juga ditekankan perlunya pembuatan
hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan permudaan
buatan. Walaupun ide HARTIG tentang hutan monokultur itu segera ditentang
pada ekolog dan rimbawan konservasionis, misalnya KARL HAYER (MANAN,
1988 dalam SIMON, 1999), karena alas an perkembangan hama dan penyakit
tetapi para praktisi kehutanan lebih menyukai metode HARTIG karena
monokultur lebih mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Nampaknya, monokultur juga akan menghasilkan kayu lebih tinggi karena
jumlah pohon komersial yang ditanam perhektar lebih baik.
Pada awal abd ke-18, yaitu pada tahun 1710, seorang ahli
kehutanan Jerman lainnya, HANS CARL VON
CARLOWITZ, menulis buku dengan judul Silvicultura
economika (ekonomi silvikultur). Di dalam buku ini,
CARLOWITZ menerangkan keuntungan yang diperoleh
dari penanaman hutan satu jenis (monokultur) untuk
mewujudkan apa yang dinamakan Sustained yield
forestry. Gagasan CARLOWITZ inilah yang dielaborasi
lebih lanjut oleh HARTIG dan muridnya COTTA.
Gagasan hutan tanaman monokultur dengan 1 daur itu menjadi
lebih kokoh lagi setelah pada tahun 1849 FAUSTMAN menulis
rumus daur finansial. Dengan dirumuskannya system pengelolaan
hutan seperti itu, seolah-olah Jerman telah memproklamirkan
system pengelolaan kebun kayu, yang kelak menjadi acuan
pembangunan hutan di seluruh dunia.
Selanjutnya, semua kegiatan teknik kehutanan mulai dari
pembuatan tanaman pemeliharaan sampai pemanenan dengan
segala kelengkapannya terus mengalami kemajuan. Paling tidak
selama lebih dari dua abad, yaitu abad ke-18 sampai pertengahan
abad ke-20, Jerman memang menjadi kiblat ilmu kehutanan
seluruh negara di dunia (PELUSO, 1993). Di Indonesia, system
Jerman diterapkan untuk membangun hutan jati yang rusak akibat
timber extraction selama masa VOC dan awal pemerintahan
Hindia Belanda.
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:

1. Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur


dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan
buatan.
2. Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam
perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning
unit) yang sekaligus berlaku sebagai alat pengendali
kelestarian hasil.
3. Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang
dinamakan Bagian Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa
luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000 ha.
4. Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal.
Pada mulanya daur tunggal itu ditetapkan dengan kriteria
teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah
FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang
monumental pada tahun 1949.
Konsep pengelolaan hutan yang dimaksudkan itu berkembang
pesat sejak abad ke-17, terutama karena beberapa keuntungan
yang secara teoritik memang cukup memberi harapan, yaitu:
1. Perencanaannya sederhana dan oleh karena itu mudah dan
murah.
2. Pelaksanaan pengelolaan juga lebih mudah dan biaya yang
murah sehingga diharapkan diperoleh keuntungan uang yang
tinggi.
3. Konsep kelas perusahaan menguntungkan bagi pengadaan
bahan baku industry yang pada waktu itu di Jerman masih
terbatas menggunakan jenis tertentu saja.
Walaupun konsep yang ditentukan dengan lebih memperhatikan
kepentingan ekonomi itu sejak awal sudah ditentang oleh ekolog
dan kaum konservasionis, tetapi sebagaimana lazimnya,
pertimbangan ekonomi hampir selalu diunggulkan karena
jangkauan waktunya hanya untuk jangka pendek, dibanding dengan
pertimbangan lingkungan yang relatif lebih abstrak dan bersifat
jangka panjang.
Kekurangan-kekurangan system tersebut:
1. Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama
dan penyakit karena keragaman hayati menjadi sangat
miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.
2. Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang
banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan
pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.
3. Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan
hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal
yang relative luas (satu kelas perusahaan), tanpa
memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social
ekonomi masyarakat, dan potensi pasar.
Minggu depan
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat,
termasuk di negara sedang berkembang yang dulu merupakan
Negara jajahan bangsa-bangsa Eropa, kekurangan hutan
tanaman monokultur semakin dapat dipahami secara luas.
Di lain pihak, kemajuan teknologi yang selalu menyertai
pembangunan di mana pun, justru menuntut peran hutan
sebagai pelindung ekosistem dan lingkungan hidup. Di samping
itu juga dituntut agar fungsi hutan untuk menjadi sumberdaya
yang selalu menyajikan berbagai macam keperluan masyarakat,
seperti yang diberikan oleh hutan alam klimaks, dapat
diwujudkan kembali
C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat
di negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika
Utara, sepanjang abad ke-18 dan 19. Sistem pengelolaan kebun
kayu itu, yang menempatkan kelestarian hasil sebagai
landasannya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern.
Di Jawa, system tersebut juga dapat dilaksanakan dengan
sukses untuk membuat hutan tanaman jati. Landasan politis ini
telah digariskan oleh DAENDELS tahun 1811, persiapannya
dirumuskan Tim MOLLIER yang mulai bekerja pada tahun 1849,
sedangkan pelaksanaan operasionalnya baru berjalan mulai
tahun 1898 setelah usulan BRUINSMA tentang organisasi
territorial yang dinamakan vesterij diterima oleh pemerintah pada
tahun 1892 (LUGT, 1933 dalam SIMON, 1999).
Pada waktu sistem Timber Management itu dirumuskan,
keadaan social ekonomi masyarakat di Pulau Jawa masih
jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Perubahan
keadaan social-ekonomi maupun kemajuan iptek tersebut
menyebabkan konsep kebun kayu yang disusun pada akhir
abad ke-19 itu tidak lagi sinkron (gayut) dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat pada akhir abad ke-20 ini. Selama
dekade 1950-an pengelolaan kebun kayu mulai
menghadapi masalah-masalah baru yang berkaitan dengan
masalah-masalah social-ekonomi masyarakat di sekitar
hutan. Dari kondisi lambatnya perkembangan penanganan
masalah tersebut sehingga timbul gangguan keamanan
yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Hal
tersebut berdampak di seluruh dunia termasuk pulau Jawa
yang telah dibangun dengan sukses selama periode 1898-
1942 (periode timber management pertama).
Pada Kongres Kehutanan Dunia V dengan tema
Multiple Use of Forest Land dan Kongres Kehutanan
Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for
People, yang rimbawan telah menyadarinya dan
memberi reaksi yang tepat terhadap perubahan
tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di
lapangan sangat lambat sehingga selama periode itu,
bahkan sampai sekarang, laju kerusakan hutan
tersebut meningkat.
Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada
Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan
kebun kayu yang semula dianggap sebagai bentuk pengelolaan
hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan hutan
modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan kehutanan
konvensional (conventional forestry). Dalam strategi pengelolaan
hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding
dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:

• Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu


pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya
kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat
dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.
• Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk
memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke
kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang
bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas
dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan
sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan
hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan
pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan
produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro
yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya
pekerjaan tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan
dengan petak (compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja.

Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya


menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja
yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik
wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka
bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber
Daya Hutan (Forest Resource Management).
Bagi forest resource management, konsep timber management
dengan kelas perusahaan monokultur, dan daur tunggal akan
membatasi upaya mencapai produktivitas maksimum, karena
konsep yang lama itu sama sekali tidak fleksibel, tidak dapat
menyesuaikan dengan kondisi mikro. Oleh karena itu, yang cocok
adalah konsep management regimes, polikutur, daur ganda dan
satuan regime dalam petak. Dengan demikian, perubahan dari
timber management ke forest resource management benar-benar
memerlukan perubahan dalam semua aspek perencanaan
maupun pelaksanaan pengelolaan. Tujuan penerapan sistem
pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai regimes
adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan
hutan disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor
lingkungan setempat yang mempengaruhinya. Kalau konsep
kelas perusahaan dibandingkan dengan konsep Management
Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan
kelemahan.
Keuntungan konsep Management regimes:
• Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama
dan penyakit;
• Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan,
termasuk aspek hidrorologi dan kehidupan satwa;
• Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam
(diversifikasi) sehingga menguntungkan konsumen maupun
produsen.
Kekurangan konsep Management regimes:
• Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap
daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan
kondisi tersebut;
• Diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang
lebih baik;
• Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang
professional, keuntungan perusahaan justru menurun.
Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan
kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.
D. Pengelolaan Ekosistem Hutan
Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga
ekosistem permukaan planet bumi ini. Oleh karena itu, dengan semakin
banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan
menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan
dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi
akan berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama
yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada
tahap ini, bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang
sangat kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem
Management).
Dikaitkan dengan masukan (input) yang diperlukan dan keluaran (output)
yang dihasilkan, maka ilmu yang diperlukan untuk membangun sistem
pengelolaan ekosistem hutan benar-benar masih amat jauh dari yang
sekarang tersedia. Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep ini belum
dapat dimulai sampai sekarang, karena fenomena-fenomena yang terdapat di
lapangan dapat dikaji dan ditiru untuk model awal. Alternatif lain untuk
menyusun rekayasa system pengelolaan ekosistem hutan adalah dengan
mengembangkan sedikit demi sedikit konsep pengelolaan sumberdaya
hutan, dengan menggeser titik berat keluaran dari fungsi ekonomi ke fungsi
perlindungan lingkungan.
Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan
lingkungan hidup lebih diutamakan, sedangkan keuntungan
finansial dipandang sebagai hasil sampingan saja. Oleh
karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem hutan
diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat
lengkap. Inilah kendala utama yang dihadapi oleh
perencana yang pada umumnya hanya berbekal ilmu teknik
kehutanan saja
E. Evaluasi Pengelolaan Hutan

Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan


hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan
ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya
badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride
Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat
dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang
dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi
laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil
mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang
dilaksanakan di negara-negara sedang berkembang, khususnya
yang memiliki hutan alam tropika
Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki
konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan
pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena
itu, aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-
negara pemilik hutan tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri
jalan pemecahan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan yang
harus dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena elemen ilmu yang
diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan tropika yang
sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk memenuhi
permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan
Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.

Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif tentang


rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka dipikirkan
adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan pengelolaan
hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya untuk
memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu pula
aplikasinya harus tidak menyimpang dari rencana yang selalu berpegang
teguh pada prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas,
kelestarian dan keadilan.
Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki
konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan
pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh
karena itu, aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada
negara-negara pemilik hutan tropika agar yang bersangkutan mencari
sendiri jalan pemecahan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan
yang harus dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena elemen ilmu yang
diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan tropika yang
sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk memenuhi
permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan
Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.

Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif


tentang rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka
dipikirkan adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan
pengelolaan hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya
untuk memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu
pula aplikasinya harus tidak menyimpang dari rencana yang selalu
berpegang teguh pada prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang
produktivitas, stabilitas, kelestarian dan keadilan
F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang setelah
kebijakan industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik
gagal. Hal ini ditandai dengan tingginya laju degradasi hutan dan
kemiskinan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Kegagalan
kebijakan industrialisasi kehutanan mendorong terjadinya
pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, yaitu: dari state
based forest management ke community based forest
management, dari timber oriented ke forest ecosystem
management, dari big scale business ke small owner scale
business, dari eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari
pendekatan sektoral ke pendekatan regional (sistem), dan dari
sistem pengelolaan yang seragam ke sistem pengelolaan spesifik
berdasarkan potensi lokal (Alam, 2003).
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem
pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat
diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang
mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk
dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi
sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan
maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara
berkelanjutan (FAO, 1995).
Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat
adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh
masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang
terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini
lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena
menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan
input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi
tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan
(kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada
siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan
masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan
(HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia.
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat
HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995
dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995,
kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri
Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan
masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah
membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu
fungsi pokok hutannya.
Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep
kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan
pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya
hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi
kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau
mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan
mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan
demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan
melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan
masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai
pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai
dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry
mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama
dalam pengelolaan hutan.
Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan
pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang
dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua
stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan.
Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata
social mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J.,
2003):
1. sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi
ekonomi, ekologi, dan kelestarian.
2. sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang
berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan
keputusan, pengawasan, pengelolaan, investasi, dan pemanfaatan hasil
tidak terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang
konsesi (swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat.
3. sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan
dinamis.
4. sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan
masyarakat secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis.
Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community
forestry) dan social forestry jika dikaitkan dengan latar
belakang permasalahannya menunjukkan kesamaan
maksud yaitu, (Alam, 2003):
1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas
dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang
mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat
lokal.
2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari
pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi
bekerja bersama masyarakat.
A. Konsep Tegakan dan Hutan
Berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang terkait
dengan tegakan dan hutan:
1. Tegakan (Stand) adalah kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan
lain yang menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki
komposisi jenis (species), umur, dan kondisi yang cukup
seragam untuk dapat dibedakan dari hutan atau kelompok
tumbuhan lain di sebelah atau sekitar areal tersebut. Tegakan
merupakan unit dasar suatu perlakuan silvikultur.
2. Tegakan Seumur (Even-aged stand) adalah tegakan yang terdiri
dari pohon-pohon yang berumur sama atau paling tidak berada
dalam kelas umur yang sama. Smith (1962) menyebutkan
bahwa suatu tegakan dianggap seumur kalau perbedaan umur
antara pohon-pohon yang paling tua dan yang paling muda
tidak melebihi 20% panjang daur (rotasi).
Sebenarnya dalam hutan yang dipermudakan secara alam
sukar sekali dijumpai tegakan yang terdiri dari pohon-pohon
yang berumur sama. Oleh karena itu mungkin lebih tepat kalau
kita katakan bahwa tegakanseumur adalah tegakan yang terdiri
dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang
paling muda dan yang paling tua yang diperbolehkan adalah 10
sampai 20 tahun. Namun demikian, apabila tegakan tersebut
tidak akan ditebang sebelum berumur 100 – 200 tahun, maka
perbedaan umur yang diperbolehkan mencapai 25% dari umur
daur atau rotasi
3. Tegakan tidak Seumur (Uneven-aged stand) adalah tegakan yang
terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon
yang paling tua dengan pohon yang paling muda paling sedikit
sebesar tiga kelas umur. Jadi dalam tegakan tidak seumur terdapat
paling sedikit tiga kelas umur.

