Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN

SERI 1 (BIDANG KPH)

KPH, SOLUSI PENGELOLAAN HUTAN


LESTARI

Tri Joko Pitoyo, S.Hut,MP / NIP. 19760207 199703 1 002


Pengendali Ekosistem Hutan Madya

Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah IX


Banjarbaru, Juni 2016
PENGESAHAN

Karya Tulis/Karya Ilmiah berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri di bidang
Kehutanan yang tidak dipublikasikan

Judul Makalah : KPH, Solusi Pengelolaan Hutan di Indonesia

Nama Penulis : Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP

NIP : 19760207 199703 1 002

Jabatan : Pengendali Ekosistem Hutan Madya

Telah dipresentasikan pada tanggal …. Juni 2016 di Ruang Rapat Balai Pengelolaan Hutan
Produksi Wilayah IX Banjarbaru.

Banjarbaru, Juni 2016


KSBTU, Kepala Balai,

Edy Sujatmiko, S.Hut Ir. Djoko Purwanto, M.M


NIP. 196702031998031001 NIP. 196105051990031005
KATA PENGANTAR

Makalah ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan Surat


Perintah Tugas Kepala Balai Nomor : PT.040/VI/BP2HP-XI/1/2016 tanggal 28 Maret 2016 dan
Rencana Kerja Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan Lingkup BP2HP Wilayah XI Banjarbaru
Tahun 2016 dan sesuai dengan Sasaran Kerja Pegawai (SKP) yang dibuat oleh pelaksana dan
ditandatangani oleh pejabat struktural pada awal tahun.

Adapun makalah ini meliputi pembahasan terkait dengan KPH, kondisi dan
permasalahan yang dihadapi, pengembangan dan rekomendasi kelembagaan di masa yang
akan datang secara umum berdasarkan kondisi (studi kasus) yang ada saat ini di Provinsi
Kalimantan Selatan.

Hal-hal yang diuraikan dalam Makalah ini meliputi pendahuluan, kondisi dan
permasalahan yang ada, metode pelaksanaan, hasil analisa dan pembahasan serta
rekomendasi pengelolaan hutan oleh KPH di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

Dengan terlaksananya kegiatan serta tersusunnya laporan ini diharapkan dapat


bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan kehutanan ke depan.

Banjarbaru, Juni 2016


Penulis,

Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP


NIP. 19760207 199703 1 002
Daftar Isi

1. Pendahuluan
2. Kondisi dan Permasalahan
3. Metode Pelaksanaan
4. Pembahasan
5. Rekomendasi
1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Hutan di Indonesia telah mengalami degradasi, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Kawasan hutan yang tersisa tidak dapat lagi berfungsi secara optimal dalam mendukung ekosistem
maupun kesejahteraan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Peran hutan dalam
menunjang pembangunan di daerah, terutama bidang ekonomi, dinilai masih belum maksimal.
Peranan hutan tidak hanya bersifat lokal maupun regional, namun bersifat global. Demikian juga,
dengan perubahan iklim global saat ini, hutan dianggap tidak mampu menekan laju pemanasan
global, tapi justru ikut berperan mempercepat terjadinya pemanasan global, karena terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Hutan yang tidak terkelola dengan baik, juga dituding sebagai salah
satu penyebab Indonesia tercatat sebagai pengekspor asap terbesar di dunia.
Hutan selain memiliki fungsi konservasi, lindung dan produksi, juga dikenal sebagai
sumberdaya alam yang mendukung kehidupan manusia di masa kini dan masa depan. Dengan
lajunya pembangunan dan perkembangan penduduk di suatu wilayah, akan mendorong daya
dukung dan daya tampung wilayah hingga pada titik jenuh, dan wilayah hutan merupakan salah
satu alternatif yang paling memungkinkan. Hal ini makin dipercepat dengan latar belakang budaya
bangsa Indonesia sebagai negara agraris, dimana penerapan teknologi dan implementasi hasil-hasil
penelitian belum dapat meningkatkan produktifitas lahan secara maksimal, sehingga menuntut
ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan dengan luasan yang cukup.
Pada beberapa kasus, kehutanan dituding sebagai salah satu penghambat pembangunan
daerah.Kawasan hutan yang luas dinilai tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi
daerah.Kontribusi sektor kehutanan di daerah dinilai hanya dari besarnya pendapatan yang
diperoleh dari produksi hutan kayu dan non kayu yang dihasilkan. Fungsi lain dari hutan berupa
konservasi dan lindung, belum dinilai sebagai kontribusi bagi daerah. Tingkat produktifitas lahan
masih digunakan sebagai salah satu parameter dalam penentuan kebijakan di daerah. Produktifitas
lahan per hektar per tahun pada kawasan hutan akan sangat rendah dibandingkan dengan lahan
pertanian, perkebunan maupun pertambangan, sedangkan pengelolaan hutan, pengamanan,
perlindungan dan pengurusan hutan lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit dari pemerintah.
Di sektor swasta, pemanfaatan hutan selama ini belum menunjukkan kinerja yang optimal.Hal
inilah yang menjadi salah satu pendorong dilakukannya alih fungsi hutan untuk pembangunan di
daerah.

1 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Di saat hutan memiliki segala permasalahannya, KPH hadir sebagai bentuk solusi
pengelolaan hutan lestari pada tingkat tapak. Dengan adanya KPH, maka diharapkan setiap jengkal
tanah di hutan akan dapat terkelola dengan baik, dan pada akhirnya kelestarian hutan akan
tercapai serta mendukung kesejahteraan rakyat. Dengan adanya konsep KPH ini, maka
Kementerian Lingkungan Hidup beserta segenap jajarannya fokus melakukan pembangunan KPH
dalam kurun waktu lima tahun ini.
KPH sebagai suatu Kesatuan Pengelolaan Hutan, berbeda dengan KPH (Kesatuan
Pemangkuan Hutan) di Perhutani.Konsep KPH telah lama dirumuskan dan terus disempurnakan,
namun hingga saat ini konsep KPH yang ideal masih saja diperdebatkan.Akankah KPH dapat
menjawab segala tantangan dan berhasil mewujudkan kesejahteraan rakyat...? Apakah KPH
merupakan solusi yang tepat dalam pengelolaan hutan produksi lestari...?

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN


Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan ulasan terhadap pengelolaan hutan produksi
dan peranan KPH dalam mewujudkan pengelolaan hutan produksi lestari dengan berbagai aspek
yang dihadapi.
Tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran atau perspektif lain
terkait dengan pengelolaan hutan produksi dan keberadaan KPH yang ada sebagai bahan
pertimbangan pengambilan kebijakan selanjutnya.

1.3. RUANG LINGKUP


Ruang lingkup penulisan makalah ini meliputi pengelolaan hutan produksi oleh Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) khususnya Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) berdasarkan
pengalaman dan kondisi (studi kasus) KPHP di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.

2 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KEBIJAKAN BIDANG KEHUTANAN
Pengelolaan hutan di Indonesia telah lama dilakukan sejak jaman penjajahan Belanda oleh
VOC, yang meliputi pemanfaatan hutan, untuk beberapa jenis kayu, terutama kayu jati.Setelah VOC
dibubarkan, pengelolaan hutan diambil alih oleh pemerintahan Hindia Belanda, yang meliputi
pemanfaatan hutan (Bos ordonantie), perlindungan binatang liar (Dierenbescherming ordonantie),
perburuan binatang liar (Jacht ordonantie java en madoera) dan perlindungan alam liar
(Natuurbescherming ordonantie). Pemerintah Indonesia menerbitkan kebijakan pertama terkait
dengan kehutanan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8).
Selanjutnya, setelah disadari bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga
kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu
keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan
diurus dengan ahklak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional serta bertanggung-gugat.
Serta disadari bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus
menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai
masyarakat berdasarkan pada norma hukum nasional, maka ditetapkanlah Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1967 yang dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan
keadaan saat itu.
Kebijakan terkait dengan kehutanan beserta turunannya antara lain adalah :
1) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan;
 PP No. 62 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan
 PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan (HPHH)
 PP No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan
 PP No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang
kehutanan kepada daerah
 PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada
Hutan Produksi

3 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


2) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya
 PP No. 18 Tahun 1984 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
 PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
 PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
 PP No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
 PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam
3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
 PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
 PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan
 PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan; jo. PP No. 3 Tahun 2008
 PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,
dimana terdapat beberapa urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten beralih menjadi urusan
dan kewenangan pemerintah provinsi, termasuk bidang kehutanan, maka perlu dilakukan
perubahan/revisi terhadap beberapa kebijakan di bidang kehutanan.

2.2. PENGELOLAAN HUTAN


Berdasarkan Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pengelolaan Hutan
dibentuk untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit pengelolaan. Pengelolaan hutan
meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan
konservasi alam.
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan dilaksanakan
dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran
sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum
adat dan batas administrasi pemerintahan.

4 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Sesuai dengan ketentuan pada Undang-Undang tersebut, maka sudah seharusnya seluruh
kawasan hutan di Indonesia terbagi habis dalam unit-unit pengelolaan hutan.Pengelolaan hutan
hingga saat ini belum optimal dilaksanakan oleh pemerintah.Pengelolaan hutan yang dilaksanakan
bersifat parsial, oleh masing-masing sektor.Bidang tata hutan dan penyusunan rencana dilakukan
oleh Ditjen Planologi, bidang pemanfaatan hutan oleh Ditjen BUK, bidang rehabilitasi dan
pengelolaan kawasan hutan lindung oleh Ditjen RLPS/BPDAS-PS, dan bidang konservasi alam dan
pengelolaan kawasan cagar alam oleh Ditjen PHKA.
Pengelolaan hutan sebelum Undang-Undang 41 terbit, khususnya pada bidang pemanfaatan
hutan, dilakukan melalui pemberian izin pemanfaatan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada sektor swasta maupun BUMN, yang izinnya masih berlaku
hingga saat ini. Pengelolaan hutan pada saat itu masih berorientasi pada hasil, dan secara bertahap
menerapkan sistem silvikultur yang lebih menjamin kelestarian hutan beserta kriteria dan indikator
kelestarian hutan.
Penerapan sistem silvikultur pada HPH diawali melalui Tebang Pilih Indonesia (TPI),
selanjutnya dirubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan pada perkembangan
berikutnya menerapkan multisistem, yang meliputi TPTI, Tebang Rumpang (TR), Tebang Jalur
Tanam Indonesia (TJTI), ataupun sistem lainnya sesuai dengan kondisi potensi dan tapak yang ada.
Sedangkan pada HTI menerapkan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dengan jenis tanaman
sesuai dengan klas perusahaan yang telah dipilih/ditentukan.
Pemanfaatan hasil hutan oleh sektor swasta maupun BUMN melalui izin konsesi ini
diharapkan mampu mengelola hutan yang menjadi areal kerjanya dengan baik dan menerapkan
prinsip kelestarian.Pada kawasan hutan lindung, belum terdapat pengelola pada tingkat lapangan,
yang ada berupa kelompok masyarakat yang memanfaatkan kawasan untuk memungut HHBK
melalui mekanisme Hutan Kemasyarakatan (HKm), meskipun belum secara keseluruhan dan sangat
terbatas. Sedangkan untuk kawasan hutan produksi, kehadiran pengelola (HPH maupun HTI) baru
mencakup 34,2 juta ha, dan tidak seluruhnya memiliki kinerja yang baik atau memiliki sertifikasi
PHPL dengan kategori yang bagus. Sedangkan pada kawasan hutan yang tidak dibebani dengan hak
seluas 25,6 juta ha, menjadi areal open akses, tanpa pihak yang bertanggungjawab untuk
mengelolanya. Keberadaan areal open akses inilah yang rentan terhadap adanya gangguan dari
pihak luar.
Untuk menekan adanya gangguan dan terkelolanya hutan secara lestari, maka
pembentukan unit pengelolaan yang meliputi seluruh kawasan hutan berikut kelembagaannya

5 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


mutlak dilakukan.Oleh karena itu Kementerian Kehutanan membagi seluruh kawasan hutan dan
menetapkan wilayah KPH sebagai unit-unit pengelolaan hutan, berdasarkan kondisi tapak dan
pendekatan wilayah DAS maupun Sub DAS, serta pertimbangan lainnya.

2.3. MANAJEMEN PENGELOLAAN HUTAN


Manajemen hutan (forest management) diartikan sebagai pengelolaan hutan, dan
didefinisikan secara umum sebagai rangkaian aktifitas pengelolaan hutan, baik di level makro
(tataran pengambil kebijakan) dan pada level mikro (tataran pengelolaan pada tingkat
tapak/lapangan), yang mencakup aktifitas manajemen (POAC = planning, organization, actuating,
controlling) terhadap berbagai penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan di semua fungsi
kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi).
Selanjutnya, pengelolaan hutan kita kenal menjadi pengelolaan hutan tingkat nasional,
tingkat regional dan lokal.Selain itu, juga terdapat pengelolaan hutan pada tingkat unit manajemen,
pengelolaan hutan berbasis DAS, pengelolaan hutan berbasis wilayah konservasi, dan pengelolaan
hutan berbasis masyarakat.Demikian pula, Sustainable Forest Manajemen atau pengelolaan hutan
lestari.
Pada hirarki yang lebih rendah, manajemen hutan didefinisikan sebagai seluruh keputusan
yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Pengertian
ini lebih banyak berfokus pada pengetahuan yang digunakan secara langsung untuk mengelola
suatu areal hutan.Pada dasarnya, manajemen hutan terkait dengan aspek biologis dan aspek
silvikultur, serta mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Tujuan pengelolaan
hutan sangat tergantung pada tujuan pengelola hutan dan situasi ekonomi yang ada pada wilayah
dimana hutan tersebut berada.Pada kawasan hutan negara, tujuan pengelolaan hutan sangat
ditentukan oleh faktor politik dan tingkat kepentingan terhadap areal hutan.
Pengelolaan hutan lestari harus mencakup beberapa fungsi manajemen, yaitu fungsi teknis,
ekonomi (komersil), finansial, personalia, administrasi dan kepemimpinan. Fungsi teknis dalam
manajemen hutan diarahkan untuk mencapai tujuan teknis, fungsi komersil untuk mencapai tujuan
ekonomi (berkaitan dengan pasar), fungsi finansial untuk mencapai tujuan finansial (biaya dan
pendapatan), fungsi personil berkaitan dengan kuantitas dan kualitas SDM, fungsi administrasi
merupakan fungsi penunjang, dan fungsi kepemimpinan berkaitan dengan unsur-unsur manajemen
(POAC).

