Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN KEHUTANAN INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING : Ir.Iskandar AM.,M.Si

NAMA KELOMPOK :

Julio Ropa Ansen G1011211311

Evi Agreiyani G1011211038

Umi Kholifah G1011211024

Delanika Aprilia G1011211378

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2023
1. Pengelolaan hutan terhadap lingkungan

Pengelolaan berarti ‘hak untuk mengatur pola pemakaian sendiri atau mengalihkan sumber
daya’ (Agrawal dan Ostrom 2001: 489). Pengelolaan dipahami sebagai sekumpulan keputusan,
penerapan, dan konsep yang melibatkan pembuat keputusan di luar pemanfaatan langsung
sumber daya; jadi, perencanaan untuk pemanfaatan mendatang. Pengelolaan hutan tidak
berurusan dengan produk atau jasa tertentu. Meskipun dalam peristilahan teknis administrasi
hutan negara adalah ‘rencana pengelolaan hutan’ biasanya merujuk pada pengelolaan kayu
bulat (pembalakan), pengelolaan pada hakikatnya dapat saja untuk perlindungan (termasuk
perlindungan atau pemeliharaan tempat-tempat suci), reforestasi, hasil hutan nonkayu
(termasuk pembayaran jasa lingkungan, pariwisata, karbon), kayu atau untuk beragam barang
dan jasa pada waktu bersamaan; pengelolaan dapat saja mencakup bahan kebutuhan rumah
tangga sehari-hari atau untuk dijual. Mengalihkan hutan untuk penggunaan lain juga
merupakan keputusan pengelolaan.

UU No. 41/1999 dan PP No. 34/2002 menyebutkan pula bahwa bentuk pemanfaatan hutan
lindung terbatas pada pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan
hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dapat berupa
budidaya tanaman obat, perlebahan, penangkaran. Sedangkan pemanfaatan jasa lingkungan
adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi hutan lindung dengan tidak merusak
lingkungan seperti ekowisata, wisata olah raga tantangan, pemanfaatan air, dan perdagangan
karbon. Bentuk-bentuk pemanfaatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan daerah,
peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat sekitar hutan akan fungsi dan kelestarian
hutan lindung. Kebijakan Tentang Pengelolaan Hutan

Pengelolaan berarti ‘hak untuk mengatur pola pemakaian sendiri atau mengalihkan sumber
daya’ (Agrawal dan Ostrom 2001: 489). Pengelolaan dipahami sebagai sekumpulan keputusan,
penerapan, dan konsep yang melibatkan pembuat keputusan di luar pemanfaatan langsung
sumber daya; jadi, perencanaan untuk pemanfaatan mendatang. Pengelolaan hutan tidak
berurusan dengan produk atau jasa tertentu. Meskipun dalam peristilahan teknis administrasi
hutan negara adalah ‘rencana pengelolaan hutan’ biasanya merujuk pada pengelolaan kayu
bulat (pembalakan), pengelolaan pada hakikatnya dapat saja untuk perlindungan (termasuk
perlindungan atau pemeliharaan tempat-tempat suci), reforestasi, hasil hutan nonkayu
(termasuk pembayaran jasa lingkungan, pariwisata, karbon), kayu atau untuk beragam barang
dan jasa pada waktu bersamaan; pengelolaan dapat saja mencakup bahan kebutuhan rumah
tangga sehari-hari atau untuk dijual. Mengalihkan hutan untuk penggunaan lain juga
merupakan keputusan pengelolaan.Pengelolaan Hutan di Indonesia memiliki kebijakan yang
berbeda-beda tiap jenis hutannya. Pengelolaan hutan lindung berbeda dengan pengelolaan
hutan produksi, begitu juga yang lainnya. Sebelum kita masuk untuk mempelajari kebijakan
pengelolaannya, teman-teman harus paham tentang jenis jenis hutan. Teman teman bisa
memnbaca di UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2. RUU "Illegal Logging": "Pain Killer" sektor Kehutanan

