Anda di halaman 1dari 69

1

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Rancangan Undang-Undang Republik Indonesai Tahun 2021

tentang Masyarakat adat, dengan mengingat Pasal 18 Ayat (2), pasal 20, pasal

21, pasal 281 ayat (3), UNdang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; Negara mengakui tentang keberadaan masyarakat adat,

menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta menghormati identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Masyarakat hukum adat juga merupakan kesatuan-kesatuan masyarakat yang

mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang

mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan

hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Hal

tersebut juga diperkuat oleh pendapat Ade Saptomo yang menyatakan bahwa

masyarakat adat adalah suatu kesatuan masyarakat bersifat otonom, yaitu

mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi, dsb). la lahir

dari dan berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri.

Namun, pada kenyataannya, saat ini hak masyarakat hukum adat dan

masyarakat tradisional belum sepenuhnya terlindungi yang mengakibatkan

keberadaannya terpinggirkan, serta munculnya konflik sosial dan konflik agraria

1
2

di wilayah adat sehingga perlu dilakukan upaya pengakuan, perlindungan, dan

pemberdayaan. Pengakuan adalah bentuk penerimaan dan penghormatan atas

keberadaan Masyarakat Adat beserta seluruh hak dan identitas yang melekat

padanya. Keberadaan Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat di Kabupaten

Lebak masih ada dan menjadi bagian dari komponen masyarakat yang harus

diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara (diakui).

Di Kabupaten Lebak, tepatnya di Kecamatan Sobang terdapat dua

kasepuhan yaitu Kasepuhan Cirompang dan Kasepuhan Pasir Eurih. Kedua

kasepuhan itu memiliki tradisi untuk menjaga alam dan isinya. Keberadaannya

harus diakui karena memiliki peranan strategis dalam menjaga alam dalam hal

ini hutan adat agar tetap lestari.

Pengakuan yang dimaksud adalah bahwa masyarakat hukum adat diakui

dan dilindungi sebagai subjek hukum dan hak-hak tradisionalnya. Secara

faktual, wujud pengakuan tersebut ditemukan dalam berbagai kegiatan

pemerintahan terutama aktivitas yang berkaitan dengan keberadaan masyarakat

hukum adat, termasuk hak masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan sumber

daya alam dalam hal pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat yang

optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Nomor P.17/MENLHK/KUM.1/8/2020 Tentang Hutaan Adat dan Hutan Hak,

Bahwa perlu menetapkan praturan terhadap pelestarian hutan adat dan adanya

perbedaan antara hutan adat dan hutan hak.


3

Peranan masyarakat adat dalam pengurusan hutan masih belum

mendapatkan perhatian yang serius, padahal masyarakat adat berhak mengambil

hasil hutan dan mengelola hutan berdasarkan hukum adat. Selama tidak

bertentangan dengan perturan perundang-undangan (Henry dan Rhiti, 2015).

Keadaan hutan yang makin rusak karena perambahan orang yang tidak

bertanggung jawab, merupakan bukti belum berjalannya kerja sama antara

pemerintah dan masyarakat hukum adat.

Peran serta masyarakat hukum adat dalam pengelolaan, pemeliharaan

kelestarian hutan dengan melakukan kaji ulang, mengarahkan pola pengaturan

perlindungan hutan dengan cara mengadopsi nilai hukum lokal (Yamani, 2011).

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan

Kehutanan, hutan adat masuk dalam salah satu skema dari lima skema kegiatan

perhutanan sosial. Sebagai salah satu kegiatan selain kegiatan TORA (tanah

obyek reforma agraria) dalam program Reforma Agraria, kegiatan perhutanan

sosial telah dilaksanakan sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam

periode pertama (2014-2019) hingga masa pemerintahan kedua (2019-2024)

atau telah berlangsung selama delapan tahun lebih.

Hutan adat merupakan status kawasan hutan, pengertian hutan adat

adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Untuk

mengakui, melindungi dan memberdayakan hutan adat, maka Pemerintah

Daerah Kabupaten Lebak membuat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun

2015 tentang Pengakuan, Perlindungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum


4

Adat Kasepuhan. Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa pengaturan dan

pengukuhan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat harus diberikan

kepastian hukum yang berkeadilan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat

tersebut.

Mayarakat adat memiliki kedudukan dalam pengelolaan hutan.

Sebagaimana yang tertera dalam hukum adat bahwa kedudukan yang dimiliki

oleh masyarakat adat ialah sebagai pemelihara, pengelola dan penjaga hutan

adat, hal ini sangat memudahkan bagi masyarakat adat untuk lebih

mengingkatkan penghasilan masyarakat adat tersebut. Kedudukan ini awalnya

hanya diperuntukan pada kepemilikan tanah masing-masing namun, pada saat

hutan adat sudah di tetapkan maka kedudukan ini berlaku pada masyarakat adat

yang menggarap dan memelihara hutan adat (Arvita Hastarini & Gusti Fadhil

Fithrian Luthfan, 2022).

Dalam UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah untuk

melindungi hak setiap warga negara, salah satunya adalah melalui perlindungan

terhadap hak masyarakat hukum adat dalam mendiami hutan adat. Isu hukum

dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan masyarakat hukum adat

dalam mendiami hutan adat dan bagaimana perlindungan terhadap hak

konstitusional masyarakat hutan adat oleh pemerintah (Education & Advice,

2018). Hutan adat menurut Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 1

“Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
5

adat.” Dari definisi ini maka dapat disimpulkan bahwa hutan adat adalah hutan

negara dimana hutan adat merupakan hutan yang tidak dibebani pada hak.

Pengkategorian hukum adat sebagai hukum negara secara hukum telah

membuat hutan adat yang telah dikuasai secara turun temurun akan menghilang

hak dan pengelolaannya oleh masyarakat hukum adat. Akibat hal ini muncul

berbagai konflik hutan baik secara vertikal yang melibatkan masyarakat hukum

adat dengan perorangan (masyarakat pada umumnya), masyarakat hukum adat

dengan perusahaan, dan bahkan antar masyarakat hukum adat itu sendiri, selain

itu konflik hutan juga terjadi secara horizontal yang melibatkan masyarakat

hukum adat dengan pemerintah (Pusat dan daerah). Dalam konteks pengeloaan

dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat tidak terlepas

dari peran negara yang mengatur pengelolaan tersebut sebagaimana diatur dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang- undang Dasar 1945 yang menegaskan kedudukan

negara sebagai Badan Hukum yang mengatur peruntukan dan pengelolaan hutan

oleh warga negara termasuk masyarakat hukum adat. Melalui kewenangan

Hak Menguasai Negara ini, maka tujuan yang ingin dicapai adalah sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat, dalam hal yang lebih kecil yaitu

masyarakat hukum adat.

Hutan adat bagi sebagian masyarakat hukum adat Indonesia merupakan

suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam Undang–undang Kehutanan

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimana dalam Undang-Undang

tersebut menjelaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan negara yang berada pada
6

tanah yang dibebabani hak atas tanah (Muhlis,.2020). Hutan juga termasuk

sebagai modal pembangunan nasional mamiliki manfaat yang nyata bagi

kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial

budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus

diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi

kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan

datang.

Sebagai Negara yang sedang melakukan transformasi hukum menuju

pada sistem hukum tertulis, Indonesia saat ini sedang mengupayakan suatu

proses unifikasi dari berbagai sistem hukum tidak tertulisnya yang terdapat dan

berlaku di beberapa bagian masyarakat di Indonesia. Salah satu pokok perhatian

dalam proses tersebut yaitu mengenai keberadaan hukum adat terutama untuk

bidang-bidang yang sensitif. Pengelolaan hutan yang bersifat konservatrif

meliputi dua kategori yaitu perlindungan serta pemanfaatan. Pengelolaan hutan

yang bersifat perlindungan merupakan tindakan proteksi guna mempertahankan

kelestarian hutan yang diwujudkan seperti dalam bentuk “hutan larangan” dan

sebagian menggunakan istilah “hutan adat”. Mekanisme pengelolaan hutan yang

diterapkan hanya berupa aktivitas perlindungan tanpa adanya bentuk

pemanfaatan secara langsung.

Pengelolaan semacam ini dilakukan oleh masyarakat pedesaan atas dasar

pentingnya melindungi hutan yang berfungsi sebagai penopang aktivitas

produksi mereka seperti mempertahankan sumber air bagi pengairan sawah-


7

sawah yang dikelola setiap tahunnya. Kawasan hutan yang menjadi sasaran

proteksi ini biasanya kawasan hutan alam yang berada di sekitar hulu sungai dan

di lereng bukit/gunung dimana disekitarnya merupakan bentangan sawah-sawah

masyarakat. Dalam pengelolaan hutan, masyarakat adat memiliki pengetahuan

secara turun-termurun dalam memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan

yang ada di sekitar tempat mereka tinggal seperti masyarakat Kasepuhan sudah

menerapkan pola pemanfaatan hutan yang sustainable, dengan menggunakan

sistem zonasi leuweung kolot, leuweung titipan leweng tutupan dan leuweung

bukaan. Komunitas masyarakat adat merupakan faktor pertama dan penentu bagi

hadirnya produk hukum pengakuan dan perlindungan hak.

Oleh karena itu, negara dituntut untuk bisa membuat peraturan yang jelas

mengenai pengelolaan dan ketentuan-ketentuan guna kejelasan didalam

jalannya pemeliharaan hutan dengan baik, tentunya dibutuhkan regulasi yang

mengatur tentang hutan adat. Konflik agraria terkait kawasan hutan adat ini

sebenarnya dipengaruhi oleh kekuatan struktur negara yang kenyataanya selalu

menekan otonomi masyarakat adat. Otonomi masyarakat adat seringkali harus

berhadapan dengan struktur negara yang jauh lebih kuat dari hukum masyarakat

adat tersebut, yaitu otonomi Pemerintah Daerah.