4. Kelas umur (age class) adalah salah satu dari rangkaian selang
(interrval) waktu yang menyusun rentangan umur (life span) pohon
hutan. Jadi rentangan umur pohon hutan dibagi ke dalam beb erapa
selang waktu . Di Indonesia, biasanya panjang selang waktu
tanaman hutan adalah 5 atau 10 tahun. Untuk jenis pohon yang
rumbuh cepat panjang selang waktu hanya 1 tahun.
Biasanya tiap jenis pohon ditetapkan panjang selang waktui yang
sama. Untuk Albizia falcataria panjang selang waktu ditetapkan 1
tahun, Pinus merkusii 5 tahun, Tectona grandis yang tumbuh lebih
lama 10 tahun.
5. Hutan Seumur (Even-aged Forest) adalah hutan yang
terdiri atas tegakan-tegakan seumur, meskipun perbedaan
umur yang sangat besar (lebih dari ¼ rotasi) antara pohon-
pohon dalam suatu tegakan dengan pohon-pohon dalam
tegakan lainnya.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari 4 tegakan yaitu A, B, C, dan D.
Tiap tegakan tersebut adalah tegakan seumur. Kemudian kita
perhatikan bahwa pada tegakan A terdapat pohon pohon yang
berumur 60 tahun dan pada tegakan C terdapat pohon-pohon
yang berumur 10 tahun. Kalau diketahui pula bahwa hutan
tersebut mempunyai rotasi 80 tahun, apakah hutan tersebut
masih dapat dikatakan hutan seumur?
Jawabannya adalah benar hutan tersebut adalah hutan seumur.
Hal ini disebabkan karena tiap tegakan dalam hutan tersebut
adalah tegakan seumur, meskipun perbedan umur antara pohon
dalam suatu tegakan dengan pohon dalam tegakan yang lain
melebihi ¼ rotasi
6. Hutan Tidak Seumur (Uneven-aged Forest) adalah hutan yang
terdiri dari tegakan-tegakan tidak seumur.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari tegakan-tegakan A, B, C, dan D.
Hutan tersebut dapat dikatakan tidak seumur kalau tegakan A tidak
seumur, tegakan B tidak seumur, tegakan C tidak seumur, dan
tegakan D tidak seumur.
7. Dinamika Tegakan.
Dinamika suatu tegakan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi
yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari
tegakan tersebut, seperti suksesi, kompetisi, toleransi,dan
konsep zona optimum. Faktor-faktor inilah yang secara lansung
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari tegakan
yang dibangun. Pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi
pertumbuhan tinggi, diameter, dan volume dari tegakan yang
telah dibangun. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan
mempengaruhi apakah tegakan itu tegakan seumur atau
tegakan tidak seumur. Tegakan seumur dan tegakan tidak
seumur inilah yang menentukan sistem silvikultur yang akan
dibangun.
Prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada
sifat dasar dari tegakan, yaitu:
A. Suksesi Hutan
• Suksesi tumbuhan adalah pergantian suatu komunitas tanaman
pada suatu areal oleh komunitas tanaman lain.
• Suksesi primer mulai dari permukaan bumi yang tidak ditumbuhi
tanaman, kemudian terjadi perkembangan pergantian ke arah
yang lebih maju, dan akhirnya mencapai tahap ekspresi ekologi
yang paling tinggi yang disebut klimaks. Apabila perjalanan
suksesi tadi mundur akibat adanya gangguan seperti api,
penebangan oleh peladangan berpindah, maka penyembuhan
ke arah tahap sebelum datangnya gangguan disebut suksesi
sekunder.
• Suksesi primer terjadi karena adanya pergantian sekelompok
spesies oleh yang lainnya yang disebabkan oleh perkembangan
dalam ekosistem itu sendiri, sedangkan
• suksesi sekunder terjadi karena pengaruh kekuatan luar yang
merubah ekosistem seperti pengrusakan hutan, dan lain-lain
b. Kompetisi
• Kompetisi adalah suatu proses yang bergerak maju karena
setiap spesies memiliki kemampuan yang berbeda dalam
suatu lingkungan tertentu, dan spesies yang kurang mampu
mengadakan penyesuaian akan hilang dari persaingan.
• Agar sukses dalam persaingan, suatu spesies harus memiliki
sumber biji yang cukup, tempat perkecambahan biji yang
cocok, keadaan pertumbuhan yang cukup, dan tidak memiliki
kelemahan utama dalam terhadap serangan penyakit, hama,
dan binatang yang dapat merintangi kelansungan hidupnya
• Dalam proses kompetisi ini, suatu spesies dapat
menempatkan dirinya sebagai spesies yang dominan dan
bahkan suatu spesies dapat menggantikan spesies lainya
sehingga terdapat suatu proses saling ganti mengganti antar
berbagai spesies.
c. Toleransi
• Toleransi dalam kehutanan diartikan sebagai kapasitas relatif
suatu pohon untuk bersaing dalam keadaan cahaya yang
rendah dan persaingan akar yang tinggi. Pohon-pohon yang
toleran memperbanyak diri dan membentuk lapisan tanah
bawah tajuk dari pohon-pohon yang kurang toleran dan bahkan
di bawah naungannya sendiri.
• Pohon-pohon yang tidak toleran memperbanyak diri dengan
sukses hanya pada daerah-daerah terbuka dimana terdapat
tajuk yang terbuka lebar. Tentunya terdapat spesies yang
sangat toleran, toleran, tingkat menengah, tidak toleran, dan
sangat tidak toleran.
• Pengetahuan mengenai toleransi dan implikasinya terhadap
persaingan dan pertumbuhan adalah suatu hal yang mendasar
untuk memperoleh sistim silvikultur yang baik dan mendasar
pula bagi setiap keputusan kita dalam pengelolaan hutan.
d. Zone Optimum
• Zone optimum adalah tempat dimana suatu spesies tertentu
sering dijumpai pada berbagai macam tanah dan tempat
tumbuh (site).
• Pada tempat tumbuh yang paling baik, spesies tersebut
mencapai ukuran, umur, dan berbagai sifat baik yang
maksimum.
• Ukuran, umur, dan sifat-sifat baik tersebut menurun pada
zone-zone yang lebih dingin atau lebih panas. Pada zone
optimum tersebut spesies yang bersangkutan paling mudah
memperbanyak diri. Suatu spesies yang toleran kemungkinan
besar akan membentuk suatu klimaks pada zone
optimumnya.
B. Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan

Silviks adalah studi sejarah hidup dan ciri-ciri umum pohon-pohon


hutan dan tegakan-tegakan dengan memberikan perhatian utama
terhadap faktor-faktor lingkungan sekitarnya.

Silvikultur adalah ilmu dan seni dalam usaha menanam,


menumbuhkan, memelihara, memungut hasil, dan melaksanakan
permudaan hutan berdasarkan pengetahuan silviks dalam
pengelolaan hutan. Dengan kata lain, silvikultur adalah ilmu dan
seni penerapan silviks dalam manajemen hutan.

Struktur tegakan adalah susunan tegakan berdasarkan umur,


kelas diameter, tajuk, dan kelas pohon lainnya. Dinamika tegakan
dituntun oleh prinsip-prinsip ekologi yang memberikan sifat dasar
dari tegakan seperti, suksesi, kompetisi, toleransi, dan konsep
zona optimum
Terdapat beberapa pandangan pakar tentang sistem silvikultur
dalam hubungannya dengan pengelolaan hutan, yaitu:
• Sistem silvikultur hendaknya dibuat dimana sistem itu akan
digunakan, tidak dirakit dan dibawa dari hutan lain (David, M.
Smith, 1986)
• Dalam pengelolaan hutan kita tidak dapat menggunakan satu
macam sistem silvikultur karena di dalam hutan terdapat
fluktuasi (Hendrikson dan K. Sanojea, 1975).
• Penggunaan sistem silvikultur yang sederhana memang enak,
tetapi jangan sampai hutan alam diganti dengan tegakan
sederhana hanya karena tegakan pengganti itu mudah
dimengerti (David M Smith, 1986).
Secara umum, sistem silvikultur dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sistem Silvikultur Tebang Habis
Keuntungan:
• Operasi pembalakan terkonsentrasi di areal kecil, tetapi volume
kayu besar
• Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan mudah
dicegah
• Kerusakan pohon akibat tumbang oleh angin dihindari
• Tanaman baru terdiri jenis intoleran, bebas persaingan dengan
tegakan tua
• Metode sederhana, praktis, dan mudah
• Tegakan seumur, murni, dan teratur, tumbuh cepat
• Pelaksanaan dengan tumpangsari dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat di sekitar hutan
Kerugian:
• Memusnahkan penutup tanah, iklim mikro berubah, lahan
terbuka, gulma tumbuh meluas
• Perlindungan terhadap erosi berkurang, juga tanah mudah
longsor terutama pada lapangan miring
• Secara estetika kurang baik pemandangannya
• Bahaya kebakaran meningkat karena angin dan panas terik
• Tidak semua jenis dan ukuran pohon laku dijual
• Hutan baru yang seumur dan murni kurang resistent terhadap
penyakit, hama, dan kebakaran
• Terbentuk humus yang susunannya didominasi oleh unsur
tertentu
• Unit cost penanaman per ha lebih mahal
b. Sistem Silvikultur Tebang Pilih
Keuntungan:
• Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan
• Terjadi penutupan tajuk vertikal
• Perlindungan terhadap hama dan penyakit
• Secara estetika lebih baik
• Permudaan alam jenis toleran dipermudah
• Penyesuaian dengan situasi pasar kayu
• Tegakan tak seumur lebih baik bagi habitat satwa
• Menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil
• Penjarangan dapat dilakukan simultan dengan pemanenan
• Unit cost permudaan per ha lebih murah
Kerugian:
• Produksi kecil, tetapi areal penebangan luas sehingga
pengangkutan mahal
• Kerusakan terhadap tegakan sisa
• Memusnahkan sumber plasma nutfah/genetika yang baik
• Bentuk pohon kurang baik karena ruang tumbuh luas pada
umur tua
• Permudaan jenis toleran lebih banyak dari pada intoleran
• Memerlukan kecakapan profesional tinggi dari pelaksanaan
• Tertutup terhadap penggembalaan ternak
• Kurang menyerap tenaga kerja dalam operasinya
• Permudaan alam lebih sulit diatur, demikian pula tindakan
pemeliharaan
KEUNTUNGAN DARI
Peran silvikultur dalam pengelolaan hutan
• Pengendalian komposisi tegakan
• Pengendalian kerapatan tegakan
• Pembangunan areal yang tidak produktif
• Perlindungan hutan
• Pengendalian rotasi dan siklus tebang
• Tercapainya efisiensi kerja
• Perlindungan tanah dan manfaat tidak lansung
hutan
C. Konsep Riap (Increment)

• Riap adalah pertambahan diameter, tinggi, volume, mutu, atau


nilai suatu pohon atau tegakan selama jangka waktu tertentu.
• Riap kasar (Gross increment) menunjukkan nilai yang belum
dikurangi dengan suatu factor yang disebabkan oleh mortalitas
atau kemunduran mutu.
• Riap netto adalah nilai yang diperoleh setelah pengurangan
factor tersebut. Di Indonesia, riap biasanya dinyatakan dalam
m3/ha/tahun.
• Riap merupakan tulang punggung ilmu manajemen hutan,
yang bertujuan untuk menghasilkan kayu. Tanpa informasi
tentang riap, suatu rencana pengelolaan hutan tidak lebih dari
sekedar petunjuk untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan di
lapangan, dan bukan merupakan suatu rencana yang harus
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan.
1. Riap Individu Pohon

