Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Perhutanan Sosial

Pengelolaan hutan di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak masa

kerajaan terutama di Pulau Jawa. Pengelolaan yang dilakukan oleh kerajaan pada

saat itu menunjukkan penguasaaan hutan di Pulau Jawa dikuasai untuk kemewahan

raja dan penghidupan masyarakat yang ada di dalamnya. Kemudian pada masa

kolonial atau pada masa penjajahan, pengelolaan dilakukan dengan membatasi

akses masyarakat terhadap hutan dengan adanya kebijakan - kebijakan penguasa

pada saat itu dan isu – isu mistis yang disebarkan kepada masyarakat. Pembatasan

tersebut menyebabkan ketakutan masyarakat dan menyebabkan masyarakat tidak

merasakan fungsi dari hutan itu sendiri (Budiono Dkk, 2018).

Penguasaan penuh oleh Negara terhadap hutan merupakan sebuah proses

hegemoni Negara untuk membatasi akses masyarakat terhadap hutan sehingga

hutan sepenuhnya bias dieksploitasi untuk kepentingan Negara. Dalam konteks

Pengelolaan Sumber Daya Hutan (PSDH) Negara melalui Perum Perhutani

melakukan sentralisasi pengelolaan dan pemanfaatan SDH di Jawa. Sentralisasi

pengelolaan dan pemanfaatan tersebut merupakan sebuah manifestasi dari sebuah

kekuasaan Negara yang hegemonik. Interaksi Negara melalui Perum Perhutani

kemudian bersifat eksploitatif pada Sumber Daya Hutan (SDH) dan bersifat

penetratif terhadap Masyarkat Desa Hutan (MDH). Dampak yang signifikan adalah

dengan meningkatnya perusakan hutan oleh Masyarakat Desa Hutan yang

6
dilakukan karena lemahnya kondisi ekonomi dan sosial di Masyarakat Desa hutan.

Perusakan tersebut kemudian adalah sebuah bentuk resistensi Masyarakat Desa

Hutan (MDH) terhadap kebijakan pembangunan hutan yang tidak partisipatif

(Sulistyaningsih, 2013).

Perkembangan akses masyarakat terhadap hutan kemudian dimulai dipasca

orde baru dimana akses tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan kebijakan

mengenai perhutanan sosial atau Hutan kemasyarakatan (Hkm). Meskipun

pembatasan akses masyarakat terhadap hutan dan peningkatan konsentrasi Negara

terhadap SDH menyebabkan kemrosotan kualitas dan mutu hutan, tidak berarti

bahwa dibukanya akses hutan akan menghasilkan hutan dengan mutu tinggi.

Keterbukaan akses hutan oleh masyarakat tersebut kemudian harus didukung

dengan strategi pengelolaan bersama, yang tanggap terhadap kebutuhan warga

miskin Desa. Program kehutanan sosial sendiri juga tidak akan memecahkan

masalah yang dihadapi oleh rimbawan karena yang lebih penting adalah

memadukan kaidah – kaidah kehutanan dengan seluruh struktur kehutanan dan

represi peDesaan diganti dengan pembangunan Desa yang melibatkan peran serta

nyata warga Desa hutan (Peluso, 2006).

Keterbukaan akses masyarakat terhadap hutan di Indonesia kemudian mulai di

rasakan sejak diberlakukannya SK Menhutbun No 677/KptsII/1999 tentang HKm.

Pemberlakuan kebijakan tersebut sebagai usaha mengurangi perambahan hutan

oleh masyarakat dan permasalahan tenurial yang ada pada era reformasi. Kemudian

tahun 2003 pemerintah Indonesia semakin memperluas skema Perhutanan Sosial

7
dengan program Hutan Tanaman Rakyat (Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun

2007) dan Hutan Desa (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-

II/2008). Selanjutnya kedua skema perhutanan sosial tersebut diatur secara bersama

dengan HKm, Hutan Adat, dan Kemitraan dalam Kemen LHK No. P.83 tahun 2016

tentang Perhutanan Sosial (Wulandari, Budiono, & Nurrochmat, 2016).