Keberadan Peraturan daerah menjadi satu satunya mekanisme pengakuan

eksistensi masyarakat adat merujuk pada kalimat pengukuhan keberadaan dan

hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dalam

ketentuan tersebut. Interpretasi pada bahasa undang-undang kehutanan secara


8

jelas menjadikan prasyarat Peraturan Daerah sebagai instrumen utama

pelaksanaan pengakuan masyarakat adat dan haknya dalam melakukan kegiatan

pengelolaan kawasan hutan. Hal ini menjadikan pemerintah daerah menjadi

faktor utama yang dapat menghambat sekaligus penentu pelaksanaan hak bagi

masyarakat adat dalam Undang-Undang Kehutanan itu sendiri.

Peraturan perundang-undangan memerintahkan penetapan masyarakat

hukum adat melalui produk hukum daerah. Hal ini dapat dilihat dari Undang

undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, misalnya

memberikan mandat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk

menerbitkan surat keputusan kepala daerah tentang pengakuan, perlindungan

masyarakat hukum adat dan wilayahnya. Selain itu, melalui Permendagri

Nomor 52 Tahun 2014 tentang pengakuan, perlindungan masyarakat hukum

adat sehingga peran pemerintah daerah dalam memberikan pengakuan dan

perlindungan terhadap masyarakat hukum adat menjadi lebih konkrit dengan

diterbitkannya surat keputusan kepala daerah tentang masyarakat hukum adat

dan wilayahnya (hutan adat) untuk kejelasan dari hak hutan adat serta mengatasi

konflik-konflik daerah mengenai hutan adat (Nugroho-Wahyu 2014). Namun

menurut Suardi (dalam jurnal Pratiwi et al., 2019) bahwa akan lebih lengkap

apabila peran dan fungsi kelembagaan ditingkatkan, karena lembaga tersebut

merupakan pemangku kepentingan yang bersentuhan secara langsung dan

memiliki hubungan ketergantungan yang kuat. Terkait dalam hubungan manusia


9

terutama masyarakat adat dengan alam terdapat kelembagaan adat yang

mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kedudukan

masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dan pemilik hak atas hutan adat.

Sedangkan perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah berupa

penjaminan kepastian hukum atas penguasaan hutan adat oleh masyarakat

hukum adat adalah dengan menghasilkan produk hukum daerah sebagai wujud

perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat. Pengakuan terhadap

masyarakat hukum adat dapat menjadi pedoman dalam perlindungan tentang

keberadaan masyarakat hukum adat. Bentuk pengakuan terhadap masyarakat

hukum adat oleh negara antara lain pemanfaatan sumber daya alam oleh

masyarakat adat dan pengelolaan hutan.

Hal ini tidak dapat lepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 terkait

dengan kedudukan negara sebagai badan hukum yang mengelola pemanfaatan

sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat tanpa terkecuali. Sehingga dengan adanya

Pasal 18B dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa masyarakat

hukum adat mempunyai hak dan kewenangan terhadap ulayat yang salah satu

contohnya adalah hukum adat. Kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Kinerja masyarakat dalam pengelolaan hutan adat memperlihatkan bahwa

hutan adat sangat menopang kesejahteraan masyarakat adat. Indonesia


10

merupakan negara dengan jumlah penduduk besar dengan beragam etnik.

Menurut sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesa sekitar 237,6

juta jiwa. Pada tahun yang sama juga menyebutkan jumlah Suku Bangsa di

Indonesia mencapai 1.340. Dari jumlah sebanyak itu, hanya 15 etnik yang

memiliki jumlah anggota lebih dari 1 juta jiwa. Selebihnya merupakan

kelompok etnik dengan jumlah anggota kurang dari 1 juta jiwa yang tersebar

di seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.

Masyarakat Kasepuhan adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya

menjalankan pola perilaku sosio-budaya tradisional yang mengacu pada

karakteristik Sunda pada abad ke 18. Berdasarkan hal tersebut di atas maka

proposal ini akan mengangkat judul skripsi yaitu Kedudukan Masyarakat Adat

Dalam Pengelolaan Hutan Adat Di Kesepuhan Cirompang. Adapun tujuannya

adalah untuk menguraikan dan menjelaskan tentang kedudukan masyarakat

dalam pengelolaan hutan adat di Kasepuhan Cirompang Desa Cirompang.

B. Fokus Dan Sub Fokus Penelitian

1. Fokus : Kedudukan masyarakat

Sub Fokus : Pola kedudukan dikasepuhan cirompang

2. Fokus : hutan adat

Sub fokus : Macam-macam hutan adat

Dengan fokus dan sub fokus yang jelas, penelitian tentang kedudukan

masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat di kasepuhan cirompang dapat

dilakukan dengan lebih terarah dan efektif.


11

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Hutan adat di Desa Cirompang Kecamatan Sobang

Kabupaten Lebak?

2. Bagaimana pengelolaan hutan adat di Kasepuhan Cirompang Kecamatan

Sobang Lebak?

3. Bagaimana pemanfaatan Hutan Adat Dikasepuhan Cirompabg Kecamatan

Sobang Lebak?

4. Bagaimana dampak pengelolaan Hutan Adat Terhadap Kehidupan Sosial-

Budaya di Kasepuhan Cirompang Kecamatan Sobang Lebak?

5. Bagaimana kedudukan masyarakat adat di Kasepuhan Cirompang dalam

pengelolaan hutana adat di Kasepuhan Cirompang Kecamatan Sobang?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Asal-Muasal adanya Hutan Adat di kasepuhan Cirompang Kecamatan

Sobang Kabupaten Lebak.

b. Pola yang diterapkan dalam pengelolaan Hutan Adat Cirompang Kecamatan

Sobang Kabupaten Lebak.

c. Pemanfaatan yang dilakukan di kasepuhan Cirompang Kecamatan Sobang

Lebak.

d. Dampak apakah yang timbul ketika adanya pengelolaan Hutan dat di

Kasepuhan Cirompang Kecamatan Sobang Lebak.


12

e. Penempatan kedudukan terhadap Masyarakat adat dalam Pengelolaan Hutan

adat di Kasepuhan Cirompang.

Pengelolaan hutan adat yang telah di terapkan oleh masyarakat adat

terkait hutan adat, Anggapan hutan adat adalah hutan negara bertentangan

dengan semangat pemberdayaan rakyat sebagai dimensi ketiga hukum

progresif. Istilah pemberdayaan bemakna meningkatkan ekspansi aset dan

kapasitas bagi masyarakat yang tidak mempunyai kekuatan (umumnya

adalah masyarakat miskin terbelakang) agar bisa mempengaruhi kebijakan

publik. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut adalah sebuah

konsep yang diupayakan untuk mendorong masyarakat hukum adat

mempunyai power dalam pengertian capacity dalam memanfaatkan hutan

adat.

E. Kegunaan Penelitian

Semangat pemberdayaan tidak menempatkan masyarakat hukum adat

dalam kondisi yang lemah dan statis, tetapi jsutru mendorong rakyat untuk

menjadi pelaku yang selalu dalam situasi dinamis dan berkekuatan. Dalam

bahasa relasi kekuasaan, mereka akan selalu mendorong dirinya sendiri untuk

menjadi bagian pengungkapan kuasa, medium kuasa dan bukan merupakan

titik-titik penerapan kuasa. Oleh sebab itu, pemisahan hutan adat dari hutan

negara menegaskan pembangunan power bagi masyarakat adat sebagai upaya

untuk membangun hak atau juga kekuasaan yang secara esensial tidak bersifat

menindas, tetapi sesuatu yang konstitutif dan memberdayakan.


13

Melalui tujuan hukum yang memberdayakan, putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) memberikan bargaining position bagi masyarakat hukum adat

untuk melakukan competition. Posisi yang berimbang ini akan mengantarkan

masyarakat hukum adat mempunyai akses mengelola dan memanfaatkan

potensi sumber daya alam yang berada di wilayahnya sebagai kesatuan

masyarakat hukum adat guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Masyarakat Adat

1. Kedudukan Masyarakat

Pola kedudukan yang diterapkan oleh kasepuhan adat cirompang pada

masyarakat dengan adanya sistem penerapan garap pada tanah hutan adat,

yang mana dibagi menjadi beberapa wilayah garapan dalam pengelolaan

hutan ini, masyarakat adat memiliki pengetahuan secara turun-termurun

dalam memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di

sekitar tempat mereka tinggal seperti masyarakat Kasepuhan sudah

menerapkan pola pemanfaatan hutan yang sustainable, dengan

menggunakan sistem zonasi leuweung kolot, leuweung titipan dan

leuweung bukaan. Komunitas masyarakat adat merupakan faktor pertama

dan penentu bagi hadirnya produk hukum pengakuan dan perlindungan hak.

Namun menurut Suardi (dalam jurnal Pratiwi et al., 2019) bahwa akan lebih

lengkap apabila peran dan fungsi kelembagaan ditingkatkan, karena

lembaga tersebut merupakan pemangku kepentingan yang bersentuhan

secara langsung dan memiliki hubungan ketergantungan yang kuat.

Terkait dalam hubungan manusia terutama masyarakat adat dengan

alam terdapat kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara

mereka dengan ekosistem hutannya sebagaimana tercantum pada Peraturan

Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8 Tahun 2015 tentang

14
15

Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat

Kasepuhan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa kedudukan

masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dan pemilik hak atas hutan

adat. Sedangkan perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah

berupa penjaminan kepastian hukum atas penguasaan hutan adat oleh

masyarakat hukum adat adalah dengan menghasilkan produk hukum daerah

sebagai wujud perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat dan air

bagi semua anggotanya. Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dapat

menjadi pedoman dalam perlindungan tentang keberadaan masyarakat

hukum adat.

Bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat oleh negara antara

lain pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat adat dan pengelolaan

hutan. Hal ini tidak dapat lepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945

terkait dengan kedudukan negara sebagai badan hukum yang mengelola

pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tanpa terkecuali.

