Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu merupakan salah satu kawasan konservasi
tertua di Indonesia. Ditetapkan sebagai kawasan cagar alam berdasarkan Surat
Keputusan Gouverment Besluit Nomor : 6 Stbl. No.90, tanggal 21 Februari 1919
dengan luas 16 ha. Kawasan Cagar Alam (CA) Panjalu memliki keunikan yang
khas, letaknya membentuk pulau dikelilingi danau yang dikenal dengan Situ
Lengkong. Fungsi kawasan ini adalah sebagai pelestarian plasma nutfah, pengatur
tata air, kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, parawisata dan budaya.
Keindahan panoramanya situ lengkong lebih berperan sebagai daerah wisata, bahkan
kawasan cagar alam yang oleh masyarakat setempat disebut Nusa Gede merupakan
tempat tujuan wisata religius, karena di dalam kawasan ini terdapat makam Raja
Panjalu. Wisatawan yang datang dari berbagai daerah lebih banyak untuk melakukan
ziarah di makam keramat tersebut, selain itu banyak juga wisatawan yang bekeliling
danau dengan menggunakan perahu. Namun sebagai kawasan konservasi alam, Situ
Panjalu mempunyai peran utama sebagai pelindung berbagai jenis pohon yang
teracam punah, karena banyak jenis-jenis tanaman yang ada di C.A. Situ Panjalu
ditemukan di lahan-lahan milik masayarakat. Banyak jenis-jenis terancam punah
yang mengalami penurunan populasi yang sangat tajam sehingga dapat berdampak
pada stabilitas ekosistem hutan (Yu, et al., 2014). Oleh karena itu akibat adanya
kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, maka pemilihan suatu lokasi
sebagai areal untuk melindungi suatu jenis dalam jangka panjang sangat penting (Liu
et al., 2015).
Cagar alam situ Panjalu merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis. Odum
(1996) menyatakan bahwa hutan hujan tropis mempunyai ciri adanya stratifikasi tajuk
pohon yang tegas antara lapisan atas, lapisan tajuk yang berkesinambungan dan
lapisan tumbuhan bawah. Jenis penyusun pada hutan hujan tropis pada umumnya

1
sangat beragam. Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatakan
komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan untuk
menyatakan struktur komunitas (Soegianto, 1994). Konsep ini dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan
komponennya dari berbagai gangguan yang timbul. Secara kuantitatif
keanekaragaman jenis dapat diukur berdasarkan indeks kekayaan, indeks
kesamarataan yang menandakan pembagian individu yang merata diantara jenis.
Swaine et.al (1987) mengemukakan hutan yang tidak dirusak manusia, secara alami
mampu memulihkan diri sendiri dan dinamika populasi pohon dipengaruhi oleh
kematian, pertumbuhan dan rekrutmen. Namun, salah satu permasalahan dalam
pengelolaan keanakaregaman hayati di Indonesia antara lain adanya perbedaan
kepentingan antara berbagai sektor yang saling tumpang tindih (Astirin, 2000),
akibatnya upaya pelestarian keanekaragaman hayati berjalan lambat. Oleh karena itu
salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan pemanfaatan kawasan konservasi
secara lestari sehingga diharapkan dapat menjaga keanekaragam hayati sekaligus
meningkatnya nilai manfaat yang diperoleh oleh masyarakat.
Cagar alam Panjalu memiliki berbagai jenis flora serta keunikan habitatnya
karena berupa pulau yang berada di tengah danau. Kondisi tersebut menyebabkan CA
Panjalu sesuai untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata. Muttaqin et al. (2011)
menyebutkan bahwa konsep ekowisata di dalamnya mengandung unsur pendidikan
untuk mengenal ekosistem alam serta memungkinkan dilakukan kegiatan penelitian
serta pengambilan plasma nutfah untuk mendukung budidaya bagi masyarakat
sekitar. Namun, keragaman jenis flora dan potensi tegakan yang ada di cagar alam
Panjalu belum diketahui sehingga wisatawan tidak mengetahui nama dari jenis-jenis
yang ada di lokasi CA Panjalu. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terhadap
jenis-jenis flora yang ada sehingga akan bermanfaat bukan saja menambah daya
tarik wisata, melainkan juga menambah pengetahuan bagi wisatawan tentang
keanekaragaman flora yang terdapat di cagar alam panjalu. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dinamika struktur vegetasi C.A. Situ Panjalu, sehingga nantinya

