Anda di halaman 1dari 4

Nama Zaki Ali Fahrezi

NPM 230210160030
Mata Kuliah Konservasi SDHL
Tugas Resume Sejarah Konservasi di Indonesia

AWAL MULA KONSERVASI DI INDONESIA

Adanya konservasi di Indonesia dimulai saat koloni Belanda di Indonesia yang memiliki
rasa memilikii terhadap keberadaan alam Indonesia yang memiliki diversitas tinggi. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya perlawanan naturalis tersebut terhadap berbagai kebijakan kolonialis
yang merusak alam, seperti perdagangan burung Cendrawasih yang tidak terkontrol. Para naturalis
Belanda seperti M.C Piepers dan P.J Van Houten terus melakukan tekanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda agar peduli mengenai laju kepunahan cendrawasih, dan akhirnya membuahkan
hasil, yaitu Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels
(Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar) yang dikeluarkan pada tahun
1910. Pada tahun 192 di Buitenzorg, para naturalis sepakat mendirikan perkumpulan yang
dinamakan “Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda” (Nederlandsch Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming) dengan diketuai oleh Dr. SH Koorders. Perkumpulan ini
semacam organisasi pecinta alam yang mempelopori dan mengusulkan kawasan-kawasan dan
jenis-jenis flora fauna tertentu, pembuatan peraturan-peraturan dan berbagai tulisan dari hasil
penelitian tentang perlindungan alam (jenis satwa dan tumbuhan). Cita-cita Koorders untuk
mewujudkan perkumpulan ini untuk menggugah Pemerintah Hindia Belanda yang selalu
menitikberatkan pengelolaan hutan hanya untuk kepentingan ekonomi belaka. Mereka juga
merintis pendirian kawasan perlindungan seperti cagar alam (Natuurmonument) di Depok.
Diusulkan 12 lokasi sebagai Cagar Alam yaitu beberapa danau di Banten, Pulau Krakatau, dan
Pulau Panaitan, laut Pasir Bromo, Pulau Nusa Barung, Semenanjung Purwo dan Kawah Ijen.

Pada tahun 1950 terbentuk Urusan Perlindungan Alam di Djawatan Kehutanan, dengan
tugas pokok mengusut perburuan badak di Ujung Kulon. Tahun 1952 Kebun Raya Bogor
membentuk Lembaga Pengawetan Alam yang merupakan bagian dan Pusat Penyelidikan Alam
Kebun Raya Bogor. Sedangkan di Djawatan Kehutanan, Urusan Perlindungan Alam statusnya
berubah menjadi Bagian Perlindungan Alam (BPA) pada tahun 1956 yang mempunyai hak penuh
untuk menyelenggarakan organisasi di dalam Djawatan Kehutanan secara vertikaL. Rentang
periode 1950-1959, tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat ditertibkan secara represif oleh
Djawatan Kehutanan yang bernaung dibawah Kementerian Pertanian dan Agraria dengan bantuan
polisi dan tentara. Pada tahun 1954 muncul beberapa kemajuan dalam bidang perlindungan dan
pengawetan alam, misalnya rehabilitasi suaka margasatwa dan kerjasama internasional dengan
IUCN.

Pada tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan senior Indonesia menulis artikel tentang
konservasi alam di Indonesia dalam majalah kehutanan Tectona.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Kabinet Nomor 75/II/Kep/11/1966 terbentuk


Direktorat Jenderal Kehutanan yang berada dibawah Departemen Pertanian. Pada tahun yang
sama, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor Kep./30/11/1966 tanggal 10
Desember 1966 dan Nomor Kep/18/3/1967 tanggal 9 Maret 1967 terbentuk Struktur Organisasi
Departemen Kehutanan.

Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-
kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization
of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang
terancam kepunahan dengan bantuan NGO.

Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The Conservation of Nature
and Natural Resources) ke-7 di New Delhi, India pada tanggal 25-28 November 1969, Indonesia
mengirimkan beberapa utusan, diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng.

Pada konferensi tersebut wakil dari Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul
“Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya” dan “Pendidikan
Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan positif dari peserta
konferensi, sehingga perhatian dunia luar terhadap kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin
meningkat.
Pada tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang melahirkan
Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi
perkembangan pengelolaan hutan suaka alam dan taman nasional di Indonesia.

Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar
dilindungi. Pada tahun 1985, keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28
jenis reptil, 6 jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang dilindungi.

Kemajuan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya
World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu sidang umum PBB tanggal 15 Maret
1979. Pada tahun 1983 dibentuk Departemen Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas.

Pada segi undang-undang dan mengenai peraturan tentang perlindungan alam juga banyak
mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan peninggalan pemerintah Hindia
Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dan pada tahun 1990-an mulai banyak berdiri LSM di Indonesia
yang menangani tentang konservasi alam.

KONSERVASI LAUT DI INDONESIA

Indonesia sendiri memiliki beberapa titik yang dijadikan tempat konservasi laut.
Diantaranya Papua, NTB, NTT, Laut Banda, Selat Makassar, Kalimantan Utara, Maluku,
Sumatera Barat, Laut Arafura, Paparan Sunda, Laut Timur Sulawesi, Selatan Jawa dan Selat
Malaka. Setiap wilayah akan ditemukan prioritasnya agar tindakan konservasi yang di-
implementasikan dilakukan sesuai dengan yang dibutuhkuan.

Kawasan yang menjadi konservasi laut dibentuk ke dalam taman laut nasional, taman
wisata alam laut, suaka margasatwa, dan cagar alam laut. Hal ini menunjukkan bahwa konservasi
dilakukan menyeluruh bukan hanya flora dan fauna, tetapi juga habitat dan ekosistem lautnya.
Penetapan kawasan konservasi di atur berdasarkan zona utama dalam rangka memenuhi
hak masyarakat khususnya nelayan. Hal ini dilakukan agar usaha penerapan konservasi tidak akan
mengganggu akses nelayan dalam melakukan kegiatannya di laut.

Diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2007 tentang konservasi Sumber Daya Ikan (SDI),
bahwa pengelolaan kawasan konservasi perairan berpijak pada dua paradigm baru. Yaitu
pengelolaan kawasan konservasi perairan diatur dengan sistem zonasi dan perubahan kewenangan
pemerintah pusat menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan kawasan konservasi yang
berada di wilayahnya.

Referensi :

Yudhistira, P. 2014. Sang Pelopor Peranan Dr. SH. Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam
di Indonesia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung Ditjen Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan.

http://ksdae.menlhk.go.id/sejarah-ksdae.html (Diakses pada 4 November 2019 Pukul 20.00 WIB).

Anda mungkin juga menyukai