Dibuat Oleh :
NIM H1020048
Kegiatan eksplorasi hutan di Indonesia hingga saat ini dilakukan dengan sangat
intensif. Hal ini merupakan salah satu penyebab semakin berkurangnya jumlah hutan yang
ada di Indonesia. Berdasarkan data WALHI, laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997
mencapai 1,6 juta hektar per tahun sedangkan menurut Menteri Kehutanan, untuk periode
2000-2005 laju deforestasi hutan meningkat menjadi 2,8 juta hektar per tahun (Subroto,
2007). Perkembangan kegiatan eksplorasi hutan diawali dengan dikeluarkannya UU No.1
tahun 1967 mengenai undang-undang penanaman modal asing (PMA) serta UU No.5 tahun
1967 mengenai undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan. Latar
belakang dikeluarkannya undang-undang ini dimaksudkan untuk menarik masuknya investasi
di sektor kehutanan karena walaupun sumber daya hutan yang dimiliki melimpah jumlahnya
namun Indonesia tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengelolanya sehingga
dibutuhkan investasi modal untuk menggali potensi ekonomi yang ada di hutan-hutan
tersebut. Hal ini selain mendorong peningkatan produksi produk-produk hasil hutan juga
mengakibatkan industri kayu olahan berkembang. Jika pada awalnya kayu hasil hutan hanya
di ekspor dalam bentuk kayu gelondongan kemudian berkembang dalam bentuk lain yaitu
kayu gergajian, kayu lapis, dan produk lainnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menciptakan nilai tambah komoditas kayu Indonesia sehingga diharapkan dapat mendorong
terciptanya investasi-investasi baru terutama yang terkait dengan pengembangan industri
kayu olahan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh FAO, produksi kayu gelondongan di
Indonesia pada tahun 1980 sudah mencapai 30,92 juta m3 adapun untuk produk hutan lainnya
seperti kayu gergajian, kayu lapis, pulp, dan kertas berturut-turut pada periode yang sama
yaitu berjumlah 4,81 juta m3, 1,01 juta m3, 0,05 juta ton, dan 0,23 juta ton.
Menurut Hardjono (1994), industri kehutanan mengalami tiga tahapan perkembangan
dengan titik berat yang berbeda pada tiap tahapannya, yaitu :
1. Tahap 1 (1967-1979)
Periode ini menitikberatkan pemanfaatan hutan di Indonesia pada ekspor kayu bulat.
2. Tahap 2 (1980-1990)
Pembangunan industri kehutanan dititikberatkan pada pengembangan industri kayu
lapis
3. Tahap 3 (1990-2000 an)
Merupakan periode sepanjang tahun 1990 yang menitikberatkan pada pengembangan
industri pulp dan kertas
Aktivitas kebudayaan adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dalam suatu
masyarakat, tidak terkecuali bagi masyarakat adat yang sudah mealksanakannya secara turun
temurun dan menjadi bagian hidup mereka. Oleh karena itu keberadaannya harus dilindungi
karena tanpa adanya perlindungan, maka akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan
penghidupan masyarakat adat.
Pada kenyataannya, dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya,
masyarakat adat dapat mengalami berbagai hambatan dari pihak ketiga sebagai akibat adanya
berbagai peraturan maupun kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan
dengan pertanahan, kehutanan, dan kelautan yang memberikan izin pihak ketiga dalam
menjalankan aktivitas di wilayah masyarakat adat. Hal ini menagkibatkan masyarakat
kehilangan hak-hak dalam melakukan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya yang telah
dilakukan sejak lama dan turun temurun.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat perlindungan hak masyarakat adat dalam
melakukan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tanggung jawab negara sebagai
pemangku kewajiban. Dalam tataran normatif telah banyak aturan perundangan yang
berusaha memberikan perlindungan bagi masyarakat adat, meskipun terdapat juga aturan
yang justru kontra produktif dari tujuan perlindungan. Dalam tataran implementatif negara
juga telah berupaya melakukan perlindungan hak masyarakat adat melalui berbagai langkah
kebijakan, meskipun masih banyak kekurangan dan tidak terlindunginya hak-hak masyarakat
adat.
Praktek teritorialisasi penguasaan negara atas tanah masyarakat adat Indonesia sejak
kekuasaan Orde Baru hingga era reformasi menyisakan persoalan kompleks yang
berdimensi sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial, teritorialisasi negara menyebabkan
penderitaan akibat dimasukkannya seluruh atau sebagian dari wilayah adat dalam kawasan
hutan negara yang berdampak terhadap praktik eksklusi sosial, diskriminasi dan berujung
pada konflik tenurial yang berkepanjangan (Rachman, 2014). Secara ekonomi, aparatur
negara mengeluarkan berbagai lisensi usaha kehutanan yang menguasai luasan tanah dan
mengusahakan hutan dalam skala sangat besar, mengakibatkan masyarakat adat
terpinggirkan dari arena perebutan sumber daya alam. Akibatnya, pengakuan keberadaan
masyarakat adat secara politik terganjal oleh kebijakan institusionalisasi hutan politik.
Gejala munculnya arena politik lain mulai terasa pasca Putusan MK 35 yang tetap
terganjal oleh adanya Pasal 67 ayat 2 yang mengharuskan terpenuhinya sejumlah syarat
sebelum hutan adat tersebut diakui. Sejumlah persyaratan itu selaras dengan rumusan UUD
1945 Pasal 18 B ayat 2 dengan frasa “Sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya”
Merujuk pada kesamaan frasa yang intinya hutan adat dapat diakui setelah persyaratan
pengakuan itu diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (Perda) yang ditetapkan oleh DPRD
setempat. Arena kelembagaan mulai memainkan politiknya dengan disahkannya UU Nomor
6 tahun 2014 tentang Desa yang memberi ruang bagi kelembagaan desa adat dan terbitnya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Di sisi lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) yang memperjuangkan “konsep pengakuan yang dicita-citakan” yang intinya tidak
menghendaki adanya sejumlah persyaratan pengakuan. AMAN terus berjuang untuk
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dengan mengajukan Naskah Akademik
Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU
PPMHA) sebagai tandingan ke DPR RI.
Hegemoni negara atas hutan akan melahirkan penderitaan rakyat jika jauh dari
keadilan dalam memiliki dan mengontrol sumber daya strategis. Untuk menghindari
hegemoni negara atas hutan yang memicu kemelut kemanusiaan maka jalan keluar terletak
dan terpulang pada kemampuan negara dalam menegakkan keadilan pengelolaan sumber
daya hutan.
Daftar Pustaka :
Budiono, R., Nugroho B., dkk. 2018. Dinamika Hegemoni Penguasaan Hutan di Indonesia.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 15(2) : 113-126.
Zulkaranain, I. 2017. Hutan Adat dan Kelas Menengah : Titik Balik Reformasi Agraria di
Indonesia. Jurnal Society. 5(2) : 16-31.
Primawardhani, Y. 2017. Perlindungan Hak Masyarakat Adat Dalam Melakukan Aktivitas
Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Provinsi Maluku. Jurnal Hak Asasi Manusia. 8(1) : 1-11.