Anda di halaman 1dari 7

Tugas Essai Kehutanan Masyarakat

Kegagalan Strategi Pengembangan dan Pengarusutamaan Model Industri Kehutanan dalam


Pembangunan Sosial Ekonomi

Dibuat Oleh :

Muhammad Pasya F.A.

NIM H1020048

Program Studi Pengelolaan Hutan


Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret 2021
Jl. Ir. Sutami No.36, Kentingan, Kec.Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah (57126)
Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran
mulai dilakukan pada akhir tahun 1960-an. Eksploitasi sumber daya hutan tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan nasional (Syumanda, 2007). Kondisi keuangan
Indonesia pada masa itu memang sedang mengalami kesulitan, padahal pembangunan
ekonomi mendesak untuk segera dilaksanakan. Sumber daya hutan akhirnya menjadi pilihan
sebagai andalan sumber keuangan disamping minyak dan gas bumi. Hal ini dilatarbelakangi
oleh melimpahnya kekayaan sumber daya hutan yang dimiliki oleh Indonesia sehingga
Indonesia menempati posisi sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia
setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Ketersediaan kayu hasil hutan yang begitu
melimpah jumlahnya telah menempatkan Indonesia sebagai produsen kayu bulat tropis
terbesar di dunia dan menguasai 41% pangsa pasar dunia pada tahun 1979 (Nandika, 2005).

Kegiatan eksplorasi hutan di Indonesia hingga saat ini dilakukan dengan sangat
intensif. Hal ini merupakan salah satu penyebab semakin berkurangnya jumlah hutan yang
ada di Indonesia. Berdasarkan data WALHI, laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997
mencapai 1,6 juta hektar per tahun sedangkan menurut Menteri Kehutanan, untuk periode
2000-2005 laju deforestasi hutan meningkat menjadi 2,8 juta hektar per tahun (Subroto,
2007). Perkembangan kegiatan eksplorasi hutan diawali dengan dikeluarkannya UU No.1
tahun 1967 mengenai undang-undang penanaman modal asing (PMA) serta UU No.5 tahun
1967 mengenai undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan. Latar
belakang dikeluarkannya undang-undang ini dimaksudkan untuk menarik masuknya investasi
di sektor kehutanan karena walaupun sumber daya hutan yang dimiliki melimpah jumlahnya
namun Indonesia tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengelolanya sehingga
dibutuhkan investasi modal untuk menggali potensi ekonomi yang ada di hutan-hutan
tersebut. Hal ini selain mendorong peningkatan produksi produk-produk hasil hutan juga
mengakibatkan industri kayu olahan berkembang. Jika pada awalnya kayu hasil hutan hanya
di ekspor dalam bentuk kayu gelondongan kemudian berkembang dalam bentuk lain yaitu
kayu gergajian, kayu lapis, dan produk lainnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menciptakan nilai tambah komoditas kayu Indonesia sehingga diharapkan dapat mendorong
terciptanya investasi-investasi baru terutama yang terkait dengan pengembangan industri
kayu olahan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh FAO, produksi kayu gelondongan di
Indonesia pada tahun 1980 sudah mencapai 30,92 juta m3 adapun untuk produk hutan lainnya
seperti kayu gergajian, kayu lapis, pulp, dan kertas berturut-turut pada periode yang sama
yaitu berjumlah 4,81 juta m3, 1,01 juta m3, 0,05 juta ton, dan 0,23 juta ton.
Menurut Hardjono (1994), industri kehutanan mengalami tiga tahapan perkembangan
dengan titik berat yang berbeda pada tiap tahapannya, yaitu :

1. Tahap 1 (1967-1979)
Periode ini menitikberatkan pemanfaatan hutan di Indonesia pada ekspor kayu bulat.
2. Tahap 2 (1980-1990)
Pembangunan industri kehutanan dititikberatkan pada pengembangan industri kayu
lapis
3. Tahap 3 (1990-2000 an)
Merupakan periode sepanjang tahun 1990 yang menitikberatkan pada pengembangan
industri pulp dan kertas

Berdasarkan tahapan tersebut terlihat bahwa sejak tahun 1980-an kebijakan


pemerintah dibidang industri kehutanan lebih condong mengutamakan industri kayu lapis
dibanding kayu gergajian sehingga hal ini kemudian mendorong industri kayu lapis
berkembang lebih pesat dibandingkan industri pengolahan kayu lainnya.

