Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

Sumber daya alam merupakan kekayaan bumi yang berupa benda mati
maupun benda hidup yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Sumber daya alam dapat dibedakan atas sumber daya alam hayati dan
sumber daya alam nonhayati. Sumber daya alam memberikan banyak manfaat
bagi kehidupan manusia. Ada beberapa jenis sumber daya alam yang tergolong
tak dapat diperbaharui, suatu ketika akan habis sama sekali. Oleh sebab itu,
manusia berkewajiban untuk berusaha menggunakan sumber daya alam yang
tak dapat diperbarui secara efisien (Rahmadi, 2011).
Definisi dari sumber daya alam hayati menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1990 menyatakan bahwa sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur
hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber
daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Pasal 1 ayat (2) disebutkan
bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kawasan pelestarian alam adalah
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman nasional adalah kawasan
pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a.
perlindungan sistem penyangga kehidupan; b.pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c. pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pembuatan makalah ini
adalah untuk mengetahui histori konservasi dan ruang lingkup konservasi .
II. ISI
A. Perkebangan Konservasi Sumberdaya Ikan
Berdasarkan buku ‘Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia’ Tahun
2008 menjelaskan tentang perjalanan Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia
setiap Era sebagai berikut:
1) Era Tahun 1970-an
Secara formal KSDI di Indonesia diawali di era tahun 1960an dan 1970an
dengan mulai berkiprahnya Indonesia di dalam kancah Internasional. Pada era
ini, KSDI di Indonesia diawali dengan bercermin pada mainstream konservasi
global saat itu, yakni melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap jenis-jenis
hewan dan tumbuhan langka, termasuk jenis-jenis ikan. Namun jauh sebelum era
ini, sebenarnya upaya-upaya pengembangan konservasi kawasan juga telah
dimulai
semenjak jaman penjajahan Belanda (1640-1942an). Walaupun fokus
pengembangannya masih ke Kawasan konservasi hutan. Kemudian setelah
kemerdekaan di masa pemerintahan orde lama (1945-1967an), juga setelah
masa
orde baru (1968-1998an), berkembang pula kawasan-kawasan konservasi,
termasuk untuk wilayah perairan. Sementera itu untuk suaka perikanan yang
diwarisi dari sistem kerajaan yang pernah ada di Indonesia, misalnya suaka
perikanan Danau Loa Kang dan suaka perikanan Batu Bumbun, telah
dikembangkan dan pernah mencapai puncak kesuksesannya sekitar 500 tahun
yang lalu pada masa Kerajaan Kutai Kertanegara di Propinsi Kalimantan Timur.
Sayangnya suaka perikanan tersebut saat ini sudah hampir tidak berfungsi lagi,
sejak dikelola oleh Pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5
tahun 1967 Tentang Pemerintahan Desa.
2) Era Tahun 1980-an
Perkembangan kawasan konservasi di era 1980an ini mulai sedikit lebih
maju dari pada era sebelumnya, dimana pengembangan konservasi di Indonesia
tidak hanya pada konservasi jenis dan kawasannya saja tetapi juga mulai masuk
ke dalam issue keanekaragaman hayati. Hal ini sangat dipengaruhi juga oleh
mainstream konservasi global dengan hadirnya Convention on Biological
Diversity (CBD) yang memandatkan negara-negara anggotanya untuk
melestarikan keanekaragaman hayati. Namun sayangnya issue biodiversity ini
masih mementingkan kepentingan perlindungan aspek biologi dan
lingkungannya saja, sedangkan masyarakat belum menjadi perhatian. Manusia
masih dianggap tidak merupakan satu kesatuan dengan lingkungan yang harus
dilestarikan.
3) Era Tahun 1990-an
Di era tahun 1990an ini perkembangan KSDI di Indonesia mulai berubah
seiring dengan perubahan mainstream konservasi global, yaitu masyarakat
menuntut agar tidak ada pembatasan akses terhadap kawasan-kawasan
konservasi yang ditetapkan. Pihak-pihak civil society mulai mengembangkan
konsep-konsep pengembangan konservasi yang juga memperhatikan akses
masyarakat terhadap sumberdaya alam, baik yang berada di luar kawasan
maupun di dalam kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak masyarakat menjadi
salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan konservasi di Indonesia.