Berbagai bentuk program Sosial Forestry yang telah berkembang dalam

konteks pengelolaan hutan di Indonesia telah berkembang lebih jauh mengikuti

proses dan dinamika kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah pengembangan

kelembagaan di pedesaan pada tingkat lapangan yaitu, Pola PHBM (Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat) oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa, Pola MHBM

(Mengelola Hutan Bersama Masyarakat), Hutan Kemitraan dan Mengelola Hutan

Rakyat (MHR) di areal HTI di Luar Pulau Jawa. Dengan adanya perkembangan

dinamika kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, menyebabkan

adanya dasar kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat

memayungi dan mendukung penguatan kelembagaan pengelolaan hutan oleh

masyarakat seperti : Hutan Kemasyarakatan (Permenhut No. 37 Tahun 2007),

Hutan Desa (Permenhut No. 49 Tahun 2008), pendanaan Hutan Rakyat (SK

Menhut No. 49/Kpts-II/1997) yang telah berkembang sangat luas di Pulau Jawa

bahkan telah menjadi salah satu alternatif sumber bahan baku industri perkayuan di

Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa (Hakim Dkk, 2010).

Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia telah ada sejak masa kolonialisme

berlangsung. Pengelolaan hutan di Indonesia masih mengandung hegemoni Negara

8
terhadap kekuasaan hutan. Meskipun demikian, pemerintah tetap membuka akses

untuk masyarakat agar mampu memanfaatkan hutan dan meningkatkan

perekonomian masyarakat desa hutan melalui berbagai macam program perhutanan

sosial. Perdebatan dalam proses pembuatan kebijakan kehutanan pasca reformasi

sampai sekarang telah terjadi sebelum adanya pembentukan Undang – Undang No.

41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Perdebatan tersebut melibatkan berbagai macam

kalangan terutama masyarakat dan Negara. Hal tersebut dikarenakan antar kedua

belah pihak memiliki kepentingan dalam proses penguasaan hutan. Kontestasi

tersebut pada prosesnya melibatkan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat,

praktisi hukum, kademisi, sosiolog, dan juga pengusaha dibidang kehutanan. Hasil

dari kontestasi tersebut kemudian tetap melahirkan kebijakan yang ber-ideologi

domainverklaring yang artinya tetap mempertahankan kontrol Negara atas hutan

(Budiono Dkk, 2018).

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu program strategis

pembangunan kehutanan di Indonesia. Pelibatan, pemberian akses dan hak kepada

masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan telah menjadi

keniscayaan dan paradigma untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, sekaligus

menyejahterakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Gerakan

pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau kehutanan masyarkat yang saat ini

lebih dikenal dengan perhutanan sosial lahir dari sebuah proses panjang dan tidak

bisa lepas dari sejarah pengelolaan hutan di Indonesia. Kehutanan masyarakat lahir

sebagai respon terhadap kegagalan kehutanan konvesional dalam menjamin

9
kelestarian hutan. Kehutanan konvesional telah melahirkan kerusakan hutan dan

deforestasi sangat masif dan terjadi hampir dibeberapa negara yang mempunyai

hutan tropis luas seperti Brazil, Filipina, Vietnam, Thailand, India, Kamerun, dan

lain-lain. Kehutanan konvesional yang juga menjadi kebijakan pemerintah,

cenderung menggunakan pendekatan timber management, yang lebih memandang

bahwa hutan adalah sumber ekonomi yang menekankan pada pemanfaatan dan

eksploitasi sumberdaya alam hutan secara besar-besaran dengan meniadakan

eksistensi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dan bergantung

dengan sumberdaya alam hutan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan

kehutanan di Indonesia masih membuat duka bagi masyarakat sekitar hutan dimana

masyarakat harus terbentur dengan kebijakan pemerintah yang hanya memberikan

akses pemanfaatan terhadap perusahan swasta maupun perusahaan Negara (Zakaria

Dkk, 2018).

