Karya Tulis/Karya Ilmiah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri di bidang
Kehutanan yang tidak dipublikasikan
Telah dipresentasikan pada tanggal …. Juni 2016 di Ruang Rapat Balai Pengelolaan Hutan
Produksi Wilayah IX Banjarbaru.
Adapun makalah ini meliputi pembahasan terkait dengan KPH, kondisi dan
permasalahan yang dihadapi, pengembangan dan rekomendasi kelembagaan di masa yang
akan datang secara umum berdasarkan kondisi (studi kasus) yang ada saat ini di Provinsi
Kalimantan Selatan.
Hal-hal yang diuraikan dalam Makalah ini meliputi pendahuluan, kondisi dan
permasalahan yang ada, metode pelaksanaan, hasil analisa dan pembahasan serta
rekomendasi pengelolaan hutan oleh KPH di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
1. Pendahuluan
2. Kondisi dan Permasalahan
3. Metode Pelaksanaan
4. Pembahasan
5. Rekomendasi
1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Hutan di Indonesia telah mengalami degradasi, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kawasan hutan yang tersisa tidak dapat lagi berfungsi secara optimal dalam mendukung ekosistem
maupun kesejahteraan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Peran hutan dalam
menunjang pembangunan di daerah, terutama bidang ekonomi, dinilai masih belum maksimal.
Peranan hutan tidak hanya bersifat lokal maupun regional, namun bersifat global. Demikian juga,
dengan perubahan iklim global saat ini, hutan dianggap tidak mampu menekan laju pemanasan
global, tapi justru ikut berperan mempercepat terjadinya pemanasan global, karena terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Hutan yang tidak terkelola dengan baik, juga dituding sebagai salah
satu penyebab Indonesia tercatat sebagai pengekspor asap terbesar di dunia.
Hutan selain memiliki fungsi konservasi, lindung dan produksi, juga dikenal sebagai
sumberdaya alam yang mendukung kehidupan manusia di masa kini dan masa depan. Dengan
lajunya pembangunan dan perkembangan penduduk di suatu wilayah, akan mendorong daya
dukung dan daya tampung wilayah hingga pada titik jenuh, dan wilayah hutan merupakan salah
satu alternatif yang paling memungkinkan. Hal ini makin dipercepat dengan latar belakang budaya
bangsa Indonesia sebagai negara agraris, dimana penerapan teknologi dan implementasi hasil-hasil
penelitian belum dapat meningkatkan produktifitas lahan secara maksimal, sehingga menuntut
ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan dengan luasan yang cukup.
Pada beberapa kasus, kehutanan dituding sebagai salah satu penghambat pembangunan
daerah.Kawasan hutan yang luas dinilai tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi
daerah.Kontribusi sektor kehutanan di daerah dinilai hanya dari besarnya pendapatan yang
diperoleh dari produksi hutan kayu dan non kayu yang dihasilkan. Fungsi lain dari hutan berupa
konservasi dan lindung, belum dinilai sebagai kontribusi bagi daerah. Tingkat produktifitas lahan
masih digunakan sebagai salah satu parameter dalam penentuan kebijakan di daerah. Produktifitas
lahan per hektar per tahun pada kawasan hutan akan sangat rendah dibandingkan dengan lahan
pertanian, perkebunan maupun pertambangan, sedangkan pengelolaan hutan, pengamanan,
perlindungan dan pengurusan hutan lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit dari pemerintah.
Di sektor swasta, pemanfaatan hutan selama ini belum menunjukkan kinerja yang optimal.Hal
inilah yang menjadi salah satu pendorong dilakukannya alih fungsi hutan untuk pembangunan di
daerah.
Aspek teknis
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya berkaitan dengan pemanfaatan hutan sebagai
sumberdaya alam dan sebagai suatu ekosistem. Kegiatan manajemen hutan akan dan harus
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis, yaitu penanaman, pemeliharaan, perlindungan hutan,
pemanenan hutan, pengolahan hasilhutan dan pemasaran hasilhutan. Untuk mewujudkan aspek
teknis tersebut dalam pelaksanaan manajemen hutan secara operasional di lapangan diperlukan
penguasaan pengetahuan teknis kehutanan. Teknik kehutanan merupakan perpaduan dari
beberapa cabang ilmu, antara lain adalah teknik sipil, pertanian, dan lingkungan. Penentuan dan
penerapan sistem silvikultur pada suatu areal kerja unit manajemen sangat tergantung dari kondisi
tapak dan teknik yang akan digunakan.