Sehingga dengan adanya Pasal 18B dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945

menegaskan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai hak dan

kewenangan terhadap ulayat yang salah satu contohnya adalah hukum adat.

Kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.
16

sebagai masyarakat adat, salah satu pilihan hukum yang harus diambil

dalam memperjuangkan hak atas tanah dan sumberdaya alam adalah

mendapatkan pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara, dalam

bentuk Peraturan Daerah (sesuai dengan UUNo. 41/99 tentang Kehutanan

dan SK BPN No. 5/1999). Namun prasyarat diakuinya sebagai masyarakat

adat perlu dibuktikan secara ilmiah. Dalam konteks kawasan konservasi, PP

No. P56/2006 tentang zonasi dan PP. No. P19/2006 tentang kolaborasi

menjadi alternatif lain yang bisa digunakan untuk mulai melibatkan

masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan hutan. Saat ini masih

dalam proses finalisasi, pemerintah tengah mempersiapkan peraturan

pemerintah tentang Model Desa Konservasi (MDK) yang diharapkan bisa

menjadi model pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi bersama

masyarakat. (Nia Ramadhanty, Bagus Priatna 2009).

Sehubungan dengan hal itu, maka penelitian ini penting dilakukan

dengan tujuan untuk mengetahui potensi kelembagaan masyarakat dalam

pengelolaan hutan adat di wilayah hutan adat. Pengetahuan dan pemahaman

yang diperoleh akan bermanfaat bagi pihak yang terkait dalam membuat

suatu rekomendasi untuk mengelola hutan adat secara adil, sejahtera dan

berkelanjutan, sehingga kawasan hutan adat dapat dilestarikan dan

bermanfaat bagi semua pihak.


17

2. Masyarakat Adat

Ketika menyebut masyarakat adat, yang ada di dalam pemikiran semua

orang biasanya adalah kalangan minoritas masyarakat, penduduk asli dari

sebuah Negara maupun daerah, orang-orang yang hidup di daerah

pedalaman dan tertinggal, masyarakat yang tertindas atau masyarakat yang

dianggap mempunyai budaya yang berbeda dengan masyarakat pada

umumnya. Istilah masyarakat adat sering diartikan dan dimaknai sama

dengan masyarakat pribumi yang artinya merupakan masyarakat asli yang

terdapat dalam sebuah Negara. Masyarakat adat merupakan sekumpulan

orang yang secara tradisional bergantung dan telah memiliki ikatan sosio-

kultural dan religius terhadap keyakinan yang erat dengan lingkungan

lokalnya.

UUD NRI 1945 mengamanatkan pemerintah untuk melindungi hak

setiap warga negara, salah satunya adalah perlindungan terhadap hak

masyarakat hukum adat dalam mendiami hutan adat. Keberadaan

masyarakat adat beserta hak-haknya telah dijamin oleh UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan Konstitusi Negara

Republik Indonesia. Oleh Karenanya masyarakat hukum adat mempunyai

kedudukan konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini

ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang


18

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.

Disamping UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, masayarakat

hukum adat juga diakui dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik indonesia, yang ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor

IX/MPR/2001 Pasal 5 huruf j yang menyebutkan bahwa dalam pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip-

prinsip: “Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya

alam”.

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria masyarakat hukum adat juga

diakui didalamnya, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5, bahwa: “Hukum

agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta

dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang- undang ini dan

dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat

hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para

warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk

tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,


19

yang timbul dari hubungan secara lahir dan batin secara turun menurun dan

tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayahnya

merupakan pengertian dari hak ulayat yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Peenyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat. (Akbar, 2015,)

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun

temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau

kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang

kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.

Kelompok masyarakat lokal tetap eksis sesuai dengan perkembangan

zaman, bahkan banyak dari mereka tidak mengubah bagaimana cara

berpakaian, bercocok tanam, pola konsumsi, perumahan, dan lain

sebagainya. Kebanyakan dari masyarakat adat semacam ini lebih memilih

untuk mengurangi interaksi dengan pihak luar karena mereka lebih memilih

untuk menjaga kelestarian sumber daya alam di lingkungannya dengan

kearifan tradisional mereka. Namun ada juga tipologi masyarakat adat

dengan kearifan lokal yang masih ketat dipelihara, dan mereka sangat

bergantung pada pengembangan sistem pengelolaan sumber daya alam

akan tetapi dalam pemeliharaan dan penerapan adat istiadatnya bukan

berarti mereka tidak membuka ruang bagi hubungan komersil dengan pihak
20

luar. Masyarakat adat seperti ini dapat kita jumpai salah satunya Di

Kasepuhan Cirompang Kecamata Sobang Kabupaten Lebak.

3. Masyarakat Adat Kasepuhan Cirompang

Jika dilihat dari sejarah asal-usul, warga Cirompang mulai bermukim

dan mengelola wilayah Cirompang sejak jaman penjajahan Belanda tahun

1873. Tingkat ketergantungan yang cukup tinggi pada wilayah hutan

menyebabkan warga Cirompang bertahan secara turun temurun dalam

mengakses dan mengelola sumberdaya alamnya. Namun ini mulai

mengalami perubahan sejak Perum Perhutani Unit III Jawa Barat mulai

mengelola hutan Cirompang menjadi hutan produksi pada tahun 1978.

Akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan semakin terbatas.

Terlebih dengan ditetapkannya pajak inkonvesional sebesar 25% dari total

hasil bumi yang dihasilkan.

Kekhawatiran warga masih berlanjut hingga terjadi alih fungsi kawasan

hutan, dari hutan produksi menjadi hutan konservasi perluasan Taman

Nasional Gunung Halimun Salak pada tahun 2003 (sebelumnya adalah

Taman Nasional Gunung Halimun sejak tahun 1992). Pajak inkonvensional

yang ditetapkan pada masa Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pun masih

berlanjut hingga saat ini, meskipun tidak tertulis.

“Nyawah ge hese, ari geus kaala hasilna kudu babagi ka Taman

Nasional. Beuki ngurangan we jeung dahar teh --- (Mau bersawah saja

susah, kalau dah ada hasilnya harus berbagi ke Taman Nasional. Semakin
21

berkurang saja bahan pangan kami)....(ibu Aan, 65 tahun, 2009)”

Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif (2009), luas Desa Cirompang

mencapai 637,501 ha. Dari 1.414 jiwa penduduk Cirompang, maka areal

yang bisa di manfaatkan oleh warga Cirompang hanya 0,45ha/jiwa atau

1,40 ha/KK. Namun jika dilihat dan ditumpangtindihkan dengan peta

TNGHS, maka wilayah Desa Cirompang yang “aman” untuk dikelola

hanya 275,799 ha. Ini berarti hanya 0,19 ha/jiwa atau 0,6 ha/KK.

Perubahan rata-rata kepemilikan tanah yang cukup signifikan setelah

dikurangi dengan areal di luar SPPT. Berikut adalah tabel kepemilikan

tanah di Cirompang.

Masyarakat adat Kasepuhan Cirompang masih sangat identik dengan

kegiatan yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas yang

menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba di Kasepuhan

Cirompang. Terlihat jelas bagaimana pembagian peran antara Ambu O dan

Olot A yang merepresentasikan pembagian peran dalam keseharian

keluarga ini. Ketika kami datang, Ambu O terlihat sangat sibuk menyiapkan

kopi, nasi, dan sayur untuk dihidangkan. Sedangkan Olot A duduk dan

berbincang dengan kami.

Masyarakat yang bermukim di Desa Cirompang merupakan

keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar. Mereka mulai

bermukim di Desa Cirompang sejak masa penjajahan Belanda-Jepang.

Berikut adalah runutan kokolot/sesepuh di Desa Cirompang pada masing-


22

masing kasepuhan. Pembagian peran yang sekilas terlihat biasa saja ini

justru menjadi suatu hal yang menarik untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari

kegiatan “ngakeul” yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan

rasa ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat Kasepuhan

Cirompang menjalankan perannya dalam keseharian, terutama dalam

kaitannya dengan agensi mereka dalam menciptakan ketahanan pangan

dalam keluarga. Sekilas tentang Kasepuhan Cirompang, letak Kasepuhan

ini berada di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak,

Provinsi Banten. Suasana bersih dan asri menjadi kesan pertama ketika

kami menginjakkan kaki di Kasepuhan Cirompang pada 20 Oktober 2022

silam. Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih kental

dan memegang teguh berbagai aturan adat di dalamnya. Saat ini,

masyarakat yang tinggal di Desa Cirompang merupakan masyarakat adat

yang terdiri dari keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan

Ciptagelar. Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih

sangat hijau. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sukaresmi

(Kecamatan Sobang) di bagian utara dan berbatasan dengan Desa Citorek

(Kecamatan Cibeber) di bagian selatan. Sedangkan di sebelah timur

berbatasan langsung dengan Desa Sukamaju (Kecamatan Sobang), serta

berbatasan dengan Desa Sindanglaya (Kecamatan Sobang) di bagian

baratnya. Luas Desa Cirompang yaitu 637,608 ha (Data RMI, 2017).

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Cirompang yaitu berasal


23

dari hasil pertanian (tatanen). Sehingga, aturan adat yang mengatur

masyarakat Kasepuhan Cirompang kemudian juga berkaitan erat dengan

kegiatan tetanen. Sebagai masyarakat adat yang dekat dengan kegiatan

tetanen, salah satu hal yang membedakan masyarakat Cirompang dengan

masyarakat lain yaitu berkaitan dengan cara pengelolaan bahan pangan

yang dikonsumsi sehari-hari.