2.2 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Perum Perhutani (PHBM)

2.2.1 Sejarah PHBM

Program PHBM digagas oleh Perum Perhutani pada tahun 2001 melalui surat

keputusan direksi Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pengelolaan yang dilakukan bersifat

kolaboratif yaitu dilakukan dengan memaksimalkan peran dari kelompok

masyarakat personil dari perhutani dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi. Masyarakat yang tergabung kedalam PHBM pun memiliki akses atas

hutan yaitu mendapatkan keuntungan dari program PHBM tersebut. Keuntungan

10
yang diperoleh kemudian didapatkan dari hasil tanaman pertanian yang ditanam di

sela – sela tanaman pokok kehutanan dan proses bagi hasil dari penebangan akhir.

Masyarakat yang tergabung ke dalam PHBM juga memiliki kewajiban yaitu

dengan menjaga dan merawat tanaman pokok yang di tanam oleh Perhutani (Winata

& Yuliana, 2017).

Perum Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas

mengelola hutan negara khususnya di Pulau Jawa mulai menyadari akan pentingnya

partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan. Hal tersebut dikarenakan adanya

beberapa konflik yang melibatkan Perhutani dengan masyarakat sekitar Desa hutan.

Kebijakan pengelolaan hutan pun dilakukan dengan mengedepankan pendekatan

resource based management yang berbasis pada forest community based

development. Paradigma baru tersebut menempatkan peran masyarakat sebagai

pusat pembangunan dan mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam proses

pengelolaan hutan. Perum Perhutani sebagai perwakilan dari pemerintah juga mulai

membuat program pemberdayaan masyarakat Desa hutan pada tahun 1972 dengan

melakukan perubahan terhadap pengelolaan hutan dari Security Approach Ke

Prosperity Approach. Pemberdayaan tersebut dimanifestasikan kepada perhutanan

sosial dengan melakukan pembentukan Kelompok Tani Hutan hingga Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001 (Puspitarani, Warsito, &

Retno, 2014). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan sistem

pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara

Perum Perhutani dan masyarakat Desa hutan. Kolaborasi tersebut juga dilakukan

11
dengan para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan

fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif.

Maksud dari PHBM sendiri adalah untuk memberikan arahan dalam proses

pengelolaan hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara

proporsional dan professional. Pelaksanaan PHBM sendiri dilakukan dengan

membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang anggotanya terdiri

dari masyarakat yang memiliki dan tidak memiliki lahan garapan dalam usaha

meningkatkan perekonomian keluarga. Lembaga masyarakat tersebut kemudian

menjadi mitra kerja Perhutani dalam proses perencanaan, hingga pelaksanaan

pengelolaan hutan serta monitoring dan evaluasi (Perum Perhutani, 2007). Jiwa

PHBM adalah kesediaan perusahaan, masyarakat Desa hutan, dan pihak yang

berkepentingan (stakeholder) utuk berbagi dalam pengelolaan sumberdaya hutan

bersama masyarakat sesuai kaidah-kaidah berikut :

1. Keseimbangan : ekologi, sosial, dan ekonomi

2. Kesesuaian : kultur dan budaya setempat

3. Keselarasan : pembangunan wilayah atau daerah

4. Keberlanjutan : fungsi dan manfaat SDH

5. Kesetaraan : peran dan risiko

Menurut Suratiyaningrum, (2013) PHBM dilaksanakan dengan prinsip dasar

Perum Perhutani, Masyarakat Desa hutan, dan pihak yang berkepentingan untuk

berbagi dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kaidah-kaidah

12
keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. PHBM dilakukan

dengan jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau

ruang, waktu, dan berbagi dalam pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumber

daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling

mendukung berdasarkan kepada Keadilan dan demokratis, Keterbukaan dan

kebersamaan, Pembelajaran bersama dan saling memahami, Kejelasan hak dan

kewajiban, Pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kerjasama kelembagaan,

perencanaan partisipatif, Kesederhanaan sistem prosedur, Kesesuaian pengelolaan

dengan karakteristik wilayah dan keanekaragaman sosial budaya, dimana

Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Adapun prinsip dasar dalam PHBM adalah

sebagai berikut :