Kasus RUU "Illegal Logging" merupakan sebuah contoh bagaimana Pemerintah


(Departemen Kehutanan) bereaksi atas "gejala penyakit" pengelolaan hutan di Indonesia, tanpa
menyentuh akar masalahnya. Memang benar bahwa Illegal logging sangat merugikan Negara
dan mengancam kelestarian hutan, tetapi yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana hal
tersebut bisa terjadi dan sedemikian parah. Dalam kasus ini, para pembuat RUU "Illegal
Logging" mengabaikan konflik tenurial kawasan hutan. Seolah-olah bahwa seluruh hutan di
Indonesia adalah hutan negara sehingga para pembuat RUU ini tidak memberikan rumusan
yang jelas, mana hasil hutan yang legal dan mana yang illegal. Secara implisit legaliti hasil
hutan menurut RUU ini adalah legaliti sebagaimana yang ditentukan oleh aturan positif
nasional diatas hutan yang dianggap seluruhnya sebagai hutan negara yang bebas konflik
tenurial. Akibatnya tentu masyarakat yang tenurial hutannya belum diakui, tetapi
memanfaatkan hutan sesuai dengan aturannya (adat) akan menjadi sasaran empuk RUU ini.
Begitu juga dengan masyarakat-masyarakat lokal yang tinggal dalam kawasan hutan yang
diklaim sebagai hutan negara.

Meskipun dalam UU no.41 tentang Kehutanan dijelaskan ada Hutan Hak/Milik, Hutan
Adat1 dan Hutan Negara, tetapi pada kenyataannya saat ini, penatabatasan hutan Negara
(gazettement) hanya baru tercapai 15% dari total klaim hutan Negara. Artinya basis klaim
pemerintah atas hutan negara sebenarnya hanya berlaku pada hutan yang 15%, yang sudah
tertata batasnya dengan jelas. Sementara itu, hutan adat nyaris tidak ada karena bertumpang
tindih dengan kawasan yang diklaim sebagai hutan negara. Karena kondisi dan sikap para
pembuat undang-undang (RUU Illegal Logging) yang mengingkari kenyataan adanya konflik
tenurial justru akan semakin meningkatkan konflik yang terjadi. Pada akhirnya yang menjadi
korban adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, yang hidupnya memang
bergantung pada hutan.
Implikasi yang lain adalah pelaku lapangan (penebang) adalah pelaku yang bisa dipastikan
akan banyak tertangkap dalam upaya penegakan hukum ini. Jika setiap proses penangkapan
pelaku penebangan (yang dianggap illegal) kemudian disidangkan, dan untuk proses
persidangan disyaratkan adanya hakim adhoc (salah satunya berlatarbelakang kehutanan) maka
bisa dibayangkan kerumitan dan ketidak efisienan sistem, prosedur dan proses hukum dan
peradilan di Indonesia khususnya untuk sektor Kehutanan. Berkaca dari kondisi sekarang,
persoalan pembentukan hakim adhoc pun bukan perkara mudah dan kenyataannya justru
memunculkan konflik dalam sistem peradilan dan hukum di Indonesia.

3. Perhutanan sosial

Akses legal pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu
Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga
desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Tanaman
Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Hutan Adat
(HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat.
Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara masyarakat
setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin
pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.

Pelaku Perhutanan Sosial adalah kesatuan masyarakat secara sosial yang terdiri dari warga
Negara Republik Indonesia, yang tinggal di kawasan hutan, atau di dalam kawasan hutan
negara, yang keabsahannya dibuktikan lewat Kartu Tanda Penduduk, dan memiliki komunitas
sosial berupa riwayat penggarapan kawasan hutan dan tergantung pada hutan, dan aktivitasnya
dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Perhutanan Sosial mulai di dengungkan sejak tahun 1999, keadaan Indonesia yang masih
gamang pasca reformasi, menjadikan agenda besar ini kurang diperhatikan. Pada tahun 2007
program Perhutanan Sosial ini mulai dilaksanakan, namun selama lebih kurang tujuh tahun
hingga tahun 2014, program ini berjalan tersendat. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan mencatat selama periode 2007-2014, hutan yang terjangkau akses kelola
masyarakat hanya seluas 449.104,23 Ha. Untuk itu setelah periode tersebut dilakukan
percepatan-percepatan, dan selama kurang lebih tiga tahun masa Kabinet Kerja, telah tercatat
seluas 604.373,26 Ha kawasan hutan, legal membuka akses untuk dikelola oleh masyarakat.