Peningkatan jumlah produksi kayu lapis dibarengi dengan perkembangan jumlah


pabrik kayu lapis yang ada. Departemen Kehutanan mencatat bahwa pada tahun 1973 jumlah
perusahaan penghasil kayu lapis baru ada dua namun pada tahun 1980 jumlahnya langsung
meningkat pesat menajdi 29 dan hingga tahun 1997 jumlahnya sudah mencapai 122.
Keberadaan perusahaan kayu lapis di Indonesia menyebar letaknya namun konsentrasi
perusahaan terbanyak terdapat di Kalimantan. Hal ini terkait dengan karakteristik indutri
kayu lapis yang selain merupakan industri padat karya juga memiliki karakteristik utama
sebagai industri yang berbasis sumber daya alam (resource based industry).

Di sisi lain, Undang-Undang Kehutanan juga mengatur keberadaan masayrakat


hukum adat yang tertuang dalam Pasal 67 ayat 1 yang menyatakan keberadaan masyarakat
hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur :

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap)


b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas
d. Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang masih
ditaati
e. Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
Masyarakat adat dalam kehidupannya memiliki hak untuk melakukan aktivitas dalam
kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya. Aktivitas dalam kehidupan ekonomi berkaitan
dengan melakukan mata pencaharian seperti bercocok tanam, berburu hewan, menangkap
ikan, dan membuat kerajinan tangan. Aktivitas sosial berakitan dengan kegiatan
sosial/kemasyarakatan yang sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat adat seperti
kegiatan musyawarah dan kegiatan lainnya. Sedangkan aktivitas dalam kehidupan budaya
meliputi acara ritual adat atau kesenian yang rutin dilakukan, seperti ritual sebelum bercocok
tanam, ritual sebelum menangkap ikan di laut dan sebagainya.

Aktivitas kebudayaan adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dalam suatu
masyarakat, tidak terkecuali bagi masyarakat adat yang sudah mealksanakannya secara turun
temurun dan menjadi bagian hidup mereka. Oleh karena itu keberadaannya harus dilindungi
karena tanpa adanya perlindungan, maka akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan
penghidupan masyarakat adat.

Berkenaan dengan hal tersebut, konstitusi telah menagmanatkan penghormatan,


perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan identitas budayanya sebagaimana
termaktub dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 (amandemen IV) menyebutkan bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masayrakat dan
prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.” Selain itu pada Pasal 28 I ayat 3 UUD
1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Pada kenyataannya, dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya,
masyarakat adat dapat mengalami berbagai hambatan dari pihak ketiga sebagai akibat adanya
berbagai peraturan maupun kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan
dengan pertanahan, kehutanan, dan kelautan yang memberikan izin pihak ketiga dalam
menjalankan aktivitas di wilayah masyarakat adat. Hal ini menagkibatkan masyarakat
kehilangan hak-hak dalam melakukan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya yang telah
dilakukan sejak lama dan turun temurun.

Indikasi pelanggaran terhadap hak-hak masayrakat terjadi di seluruh wilayah


Indonesia dalam bentuk pelanggaran hak atas tanah, hutan, dan sumber daya alam lainnya.
Hasil temuan awal inkuiri nasional Komnas HAM terhadap hak-hak masyarakat hukum adat
atas wilayah di dalam kawasan hutan di 7 wilayah adat, yaitu Sulawesi, Sumatera,
Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, Maluku, Jawa, dan Papua menemukan beberapa kondisi
dan dampak penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Beberapa
kondisi permasalahan dan dampak penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi
manusia yang dialami masayarkat adat di 7 wilayah adat tersebut diantaranya adalah :

1. Terjadinya alih fungsi/status lahan dalam beragam bentuk misalnya menajdi


kawasan hutan produksi, penetapan fungsi hutan secara sepihak, pembiaran
terhadap terjadinya sengketa atas tanah dan lain-lain
2. Fakta bahwa hutan di dalam wilayah adat adalah sumber penting sumber
kehidupan dan penghidupan masayrakat adat yang telah diwariskan dari generasi
ke generasi
3. Dampak dari kondisi perubahan tata kelola hutan dan status/fungsi hutan
menyebabkan ketiadaan dan dibatasinya akses penguasaan dan pengelolaan
wilayah adat, hilangnya sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat adat,
hancurnya tata budaya, kerusakan ekosistem, menurunnya kualitas hidup dan
kesejahteraan masayrakat adat.