Masyarakat adat masih memiliki pegangan dan tata cara adat tersendiri

dalam proses produksi pangannya. Dalam upaya menciptakan ketahanan

pangan, dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam padi

dengan varietas lokal (jenis pare gede) yang biasanya ditanam satu tahun

sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun dua hingga tiga

kali (jenis pare leutik/pare handap). Padi yang ditanam tidak sepenuhnya

dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun biasanya mereka

menyimpannya dalam leuit sehingga padi tersebut awet.

Leuit merupakan lumbung yang digunakan untuk menyimpan padi.

Adanya leuit merupakan bentuk dari sistem ketahanan pangan masyarakat

Cirompang untuk menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun.

Keberadaan dan penggunaan leuit di desa ini sudah lama diwariskan secara

turun menurun. Menariknya, dalam proses menciptakan ketahanan pangan

keluarga di masyarakat Kasepuhan Cirompang.


24

B. Hutan

1. Hutan

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh

pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat

diwilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung

karbon diaksida, habitat hewan modulator arus hidrologika serta pelestari

tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling

penting.Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia.

Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun beriklim dingin,

di dataran rendah maupun dipegunungan, dipulau kecil maupun di benua

besar.

Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal 6 ayat 1 dan 2, membagi hutan menurut fungsi pokoknya menjadi (1)

hutan konservasi, (2) hutan lindung dan (3) hutan produksi. Definisi yang

diberikan untuk ”hutan produksi” adalah kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Jika arti perundangan ini dicermati

maka pengelolaan hutan akan sampai pada kondisi sulit dimengerti dan

cenderung terjadi penyesatan arti hutan itu sendiri.

Hutan produksi hanya mempunyai fungsi pokok untuk produksi,

sementara fungsi sistem penyangga kehidupan hanya dibebankan pada

hutan lindung dan fungsi keanekaragaman hanya dibebankan pada hutan

konservasi (Marsono, 2004). Kata hutan merupakan terjemahan dari kata


25

bos (Belanda) dan forrest (Inggris). Forrest merupakan daratan tanah yang

bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar

kehutanan, seperti pariwisata. Hutan adalah sebuah kawasan yang

ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-

kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan

berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink),

habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan

merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting (Salim,

2006).

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

(Marpaung, 2006). Menurut Kartasapoetra (1994), hutan merupakan suatu

areal tanah yang permukaannya ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan

yang tumbuh secara alami. Berbagai kehidupan dan lingkungan tempat

hidup, bersama-sama membentuk ekosistem hutan. Suatu ekosistem terdiri

dari semua yang hidup (biotik) dan tidak hidup (abiotik) pada daerah

tertentu dan terjadi interaksi di dalamnya.

Hutan memberikan pengaruh pada alam melalui tiga faktor yang

berhubungan yaitu iklim, tanah, dan pengadaan air. Adanya sampah-

sampah pohon (seresah) dalam hutan hasil rontokan bagian-bagian pohon

yang menutupi lantai hutan akan mencegah rintikan-rintikan air hujan


26

untuk langsung jatuh ke permukaan tanah dengan tekanan yang keras.

Tanpa sampah, tanah akan terpadatkan oleh air hujan, sehingga daya

serapnya akan berkurang.

Hal ini berhubungan dengan fungsi seresah yaitu sebagai penyimpanan

air sementara yang secara berangsur akan melepaskannya ke tanah bersama

dengan bahan organik berbentuk zar hara yang larut, memperbaiki struktur

tanah dan menaikkan kapasitas peresapan (Arief, 1994). Hutan memainkan

peran penting bagi penghidupan untuk masyarakat lokal di sebagian besar

negara berkembang. Rumah tangga di pedesaan di negara-negara

berkembang memanfaatkan hasil pangan, bahan bakar, pakan ternak, bahan

bangunan, obat-obatan dan produk lain dari hutan dan lingkungan alami

lainnya untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan memperoleh pendapatan

tunai. Lebih dari 350 juta jiwa penduduk dunia yang hidup di sekitar hutan

menyandarkan kebutuhan subssiten dan memperoleh pendapatannya dari

sumber daya hutan Diperkirakan bahwa 20-25 penduduk pedesaan di

negara berkembang, sumber pendapatannya diperoleh dari sumberdaya

lingkungan, termasuk sumberdaya hutan, dan sumberdaya ini bertindak

sebagai jaring pengaman selama periode krisis atau selama terjadi paceklik

di pedesaan (Shackleton & Shackleton 2004; 2006).

Terkait dengan peran hutan dan sistem lingkungan alami dalam

penciptaan pendapatan (income generation), hasil studi yang dilakukan oleh

CIFOR pada tahun 2013 menunjukkan bahwa di negara-negara


27

berkembang, pendapatan yang bersumber dari aset lingkungan,

berkontribusi secara substansial bagi kelompok rumah tangga petani

kecil (Wunder et al. 2014 dalam Ali & Rahut 2018). Lebih lanjut, hasil

temuan penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pertanian dan

kehutanan merupakan dua sektor yang saling melengkapi (komplementer),

di mana pertanian berperan dalam ketahanan pangan (food security)

sedangkan kehutanan dari aspek ketahanan penghidupan (livelihood

security).

2. Hutan adat

Istilah hutan adat yang sudah baku dalam penyebutan untuk kawasan

hutan yang dikelola oleh masyarakat desa baik dalam undang-undang

kehutanan maupun dalam penggunaan oleh kalangan pengembang ternyata

memiliki potensi untuk mendorong munculnya masalah ke depan. Dalam

undang-undang kehutanan secara garis besarnya disebutkan bahwa hutan

adat merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh masyarakat adat dengan

berpedoman pada institusi adat. Jika dicermati, dalam pengertian tersebut

terkait di dalamnya masalah akses dalam mengelola, artinya bahwa seluruh

komponen masyarakat memiliki hak dalam mengakses kawasan hutan

dimaksud. Hutan adat adalah seluruh hutan rimba yang bukan milik pribadi

atau keluarga. Hutan adat berisi berbagai jenis kayu, buah-buahan, akar dan

rotan serta dihuni oleh berbagai jenis binatang. Walaupun kebiasaan

membuka lahan ammar merupakan tradisi turun-temurun namun


28

masyarakat tidak diperkenankan untuk membuka lahan seluas-luasnya

(Adhiprasetyo, 2006).

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi menetapkan masyarakat adat

sebagai kelompok masyarakat yang diakui kepemilikannya atas suatu

wilayah. Ini harus kita terjemahkan dengan baik,” kata Kuntoro

Mangkusubroto, Kepala UKP4. Hutan adat kini resmi disahkan menjadi

milik komunitas adat, bukan lagi milik negara. Pengakuan ini datang dari

keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 mengenai

hutan adat yang membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur

keberadaan hutan adat dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Keputusan ini membawa sejumlah konsekuensi, diantaranya mekanisme

pengukuhan tentang keberadaan masyarakat hukum adat, penetapan batas

kawasan hutan adat, dan pembagian kewenangan antara masyarakat hukum

adat dengan negara dalam tata kelola hutan.

Keputusan MK ini disambut positif Kuntoro. “Dari dulu saya yakin

pihak yang terbaik untuk mengelola hutan adalah mereka yang hidup

bersama dan berada di sekitar hutan seperti masyarakat adat,” katanya di

satu kesempatan terpisah. UKP4 memandang perlu untuk mendapatkan

kejelasan lebih jauh dampak legal dari keputusan tersebut, khususnya

terkait dengan pembahasan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang

sedang dibahas di DPR, yaitu RUU Pertanahan dan RUU Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Adat (RUU PPMA).


29

C. Hasil penelitian yang relevn

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan mengenai kedudukan

masyarakat adat dengan penelitian yang akan penulis lakukan diantaranya

ialah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan adat

dianggap open access dimana setiap orang bebas mengeksploitasi

sumber daya alam di dalamnya (Pratiwi et al., 2019). Struktur potensi

kelembagaan dari Desa Cirompang menggambarkan bahwa adanya

keterlibatan pemangku kepentingan adalam pengelolaan hutan adat

yaitu Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Jaringan Kerja Pemetaan

Partisipatif (JKPP), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA),

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan

Ekologis (HuMa), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banten

Kidul dan EPISTEMA Institute namun kesepakatan-kesepakatan dalam

mengelola hutan sulit dibuat dalam suatu wadah organisasi yang tepat.

Perilaku memperlihatkan adanya para pemangku kepentingan yang

mempengaruhi aktifitas pengelolaan hutan adat. Kinerja masyarakat

dalam pengelolaan hutan adat memperlihatkan bahwa hutan adat sangat

menopang kesejahteraan masyarakat adat.

2. (Arauf, 2021) Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

pengakuan tentang hutan Adat dalam Wilayah Kekuasaan Datuk

Laksamana Raja di Laut didasarkan pada pendekatan historis yang


30

melekat sebagai sebuah kekuasaan pada masa Datuk Laksamana atau

Raja berkuasa yang kemudian pengelolaan nya dilanjutkan oleh para

ahli waris keturunannya.

3.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang

Kabupaten lebak Provinsi Banten. Desa Cirompang merupakan Kawasan Kaki

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

B. Waktu Penelitian

waktu penelitian dilaksanakan di Kasepuhan cirompang Desa Cirompang

Kecamatan Sobang Kabupaten Lebak pada bulan Maret s/d April 2023.

Penelitian ini bertempat di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang Kabupaten

lebak Provinsi Banten. Desa Cirompang merupakan Kawasan Kaki Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

C. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, terdiri atas:

A. Heuristik

Heuristik yaitu berasal dari kata yunani heurishein, artinya memperoleh.

Menurut G. J. Reiner seperti yang ditulis Dudung Abdurrahman (1900),

heuristik adalah suatu tehnik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Lebih

jelasnya seperti apa yang dikatakan Carrad bahwa heuristik adalah

merupakan langkah awal sebagai sebuah kegiatan mencari sumber-sumber,

mendapatkan data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah. Dari kedua

pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa heuristik merupakan langkah

31
32

pertama dalam penulisan sejarah yaitu dengan pengumpulan data sebanyak

mungkin untuk dijadikan sumber penelitian sejarah. (Sjamsuddin, 2007: 86).