Niatan menyejahterakan masyarakat Indonesia ini, bukan tidak memiliiki tantangan.


Jauhnya masyarakat dari akses infrastruktur menjadi salah satu kendala terlaksananya
verifikasi kelompok masyarakat, dan sering kali menjadi hal yang membuat terlambatnya
sosialisasi program ini. Dalam pendampingan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bekerjasama dengan multi pihak, termasuk LSM, dan program ini tentu saja membutuhkan
banyak pendamping yang turun ke lapangan, yang memberikan pengetahuan dan
pengidentifikasian potensi kawasan hutan, pengembangan usaha, serta pemasaran hasil usaha
masyarakat, yang sering kita sebut sebagai akses ekonomi,hingga penguatan legal, sehingga
masyarakat mampu mengadvokasi dirinya sendiri.

4. Kebijakan perhutanan sosial

Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan di kawasan
hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau
masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya,

keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan. (PermenLHK No 83/2016). Nilai-nilai yang mengemuka dalam program Hutan
Sosial ini utamanya meliputi; pemanfaatan untuk kesejahteraan (Hasil Hutan Kayu, Hasil
Hutan Bukan Kayu, Jasa Lingkungan), partisipasi masyarakat dan kapasitas. Kemudian
produktivitas rakyat, menjaga lingkungan dan fungsi alam, serta jiwa konservasi dan
perlindungan hutan, suksesi, keseimbangan/ homeostasis dan Kesadaran untuk preservasi,
pemulihan dan rehabilitasi.

Dari target akses seluas 12,7 -13,8 juta ha ideal, maka untuk periode 2015-2019
diproyeksikan target penyelesaian sekitar 3,5 juta ha dan diproyeksikan selanjutnya pada 2020-
2024 seluas 5 juta ha. Realisasi hutan sosial per 4 Oktober seluas 2.010.156, 81 juta ha yang
dialokasikan sekitar 477.135 KK. Selama periode 2007-2014 telah dikeluarkan izin seluas
449.104 ha, sedangkan pada periode 4 tahun Kabinet Kerja, telah dikeluarkan izin seluas
1.561.053 Ha (sekitar 4 kali lipat sebelum Kabinet Kerja). Diperkirakan telah membuka juta
kesempatan kerja sekitar 1,4 juta orang, dengan kegiatan yang mencakup kegiatan
menjembatani pohon, mengelola atau memanfaatkan atau memproduksi Hasil Hutan Kayu dan
Hasil Hutan Bukan Kayu (Madu, Tumbuhan Obat, Rotan, Tanaman Hias, dll), melakukan
agroforestry ( spesies pohon multi guna, kopi, buah, empon dan rempah, komoditas pertanian
lainnya), jasa lingkungan (wisata alam, pemanfaatan udara dan karbon, beternak
(Sylvopastura), usaha perikanan (Sylvofishery).Sebagai gambaran, peningkatan ekonomi
masyarakat hutan sosial dengan pendapatan panen udang/ha/panen semula 7,3 juta menjadi
292 juta (contoh di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, pada panen 22 Juli 2018).
Ringkasnya, selama 4 tahun ini dalam periode Presiden Jokowi dengan konsep ekonomi rakyat,
pada lingkup KLHK sangat jelas hal-hal yang muncul dan di antaranya baru pertama kali
dilakukan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut; Hutan Sosial sebagai kebijakan dengan
konsep baru yang utuh dalam prinsip ekonomi kerakyatan dan pemerataan, dan sejalan dengan
itu untuk pertama kalinya Hutan Adat diakui oleh negara, sejak Indonesia merdeka.