6 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


2.4. PENGELOLAAN HUTAN LESTARI
Hal yang perlu ditekankan dan digarisbawahi adalah meskipun pengelolaan hutan bersifat
lokal, regional, atau bahkan bersifat nasional, namun memiliki dampak yang bersifat global.Apapun
yang kita lakukan terhadap hutan, sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap kondisi lingkungan,
tidak hanya pada pada lingkungan di sekitar hutan, namun juga berdampak pada lingkungan di
bagian hilir, bahkan di dunia. Dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, pelaksanaan di lapangan
harus memperhatikan aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan.

Aspek teknis
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya berkaitan dengan pemanfaatan hutan sebagai
sumberdaya alam dan sebagai suatu ekosistem. Kegiatan manajemen hutan akan dan harus
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis, yaitu penanaman, pemeliharaan, perlindungan hutan,
pemanenan hutan, pengolahan hasilhutan dan pemasaran hasilhutan. Untuk mewujudkan aspek
teknis tersebut dalam pelaksanaan manajemen hutan secara operasional di lapangan diperlukan
penguasaan pengetahuan teknis kehutanan. Teknik kehutanan merupakan perpaduan dari
beberapa cabang ilmu, antara lain adalah teknik sipil, pertanian, dan lingkungan. Penentuan dan
penerapan sistem silvikultur pada suatu areal kerja unit manajemen sangat tergantung dari kondisi
tapak dan teknik yang akan digunakan.

Aspek sosial
Dalam pengelolaan hutan, tidak dapat terlepas dari keberadaan dan peran
masyarakat.Sesuai dengan Undang-Undang dan prinsip kehutanan, dimana pengelolaan hutan
dilaksanakan dalam rangka memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.Aspek
sosial ini menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan dampak dan sistem silvikultur yang
akan diterapkan. Keberadaan masyarakat akan mempengaruhi besarnya dampak yang ditimbulkan
dan atau sebaliknya dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu, kelola sosial merupakan hal yang
mutlak dan penting dalam pengelolaan hutan.

Aspek ekonomi
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan pengusahaan/ pemanfaatan
hutan. Oleh karena itu,aspek-aspek perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek keuangan sangat
erat hubunganya dengan manajemen hutan.Untuk melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis

7 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


manajemen hutan, dibutuhkan investasi (SDM, peralatan, sarana dan prasarana, serta teknologi)
dan analisa-analisa ekonomi dan finansial.Halini terutama karena manajemen hutan berkaitan
dengan dimensi waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan produk serta harus bertumpu pada
prinsip kelestarian sebagai prinsip dasar pengelolaan hutan, dan didukung dengan perencanaan
yang efisien dan rasional.

Aspek lingkungan
Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya alam,harus pula
memperhatikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Secara operasional, pengelolaan hutan
akan memanfaatkan ekosistem hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan harus
diperhatikan pula pengaruh pemanfaatan tersebut terhadap komponen ekosistem hutan yang
terdiri dari kondisi biogeofisik serta iklim/lingkungan.

Untuk mengetahui tingkat kelestarian pengelolaan hutan produksi lestari pada KPH,
dilakukan penilaian kinerja dengan mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari Nomor SK.2/PHPL-KPHP/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP) Model Gularaya, KPHP Model Batulanteh dan KPHP Model Gunung Sinopa Tahun 2016.
Pada SK ini terdapat 4 (empat) Indikator penilaian, yang terdiri dari aspek prasyarat, aspek ekologi,
aspek produksi, dan aspek sosial. Masing-masing indikator memiliki beberapa verifier (alat
penilaian/tolok ukur penilaian).

Aspek Prasyarat
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek prasyarat meliputi ;
1) Legalitas, terdiri dari 4 verifier;
2) Sarana dan Prasarana, terdiri dari 3 verifier;
3) Komitmen KPHP, terdiri dari 3 verifier;
4) Pengelolaan hutan, terdiri dari ;
a) Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, terdiri dari 7 verifier;
b) Pemanfaatan hutan/penggunaan kawasan, terdiri dari 3 verifier;

8 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Aspek Ekologi
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek ekologi meliputi ;
1) Rehabilitasi dan reklamasi hutan, terdiri dari 4 verifier;
2) Perlindungan hutan dan konservasi, terdiri dari 9 verifier;

Aspek Produksi
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek ekologimeliputi ;
1) Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan kawasan dan hasil hutan pada area berizin, terdiri dari
3 verifier;
2) Legalisan hasil hutan, terdiri dari ;
a) Dokumen hasil hutan, terdiri dari 2 verifier;
b) Iuran kehutanan, terdiri dari 1 verifier;
3) Peningkatan investasi, terdiri dari ;
a) Penyiapan prakondisi untuk meningkatkan investasi, terdiri dari 2 verifier;
b) Sosialisasi dan promosi, terdiri dari 1 verifier;
c) Fasilitasi proses kerjasama dan perijinan, terdiri dari 2 verifier;

Aspek Sosial
Indikator kelestarian pengelolaan hutan pada aspek sosialmeliputi ;
1) Partisipasi masyaarakat, terdiri dari 2 verifier;
2) Koordinasi dan konsultasi, terdiri dari 3 verifier;
3) Peningkatan kemampuan staf KPHP, terdiri dari 1 verifier;
4) Fasilitasi investasi, terdiri dari 4 verifier;
5) Informasi dan sosialiasi, terdiri dari 4 verifier;
6) Pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk asli, terdiri dari 2 verifier;
7) Pelayanan publik, terdiri dari ;
a) Mekanisme dan standar pelayanan publik, terdiri dari 2 verifier;
b) Pelayanan publik, terdiri dari 2 verifier;
c) Pengaduan dan keluhan para pihak, terdiri dari 3 verifier;
8) Penyelesaian sengketa, terdiri dari ;
a) Mekanisme penyelesaian sengketa kehutanan, terdiri dari 1 verifier;
b) Identifikasi mediasi dan resolusi konflik, terdiri dari 4 verifier.

9 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


3. KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN
3.1. PENCADANGAN KPH
Luas kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Selatan sesuai dengan Keputusan Menteri
Kehutanan adalah 1.779.982 ha, atau 47,43 % dari luas wilayah provinsi (3.753.052 ha). Luas
kawasan hutan berdasarkan fungsi adalah sebagai berikut :
- Kawasan Suaka Alam/Pelestarian Alam (KSA/KPA) : 213.285 ha
- Hutan Lindung (HL) : 526.425 ha
- Hutan Produksi Terbatas (HPT) : 126.660 ha
- Hutan Produksi Tetap (HP) : 762.188 ha
- Hutan Produksi Konversi (HPK) : 151.424 ha
Luas kawasan hutan Provinsi Kalimantan Selatan yang telah dikelola melalui Izin Usaha
Pemanfaatan s/d tahun 2013 adalah seluas 818.812 ha (46%), yang terdiri dari 281.686 ha IUPHHK-
HA, 530.390 ha IUPHHK-HT dan 6.736 ha IUPHHK-HTR. Kawasan hutan sebesar + 38% merupakan
hutan primer dan gambut serta dimanfaatkan untuk sektor lain di luar kehutanan. Kawasan hutan
sebesar + 16% adalah hutan produksi yang merupakan open akses area dan belum terkelola
dengan baik. Berdasarkan data dari BPDAS, kondisi hutan pada open akses area ini bervariasi,
sangat kritis (6%), kritis (19%), agak kritis (30%), potensial kritis (36%) dan tidak kritis (9%).
Penetapan wilayah KPH di Provinsi Kalimantan Selatan sesuai dengan SK Menteri Kehutanan
No.SK.78/Menhut-II/2010 tanggal 10 Pebruari 2010, yang terdiri dari 3 unit KPHL (331.418 ha) dan
7 unit KPHP (1.072.343 ha). Adapun data luasan setiap KPHP dan KPHL di Prov. Kalsel adalah
sebagai berikut :
1. Unit I (KPHP Banjar) : 162.135 ha
2. Unit II (KPHP Cantung) : 207.635 ha
3. Unit III (KPHP Pulau Laut & Pulau Sebuku) : 112.258 ha
4. Unit IV (KPHL Sengayam) : 145.791 ha
5. Unit V (Tabalong Kiwa) : 117.357 ha
6. Unit VI (Tanah Bumbu) : 262.921 ha
7. Unit VII (Tanah Laut) : 92.641 ha
8. Unit VIII (KPHL Balangan) : 90.709 ha
9. Unit XI (KPHL Hulu Sungai) : 92.641 ha
10. Unit X (Tabalong Kanan) : 117.396 ha

10 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


3.2. KPHP BANJAR
Kawasan hutan Kabupaten Banjar berada di wilayah ekosistem sub DAS Riam Kiwa, dan Sub
DAS Kusan, secara geografis terletak di antara 2 49'47,67” - 3 25'41,55” LS dan 115 1'23,46” - 115
35'49,32” BT. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.793/Menhut-2/2009
tentang Penetapan Wilayah KPH Model Banjar mempunyai luas ± 139.957 ha.
Kawasan KPHP Banjar terletak di bagian Timur Kabupaten Banjar sebelah Utara berbatasan dengan
kawasan KPHL Hulu Sungai, sebelah Timur dengan KPHL Sengayam, KPHP Cantung dan KPHP Tanah
Bumbu, sebelah Barat berbatasan denganAPL kawasan Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tapin,
dan sebelah Selatan berbatasan dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam.Wilayah Unit
KPHP Model Banjar terletak di Kabupaten Banjar bagian hulu dengan batas-batasnya :
- Bagian Timur kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu.
- Bagian Selatan Taman Hutan Raya Sultan Adam.
- Bagian Barat kabupaten Tapin.
- Bagian Utara kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Di dalam administrasi pemerintahan daerah kawasan Unit KPHP Model Banjar meliputi 5
kecamatan : Kecamatan Peramasan Bawah, Sei Pinang, Pengaron, Sambung MakmurdanTelaga
Bauntung. Desa yang termasuk dalam wilayah Unit KPHP Model Banjar sebanyak 38 desa.
Arahan pencadangan KPHL/P di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Surat Ditjen Planologi
Kementerian Kehutanan No S.370/V2-BP3H/2009 bahwa seluruh kawasan HP dan HL dibagi
menjadi 10 unit KPH yang terdiri dari 3 unit KPHL dan 7 unit KPHP. Selanjutnya pada tanggal 7
Desember 2009 terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.793/Menhut-2/2009
tentang Penetapan Wilayah KPH Model Banjar mempunyai luas ± 139.957 ha dengan rincian :
- Hutan Lindung ± 42.090 ha
- Hutan Produksi Terbatas ± 25.354 ha
- Hutan Produksi Tetap ± 72.513 ha

Untuk kepentingan ekologi (UKL/RPL) blok dibuat berdasarkan DAS atau disebut daerah
tangkapan air dan atau satu sistem prasarana produksi yang efisien. Kawasan KPHP Model Banjar
dibagi menjadi 8 blok, dengan perincian sebagai berikut :

11 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Tabel 1. Pembagian blok KPHP Banjar
No Blok Nama Blok Luas (ha)
I Remo 17.746,0
II Angkipih 19.867,5
III Peramasan 14.764,5
IV Kusan 17.606,1
V Sungai Pinang 2 19.918,9
VI Sungai Pinang 1 21.952,8
VII Pengaron 13.251,2
VIII Belimbing 13.479,4
Jumlah (ha) 138.586,4

3.3. KPHP PULAU LAUT & SEBUKU


Secara geografis lokasi KPHP Model Pulau Laut dan Sebuku terletak pada 3°19’ - 3°57 LS dan
116°03’ - 116°17’ BT, dengan batas-batas :
- Sebelah Utara Selat Makassar
- Sebelah Selatan Laut Jawa
- Sebelah Timur Selat Makassar
- Sebelah Barat Selat Laut
Sedangkan berdasarkan administrasi pemerintah daerah kabupaten Kotabaru, lokasi KPHP
Model Pulau Laut dan Sebuku terletak pada 3 (tiga) pulau yang meliputi Pulau Laut, Pulau Sebuku
dan Pulau Sembilan serta terbagi dalam 8 (delapan) wilayah administrasi kecamatan yaitu :
1. Kecamatan Pulau Laut Utara
2. Kecamatan Pulau Laut Selatan
3. Kecamatan Pulau Laut Timur
4. Kecamatan Pulau Laut Barat
5. Kecamatan Pulau Laut Tengah
6. Kecamatan Pulau Laut Kepulauan
7. Kecamatan Pulau Sebuku
8. Kecamatan Pulau Sembilan
Berdasarkan administrasi Kehutanan KPHP Model Pulau Laut dan Sebuku berada pada Dinas
Kehutanan Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
KPHP Model Pulau Laut dan Sebuku berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.78/Menhut-II/2010 tanggal 10 Pebruari 2010 tentang Penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Provinsi Kalimantan Selatan dan

12 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.226/Menhut-II/2012 tanggal
04 Mei 2012 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model
Pulau Laut dan Sebuku (Unit III) dengan luas areal 112.258 Hektar dengan rincian:
- Hutan Lindung seluas 12.863 Hektar
- Hutan Produksi seluas 99.395 Hektar
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.226/Menhut-II/2012 tentang
Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Pulau Laut dan Sebuku (Unit III)
yang terletak di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan Seluas 112.258 Hektar.
Sehubungan dengan telah dilaksanakan tata batas hutan lindung gunung Sebatung sehingga terjadi
penyusutan luas hutan lindung Gunung Sebatung sehingga merubah luasan KPHP Pulau Laut dan
Sebuku dari 112.258 Ha menjadi 110.930,24 Ha.