• Untuk individu pohon akan dibahas riap diameter, riap tinggi,


dan riap volume.
• Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter setinggi
dada. Riap diameter merupakan salah satu komponen yang
penting dalam menentukan riap volume.
• Alat yang paling banyak dipakai untuk mengukur riap diameter
adalah “bor riap”. Tetapi alat ini hanya efektif untuk mengukur
riap pohon yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas.
• Sebagian besar jenis pohon yang berasal dari hutan tropika
basah tidak mempunyai lingkaran tahun yang nyata dan
pembentukan lingkaran pertumbuhan tidak berkaitan dengan
siklus tahunan.
• Riap diameter tiap tahun dapat diukur dari lebar antara
lingkaran tahun tertentu. Lingkaran tahun dapat dipakai juga
untuk menghitung umur pohon.
Riap Tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan riap volume,
terutama untuk tegakan yang masih muda.
Ada empat cara untuk menentukan riap tinggi, yaitu:
a. Menaksir atau mengukur panjang ruas tahunan. Cara ini hanya dapat
dipakai untuk spesies tertentu saja terutama spesies dari daerah
temperate dan boreal.
b. Analisis tinggi (height analysis) terhadap pohon yang ditebang.
Dengan menghitung lingkaran tahun pada penampang lintang pohon
untuk berbagai ketinggian, akan dapat diketahui pertambahan tinggi
selama periode waktu tertentu. Cara ini dapat dilakukan untuk semua
spesies yang mempunyai lingkaran tahun.
c. Mengukur pertambahan tinggi pohon selama periode waktu tertentu.
Pengukuran tinggi dapat menggunakan hypsometer. Cara ini dapat
dilakukan untuk semua jenis pohon, tetapi memerlukan waktu yang
lama untuk menunggu sampai pada pengukuran yang kedua.
d. Menentukan riap tinggi dengan kurva tinggi. Kurva tinggi untuk
semua spesies bergantung pada umur. Sampai umur tertentu, pohon
sudah tidak lagi tumbuh meninggi, dan sejak itu volume pohon hanya
dipengaruhi oleh riap diameter
Riap volume pohon adalah pertambahan volume selama jangka
waktu tertentu. Dalam teori, riap volume dapat ditentukan
secara tepat dengan mengurangi volume pada akhir periode (B)
dengan volume pohon tersebut pada awal peroide (A).
2. Riap Tegakan
Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah)
pohon yang menyusun tegakan tersebut (degree of stocking), jenisnya,
dan kesuburan tanahnya. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari
kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis, biasanya mempunyai
nilai (rate) yang berbeda-beda. Untuk semua jenis pada waktu muda
mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi. Kemudian,
semakin tua semakin menurun, sampai akhirnya berhenti. Untuk hutan
tanaman, biasanya pertumbuhan diameter mengikuti bentuk huruf S
(sigmoid), karena pada mulanya tumbuh agak lambat, kemudian
cepat, lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu
muda disebabkan oleh perlakuan terhadap tanaman yang rapat, untuk
menghindari percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang
belum memberi hasil (tending thinnings).
Kalau suatu tegakan tidak meriap lagi, maka dikatakan hutan
tersebut sudah mencapai klimaks. Jadi mulai saat itu dan
seterusnya riap tegakan sudah sama dengan nol. Riap volume
suatu tegakan selama satu daur dapat dibedakan atas: riap
rata-rata tahunan (Mean Annual Increment = MAI), riap rata-
rata periodik (Periodic Annual Increment) = PAI), dan riap rata-
rata berjalan (Current Annual Increment = CAI).
Contoh:
Suatu hutan tanaman pada umur 40 tahun, hutan tersebut
mempunyai volume 120 m3/ha, maka sampai umur 40 tahun,
hutan tersebut mempunyai MAI = 120/40 = 3 m3/ha/tahun.
Kalau pada umur 14 tahun, tanaman mempunyai volume 45
m3/ha, dan pada umur 15 tahun menjadi 49 m3/ha, maka CAI
hutan pada umur 15 tahun adalah 49 m3/ha – 45 m3/ha = 4
m3/ha/tahun.
Bila pada umur 20 tahun, volume tegakan itu menjadi 66,5
m3/ha, maka PAI tegakan antara umur 15 sampai 20 tahun
adalah (66,5 – 49)/5 = 3,5 m3/ha/tahun.
BATAS UJIAN MID
D. Konsep Hutan Normal