1. Sumber primer

Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Dan Kemitraan

Lingkungan Tentang Tata Cara Verifikasi Dan Validasi Hutan Hak,

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015

tentang Hutan Hak, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal

Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan tentang Tata Cara

Verifikasi dan Validasi Hutan Hak. Bagian dua pasal dua (2) Verifikasi

dan validasi hutan hak dimaksudkan untuk memberikan pedoman tata

cara pelaksanaan verifikasi dan validasi hutan hak secara transparan,

partisipatif, akuntabel, dan tidak diskriminasi dengan memberikan

kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan.

Dari praturan yang tertera diatas, bahwasanya pemanfaatan hutan adat

yang ada di Kasepuhan Cirompang selain daripada aturan pemanfaatan

yang ditetapkan oleh Kasepuhan adapula dari peraturan pemanfaatan dari

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan.

Meskipun aturan yang di tetapkan dalam pemanfaatan hutan adat di

Kasepuhan Cirompang Hampir semuanya berisikan aturan dari Baris

Kolot (kasepuhan/sesepuh/para pemanggu adat). Pemanfaatan hu adat

yang diterapkan oleh masyarakat adat di Kasepuhan Cirompang ada tiga


33

sisi antara lain:

4. Hutan titipan

Hutan titipan ini merupakan slaah satu hutan yang diperbolehkan

oleh Baris Kolot (kasepuhan) untuk ditanami namun tidak boleh di

ganggu Kembali. Dalam artian hutan ini hanya di rawat saja oleh

masyarakat adat akan tetapi tidak untuk di tebang.

5. Hutan Tutupan

Hutan tutupan adalah hutan yang boleh digarap tapi harus ada izin

dari jajaran Baris Kolot, utamanya oleh Abah (Ketua Adat) dan

Lembur Kolot (orang kepercayaan Abah). Sejatinya, hutan tutupan

hanya dimanfaatkan untuk keperluan membangun rumah dengan

mengambil kayu dari hutan tersebut. Biasanya, hutan tutupan

lokasinya tidak terlalu jauh dari pemukiman masyarakat adat.

Namun ada syarat untuk menggunakan hutan tutupan, yakni tidak

boleh dibuka apabila di hutan garapan masih tersedia bahan-bahan

untuk keperluan/membuat rumah. Meski masyarakat kasepuhan tinggal

di Kawasan TNGHS, namun nyatanya dengan diberlakukannya aturan-

aturan adat, baik yang tertulis maupun tidak, mereka tetap bisa

menjaga ekosistem hutan dengan baik, dengan tujuan tetap menjaga

kekayaan alam dengan berbagai jenis flora dan fauna yang hidup di

dalamnya. Pemnfaatan harus tetap disertakan kelestarian dan

konservasi. (Wawancara,sarinun. 2019)


34

6. Hutan Garapan

Adalah hutan yang menjadi mata pencarian masyarakat kasepuhan

berupa pesawahan, ladang dan kebun. Hutan garapan terbuka untuk

digarap oleh siapa saja, asal untuk kepentingan masyarakat dan harus

dilakoni dengan baik. Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilakukan

atas hutan garapan, yakni mengeklaimnya secara individu, karena

sejatinya hutan garapan adalah untuk kemaslahatan masyarakat adat

secara umum. Karenanya, tidak ada batasan tertentu seberapa luas

mereka harus menggarap.

7. Hutan Cawisan (Cadangan)

Hutan cadangan diperuntukan yg bersifat hunian boleh di buat

rumah jikalau ada kepentingan rumah adat, lumbung padi, rumah wisata

yang terpenting ada hubungannya dengan adat, hutan cawisan itu

walaupun sudah di garap kalau kata ksepuhan sudah waktunya untuk

dibangun yg bersifatnya hunia atau kepentingan di adat harus di berikan

kepada kasepuhan ini yang bersifat hutan cawisan

Ujar Sudrajat. salah satu Incu Putu dari Masyarakat Adat

Kasepuhan Cirompang “Proses pembuktian Cirompang sebagai

masyarakat adat dan atau alternatif-alternatif pilihan hukum yang lain

menjadi tantangan untuk dibuktikan sesuai dengan aturan yang berlaku

di negara ini. Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam,

sejarah asal usul serta pembuktian wilayah adat menjadi dasar


35

pembuktian bersama. Konsep Nyanghulu Ka Hukum, Nyanghunjar Ka

Nagara yang masih menjadi panutan warga Cirompang, merupakan

bentuk padu serasi menyeleraskan aturan adat dan aturan negara di

Indonesia.

2. Sumber Skunder

Masyarakat adat memiliki pengetahuan secara turun termurun

bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada

disekitarnya. Peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya

hutan adat sangat diperlukan dalam menjaga kelangsungan fungsi hutan.

Untuk itulah penelitian ini bertujuan menguraikan dan menjelaskan

potensi kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan hutan adat di

Kasepuhan Cirompang Desa Cirompang.

Metode penelitian adalah studi kasus dimana data dikumpulkan

melalui wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan metode pendekatan kerangka kerja Situasi - Struktur -

perilaku - kinerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan

hutan adat dianggap open access dimana setiap Masyarakt Adat bebas

mengeksploitasi sumber daya alam di dalamnya. Perilaku

memperlihatkan adanya para pemangku kepentingan yang

mempengaruhi aktifitas pengelolaan hutan adat. Kinerja masyarakat

dalam pengelolaan hutan adat memperlihatkan bahwa hutan adat sangat

menopang kesejahteraan masyarakat adat. (Rushestiana Pratiwi, Tb Unu


36

Nitibaskara dan Messalina L Salampessy, 2019).

B. Kritik

1. Kritik Eksternal

Topik : Hutan Adat dan Hutan Hak

Sumber : Elektronik/Internet

Kritik : Bahwasanya Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk

memanfaatkan kawasan Hutan, memanfaatkan jasa

lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan

kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu

secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat

dengan tetap menjaga kelestariannya.

Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA

adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya

ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat

dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA


37

adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya

ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat

dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air,

dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di

atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan

dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara

berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup

masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur

mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau

Hutan Adat.

Topik : Masyarakat Adat

Sumber : Interneta: Naskah Rancangan Undang-Undang DPR RI dan

Pemerintahan RI

kritik : bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan


38

Republik Indonesia, serta menghormati identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban, dan pada kenyataan saat ini hak

masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional belum

sepenuhnya terlindungi yang mengakibatkan keberadaannya

terpinggirkan, serta munculnya konflik sosial dan konflik

agraria di wilayah adat sehingga perlu dilakukan upaya

pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat

hukum adat dan masyarakat tradisional tersebar dalam

berbagai peraturan perundang-undangan yang menimbulkan

kendala dalam implementasinya sehingga perlu diatur dalam

suatu undang-undang.

Topik : Masyarakat Hukum Adat kasepuhan

Sumbe : Naskah PERDA Kabupaten lebak

Kritik : bahwa pengukuhan terhadap keberadaan dan hak tradisional

Masyarakat Kasepuhan merupakan amanat dari Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang


39

harus dilaksanakan untuk mewujudkan penghormatan hak-hak

masyarakat hukum adat, keberadaan Kasepuhan sebagai

masyarakat hukum adat di Kabupaten Lebak masih ada dan

menjadi bagian dari komponen masyarakat yang harus diakui

dan dihormati keberadaannya oleh negara. pengaturan dan

pengukuhan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

dilakukan dalam bentuk Peraturan Daerah.

Topik : Penyelenggaraan Kehutanan

Sumber : Elektronik/internet Naskah PPRI No. 23

Kritik : Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut

dengan Hutan, Kawasan Hutan, dan hasil Hutan yang

diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang

ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai Hutan Tetap. Hutan Negara adalah

Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebdni hak atas
40

tanah. Kawasan Hutan Negara adalah wilayah tertentu yang

ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai Hutan Tetap yang berada pada tanah

yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan Hak adalah Hutan

yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan

Adat adalah Hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat

Hukum Adat.

Topik Kasepuhan Cirompang

Sumber Elektronik/ internet RMI Bogor.id

Kritik Kegiatan yang dilakukan perempuan dalam masyarakat adat

Kasepuhan Cirompang masih sangat identik dengan kegiatan

yang ada di ranah domestik. Seperti pada kutipan di atas

yang menggambarkan suasana ketika pertama kali kami tiba

di Kasepuhan Cirompang. Pembagian peran yang sekilas

terlihat biasa saja ini justru menjadi suatu hal yang menarik

untuk kami telusuri lebih lanjut. Dari kegiatan «ngakeul»

yang sedang dilakukan Ambu O kala itu menciptakan rasa

ingin tahu kami tentang bagaimana perempuan adat

Kasepuhan Cirompang menjalankan perannya dalam

keseharian, terutama dalam kaitannya dengan agensi mereka


41

dalam menciptakan ketahanan pangan dalam keluarga.

Sebuah desa yang didiami oleh masyarakat adat yang masih

kental dan memegang teguh berbagai aturan adat di

dalamnya. Saat ini, masyarakat yang tinggal di Desa

Cirompang merupakan masyarakat adat yang terdiri dari

keturunan/incu putu dari Kasepuhan Citorek dan Ciptagelar.

Desa Cirompang dikelilingi oleh pegunungan yang masih

sangat hijau. Dalam upaya menciptakan ketahanan pangan,

dahulu masyarakat adat Kasepuhan Cirompang menanam

padi dengan varietas lokal yang biasanya ditanam satu tahun

sekali. Namun saat ini masyarakat menanam padi setahun

dua hingga tiga kali. Padi yang ditanam tidak sepenuhnya

dikonsumsi masyarakat sekaligus secara langsung. Namun

biasanya mereka menyimpannya dalam leuit sehingga padi

tersebut awet. Leuit merupakan lumbung yang digunakan

untuk menyimpan padi. Adanya leuit merupakan bentuk dari

sistem ketahanan pangan masyarakat Cirompang untuk

menyimpan padi selama kurang lebih enam tahun.

