TINJAUAN PUSTAKA
kerajaan terutama di Pulau Jawa. Pengelolaan yang dilakukan oleh kerajaan pada
saat itu menunjukkan penguasaaan hutan di Pulau Jawa dikuasai untuk kemewahan
raja dan penghidupan masyarakat yang ada di dalamnya. Kemudian pada masa
pada saat itu dan isu – isu mistis yang disebarkan kepada masyarakat. Pembatasan
kemudian bersifat eksploitatif pada Sumber Daya Hutan (SDH) dan bersifat
penetratif terhadap Masyarkat Desa Hutan (MDH). Dampak yang signifikan adalah
6
dilakukan karena lemahnya kondisi ekonomi dan sosial di Masyarakat Desa hutan.
(Sulistyaningsih, 2013).
orde baru dimana akses tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan kebijakan
terhadap SDH menyebabkan kemrosotan kualitas dan mutu hutan, tidak berarti
bahwa dibukanya akses hutan akan menghasilkan hutan dengan mutu tinggi.
miskin Desa. Program kehutanan sosial sendiri juga tidak akan memecahkan
masalah yang dihadapi oleh rimbawan karena yang lebih penting adalah
represi peDesaan diganti dengan pembangunan Desa yang melibatkan peran serta
oleh masyarakat dan permasalahan tenurial yang ada pada era reformasi. Kemudian
7
dengan program Hutan Tanaman Rakyat (Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun
II/2008). Selanjutnya kedua skema perhutanan sosial tersebut diatur secara bersama
dengan HKm, Hutan Adat, dan Kemitraan dalam Kemen LHK No. P.83 tahun 2016
Hutan Bersama Masyarakat) oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa, Pola MHBM
Rakyat (MHR) di areal HTI di Luar Pulau Jawa. Dengan adanya perkembangan
Hutan Desa (Permenhut No. 49 Tahun 2008), pendanaan Hutan Rakyat (SK
Menhut No. 49/Kpts-II/1997) yang telah berkembang sangat luas di Pulau Jawa
bahkan telah menjadi salah satu alternatif sumber bahan baku industri perkayuan di
8
terhadap kekuasaan hutan. Meskipun demikian, pemerintah tetap membuka akses
sampai sekarang telah terjadi sebelum adanya pembentukan Undang – Undang No.
kalangan terutama masyarakat dan Negara. Hal tersebut dikarenakan antar kedua
praktisi hukum, kademisi, sosiolog, dan juga pengusaha dibidang kehutanan. Hasil
pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau kehutanan masyarkat yang saat ini
lebih dikenal dengan perhutanan sosial lahir dari sebuah proses panjang dan tidak
bisa lepas dari sejarah pengelolaan hutan di Indonesia. Kehutanan masyarakat lahir
9
kelestarian hutan. Kehutanan konvesional telah melahirkan kerusakan hutan dan
deforestasi sangat masif dan terjadi hampir dibeberapa negara yang mempunyai
hutan tropis luas seperti Brazil, Filipina, Vietnam, Thailand, India, Kamerun, dan
bahwa hutan adalah sumber ekonomi yang menekankan pada pemanfaatan dan
eksistensi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dan bergantung
kehutanan di Indonesia masih membuat duka bagi masyarakat sekitar hutan dimana
Dkk, 2018).
Program PHBM digagas oleh Perum Perhutani pada tahun 2001 melalui surat
evaluasi. Masyarakat yang tergabung kedalam PHBM pun memiliki akses atas
10
yang diperoleh kemudian didapatkan dari hasil tanaman pertanian yang ditanam di
sela – sela tanaman pokok kehutanan dan proses bagi hasil dari penebangan akhir.
dengan menjaga dan merawat tanaman pokok yang di tanam oleh Perhutani (Winata
Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas
mengelola hutan negara khususnya di Pulau Jawa mulai menyadari akan pentingnya
beberapa konflik yang melibatkan Perhutani dengan masyarakat sekitar Desa hutan.