Bersamaan dengan perkembangan konsep kelestarian, sepanjang abad


19 berkembang pula konsep hutan normal, yang kemudian menjadi
salah satu instrument untuk melaksanakan pengelolaan hutan.
Lahirnya konsep hutan normal tidak lepas dari harapan setelah
pelaksanaan system pengaturan hasil yang paling sederhana yaitu
metode annual coupe atau vak-werk (Belanda). Dari sistem pengaturan
hasil ini dibayangkan akan terbentuk hutan dengan susunan umur yang
teratur.
Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai
dan menjaga derajat kesempurnaan hutan untuk memenuhi ketentuan
sesuai dengan tujuan pengelolaan. Secara ideal, hutan normal
merupakan tegakan dengan persebaran kelas umur yang merata dan
riap yang maksimal. Tebangan tahunan atau priodik pada hakekatnya
harus sama dengan riap untuk jangka waktu yang bersangkutan.
Dengan demikian, hasil kayu yang maksimal dapat diperoleh sepanjang
waktu tanpa membahayakan hasil di masa datang, dan oleh karena itu
kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan.
Misalkan kelas perusahaan kayu pertukangan dengan luas 500 ha
dikelola dengan rotasi 25 tahun. Dengan metode annual coupe, di
seluruh kawasan hutan tersebut akan dibuat 25 petak kerja diberi
batas dan nomor permanen mulai dari petak 1 sampai 25. Secara
skematis pembagian kawasan hutan ke dalam petak-petak kerja
tersebut dilukiskan pada Gambar 2.
Setiap tahun akan dilakukan tebangan pada petak kerja secara
berurutan, kemudian diikuti dengan permudaan kembali pada tahun
berikutnya. Kalau penebangan dimulai pada tahun 2003, maka pada
tahun 2028 di seluruh kawasan hutan telah terbentuk hutan-hutan
seumur pada setiap petak. Umur tegakan di seluruh kawasan hutan
bervariasi dari 1 sampai 25 tahun. Angka-angka yang tertulis di
setiap petak kerja pada Gambar 2 menunjukkan umur tegakan di
petak yang bersangkutan setelah pelaksanaan tebangan seluas 1
daur.
Susunan tegakan seperti itu, yang terdiri atas berbagai umur yang
komplit dari satu tahun sampai umur masak tebang dan luas
masing-masing juga sama, dapat dilukiskan dalam bagan koordinat
yang menghubungkan antara umur dan volume tegakan tiap kelas
umur. Lukisan ini digambarkan pada Gambar 3 . Tiap petak dalam
Gambar 3 menunjukkan volume tegakan yang dibentuk setelah
satu tahun. Oleh karena itu tegakan yang baru berumur satu tahun
dilukiskan oleh satu kotak, dan seterusnya sampai tegakan yang
berumur 25 tahun dilukiskan oleh 25 kotak pula
Dengan melihat susunan kelas umur seperti di atas, maka hutan
normal dapat didefinisikan sebagai tegakan yang mempunyai
susunan kelas umur yang merata, mulai kelas umur 1 sampai akhir
daur, dalam keadaan penuh dan mempunyai kondisi pertumbuhan
yang maksimal. Setiap kelompok umur tegakan mempunyai luas
atau potensi pertumbuhan normal yang sama sehingga tebangan
tahunan selalu menghasilkan kayu yang maksimal dan sama
volumenya.
Hutan normal merupakan hutan yang tertata penuh (fully
regulated), dan potensi kayunya juga dalam keadaan normal. Disini
terkandung pengertian bahwa semua individu pohon di dalam
hutan normal tersebut dalam keadaan pertumbuhan yang baik dan
sehat. Semua pohon memperoleh ruang tumbuh yang optimal,
tidak ada yang dalam keadaan tertekan. Hutan dengan potensi
kayu yang normal berarti mempunyai kepadatan tegakan
maksimal, sesuai dengan tujuan pengelolaan, keadaan tempat
tumbuh dan variable hutan lainnya.
Hutan normal akan menjaga pertumbuhan tegakan di masa datang
dengan sebaran kelas umur atau kelas diameter pohon serta riap
yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, kriteria
yang menentukan pengertian hutan normal adalah: (1) tendon
tegakan normal, (2) sebaran kelas umur normal, dan (3) riap
tegakan normal.

Untuk mencapai hutan normal, diperlukan pemilihan yang tepat


tentang system pengaturan hasil dan teknik silvikultur yang akan
dipakai. Perlakuan silvikultur untuk memelihara tegakan harus
direncanakan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang
memadai, sehingga setiap tempat tumbuh atau kelompok hutan
akan dalam keadaan penuh oleh jenis yang cocok dengan kondisi
tempat tumbuh tersebut. Tegakan akan dijarangi secara periodik
utuk memberikan ruang tumbuh yang optimal bagi tegakan tinggal,
dan untuk mencapai riap yang maksimal sesuai dengan dimensi
kayu atau umur yang diperlukan oleh tujuan pengelolaan tertentu.
Dalam kenyataan, hutan normal yang ideal seperti itu sebenarnya
tidak pernah dapat dicapai, walaupun dengan biaya yang mahal
dan usaha yang maksimal sekalipun. Oleh karena itu, hutan
normal sebagai alat untuk mencapai keuntungan yang optimal
tidak lagi dipegang teguh secara kaku. Untuk menghindari ketidak
luwesan konsep hutan normal tersebut, Davis (1966)
memperkenalkan istilah yang lebih fleksibel, yaitu hutan dalam
keadaan tendon penuh (full-stocked forest). Suatu table hasil
dapat dibuat untuk melukiskan perkembangan volume standar
suatu tegakan yang dalam keadaan penuh. Bukan volume
maksimal sebagaimana pendapat umum selama ini.
Untuk system pengelolaan hutan yang lebih intensif, istilah yang
dipakai adalah hutan yang tertata penuh (fully-regulated forest) .
Dalam hal ini, hutan dengan tendon penuh diharapkan dapat
dicapai pada suatu waktu tertentu, khususnya pada akhir daur.
Selama jangka waktu satu daur tersebut, hutan dapat dikelola
dengan teratur untuk memperoleh manfaat hutan yang maksimal
sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat.
E. Konsep Rotasi

Rotasi adalah jangka waktu dalam tahun yang diperlukan


oleh suatu jenis tanaman untuk mencapai umur masak
tebang, dihitung sejak jenis tersebut ditanam. Nampak dari
definisi tersebut bahwa konsep rotasi dipakai untuk
pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu dari
tegakan seumur.
Untuk tegakan tidak seumur, istilah yang dipakai untuk arti
yang sama dengan rotasi adalah siklus tebangan (cutting
cycle).
Istilah yang bersifat umum untuk mengganti dua istilah
tersebut adalah daur.
2. Macam-Macam Daur
Dalam pengelolaan hutan seumur, menentukan panjang rotasi
mempunyai peranan yang sangat penting karena berpengaruh
terhadap Efisiensi Dan Efektifitas Tujuan
Pengelolaan.
Enam macam kriteria untuk menentukan panjang rotasi, yang
kemudian menunjukkan nama daur yang bersangkutan, yaitu:

a. Daur Fisik, yaitu daur yang berimpitan dengan kemampuan


suatu jenis untuk dapat bertahan hidup secara alami.
Kadang-kadang juga diartikan atau disamakan dengan
waktu sampai suatu jenis masih mampu untuk
menghasilkan biji yang dapat tumbuh menjadi anakan yang
sehat.
b. Daur Silvikultur, yaitu jangka waktu yang diperlukan oleh
suatu jenis pohon untuk mulai dapat melakukan permudaan
kembali dengan baik.
- Apabila suatu jenis pohon biasa melakukan permudaan
dengan biji, maka daur silvikultur berarti jangka waktu yang
diperlukan oleh jenis tersebut untuk mulai menghasilkan biji
yang dapat digunakan untuk permudaan kembali.
c. Daur Teknik, yaitu umur pada waktu suatu jenis yang
diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat
digunakan untuk tujuan tertentu.
Jadi tergantung pada tujuan pengusahaannya, jenis daur ini
dapat panjang atau pendek. Misalnya, daur untuk kayu bakar
dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu
pertukangan seringkali amat panjang.
d. Daur Volume Maksimum, yaitu umur tegakan dimana hasil
kayu tahunan mencapai volume yang tertinggi. Disini tidak hanya
dihitung hasil dari tebangan akhir saja tetapi juga termasuk
seluruh hasil penjarangan yang pernah dilakukan sampai umur
tebang.
e. Daur pendapatan maksimum (the highest forest rental). Pada
umur tertentu suatu hutan tanaman akan menghasilkan
pendapatan bersih maksimum
f. Daur keuntungan maksimum disebut juga daur financial, yaitu
umur tebangan hutan tanaman yang dapat menghasilkan
keuntungan tertinggi dalam nilai uang
Secara garis besar, pertimbangan-pertimbangan memilih tipe
daur dalam hubungannya dengan tujuan pengelolaan adalah
sebagai berikut:
• Bila tujuan pengelolaan lebih mengutamakan perolehan
manfaat non-ekonomi dari hutan (mengatur supply jasa
hutan) seperti, satwa liar, rekreasi, dan lain-lain semacam
itu, maka daur silvikultur dan daur fisik akan lebih baik.
• Bila tujuan pengelolaan dititikberatkan untuk menghasilkan
kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar, daur
teknik dan daur volume maksimum akan merupakan
alternatif yang paling tepat.
• Untuk tujuan pengelolaan yang mengutamakan keuntungan
dalam nilai uang (untuk mengatur pengembalian uang),
digunakan rotasi pendapatan maksimum atau daur finansial.
Disamping tujuan pengelolaan, panjang daur juga ditentukan oleh
faktor-faktor antara lain: besarnya riap atau percepatan
pertumbuhan pohon penyusun tegakan, tujuan akhir penggunaan
kayu, kondisi tapak hutan, dan jenis pohon yang ditanam.
F. Konsep Kelestarian
1. Karakterisitik Sumberdaya Hutan
Hutan pada dasarnya mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain, yaitu hutan sebagai sumberdaya alam dan hutan
sebagai suatu ekosistem. Hutan sebagai sumberdaya alam, dengan
karakteristik, dapat diperbaharui, mempunyai fungsi manfaat serbaguna
(multi use resources), bergam antara satu tempat dengan tempat lainnya
(divers), potensial (berukuran besar, sebagai populasi). Sedangkan hutan
sebagai ekosistem, dengan karaktersitik, sangat kompleks, bersifat labil
(mudah terpengaruh oleh peruahan), dan beragam (divers). Dengan
demikian, dalam memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan
manusia dan pembangunan, maka karakteristik atau sifat hutan sebagai
sumberdaya alam dan ekosistem harus menjadi pertimbangan utama
secara proporsional.
Pertumbuhan penduduk yang pesat, menyebabkan kebutuhan terhadap
lahan dan hasil hutan juga meningkat. Peningkatan ini tidak hanya
dalam jumlah (kuantitasnya), tetapi juga dalam jenisnya serta
kualitasnya. Untuk dapat memenuhi meningkatnya kebutuhan akan
hasil-manfaat tersebut, maka intensifikasi dan cara-cara pemanfaatan
hutan juga harus ditingkatkan. Dalam waktu yang bersamaan terdapat
perkembangan global yang menyertainya.
2. Konsep Kelestarian
Pada kondisi seperti diuraikan di atas, dengan mempertimbangkan
sifat-sifat hutan (sebagai SDA dan sebagai ekosistem) maka
dikembangkan suatu prinsip dasar dalam pemanfaatan hutan yang
dikenal sebagai Prinsip Kelestarian (Sustainable Principle).
Berdasarkan perkembangannya, dikenal dua prinsip kelestarian, yaitu:
prinsip hasil (yield principle), dan prinsip manajemen (management
principle).
1. Prinsip Hasil (yield principle)
Prinsip ini dikembangkan untuk pertama kalinya dalam pengelolaan hutan
di Jerman, dimana dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan hasil
dan manfaat hutan yang terus meningkat, maka hasil-manfaat hutan
merupakan dasar utama pengelolaan hutan. Dengan demikian, prinsip
hasil adalah prinsip dalam pengelolaan hutan yang mendasarkan pada
pertimbangan hasil yang diperoleh dari hutan sebagai dasar utamanya.
Dalam sejarah penerapannya, terdapat beberapa bentuk prinsip hasil,
yaitu:
a. Prinsip hasil yang lestari (sustainable yield principle)

Pengelolaan hutan dengan prinsip hasil lestari mengupayakan hasil


(yield) yang diperoleh dari hutan kurang lebih sama dari waktu ke waktu
(tahun ke tahun atau rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai apabila
terdapat keseimbangan antara riap (increment) dari tegakan hutan
dengan pemanenannya (harvesting). Keseimbangan ini merupakan
persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kelestarian
hasil. Dengan demikian, masukan yang sangat penting dan mendasar
untuk mewujudkan tercapainya prinsip kelestarian hasil adalah besarnya
riap. Riap adalah besarnya pertambahan tumbuh dimensi pohon-tegakan
(diameter, tinggi, volume) menurut ruang dan waktu. Satuan yang sering
digunakan dalam menyatakan riap adalah m3/ha/tahun. Terdapat banyak
cara untuk mengukur besarnya riap tegakan, salah satu yang sering
dipergunakan adalah dengan melakukan pengamatan-pengukuran secara
berurutan (continuous forest measurement) pada plot permanent (Petak
Ukur Permanen = PUP)
Sehubungan dengan riap tegakan sebagai masukan yang
mendasar dalam mewujudkan kelestarian hasil, maka
setiap HPH diharuskan membuat PUP di areal bekas
tebangan. Dengan mengetahui riap tegakan tinggal, maka
dapat ditentukan besarnya jangka waktu rotasi tebangan
(cutting cycle) dan besarnya jatah tebang tahunan (JTT =
AAC) pada rotasi kedua.
b. Prinsip hasil yang selalu meningkat (progressive yield principle)
Disamping hasil yang diperoleh dari hutan (utamanya kayu) berlangsung
kurang lebih sama dari waktu ke waktu, pengelola hutan berupaya lebih
lanjut untuk meningkatkan hasil yang diperoleh dari hutan dari waktu ke
waktu. Jadi bersifat progressif. Dengan demikian, prinsip hasil yang
selalu meningkat adalah prinsip pengelolaan hutan yang mengupayakan
hasil yang akan diperoleh dari hutan akan terus meningkat dari waktu ke
waktu (tahun ke tahun, rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai dengan
meningkatkan potensi tegakan per satuan luasnya, atau dengan kata lain
riap tegakan harus ditingkatkan per satuan luas per satuan waktu,
melalui:
1) Penerapan teknik silvikultur yang tepat, misalnya melalui penjarangan
(thinning) yang tepat, pemupukan, dll.
2) Pemilihan bibit unggul melalui program-program kultur jaringan (tissue
culture), pemuliaan pohon (tree improvement), dan rekayasa teknologi
biologi (biotechnology).
c. Prinsip hasil yang maksimal (maximum yield principle)
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap hasil hutan, maka
upaya untuk mendapatkan hasil secara progressif masih belum dapat
memenuhi kebutuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan teknologi
pemanfaatan hasil hutan juga mengalami peningkatan, yang ditopang
dengan berkembangnya IPTEKS pemanfaatan hasil hutan.
Melalui teknologi pemanfatan hasil hutan, yaitu memproses-mengolah
hasil hutan menjadi produk jadi atau setengah jadi, diharapkan nilai dari
hasil hutan akan meningkat dan maksimal. Dengan demikian, prinsip
hasil maksimal adalah prinsip pengelolaan hutan yang mengupayakan
diperolehnya nilai maksimal dari sumberdaya hutan
Untuk mendapatkan nilai maksimal tersebut, beberapa upaya yang
dapat dilakukan adalah:
1) industrialisasi pengolahan hasil hutan untuk mendapatkan nilai
tambah (value added).
2) Intensifikasi pemanfaatan hasil hutan sehingga diperoleh volume
hasil hutan yang lebih besar (memperkecil volume limbah)
3) Diversifikasi pemanfaatan hasil hutan