Kemudian di tingkat global pun mulai banyak diperkenalkan metode pengelolaan
sumberdaya alam yang berbasis masyarakat.
Di era ini KKL di Indonesia mulai dikembangkan dengan nyata, walaupun
tidak sebanyak kawasan konservasi hutan. Namun sayangnya pendekatan
pengelolaan KKL yang ada, baik itu taman nasional ataupun suaka alam yang
saat itu dikembangkan oleh Departemen Kehutanan, masih dilakukan dengan
pola pendekatan yang bias darat dan juga sangat sentralistik. Sehingga muncul
berbagai gejolak yang menuntut peran Pemerintah Daerah semakin diperbesar.
Di era 1990an ini kemudian dikeluarkanlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan sebagian kewenangan
pengelolaan konservasi kepada Pemerintah Daerah.
Kemudian di akhir era ini (1999) Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) lahir, yang pada saat itu Bernama Departemen Eksplorasi Laut. DKP saat
itu mulai melakukan pembenahan-pembenahan termasuk di dalamnya
melakukan pengembangan konsep konservasi laut yang memperhitungkan
semua kepentingan yang ada, mulai dari mengembangkan kawasan konservasi
yang melibatkan masyarakat, sampai pada konsep pengengelolaan kawasan
konservasi oleh Pemerintah Daerah. Walaupun berdirinya DKP belum lama,
namun DKP berupaya untuk menjawab semua tantangan konservasi yang ada
pada masa tersebut.
4) Era Tahun 2000-an sampai sekarang
Pada era ini mulai terjadi perubahan paradigma pembangunan, sejalan
dengan disyahkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang merupakan perubahan atas Undang-undang No. 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, telah memperjelas pembagian wewenang ke
Pemerintah Daerah yang didalamnya termasuk urusan konservasi. Kemudian
DKP mulai memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa pengelolaan
kawasan konservasi merupakan hal yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah
Daerah maupun masyarakat, sehingga paradigma desentralistik mulai
berkembang dalam pengelolaan KKP. DKP juga mulai mengejar ketinggalannya
dari sektor kehutanan dalam mengembangkan KKL.
Di depan para pejabat dari beberapa negara, Menteri Kelautan dan
Perikanan pada era ini yaitu Bapak Rohmin Dahuri mendeklarasikan untuk
menghasilkan KKL seluas 10 juta Ha pada tahun 2010, yang saat itu dirasakan
adalah janji yang sangat ambisius. Namun perkembangannya sangat signifikan,
sehingga pada bulan Maret 2006 di Brazil, Bapak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melalui perwakilannya kembali mempertegas komitmen Indonesia
dengan mendeklarasikan di depan sidang COP CBD bahwa Indonesia
mentargetkan kawasan konservasi laut seluas minimal 10 juta Ha pada tahun
2010 dan 20 juta Ha pada tahun 2020. Dengan adanya deklarasi ini, telah
menjadikan cambuk kepada DKP untuk lebih serius menangani KKL di
Indonesia.
Pada tingkat global, juga mulai menekankan bahwa pengembangan KKL
tidak hanya mentargetkan luasnya kawasan, namun juga harus melakukan
pengelolaan efektif, yang dapat memberikan kesejahteraan masyarakat. Selain
itu, DKP juga harus tetap memperhatikan keinginan Pemerintah Daerah untuk
mengembangkan KKL Daerah (KKLD). Kemudian di era ini pula, dengan
disyahkannya UU No. 31/2004, pengaturan KSDI menjadi lebih jelas karena
dimandatkan pada beberapa pasal di dalamnya, yang selanjutnya diatur
penjabaran lebih rinci lagi pada PP No. 60/2007. Pada era ini disyahkan pula UU
No. 27/2007, yang di dalamnya mengatur pula tentang konservasi di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Issue pemanasan global akibat perubahan iklim juga menjadi perhatian
khusus dalam pengembangan KSDI oleh pemerintah Indonesia di era ini.
