Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial

NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30


1. PENDAHULUAN Idealnya kawasan hutan produksi mampu
menyediakan kebutuhan kayu untuk
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 masyarakat melalui suatu konsep pengelolaan
tentang kehutanan menjelaskan bahwa hutan (Simon, 2001). Kenyataannya, hampir seluruh
merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hutan produksi di provinsi Bengkulu, tidak
hamparan lahan berisi sumber daya alam memiliki lagi pengelolaan hutan tanaman
hayati yang didominasi pepohonan dalam kayu. Kawasan hutan produksi yang ada, lebih
persekutuan alam lingkungannya, yang satu banyak di garap oleh masyarakat untuk lahan
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. pertanian. Menurut Ekawati (2013)
Menurut simon (2001) pohon yang terdapat kebijakan desentralisasi yang digulirlkan,
di dalam hutan mempunyai peran utama dimana kewenangan pengelolaan hutan
untuk menjaga keseimbangan ekosistem produksi dan hutan lindung diserahkan
permukaan planet bumi. hutan berperan kepada pemerintah daerah, menyebabkan laju
dalam mengatur tata air (Ulya, dkk, 2014; deforestasi pada hutan produksi tinggi.
asdak, 2004), kesuburan tanah (Indriyanto, Fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu
2006), gudang keanekaragaman plasma dan non kayu mulai bergeser ketika
nutfah (Triwanto, 2001) dan menyerap kepemilikan lahan pertanian masyarakat
karbon dioksida (Wibowo, 2013). Selain itu mulai menyempit, sehingga ketergantungan
hutan juga berfungsi sebagai sumber ekonomi masyarakat lokal ke dalam kawasan hutan
bagi manusia, seperti untuk sumber pangan menjadi tinggi (Yusran dan abdulah, 2007).
(Dwiprabowo, 2011), penghasil kayu bakar Laju pertambahan jumlah penduduk yang
(Rahmat, 2011, dan pengembangan ekowisata tinggi menyebabkan tekanan masyarakat
(supyan, 2011). kedalam kawasan hutan semakin tinggi
Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 karena lahan budidaya pertanian dan
tentang Perencaaan Hutan, menjelaskan perkebunan semakin menyempit, sedangkan
untuk mengakomodir fungsi perlindungan penegakan hukum bagi para perambah hutan
lingkungan dan fungsi ekonomi kawasan belum berjalan maksimal (kaimuddin, 2008).
hutan, pemerintah mengklasifikasikan hutan Kontribusi pendapatan masyarakat sekitar
menurut fungsinya, yakni : hutan lindung, hutan dari dalam kawasan hutan besarnya
hutan konservasi, dan hutan produksi. mencapai 52,5 % dari pendapatan total
Penetapan suatu kawasan hutan produksi masyarakat (Senoaji, 2009). Ini berarti
fungsi pokoknya untuk memproduksi hasil ketergantungan masyarakat terhadap
hutan. Selanjutnya hutan produksi ini di bagi kawasan hutan cukup tinggi.
menjadi tiga kelompok, yakni : hutan Pemanfaatan kawasan hutan oleh
produksi (HP), hutan produksi terbatas masyarakat sekitar, tidak seluruhnya
(HPT), dan hutan produksi yang dapat dipayungi oleh aturan hukum yang ada.
dikonversi (HPK). masih banyak masyarakat yang mengolah
HPT Bukit Basa berada di kabupaten lahan hutan secara illegal. klaim terhadap
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, luas lahan garapan sebagai tanah adat warisan
arealnya sekitar 125,36 Ha (Anonim, 2015). leluhur di kawasan hutan dijadikan alasan
HPT ini semestinya berfungsi untuk untuk memanfatkan hutan yang akhirnya
memproduksi hasil hutan, baik kayu ataupun mengancam kelestarian hutannya. Tindakan
non kayu dengan intensitas rendah karena seperti ini merupakan penyerobotan hutan
memiliki faktor-faktor pembatas. Penetapan yang menimbulkan konflik lahan dengan
kawasan hutan produksi terbatas merupakan pengelola kawasan hutan (Dassir, 2008).