3.4. KPHP TANAH LAUT


Kabupaten Tanah Laut merupakan kabupaten yang terletak paling selatan dari Provinsi
Kalimantan Selatan dengan ibukota Pelaihari.Kabupaten Tanah Laut luas wilayahnya 3.631,53 km² (
SK Gubernur ) atau hanya 9,71% dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan,
Kabupaten Tanah Laut terdiri dari 11 Kecamatan.
Secara geografis Kabupaten Tanah Laut terletak antara 03o 30’ – 04o 11’ Lintang Selatan (LS)
dan 114o 30’ – 115o 23’ Bujur Timur (BT) dengan batas sebelah Utara Kabupaten Banjar, sebelah
Barat dan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Tanah Bumbu.
Wilayah KPHP Model Kabupaten Tanah Laut secara administrasi terletak menyebar di tujuh
kecamatan Kabupaten Tanah Laut, antara lain Kecamatan Bajuin, Kecamatan Batu Ampar,
Kecamatan Jorong, Kecamatan Kintap, Kecamatan Pelaihari, Kecamatan Panyipatan dan Kecamatan
Tambang Ulang. Sesuai dengan Surat Bupati Kabupaten Tanah Nomor : 522/369/Dishut/2012
tanggal 26 Maret 2012 tentang Usulan KPHP Tanah Laut, Luas Wilayah KPH Model adalah
93.368,294 ha.

3.5. KPHP TABALONG


KPHP Tabalong dibentuk sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.999/Menhut-II/2013, yang terletak pada 115o 26’ – 115o 45’ BT dan 01o 13’ – 02o 19’ LS, dengan

13 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


luas 117.357 ha, yang meliputi Kecamatan Jaro,Muara Uya, Haruai, Upau dan Murung Pudak.
Wilayah KPHP Tabalong berbatasa dengan :
- Sebelah Timur : Provinsi Kalimantan Timur
- Sebelah Barat : KPHP Unit X Tabalong Kalsel
- Sebelah Utara : Provinsi Kalimantan Tengah
- Sebelah Selatan : Kabupaten Balangan
Kawasan hutan KPHP Tabalong terdiri dari Hutan Lindung (HL) seluas 48.766 ha (42%),
Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluasa 23.822 ha (20%), dan Hutan Produksi (HP) seluas 44.756 ha
(38 %).Dalam rangka pengelolaan hutan produksi lestari pada KPHP, maka wilayah KPHP dibagi
menjadi beberapa resort untuk memudahkan pengelolaan dan monitoring kegiatan. Pembagian
resort KPHP Tabalong adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Pembagian Resort dan Luas Fungsi Hutan KPHP Tabalong

No. Resort Kecamatan Fungsi Luas


1. Resort I Jaro Jaro HL 36.587
HP 19.642
HPT 21.273
2. Resort II Muang Muara Uya, Haruai HL 4.316
HP 2.691
HPT 2.549
3. Resort III Kinarum Upau, Haruai HL 7.672
HP 12.445
4. Resort IV Murung Pudak Murung Pudak HP 9.987
Jumlah 117.357

14 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


4. METODE PELAKSANAAN
4.1. WAKTU PELAKSANAAN
Waktu pelaksanaan penyusunan makalah ini selama tiga bulan, terhitung sejak 29 Maret
2016 s/d 29 Juni 2016, diawali dengan pengumpulan data, analisa data hingga presentasi hasil.
Lokasi pengumpulan data meliputi KPHP Banjar, KPHP Pulau Laut & Sebuku, KPHP Tanah Laut, KPHP
Tabalong, dan Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya.

4.2. METODE ANALISA


Metode analisa pada penulisan makalah ini meliputi :
1) Penilaian kinerja PHPL terhadap KPHP berdasarkan Kriteria dan Indikator SNI ISO 190011:2012
dan SNI ISO/IEC 17065 : 2012.Pelaksanaan penilaian kinerja PHPL berdasarkan dokumentasi
dalam rentang waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2) Analisa kelembagaan KPHP, dilakukan melalui perbandingan fungsi kelembagaan dengan fungsi
manajemen dan ketentuan yang berlaku.
3) Analisa program, dilakukan melalui perbandingan fungsi KPH dengan program nasional,
program kementerian dan program pemerintah daerah.

4.3. SUMBER DATA


Sumber data yang digunakan dalam penulisan makalah ini meliputi :
- Peraturan perundang-undangan, kebijakan di bidang pengelolaan hutan dan hal yang terkait
dengan kelembagaan KPH.
- Arahan Menteri, Eselon I dan Eselon II lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan
serta Kementerian/Badan terkait lainnya.
- Data dan informasi serta hasil survey pada KPH yang bersangkutan.
- Data dan informasi yang berasal dari instansi di daerah (Dinas Prov/Kab, UPT Kementerian LHK,
Bappeda, BPS, dll)
- Jurnal ilmiah, kajian, makalah dari lembaga penelitian maupun perguruan tinggi.
- Data dan informasi lainnya

15 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


5. KONDISI DAN PERMASALAHAN
5.1. PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI
Pada berbagai referensi, disebutkan bahwa keberadaan KPH berikut fungsi dan perannya
akan mampu menjawab pengelolaan hutan secara lestari. Dimana seluruh kawasan hutan terdapat
pengelola hingga tingkat tapak. Melalui intervensi pemerintah, diharapkan KPH mampu
menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari
apabila kawasan hutan yang dikelola mampu memberikan fungsinya, yang meliputi fungsi produksi,
fungsi ekologi dan fungsi sosial.
Untuk menyatakan kelestarian suatu pengelolaan hutan, maka diperlukan tools atau
perangkat berupa kriteria dan indikator untuk mengukur dan menetapkan tingkat kelestarian suatu
pengelolaan hutan. Ditjen PHPL selaku isntitusi yang bertanggungjawab dalam pengaturan
pengelolaan hutan pada hutan produksi, telah menetapkan dan menerapkan Standar Penilaian
Kinerja PHPL pada Hak Pengelolaan yang bersifat mandatory. Standar penilaian ini dirancang bagi
unit manajemen sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai pengelola hutan pada tingkat tapak.
Melalui pendekatan dan asumsi bahwa KPHP merupakan unit manajemen/pengelolaan, maka
penggunaan standar penilaian kinerja PHPL ini dapat diaplikasikan.
Beberapa kondisi dan permasalahan di lapangan terkait dengan keempat aspek pengelolaan
hutan produksi lestari, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Aspek Prasyarat
Legalitas pengelolaan merupakan hal utama pada aspek prasyarat, dimana kepastian kawasan
yang dikelola sudah memenuhi aspek legalitas, yang meliputi perijinan, kesesuaian tata ruang,
dan batas yang jelas serta adanya pengakuan dari para pihak. Hal ini merupakan sesuatu hal
yang sulit dipenuhi, mengingat banyaknya tumpang tindih perijinan antara pusat dan daerah,
penggunaan kawasan hutan untuk sektor lain, ketidaksinkronan dengan rencana tata ruang,
desakan pembangunan, kependudukan, dan lain sebagainya. Sangat sulit untuk memperoleh
kawasan yang clear and clean dengan luasan yang cukup ekonomis untuk dikelola secara
optimal.
Demikian pula dengan kawasan KPH yang dapat dikelola, berupa Wilayah Tertentu, dapat
dikatakan merupakan "sisa" dari kawasan hutan yang tidak diminati oleh para investor atau
merupakan areal eks HPH/HTI yang telah dicabut perijinannya karena tidak dapat mengelola
secara lestari. Wilayah tertentu pada KPH ini merupakan areal dengan potensi yang rendah,

16 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


bahkan beberapa diantaranya merupakan lahan kritis, serta memiliki potensi konflik tenurial
yang tinggi.
Kondisi dan permasalahan selanjutnya adalah ketersediaan sumber daya manusia yang ada di
dalam dan di sekitar kawasan hutan, serta yang paling utama, adalam SDM yang berkecimpung
dalam pengelolaan hutan, baik langsung maupun tidak langsunng.
2. Aspek Produksi
Pengelolaan hutan melalui pemberian konsesi berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Hutan Tanaman Industri (HTI) dilakukan dengan menerapkan beberapa sistem silvikultur. Pada
awalnya Tebang Pilih Indonesia (TPI), kemudian disempurnakan dengan Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI), selanjutnya menerapkan beberapa sistem silvikultir lainnya berupa Tebang
Jalur Tanam Indonesia (TJTI), Tebang Rumpang (TR), Bina Pilih, serta penerapan multisistem
sesuai dengan kondisi tapak pada hutan alam. Sedangkan pada hutan tanaman, diterapkan
sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habis Permudaan Buatan
(THPB). Seluruh sistem silvikultur ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing,
tergantung dengan kondisi tapak dimana sistem ini diterapkan. Namun pada prinsipnya,
seluruh sistem silvikultur tersebut ditujukan untuk memanfaatkan hasil hutan secara optimal
dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan.
Penggunaan beberapa sistem silvikultur ini seharusnya dapat menjamin kelestarian hutan
produksi, apabila didukung dengan penetapan daur dan pengaturan hasil sesuai dengan
riapnya. Penetapan daur atau rotasi didasarkan pada perhitungan dengan memanfaatkan
beberapa parameter, yakni jenis pohon, riap, luas dan peruntukan. Kombinasi beberapa
parameter akan menghasilkan beberapa istilah daur/rotasi, antara lain adalah daur tanaman,
daur optimum, dan daur ekonomis. Penetapan daur pada pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan alam menggunakan kombinasi daur ekonomis berdasarkan riap dan luas. Seluruh areal
kerja dibagi menjadi 35 blok tahunan, dan dilakukan pemanenan dengan batasan diameter.
Dengan asumsi riap diameter sebesar 1 cm/th, maka tegakan tinggal (pohon inti) dengan
diameter 20 cm, akan memiliki diameter sebesar 55 cm pada rotasi berikutnya. Sedangkan
pada hutan tanaman, penetapan daur/rotasi didasarkan pada jenis tanaman dan
peruntukkannya (kelas pertukangan/bahan baku serpih/pulp). Terlepas dari tidak disiplinnya
pemegang ijin konsesi dan adanya gangguan terhadap tegakan tinggal, seharusnya jumlah
panen pada rotasi berikutnya dapat diperhitungkan dengan jumlah pohon inti sebanyak 25
pohon per hektar dengan diameter minimal 55 cm akan memperoleh hasil panen sebesar

17 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


minimal 125 m3/ha.Namun hal tersebut tidak terjadi, karena penggunaan asumsi riap per
tahun yang tidak tepat. Berdasarkan beberapa penelitian, ternyata riap diameter pada
beberapa jenis pohon kelompok meranti yang tumbuh secara alami di hutan tropis Kalimantan,
rata-rata tidak lebih dari 0,7 cm/tahun.
3. Aspek Ekologi
Pada aspek ekologi, setiap unit manajemen dituntut untuk menata dan mengelola kawasan
lindung yang ada di dalam areal kerjanya sesuai dengan kondisi ekosistemnya masing-masing,
serta memperoleh pengakuran dari para pihak. Pengelolaan kawasan lindung ini harus
didukung dengan tersedianya SOP, sarpras, SDM, dan impementasinya di lapangan.
Sesuai dengan peraturan Menteri Lingkungan Hidup, tentang kegiatan wajib amdal,
pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam, dan hutan tamanan dengan luasan tertentu wajib
dilakukan Analisis Dampak mengenai Lingkungan (AMDAL). Untuk mengetahui perubahan dan
dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kegiatan pemanfaatan, harus dilakukan melalui
pemantauan terhadap komponen lingkungan (fisik, kimia, biologi, sosial ekonomi, dll) sesuai
dengan dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan/RPL. Selanjutnya, untuk mengelola dampak
yang ditimbulkan oleh kegiatan pemanfaatan, harus dilakukan pengelolaan terhadap
komponen lingkungan sesuai dengan dokumen Rencana Kelola Lingkungan/RKL.
Secara umum, pengelolaan seluruh aspek ekologi seharusnya termuat dalam dokumen
lingkungan (AMDAL, RPL, RKL), dan harus dilaksanakan oleh unit manajemen. Keandalan
dokumen lingkungan sangat tergantung dari Tim/Konsultan dalam menyusun dokumen
lingkungan. Hal yang sangat mempengaruhi selanjutnya adalah komitmen unit manajemen
dalam pelaksanaan di lapangan. Beberapa hal yang dapat dijadikan indikator pengelolaan
lingkungan yang baik oleh unit manajemen antara lain adalah, tersedianya dokumen lingkungan
di lapangan (base camp), adanya struktur organisasi yang menangani dan bertanggungjawab
terhadap pengelolaan lingkungan serta didukung oleh personil yang berkompeten, tersedianya
sarpras pemantauan lingkungan, tersedianya SOP pemantauan dan pengelolaan lingkungan,
dan adanya dokumen pemantauan lingkungan secara periodik dan laporan kegiatan tindak
lanjutnya.
4. Aspek Sosial
Pengelolaan hutan tidak akan terlepas dengan keberadaan masyarakat, baik yang berada di
dalam kawasan, sekitar kawasan, maupun yang jauh dari kawasan hutan. Pengelolaan hutan
yang lestari akan memberikan manfaat sesuai dengan fungsinya kepada masyarakat dan

18 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


lingkungan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Apabila keberadaan hutan
justru menimbulkan bencana alam, maka terdapat komponen pengelolaan yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.Sebagaimana telah diketahui bersama, rakyat Indonesia dengan segala
kebudayaannya, pada umumnya merupakan masyarakat agraris dan sebagian masyarakat
hingga kini masih memilki kebudayaan pengumpul/peramu dan berburu.Dengan latar belakang
kebudayaan tersebut, masyarakat Indonesia memandang hutan sebagai sumber daya alam
yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu, serta sebagai suatu cadangan lahan pertanian yang
cukup besar.
Saat ini, hampir dapat dipastikan tidak ada kawasan hutan yang terhindar dari penguasaan
lahan oleh masyarakat, penggarapan lahan dan perladangan oleh masyarakat, pengakuan
lahan, perambahan hutan oleh masyarakat, dan gangguan lainnya oleh masyarakat.Konflik
tenurial yang terjadi ini, tidak hanya melibatkan masyarakat adat, masyarakat lokal dan
masyarakat pendatang, namun juga melibatkan oknum masyarakat yang memiliki kepentingan
lain dengan dukungan korporasi. Konflik masyarakat ini tidak hanya berupa gangguan,
namunjuga bersifat administratif, dimana terdapat Desa bahkan Kecamatan yang telah
ditetapkan secara definitif oleh Pemda, dan telah dilengkapi dengan fasilitas umum (jalan raya),
prasarana penunjang (puskesmas, sekolah, tempat ibadah), perkantoran pemerintah (Kantor
Kepala Desa, Muspida), bahkan Kantor Polsek.