Masyarakat dunia mulai bersuara bahwa laut berperan pula dalam perubahan
iklim, mengingat di laut terdapat terumbu karang dan padang lamun yang
berpotensi dapat menyerap karbon (CO2), Sementara itu keseimbangan
kehidupan di laut terpengaruh pula akibat perubahan iklim.
Kemudian dengan adanya issue pemanasan global tersebut, DKP bekerja
sama dengan berbagai pihak baik swasta, LSM maupun masyarakat,
mengembangkan berbagai inisiatif dan program nyata dari tingkat lokal sampai
ke tingkat regional. Sebut saja program Coral Reef Rehabilitation and
Management Program (COREMAP) yang bekerjasama dengan berbagai pihak
untuk pengelolaan terumbu karang secara lestari, misalnya dengan
mengembangkan KKL berbasis masyarakat, yang biasa disebut Daerah
Perlindungan Laut (DPL) atau KKL skala desa. Kemudian program Sulu-
Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarck Solomon Seas Ecoregion
(BSSE), serta masih banyak lagi inisiatif yang sedang dikembangkan oleh DKP,
salah satunya yang terbaru adalah Coral Triangle Initiative (CTI). Perlu menjadi
perhatian pula bahwa pada era terdahulu belum banyak permasalahan terkait
KSDI, namun pada era ini semakin banyak dan kompleks, bahkan mendesak
untuk ditangani bersamaan dan segera.
B. Ruang Lingkup Konservasi
Sesuai dengan UU No. 31/2004 Jo Undang-undang (UU) No. 45 Tahun 2009
pada pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa “Dalam rangka pengelolaan SDI,
dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi
genetika ikan”. Oleh sebab itu dengan diberlakukannya UU No. 31/2004, maka
penyelenggaraan KSDI di Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari
pengelolaan SDI agar berkelanjutan, serta tidak hanya terfokus pada
perlindungan jenis ikan saja, namun juga mengatur tentang konservasi ekosistem
dan genetik ikan.
Konservasi ekosistem diselenggarakan dalam rangka menjamin habitat
hidup ikan agar terjaga kelestariannya, baik pada area pemijahan (spawning
ground), area asuhan (nursery ground), area mencari makan (feeding ground),
juga pada jalur ruaya (migratory route), baik di perairan tawar, payau maupun
tawar (Gambar 18). Beberapa tipe ekosistem yang terkait KSDI adalah laut,
padang lamun, terumbu karang mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau,
waduk, embung, dan ekosistem perairan buatan. Sementara itu konservasi jenis
ikan dan genetik ikan adalah untuk melindungi jenis dan genetik ikan yang
terancam punah, ataupun yang sudah langka, yang selanjutnya untuk menjamin
keanekaragaman hayati, sehingga keseimbangan populasi/spesies ikan tetap
terjaga dan pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat tercapai.
Setelah secara eksplisit tersebut dalam UU No. 31/2004, menyebabkan
eksistensi KSDI di Indonesia semakin kuat, mengingat sebelumnya KSDI belum
diatur dengan detail. Sehingga KSDI di Indonesia kemudian tumbuh pesat dan
senantiasa berusaha menjawab permasalahan dan issue-issue nasional, serta
tetap mengikuti mainstream global. Oleh sebab itu pemahaman KSDI di
Indonesia juga terus berkembang dengan paradigma baru, sebagaimana tertulis
pada pasal 1 angka 8 UU No. 31/ 2004 bahwa “KSDI adalah upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan SDI, termasuk ekosistem, jenis dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya
dengan tetap memelihara dan tetap meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman SDI”.
Sejalan dengan konsep ini, pengelenggaraan KSDI di Indonesia tidak hanya
untuk perlindungan dan pelestarian, namun juga untuk “pemanfaatan” SDI,
walaupun merupakan pemanfaatan terbatas dengan persyaratan tertentu, guna
tetap menjamin kelestarian SDI dan menjamin adanya akses masyarakat
terhadap SDI. Sehingga masyarakat, khususnya nelayan skala kecil juga dapat
menerima manfaat atas penyelenggaraan KSDI dan diharapkan dapat
mensejahterakan mereka.
