2018
“Peran Mahasiswa dalam Optimalisasi Potensi Lokal Menuju Indonesia Emas 2045”
DISUSUN OLEH:
JOSHUA 02011281621246
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2018
M-PTSP UNTUK PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU
DI PROVINSI SUMATERA SELATAN
Joshua
Universitas Sriwijaya
liejoshua16@gmail.com
Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan alam
yang tak ternilai harganya dan wajib disyukuri. 1 Hutan Indonesia merupakan salah
satu paru-paru dunia yang menyumbang oksigen untuk kehidupan makhluk hidup. 2
Menurut pasal 1 angka (1) UU RI No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara
yang satu dan yang lainnya. 3
Hutan memiliki ragam fungsi dan manfaat untuk kehidupan manusia. Jika kita
telaah dari Pasal 6 ayat (1) UU RI No. 41 Tahun 1999, maka kita akan mengetahui
bahwa hutan memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi koservasi, fungsi lindung, dan fungsi
produksi.4 Hutan juga memiliki banyak manfaat untuk kita semua, seperti merupakan
paru-paru dunia, menghasilkan oksigen bagi kehidupan, menampung air hujan, dan
semacamnya. 5
1
Fandi Satria, Lego Karjoko, dan I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Penerapan Hukum
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan di
Provinsi Riau”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi. Vol. 6 No. 2, 2018, hlm. 261.
2
Luluk Dita Shafitri, Yudo Prasetyo, dan Hani’ah. “Analisis Deforestasi Hutan Di Provinsi Riau
dengan Metode Polarimetrik dalam Pengindraan Jauh “, Jurnal Geodesi Undip. Vol. 7 No. 1, 2018,
hlm. 213.
3
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
4
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
5
P Julius F Nagel, “Pelestarian Hutan dalam Hubungannya dengan Lingkungan dan Potensi
Ekonomi”, Jurnal Proceeding Pesat. Vol. 4, 2011, hlm. E-11.
1
terdapat 1.122.000 ha luas tutupan hutan di Sumatera Selatan pada periode tahun
2000, namun pada tahun 2013 luas tutupan hutan hanya tersisa 863.000 ha. 6 Ini
berarti dalam waktu 13 tahun saja, Sumatera Selatan kehilangan 259.000 ha atau
sekitar 23,08%. Sebagai perbandingan, 259.000 ha tersebut lebih dari 3,5 kali luas
negara Singapura!
6
Forest Watch Indonesia, “Deforestasi: Potret Buruk Tata Kelola Hutan”, Forest Watch
Indonesia, diakses dari http://fwi.or.idwp-contentuploads/201408/Deforestasi-Potret-Buruk-Tata-
Kelola-Hutan.pdf, pada tanggal 14 Juli 2018 pukul 19.55 wib.
7
Tempo, “Satu Juta Hektare Hutan di Sumatera Selatan Rusak”, Tempo, diakses dari
https://bisnis.tempo.co/read/790400/satu-juta-hektare-hutan-di-sumatera-selatan-rusak, pada
tanggal 14 Juli 2018 pukul 20.15 wib.
2
Jika mengutip hasil riset Balai Penelitian Kehutanan Palembang dalam Badan
Lingkungan Hidup dan Inovasi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, hasil
hutan kayu dari ekosistem hutan hanya sebesar 10%, sedangkan sebagian besar (90%)
hasil lain berupa HHBK.8 Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil hutan
yang dapat dimanfaatkan oleh manusia yang berasal dari hutan berupa buah-buahan,
getah, daun, jamur, dan hasil lainnya selain kayu. 9 Melihat potensi besar dari
pemanfaatan HHBK tersebut, membuat kita harus memanfaatkan dengan baik potensi
HHBK yang ada. Pengembangan HHBK perlu direncanakan untuk meningkatkan
pendapatan alternatif masyarakat.10 Maka berdasarkan atas hal tersebut, semestinya
kita mengubah paradigma dalam mengelola hutan dari yang sekedar mengeksploitasi
kayu yang ada menjadi mendiversifikasikan hasil hutan berdasarkan HHBK yang
tersedia.
Untuk mengelola HHBK dari hutan yang ada, kita harus memulainya dari
pemahaman tentang konsep perhutanan sosial. Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, perhutanan sosial adalah sistem
pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan
hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum
adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan
lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan
Hutan.11 Program ini memiliki berbagai skema yang memiliki inti yang masih sama.
8
Badan Lingkungan Hidup dan Inovasi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,
“Rencana Penelitian Integratif (RPI) Tahun 2010-2014 Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Non FEM
(Food Energy, Medicine)”, Forda Mof, diakses dari http://www.forda-
mof.org/files/RPI_13_Pengelolaan _HHBK_Non_FEM.pdf, pada 15 Juli pukul 12.18 wib.
9
Desi Indrasari, Skripsi: “Pengembangan Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh Kelompok
Sadar Hutan Lestari Wana Agung di Register 22 Way Wata Kabupaten Lampung Tengah” (Bandar
Lampung: Universitas Lampung, 2016), hlm. 2.
10
Jacobson MG, Shiba PK. 2012. NTFP income contribution to household economy and
related socio-economic factors: Lessons from Bangladesh. For Pol Econ 14: 136-142.
11
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016
3
Skema yang diusung dalam program ini adalah Hutan Desa (HD), Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), Hutan Adat (HA),
dan Kemitraan Kehutanan.12
i. Hutan Desa, merupakan hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Melalui regulasi ini, kita sudah mendapatkan bahwa telah ada dasar hukum yang jelas
dan pasti bagi kelompok masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan. Hal ini barang
tentu menjadi sebuah dasar atas pemanfaatan HHBK.