5.2. KELEMBAGAAN KPH


Pembentukan KPH merupakan amanat UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Pembentukan
wilayah KPH diatur dan ditetapkan melalui arahan Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat
Keputusan.Dalam pembentukan kelembagaan, terdapat beberapa perdebatan terkait dengan
kewenangan sesuai dengan PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dengan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Kelembagaan KPH mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah.Pembentukan lembaga KPH dilakukan oleh provinsi apabila
wilayah kerjanya lintas kabupaten/kota, dan berupa Satuan Kerja Perangkat Daerah.Untuk KPH
yang wilayah kerjanya berada di dalam satu kabupaten/kota,pembentukan kelembagaannya
dilakukan oleh Kabupaten. Jumlah kelembagaan KPH yang telah terbentuk di Provinsi Kalimantan

19 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Selatan hingga tahun 2014 adalah sebanyak 6 (enam) unit KPH. 4 (empat) unit KPH (Banjar, Tanah
Laut, Pulau Laut & Sebuku, Tanah Laut, dan Tabalong) difasilitasi melalui dana APBN (Baplan/BPKH),
dan 2 (dua) unit KPH (Cantung dan Sengayam) murni menggunakan dana APBD.
Pembentukan kelembagaan KPH di daerah, difasilitasi oleh BPKH. Untuk Provinsi Kalimantan
Selatan, karena beberapa alasan, terdapat pembentukan kelembagaan KPH yang tidak sesuai
dengan dengan wilayah arahan dari Kementerian Kehutanan. Ketidaksesuaian tersebut meliputi
pembentukan beberapa lembaga KPH pada satu unit wilayah KPH, dan rencana pengelolaan dua
unit KPH oleh satu lembaga.

Tabel 3. Kelembagaan KPH Provinsi Kalimantan Selatan

No. Wilayah Arahan KPH Kelembagaan Kabupaten Keterangan

1 Unit I (KPHP Banjar) UPTD KPHP Banjar Banjar APBN


2 Unit II (KPHP Cantung) UPTD KPHP Cantung Kotabaru APBD
3 Unit III (KPHP Pulau Laut & UPTD Pulau Laut & Kotabaru APBN
Sebuku) Sebuku
4 Unit IV (KPHL Sengayam) UPTD KPHL Kotabaru APBD
Sengayam Rencana akan
digabung
dengan KPH
Cantung
5 Unit V (KPHP Tabalong Kiwa) UPTD KPHP Tabalong Tabalong APBN
6 Unit VI (KPHP Tanah Bumbu) UPTD KPHP Tanah Tanah APBN
Bumbu Bumbu
7 Unit VII (KPHP Tanah Laut) UPTD KPHP Tanah Tanah Laut APBN
Laut
8 Unit VIII (KPHL Balangan) - - Rencana (APBN)
9 Unit IX (KPHL Hulu Sungai) UPTD KPHL Hulu Sungai APBN
Kandangan Selatan
UPTD KPHL Barabai Hulu Sungai APBN
Tengah
UPTD KPHP Tapin Tapin Rencana (APBN)
10 Unit X (KPHP Tabalong Kanan) - - Akan digabung
dengan KPHP
Tabalong

Berdasarkan tabel di atas, terdapat dua unit kelembagaan KPH (Cantung dan Sengayam)
yang tidak difasilitasi oleh BPKH. Hasil koordinasi dengan BPKH dan Dinas Kehutanan Kabupaten
Kotabaru, alasan tidak difasilitasinya kelembagaan KPH tersebut adalah keterbatasan dana pada
saat itu, sehingga dalam satu kabupaten hanya satu unit kelembagaan yang difasilitasi oleh APBN,

20 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


sedangkan sisanya dapat difasilitasi melalui dana APBD. Dengan adanya pembatasan tersebut,
maka BPKH mengalihkan fasilitasi ke kabupaten lain, dan kabupaten yang berkenan membentuk
kelembagaan KPH adalah Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Permasalahan yang muncul kemudian
adalah, wilayah kerja KPH Kandangan merupakan bagian dari wilayah KPH Hulu Sungai yang
wilayahnya meliputi tiga kabupaten. Seharusnya KPH dengan wilayah kerja lintas kabupaten,
pembentukannya menjadi tanggungjawab provinsi. Namun karena tidak adanya kendala
pembentukan kelembagaan pada tingkat provinsi, maka BPKH melakukan pendekatan dengan
kabupaten. Seiring dengan program nasional, yang menyatakan "No KPH, No Budget", maka
Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kabupaten Tapin tertarik dengan pembentukan KPH untuk
mengelola hutan di wilayah kerjanya. Dengan demikian, maka wilayah KPH Hulu Sungai rencananya
dibagi menjadi tiga kelembagaan dengan wilayah kerja sesuai dengan batas administrasi
kabupaten. Pada saat ini, telah terdapat dua kelembagaan KPH di wilayah tersebut, yakni KPHL
Kandangan dan KPHL Barabai, sedangkan KPHP Tapin rencananya akan difasilitasi pembentukkan
kelembagaannya pada tahun 2017. Penetapan KPHL dan KPHP, ditentukan berdasarkan dominasi
fungsi kawasan hutan yang terdapat pada kabupaten yang bersangkutan. Berdasarkan rencana,
KPHP Tabalong Kanan, pengelolaannya akan digabung dengan kelembagaan yang telah ada, yakni
KPHP Tabalong, sehingga UPTD KPHP Tabalong akan memiliki 2 (dua) wilayah kerja.
Pembentukan kelembagaan KPH yang tidak sesuai dengan wilayah kerja sesuai arahan
Menteri Kehutanan ini, menurut Seknas KPH tidak menjadi suatu permasalahan, selama setiap unit
KPH memiliki RPHJP masing-masing. Dengan demikian, satu kelembagaan KPH dapat mengelola
beberapa unit wilayah kerja, sebaliknya, beberapa kelembagaan KPH dapat mengelola satu unit
wilayah kerja. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, apabila KPHP Tapin dibentuk oleh
Baplan/BPKH, maka Ditjen PHPL tidak dapat memfasilitasi operasionalisasinya, karena merupakan
bagian dari KPH unit IX (KPHL Hulu Sungai).
Dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka
kewenangan daerah kabupaten/kota terkait dengan bidang kehutanan dialihkan ke Provinsi. Sesuai
dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, proses inventarisasi P3D paling lambat tanggal 31
Maret 2016, dan penyerahan P2D paling lambat tanggal 2 Oktober 2016. Berdasarkan hasil
koordinasi dengan Dinas Provinsi, akan dilakukan reorganisasi KPH lingkup Provinsi Kalimantan
Selatan, pembentukan UPT KPH akan disesuaikan dengan kemampuan APBD dan rentang kendali
Dinas Provinsi. Kemampuan rentang kendali Dinas Provinsi adalah sebanyak 10 UPTD, yang
berdasarkan draft awal terdiri dari 1 (satu) unit UPTD Tahura, 1 (satu) unit UPT Balai Pelayanan

21 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Penatusahaan Hasil Hutan (BPPHH), dan 8 (delapan) unit KPH. Dengan demikian, akan terjadi
kembali ketidaksesuaian lembaga KPH dengan wilayah kerja KPH sesuai arahan Menteri Kehutanan.

Tabel 4. Rencana Pembentukan Kelembagaan Pasca Implementasi UU 23/2014


Kabupaten /
No. UPTD Wilayah Kerja
Kotamadya
1 Tahura Sultan Adam Banjar & Tanah Tahura Sultan Adam
Laut
2 BPPHH Barito Muara Banjarmasin Banjarmasin dan sekitarnya
3 KPH Tabalong Tabalong KPH Unit V (Tabalong Kiwa) dan KPH Unit
X (Tabalong Kanan)
4 KPH Balangan Balangan dan KPH Unit VIII (Balangan) dan sebagian
Hulu Sungai KPH Unit IX (Hulu Sungai)
Tengah
5 KPH Amandit Hulu Sungai Sebagian KPH Unit IX (Hulu Sungai)
Selatan dan Tapin
6 KPH Kayu Tangi Banjar KPH Unit I (Banjar)
7 KPH Jorong - Sungai Tanah Laut KPH Unit VII (Tanah Laut)
Danau
8 KPH Batulicin - Kusan Tanah Bumbu KPH Unit VI (Tanah Bumbu)
9 KPH Pulau Laut & Kotabaru KPH Unit III (Pulau Laut & Sebuku)
Sebuku
10 KPH Cantung - Kotabaru KPH Unit II (Cantung) dan KPH Unit IV
Sengayam (Sengayam)

Struktur organisasi KPH berdasarkan Permendagri No. 61 Tahun 2010, untuk KPH tingkat
provinsi adalah SKPD dengan Tipe A, dipimpin oleh seorang Kepala (eselon III), KSBTU dan Kepala
Seksi (jumlah maksimal eselon IV sebanyak 3 orang). Sedangkan untuk KPH tingkat kabupaten
adalah UPT dengan tipe B, yang terdiri dari seorang Kepala (eselon IV a) dan KSBTU (eselon IV b).
Namun dengan kebijakan daerah dan pertimbangan lainnya, bentuk organisasi dapat diputuskan
sesuai dengan kondisi daerah. Untuk Provinsi Kalimantan Selatan, KPH yang akan dibentuk pasca
pelimpahan kewenangan ke provinsi adalah UPT Dinas Provinsi.
Namun pembentukan UPTD Provinsi ternyata tidak serta merta dapat dilaksanakan,
mengingat belum adanya Permendagri yang mengatur kelembagaan KPH pasca UU 23 tahun 2014.
Selain itu, dengan adanya pembentukan kelembagaan yang tidak sesuai dengan jumlah unit KPH,
maka akan terjadi perubahan luasan terhadap masing-masing KPH, dengan demikian wilayah kerja
KPH perlu penetapan kembali oleh Menteri LHK.

22 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


5.3. PROGRAM KEHUTANAN
Pengelolaan hutan lestari melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) telah diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, dan telah diatur dalam PP No. 6/2007.
Berdasarkan hal tersebut Baplan melakukan pembentukan wilayah KPH dan fasilitasi pembentukan
kelembagaan KPH di daerah. Sampai dengan tahun 2012, telah ditetapkan KPH di 25 provinsi
sebanyak 481 unit KPH, yang terdiri dari 170 unit KPHL dan 311 unit KPHP, dan 58 unit KPH telah
memiliki kelembagaan.
Berdasarkan Background Study RPJMN Kehutanan 2015 - 2019, yang disusun oleh Bappenas
(2014), menyebutkan bahwa secara umum, kebijakan yang perlu dirumuskan untuk pembangunan
kehutanan ke depan adalah dengan mengoptimalkan berbagai fungsi hutan yang mencakup fungsi
ekosistem/lingkungan, fungsi sosial-budaya dan fungsi ekonomi, termasuk fungsi produksinya
dalam jangka panjang. Dengan demikian, sektor pembangunan kehutanan dapat menjadi tulang
punggung (backbone) bagi sektor pembangunan lainnya yang juga terus berkembang dari atau
berkaitan dengan perkembangan sektor kehutanan dan tercipta keseimbangan sektoral secara
keseluruhan yang optimum. Oleh karena itu, kebijakan umum pembangunan kehutanan harus
mencakup upaya :
1) Optimalisasi fungsi ekosistem hutan untuk meningkatkan kualitas tata lingkungan wilayah
dan nasional (pro enviroment)
2) Optimalisasi fungsi sosial-budaya (cultural services)
3) Mengoptimalkan fungsi ekonomi untuk membangun wiayah dan masyarakat (pro growth,
pro job, pro poor)

Isu strategis yang diangkat oleh Bappenas menjadi dasar kebijakan bidang kehutanan adalah
"peningkatan daya saing komoditas sumber daya alam". Berdasarkan isu strategis tersebut,
dirumuskan arah kebijakan bidang kehutanan yang meliputi :
1) Peningkatan produksi dan produktivitas sumber daya hutan
2) Penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, penerapan pronsip tata kelola hutan yang baik
(good forest governance)
3) Pemberian jaminan legalitas hasil hutan kayu dan produk kayu, dan meningkatkan
keterlibatan masyarakat sebagai mitra usaha.