Hal ini sangat memprihatinkan mengingat perlindungan hak masyarakat adat dalam
melakukan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tanggung jawab negara sebagai
pemangku kewajiban. Dalam tataran normatif telah banyak aturan perundangan yang
berusaha memberikan perlindungan bagi masyarakat adat, meskipun terdapat juga aturan
yang justru kontra produktif dari tujuan perlindungan. Dalam tataran implementatif negara
juga telah berupaya melakukan perlindungan hak masyarakat adat melalui berbagai langkah
kebijakan, meskipun masih banyak kekurangan dan tidak terlindunginya hak-hak masyarakat
adat.

Praktek teritorialisasi penguasaan negara atas tanah masyarakat adat Indonesia sejak
kekuasaan Orde Baru hingga era reformasi menyisakan persoalan kompleks yang
berdimensi sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial, teritorialisasi negara menyebabkan
penderitaan akibat dimasukkannya seluruh atau sebagian dari wilayah adat dalam kawasan
hutan negara yang berdampak terhadap praktik eksklusi sosial, diskriminasi dan berujung
pada konflik tenurial yang berkepanjangan (Rachman, 2014). Secara ekonomi, aparatur
negara mengeluarkan berbagai lisensi usaha kehutanan yang menguasai luasan tanah dan
mengusahakan hutan dalam skala sangat besar, mengakibatkan masyarakat adat
terpinggirkan dari arena perebutan sumber daya alam. Akibatnya, pengakuan keberadaan
masyarakat adat secara politik terganjal oleh kebijakan institusionalisasi hutan politik.

Perjuangan masyarakat adat di Indonesia untuk mendapatkan kedaulatan atas hutan


adat mulai menemukan titik terang pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU- X/2012 (selanjutnya disebut Putusan MK 35) yang intinya menyangkut
dua hal, yaitu mengenai konstitusionalitas hutan adat dan pengakuan bersyarat terhadap
keberadaan masyarakat adat. Akan tetapi, terbitnya Putusan MK 35 tidak serta merta
mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Masalahnya, realisasi Putusan MK 35
masih tersandera oleh “proses lanjutan” agar keputusan hukum ini operasional. “Proses
lanjutan” ini memungkinkan terbukanya peluang bagi arena politik lain yang harus dihadapi
oleh gerakan masyarakat adat (Savitri, 2014). Arena politik lain memiliki kemampuan
memutar balikkan politik rekognisi dan redistribusi menjadi kekuatan yang mengeksklusi
atau membatasi akses dan menyediakan jalan bagi perluasan hegemoni budaya korporasi
yang berpeluang mereproduksi ketidakadilan.

Gejala munculnya arena politik lain mulai terasa pasca Putusan MK 35 yang tetap
terganjal oleh adanya Pasal 67 ayat 2 yang mengharuskan terpenuhinya sejumlah syarat
sebelum hutan adat tersebut diakui. Sejumlah persyaratan itu selaras dengan rumusan UUD
1945 Pasal 18 B ayat 2 dengan frasa “Sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya”
Merujuk pada kesamaan frasa yang intinya hutan adat dapat diakui setelah persyaratan
pengakuan itu diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (Perda) yang ditetapkan oleh DPRD
setempat. Arena kelembagaan mulai memainkan politiknya dengan disahkannya UU Nomor
6 tahun 2014 tentang Desa yang memberi ruang bagi kelembagaan desa adat dan terbitnya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Di sisi lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) yang memperjuangkan “konsep pengakuan yang dicita-citakan” yang intinya tidak
menghendaki adanya sejumlah persyaratan pengakuan. AMAN terus berjuang untuk
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan mengajukan Naskah Akademik
Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU
PPMHA) sebagai tandingan ke DPR RI.

Hegemoni negara atas hutan akan melahirkan penderitaan rakyat jika jauh dari
keadilan dalam memiliki dan mengontrol sumber daya strategis. Untuk menghindari
hegemoni negara atas hutan yang memicu kemelut kemanusiaan maka jalan keluar terletak
dan terpulang pada kemampuan negara dalam menegakkan keadilan pengelolaan sumber
daya hutan.

Daftar Pustaka :
Budiono, R., Nugroho B., dkk. 2018. Dinamika Hegemoni Penguasaan Hutan di Indonesia.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 15(2) : 113-126.
Zulkaranain, I. 2017. Hutan Adat dan Kelas Menengah : Titik Balik Reformasi Agraria di
Indonesia. Jurnal Society. 5(2) : 16-31.
Primawardhani, Y. 2017. Perlindungan Hak Masyarakat Adat Dalam Melakukan Aktivitas
Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Provinsi Maluku. Jurnal Hak Asasi Manusia. 8(1) : 1-11.

Anda mungkin juga menyukai