2
dapat digunakan dalam membuat managemen pengelolaan kelestarian hayati
sekaligus bagian dari mendukung kegiatan ekowisata.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana deskripsi umum dari Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu ?
2. Bagaimana sejarah Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu ?
3. Bagaimana pengaruh potensi Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT STUDI LAPANGAN


1. Mengetahui deskripsi umum dari Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
2. Mengetahui Sejarah terbentuknya Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
3. Mengetahui pengaruh potensi Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu

D. HIPOTESIS
1. Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu adalah suatu kawasan hutan dengan luas
kurang lebih 16 ha yang terletak di situ (danau).
2. Keberadaan kegiatan perlindungan (konservasi) alam di Indonesia sangat berkaitan
erat dengan nama Dr.S.H. Kooders (1863-1919) sebagai pendiri dan ketua pertama
dari Nederlansch Indische Vereeniging Tot Natuurbescherming (Perkumpulan
Perlindungan Alam Hindia Belanda). Pada tanggal 16 November 1921
ditetapkanlah Pulau Nusa Gede di objek wisata Situ Lengkong Panjalu Kabupaten
Ciamis, selanjutnya diberi nama “Pulau Kooders” sedangkan Cagar Alamnya
“Cagar Alam Kooders”.
3. Pulau Nusa Gede yang merupakan kawasan Cagar Alam kurang lebih berkisar
733,14 meter dpl. Keadaan Vegetasi di dalam cagar alam ini cukup beraneka
ragam jenisnya, sebagian besar merupakan hutan primer yang masih utuh sehingga
berpengaruh pada banyaknya spesies hewan-hewan dan tumbuhan di dalamnya.

3
E. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode yang digunakan untuk menyelesaikan makalah kegiatan ini adalah dengan
menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Observasi
Penyusun mengadakan kunjungan langsung ke Cagar Alam Situ Lengkong
Panjalu. Disana penyusun mengadakan observasi mengenai hal-hal yang berkaitan
wisata alam.
2. Metode Studi Pustaka
Untuk melengkapi data-data dari hasil observasi, penyusun juga melakukan studi
literatur. Penyusun mempelajari berbagai sumber dan memadukannya dalam
kesatuan pemikiran.

F. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan dan Manfaat Studi Lapangan
D. Hipotesis
E. Metode Pengumpulan Data
F. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Landasan Teoritis
B. Pembahasan Hasil Studi Lapangan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. LANDASAN TEORITIS
Cagar alam situ Panjalu merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis. Odum
(1996) menyatakan bahwa hutan hujan tropis mempunyai ciri adanya stratifikasi tajuk
pohon yang tegas antara lapisan atas, lapisan tajuk yang berkesinambungan dan
lapisan tumbuhan bawah. Jenis penyusun pada hutan hujan tropis pada umumnya
sangat beragam. Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatakan
komunitas berdasarkan organisasi biologinya yang dapat digunakan untuk
menyatakan struktur komunitas (Soegianto, 1994). Konsep ini dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan
komponennya dari berbagai gangguan yang timbul. Secara kuantitatif
keanekaragaman jenis dapat diukur berdasarkan indeks kekayaan, indeks
kesamarataan yang menandakan pembagian individu yang merata diantara jenis.
Swaine et.al (1987) mengemukakan hutan yang tidak dirusak manusia, secara alami
mampu memulihkan diri sendiri dan dinamika populasi pohon dipengaruhi oleh
kematian, pertumbuhan dan rekrutmen. Namun, salah satu permasalahan dalam
pengelolaan keanakaregaman hayati di Indonesia antara lain adanya perbedaan
kepentingan antara berbagai sektor yang saling tumpang tindih (Astirin, 2000),
akibatnya upaya pelestarian keanekaragaman hayati berjalan lambat. Oleh karena itu
salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan pemanfaatan kawasan konservasi
secara lestari sehingga diharapkan dapat menjaga keanekaragam hayati sekaligus
meningkatnya nilai manfaat yang diperoleh oleh masyarakat.
Cagar alam Panjalu memiliki berbagai jenis flora serta keunikan habitatnya
karena berupa pulau yang berada di tengah danau. Kondisi tersebut menyebabkan CA
Panjalu sesuai untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata. Muttaqin et al. (2011)
menyebutkan bahwa konsep ekowisata di dalamnya mengandung unsur pendidikan
untuk mengenal ekosistem alam serta memungkinkan dilakukan kegiatan penelitian