Aspek sosial
Dalam pengelolaan hutan, tidak dapat terlepas dari keberadaan dan peran
masyarakat.Sesuai dengan Undang-Undang dan prinsip kehutanan, dimana pengelolaan hutan
dilaksanakan dalam rangka memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.Aspek
sosial ini menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan dampak dan sistem silvikultur yang
akan diterapkan. Keberadaan masyarakat akan mempengaruhi besarnya dampak yang ditimbulkan
dan atau sebaliknya dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu, kelola sosial merupakan hal yang
mutlak dan penting dalam pengelolaan hutan.
Aspek ekonomi
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan pengusahaan/ pemanfaatan
hutan. Oleh karena itu,aspek-aspek perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek keuangan sangat
erat hubunganya dengan manajemen hutan.Untuk melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis
Aspek lingkungan
Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya alam,harus pula
memperhatikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Secara operasional, pengelolaan hutan
akan memanfaatkan ekosistem hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan harus
diperhatikan pula pengaruh pemanfaatan tersebut terhadap komponen ekosistem hutan yang
terdiri dari kondisi biogeofisik serta iklim/lingkungan.
Untuk mengetahui tingkat kelestarian pengelolaan hutan produksi lestari pada KPH,
dilakukan penilaian kinerja dengan mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari Nomor SK.2/PHPL-KPHP/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP) Model Gularaya, KPHP Model Batulanteh dan KPHP Model Gunung Sinopa Tahun 2016.
Pada SK ini terdapat 4 (empat) Indikator penilaian, yang terdiri dari aspek prasyarat, aspek ekologi,
aspek produksi, dan aspek sosial. Masing-masing indikator memiliki beberapa verifier (alat
penilaian/tolok ukur penilaian).
Aspek Prasyarat
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek prasyarat meliputi ;
1) Legalitas, terdiri dari 4 verifier;
2) Sarana dan Prasarana, terdiri dari 3 verifier;
3) Komitmen KPHP, terdiri dari 3 verifier;
4) Pengelolaan hutan, terdiri dari ;
a) Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, terdiri dari 7 verifier;
b) Pemanfaatan hutan/penggunaan kawasan, terdiri dari 3 verifier;
Aspek Produksi
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek ekologimeliputi ;
1) Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan kawasan dan hasil hutan pada area berizin, terdiri dari
3 verifier;
2) Legalisan hasil hutan, terdiri dari ;
a) Dokumen hasil hutan, terdiri dari 2 verifier;
b) Iuran kehutanan, terdiri dari 1 verifier;
3) Peningkatan investasi, terdiri dari ;
a) Penyiapan prakondisi untuk meningkatkan investasi, terdiri dari 2 verifier;
b) Sosialisasi dan promosi, terdiri dari 1 verifier;
c) Fasilitasi proses kerjasama dan perijinan, terdiri dari 2 verifier;
Aspek Sosial
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek sosialmeliputi ;
1) Partisipasi masyaarakat, terdiri dari 2 verifier;
2) Koordinasi dan konsultasi, terdiri dari 3 verifier;
3) Peningkatan kemampuan staf KPHP, terdiri dari 1 verifier;
4) Fasilitasi investasi, terdiri dari 4 verifier;
5) Informasi dan sosialiasi, terdiri dari 4 verifier;
6) Pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk asli, terdiri dari 2 verifier;
7) Pelayanan publik, terdiri dari ;
a) Mekanisme dan standar pelayanan publik, terdiri dari 2 verifier;
b) Pelayanan publik, terdiri dari 2 verifier;
c) Pengaduan dan keluhan para pihak, terdiri dari 3 verifier;
8) Penyelesaian sengketa, terdiri dari ;
a) Mekanisme penyelesaian sengketa kehutanan, terdiri dari 1 verifier;
b) Identifikasi mediasi dan resolusi konflik, terdiri dari 4 verifier.