kebijakan pemerintah untuk mendukung Kementerian kehutanan melakukan
perekonomian masyarakat, terutama untuk revitalisasi dalam pengelolaan kawasan
pemenuhan kebutuhan kayu dan non kayu hutan, salah satunya melalui program social
bagi masyarakat. forestry dengan berbagai pola pemberdayaan

1
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30
masyarakat (Heryatna, 2015). Dalam 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Peraturan Menteri Kehutanan No. 88 tahun
2014, dijelaskan bahwa pemberdayaan 3.1. Kondisi HPT Bukit Basa
masyarakat sekitar hutan merupakan upaya Hasil analisis citra satelit tutupan vegetasi
untuk meningkatkan kemampuan dan yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan
kemandirian masyarakat dalam manfaat Hidup dan Kehutanan tahun 2017,
sumber daya hutan secara optimal dan adil menunjukkan bahwa tutupan vegetasi di HPT
melalui pengembangan kapasitas dan Bukit Basa, seluruhnya berupa lahan
pemberian akses dalam rangka peningkatan pertanian kering campur ; ini berarti seluruh
kesejahteraan masyarakat setempat. kawasan hutan ini telah dimanfaatkan
Kawasan hutan produksi, selain sebagai menjadi lahan garapan. Fenomena seperti ini
penghasil kayu non kayu, dapat juga menjadi banyak terjadi pada kawasan hutan di
sumber pangan melalui optimalisasi Provinsi Bengkulu, baik di hutan lindung
pemanfaatan plasma nutfah flora dan fauna ataupun hutan produksi. Menurut senoaji
dengan melibatkan masyarakat dalam (2009), cukup banyak kawasan hutan lindung
program pengelolaan hutan dengan sistem yang telah dimanfaatkan masyarakat diluar
agroforestry (Bangsawan dan Dwiprabowo, fungsi lindung, seperti untuk lahan kebun,
2012). Pemanfaatan kawasan hutan oleh ladang, pemukiman, dan sawah. Fungsi hutan
masyarakat untuk berbagai kegiatan harus produksi sebagai penghasil kayu juga tidak
mendapat ijin dari yang berwenang; karena tampak, padahal tujuan penetapan hutan
hutan merupakan public goods yang produksi adalah sebagai penghasil kayu
mempunyai multi fungsi. masyarakat, yang kebutuhannya 0,45 m3 per
kapita (Haryono, 2006). Tidak adanya
2. METODE PENELITIAN produksi kayu di wilayah ini berpotensi
Penelitian ini dilakukan di Kawasan HPT terjadinya illegal logging pada kawasan hutan
Bukit Basa, kabupaten Rejang Lebong, lindung yang terdapat di sekelilingnya.
Provinsi Bengkulu, pada bulan maret – Mei Tutupan vegetasi kawasan HPT Bukit
2017. Obyek penelitiannya adalah Bukit Basa telah berubah menjadi lahan
masyarakat penggarap dan kondisi lahan pertanian penghasil pangan, tidak ada lahan
garapannya pada kawasan hutan ini. kayu pertukangan yang menjadi fungsi utama
Pemilihan responden dilakukan melalui pembentukan hutan produksi. Menurut
teknik accidental sampling dilokasi penelitian. Hidayat (2015), kawasan hutan yang terdesak
Pengumpulan data dilakukan dengan oleh perkebunan masyarakat seperti kopi,
teknik wawancara dan pengamatan dengan hanya menyisakan sedikit tegakan berpotensi
bantuan daftar pertanyaan. Untuk setiap kayu bahan bangunan. Untuk mengembalikan
responden yang terpilih, dilakukan fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu
wawancara tentang kondisi sosial dan sekaligus sumber pangan bagi
ekonominya dan pengamatan terhadap lahan masyarakat perlu di lakukan pengaturan
garapannya. pengelolaan kawasan hutan melalui skema
Data dan informasi yang di kumpulkan, legal dari pemerintah.
baik data primer ataupun data sekunder, Program pemerintah tentang
kemudian dianalisis dengan analisis kualitatif pemberdayaan masyarakat, memungkinkan
dan kuantitatif. data yang dianalisis secara kawasan hutannya ditanami berbagai jenis
kualitatif meliputi kondisi sosial dan ekonomi tanaman pangan yang dikombinasikan
masyarakat penggarap, letak dan luas lahan dengan tanaman kehutanan. Dengan
garapannya, dan jenis tanaman di lahan demikian, hasil pangan yang diperoleh dari
garapan. Data yang dianalisis secara kawasan hutan ini layak ditetapkan sebagai
kuantitatif untuk mengetahui hubungan hasil hutan (Puspitojati, 2015).
antara luas lahan garapan dengan pendidikan.