5
serta pengambilan plasma nutfah untuk mendukung budidaya bagi masyarakat
sekitar. Namun, keragaman jenis flora dan potensi tegakan yang ada di cagar alam
Panjalu belum diketahui sehingga wisatawan tidak mengetahui nama dari jenis-jenis
yang ada di lokasi CA Panjalu. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terhadap
jenis-jenis flora yang ada sehingga akan bermanfaat bukan saja menambah daya
tarik wisata, melainkan juga menambah pengetahuan bagi wisatawan tentang
keanekaragaman flora yang terdapat di cagar alam panjalu. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dinamika struktur vegetasi C.A. Situ Panjalu, sehingga nantinya
dapat digunakan dalam membuat managemen pengelolaan kelestarian hayati
sekaligus bagian dari mendukung kegiatan ekowisata.

B. PEMBAHASAN HASIL STUDI LAPANGAN


1. Deskripsi Umum Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu adalah suatu kawasan hutan dengan luas
kurang lebih 16 ha yang terletak di situ (danau). Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
merupakan salah satu kawasan konservasi tertua di Indonesia. Ditetapkan sebagai
kawasan cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Gouverment Besluit Nomor : 6
Stbl. No.90, tanggal 21 Februari 1919 dengan luas 16 ha. Kawasan Cagar Alam
(CA) Panjalu memliki keunikan yang khas, letaknya membentuk pulau dikelilingi
danau yang dikenal dengan Situ Lengkong. Fungsi kawasan ini adalah sebagai
pelestarian plasma nutfah, pengatur tata air, kepentingan ilmu pengetahuan,
pendidikan, parawisata dan budaya.
2. Sejarah Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
Tahun 1919, kawasan Cagar Alam yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda GB tanggal 21 Februari 1919 Nomor : 6 Stbl. 90
dengan luas 16 Ha, diberi nama "Pulau Koorders" dan Cagar Alamnya di beri nama
pula "Cagar Alam Koorders" yang terletak di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu
Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat.

6
Dua tahun kemudian diterbitkan lagi Surat Keputusan yang sama, tepatnya tanggal 16
Nopember 1921 ditetpkan Pulau Nusa Gede diberinama "Pulau Koorders" dan Cagar
Alamnya di beri nama pula "Cagar Alam Koorders".
Pemberian nama tersebut di abadikan kepada Dr.SH. Koorders sebagai pendiri dan
ketua pertama Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch
indiche Vereeninging tot Natuurbeschiing) yang hidup antara tahun 1863 sampai
1919, serta dianggap sebagaipelopor/Perintis Perlindungan Alam di Indonesia.
Tahun 1986, dilakukan rekonstruksi batas kawasan sepanjang2 Km. Pemasangan pal
batas sebanyak 20buah. Tahun 2013, dilakukan tata batas definitif sepanjang 2 km,
dengan mengunakan batas alam danau (SituLengkong) dengan luas 8,7405 Ha
Penetapan Kawasan Hutan Cagar Alam Nusagede Panjalu seluas 8,64 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.3686/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 8 Mei
2014.
3. Pengaruh Potensi Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
Pengelolaan yang memadukan kebutuhan manusia dengan konservasi cagar
alam Situ Panjalu selain sebagai areal konservasi juga sebagai salah satu lokasi wisata
ziarah. Keberadaan hutan di lokasi tersebut masih terjaga cukup baik. Hal ini karena
tidak adanya aktivitas penebangan pohon. Masyarakat sekitar mempunyai aturan
yang melarang masyarakat untuk menebang pohon yang ada di dalam hutan apabila
aturan tersebut dilanggar maka dipercaya akan menyebabkan bencana yang menimpa
masyarakat sekitar, selain itu keberadaan hutan yang berada di tengah pulau
menyebabkan akses masyarakat ke dalam hutan terbatas (Ratih, 2013). Walaupun
anggapan tersebut sering dianggap kuno, namun praktek tersebut merupakan metode
memelihara lingkugan yang terbaik di zaman post-modern (Indrawardana, 2012).
Ancaman terbesar yang dapat merusak ekosistem hutan CA Situ Panjalu adalah
keberadaan kelelawar jenis Pteropus vampyrusyang menjadikan hutan tersebut
sebagai habitatinya. Kelelawar banyak bergantungan dipucuk-pucuk pohon yang
menyebabkan pucuk pohon rusak bahkan mati dan lama-kelamaan pohon-pohon
tersebut akan mati. Namun, disisi lain keberadaan kelelawar menjadi salah satu daya