Untuk kepentingan ekologi (UKL/RPL) blok dibuat berdasarkan DAS atau disebut daerah
tangkapan air dan atau satu sistem prasarana produksi yang efisien. Kawasan KPHP Model Banjar
dibagi menjadi 8 blok, dengan perincian sebagai berikut :
Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua unit kelembagaan KPH (Cantung dan Sengayam)
yang tidak difasilitasi oleh BPKH. Hasil koordinasi dengan BPKH dan Dinas Kehutanan Kabupaten
Kotabaru, alasan tidak difasilitasinya kelembagaan KPH tersebut adalah keterbatasan dana pada
saat itu, sehingga dalam satu kabupaten hanya satu unit kelembagaan yang difasilitasi oleh APBN,
Struktur organisasi KPH berdasarkan Permendagri No. 61 Tahun 2010, untuk KPH tingkat
provinsi adalah SKPD dengan Tipe A, dipimpin oleh seorang Kepala (eselon III), KSBTU dan Kepala
Seksi (jumlah maksimal eselon IV sebanyak 3 orang). Sedangkan untuk KPH tingkat kabupaten
adalah UPT dengan tipe B, yang terdiri dari seorang Kepala (eselon IV a) dan KSBTU (eselon IV b).
Namun dengan kebijakan daerah dan pertimbangan lainnya, bentuk organisasi dapat diputuskan
sesuai dengan kondisi daerah. Untuk Provinsi Kalimantan Selatan, KPH yang akan dibentuk pasca
pelimpahan kewenangan ke provinsi adalah UPT Dinas Provinsi.
Namun pembentukan UPTD Provinsi ternyata tidak serta merta dapat dilaksanakan,
mengingat belum adanya Permendagri yang mengatur kelembagaan KPH pasca UU 23 tahun 2014.
Selain itu, dengan adanya pembentukan kelembagaan yang tidak sesuai dengan jumlah unit KPH,
maka akan terjadi perubahan luasan terhadap masing-masing KPH, dengan demikian wilayah kerja
KPH perlu penetapan kembali oleh Menteri LHK.
Isu strategis yang diangkat oleh Bappenas menjadi dasar kebijakan bidang kehutanan adalah
"peningkatan daya saing komoditas sumber daya alam". Berdasarkan isu strategis tersebut,
dirumuskan arah kebijakan bidang kehutanan yang meliputi :
1) Peningkatan produksi dan produktivitas sumber daya hutan
2) Penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, penerapan pronsip tata kelola hutan yang baik
(good forest governance)
3) Pemberian jaminan legalitas hasil hutan kayu dan produk kayu, dan meningkatkan
keterlibatan masyarakat sebagai mitra usaha.
Untuk mempercepat kemandirian KPH sehingga tercapai pengelolaan hutan secara lestari,
diperlukan peran pemerintah untuk melakukan intervensi anggaran yang berasal dari APBN sebagai
initial capital (modal awal) operasionalisasi KPH. Percepatan dilakukan dalam kurun waktu 2015 -
2019 secara bertahap, yakni 80 unit KPHP di tahun 2014, 69 unit KPHP di tahun 2016, 60 unit KPHP
di tahun 2017, 60 unit KPHP di tahun 2018, dan 78 unit KPHP di tahun 2019. Salah satu prinsip
penggunaan APBN pada percepatan operasionalisasi KPH adalah diarahkan untuk membiayai
kegiatan prioritas, yakni ; 1) penataan kawasan hutan, 2) rehabilitasi kawasan hutan, 3) penyediaan
sarana dan prasarana, dan 4) penyusunan business plan.
Seiring dengan pergantian pimpinan negara, terdapat pergeseran kebijakan yang mengacu
pada program yang diusung pemerintahan baru. Adapun program yang diusung oleh pemerintah
baru adalah Nawacita. Dengan demikian, Rencana Strategis Kementerian Tahun 2015 - 2019
mengakomodir program Nawacita beserta segala perubahannya, termasuk beberapa perubahan
alokasi penganggaran program prioritas dalam rangka percepatan pembangunan nasional. Adapun
Nawacita adalah sebagai berikut :
1) Menghadirkan kembali negara untukmelindungi segenap bangsa dan memberikan rasa
aman pada seluruh warga negara
2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang
bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan
4) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
5) Meningkatkan kualitas hidupmanusia Indonesia
6) Menciptakan kesetimbangan dan keberlanjutan antara pertumbuhan ekonomidan
pelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam
7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategisekonomi domestik
Kebijakan prioritas di bidang kehutanan dalam rangka percepatan pembangunan, antara lain
meliputi ; 1) Pemantapan kawasan dan aset hutan, 2) Penguatan ekonomi kehutanan, 3) Konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, 4) Rehabilitasi dan reklamasi lahan, 5) Penguatan
kelembagaan KPH, 6) Penguatan tata kelola (organisasi, kualifikasi SDM, kualitas pelayanan).