23 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Sasaran yang hendak dicapai berdasarkan rumusan Bappenas adalah :
1) Mengembangkan/mengoperasionalisasikan 347 unit KPHP
2) Meningkatnya produksi kayu bulat dari hutan alam menjadi 50 juta m3
3) Meningkatnya produksi kayu bulat dari hutan tanaman menjadi 160 juta m3
4) Meningkatnya produksi kayu hutan rakyat menjadi 100 juta m3
5) Meningkatnya nilai ekspor produk kayu rata-rata menjadi USD 32,5 milyar
Dengan kebijakan dan sasaran tersebut, maka disusunlah strategi pencapaian sebagai
berikut :
1) Meningkatkan tata kelola kehutanan (good forest governance) yaitu dengan melakukan
pemisahan peran administrator (regulator) dengan pengelola (operator) kawasan hutan
melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP);
2) Deregulasi dan de-bottlenecking peraturan perundang-undangan yang birokratis dan tidak
pro investasi serta mendesentralisasikan keputusan kemitraan dalam pengelolaan kawasan
hutan pada tingkat tapak;
3) Optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan sejak industri hulu hingga industri hilir
dengan mengembangkan keterpaduan industri berbasis hasil hutan (forest based cluster
industry);
4) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas industri hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai
tambah melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia yang
berkompeten serta penerapan good corporate governance.

Adapun manfaat keberadaan KPH yang dikemukakan oleh Bappenas adalah :


1) Keberadaan pengelola KPH di lapangan akan mengurani dan menekan perambahan liar dan
aktivitas liar lainnya (perkebunan liar, pertambangan liar dan produksi kayu liar);
2) Optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan;
3) Mengurangi laju deforestasi, kerusakan kawasan hutan, emisi dan meningkatkan stok
karbon melalui penerapan prinsip-prinsip Sustainable Forest Management, termasuk
Reduced Impact Logging;
4) Mengurangi proses birokrasi dalam pemanfaatan kawasan hutan serta meningkatkan good
corporate governance;
5) Memperjelas peran dan wewenang antara operator (KPH) dan regulator (pemerintah);

24 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


6) Mengurangi dan menekan konflik melalui kemitraan dengan masyarakat setempat dalam
pemanfaatan hasil hutan (HTR, HKm, HD);
7) Meningkatkan perekonomian daerah serta menanggulangi kemiskinan dengan penyerapan
tenaga kerja dari unskilled labour hingga highly skilled labour.

Untuk mempercepat kemandirian KPH sehingga tercapai pengelolaan hutan secara lestari,
diperlukan peran pemerintah untuk melakukan intervensi anggaran yang berasal dari APBN sebagai
initial capital (modal awal) operasionalisasi KPH. Percepatan dilakukan dalam kurun waktu 2015 -
2019 secara bertahap, yakni 80 unit KPHP di tahun 2014, 69 unit KPHP di tahun 2016, 60 unit KPHP
di tahun 2017, 60 unit KPHP di tahun 2018, dan 78 unit KPHP di tahun 2019. Salah satu prinsip
penggunaan APBN pada percepatan operasionalisasi KPH adalah diarahkan untuk membiayai
kegiatan prioritas, yakni ; 1) penataan kawasan hutan, 2) rehabilitasi kawasan hutan, 3) penyediaan
sarana dan prasarana, dan 4) penyusunan business plan.
Seiring dengan pergantian pimpinan negara, terdapat pergeseran kebijakan yang mengacu
pada program yang diusung pemerintahan baru. Adapun program yang diusung oleh pemerintah
baru adalah Nawacita. Dengan demikian, Rencana Strategis Kementerian Tahun 2015 - 2019
mengakomodir program Nawacita beserta segala perubahannya, termasuk beberapa perubahan
alokasi penganggaran program prioritas dalam rangka percepatan pembangunan nasional. Adapun
Nawacita adalah sebagai berikut :
1) Menghadirkan kembali negara untukmelindungi segenap bangsa dan memberikan rasa
aman pada seluruh warga negara
2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang
bersih, efektif, demokratis dan terpercaya
3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan
4) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya
5) Meningkatkan kualitas hidupmanusia Indonesia
6) Menciptakan kesetimbangan dan keberlanjutan antara pertumbuhan ekonomidan
pelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam
7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategisekonomi domestik

25 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


8) Melakukan revolusi karakter bangsa
9) Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia

Kebijakan prioritas di bidang kehutanan dalam rangka percepatan pembangunan, antara lain
meliputi ; 1) Pemantapan kawasan dan aset hutan, 2) Penguatan ekonomi kehutanan, 3) Konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, 4) Rehabilitasi dan reklamasi lahan, 5) Penguatan
kelembagaan KPH, 6) Penguatan tata kelola (organisasi, kualifikasi SDM, kualitas pelayanan).
Dengan adanya program prioritas ini, maka dilakukan sinkronisasi program melalui trilateral
meeting antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan dan
Bappenas, dalam rangka pembahasan program dan penganggaran APBN tahun berikutnya.

26 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


6. HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN
6.1. KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI
Penilaian kinerja PHPL ini dilaksanakan berdasarkan data dan informasi serta dokumentasi
KPHP yang bersangkutan yang terdapat di kantor BP2HP Wilayah XI dalam kurun waktu lima tahun
hingga saat penilaian dilaksanakan. Konfirmasi data dilakukan terhadap KPHP, namun tidak seluruh
item penilaian dilakukan verifikasi dan konfirmasi kepada masyarakat dan pihak ketiga di lapangan.
Item penilaian yang tidak diverifikasi akan dicantumkan dalam keterangan. Adapun hasil penilaian
kinerja PHPL pada KPHP di Provinsi Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut :
Aspek Prasyarat
Penilaian kinerja PHPL pada aspek prasyarat terdiri 4 (empat) indikator, yakni 1) legalitas, 2)
sarana dan prasarana, 3) komitmen KPHP, 4) pengelolaan hutan (tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan/penggunaan hutan), dengan 20 verifier.
1) Legalitas merupakan hal yang mutlak dan sangat menentukan dalam pengelolaan hutan
produksi lestari yang baik, sehingga merupakan salah satu prasyarat utama dalam penilaian
kinerja PHPL. Pada indikator legalitas, nilai tertinggi diperoleh oleh KPHP Banjar, yakni 75.
Sedangkan ketiga KPHP lainnya (KPHP Pulau Laut & Sebuku, KPHP Tanah Laut dan KPHP
Tabalong) hanya memperoleh nilai sebesar 50.
2) Sarana dan prasarana merupakan salah satu prasyarat mutlak dalam pengelolaan hutan
produksi lestari. Kekurangan atau bahkan ketiadaan sarana dan prasarana yang dimiliki untuk
mendukung keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan produksi lestari. Pada indikator ini,
KPHP yang memperoleh nilai 88 dengan kategori Bagus adalah KPHP Banjar dan KPHP Tanah
Laut, sedangkan KPHP Pulau Laut & Sebuku dan KPHP Tabalong memperoleh nilai 77 dengan
kategori Sedang.
3) Komitmen KPHP dalam pengelolaan hutan produksi dengan menerapkan prinsip kelestarian
salah satu prasyarat yang sangat dibutuhkan. Tidak hanya komitmen, namun sosialisasi
komitmen kepada para pihak dan implementasi prinsip kelestarian hutan di lapangan,
merupakan hal penting lainnya. Pada indikator ini, seluruh KPHP memiliki komitmen yang
sama, meskipun dalam implementasinya di lapangan masih terdapat kekurangan (KPHP Pulau
Laut & Sebuku).
4) Pengelolaan hutan terdiri dari 2 (dua) sub indikator, yakni tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, dan Pemanfaatan hutan/Penggunaan hutan. Pada sub indikator tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, nilai tertinggi diperoleh oleh KPHP Banjar dan

27 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Pulau Laut & Sebuku, dan yang terendah adalah KPHP Tabalong, karena belum memiliki RPHJP
yang disahkan. Pada sub indikator pemanfaatan hutan/penggunaan hutan, seluruh KPHP
memperoleh nilai 66, hal ini terjadi karena KPHP belum memiliki data dan informasi yang
lengkap terkait dengan keberadaan pemegang izin pemanfaatan hutan maupun penggunaan
kawasan yang terdapat di dalam wilayah kerjanya. Nilai keseluruhan pada indikator ini
menunjukkan nilai Baik pada tiga KPHP (Banjar, Pulau Laut & Sebuku, dan Tanah Laut),
sedangkan pada KPHP Tabalong memperoleh nilai Sedang.
Kinerja aspek prasyarat tertinggi diperoleh oleh KPHP Banjar dengan nilai 85 (BAIK). KPHP Pulau
Laut & Sebuku, KPHP Tanah Laut dan KPHP Tabalong memperoleh kategori SEDANG.

100
88,89 88,89 88,89 88,89
90 88,89 86,67
85
86,67
80
77,78 77,78 77,78
80 75
76,67
76,67
68,33
70 66,67

60
50 50 50 Banjar
50
PLS
40
Tala
30 Tabalong
20
10
0
Legalitas Sarpras Komitmen KPH Pengelolaan Rata-rata
Hutan

Grafik 1. Nilai Akhir Kinerja pada Aspek Prasyarat

Aspek Ekologi
Penilaian kinerja PHPL pada aspek ekologi terdiri dari 2 (dua) indikator, yakni 1) rehabilitasi
dan reklamasi hutan, dan 2) perlindungan hutan dan konservasi, dengan 13 verifier.
1) Rehabilitasi dan reklamasi hutan merupakan salah satu indikator dari aspek ekologi, dimana
KPHP sebagai operator di lapangan dituntut untuk dapat mengurangi kerusakan hutan dan
merehabilitasi lahan kritis serta meningkatkan tutupan lahan di wilayah kerjanya. Ketersediaan
data dan informasi, aksesibitas, SDM dan penganggaran, sangat menentukan terlaksananya

28 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


kegiatan pada indikator ini. Berdasarkan hasil penilaian, hanya KPHP Banjar yang memperoleh
nilai 85, karena secara kelembagaan, KPHP Banjar telah terbentuk terlebih dahulu sejak tahun
2009, dan telah melakukan kegiatan rehabilitasi dengan anggaran dari APBD maupun APBN.
Sedangkan KPHP lainnya, meskipun pada wilayah kerjanya telah dilaksanakan rehabilitasi,
namun tidak tersedia data dan informasi yang lengkap.
2) Perlindungan hutan dan konservasi yang dilakukan pada KPHP saat ini masih terbatas pada
pengamanan terhadap gangguan hutan dan kebakaran hutan. Kegiatan terkait dengan
identifikasi, sosialisasi dan pengamanan flora dan fauna yang dilindungi, endemik dan langka,
belum dilaksanakan secara optimal. Demikian juga dengan penetapan dan pengamanan
terhadap kawasan lindung lokal, berupa sempadan jalan, sungai dan danau, belum dilakukan.
Berdasarkan hasil penilaian terhadap kinerja aspek ekologi, seluruh KPHP memperoleh kinerja
dengan kategori BURUK, kecuali KPHP Banjar yang memperoleh kategori SEDANG.

90
83,33

80

70 64,1

58,33
60 55,56 55,56 55,56 55,56
53,85 53,85
56,41

50 50
50 Banjar

40 PLS
Tala
30
Tabalong
20

10

0
Rehabilitasi dan Reklamasi Perlindungan hutan dan Rata-rata
konservasi

Grafik 2. Nilai Akhir Kinerja pada Aspek Ekologi

Aspek Produksi
Penilaian kinerja PHPL pada aspek produksi terdiri dari 3 (tiga) indikator, yakni 1)
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan kawasan dan hasil hutan pada areal berizin, 2) legalisasi
hasil hutan, dan 3) peningkatan investasi, dengan total 11 verifier.

29 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


1) Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan kawasan dan hasil hutan pada areal berizin belum
dapat dilakukan secara optimal. Hal ini karena kurangnya sosialisasi kepada para pemegang izin
di lapangan terkait dengan keberadaan KPHP, dan belum jelasnya tata hubungan kerja KPHP
dan pola koordinasi dan pemantauan oleh KPHP terhadap pemegang izin pemanfaatan hasil
hutan di lapangan. Nilai tertinggi diperoleh KPHP Banjar dan KPHP Tabalong, yang
melaksanakan pemantauan terhadap pemegang izin pemanfaatan hasil hutan bersama-sama
dengan BP2HP.
2) Legalisasi hasil hutan terbagi menjadi 2 (dua) sub indikator, yakni dokumen hasil hutan dan
iuran kehutanan. Penggunaan dokumen hasil hutan sesuai dengan ketentuan penatausahaan
hasil hutan untuk seluruh pemanfaatan dan peredaran hasil hutan yang berasal dari wilayah
kerja KPHP akan menjamin legalitas hasil hutan berasal dari pengelolaan hutan produksi
lestari.Sedangkan sub indikator iuran kehutanan akan menjamin bahwa hak negara telah
dipenuhiberupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada indikator kedua ini, seluruh
KPHP memperoleh nilai yang sama, hal ini karena hingga saat ini seluruh KPHP belum dapat
melakukan pemanfaatan hasil hutan di wilayah tertentu.
3) Peningkatan investasi terdiri dari 3 (tiga) sub indikator, yakni penyiapan prakondisi untuk
meningkatkan investasi, sosialisasi dan promosi, dan fasilitasi proses kerjasama dan perijinan.
Pada sub indikator penyiapan prakondisi untuk meningkatkan investasi, dapat dipenuhi apabila
KPHP telah memiliki data dan informasi terkait dengan potensi yang dimiliki di wilayah
kerjanya, dan telah memiliki rencana strategi bisnis untuk mengembangkan potensi tersebut.
Pada sub indikator ini, KPHP Banjar dan KPHP Pulau Laut & Sebuku memperoleh nilai
sempurna, sedangkan KPHP Tanah Laut dan KPHP Tabalong masing-masing kekurangan satu
sub indikator, sebagai akibat tidak terselesaikannya pekerjaan Identifikasi Potensi untuk KPHP
Tabalong, dan Penyusunan Rencana Strategis Bisnis pada KPHP Tanah Laut. Sub indikator
selanjutnya adalah sosialisasi dan promosi kepada para pihak terkait dengan keberadaan
potensi dan rencana bisnis KPHP yang telah dimiliki. Hal ini belum dilaksanakan, karena hasil
pekerjaan identifikasi potensi dan penyusunan rencana bisnis baru diserahkan kepada KPHP
awal tahun ini. Demikian pula dengan sub indikator fasilitasi proses kerjasama dan perijinan,
belum dapat dilaksanakan, karena merupakan tahap selanjutnya dan menunggu ketentuan
regulasi dari pemerintah pusat yang mengatur kewenangan dan pola kemitraan oleh KPHP.