7
tarik wisatawan karena dapat melihat kelelawar berukuran besar bergelantungan. Hal
yang sama ditunjukan oleh Lafferty et al.,(2016) yang menyebutkan bahwa
keberadaan burung air yang bersarang di pucuk-pucuk pohon memberikan efek
negatif terhadap kesehatan pohon tersebut. Namun keberadaan kelelawar juga
memberi manfaat sebagai salah satu hewan penyebar biji, sebagai polinator, maupun
pemangsa (Martins, 2017). Oleh karena itu perlu upaya untuk mengurangi dampak
negatif dari keberadaan kelelawar tersebut dalam manajemen pengelolaan. Hal ini
mulai dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara menangkap kelelawar secara
tradisional untuk mengendalikan populasi kelelawar menggunakan layang-layang
yang sekaligus salah satu atraksi menarik bagi wisataran. Lokasi CA Situ Panjalu
merupakan sebuah pulau yang dikelilingi oleh perairan. Adanya areal perairan
merupakan habitat yang disukai oleh kelelawar. Sirami, et al.(2013), menyebutkan
bahwa luas areal perairan sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas
kelelawar.Kelelawar menyukai hutan di CA Situ Panjalu karena memiliki tegakan
hutan yang sudah tua. Kelelawar lebih memilih hutan-hutan berumur tua sebagai
habitatnya dibandingkan dengan hutan yang masih muda (Borkin and Parson, 2011).
Oleh karena itu untuk tetap menjaga keberadaan kelelawar dan kelestaraian hutannya
perlu dilakukan pengelolaan habitat yang terintegrasi.
Kondisi CA Situ Panjalu seperti terfragmentasi dengan kawasan hutan yang lain
karena adanya danau dan pemukiman. Salah satu akibat dari hutan yang
terfragmentasi adalah terbatasnya daya jelajah jenis-jenis satwa khususnya burung.
Sehingga untuk mendukung ketersediaan habitat burung perlu adanya dukungan
wilayah sekitar hutan tersebut. Perlu upaya untuk menguatkan peran serta masyarakat
untuk terlibat dalam kegiatan yang mendukung konservasi jenis-jenis asli (Bossart
and Antawi, 2016).

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu adalah suatu kawasan hutan dengan luas
kurang lebih 16 ha yang terletak di situ (danau). Cagar Alam Situ Lengkong Panjalu
merupakan salah satu kawasan konservasi tertua di Indonesia. Ditetapkan sebagai
kawasan cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Gouverment Besluit Nomor : 6
Stbl. No.90, tanggal 21 Februari 1919 dengan luas 16 ha. Kawasan Cagar Alam (CA)
Panjalu memliki keunikan yang khas, letaknya membentuk pulau dikelilingi danau
yang dikenal dengan Situ Lengkong. Fungsi kawasan ini adalah sebagai pelestarian
plasma nutfah, pengatur tata air, kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan,
parawisata dan budaya. Pengelolaan yang memadukan kebutuhan manusia dengan
konservasi Cagar Alam Situ Panjalu selain sebagai areal konservasi juga sebagai
salah satu lokasi wisata ziarah. Keberadaan hutan di lokasi tersebut masih terjaga
cukup baik. Hal ini karena tidak adanya aktivitas penebangan pohon.
B. Saran
Dalam pembuatan karya tulis ini, penulis sebagai manusia biasa pasti banyak
sekali kesalahan, untuk itu demi menyempurnakan karya tulis ini kritik dan saran
yang bersifat membangun akan selalu penulis harapkan.
Adapun saran-saran yang bisa penulis berikan untuk teman-teman yang
mengikuti kegiatan ini :
1. Dengan adanya kegiatan ini harus diambil manfaatnya.
2. Study Tour hendaknya dijadikan sebagai pengembangan potensi diri bukan untuk
ajang bersenang-senang saja.
3. Hendaknya siswa/siswi menaati peraturan atau tata tertib yang telah diberikan oleh
panitia.
4. Untuk panitia hendaknya lebih tegas kepada para pelanggar tata tertib dan lebih
mengawasi siswa/siswi.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. https://id.scribd.com/document/383560120/Laporan-Study-Tour
2. https://id.scribd.com/document/351639829/CONTOH-LAPORAN-
KUNJUNGAN-STUDYTOUR-SMA
3. https://www.google.com
4. https://www.wisatadanbudaya.blogspot.com
5. https://www.repository.unigal.ac.id

10

Anda mungkin juga menyukai