Dengan adanya program prioritas ini, maka dilakukan sinkronisasi program melalui trilateral
meeting antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan dan
Bappenas, dalam rangka pembahasan program dan penganggaran APBN tahun berikutnya.
100
88,89 88,89 88,89 88,89
90 88,89 86,67
85
86,67
80
77,78 77,78 77,78
80 75
76,67
76,67
68,33
70 66,67
60
50 50 50 Banjar
50
PLS
40
Tala
30 Tabalong
20
10
0
Legalitas Sarpras Komitmen KPH Pengelolaan Rata-rata
Hutan
Aspek Ekologi
Penilaian kinerja PHPL pada aspek ekologi terdiri dari 2 (dua) indikator, yakni 1) rehabilitasi
dan reklamasi hutan, dan 2) perlindungan hutan dan konservasi, dengan 13 verifier.
1) Rehabilitasi dan reklamasi hutan merupakan salah satu indikator dari aspek ekologi, dimana
KPHP sebagai operator di lapangan dituntut untuk dapat mengurangi kerusakan hutan dan
merehabilitasi lahan kritis serta meningkatkan tutupan lahan di wilayah kerjanya. Ketersediaan
data dan informasi, aksesibitas, SDM dan penganggaran, sangat menentukan terlaksananya
90
83,33
80
70 64,1
58,33
60 55,56 55,56 55,56 55,56
53,85 53,85
56,41
50 50
50 Banjar
40 PLS
Tala
30
Tabalong
20
10
0
Rehabilitasi dan Reklamasi Perlindungan hutan dan Rata-rata
konservasi
Aspek Produksi
Penilaian kinerja PHPL pada aspek produksi terdiri dari 3 (tiga) indikator, yakni 1)
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan kawasan dan hasil hutan pada areal berizin, 2) legalisasi
hasil hutan, dan 3) peningkatan investasi, dengan total 11 verifier.
80
70 66,67 66,67
60 60 60,61
60 55,56 55,56 54,55
55,56 55,56 51,52
50 46,67 45,45
46,67
Banjar
40
33,33 PLS
33,33
30 Tala
Tabalong
20
10
0
Pemantauan Legalisasi Hasil Peningkatan Rata-rata
Hutan Investasi
Aspek Sosial
Penilaian kinerja PHPK pada aspek sosial terdiri dari 8 (delapan) indikator, yakni 1)
partisipasi masyarakat, 2) koordinasi dan konsultasi, 3) peningkatan kemampuan staf KPHP, 4)
fasilitasi investasi, 5) informasi dan sosialisasi, 6) pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk
asli, 7) pelayanan publik, dan 8) penyelesaian mediasi dan resolusi konflik, dengan total 28 verifier.
1) Partisipasi masyarakat secara dalam pengelolaan sumber daya hutan sesuai dengan prinsip
kelestarian hutan belum diatur dalam suatu mekanisme tertentu. Partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumber daya hutan bersifat mandiri, perorangan, parsial dan/atau dalam kelompok
kecil, tanpa mekanisme yang jelas dan tanpa pola kemitraan.
2) Koordinasi dan konsultasi yang dilakukan oleh KPHP masih bersifat kedinasan dengan instansi
vertikal maupn horisontal yang berada di dalam wilayah kerjanya, tanpa adanya SOP yang jelas.