1. Prinsip keadilan dan demokratis

2. Prinsip keterbukaan dan kebersamaan

3. Prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami

4. Prinsip kejelasan hak dan kewajiban

5. Prinsip pemberdayaan ekonomi keralyatan

6. Prinsip kerjasam kelembagaan

7. Prinsip perencanaan partisipatif

8. Prinsip kesderhanaan sistem dan prosedur

9. Prinsip perusahaan sebagai fasilitator

10. Prinsip pengelolaan dan karakteristik wilayah

13
2.2.2 Kelembagaan PHBM

Masyarakat desa hutan merupakan sekumpulan orang yang mendiami suatu

tempat yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan yang terikat dengan

norma, nilai, dan kebiasaan yang telah disepakati bersama. Lembaga Masyarakat

Desa Hutan (LMDH) merupakan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa

yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan untuk mengatur dan

memenuhi kebutuhannya dalam konteks, ekonomi, sosial, budaya dan politik

dengan melakukan interaksi terhadap hutan (Awang, Widayanti, Himmah, Astuti,

Septiana, Madyah, 2008). Menurut Darmanto dan Weningsih, (2014), LMDH

merupakan lembaga yang memiliki kepentingan kerjasama dalam pengelolaan

sumber daya hutan yang anggotanya terdiri dari masyarakat yang ada di sekitar

hutan dan memiliki rasa kepedulian terhadap sumber daya hutan. Lembaga tersebut

dibentuk oleh masyarakat desa hutan dalam rangka kerjasama pengelolaan sumber

daya hutan melalui program PHBM Perum Perhutani berdasarkan Surat Keputusan

Direksi Perum Perhutani Nomor: 136/KPTS/DIR/2001.

Sebagai organisasi masyarakat, LMDH merupakan salah satu lembaga

masyarakat yang berbadan hukum sehingga dapat menjadi mitra Perum Perhutani

dalam program PHBM. Masyarakat yang tergabung dengan LMDH kemudian

memiliki hak untuk mengelola petak hutan di pemangkuan hutan dimana LMDH

tersebut berada, bekerjasama kemudian mendapatkan hak bagi hasil dari kerjasama

tersebut. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan hutan, LMDH memiliki aturan

main yang di eJawantahkan dalam Anggaran Dasar (AD) / Anggaran Rumah

14
Tangga (ART) (Suratiyaningrum, 2013). Menurut Prastyo & Hidayat, (2016),

pelaksanaan program PHBM Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH)

Kabupaten Malang memiliki sedikit perbedaan dari PHBM di tempat lain.

Perbedaan tersebut berada pada pola kemitraan masyarakat dengan Perum

Perhutani. Pola kemitraan yang dilakukan menyesuaikan dengan karakteristik

masyarakat dan rekomendasi dari Pemerintah Daerah sehingga merubah PHBM

menjadi Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) dan kelembagaan masyarakat

menjadi Lembaga Kemitraan Desa Petani Hutan (LKDPH). Hal ini senada dengan

yang dikatakan oleh Redjeki & Mundzir, (2008), bahwa karakteristik masyarakat

yang berada di sekitar kawasan hutan di Kabupaten Malang memiliki tingkat

pendidikan yang relatif rendah sehingga rata – rata masyarakat memilih untuk

menjadi petani hutan dari pada mencari pekerjaan lain. Hal tersebut juga

mengakibatkan masyarakat sekitar hutan yang menjadi petani sulit dalam menerima

program baru sehingga menyebabkan perlunya penyesuaian Perum Perhutani KPH

Malang agar tidak terjadi kesalah pahaman masyarakat terhadap program PHBM

Perum Perhutani (Prastyo & Hidayat, 2016).