Perempuan terlibat mulai dari proses pengelolaan padi di

sawah hingga mengolah beras menjadi nasi yang dapat

disajikan untuk seluruh anggota keluarga. Sebelum

menanam padi, perempuan melakukan kegiatan macul.


42

Ketika tanah sudah siap ditanami padi, perempuan

melakukan proses sebar/tebar yang dilakukan selama satu

hari. Selanjutnya, perempuan memindahkan benih padi dari

tempat pabinihan ke sawah yang lebih luas. Setelah padi

dipindahkan ke sawah, perempuan melakukan proses tandur

selama 1-7 hari. Ketika padi mulai tumbuh , selama

seminggu perempuan membersihkan rumput yang

mengganggu pertumbuhan padi.

B.2 Kritik Internal

Sumber : Lisan

Hasil : Wawancara

Dari salah satu tokoh penasehat Kasepuhan Cirompang

Bpk. Sarinun terhadap pemanfaatan Hutan Adat

Dikesepuhan Cirompang terbagu menjadi 3 sisi yakni:

1. Hutan titipan, Boleh ditanami tapi boleh di ganggu

gugat.

2. Hutan Tutupan, terletak di titik2 mata air cara

pengelolaan harus tetap dilestarikan dan di

konservasai.

3. Hutan Garapan, Yang harus dikelola dengan baik oleh


43

masyarakat adat kasepuhan yang ada di lokasi hutan

adat.

4. Hutan Cawisan, Diperuntukan Ketika para pepuhu

adat sudah menentukan dijadikan hunian antara warga,

balai pertemuan, lumng padi (leuit) yang penting ada

syarat izin dari kasepuhan.

“Hutan hejo masyaraat ngejo” ini merupakan moto

yang di terapkan oleh masyarakat adat terhadap

pengelolan hutan adat, “jika diartikan Ketika hutan

hijau maka masyarakat bisa memasak nasi”

Adapun kecocokan tanamah tergantung kulutur tanah di

setiap lokasi karena ada beberapa jenis tanah dan juga da

beberapa bukit tidak hanya dataran. Ketika ingin

melaksanakan penanaman tidak lepas dari izin daripihak

lkasepuhan secara berawal perencanaan tidak lepas dari

zizin dan acara ritulanya menuju kseuburan dan

kemakmuran diwilayah hutan adat kasepuhan tersebut.

Dalam sistem pemanfaatan hutan adat tersebut ada istilah

yang di sebut pestifal pare ketanpare ketan itu adalah

pergerakan adat untuk revitalisasi ketahanan pangan.

Pernyataan dari salah satu anak Ketua Adat Bpk. Ateng

Wahyudin hampir sama pernyataan yang dikatakan


44

Bpk.Sarinun (penasehat kasepuhan) Bahwasanya

pemanfaatan yang diterapkan oleh Kasepuhan Cirompang

Menjadi 3 bagian sesuai dengan tertera dihalaman

sebelumnya. Maka dari itu sumber ini dianggap benar oleh

peneliti.

- Sumber buku Mengenal Kasepuhan Cirompang, Konon

awalnya nama Cirompang berasal dari nama Gunung

Rompang yang tidak utuh atau Rompang. Menurut cerita,

dulu ada seekor burung Garuda yang bertengkar di Gunung

Bongkok dan sayapnya menutupi wilayah Cirompang

sampai Gunung Butak sehingga menghalangi sinar

matahari dan tidak bisa ditanami (gundul). Lalu masyarakat

melempar Burung Garuda tersebut dengan batu – batuan

dari bukit Gunung Rompang, dan lambat laun bukit

tersebut menjadi tidak utuh daan Rompang. Kasepuhan

Cirompang terletak di Desa Cirompang Kecamatan

Sobang, Kabupaten Lebak – Banten.

C. Intrepretasi

Dalam praturan Mentri Lingkungan Hidup Dan Kehutana menyatakan

bahwa perlu menetapkan praturan terhadap pelestarian hutan adat dan


45

adanya perbedaan antara hutan adat dan hutan hak. Peranan masyarakat adat

dalam pengurusan hutan masih belum mendapatkan perhatian yang serius,

padahal masyarakat adat berhak mengambil hasil hutan dan mengelola

hutan berdasarkan hukum adat.

Dalam UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah untuk

melindungi hak setiap warga negara, salah satunya adalah melalui

perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam mendiami hutan

adat. Isu hukum dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan

masyarakat hukum adat dalam mendiami hutan adat dan bagaimana

perlindungan terhadap hak konstitusional masyarakat hutan adat oleh

pemerintah (Education & Advice, 2018).

Hutan adat menurut Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 1

ayat “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat.” Dari definisi ini maka dapat disimpulkan bahwa

hutan adat adalah hutan negara dimana hutan adat merupakan hutan yang

tidak dibebani pada hak. Pengkategorian hukum adat sebagai hukum negara

secara hukum telah membuat hutan adat yang telah dikuasai secara turun

temurun akan menghilang hak dan pengelolaannya oleh masyarakat hukum

adat.

Akibat hal ini muncul berbagai konflik hutan baik secara vertikal yang

melibatkan masyarakat hukum adat dengan perorangan (masyarakat pada

umumnya), masyarakat hukum adat dengan perusahaan, dan bahkan antar


46

masyarakat hukum adat itu sendiri, selain itu konflik hutan juga terjadi

secara horizontal yang melibatkan masyarakat hukum adat dengan

pemerintah (Pusat dan daerah). Diharapkan rangkaian dari peraturan-

peraturan yang tartar diatas diharapakn dapat menjadi sebuah rekontruksi

yang menggambarkan tentang kedudukan, pengelolaan serta pemanfaatan

Hutan Adat Dikasepuhan Cirompang.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Letak Geografis

Berada di sebelah selatan wilayah adat yang berbatasan dengan

kasepuhan citorek dan kasepuhan cibedug dengna batas alamnya gunung

kendeng membujur dari barat ke timur, dan sebelah barat berbatasan dengan

kasepuhan pasir eurih.

B. Iklim

Sebagai wilayah yang berada di kawasan hulu dan dataran tinggi dari

sekitar kawasan huta, maka Kasepuhan Cirompanng memiliki iklim Tropis

dan kisaran 16-17˚C.kisaran 700 MDPL diatas permukaan laut

C. Kondisi Demografi Desa Cirompang

Secara umum hingga akhir 2014 jumlah penduduk Desa Cirompang

mencapai 518 KK atau 1.551 Jiwa (perempuan 773 jiwa dan laki-laki 778

jiwa) yang tersebar di enam kampung. Berikut adalah tabel sebaran

penduduk Desa Cirompang di enam kampung.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Desa Cirompang

Jumlah Kepala
No. Nama Kampung Jumlah Jiwa
Keluarga (KK)
1 Cirompang 231 718
2 Pasir Muncang 23 75
3 Cibama Pasir 86 260
4 Cibama Lebak 49 155
5 Muhara 33 104
6 Sinargalih 31 102

47
48

D. Bentuk Kearifan Lokal Di Desa Cirompang

Kearifan lokal yang dilakuka Dikasepuhan Cirompang memberikan

dampak positif terhadap kelestarian hutan dan air. Dampak yang dirasakan

berawal dari tumbuhnya kesadaran Masyarakat adat kasepuhan Cirompang

untuk menghorati para Leluhur dan terus mentaati serta tidak mengabaikan

nasehat Leluhur.

1. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pelstarian Hutan

Kearifan lokal yang ada dan hidup di Kasepuhan Cirompang

tidak terlepas dengan adanya berbagai anjuran dan larangan lokal yang

telah disepakati bersama sebagai salah satu aturan adat di tengah-tengah

Masyarakat Kasepuhan Cirompang. Masyarat menganggap bahwa

seluruh anjuran dn larangan yang berlaku harus selalu diperhatikan dan

dilaksanakan. Berikut adalah pernyataan informan 1 mengenai anjuran

dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat, khususnya

terkait dengan menjaga kelastarian lingkungan (hutan, tanah, dan air) di

Kasepuhan Cirompang.:

Aturan yang dianjurkan oleh Kasepuhan Cirompang “Leweng


hejo masyarakat ngejo, leweng supaya ulah gunul tapi hasilna bias di
manfaatkeun ku masyarakat, tangkalna ulah di tebang ngeun dipelakan
ku tatangkalan anu bermanfaat pikeun kahirupan Masyakat Adat.” Aya
aturan pikeun anu ngagarap eta 10% tina hasilna pikeun kasepuhan, eta
oge lamun keur aya acara, sapertikeun Seren Tahun, Beberes, Mapag
Pare Beukah.” (wawancara di rumah adat kesepuhan cirompang
4,Juli,2023).
49

Dari aturan yang dikatakan oleh Kokolot (Tetua Adat)

bahwasanya, Hutan hijau masyarakat masak nasi, hutan tidak boleh di

tebang apalagi sibuat gundul. Tapi hasilnya boleh untuk dimanfaatkan

oleh masyarakat adat, aturan yang dianjurkan ialaha ditanami pepohonan

sampai terlihat hijau sepertihalnya hutan yang di lindungi. Adajuga

aturan bagi yang menggarap hutan adat dari hasil pemanfaatan hutan adat

yakni 10% dari hasilnya. Itupun jika adanya sebuah kegiatan yang

diadakan Kasepuhan contohnya sepeti: Seren Tahun, Beberes, Mapag

Pare Beukah.

2. Gegenek (Dari Lesung dan Tongkat Kayu)

Salah satu kegiatan yang dilakukan pada saat padi sudah muali

mengembang (Mulai berbuah) dan ketika padi sudah mau disimpan di

leuit (lumbung padi).