Sebagai obyek penyelenggaraan KSDI adalah “ikan”, sebagaimana pada
pasal 1 angka 4 UU No. 31/2004 dijelaskan bahwa ”Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam
lingkungan perairan”. Sebagaimana dalam penjelasannya bahwa yang termasuk
jenis ikan adalah “pisces (ikan bersirip), crustacea (udang, rajungan, kepiting dan
sebangsanya), mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan
sebangsanya), coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya), echinodermata
(teripang, bulu babi dan sebangsanya), amphibia (kodok dan sebangsanya),
reptillia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya), mammalia
(paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya); algae (rumput laut dan
tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air), dan biota perairan lainnya
yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut diatas; semuanya termasuk
bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi.
Dalam PP No. 60/2007 selanjutnya dijelaskan secara detail tentang
penyelenggaraan KSDI, bahwa asas dan prinsip penyelenggaraan KSDI di
Indonesia sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 yaitu: (1) pendekatan kehati-
hatian, (2) pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4)
Pengelolaan berbasis masyarakat, (5) keterpaduan pengembangan wilayah
pesisir, (6) pencegahan tangkap lebih, (7) pengembangan alat tangkap, cara
penangkapan ikan, dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan, (8)
pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (9) pemanfaatan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, (10) perlindungan struktur dan
fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis, (11) perlindungan jenis dan
kualitas genetik ikan, dan (12) pengelolaan adaptif. Berdasarkan asas dan
prinsip tersebut kini KSDI di Indonesia dikembangkan untuk mendukung
pengelolaan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries).
C. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Seperti yang sudah ada dalam pembahasan diatas konservasi diatur di
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini merupakan lex specialis dari
undang-undang kehutanan karena undang-undang konservasi mengatur
sebagian mengenai hutan dan kawasan hutan yang telah diatur secara umum
dalam undang-undang kehutanan.
Secara umum bentuk konservasi dapat dibedakan atas 2 (dua) golongan,
yaitu:
i. Konservasi in situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di
dalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam
(Cagar alam dan Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam
(Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam)
(Pamulardi, 1999).
ii. Konservasi ek situ yaitu kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di
luar habitat aslinya. Konservasi ek situ dilakukan oleh lembaga konservasi,
seperti kebun raya, arbetrum, kebun binatang, taman safari, dan tempat
penyimpanan benih dan sperma satwa(Pamulardi, 1999).
Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya pasal 5 menyebutkan
bahwa Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan: 1) Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan; 2) Pengawetan
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa Beserta Ekosistemnya; 3)
Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
1) Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai
unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mewujudkan
tujuan Perlindungan sistem penyangga, Pemerintah menetapkan:
1) wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
2) pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
3) pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga
kehidupan.
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara
alami dan atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya
diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.
2) Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa Beserta
Ekosistemnya
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan: a) pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b) pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa.
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam
agar tetap dalam keadaan asli. (1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
dilaksanakan di dalam dan di luar Kawasan suaka alam. (2) Pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan
membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang
menurut proses alami di habitatnya. (3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan
mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya
kepunahan.
3) Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan: a) pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan
pelestarian alam; b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan
dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya
dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Kawasan
pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian
alam terdiri dari: (a) taman nasional; (b) taman hutan raya; (c). taman wisata
alam.
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari
zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi, menghilangkan
fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan
satwa lain yang tidak asli. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam. Pengelolaan taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah. Di dalam
zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Untuk
kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak
pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. Dalam keadaan tertentu
dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian
sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat
menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan
raya, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu
tertentu.

D. Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan


Sebagaimana mainstream global, Indonesia pada saat ini sesuai PP No.
60/2007 juga mengembangkan KKP yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
Pengembangan KKP tersebut sebagai wujud penyelenggaraan konservasi
ekosistem sebagai perlindungan habitat ikan, yang antara lain dapat ditetapkan
di perairan laut sebagai KKP laut (KKL), ataupun diperairan daratan misalnya di
danau, sungai, ataupun rawa, sebagai KKP daratan. KKL pada dasarnya sangat
populer dikenal oleh masyarakat, walaupun KKP daratan sebenarnya juga sudah
sejak lama dikembangkan di Indonesia, misalnya di Propinsi Sumatera Barat,
sebagai KKP adat atau biasa disebut “lubuk larangan”.