2
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30
3.2. Karakteristik Masyarakat Penggarap menumpang. Pengelompokan tanggungan
keluarga dibagi menjadi tiga katagori, yakni
3.2.1. Umur ”kecil” jika tanggungannya kurang 4 orang,
”sedang” jika tanggungannya 4 - 6 orang dan
Umur merupakan salah satu identitas
”besar” jika tanggungannya lebih dari 6 orang
yang dapat mempengaruhi kemampuan kerja
(purwanti, 2007).
dan pola pikir (Adhawati, 1997). Umur
Jumlah tanggungan keluarga merupakan
masyarakat penggarap berkisar antara 18-78
beban kepala keluarga untuk membiayai
tahun. Mantra (2000) mengklasifikasikan
segala macam kebutuhan rumah tangganya;
umur penduduk berdasarkan tingkat
semakin banyak tanggungan keluarga akan
produktifitasnya yakni : < 15 tahun (belum
semakin besar biaya hidup yang harus
produktif), 15 – 55 tahun (produktif) dan > 55
dikeluarkan. Dilain pihak tanggungan
tahun (tidak produktif). klasifikasi petani
keluarga merupakan aset bagi kepala
penggarap hutan berdasarkan kelompok
keluarga berupa ketersediaan tenaga kerja
umur menjelaskan bahwa tidak ada
sebagai investasi untuk menyediakan tenaga
responden usia belum produktif yang
kerja yang bisa di manfaatkan untuk
menggarap lahan di dalam kawasan hutan,
membantu pekerjaan kepala keluarga di lahan
sekitar 97,6% respondennya masuk dalam
garapannya.
usia produktif, dan hanya 2,4% yang tidak
produktif. Data ini menggambarkan bahwa
3.2.4. Luas Lahan Garapan
kemampuan kerja para responden memiliki
kemampuan kerja yang tinggi. Luas lahan garapan merupakan modal
petani dalam berusaha tani. Pendapatan
petani dari usaha taninya salah satunya
3.2.2. Tingkat Pendidikan
ditentukan oleh luas lahan garapannya yang
Tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi produksi per satuan
mempengaruhi dalam kemampuan berpikir luas. Purwanti (2007) mengelompokan luas
(Adhawati, 1997). Pendidikan di pandang lahan garapan menjadi : ”sedikit” jika luasnya
tidak hanya dapat menambah pengetahuan kurang dari 1 ha, ”sedang” jika luasnya 1 – 3
tetapi juga dapat meningkatkan keterampilan ha, dan ”banyak” jika luasnya lebih dari 3 ha.
tenaga kerja sehingga akan meningkatkan Luas lahan garapan petani di HPT Bukit Basa
produktivitas. Tingkat pendidikan yang berkisar antara 0,5 - 2 ha per kepala keluarga.
digunakan dalam penelitian ini berdasarkan luas rata-rata lahan garapan masyarakat di
tingkat pendidikan formal yang pernah desa ini adalah 1,2 ha setiap kepala keluarga.
diikuti, yakni : tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA
dan Perguruan Tinggi.
3.2.5. Lokasi Lahan Garapan
Sebagian besar (92,8 %) petani penggarap
lahan di HPT Bukit Basa hanya berpendidikan Berdasarkan letak lokasinya, lahan
SD. Angka ini memberikan indikasi bahwa garapan petani dibedakan menjadi dua
tingkat pendidikan dilokasi penelitian masih kelompok, yakni lahan garapan di dalam
rendah, yang dikhawatirkan masyarakat kawasan hutan dan lahan di luar kawasan
kesulitan untuk menerima berbagai aturan hutan. Petani penggarap yang memiliki lahan
atau inovasi baru tentang pengelolaan hutan. garapan di luar kawasan hutan hanya 38,1%.
Ini berarti 61,9 % masyarakat petani
3.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga penggarap ini, hidupnya sangat tergantung
kepada kawasan hutan. Mereka tidak
Tanggungan keluarga adalah semua orang
memiliki lahan garapan diluar kawasan hutan.
yang tinggal dalam satu rumah ataupun yang
Mengusir atau mengeluarkan para petani
berada di luar rumah dan menjadi tanggungan
penggarap dari kawasan HPT Bukit Basa ini,
kepala keluarga, yang terdiri dari istri, anak,
akan menghilangkan seluruh sumber
dan anggota keluarga lain yang ikut
3
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30
pendapatannya. Para penggarap lahan ini 3.2.8. Kondisi Lahan dan Jenis Tanaman
tidak memiliki ijin pengelolaan hutan. Lahan garapan yang terletak di HPT Bukit
Legalisasi pengelolaan kawasan hutan untuk Basa ini memiliki kemiringan mulai dari datar
lahan garapan para petani harus segera hingga curam. Rata-rata luas lahan garapan
dilakukan; karena pemanfaatan kawasan untuk setiap petani sekitar 1,2 ha. Pada setiap
kehutanan tanpa ijin dari pihak yang lahan garapannya dibangun pondok dari kayu
berwenang merupakan pelanggaran hukum berukuran sekitar 4 m x 7 m untuk tempat
dan dapat dikenakan sanksi hukum sesuai beristirahat dan disiapkan areal terbuka
dengan peraturan yang berlaku. seluas 50 - 100 m2 untuk menjemur hasil
kebunnya. Bagi petani penggarap, lahan
3.2.6. Cara Mendapatkan Lahan Garapan garapan dan pondoknya merupakan rumah
kedua bagi mereka. Aktifitas harian mereka
Lahan garapan yang diolah para petani
berada di lahan garapan ini. Pada musim
merupakan kawasan HPT Bukit Basa. Secara
panen, sekitar 2 – 4 minggu, para petani
yuridis, lahan ini milik negara yang
penggarap tidak pulang kedesanya. Mereka
kewenangan pengelolaannya di serahkan
memanen hasil kebun dan menjemurnya
kepada pemerintah Provinsi Bengkulu,
hingga siap jual.