pusat pembangunan dan mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam proses
pengelolaan hutan. Perum Perhutani sebagai perwakilan dari pemerintah juga mulai
membuat program pemberdayaan masyarakat Desa hutan pada tahun 1972 dengan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001 (Puspitarani, Warsito, &
Perum Perhutani dan masyarakat Desa hutan. Kolaborasi tersebut juga dilakukan
11
dengan para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan
fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks
Maksud dari PHBM sendiri adalah untuk memberikan arahan dalam proses
pengelolaan hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara
dari masyarakat yang memiliki dan tidak memiliki lahan garapan dalam usaha
pengelolaan hutan serta monitoring dan evaluasi (Perum Perhutani, 2007). Jiwa
PHBM adalah kesediaan perusahaan, masyarakat Desa hutan, dan pihak yang
Perum Perhutani, Masyarakat Desa hutan, dan pihak yang berkepentingan untuk
12
keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. PHBM dilakukan
dengan jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau
ruang, waktu, dan berbagi dalam pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumber
daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling
Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Adapun prinsip dasar dalam PHBM adalah
sebagai berikut :
13
2.2.2 Kelembagaan PHBM
tempat yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan yang terikat dengan
norma, nilai, dan kebiasaan yang telah disepakati bersama. Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH) merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa
yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan untuk mengatur dan
sumber daya hutan yang anggotanya terdiri dari masyarakat yang ada di sekitar
hutan dan memiliki rasa kepedulian terhadap sumber daya hutan. Lembaga tersebut
dibentuk oleh masyarakat desa hutan dalam rangka kerjasama pengelolaan sumber
daya hutan melalui program PHBM Perum Perhutani berdasarkan Surat Keputusan
masyarakat yang berbadan hukum sehingga dapat menjadi mitra Perum Perhutani
memiliki hak untuk mengelola petak hutan di pemangkuan hutan dimana LMDH
tersebut berada, bekerjasama kemudian mendapatkan hak bagi hasil dari kerjasama
14
Tangga (ART) (Suratiyaningrum, 2013). Menurut Prastyo & Hidayat, (2016),
menjadi Lembaga Kemitraan Desa Petani Hutan (LKDPH). Hal ini senada dengan
yang dikatakan oleh Redjeki & Mundzir, (2008), bahwa karakteristik masyarakat
pendidikan yang relatif rendah sehingga rata – rata masyarakat memilih untuk
menjadi petani hutan dari pada mencari pekerjaan lain. Hal tersebut juga
mengakibatkan masyarakat sekitar hutan yang menjadi petani sulit dalam menerima
Malang agar tidak terjadi kesalah pahaman masyarakat terhadap program PHBM
solusi dalam permasalahan konflik tenurial yang ada di sekitar kawasan hutan. Hal
masyarakat sekitar hutan. Masih banyak sekali permasalahan yang terjadi di lapang
15
Selain itu, adanya ketidak cocokan masyarakat terhadap program tersebut karena
faktor terutama SDM yang terlibat didalamnya. Masih banyak petugas perhutani
modal berkegiatan, sehingga tanpa sharing, LMDH sering tidak memiliki kegiatan
atau berhenti dalam banyak kasus dana sharing ini tidak diketahui oleh seluruh
organisasi. Upaya-upaya untuk bekerjasama dengan para pihak dan lembaga yang
dan lobbying. Bila ditinjau dari sisi petugas Perhutani, mereka yang ditugasi dalam
tengah masyarakat. Aktualisasi PHBM pada RPH Sumber Agung KPH Malang
16
meninggalkan beberapa kesan negatif kepada petani hutan. Kesan tersebut adalah
tidak adanya trasparansi mengenai pembagian hasil dari usaha penanaman sengon.
Awal mula kesan negatif muncul setelah petani merasa perhutani ingkar janji dalam
proses perjanjian pada tahun 2008. Dampak dari adanya permasalahan tersebut
adalah mulai tidak percayanya petani terhadap program PHBM perhutani. Ketidak
hutan yang notabenenya adalah masyarakat sekitar desa hutan. Sinergitas yang
kurang baik membuat petani hutan mencari legalitas dalam usaha pemanfaatan
hutannya dengan dalih ketenangan dalam bercocok tanam. Sinergitas yang kurang
baik tersebut juga dapat berpengaruh terhadap keamanan hutan dikarenakan petani
sehingga melakukan pencurian kayu seperti yang terjadi pada sejarah kelam
pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara yang
dikelola oleh Perum Perhutani dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku
dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Izin pemanfaatan
hutan yang diberikan berupa IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial)
dalam kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. IPHPS merupakan usaha
dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
17
tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam,
memiliki lahan maupun tidak memiliki lahan di dalam kawasan hutan. Pengurusan
(PPS) yang tediri dari Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan
Kelompok Kerja PPS. Masyarakat yang memiliki IPHPS memiliki Hak untuk
memanfaatkan hutan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau
terdapat tegakan hutan kurang dari 10% secara terus – menerus dalam kurun waktu
5 tahun lebih sedangkan pada kondisi sosial yang sangat membutuhkan IPHPS
dapat dilakukan pada areal yang terbuka dengan tegakan diatas 10%. Penetapan
lahan pada hutan produksi dilakukan dengan pola tanam budidaya tanaman pokok
kehutanan 50%, tanaman multiguna 30%, dan tanaman semusim 20% dengan
system agroforestry. Hasil dari proses IPHPS kemudian dibagi sebesar 70% kepada
pemegang IPHPS dan 30% untuk Perum Perhutani pada tanaman pokok kayu.