Dengan demikian, prinsip ini menekankan pada peningkatan nilai


dibanding peningkatan produksi hasil hutan.
2. Prinsip Manajemen Hutan Lestari (Sustainabel Forest
Management)
Pengelolaan hutan seyogyanya tidak hanya mempertimbangkan
kelestarian hasil tetapi harus pula mempertimbangkan dampak dari
pemanfatan hasil tersebut. Oleh karenanya, pengelolaan hutan
mempunyai dimensi yang lebih luas (multidimentional principle).
Berbeda dengan prinsip kelestarian hasil, prinsip pengelolaan hutan
secaralestari perlu dan harus mempertimbangkan aspek-aspek yang
lebih luas, yaitu:
a. Kelestarian sumberdaya hutan (resource security)
b. Kelestarian produksi (cointinuity of production)
c. Kelestarian lingkungan (environment)
d. Kelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity)
e. Kelestarian sosekbud masyarakaty (socio-economic and culute)
PRESKRIPSI PENGELOLAAN
HUTAN

Pokok Bahasan : Preskripsi Pengelolaan Hutan


Tujuan Umum : Menganalisis preskripsi pengelolaan
hutan.
Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab
IV, mahasiswa/i mampu: (1) menjelaskan tiga elemen
dasar membangun preskripsi pengelolaan hutan, (2)
membangun, menilai, dan mengaplikasikan preskripsi-
preskripsi pengelolaan pada suatu tegakan
A. Pengertian Preskripsi Pengelolaan Hutan

• Preskripsi pengelolaan hutan adalah seperangkat kegiatan


yang diimplementasikan pada suatu tegakan untuk
mencapai hasil tertentu yang diinginkan.
• Penanaman, penjarangan, permudaan, pemanenan,
pemupukan, dan lain-lain adalah contoh kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan struktur vegetasi dan hasil
kayu yang diinginkan
Preskripsi pengelolaan hutan yang baik harus berpedoman pada
empat hal yaitu:
1. Keutuhan dan kelanjutan ekologi.
Preskripsi pengelolaan hutan harus mepertimbagkan berbagai
fungsi lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh hutan
antara lain, pemeliharaan keanekaragaman hayati hutan,
perlindungan daerah aliran sungai, pemeliharaan fungsi daur ulang
zat hara yang penting, perlindungan iklim mikro dan iklim
setempat, dan lain-lain.

2. Penggunaan produk dan jasa hutan oleh manusia secara


berkelanjutan dan adil.
Preskripsi pengelolaan hutan mempertimbangkan ciri-ciri ekologi,
faktor-faktor sosial dan demografi, serta potensi ekonomi pada
setiap unit manajemen. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi
baik perlindungan maupun produksi hutan sama-sama dipikul
masyarakat setempat, sektor swasta, dan pemerintah.
3. Pengelolaan terpadu pada skala yang tepat.
Hutan dikelola dalam suatu kerangka perencanaan wilayah,
pengambilan keputusan dan pengelolaan yang memperhitungkan
permukiman manusia di sekitarnya, tanah-tanah pertanian, dan
berbagai macam kegiatan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan
ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah pengelolaan.
Pemerintah, masyarakat, swasta, dan kepentingan-kepentingan lain
bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan pengelolaan untuk
memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan baik pada
kawasan hutan maupun pada lahan-lahan masyarakat dan
mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan.

4. Keikutsertaan yang adil dan bijaksana oleh semua pihak yang


berkepentingan. Memberikan kewenangan dan hak atas informasi
dan partisipasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam
proses perumusan keputusan-keputusan pengelolaan dan kebijakan
kehutanan.
B. Elemen-elemen Dasar Membangun Preskripsi Pengelolaan
Hutan Pernyataan pada uraian Bagian A menggambarkan tiga
elemen esensial dari preskripsi pada suatu lahan hutan, yaitu:

1. Klasifikasi Lahan (Land – type Classification)


Klassifikasi lahan menggambarkan paket atau tipe-tipe lahan
menurut lokasi, potensi tegakan, kerapatan, jenis, tanah,
kelerengan, dan atribut-atribut lahan yang lain. Disini kita membuat
keputusan tentang keseragaman (homogenitas) dan keberagaman
(heterogenitas) lahan/wilayah.
Mengklasifikasi lahan ke dalam unit-unit pengelolaan yang
homogen memungkinkan kita untuk menggeneralisir hasil antara
areal yang diamati dan dipelajari dengan areal yang tidak diamati
tetapi mempunyai kondisi yang sama dengan areal yang
diamati. Untuk mendapatkan areal yang homogen perlu
mempertimbangkan tidak hanya karakteristik fisik dan vegetasi,
tetapi juga karakteristik pembangunan
Contoh: Areal hutan seluas 1000 acre, dengan karakteristik sebagai
berikut:
a. Karakteristik fisik:
1) kelerengan (2 kelas), yaitu: moderate (0 – 30%) curam (> 30%)
2) wilayah DAS (2 kelas) Elk creek Fish creek

b. Karaktersitik vegetasi
1) Penutupan lahan (3 kelas) soft woods, hard woods, dan Grasses
2) Potensi tegakan (2 kelas) diameter rata-rata < 14 inci dan
diameter rata-rata > 1 inci
c. Karakteristik pembangunan
1) Jarak dari jalan raya (2 kelas) < 200 ft dari jalan, > 200 ft dari
jalan

Anda mungkin juga menyukai