“Sejarah singkat Gegenek “ti nenek moyang behula ketika

gegenek dilakukeun eta geus jelas ciri bahwa pare geus mulai ngembang

jelas eta kudu dilakukeun acara syukuran jeung eta the pangeling-

ngeling supaya anak incu pada kumpul.” (wawncara di rumah salah satu

penasihat kasepuhan 5/6/2023)

Gegenek merupakan peringatan pada anak dan cucu Kasepuhan

bahwasanya akan adanya kegiatan yang tertea diatas.


50

3. Rengkong (Alat pemikul padi yang terbuat dari bambu)

Rengkong merupakan salah satu alat yang dipakai oleh

masyarakat adat kasepuhan untuk memikul padi, alat ini terbuat dari

bambu, dan salah satu alat musik yang disukai oleh masyarakat dan

kasepuhan, ini merupakan salah satu ciri bahwa padi sudah mulai bisa di

simpan di Leuit (lumbung padi).

4. Goong geude (Gamelan)

Di mainkan ketiak ada acara ritual di bidang pertanian:

a. Nibakeun “sebar di sawah atau ngasek di huma.

Kegiatan ini biasaya dilakukan ketika akan menanam padi di

tempat yang kering, karena masyoritasnya padi di tanam di tempat

yang basah.

b. Ngubaran “dilaukeun sanggesna 40 hari tina tandur.

Acara yang biasanya dilakukan saat padi sudah di tanam, dan

acara ini bertujuan untuk mencegah hama ataupaun penyakit padi

yang berdatangan

c. Mapag pare beukah “padi geus mulai tumbuh buah.

Untuk memperingati ketika padi mulai berbuah (beukah).

d. Mipit “padi geus mulai di panen.

Ketika padi sudah dipanen acara Mipit ini biasanya dilakukan

untuk memberikan rasa syukur pada tuhan yang telah memberikan

kesehatan pada petani dan padi.


51

e. Ngadiukeun “padi geus bisa diasupkeun ka leuit.

Ritual ini dilakukan sebelum padi di masukan ke lumbung padi

(Leuit).

f. Seren taun “Tsaykuran satahun sakali.

Acara yang setiap tahunya dilakukan oleh masyarakat adat, acara

ini bermakna rasa syukur masyarakat adat terhadap tuhan yang maha

esa atas kesehatan dan kemakmuran yang telah diberikan selama satu

tahun kebelakang.

g. Asup leweng “dimana para petani arek mulai macul.

Kegiatan yang biasanya dilakukan oleh para masyarakat adat

kasepuhan yang mayoritasnya sebagai petani, yakni kegiatan

nyangkul (macul).

E. Hukum Dalam Melestrikan Hutan Adat

1. Satu kali pelanggaran di berikan himbauan

2. Dua kali pelanggaran di berikan peringatan

3. Ketika sudah tiga kali melakukan pelanggaran maka orang tersebut

dicabut dari hak garapnya, karena dalam sistem pengelolaan hutan adat

walaupaun dalam Surat Keputusan (SK) secara komunal akan tetapi

untun hak garap pada masyarakat sesuai dengan hak garapan masing-

masing yang sudah turun-temurun.

4. Masyarakat diwajibkan menanam pohon picung (kepayang)


52

5. Setiap sumber mata air dengan ukuran 100 (seratus) meter persegi tidak

boleh di tebang, harus tetap dilestarikan/dijaga.

6. Harus tetap menjaga hutan lindung yang disebut hutan titipan dan

apabila ketika ada kerusakan harus adanya reboisasi atau penghijauan

kembali.

F. Peran Dan Fungsi Masyarakat Adat Cirompang Dalam Pengelolaan

Hutan adat Dikasepuhan Cirompang.

Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang

sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan

berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam

suatu masyarakat hukum adat tertentu ddengan wilayah hukum dan hak

atas harta kekayaan diwilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan

berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai

permasalahan kehidupan yang berkaitan dan mengacu pada adat istiadat

dan hukum adat yang berlaku.

Komposisi struktur kelembagaan adat 1.Tetua ada, 2.wakil ketua 3.

Juru basa 4. Jaro kolot 5. Pager-Lajer 6. Penghulu/amil 7. Ronda

Kokolot 8. Palawari.

1. Olot (Ketua adat)

Pimpinan dalam kelembagaaan adat, Bertugas untuk menjaga

dan melaksanakan Agama, Nagara, dan Mokaha (Keselamatan).


53

- Agama ialah sautu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

adat kasepuhan (Agama Islam).

- Nagara Patuh dan taat terhadap Undang-undang yang berlaku

- Mokaha “Kahuripannana ka urus, kahirupannana oge ka urus.

2. Juru basa

Mengurus keperluan orang luar terkait dengan adat Kasepuhan,

Mendampingi kasepuhan (Olot).

3. Jaro kolot

Mengatur dan memerintah Masyarakat adat ketika sudah ada

perintah dari kasepuhan agar tidak terbentur dengan aturan Negara.

4. Amil

Mengurus dan mengatur ketika sudah ada perintah dari kasepuhan

dibidang keagamaan.

5. Amu berang (Dukun beranak)

Mengurus ibu hamil sejak awal kehamilan sampai 40 (empat puluh)

hari setelah melahirkan (Diangir)

6. Pager/lajer

Menginformasikan ketika ada kegiatan dikasepuhan yang harus

dilakukan oleh seluruh masyarakat adat kasepuhan. Baik di bidang

iuran, gotong royong, seren taun itu melewati ketua kelompok,

Mengurus Incu-Putu (Warga) yang tersebar di beberapa kampung

7. Ronda Kolot
54

Yang mengawasi hutan adat, Biasanya dilakukan 3 (tiga) bulan satu

kali. Akan tetapi apabila ada hal yang mendadak itu langsung

ditindak oleh para Ronda Kolot bersama Kelompok-kelompok

Masyarakat adat.

8. Palawari

Mengurus acara ritual dikasepuhan sebagai pelayan Masyarakat adat

dan tamu yang datang kekasepuhan.

Alur komunikasi dan Kordinasi kokolot Kasepuhan Cirompang.

Kokolot Cirompang (Olot

)Amir)

Pager Pager Pager Pager Pager Pager Pager Pager Pager

Lajer Lajer Lajer Lajer Lajer Lajer Lajer Lajer Lajer

20 20 20 20 20 20 20 20 20

KK KK KK KK KK KK KK KK KK

G. Pemanfaatna Hasil Hutan Dalam Wikayah Tanah Adat

”Gunung Aya Maungan (di Gunung/dataran tinggi ada Macan), Lebak Aya

Badakan (di dataran yang lebih rendah ada tempat mencari makan),

Lembur Aya Kolotna (di kampung ada sesepuhnya), Rahayat Aya Jarona

(rakyat ada Kepala Desa nya)...” (Kokolot Cirompang, 2009).

Filosofi di atas merupakan bentuk keseriusan nyata warga Cirompang dalam


55

mengelola ruang hidupnya yang berpijak pada pengetahuan/nilai-nilai adat

setempat. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan atau kebutuhan

ekonomi mereka, aspek ekologi juga menjadi konsentrasri warga Cirompang

dalam memenuhi kebutuhan air. Maka tak heran jika lahan garapan warga

sangat bervariasi vegetasinya. Selain sawah dan huma, lahan garapan warga

Cirompang dipenuhi dengan pohon Aren (Arenga pinnata) yang bisa diolah

warga untuk dijadikan gula Aren. Gula ini dimanfaatkan secara subsisten

maupun dijual. Berbagai pohon kayu, seperti Pohon Sengon (Albazia

Falcataria) dan pohon buah (Nangka, Durian, Manggis, dan lain-lain) juga

tumbuh di lahan garapan warga. Begitu pula dengan sayuran dan palawija.

Beragam komoditi menjadi pilihan warga Cirompang karena selain

menghasilkan beragam pilihan hasil bumi untuk dikonsumsi, juga dipilih

karena dapat mengembalikan kesuburan tanah. Berikut adalah tata guna

lahan yang terdapat di Kasepuhan Cirompang.

1. Sawah

Sawah merupakan areal yang digunakan warga untuk menanam padi

lokal. Jenis padi yang ditanam masih menggunakan padi lokal dengan

pupuk yang seringkali digunakan adalah pupuk Urea dan TSP. Namun

seiring dengan program go organik yang dicanangkan pemerintah, kini

Desa Cirompang termasuk desa yang juga mendapatkan subsidi pupuk

organik. Upaya ini pada dasarnya mendapatkan respon yang baik dari

warga Cirompang, karena memang pada dasarnya Cirompang sudah


56

sejak dulu menggunakan pupuk organik. Dan saat ini Cirompang tengah

berupaya mengembalikan pupuk organik untuk menyuburkan tanah dan

pertanian warga Cirompang.

Kearifan lokal yang dimiliki warga Cirompang terlihat dalam

pengelolaan sawah. Dalam setiap aktivitas di sawah, peran petani

perempuan dan petani laki-laki terlihat dengan jelas. Dari 15 tahapan

bersawah, ada 11 tahapan yang dilakukan oleh petani perempuan, dan 2

diantaranya hanya dilakukan oleh petani perempuan. Sedangkan peran

petani laki-laki bisa dijumpai di 12 tahapan aktivitas bersawah, dan 3

diantaranya hanya dilakukan oleh petani laki-laki. Peran petani

perempuan Berikut ini adalah tahapan aktivitas dalam pengelolaan sawah

di Desa Cirompang.