2.2.3 Evaluasi PHBM

Program pengelolaan hutan bersama masyarakat tentunya masih belum menjadi

solusi dalam permasalahan konflik tenurial yang ada di sekitar kawasan hutan. Hal

tersebut dikarenakan tidak adanya keserasian antara pandangan perhutani dengan

masyarakat sekitar hutan. Masih banyak sekali permasalahan yang terjadi di lapang

menganai PHBM terutama kebutuhan masyarakat yang masih belum terpenuhi.

15
Selain itu, adanya ketidak cocokan masyarakat terhadap program tersebut karena

sistem yang dipakai (Corryanti & Waluyani, 2015).

Ketidak berhasilan program PHBM tentunya dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor terutama SDM yang terlibat didalamnya. Masih banyak petugas perhutani

yang belum memahami mengenai esensi PHBM sehingga berpengaruh terhadap

ketidak berhasilan program. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya sangat

bergantung dengan keberadaan hutan, tetapi dimaknai manfaatnya baru sebatas

memenuhi kebutuhan pangan. Pemahaman kelestarian hutan dan fungsi-fungsi

hutan secara tidak langsung belum difahami masyarakat. Dengan tingkat

pendidikan yang rendah bahkan tidak memiliki pendidikan formal, maka

penyampaian program dan kegiatan sering mengalami gap (kesenjangan) berpikir

(Corryanti & Waluyani, 2015).

Dalam program PHBM, pendekatan sharing masih sering dimaknai sebagai

modal berkegiatan, sehingga tanpa sharing, LMDH sering tidak memiliki kegiatan

atau berhenti dalam banyak kasus dana sharing ini tidak diketahui oleh seluruh

anggota LMDH, sehingga kemanfaatannya hanya berimbas di sekitar pengurus

organisasi. Upaya-upaya untuk bekerjasama dengan para pihak dan lembaga yang

potensial pun masih lemah karena keterbatasan pengurus melakukan komunikasi

dan lobbying. Bila ditinjau dari sisi petugas Perhutani, mereka yang ditugasi dalam

kegiatan PHBM belum menguasai pengetahuannya berkaitan dengan makna

PHBM, komunikasi yang kurang, sehingga bahkan meninggalkan kesan negatif di

tengah masyarakat. Aktualisasi PHBM pada RPH Sumber Agung KPH Malang

16
meninggalkan beberapa kesan negatif kepada petani hutan. Kesan tersebut adalah

tidak adanya trasparansi mengenai pembagian hasil dari usaha penanaman sengon.

Awal mula kesan negatif muncul setelah petani merasa perhutani ingkar janji dalam

proses perjanjian pada tahun 2008. Dampak dari adanya permasalahan tersebut

adalah mulai tidak percayanya petani terhadap program PHBM perhutani. Ketidak

percayaan tersebut ber-implikasi kepada sinergitas antara perhutani dan petani

hutan yang notabenenya adalah masyarakat sekitar desa hutan. Sinergitas yang

kurang baik membuat petani hutan mencari legalitas dalam usaha pemanfaatan

hutannya dengan dalih ketenangan dalam bercocok tanam. Sinergitas yang kurang

baik tersebut juga dapat berpengaruh terhadap keamanan hutan dikarenakan petani

hutan merasa tidak mendapatkan kesejahteraan ekonomi dari program PHBM

sehingga melakukan pencurian kayu seperti yang terjadi pada sejarah kelam

pengelolaan hutan pada saat reformasi politik (Yanuardi, 2013).

2.3 Kemunculan IPHPS

Perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani merupakan sistem

pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara yang

dikelola oleh Perum Perhutani dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku

utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan

dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan. Izin pemanfaatan

hutan yang diberikan berupa IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial)

dalam kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. IPHPS merupakan usaha

dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan

17
tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam,

pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan

produksi dan hutan lindung, dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan

lindung dan hutan produksi.

Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di Wilayah Kerja Perum

Perhutani diberikan pada masyarakat yang notabenenya adalah petani yang

memiliki lahan maupun tidak memiliki lahan di dalam kawasan hutan. Pengurusan

perizinan IPHPS dibantu dengan kelompok kerja Percepatan Perhutanan Sosial

(PPS) yang tediri dari Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan

Pemerintah Daerah yang namanya tercantum dalam Surat Keputusan Penetapan

Kelompok Kerja PPS. Masyarakat yang memiliki IPHPS memiliki Hak untuk

memanfaatkan hutan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau

terdapat tegakan hutan kurang dari 10% secara terus – menerus dalam kurun waktu

5 tahun lebih sedangkan pada kondisi sosial yang sangat membutuhkan IPHPS

dapat dilakukan pada areal yang terbuka dengan tegakan diatas 10%. Penetapan

areal tersebut dilakukan oleh Direktur Jendral Planologi kehutanan kemudian

dimasukkan pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Pemanfaatan

lahan pada hutan produksi dilakukan dengan pola tanam budidaya tanaman pokok

kehutanan 50%, tanaman multiguna 30%, dan tanaman semusim 20% dengan

system agroforestry. Hasil dari proses IPHPS kemudian dibagi sebesar 70% kepada

pemegang IPHPS dan 30% untuk Perum Perhutani pada tanaman pokok kayu.

Sedangkan, untuk tanaman multi guna sebesar 80% kepada pemegang IPHPS dan

18
20% kepada Perum Perhutani (Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan,

2017).

Kepastian hukum dalam IPHPS membuat masyarakat berbondong – bondong

mendaftarkan diri sebagai anggota pemegang SK IPHPS terutama jangka waktu

pemanfaatannya sesuai dengan pasal 16 permenhut No. 39/2017 adalah selama 35

tahun. Studi kasus Kelompok Tani Hutan (KTH) Bhakti Alam Lestari yang menjadi

fokus penelitian, awal mula munculnya IPHPS berada pada tahun 2018 bersamaan

dengan adanya penebangan sengon program PHBM perhutani. Hasil dari tebangan

tersebut kemudian melahirkan stigma negatif masyarakat terhadap program PHBM

yaitu hasil pembagian tebangan yang tidak sesuai dengan perjanjian awal pada saat

tahun 2008. Hal tersebut beriringan dengan masuknya program IPHPS sehingga

petani yang tergabung dalam LMDH perhutani membentuk organisasi baru sesuai

dengan permenhut No.39/2017 yaitu KTH Bhakti Alam Lestari. Awal mula petani

tidak percaya dengan program tersebut karena takut terjadi hal yang sama dengan

yang mereka alami pada program sebelumnya. Seiring berjalannya waktu dan

proses sosialisasi, petani bersedia memilih program IPHPS sebagai legalitas dalam

usaha pemanfaatan hutan secara lestari. Jangka waktu proses munculnya serta

pengurusan berdampak ketegangan antara petani hutan dan perhutani. Ketegangan

tersebut muncul karena perhutani merasa tidak dilibatkan dalam setiap proses

pengurusan. Terdapat perbedaan pandangan juga mengenai penafsiran permenhut

No.39/2017 serta beberapa hal yang dapat berpotensi terjadinya konflik (Gamin,

Kartodihardjo, M Kolopaking, & Boer, 2016).

19
2.4 Potensi Konflik Perhutanan Sosial

2.4.1 Masyarakat dengan Perhutani

Perhutanan sosial dalam kawasan perum perhutani tidak menutup kemungkinan

akan terjadinya sebuah konflik. Hal tersebut dikarenakan adanya dua stakeholder

atau aktor dalam mekanisme kemitraan yang terjadi sehingga berpotensi konflik.

Menurut Faith (2012), di dalam (Gamin Dkk, 2016) stakeholder atau aktor dalam

konflik tenurial adalah individu atau grup yang memiliki kepentingan langsung

pada lahan (stakeholder utama), sementara pengguna lahan atau pengelola lahan

adalah pihak yang secara tidak langsung mendukung atau menerima dampak

konflik.