Saat ini, jadwal koordinasi dan konsultasi diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan KPHP dan
Berdasarkan hasil penilaian kinerja pada aspek sosial, diperoleh kinerja dengan kategori
BURUK untuk keempat KPHP. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
120
100
80
60
40 Banjar
20 PLS
Tala
0
Tabalong
Berdasarkan hasil penilaian kinerja tersebut, maka nilai kinerja secara keseluruhan masing-
masing KPHP adalah sebagai berikut :
Berdasarkan hasil penilaian kinerja PHPL pada KPHP di Provinsi Kalsel sebagaimana tabel di
atas, ternyata belum menunjukkan hasil yang positif, dimana terdapat hanya satu KPHP yang
memperoleh nilai "SEDANG", sedangkan KPHP yang lain memperoleh nilai "BURUK". Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan KPHP di Provinsi Kalsel hingga tahun 2015 belum
Berdasarkan tabel di atas, telah ditetapkan KPH sebanyak 482 unit, yang terdiri dari 1 unit
KPHK, 170 unit KPHL dan 311 unit KPHP. Sesuai dengan peta arahan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, jumlah KPH akan mencapai 629 unit di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 347 unit
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan yang drastis antara jumlah
KPH dengan Dinas Kabupaten yang menangani kehutanan.Pada beberapa provinsi, tidak terdapat
KPH atau memiliki KPH lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah Dinas Kabupaten. Sebaliknya,
Berdasarkan tabel di atas, kelembagaan KPH telah memenuhi unsur sebagaimana tersebut
di atas, dengan penjelasan sebagai berikut :
Kewenangan
Unsur Kewenangan pada KPH, dipenuhi melalui kewenangan KPH dalam memanfaatkan
wilayah tertentu melalui kerjasama atau kemitraan dengan pihak lain (BUMN, BUMD, swasta,
Koperasi, atau UMKM). Sesuai dengan Permenhut Nomor P.47/Menhut-II/2013 tentang
Pedoman,Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPHL dan KPHP,
Kepala KPHP dapat mengusulkan pemanfaatan wilayah tertentu kepada Menteri, sekaligus sebagai
usulan pelimpahan kewenangan (pasal 2 dan pasal 3).Adapun penyelenggaran pemanfaatan hutan
di wilayah tertentu meliputi ; pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan HHBK. Ketentuan teknis pelaksanaan pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu
melalui kemitraan sedang dalam tahap penyusunan dan pembahasan.
Desentralisasi
Desentralisasi di bidang kehutanan telah dilakukan dalam rangka otonomi.Dengan terbitnya
UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semakin jelas desentralisasi pada beberapa
bidang.Pengaturan kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah diatur lebih lanjut
oleh Menteri Dalam Negeri.
Pemberdayaan Masyarakat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah KPH merupakan salah satu tujuan dan
sasaran program nasional, dan dilakukan oleh KPH melalui pemberdayaan masyarakat yang ada di
dalam dan di sekitar wilayah KPH.Dalam pengelolaan hutan produksi lestari, pemberdayaan
masyarakat merupakan salah satu indikator penting keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan.
Ekonomi Pasar
Ekonomi pasar dalam KPHP diwujudkan dalam penyusunan rencana strategis bisnis
KPH.Rencana strategis bisnis KPHP disusun berdasarkan kondisi potensi sumber daya hutan yang
ada serta kondisi pasar, dengan mempertimbangkan permintaan dan penawaran. Rencana strategis
6.3. PROGRAM
Pengelolaan hutan melalui Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, KPH merupakan
amanah Undang-Undang dan salah satu program utama di bidang kehutanan. Hingga tahun 2012,
kelembagaan KPH baru mencapai 58 unit kelembagaan, sehingga dilakukan percepatan
pembentukan kelembagaan oleh Baplan, dengan target sebanyak 80 unit hingga akhir tahun 2014,
dan secara keseluruhan tahun 2018. Tahap selanjutntya adalah percepatan operasionalisasi KPH,
sehingga diharapkan dapat beroperasi secara mandiri di tahun 2020, maka dilakukan intervensi
anggaran yang berasal dari APBN selama kurun waktu 2015 – 2019.