Pengembangan KKP di Indonesia hingga saat ini terus meningkat,
apalagi dengan adanya target 10 juta Ha pada tahun 2010 atau 20 juta Ha pada
tahun 2020, sebagaimana komitmen Presiden RI SBY pada tahun 2006 di sidang
COP
CBD. Beberapa pemahaman yang perlu diketahui bahwa, pada saat ini
dikembangkan KK dibawah tanggungjawab Depertemen Kehutanan, misalnya
berupa Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar
Alam Laut (CAL), dan Suaka Margasatwa Laut (SSML). Demikian pula sejak
berdirinya DKP telah dikembangkan KKP dibawah tanggungjawab DKP
bersama-sama dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
Untuk pengembangan KKP dibawah tanggungjawab DKP, sesuai PP No.
60/2007 dalam penetapannya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
mencadangkan suatu Kawasan perairan, baik perairan daratan (perairan tawar
ataupun payau) dan laut sebagai KKP, yang berdasarkan kewenangan
pengelolaannya terdiri dari: (1) KKP Nasional, (2) KKP Propinsi dan (3) KKP
Kabupaten/Kota. Pada saat ini, DKP telah mengembangkan KKP level
Kabupaten/Kota berupa Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang hingga
Desember 2007 telah mencapai 24 lokasi yang tersebar di berbagai wilayah
Kabupaten/Kota dan akan terus dikembangkan KKP baik level nasional, maupun
level propinsi.
Dari kewenangan penetapan KKP tersebut terlihat jelas bahwa paradigma
yang diusung dalam penyelenggaraan KSDI ini sudah mengakomodir prinsip-
prinsip desentralisasi. Kondisi ini sangat berbeda dengan paradigma sebelumnya
yang masih bersifat sentralistik. Selanjutnya jenis KKP dapat dibedakan atas: (1)
Taman Nasional Perairan, (2) Suaka Alam Perairan, (3) Taman Wisata Perairan
dan (4) Suaka Perikanan. Sedangkan tahapan penetapan KKP adalah: (1)
usulan
inisiatif, (2) identifikasi dan inventarisasi, (3) pencadangan KKP dan (4)
penetapan KKP. Usulan inisiatif selain dari jajaran pemerintahan, dapat pula
berasal dari masyarakat, sehingga dalam hal ini peran serta masyarakat sangat
diutamakan dalam proses pengusulan suatu perairan untuk menjadi KKP.
Sementara itu pembagian zonanya meliputi: (1) zona inti, (2) zona perikanan
berkelanjutan, (3) zona pemanfaatan, dan (4) zona lainnya.
Penetapan KKP bukan hanya untuk perlindungan dan pelestarian SDI,
yang sarat akan tindakan pelarangan dan penutupan akses bagi masyarakat.
Namun dapat pula KKP dimanfaatkan secara terbatas dengan pengaturan pada
zona yang ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberikan akses untuk
melakukan kegiatannya, dengan pemanfaatan KKP tersebut dapat berupa
upaya: (1) Penangkapan ikan, (2) Pembudidayaan ikan, (3) Pariwisata alam
perairan, dan (4) Penelitian dan pendidikan.
Pemanfaatan KKP melalui penangkapan ikan dapat terselenggara
dengan kondisi: (1) Dilakukan di zona perikanan berkelanjutan, (2) Memiliki izin,
(3) Dilakukan berdasarkan daya dukung dan kondisi lingkungan SDI, metoda
penangkapan dan jenis alat penangkapan ikan. Kemudian pemanfaatan KKP
melalui pembudidayaan ikan terselenggara apabila: (1) Dilakukan di zona
perikanan berkelanjutan, (2) Memiliki izin, dan (3) Dilakukan berdasarkan jenis
ikan yg dibudidayakan, jenis pakan, teknologi, jumlah unit budidaya, daya
dukung dan kondisi linkungan SDI. Sementara itu pemanfaatan KKP melalui
pariwisata alam dapat pula diselenggarakan apabila: (1) Dilakukan di zona
pemanfaatan dan/atau zona perikanan berkelanjutan, (2) Kegiatan wisata alam
dan/atau pengusahaan pariwisata, dan (3) Memiliki izin.