12
Tomi Ardiansyah, “Perhutanan Sosial: Pengertian, Skema, PIAPS, dan Implementasi”,
Forester Act, diakses dari foresteract.com/perhutanan-sosial/, pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 10.40.
13
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016
4
Namun ketika kita membandingkan antara das sollen (yang seharusnya)
dengan das sein (yang senyatanya), kita akan selalu melihat adanya distorsi antara
keduanya. Fakta di lapangan menunjukkan adanya tumpang tindih perizinan dengan
izin hutan lindung maupun masyarakat yang tidak bisa mendaftar karena terbentur
masalah birokrasi dan administrasi. Hal ini terjadi pada Kelompok Pengelola Hutan
Desa (KPHD) Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Hulu, Kabupaten
Tanjungjabung Timur yang kesulitan memproses pengajuan hak pengelolaan hutan
desa (HPHD) karena ternyata hutan yang ingin mereka kelola termasuk dalam
Kawasan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh. 14
Kita harus menyadari bahwa untuk memanfaatkan HHBK tidak perlu harus
mengurangi kuantitas maupun kualitas hutan, maka itu harus ada sebuah inisiasi
untuk membentuk suatu perizinan khusus HHBK. Pemanfaatan HHBK bukanlah
suatu upaya eksploitasi hutan dengan cara menebang pohon-pohon yang ada di hutan,
namun cukup dalam bentuk pengambilan jamur, buah-buahan, atau menanam
tumbuhan lain dengan sistem tumpang sari. Hal ini tentunya tidak akan
mengakibatkan kerusakan hutan sebagaimana yang terjadi dalam perambahan hutan.
Lalu akan timbul suatu pertanyaan: Apakah mungkin bagi orang sekitar hutan
yang sangat minim akses infrastruktur dan informasi dapat melakukan suatu proses
perizinan yang biasa dilakukan di kantor-kantor pemerintahan? Jawabannya bisa!
Tentunya hal ini dilakukan dengan menggunakan dua metode yang dikombinasikan,
yaitu Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Kantor Keliling.
14
Dodi Saputra, “WARSI: Tumpang Tindih Kawasan Hambat Perhutanan Sosial”, Antara
Jambi, diakses dari jambi.antaranews.com/berita/32543/warsi-tumpang-tindih-kawasan-hambat-
perhutanan-sosial , pada tanggal 15 Juli 2018 pukul 20.10 wib.
5
pelayanan melalui satu pintu.15 Namun kekurangan dari perpres ini adalah hanya
mengatur PTSP dalam lingkup pelayanan penanaman modal oleh investor, hal ini
dapat terlihat dari pasal 6 (enam) perpres tersebut.
Kekurangan lain dari proses perizinan ini adalah yang belum bisa diakses
dengan mudah oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat hukum adat.16 Hal ini
dikarenakan keterbatasannya akses, informasi, maupun infrastruktur yang belum bisa
diakses masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah pelosok sekitar hutan. Hal ini
membuat jalannya proses perizinan menjadi sangat lambat atau bahkan cenderung
stagnan. Maka dari itu tentu saja harus ada pelayanan bergerak atau mobile agar dapat
melayani setiap masyarakat yang ada.
15
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu
16
Ady TD Achmad “Ada Kendala dalam Pelaksanaan Perhutanan Sosial”, Hukum Online,
diakses dari www.hukumonline.com/berita/baca/It59cdb7caef033/ada-kendala-dalam-pelaksanaan-
perhutanan-sosial, pada tanggal 16 Juli 2018 pukul 21.15
6
LAMPIRAN
SKEMA
7
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
Shafitri, Luluk D., Prasetyo, Yudo. Hani’ah, 2018. Analisis Deforestasi Hutan Di
Provinsi Riau Dengan Metode Polarimetrik Dalam Pengindraan Jauh.
Jurnal Geodesi Undip. 7(1): 213.
PRODUK HUKUM
Presiden Republik Indonesia. 2014. Peraturan Presiden No. 97 tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Jakarta.
8
ONLINE
Achmad, Ady TD. 2017. Ada Kendala dalam Pelaksanaan Perhutanan Sosial.
[Online] URL:
www.hukumonline.com/berita/baca/It59cdb7caef033/ada-kendala-dalam-
pelaksanaan- perhutanan-sosial. Diakses pada tanggal 16 Juli 2018.
Saputra, Dodi. 2017. WARSI: Tumpang Tindih Kawasan Hambat Perhutanan Sosial.
[Online] URL: jambi.antaranews.com/berita/32543/warsi-tumpang-
tindih-kawasan-hambat-perhutanan- sosial. Diakses pada tanggal 15 Juli
2018.
Tempo. 2016. Satu Juta Hektare Hutan di Sumatera Selatan Rusak. [Online] URL:
https://bisnis.tempo.co/read/790400/satu-juta-hektare-hutan-di-sumatera-
selatan-rusak. Diakses pada hari pada tanggal 14 Juli 2018.
Watch Indonesia, Forest. 2014. Deforestasi: Potret Buruk Tata Kelola Hutan.
[Online] URL: http//:fwi.or.idwp-contentuploads/201408/Deforestasi-
Potret-Buruk-Tata-Kelola-Hutan.pdf. Diakses pada hari Sabtu tanggal
14 Juli 2018.
SKRIPSI