Pembagian peran untuk masing-masing eselon I dalam rangka percepatan operasionalisasi
KPH, antara lain adalah sebagai berikut :
1) Ditjen Planologi
- Pengembangan database KPH
- Penataan batas
- Penentuan bok dan petak
- Inventarisasi SDH
- Inventarisasi sosekbud
2) Ditjen PHPL
- Regulasi pemanfaatan HA/HT pada KPH
- Penyusunan RPHJPd
- Penataan areal kerja KPH
- Penanaman HT
- Penyusunan bisnisplan KPH
- Identifikasi potensi HHBK unggulan dan potensi konflik
- Pelatihan kewirausahaan
3) Ditjen PHKA
- Perlindungan hutan (sarpras, sdm, sidak, penindakan hukum)
- Inventarisasi flora, fauna dan potensi wisata
7.2. REKOMENDASI
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan terkait dengan kesimpulan di atas, antara lain
sebagai berikut :
1) Peningkatan kinerja PHPL oleh KPHP maupun pemangku kepentingan lainnya, dengan cara
melengkapi dokumentasi yang meliputi data dan informasi terkait dengan aspek ekologi dan
sosial. Koordinasi dan sinergitas antara KPHP dengan instansi terkait serta dengan pemangku
kepentingan lainnya (masyarakat dan swasta) diperlukan agar pelaksanaan pengelolaan hutan
produksi terarah dan terdokumentasi dengan baik. Hal yang paling penting bagi KPHP adalah,
penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas SDM yang ada di KPHP.
2) Penguatan dan pengembangan kelembagaan KPH melalui intervensi kebijakan dan anggaran
agar KPH dapat beroperasional secara optimal. Dukungan penuh dari Pemerintah Daerah
sangat penting dan mutlak dilakukan yang meliputi fasilitasi koordinasi dan sinergitas program
dan kegiatan di daerah. Pemenuhan jumlah dan peningkatan SDM KPHP sangat diperlukan agar
pengelolaan hutan lestari dapat berjalan dengan optimal.
3) Perlunya koordinasi dan sinergitas program antar kementerian dan antara pemerintah pusat
dan daerah, serta leading sektor di bidang pembangunan desa dan kehutanan, sehingga
kemungkinan terjadinya tumpang tindih program dapat diminimalisir.
1. Alwi Hasyim Batubara, 2006, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah, Jurnal Analisis
Administrasi dan Kebijakan, Vol. 3, No. 1, Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Basah Hernowo dan Sulistya Ekawati, 2014, Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) :
Langkah Awal Menuju Kemandirian, PT. Kanisius, Jakarta.
3. Basah Hernowo, 2013, Program dan Arah Pembangunan (RPJM) Kehutanan, Makalah Rakornis
Pembangunan Kehutanan Balitbang Kemenhut, Bandung.
4. Basah Hernowo, 2014, Desain KPH dan Arah Perencanaan Pembangunan Hutan, Makalah Semiloka
Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia, Bappenas.
5. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, 2015, Perdirjen PHPL Nomor P.11/PHPL-
SET/2015 tentang Rencana Strategis Ditjen PHPL Tahun 2015 - 2019.
6. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, 2016, Perdirjen PHPL Nomor P.01/PHPL-
SET/2016 tentang Standar Pengukuran IKK dan IKP Ditjen PHPL tahun 2015-2019.
7. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, 2016, Surat Keputusan Nomor Dirjen PHPL
Nomor SK2/PHPL-KPHP/2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL) pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Gularaya, KPHP Model
Batulanteh dan KPHP Model Gunung Sinopa Tahun 2016.
8. I Nyoman Nurjaya, Dr., SH., Mhum., 2005, Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia, Jurnal
Ilmiah, Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, Fakultas Hukum dan Program Studi Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
9. Kementerian Kehutanan, 2013, Permenhut Nomor P.47/menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan
Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.
10. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015, PermenLHK Nomor P. Tentang Rencana Strategis
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 - 2019.
11. Nurtjahjawilasa, dkk, 2013, Modul : Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Implementasinya (Sustainable Forest Management/SFM), Program Terestrial The Nature
Conservancy Indonesia, Jakarta
12. Putu Oka Ngakan, dkk, 2008, Menerawang Kesatuan Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah,
Goverment Brief, Forest and Governance Programme, CIFOR, Jakarta.
13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
14. Wandojo Siswanto, dkk, 2014, Background Study RPJMN Kehutanan 2-15 - 2019, Final Report, JICA -
Bappenas, Jakarta