30 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Nilai kinerja pada aspek produksi berkisar antara BURUK dan SEDANG, dengan nilai tertinggi
diperoleh KPHP Banjar.

80

70 66,67 66,67

60 60 60,61
60 55,56 55,56 54,55
55,56 55,56 51,52

50 46,67 45,45
46,67
Banjar
40
33,33 PLS
33,33
30 Tala
Tabalong
20

10

0
Pemantauan Legalisasi Hasil Peningkatan Rata-rata
Hutan Investasi

Grafik 3. Nilai Akhir Kinerja pada Aspek Produksi

Aspek Sosial
Penilaian kinerja PHPK pada aspek sosial terdiri dari 8 (delapan) indikator, yakni 1)
partisipasi masyarakat, 2) koordinasi dan konsultasi, 3) peningkatan kemampuan staf KPHP, 4)
fasilitasi investasi, 5) informasi dan sosialisasi, 6) pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk
asli, 7) pelayanan publik, dan 8) penyelesaian mediasi dan resolusi konflik, dengan total 28 verifier.
1) Partisipasi masyarakat secara dalam pengelolaan sumber daya hutan sesuai dengan prinsip
kelestarian hutan belum diatur dalam suatu mekanisme tertentu. Partisipasi masyarakat dalam
mengelola sumber daya hutan bersifat mandiri, perorangan, parsial dan/atau dalam kelompok
kecil, tanpa mekanisme yang jelas dan tanpa pola kemitraan.
2) Koordinasi dan konsultasi yang dilakukan oleh KPHP masih bersifat kedinasan dengan instansi
vertikal maupn horisontal yang berada di dalam wilayah kerjanya, tanpa adanya SOP yang jelas.
Saat ini, jadwal koordinasi dan konsultasi diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan KPHP dan

31 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


atau BPHP selaku pendamping. Seluruh hasil koordinasi dan konsultasi yang dilakukan oleh
KPHP didokumentasikan dalam bentuk laporan kegiatan, dan didistribusikan secara terbatas.
3) Peningkatan kemampuan staf KPHP telah dilakukan oleh KPHP dengan fasilitasi dari BPHP, yang
meliputi pelatihan di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah, bimbingan teknis oleh
BPHP terhadap pelaksanaan administrasi keuangan, pelatihan Wasganis PHPL, dan pelatihan
perpetaan (ArcGIS). Selain itu, pelatihan terhadap SDM KPHP juga difasilitasi oleh Ditjen PHPL,
yang meliputi pelatihan perencanaan KPHP dan entepreneur, serta pelatihan lainnya yang
dilakukan oleh Pusdiklat. Selain itu, terdapat LSM yang turut membantu peningkatan kapasitas
SDM KPHP dalam program kerjasama (KPHP Banjar).
4) Fasilitasi investasi yang dilakukan oleh KPHP kepada masyarakat dalam rangka keikutsertaan
masyarakat dalam pengelolaan hutan belum dapat dilakukan secara optimal, karena belum
adanya mekanisme kemitraan antara KPHP dan masyarakat.
5) Informasi dan sosialisasi. Informasi terkait dengan keberadaan masyarakat hukum adat
dan/atau masyarakat setempat yang terlibat dalam aktivitas pengelolaan hutan telah tersedia,
meskipun belum lengkap dan detail. KPHP telah melakukan sosialisasi tentang keberadaan
KPHP, berikut tugas pokok dan fungsinya, serta hak dan kewajiban KPHP terhadap masyarakat
dalam mengelola sumber daya hutan. Hingga saat ini, belum terdapat kontribusi pendapatan
dan pembangunan dari kemitraan antara KPHP dengan pihak kedua.
6) Pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk asli. Hingga saat ini belum ada program dan
realisasi terkait dengan masyarakat adat atau penduduk asli, karena masih dalam tahap
identifikasi.
7) Pelayanan publik belum ada dalam pelaksanaan pengelolaan hutan produksi oleh KPHP.
8) Penyelesaian mediasi dan resolusi konflik. Saat ini KPHP baru melakukan identifikasi dan
pemetaan serta penyusunan rekomendasi terhadap konflik yang terdapat di dalam wilayah
kerjanya masing-masing. Pelaksanaan rekomendasi resolusi konflik, seharusnya dilaksanakan
pada tahun 2017 ini, namun karena keterbatasan anggaran, belum dapat dilakukan secara
optimal. Saat ini yang dilakukan oleh KPHP adalah menjaga agar konflik yang ada tidak
meningkat dan meluas.

Berdasarkan hasil penilaian kinerja pada aspek sosial, diperoleh kinerja dengan kategori
BURUK untuk keempat KPHP. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

32 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


hutan belum terakomodir dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konflik yang ada di
wilayah kerja KPHP.

120

100

80

60

40 Banjar

20 PLS
Tala
0
Tabalong

Grafik 4. Nilai Akhir Kinerja pada Aspek Sosial

Berdasarkan hasil penilaian kinerja tersebut, maka nilai kinerja secara keseluruhan masing-
masing KPHP adalah sebagai berikut :

Tabel 6. Nilai Akhir Kinerja untuk Seluruh Aspek Penilaian


Nilai Kinerja
No. KPHP Nilai
Prasyarat Ekologi Produksi Sosial Kategori
Akhir
1 KPHP Banjar 85,00 64,10 60,61 51,19 64,35 SEDANG
2 KPHP Pulau Laut 76,67 53,85 51,52 48,81 57,87 BURUK
& Sebuku
3 KPHP Tanah Laut 76,67 53,85 45,45 50,00 57,41 BURUK
4 KPHP Tabalong 68,33 56,41 54,55 48,81 56,48 BURUK

Berdasarkan hasil penilaian kinerja PHPL pada KPHP di Provinsi Kalsel sebagaimana tabel di
atas, ternyata belum menunjukkan hasil yang positif, dimana terdapat hanya satu KPHP yang
memperoleh nilai "SEDANG", sedangkan KPHP yang lain memperoleh nilai "BURUK". Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan KPHP di Provinsi Kalsel hingga tahun 2015 belum

33 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


dapat menjamin kelestarian hutan produksi berdasarkan skema penilaian kinerja PHPL untuk KPHP
yang diterbitkan oleh Ditjen PHPL.
Nilai akhir kinerja PHPL ini masih bersifat sementara, dan dapat ditingkatkan oleh KPHP
maupun pemangku kepentingan lainnya dengan cara melengkapi dokumentasi yang meliputi data
dan informasi terkait dengan aspek ekologi dan sosial. Koordinasi dan sinergitas antara KPHP
dengan instansi terkait serta dengan pemangku kepentingan lainnya (masyarakat dan swasta)
diperlukan agar pelaksanaan pengelolaan hutan produksi terarah dan terdokumentasi dengan baik.
Hal yang paling penting bagi KPHP adalah, penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas SDM
yang ada di KPHP.

6.2. KELEMBAGAAN KPHP


Kelembagaan KPHP sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, terkait dengan
impelementasi UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, akan menyebabkan beberapa
implikasi dalam prosesnya. Sesuai dengan SE Mendagri, bahwa inventarisasi P3D harus selesai pada
tanggal 31 Maret 2016, dilanjutkan dengan proses validasi dan klarifikasi antara Maret s/d
September 2016, dan serah terima paling lambat pada tanggal 2 Oktober 2016, serta akan berlaku
secara efektif pada tanggal 1 Januari 2016.
Pembentukkan kelembagaan KPH ini mengalami ketidak sinkronan dengan beberapa
ketentuan yang berlaku. Struktur organisasi KPH berdasarkan Permendagri No. 61 Tahun 2010,
untuk KPH tingkat provinsi adalah SKPD dengan Tipe A, dipimpin oleh seorang Kepala (eselon III),
KSBTU dan Kepala Seksi (jumlah maksimal eselon IV sebanyak 3 orang). Sedangkan untuk KPH
tingkat kabupaten adalah UPT dengan tipe B, yang terdiri dari seorang Kepala (eselon IV a) dan
KSBTU (eselon IV b). Dengan berlakunya UU 23 Tahun 2014, maka KPH yang areal kerjanya berada
dalam satu wilayah administrasi kabupaten, juga akan menjadi tingkat provinsi. Sebaliknya, provinsi
yang tidak memiliki anggaran yang cukup, akan lebih memilih kelembagaan KPH dalam bentuk
UPTD Provinsi (eselon III). Demikian pula dengan provinsi yang memiliki Dinas dengan tipe B, maka
UPTD yang dapat dibentuk hanya tingkat eselon IV. Jumlah kelembagaan pun kemungkinan tidak
akan sesuai dengan jumlah wilayah (unit) KPH yang telah ditetapkan. Sebagai gambaran, Provinsi
Papua memiliki jumlah KPHP sebanyak 50 unit. Pembentukan kelembagaan dalam bentuk SKPD
maupun UPTD sebanyak 50 unit, sebesar apapun APBD yang dimiliki, tentunya akan memberatkan
anggaran daerah. Selain itu, keterbatasan rentang kendali juga akan menjadi kendala di masa
mendatang.

34 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Tabel 7. Penetapan KPH seluruh Provinsi s/d Tahun 2013
Penetapan KPH
No Provinsi
KPHK KPHL KPHP Total
1 NAD - - - -
2 Sumatera Utara - 14 19 33
3 Sumatera Barat - 7 4 11
4 Riau
5 Kepulauan Riau
6 Jambi - 1 16 17
7 Bengkulu - 5 2 7
8 Bangka Belitung - 2 11 13
9 Sumatera Selatan - 10 14 24
10 Lampung - 9 7 16
11 DKI Jakarta - - - -
12 Jawa Barat - - - -
13 Banten - - - -
14 Jawa Tengah - - - -
15 DI. Yogyakarta - - 1 1
16 Jawa Timur - - - -
17 Bali 1 3 - 4
18 Nusa Tenggara Barat - 11 12 23
19 Nusa Tenggara Timur - 13 9 22
20 Kalimantan Barat - 5 29 34
21 Kalimantan Tengah - 4 29 33
22 Kalimantan Timur - 4 30 34
23 Kalimantan Selatan - 3 7 10
24 Gorontalo - 3 4 7
25 Sulawesi Utara - 4 5 9
26 Sulawesi Tengah - 5 16 21
27 Sulawesi Selatan - 7 3 10
28 Sulawesi Tenggara - 10 15 25
29 Sulawesi Barat - 10 3 13
30 Maluku - 5 17 22
31 Maluku Utara - 5 11 16
32 Papua - 25 31 56
33 Papua Barat - 5 16 21
1 170 311 482

Berdasarkan tabel di atas, telah ditetapkan KPH sebanyak 482 unit, yang terdiri dari 1 unit
KPHK, 170 unit KPHL dan 311 unit KPHP. Sesuai dengan peta arahan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, jumlah KPH akan mencapai 629 unit di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 347 unit

35 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


KPHP, 182 unit KPHL dan 100 unit KPHK. Sedangkan jumlah Dinas Kabupaten yang membidangi
kehutanan sejumlah 327 unit.

Tabel 8. Perbandingan Jumlah Dinas Kabupaten dan KPH


Jumlah Dinas Jumlah KPH
No. Provinsi Deviasi
Kabupaten (KPHL & KPHP)
1 NAD 23 - 22
2 Sumatera Utara 14 33 -19
3 Sumatera Barat 19 11 8
4 Riau 12 12
5 Kepulauan Riau 6
6 Jambi 2 17 -15
7 Bengkulu 3 7 -4
8 Bangka Belitung 6 13 -7
9 Sumatera Selatan 6 24 -18
10 Lampung 12 16 -4
11 DKI Jakarta 5 - 5
12 Jawa Barat 5 - 5
13 Banten 2 - 2
14 Jawa Tengah 33 - 33
15 DI. Yogyakarta 4 1 3
16 Jawa Timur 18 - 18
17 Bali 9 3 6
18 Nusa Tenggara Barat 7 23 -16
19 Nusa Tenggara Timur 20 22 -2
20 Kalimantan Barat 13 34 -21
21 Kalimantan Tengah 14 33 -19
22 Kalimantan Timur 11 34 -23
23 Kalimantan Selatan 12 10 2
24 Gorontalo 4 7 -3
25 Sulawesi Utara 10 9 1
26 Sulawesi Tengah 4 21 -17
27 Sulawesi Selatan 24 10 14
28 Sulawesi Tenggara 10 25 -15
29 Sulawesi Barat 5 13 -8
30 Maluku 1 22 -21
31 Maluku Utara 8 16 -8
32 Papua 5 56 -51
33 Papua Barat 11 21 -10
Jumlah 338 482 -154
Diolah dari beberapa sumber.