5. Kebijakan hutan terhadap jasa lingkungan

Kawasan hutan memiliki jasa lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai sistem
penyangga kehidupan, namun juga dapat dioptimalkan manfaatnya untuk menyokong
perekonomian Indonesia. Jasa lingkungan hutan sebagai provisioning (penyediaan), regulating
(regulasi iklim, air, dan tanah), cultural (pendidikan dan rekreasi), maupun supporting
(produksi primer dan siklus hara) dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tentunya dengan
pengelolaan secara berkelanjutan.Berdasarkan Rewards For Use Of And Shared Investment In
Pro-Poor Environmental Service, jasa lingkungan dijabarkan sebagai penyediaan, pengaturan,
penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang
bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Hal ini didukung dengan adanya pembuktiandari
berbadai riset bahwa hutan memiliki fungsi ekologi juga nilai ekonomi.Kawasan konservasi
selain menyediakan berbagai produk hutan berupa kayu, juga menyediakan produk non kayu
sekaligus menyediakan kemanfaatan untuk kehidupan masyarakat. Salah satunya, pemanfaatan
jasa ekosistem di kawasan konservasi yang turut berdampak bagi ekonomi masyarakat baik
dalam bentuk penyerapan tenaga kerja maupun perputaran nilai ekonomi masyarakat di sekitar
kawasan.Tercatat sampai dengan tahun 2022, terdapat 97 unit Perijinan Berusaha – Penyediaan
Sarana Wisata Alam (PB-PSWA) definitif dengan luas 17.596,99 Ha yang menyerap 1.900
tenaga kerja dan 81 unit Perijinan Berusaha – Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA)
definitif yang tersebar di berbagai kawasan konservasi yang melibatkan sedikitnya 2.068
tenaga kerja tetap dan tenaga kerja lepas. Realisasi investasi dari perijinan berusaha ini sebesar
Rp391,4 Miliar atau 6,7% dari target investasi sebesar Rp5,9 Triliun pada tahun 2022.Selain
pemanfaatan jasa wisata alam, kawasan konservasi juga memberikan manfaat berupa jasa
lingkungan air dan panas bumi. Pemanfaatan air meliputi massa air (untuk air minum, rumah
tangga maupun industri) dan energi air untuk tenaga listrik. Potensi air di kawasan konservasi
mencapat 3,7 juta liter/detik dari 1.100 sumber air. Tercatat sampai tahun 2022, terdapat 294
Izin Pemanfaatan Massa Air yang terdiri dari 266 IPA dan 28 IUPA dengan debit yang
dimanfaatkan sebesar 7.408,7 L/detik dari luas pemanfaatan 26,64 Hektar dan 69 Izin
Pemanfaatan Energi Air yang terdiri dari 62 IPEA dan 7 IUPEA dengan debit yang
dimanfaatkan sebesar 68.537,8 L/detik dari luas pemanfaatan 96,96 Hektar dan estimasi
kapasitas (PLTM) mikrohidro dan minihidro yang terpasang sebesar 38,738 kW.Nilai
kemanfaatan jasa lingkungan air memberikan pasokan air bersih bagi masyarakat sebanyak
175.309 Kepala Keluarga, memberikan suplai tenaga listrik kepada 22.236 Kepala Keluarga,
menyerap tenaga kerja sebanyak 1.554 orang, dan mendukung pengembangan
industri.Kontribusi pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dari 4 pemegang IPJLPB
eksisting berupa 883 MW listrik kapasitas terpasang pada 3 kawasan konservasi (TN Gunung
Halimun Salak, TWA Kamojang dan TWA Gunung Papandayan) dan memasok listrik untuk
sekitar 1 juta rumah tangga (900 watt/rumah) pada jaringan listrik Jawa, Madura dan Bali.
Tenaga kerja yang diserap sebanyak 381 orang pekerja tetap dan 1.588 orang pekerja
kontrak/outsourching. Kegiatan ini mengalokasikan dana CSR sebesar ± 5 Miliar per tahun
untuk mendukung pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, untuk mendukung
konservasi dan perlindungan kawasan konservasi di 3 (tiga) kawasan konservasi juga
dialokasikan anggaran sebesar 2,5 miliar per tahun sebagai salah satu pemenuhan kewajiban
pemegang IPJLPB terhadap kawasan.

Anda mungkin juga menyukai