Kehutanan ada suatu praktek untuk membuat, mengelola, menggunakan, dan
melestarikan hutan untuk kepentingan manusia. Undang-Undang republik Indonesia No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Belum lama ini ada sebuah publikasi yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara perusak hutan nomor 1 (satu) di dunia. Sangat ironis sekali karena sebenarnya dikenal sebagai Negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia. Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Ini disebabkan karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus bertambah dari tahun ke tahun, juga disebabkan karena pemerintah secara sadar telah mengeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa Negara yang paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi. Memang secara nyata, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa negara, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yang tak terkendali dan tak terawasi selain menimbulkan kerugian ekologi (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan social dan budaya termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan (social and cultural cost). Degradasi kuantitas dan kualitas sumber daya hutan di Indonesia terjadi bukan semata-mata karena faktor kepadatan penduduk, rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, yang cenderung dikaitkan dengan kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan yang memiliki tradisi perladangan gilir balik (shifting cultivation). Tetapi, kerusakan sumber daya hutan justru terjadi karena pilihan paradigma pembangunan yang berbasis Negara (state-based resource development), penggunaan manajemen pembangunan yang bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang didukung dengan instrument hukum dan kebijakan yang bercorak represif (repressive law). Sejarah hukum pengelolaan hutan di Indonesia selama ini sudah mengalami tiga jaman. Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, kemudian pemerintahan bala tentara Dai Nippon Jepang, sampai instrument hukum produk pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, termasuk pada masa pemerintahan orde lama, orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dipelopori oleh Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, tugas yang dibebankan adalah merehabilitasi kawasan hutan melalui kegiatan reforestasi pada lahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius. Banyak hal yang telah dilakukan, antara lain, membuat ordonansi-ordonansi tentang reforestasi, kemudian membentuk Jawatan Kehutanan yang diberikan wewenang mengelola hutan di Jawa dan Madura.Dalam perkembangannya, peraturan-peraturan hukum tersebut pada dasarnya mengandung banyak kelemahan, tumpang tindih, dan terutama tidak memperoleh dukungan konsolidasi sosial dan budaya masyarakat setempat, sehingga tidak dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk mengoperasikan pemangkuan dan pengusahaan hutan seperti yang diharapkan pemerintah Hindia Belanda. Selama masa pendudukan tentara Jepang pengelolaan hutan di Jawa mengalami kegoncangan, dalam arti tidak berjalan seperti pada masa pemerintahan kolonial Belanda, selain karena sedikit dari bekas pegawai Jawatan Kehutanan Belanda yang mau bekerja untuk kepentingan pemerintah Dai Nippon, juga karena keadaan chaos akibat perang gerilya rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan tidak memungkinkan pengelolaan hutan berlangsung seperti yang diharapkan pemerintah Dai Nippon. Karena itu, sampai menjelang jatuhnya kekuasaan Jepang, urusan kehutanan yang menjadi sumber keuangan untuk membiayai perang tentara Jepang di Asia dimasukkan ke dalam urusan Departemen Produksi Kebutuhan Perang. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia telah banyak membuat peraturan-peraturan mengenai pengolahan sumber daya alam. Untuk merealisasikan asas desentralisasi dalam sistem pemerintahan Negara, dan mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah dalam pengeloalaan sumber daya alam, untuk pertama kali pemerintah mengeluarkan PP No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat di lapangan Perikanan, Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-daerah Swatantra Tingkat I. Usaha untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi pelaksanaan tugas dan kewajiban pengelolaan hutan di seluruh wilayah Indonesia, maka pada bulan November 1963 di Bogor diselenggarakan Konferensi Dinas Instansi-instansi Kehutanan. Ini menjadi konferensi dinas yang pertama setelah diberlakukannya desentralisasi urusan kehutanan dan perusahaan-perusahaan kehutanan Negara. Setelah Kabinet Dwikora dibentuk oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964, maka dari sisi kelembagaan pengelolaan hutan di Indonesia, untuk pertama kalinya pemerintah membentuk Departemen Kehutanan sebagai institusi Negara yang diberi wewenang mengelola dan mnegusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan No.1 Tahun 1964 ditegaskan bahwa salah satu tugas Departemen Kehutanan adalah merencanakan, membimbing, mengawasi, dan melaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan, terutama produksi dalam arti yang luas di bidang kehutanan, untuk meninggikan derajat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dan Negara secara kekal. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dibentuk cabinet pemerintahan yang dinamakan Kabinet Ampera (Amanat Pemerintahan Rakyat). Kabinet Ampera membubarkan Departemen Kehutanan yang selanjutnya urusan kehutanan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan yang secara kelembagaan berada di dalam Departemen Pertanian. Era Kabinet Ampera dilaksanakan oleh Pemerintah orde baru melalui pembangunan ekonomi nasional yang diorientasikan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi secara cepat dan kilat maka pemerintahan orde baru (1) membuka peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin pemilikmodal di dalam maupun di luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia , dan (2) dengan secara sadar pemerintah mengeksploitasi sumber daya dan kekayaan alam di Indonesia, terutama minyak dan gas bumi. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah membangun instrument hukum yang dimulai dengan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN). Dalam rangka peningatan PMA maupun PMDN di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrument hukum yang dimulai dengan pembentukan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Kemudian, untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemeberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No.21 tahun 1970 jo. PP No.18 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan hasil Hutan (HPH dan HPHH). Segera setelah PP mengenai HPH dan HPHH ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar- besaran dilakukan pemerintah, melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada BUMS dan BMN memang secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi, dari sesilain kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan yang tidak terbuka dan tidak selektif, karena mengandung unsure KKN sehingga konsesi dikuasai oleh orang-orang atau yayasan-yayasan tertentu yang memilikiakses kuat pada elit penguasa, ditambah lagi dengan lemahnya aspek pengawasan dan penegakkan hukum di Indonesia, maka terjadilah eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali, tak terkontrol, dan tak tersentuh oleh hukum para pemegang konsesi HPH dan HPHH. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah: (1) dari segi ekologi terjadi degradasi kuantitas dan kualitas hutan tropis di berbagai kawasan di Indonesia, dan (2) dari segi social dan budaya muncul kelompok-kelompok masyarakat, terutama masyarakat yang secara turun temurun hidup dan tinggal did an sekitar hutan, sebagai korban-korban pembangunan (victims of development), yang tergusur dan terabaikan serta terbekukan akses dan hak-hak mereka atas sumber daya hutan. Banyak kejanggalan yuridis dalam konteks produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Orde baru untuk mendukung kebijakan pengusahaan hutan di Indonesia, maka secara idiologis produk hukum pengelolaan hutan terutama yang berbentuk UU mencerminkan idiologi pengelolaan hutan yang berbasis Negara (state based Forest Management), yang kemudian diinterprestasikan secara tunggal dan sempit atau dianalogikan pemerintah sebagai pengelolaan hutan yang berbasis Pemerintah (Government based Forest Management). Instrumen pengelolaan hutan yang diproduk pemerintah juga lebih merupakan hukum pemerintah (government law), atau lebih konkrit sebagai hukum birokrasi (bureaucratic law), bukan hukum Negara (state law) seperti yang diamanatkan UUD 1945. Hukum birokrasi cenderung dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, dan bahkan pembekuan akses serta hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan. Model produk seperti ini dikenal sebagai produk hukum yang bercorak represif (repressive law) seperti dimaksud Nonnet & Selzniek (1978). Pada era reformasi di bawah pemerintahan B.J. Habibie secara idiologis tidak mengalami perubahan. Produk hukum dalam bentuk PP No. 6 tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Produksi mengandung muatan jiwa, semangat, dan substansi yang secar prinsip tidak berbeda dengan PP No. 21 tahun 1970 tentang HPH dan HPHH, alias tidak mencerminkan semangat reformasi. Lebih ironis lagi, produk hukum pada era reformasi dalam bentuk UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara idiologis dan substansial sama dan sebangun dengan UU No. 5 Tahun 1967 sebagai produk hukum orde baru. Paradigma manajemen pembangunan yang berbasis Negara, bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi harus dirubah. Pemerintah harus segera mengakaji ulang dan mereorientasi serta mengganti idiologi pembangunan yang berbasis pemerintah (government based forest management) ke pembangunan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat (community based forest management). Selain itu, pemerintah harus melakukan kajian ulang dan restrukturisasi atas pilihan instrument hukum yang dibangun dan diimplementasikan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan, dari bangunan hukum pengelolaan sumber daya hutan yang lebih bercorak represif (repressive law) ke instrument hukum yang lebih bersifat responsive (responsive law). Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry/CF) sebenarnya relatif baru karena muncul sebagai tanggapan dari kegagalan konsep industrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Yang menarik, penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu bernama Jack Westoby (Munggoro, 1998). Ia kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta: Forest for People. Kristalisasi pikiran – pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO. Dan kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai : “konsep radikal kehutanan yang berintikan pastisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki“. Hal ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari sumberdaya itu dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada masyarakat pedesaan yang miskin. Beberapa tahun terakhir ini konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan dari social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk pengusahaan kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Dan kemudian di Indonesia Perum Perhutani – sebagai salah satu pelopor SF di Indonesia – mendefenisikan bahwa SF adalah: “Suatu sistem di mana masyarakat lokal berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan tanaman“. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan meningkatkan fungsi hutan, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan kesejahteraan sosial. Dalam perubahan idiologi tersebut yang menjadi halangan adalah: 1. dari sisi kelembagaan ekonomi masyarakat belum terbentuk 2. dari social-politik, dalam kebijakan pembangunan masyarakat belum memiliki posisi sebagai subyek secara utuh. 3. keinginan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar hutan, maupun peningkatan pendapatan negara, jelas meminimalkan semangat ekologis.