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan yang drastis antara jumlah
KPH dengan Dinas Kabupaten yang menangani kehutanan.Pada beberapa provinsi, tidak terdapat
KPH atau memiliki KPH lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah Dinas Kabupaten. Sebaliknya,

36 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


beberapa provinsi memiliki jumlah KPH yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dinas
kabupaten. Jumlah KPH pada tabel di atas akan bertambah lagi, setelah proses penetapan oleh
Ditjen Planologi telah selesai, hingga mencapai 529 unit untuk KPHL dan KPHP. Sesuai dengan
arahan Mendagri, agar pembagian urusan pemerintah daerah yang bersifat konkuren dilakukan
berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi, maka kemungkinan yang terjadi
adalah penggabungan beberapa wilayah KPH dalam satu kelembagaan. Dengan demikian, tugas
pokok dan fungsi kelembagaan KPH akan lebih luas dan lebih berat. Fungsi koordinasi dan
administrasi dapat menyita waktu dan energi KPH, hal ini dapat menyebabkan KPH tidak fokus
dalam melaksanakan pengelolaan hutan di wilayahnya.
Terlepas dari perdebatan terkait dengan bentuk kelembagaan KPH, apakah lebih baik SKPD
atau UPTD, terdapat kemungkinan pendekatan lain, yakni melalui pendekatan fungsi. Pada
pendekatan fungsi ini, dapat dibedakan antara fungsi Kementerian, Dinas Provinsi dan KPH.
Perbedaan fungsi ini meliputi Kementerian dengan fungsi regulator, Dinas Provinsi dengan fungsi
administrator, dan KPH dengan fungsi operator. Dengan perbedaan fungsi ini, maka akan jelas
fungsi masing-masing lembaga. Tidak menjadi masalah yang berarti, apabila bentuk kelembagaan
KPH sebagai operator berupa SKPD maupun UPTD Provinsi. Dengan pendekatan ini pula, maka yang
harus menjadi prioritas utama dalam pembentukan kelembagaan KPH adalah alokasi jumlah dan
kapasitas/kompetensi sumber daya manusia yang akan ditempatkan pada KPH. Akan menjadi
masalah yang serius di kemudian hari, apabila SDM yang ditempatkan di KPH merupakan "pegawai
buangan" dan atau "pegawai titipan" dari Dinas Provinsi/Kabupaten. Sudah selayaknya, dalam
rangka percepatan operasionalisasi KPH, dipilih pegawai yang handal dan memiliki komitmen yang
kuat dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak. Dengan pendekatan fungsi ini, maka pengelolaan
hutan merupakan tugas utama KPH, sedangkan kemandirian KPH merupakan suatu nilai tambah
bagi KPH yang bersangkutan.
Hal ini sesuai dengan perubahan paradigma dalam rangka mewujudkan Good Governance.
Dalam pengertian Good Governance, terdapat tiga unsur yang saling terkait, yakni ; Pemerintah,
Swasta dan Masyarakat. Selain itu, unsur kekuasaan (power) dirubah menjadi unsur kewenangan
(authority) yang bertugas melayani masyarakat atau public service. Perbedaan antara Pemerintah
(Government) dan Kepemerintahan yang baik (Good Governance) adalah :

37 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Tabel 9. Perbedaan antara "Goverment" dan "Good Governance"
GOVERNMENT GOOD GOVERNANCE
1. Kekuasaan (power) klasik 1. Kewenangan pelayanan modern
2. Sentralisasi 2. Desentralisasi (otonomi)
3. Pengerahan masyarakat 3. Pemberdayaan masyarakat
4. Dominasi ekonomi 4. Ekonomi pasar
5. Pembinaan masyarakat 5. Civil society
6. Top down 6. Bootom up

Berdasarkan tabel di atas, kelembagaan KPH telah memenuhi unsur sebagaimana tersebut
di atas, dengan penjelasan sebagai berikut :
Kewenangan
Unsur Kewenangan pada KPH, dipenuhi melalui kewenangan KPH dalam memanfaatkan
wilayah tertentu melalui kerjasama atau kemitraan dengan pihak lain (BUMN, BUMD, swasta,
Koperasi, atau UMKM). Sesuai dengan Permenhut Nomor P.47/Menhut-II/2013 tentang
Pedoman,Kriteria dan Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada KPHL dan KPHP,
Kepala KPHP dapat mengusulkan pemanfaatan wilayah tertentu kepada Menteri, sekaligus sebagai
usulan pelimpahan kewenangan (pasal 2 dan pasal 3).Adapun penyelenggaran pemanfaatan hutan
di wilayah tertentu meliputi ; pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan HHBK. Ketentuan teknis pelaksanaan pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu
melalui kemitraan sedang dalam tahap penyusunan dan pembahasan.
Desentralisasi
Desentralisasi di bidang kehutanan telah dilakukan dalam rangka otonomi.Dengan terbitnya
UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semakin jelas desentralisasi pada beberapa
bidang.Pengaturan kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah diatur lebih lanjut
oleh Menteri Dalam Negeri.
Pemberdayaan Masyarakat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah KPH merupakan salah satu tujuan dan
sasaran program nasional, dan dilakukan oleh KPH melalui pemberdayaan masyarakat yang ada di
dalam dan di sekitar wilayah KPH.Dalam pengelolaan hutan produksi lestari, pemberdayaan
masyarakat merupakan salah satu indikator penting keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan.
Ekonomi Pasar
Ekonomi pasar dalam KPHP diwujudkan dalam penyusunan rencana strategis bisnis
KPH.Rencana strategis bisnis KPHP disusun berdasarkan kondisi potensi sumber daya hutan yang
ada serta kondisi pasar, dengan mempertimbangkan permintaan dan penawaran. Rencana strategis

38 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


bisnis KPHP merupakan laporan rinci tentang barang dan atau jasa yang diproduksi, proses dan
teknologi produksi yang digunakan, pangsa pasar dan pengguna produk yang menjadi target,
strategi pemasaran, kriteria dan jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan, sumber-sumber
pembiayaan yang diharapkan serta rincian inflow dan outflow keuangan selama periode tertentu.
Pada rencana strategis bisnis ini, memuat konsep usaha KPHP yang bersifat multi dimensi, selain
mengelola SDA juga mempertahankan fungsi lingkungan, pemberdayaan masyarakat sekitar (sosial
ekonomi) serta budaya setempat (kearifan lokal).
Civil Society
Dalam tata kelola pemerintahan, civil society dapat berfungsi untuk menciptakan pemeritah
yang baik dalam hal transparasni dan keterbukaan, efektifitas, keaktifan dan akutabel. Beberapa
peran civil society dalam tata kelola pemerintah antara lainadalah :
1) Peran analisis dan advokasi. Melalui peran ini, civil society dapat memberikan analisis dan
informasi yang penting untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan masyarakat.
Sedangkan pada peran advokasi, berfungsi untuk membawa isu-isu yang ada di masyarakat dan
membantu merubah norma-norma sosial yang berlaku pada saat itu di masyarakat. Peran ini
telah dilakukan dalam pengelolaan hutan melalui sosialisasi dan Focus Group Discussion (FGD)
antara pemerintah, masyarakat dan atau LSM.
2) Peran pengaturan dan monitoring kinerja, perilaku dan tindakan pejabat publik. Peran ini
mendorong terciptanya trnasparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
3) Peran membangun modal sosial (social capital). Modal sosial adalah hubungan asosiasi,
jaringan dan norma yang memungkinkan orang untuk bekerja sama antara satu dengan yang
lain untukkebaikan bersama. Kesamaan persepsi masyarakat dalam pengelolaan hutan
merupakan hal yang paling penting dalam modal sosial.
Bootom up
Bootom up diwujudkan melalui penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang
(RPHJP) dan Jangka Pendek (RPHJPd) yang dilakukan oleh Kepala KPH berdasarkan kondisi riil areal
dan potensi areal kerjanya, dengan mempertimbangkan kebijakan nasional dan daerah. RPHJP dan
RPHJPd KPH ini merupakan dasar pelaksanaan kegiatan oleh KPH di wilayah kerjanya.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kelembagaan KPH telah memenuhi persyaratan


sebagai Good Governance, meskipun dalam implementasinya belum optimal. Hal yang perlu
dilakukan saat ini adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan KPH melalui intervensi

39 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


kebijakan dan anggaran agar KPH dapat beroperasional secara optimal. Dukungan penuh dari
Pemerintah Daerah sangat penting dan mutlak dilakukan yang meliputi fasilitasi koordinasi dan
sinergitas program dan kegiatan di daerah. Pemenuhan jumlah dan peningkatan SDM KPHP sangat
diperlukan agar pengelolaan hutan lestari dapat berjalan dengan optimal.

6.3. PROGRAM
Pengelolaan hutan melalui Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, KPH merupakan
amanah Undang-Undang dan salah satu program utama di bidang kehutanan. Hingga tahun 2012,
kelembagaan KPH baru mencapai 58 unit kelembagaan, sehingga dilakukan percepatan
pembentukan kelembagaan oleh Baplan, dengan target sebanyak 80 unit hingga akhir tahun 2014,
dan secara keseluruhan tahun 2018. Tahap selanjutntya adalah percepatan operasionalisasi KPH,
sehingga diharapkan dapat beroperasi secara mandiri di tahun 2020, maka dilakukan intervensi
anggaran yang berasal dari APBN selama kurun waktu 2015 – 2019.
Pembagian peran untuk masing-masing eselon I dalam rangka percepatan operasionalisasi
KPH, antara lain adalah sebagai berikut :
1) Ditjen Planologi
- Pengembangan database KPH
- Penataan batas
- Penentuan bok dan petak
- Inventarisasi SDH
- Inventarisasi sosekbud
2) Ditjen PHPL
- Regulasi pemanfaatan HA/HT pada KPH
- Penyusunan RPHJPd
- Penataan areal kerja KPH
- Penanaman HT
- Penyusunan bisnisplan KPH
- Identifikasi potensi HHBK unggulan dan potensi konflik
- Pelatihan kewirausahaan
3) Ditjen PHKA
- Perlindungan hutan (sarpras, sdm, sidak, penindakan hukum)
- Inventarisasi flora, fauna dan potensi wisata

40 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


- Pengembangan jasa lingkungan (ekowisata)
- Rasionalisasi wilayah kelola
- Konservasi alam
4) Ditkjen BPDASPS
- Rehabiltasi hutan, prioritas KPH
- Rehabilitasi mangrove
- Pemberdayaan masyarakat (HKm/HD/HHBK)
- Pengelolaan sumber benih
- Kebun benih semai/kebun benih klon
5) BP2SDMK
- Pengembangan basarhut menjadi bakti rimbawan
- Sertifikat kompetensi SDM KPH
- Diklat SDMKPH (peningkatan kompetensi)
- Tenaga teknis lulusan SMK Kehutaan
- Pendayagunaan tenaga penyuluh (PNS, PKSM,PKS)
6) Setjen
- Pembinaan sarana prasarana KPH
- Pemenuhan SDM
- Regulasi
- Pembinaan kelembagaan
- Pengesahan TH/RPHJP KPH
7) Itjen
- Pengawasan dan pengendalian pembangunan KPH
8) Balitbanghut
- Pilot IPTEK (hulu dan hilir)
- Pilot IPTEK (Penyusunan RP dan transformasi KPH ke BLUD)
- Pilot IPTEK (konvergensi hasil IPTEK di KPH)

Sehubungan dengan adanya perubahan organisasi kementerian dari Kementerian


Kehutanan menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka terdapat beberapa
perubahan tugas pokok, fungsi dan wewenang pada eselon I, sehingga terdapat perubahan pada
pembagian peran eselon I. Sebagai misal adalah, peran Ditjen PHKA yang berganti menjadi Ditjen

41 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem), berbagi peran dengan Ditjen PPI
(Pengendalian Perubahan Iklim) dan Ditjen Gakkum (Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan
Kehutanan), sedangkan peran Ditjen BPDASPS yang berganti menjadi PDASHL (Pengendalian
Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung) berbagi peran dengan Ditjen PSKL (Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan). Kondisi ini dapat menguntungkan, sekaligus dapat menghambat
percepatan operasionalisasi KPH. Hal yang menguntungkan adalah, lebih banyak instansi yang
turut serta membangun dan memfasilitasi operasionalisasi KPH, dan dengan sendirinya akan lebih
banyak anggaran yang terserap dalam bentuk kegiatan pada tingkat tapak. Sebaliknya, semakin
banyak instansi yang terlibat, dengan segala ego sektoralnya, justru dapat membuat tidak fokus
pada pencapaian target renstra Kementerian LHK, dengan kata lain, pengelolaan hutan secara
lestari akan sulit diwujudkan.
Hal ini tidak hanya terjadi karena sebab dalam satu kementerian, namun juga dipengaruhi
dengan program kementerian lainnya. Dengan semangat melakukan pembangunan dari daerah
pinggiran, atau dengan kata lain adalah desa sebagai sasaran utama pembangunan, maka
beberapa kementerian menetapkan desa sebagai sasaran dari program utamanya. Dan sebagai
konsekuensinya, akan terdapat banyak desa yang menerima atau menjadi sasaran dari beberapa
program kementerian secara bersamaan. Beberapa program kementerian dengan sasaran desa
antara lain adalah :
1) Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, dengan program Jaring Komunitas Wiradesa,
Lumbung Ekonomi Desa dan Lingkar Budaya Desa,
2) Kementerian Kesehatan dengan program Desa Siaga, dengan lokus seluruh Desa dan
Kelurahan,
3) Kementerian Pekerjaan Umum dengan program Pembangunan Infrastruktur Desa, Sejuta
Rumah bagi masyarakat, Pengembangan Kawasan Desa Berkelanjutan,
4) Kementerian Pertanian dengan program Sarjana Membangun Desa, Rumah Pangan Lestari,
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan, dll,
5) Kementerian Koperasi dan UKM dengan program Penguatan Peran Koperasi Unit Desa,
6) Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan program Legalisasi Aset berupa sertipikat
petani, nelayan, dll,
7) Kementerian ESDM dengan program Indonesia Terang dan Patriot Energi.
8) Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan program Solusi Desa Broadband Terpadu