Tabel 4.2 Tahapan Aktivitas Pengelolaan Sawah

Lama Dilakukan Oleh


No Tahapan Pengertian
Waktu Perempuan Laki-Laki

1 Beberes Persiapan Awal Panen 2 Bulan Kasepuhan

(Ritual Adat)

2 Macul Menggemburkan 1 Minggu  

tanah

3 Babad Membersihkan 1 Minggu 

Rumput di Pematang

Sawah
57

4 Sebar/ Menyebar Benih Padi 1 Hari 

Tebar

5 Cabut Memindahkan Benih 1 Hari  

Padi

6 Tandur Menanam Padi di 1-7 Hari  

Sawah

7 Ngoyos Membersihkan 1 Minggu  

Rumput

8 Ngubaran Selamatan dan 40 Hari  

Pemupukan-

mengobati hama

penyakit. (Ritual

Adat/Kasepuhan)

9 Mapag Selamatan ketika padi 40 Hari  

berbunga (Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

10 Beberes Selamatan ketika padi 40 Hari  

akan dipanen (Ada

Ritual

Adat/Kasepuhan)

11 Mipit Memulai Memanen 1 Hari  

Padi
58

(Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

12 Mocong Mengikat Padi Setelah ½ Bulan 

Kering

13 Ngunjal Memindahkan padi 1 Hari 

dari lantaian ke Leuit

14 Netepkeu Selamatan Padi 1 Hari 

n Selama Berada di

Leuit (Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

15 Seren Selamatan Atas Hasil  

Tahun Bumi (Padi) yang

telah didapat

2. Huma / Ladang

Huma atau yang biasa disebut ladang atau sawah kering/sawah

tadah hujan merupakan ciri masyarakat Sunda. Huma merupakan

warisan sejak jaman dulu dan saat ini keberadaannya mulai berkurang.

Ini bisa terlihat di Kabupaten Bogor yang jarang sekali ditemukan huma.

Padahal dulu sangat banyak huma bisa ditemukan di Kabupaten Bogor.

Huma yang dikelola di Desa Cirompang sama seperti yang dikelola oleh

warga lain di Kawasan Halimun. Sistem gilir balik menjadi bentuk


59

pengelolaan huma secara bijak, baik dari sisi lingkungan (ekologi)

maupun pemanfaatannya secara ekonomi. Secara umum, sistem gilir

balik ini merupakan proses sirkulasi tanam dan masa istirahat tanah.

Dengan adanya sistem gilir balik ini, setelah masa panen padi tiba, tanah

kemudian diistirahatkan dengan sebutan masa bera. Ini merupakan masa

pengembalian unsur hara di dalam tanah. Secara ekologis, tanah huma

relatif lebih subur. Data lapang (RMI, 2009) berhasil mengidentifikasi

lebih dari 30 jenis tanaman yang terdapat di huma. Selang beberapa

tahun kemudian fungsi huma berubah menjadi reuma, dimana tumbuh

beragam tanaman obat. Dan ketika tanaman-tanaman ini mulai

meninggi, lahan huma akan kembali menjadi hutan. Berikut adalah

tahapan ngahuma di Desa Cirompang.

Tabel 4.3 Tahapan Ngahuma

Lama Dilakukan Oleh


No Tahapan Pengertian
Waktu Perempuan Laki-Laki

1 Beberes Persiapan Awal (Ritual 2 Bulan Kasepuhan

Adat)

2 Nyacar Membersihkan Lahan Yang 1 Bulan  

Akan Di Tanami

3 Ngahuru Membakar hasil dari 1 Hari  

pembersihan lalan

4 Ngaduruk Membakar sisa ngahuru 1  


60

agar lebih bersih Minggu

5 Ngaseuk Menebar benih padi huma 1  

atau palawija. Minggu

6 Ngored Membersihkan tanaman 1 Bulan 

pengganggu (gulma)

7 Ngubaran Selamatan dan Pemupukan- 40 Hari  

mengobati hama penyakit.

(Ritual Adat/Kasepuhan)

8 Mapag Selamatan ketika padi 40 Hari  

berbunga (Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

9 Beberes Selamatan ketika padi akan 40 Hari  

dipanen (Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

10 Mipit Memulai Memanen Padi 1 Hari  

(Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

11 Mocong Mengikat Padi Setelah ½ Bulan 

Kering

12 Ngunjal Memindahkan padi dari 1 Hari 

lantaian ke Leuit
61

13 Ngubaran Awal mencicipi hasil panen 

13 Netepkeun Selamatan Padi Ketika akan 1 Hari 

masuk Leuit (Ada Ritual

Adat/Kasepuhan)

14 Seren Selamatan Atas Hasil Bumi  

Tahun (Padi) yang telah didapat

Bukan hanya sawah, di dalam tahapan ngahuma pun peran

perempuan dan laki-laki saling melengkapi. Dari empat belas tahapan

ngahuma, 9 diantaranya di lakukan secara bersamaan, 1 tahapan dilakukan

hanya oleh perempuan dan 3 tahapan dilakukan hanya oleh laki-laki.

3. Ngebon (dudukuhan)

Kebun masyarakat dikenal dengan istilah Dudukuhan. Jenis

vegetasi yang berhasil teridentifikasi selama proses kajian RMI, 2009

berlangsung, lebih dari 30 jenis yang didominasi oleh pohon kayu

(seperti Sengon, Manii/ Afrika, dll serta pohon buah seperti Rambutan,

Durian, Duku, dll). Pengelolaan kebun bagi warga Cirompang sangat

penting untuk menjaga keberlanjutannya. Oleh karenanya sistem

agroforestry sangat dipertahankan untuk menjaga keberlangsungan

secara ekologi dan ekonomi. Berikut adalah tahapan ngebon yang biasa

dilakukan oleh warga Cirompang.


62

Tabel 4.4 Ngebon Kayu-Buah (Dudukuhan)

Lama Dilakukan Oleh


No Tahapan Pengertian
Waktu Perempuan Laki-Laki

1 Beberes Persiapan Awal 2 Bulan Kasepuhan

(Ritual Adat)

2 Nyacar Membersihkan Lahan 1 Bulan  

Yang Akan Di

Tanami

3 Ngahuru Membakar hasil dari 1 Hari  

pembersihan lalan

4 Ngaduruk Membakar sisa 1 Minggu  

ngahuru agar lebih

bersih

5 Ngaseuk Menebar Benih 1 Minggu  

Kayu-Buah, Kadang

bersamaan dengan

benih padi huma atau

palawija

6 Ngored Membersihkan 1 Bulan 

tanaman pengganggu

(gulma)
63

7 Ngubaran Selamatan dan 40 Hari  

Pemupukan-

mengobati hama

penyakit. (Ritual

Adat/Kasepuhan)

8 Membiarkan

Tanaman Menunggu masa panen dengan lama waktu lebih kurang

Kayu dan 5 tahun hingga lebih.

Buah

4. Hutan (Leuweung)

Hutan bagi warga Halimun pada umumnya merupakan titipan yang

harus dijaga. Sebagai areal yang berfungsi mempertahankan kuantitas

dan kualitas air, hutan yang saat ini mencapai 53,742 ha masih tetap

dipertahankan keberadaannya. Dalam konteks air, Dungus menjadi

istilah yang sering disebut-sebut sebagai area yang didalamnya terdapat

mata air. Dungus berada di dalam kawasan hutan, jadi hutan sangat

berarti keberadaannya bagi warga Cirompang. Untuk menjaga agar tetap

lestari dan berkelanjutan warga Cirompang memiliki aturan main dalam

pengelolaan Dungus atau hutan ini. Diantaranya adalah perlu menjaga

sumber mata air sejauh 7 tumbak (50 m) dengan jenis tanaman yang bisa
64

menyuburkan air, seperti Picung, Kayu Dadap, Kayu Manglid, Kayu

Leles, Bambu.

Bukan hanya bagi masyarakat di hulu, masyarakat di hilir pun sangat

bergantung pada ketersediaan air. Pentingnya air bagi warga Cirompang

bisa ditunjukkan dengan filosofi hidup “cai eta mangrupakeun sumber

anu nangtukeun hirup keur kahuripan – air merupakan sumber yang

menentukan hidup untuk kehidupan” yang artinya ada banyak

konsekwensi logis atas keberlangsungan hutan. Maka dari itu sumber air

sangat penting untuk dijaga keberlanjutannya dan dilestarikan

keberlangsungannya. Pengelolaan konsep kawasan hutan yang lebih

“aman” yang saat ini tengah disusun oleh warga Cirompang diharapkan

bisa diterima oleh semua pihak termasuk TNGHS yang juga diberi hak

kelola oleh negara.

Pemnafaatan hasil hutan berupa padi yang terdapat di kawasan tanah

adat Kasepuhan Cirompang hanya boleh di manfaatkan untuk

kepentingan social seperti:

1. Asup leweng

2. Nibakeun

3. Ngubaran

4. Mapag pare beukah

5. Mipit

6. Ngadiukeun
65

7. Seren taun

Hasil yang di peroleh untuk kepentingan ritual yang dilakukan

dikasepuhan dan dibagi menjadi tigabagaian, yang pertama untuk warga

yang mengambil atau yang mengelola, kedua untuk kepentingan bersama

yang di atur oleh lembaga adat, ketiga untuk pemangku adat.

Pemerlakuakn aturan tersebut memberikan dampak bagi masyarakat

dimana tidak ada masalah serius yang tidak bisa ditangani oleh

Kasepuhan Cirompang.

H. Pengelolaan Hutan Diluar Kawasan Tanah Hutan Adat.

Pengelolaan hutan diluar Hutan Adat untuk dijadikan lahan perkebunan atau

pertanian juga memiliki syarat-syarat tertentu sebagai berikut:

a. Tidak boleh menebang habis

b. Kayu-kayu keras harus dipertahankan

c. Ketika membuka lahan ternyata terdapat mata air maka pembuka lahan

harus menanam kayu penyerap air

d. Pohon-pohon dipinggir sungai tidak boleh ditebang

Semua aturan-aturan yang berlaku dimaksudkan agar hutan tetap terus

terjaga dan lsetari karena masyarakat menganggap bahwa hutan merupakan

bagian yang penting bagi kehidupan dan lingkungan.


66
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

67
68

Anda mungkin juga menyukai