Menurut Yunus (2013) di dalam (Sangadji, 2018) tipologi konflik sumber daya

alam merupakan jenis sengketa pertanahan yang disampaikan maupun di adukan

oleh berbagai pihak yang terkait dengan konflik kepentingan salah satunya adalah

penguasaan dan kepemilikan lahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan

persepsi, nilai atau pendapat, dan kepentingan mengenai status penguasaan tanah.

Penataan hak dan kepemilikan lahan juga merupakan tipologi konflik yang dapat

terjadi diakibatkan dari perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, baik kepentingan

mengenai proses penetapan hak dan pendaftaran lahan yang merugikan pihak lain.

Ketidak jelasan penataan atau letak bidang lahan yang terjadi di masyarakat juga

merupakan tipologi konflik sumber daya alam yaitu perbedaan pendapat, nilai

kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang lahan yang telah diakui oleh

pihak yang lain. Studi kasus KTH Bhakti Alam lestari, pada program IPHPS

20
terdapat potensi konflik yang dapat terjadi antara petani hutan dengan perhutani.

Potensi tersebut dikarenakan kedua belah pihak memiliki kepentingan dalam

pemanfaatan lahan namun, dalam studi kasus IPHPS KTH Bhakti Alam Lestari

petani hutan merupakan pihak yang menerima dampak konflik. Hal tersebut terjadi

karena potensi konflik pada KTH tersebut hanya terjadi apabila KLHK tidak

menyelesaikan penandaan patok batas areal kerja. Dampak konflik yang diterima

oleh petani hutan adalah ketidak pastian jaminan hukum mengenai batas areal kerja

serta dapat berpotensi mengurangi sinergitas antar petani hutan dan perhutani.

Apabila petani hutan turut serta dalam proses konflik maka dapat dikatakan bahwa

konflik yang terjadi adalah konflik vertikal yaitu pertentangan antara kedua belah

pihak yang memiliki strata sosial yang berbeda Maftuh (2008) di dalam (Julia,

Maftuh, & Malihah, 2015).

2.4.2 Dinamika Perubahan di Masyarakat

Kemunculan IPHPS di tengah masyarakat menimbulkan sebuah dinamika

perubahan dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan proses yang

terjadi di lapang melibatkan masyarakat sekitar desa hutan terutama sebelum

adanya program IPHPS sudah lebih dulu ada program PHBM perhutani yang

memiliki konsep yang sama yaitu melibatkan masyarakat dalam pemanfaatan hutan

di wilayah kerja perum perhutani. Dinamika perubahan yang terjadi adalah

perubahan pola berfikir masyarakat menjadi kritis. Kritis yang dimaksud adalah

masyarakat lebih was – was dalam menerima sebuah program di ruang lingkup

pengelolaan hutan. IPHPS yang merupakan program baru pemerintah sehingga

21
menimbulkan berbagai macam pertanyaan ditengah masyarakat bahkan ada yang

tidak percaya terhadap sistem tersebut. Namun, dalam berjalannya sosialisasi

program IPHPS masyarakat lebih memilih untuk mengikuti program IPHPS

sehingga tidak menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Berdasarkan

teori konflik, dapat diketahui bahwa sumber konflik dapat muncul karena adanya

perbedaan pendapat antara kedua belah pihak maupun adanya sebuah perbedaan

persepsi mengenai penggunaan lahan serta masyarakat yang memiliki perbedaan

kepentingan terhadap lahan tersebut (Gamin Dkk, 2016; Julia Dkk, 2015; Sangadji,

2018). Studi kasus KTH Bhakti Alam Lestari, masyarakat atau petani hutan yang

terhimpun di dalamnya merupakan masyarakat yang dulunya tergabung di dalam

LMDH yang menjalankan program perhutani. Apabila ditinjau dari potensi konflik,

IPHPS dalam studi kasus KTH Bhakti Alam Lestari tidak memiliki potensi konflik

dikarenakan dalam sosial masyarakat tidak memiliki perbedaan pandangan serta

kepentingan yang dapat menyebabkan benturan Fisher (2001) di dalam (Gamin

Dkk, 2016).

22

Anda mungkin juga menyukai