42 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Dengan banyaknya program dari kementerian tersebut, belum lagi program nasional berupa
Dana Desa, Pamsinas, PNPM, dll yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, tentunya akan
terdapat kemungkinan tumpang tindih antara kegiatan yang sejenis pada satu lokus kegiatan. Hasil
diskusi dengan seorang Kepala Desa di KPHP Banjar, menyatakan bahwa dirinya selaku Kepala Desa
akan selalu menerima program pemerintah di wilayah desanya, meskipun program tersebut tidak
atau kurang sesuai dan atau tidak dibutuhkan oleh warganya. Hal ini dilakukan karena sebelumnya
terdapat beberapa aparat pemerintah yang mengaku kesulitan untuk menentukan desa sasaran,
dan meminta bantuan kepada Kepala Desa tersebut agar menyetujui wilayahnya menjadi desa
sasaran. Dengan alasan ingin membantu menyukseskan program pemerintah inilah, maka Kepala
Desa tersebut selalu menerima setiap program pemerintah di desanya.
Ketidakfokusan program kemungkinan terjadi juga dalam satu kementerian atau antara
eselon I pada kementerian yang sama. Pada kementerian LHK, telah dilakukan sinergitas program
dan sasaran antara eselon I sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Namun
demikian, penentuan target pada setiap eselon I belum dilakukan secara optimal, sehingga dapat
mempengaruhi pada pencapaian target pada eselon I lainnya. Sebagai contoh, pembentukan KPH
yang menjadi target Ditjen Planologi baru selesai pada tahun 2018. Hal ini akan menyulitkan Ditjen
PHPL dan Ditjen PDAS-HL untuk memfasilitasi operasionalisasi KPH dalam kurun waktu hanya satu
tahun. Kerancuan juga terjadi pada satuan target yang ditetapkan, Ditjen Planologi menetapkan
satuan target adalah unit kelembagaan KPH, sedangka Ditjen PHPL dan PDAS-HL menetapkan
satuan target adalah unit pengelolaan. Kerancuan ini dapat menyulitkan dalam pencapaian target
pada nantinya. Kerancuan juga dapat terjadi dalam satu eselon I, pada Ditjen PHPL, dimana pada
Renstra Ditjen PHPL sesuai dengan Perdirjen PHPL Nomor P.11/PHPL-SET/2015 tanggal 13 Oktober
2015 tentang Rencana Strategis Ditjen PHPL, telah ditentukan unit kegiatan, sasaran unit kegiatan
dan indikator unit kegiatan untuk setiap kegiatan lingkup Ditjen PHPL. Salah satunya yang terkait
dengan KPHP adalah "Jumlah KPHP yang beroperasi di hutan produksi sebanyak 347 KPHP". Pada
IKK ini, ditetapkan 14 unit kegiatan, berikut sasaran dan indikator unit kegiatan. Selanjutnya
ditetapkan Perdirjen PHPL Nomor P.01/PHPL-SET/2016 tanggal 11 Januari 2016 tentang Standar
Pengukuran IKK dan IKP Ditjen PHPL tahun 2015-2019. Pada Perdirjen ini, ditetapkan tata cara
pengukuran IKK "Jumlah KPHP yang beroperasi di hutan produksi sebanyak 347 KPHP" adalah
sebagai berikut :

43 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Tabel 10. Tata Cara Pengukuran IKK
Indikator Kinerja
Pengukuran IKK Data yang dibutuhkan Ket
Kegiatan
Jumlah KPHP yang Jumlah KPHP yang telah Jumlah KPHP yang telah melaksanakan Data
beroperasi di hutan melaksanakan paling paling sedikit 1 dari 5 tugas dan fungsi akumulatif
produksi sebanyak sedikit 1 dari 5 tugas dan penyelenggaraan pengelolaan hutan (PP6
347 KPHP fungsi penyelenggaraan Tahun 2007 pasal 9 ayat 1 huruf a) adalah :
pengelolaan hutan (PP6 1) tata hutan dan penyusunan rencana
Tahun 2007 pasal 9 ayat pengelolaan hutan;
1 huruf a) dibandingkan 2) pemanfaatan hutan
target dikali 100% 3) penggunaan kawasan hutan;
4) rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan
5) perlindungan hutan dan konservasi alam.

Berdasarkan tabel 10 di atas, KPHP dapat dikatakan beroperasional apabila telah


melaksanakan paling sedikit 1 dari 5 tupoksinya. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan
seluruh KPHP yang difasilitasi oleh Ditjen PHPL dapat dinyatakan beroperasional pada tahun itu
juga, tanpa harus menunggu tahun 2019. Hal ini terjadi karena, tidak jelasnya definisi terhadap
"beroperasinya KPHP", dan output apa yang harus dicapai pada akhir periode di tahun 2019.
Apabila kita kembali pada hasil telaahan Bappenas, dinyatakan bahwa dengan
beroperasinya KPHP secara mandiri, maka pengelolaan hutan secara lestari akan tercapai, dimana
fungsi hutan terkait dengan fungsi ekologi, produksi dan sosial dapat berjalan dengan baik.
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, maka dapat diambil beberapa hal yang diadopsi menjadi
indikator output beroperasinya KPHP yang terukur secara jelas, antara lain adalah :
1) KPHP beroperasi secara mandiri
Indikator yang dapat ditetapkan pada poin ini, antara lain adalah ;
- KPHP telah memiliki RPHJP dan RPHJPd yang telah disahkan
- KPHP telah melaksanakan tupoksinya sesuai dengan PP No. 6 Tahun 2007
- KPHP mampu melaksanakan > 75% kegiatan sesuai yang telah direncanakan dalam
RPHJP/RPHJPd yang disahkan setiap tahunnya.
- KPHP berbentuk PPK-BLUD atau terdapat Peraturan Daerah yang mengatur tentang
usaha yang dilakukan oleh KPHP
2) Pengelolaan hutan secara lestari
Indikator yang dapat ditetapkan pada poin ini adalah, KPHP yang bersangkutan telah dinilai
kinerja sesuai dengan Pedoman Penilaian Kinerja PHPL pada KPHP yang ditetapkan oleh Ditjen
PHPL, dan hasilnya dinyatakan "BAIK".

44 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


3) Manfaat ekologi
Indikator yang dapat ditetapkan pada poin ini, antara lain adalah :
- Luas lahan kritis di wilayah KPHP berkurang secara signifikan (> 50%) dibandingkan
dengan tahun 2015
- Berkurangnya jumlah kasus kebakaran hutan dan ilegal logging minimal > 50%
dibandingkan dengan jumlah kasus di tahun 2015
- Adanya rencana dan pelaksanaan di lapangan terkait dengan pengawetan sumber
daya alam hayati dan ekosistem di wilayah KPHP
- Terlaksananya kegiatan perlindungan hutan berbasis masyarakat, melalui
pembentukan dan pembinaan MPA (Masyarakat Peduli Api) dan MMP (Masyarakat
Mitra Polhut) pada setiap RPH di wilayah KPHP.
4) Manfaat produksi
Indikator yang dapat ditetapkan pada poin ini, antara lain adalah :
- KPHP memiliki setidaknya satu jenis komoditas yang diusahakan pada Wilayah
Tertentu KPHP, dan secara ekonomis layak diusahakan
- Adanya pemanfaatan hasil hutan kayu/HHBK/jasa lingkungan yang dikembangkan dan
diusahakan oleh KPHP atau melalui kemitraan dengan masyarakat atau swasta
- Adanya PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang dipungut dan disetorkan oleh
KPHP yang berasal dari pemanfaatan hutan, baik yang diusahakan sendiri oleh KPH
maupun yang dipungut melalui kemitraan dengan masyarakat atau swasta
5) Manfaat sosial
Indikator yang dapat ditetapkan pada poin ini, antara lain adalah :
- Adanya kemitraan dengan masyarakat terkait dengan pemanfaatan hutan
- Terlaksananya pengembangan kelembagaan masyarakat atau kegiatan lain dalam
rangka resolusi konflik di wilayah KPHP
- Meningkatnya kesejahteraan masyarakat mitra KPHP, yang dibuktikan dengan
meningkatnya pendapatan per kapita dibandingkan dengan tahun 2015
- Berkurangnya angka pengangguran di wilayah KPHP
- Adanya perubahan persepsi masyarakat akan kawasan hutan, atau adanya pengakuan
masyarakat akan kawasan hutan, terutama bagi masyarakat yang berada di dalam
wilayah KPHP

45 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


Adanya program prioritas nasional, selain mempertajam sasaran pembangunan kepada
masyarakat, juga lebih mengarahkan pada tujuan yang lebih jelas. Namun di sisi lain, tanpa adanya
revisi terhadap Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengacu
RPJMN Bappenas (yang hingga saat ini masih berlaku), maka akan terjadi ketimpangan tujuan dan
sasaran dengan ketidakjelasan IKK yang akan dicapai pada akhir periode.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, masih terdapat kemungkinan adanya tumpang tindih
program antar kementerian dan antara pemerintah pusat dan daerah, karena banyaknya program
sejenis dan sasaran yang sama. Selain itu kerancuan dalam penetapan target, sasaran, output,
outcome dan penentuan indikator pencapaian dapat menyulitkan dalam penentuan tingkat
keberhasilan program di masa mendatang.

46 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


7. REKOMENDASI
7.1. KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan sebagaimana diuraikan
pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut :
1) Keberadaan KPHP di Provinsi Kalsel hingga tahun 2015 belum dapat menjamin kelestarian
hutan produksi berdasarkan skema penilaian kinerja PHPL untuk KPHP yang diterbitkan oleh
Ditjen PHPL.
2) Kelembagaan KPH telah memenuhi persyaratan sebagai Good Governance, meskipun dalam
implementasinya belum berjalan secara optimal.
3) Terdapat kemungkinan adanya tumpang tindih program antar kementerian dan antara
pemerintah pusat dan daerah, karena banyaknya program sejenis dan sasaran yang sama, serta
adanya kerancuan dalam penetapan target, sasaran, output, outcome dan penentuan indikator
pencapaian dapat menyulitkan dalam penentuan tingkat keberhasilan program di masa
mendatang.

7.2. REKOMENDASI
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan terkait dengan kesimpulan di atas, antara lain
sebagai berikut :
1) Peningkatan kinerja PHPL oleh KPHP maupun pemangku kepentingan lainnya, dengan cara
melengkapi dokumentasi yang meliputi data dan informasi terkait dengan aspek ekologi dan
sosial. Koordinasi dan sinergitas antara KPHP dengan instansi terkait serta dengan pemangku
kepentingan lainnya (masyarakat dan swasta) diperlukan agar pelaksanaan pengelolaan hutan
produksi terarah dan terdokumentasi dengan baik. Hal yang paling penting bagi KPHP adalah,
penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas SDM yang ada di KPHP.
2) Penguatan dan pengembangan kelembagaan KPH melalui intervensi kebijakan dan anggaran
agar KPH dapat beroperasional secara optimal. Dukungan penuh dari Pemerintah Daerah
sangat penting dan mutlak dilakukan yang meliputi fasilitasi koordinasi dan sinergitas program
dan kegiatan di daerah. Pemenuhan jumlah dan peningkatan SDM KPHP sangat diperlukan agar
pengelolaan hutan lestari dapat berjalan dengan optimal.
3) Perlunya koordinasi dan sinergitas program antar kementerian dan antara pemerintah pusat
dan daerah, serta leading sektor di bidang pembangunan desa dan kehutanan, sehingga
kemungkinan terjadinya tumpang tindih program dapat diminimalisir.

47 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari


DAFTAR ACUAN

1. Alwi Hasyim Batubara, 2006, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah, Jurnal Analisis
Administrasi dan Kebijakan, Vol. 3, No. 1, Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Basah Hernowo dan Sulistya Ekawati, 2014, Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) :
Langkah Awal Menuju Kemandirian, PT. Kanisius, Jakarta.
3. Basah Hernowo, 2013, Program dan Arah Pembangunan (RPJM) Kehutanan, Makalah Rakornis
Pembangunan Kehutanan Balitbang Kemenhut, Bandung.
4. Basah Hernowo, 2014, Desain KPH dan Arah Perencanaan Pembangunan Hutan, Makalah Semiloka
Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia, Bappenas.
5. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, 2015, Perdirjen PHPL Nomor P.11/PHPL-
SET/2015 tentang Rencana Strategis Ditjen PHPL Tahun 2015 - 2019.
6. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, 2016, Perdirjen PHPL Nomor P.01/PHPL-
SET/2016 tentang Standar Pengukuran IKK dan IKP Ditjen PHPL tahun 2015-2019.
7. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, 2016, Surat Keputusan Nomor Dirjen PHPL
Nomor SK2/PHPL-KPHP/2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
(PHPL) pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Gularaya, KPHP Model
Batulanteh dan KPHP Model Gunung Sinopa Tahun 2016.
8. I Nyoman Nurjaya, Dr., SH., Mhum., 2005, Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia, Jurnal
Ilmiah, Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, Fakultas Hukum dan Program Studi Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
9. Kementerian Kehutanan, 2013, Permenhut Nomor P.47/menhut-II/2013 tentang Pedoman, Kriteria dan
Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah Tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.
10. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015, PermenLHK Nomor P. Tentang Rencana Strategis
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 - 2019.
11. Nurtjahjawilasa, dkk, 2013, Modul : Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan
Implementasinya (Sustainable Forest Management/SFM), Program Terestrial The Nature
Conservancy Indonesia, Jakarta
12. Putu Oka Ngakan, dkk, 2008, Menerawang Kesatuan Pengelolaan Hutan di Era Otonomi Daerah,
Goverment Brief, Forest and Governance Programme, CIFOR, Jakarta.
13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
14. Wandojo Siswanto, dkk, 2014, Background Study RPJMN Kehutanan 2-15 - 2019, Final Report, JICA -
Bappenas, Jakarta

48 Tri Joko Pitoyo, S.Hut, MP | KPH, Solusi Pengelolaan Hutan Lestari

Anda mungkin juga menyukai