Sedangkan pemanfaatan KKP melalui penelitian dan pendidikan
diselenggarakan apabila: (1) Dilakukan di zona inti, zona pemanfaatan, zona
perikanan berkelanjutan maupun zona lainnya, (2) Memiliki izin pemanfaatan, (3)
bagi orang asing yang melakukan penelitian mengikuti ketentuan perundang-
undangan terkait.
Pada saat ini, KKP yang terbentuk sebelum berdirinya DKP
pengelolaannya masih menjadi tanggungajawab Departemen Kehutanan dan
masih bersifat sentralistik. Namun sesuai dengan kesepakatan penyelarasan
urusan antara DKP dan Depertemen Kehutanan, beberapa KK Departemen
Kehutanan, yang masuk ke dalam kelompok TWAL, CAL, dan SML, yang benar-
benar wilayahnya berupa perairan akan diserahkan ke DKP.
Untuk KKP yang terbentuk setelah berdirinya DKP, maka menjadi
tanggungjawab DKP untuk fasilitasi pembinaannya dan bersamasama
Pemerintah Daerah baik Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pengembangannya,
dengan telah penerapan paradigma desentralistik. Pada saat ini KKP yang dibina
oleh DKP sudah mencapai 24 KKLD dengan luas 3,155,572.40 Ha, yang
tersebar di berbagai Kabupaten/Kota. Inisiasi untuk pencadangannya dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yang hingga saat
ini dari ke 24 KKLD tersebut telah memiliki dasar hukum berupa Surat Keputusan
Pencadangan KKP oleh Bupati/Walikota. Dalam waktu dekat (2008), Pemerintah
(DKP) akan memfasilitasi untuk penetapannya oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan dan akan disyahkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan.
Hingga saat ini penetapan KKLD oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
belum dilakukan, mengingat seluruh KKLD tersebut pada saat ini masih dalam
tahap melengkapi dokumen-dokumen pengelolaan, misalnya dokumen
Management Plan. Karena sebelum Management Plan tersedia, lengkap dengan
kelembagaan dan pendanaannya, maka penetapan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan belum dapat dilaksanakan. Sementara itu penyusunan Management
Plan sering terkendala, mengingat adanya keterbatasan keahlian dan pendanaan
pada Pemerintah Daerah yang bersangkutan, sehingga DKP bekerja keras untuk
memfasilitasinya dengan keterbatasan pendanaan pula. Sehingga sampai
dengan saat ini KKLD belum dikelola efektif, yang kemudian menjadi pertanyaan
bagi masyarakat dan stakeholders dan timbullah pro dan kontra.
III. KESIMPULAN

Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem. Sedangkan konservasi sumber daya ala hayati adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Bentuk-bentuk dari konservasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu konservasi in
situ dan konservasi ek situ. Perlindungan dan penegakkan hukum dari
konservasi sumber daya alam hayati mengacu pada ketentuan pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2) undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya
alam hayati dan ketentuan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang melakukan
perbuatan melanggar diatur pada UU RI No. 5 Tahun 1990 pasal 40.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan: 1) Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan; 2) Pengawetan
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa Beserta Ekosistemnya; 3)
Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R dan Steeene, R. 2003. Indo-Pacific Coral Reef Field Guide. Tropical
Reef Research. Singapore.
Anonimous. 2007. Informasi Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Satker
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal
Kelautan Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
Anonimous. 2007. Penyelarasan Urusan: Konservasi Kawasan Perairan dan
Konservasi Jenis Ikan. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen
Kelautan dan Perikanan (Tidak Dipublikasikan). Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Maarif, M.S. et al. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia. Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir
dan Pulaupulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Pamulardi, B. 1999. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan.
PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, hal. 186-187.
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya
Ikan.
Rahmadi, T. 2011. Hukum Lingkungan Di Indonesia, Cetakan Ke-1, PT.Raja
Grafindo Persada. Jakarta, hal.163.
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 45 Tahun 2009
tentang Perikanan

Anda mungkin juga menyukai