Sedangkan, untuk tanaman multi guna sebesar 80% kepada pemegang IPHPS dan
18
20% kepada Perum Perhutani (Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan,
2017).
tahun. Studi kasus Kelompok Tani Hutan (KTH) Bhakti Alam Lestari yang menjadi
fokus penelitian, awal mula munculnya IPHPS berada pada tahun 2018 bersamaan
dengan adanya penebangan sengon program PHBM perhutani. Hasil dari tebangan
yaitu hasil pembagian tebangan yang tidak sesuai dengan perjanjian awal pada saat
tahun 2008. Hal tersebut beriringan dengan masuknya program IPHPS sehingga
petani yang tergabung dalam LMDH perhutani membentuk organisasi baru sesuai
dengan permenhut No.39/2017 yaitu KTH Bhakti Alam Lestari. Awal mula petani
tidak percaya dengan program tersebut karena takut terjadi hal yang sama dengan
yang mereka alami pada program sebelumnya. Seiring berjalannya waktu dan
proses sosialisasi, petani bersedia memilih program IPHPS sebagai legalitas dalam
usaha pemanfaatan hutan secara lestari. Jangka waktu proses munculnya serta
tersebut muncul karena perhutani merasa tidak dilibatkan dalam setiap proses
No.39/2017 serta beberapa hal yang dapat berpotensi terjadinya konflik (Gamin,
19
2.4 Potensi Konflik Perhutanan Sosial
akan terjadinya sebuah konflik. Hal tersebut dikarenakan adanya dua stakeholder
atau aktor dalam mekanisme kemitraan yang terjadi sehingga berpotensi konflik.
Menurut Faith (2012), di dalam (Gamin Dkk, 2016) stakeholder atau aktor dalam
konflik tenurial adalah individu atau grup yang memiliki kepentingan langsung
pada lahan (stakeholder utama), sementara pengguna lahan atau pengelola lahan
adalah pihak yang secara tidak langsung mendukung atau menerima dampak
konflik.
Menurut Yunus (2013) di dalam (Sangadji, 2018) tipologi konflik sumber daya
oleh berbagai pihak yang terkait dengan konflik kepentingan salah satunya adalah
persepsi, nilai atau pendapat, dan kepentingan mengenai status penguasaan tanah.
Penataan hak dan kepemilikan lahan juga merupakan tipologi konflik yang dapat
terjadi diakibatkan dari perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, baik kepentingan
mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran lahan yang merugikan pihak lain.
Ketidak jelasan penataan atau letak bidang lahan yang terjadi di masyarakat juga
merupakan tipologi konflik sumber daya alam yaitu perbedaan pendapat, nilai
kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang lahan yang telah diakui oleh
pihak yang lain. Studi kasus KTH Bhakti Alam lestari, pada program IPHPS
20
terdapat potensi konflik yang dapat terjadi antara petani hutan dengan perhutani.
pemanfaatan lahan namun, dalam studi kasus IPHPS KTH Bhakti Alam Lestari
petani hutan merupakan pihak yang menerima dampak konflik. Hal tersebut terjadi
karena potensi konflik pada KTH tersebut hanya terjadi apabila KLHK tidak
menyelesaikan penandaan patok batas areal kerja. Dampak konflik yang diterima
oleh petani hutan adalah ketidak pastian jaminan hukum mengenai batas areal kerja
serta dapat berpotensi mengurangi sinergitas antar petani hutan dan perhutani.
Apabila petani hutan turut serta dalam proses konflik maka dapat dikatakan bahwa
konflik yang terjadi adalah konflik vertikal yaitu pertentangan antara kedua belah
pihak yang memiliki strata sosial yang berbeda Maftuh (2008) di dalam (Julia,
adanya program IPHPS sudah lebih dulu ada program PHBM perhutani yang
memiliki konsep yang sama yaitu melibatkan masyarakat dalam pemanfaatan hutan
perubahan pola berfikir masyarakat menjadi kritis. Kritis yang dimaksud adalah
masyarakat lebih was – was dalam menerima sebuah program di ruang lingkup
21
menimbulkan berbagai macam pertanyaan ditengah masyarakat bahkan ada yang
teori konflik, dapat diketahui bahwa sumber konflik dapat muncul karena adanya
perbedaan pendapat antara kedua belah pihak maupun adanya sebuah perbedaan
kepentingan terhadap lahan tersebut (Gamin Dkk, 2016; Julia Dkk, 2015; Sangadji,
2018). Studi kasus KTH Bhakti Alam Lestari, masyarakat atau petani hutan yang
LMDH yang menjalankan program perhutani. Apabila ditinjau dari potensi konflik,
IPHPS dalam studi kasus KTH Bhakti Alam Lestari tidak memiliki potensi konflik
Dkk, 2016).
22