melalui lembaga Kesatuan Pengelolaan Hutan
Para petani penggarap menanam
Lindung Bukit Daun. Undang-Undang No. 41
berbagai jenis tanaman di lahan garapannnya,
tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 50 ayat
baik sebagai tanaman pokok atautanaman
3 butir (a), menyebutkan bahwa setiap orang
sampingan. Sebagian besar, tanaman
dilarang mengerjakan dan atau menggunakan
pokoknya adalah kopi (coffea canephora),
dan atau menduduki kawasan hutan secara
hanya dua petani penggarap yang memilih
tidak sah. Fakta dilapangan, hampir seluruh
tanaman palawija sebagai tanaman pokok.
kawasan hutan produksi terbatas ini, telah
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan
pertanian. Masyarakat penggarap 3.3. Konflik Hutan
menganggap bahwa lahan garapannya adalah Konflik sumberdaya alam, termasuk
milik sah yang diperoleh melalui berbagai konflik lahan, terjadi karena ada ketimpangan
cara, yakni membuka lahan sendiri, membeli distribusi lahan, dengan rasio distribusi lahan
dari penggarap sebelumnya, warisan dari di Indonesia hanya sebesar 0,562 (Harun dan
orang tua dan menyewa dari pemiliknya. Dwiprabowo, 2014). Pemanfaatan kawasan
hutan untuk lahan pertanian tanpa legalitas,
3.2.7. Domisili Petani Penggarap
menunjukkan telah terjadi konflik pada
Masyarakat petani penggarap di kawasan kawasan hutan. Menurut dassir (2008),
HPT Bukit Basa, sebagian besar berasal dari konflik pengelola hutan dengan masyarakat
desa-desa yang berada di sekitar hutan dapat berupa pemanfaatan kawasan hutan
produksi ini, yakni desa Suka Datang, Lubuk untuk pemukiman, jalan, ladang dan kebun.
Kembang, dan Tanjung Beringin. Domisili Konflik hutan di HPT Bukit Basa berupa
petani penggarap sangat berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan untuk
program pemerintah tentang pemberdayaan pemukiman dan lahan pertanian. Masyarakat
masyarakat sekitar hutan, seperti program secara ilegal telah menjadikan kawasan hutan
hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan sebagai lahan penghasil pangan. Konflik di
tanaman rakyat atau kemitraan. Hanya kawasan HPT Bukit Basa ini adalah konflik
masyarakat sekitar hutan yang dapat ikut tenurial, yang berkaitan dengan hak atas
serta dalam program pemberdayaan tanah. menurut Pujiriyani dan Wahab (2013),
masyarakat. tanah merupakan sumber kesejahteraan
masyarakat yang dimaknai dalam ikatan-
ikatan ekonomis, historis, kultural, dan

4
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30
psikologis serta ruang untuk hidup, akar dan dkk., 2011). Pemerintah melalui otoritas
asal, serta tempat untuk melanjutkan cerita bidang kehutanan telah mengalokasilan
dari generasi ke generasi. Status kawasan kawasan hutan sebagai kawasan pertanian
HPT Bukit Basa yang belum “penetapan,” guna mendukung swasembada pangan
menjadi salah satu sumber munculnya (Puspitojati, 2013). Hal ini sejalan dengan
konflik. Sebelum tahun 2012, penunjukan Peraturan Presiden No. 83 tahun 2006,
kawasan hutan Bukit Basa fungsinya sebagai tentang Dewan Ketahanan Pangan, dimana
hutan lindung. Melalui Surat Keputusan Kementerian Kehutanan merupakan salah
Menteri Kehutanan Nomor 784 tahun 2012, satu sektor yang bertanggung jawab terhadap
penunjukan fungsinya berubah menjadi hutan ketahanan pangan. Pada tahun 2008, lebih
produksi terbatas. Status pengukuhan dari 312.000 ha kawasan hutan telah
kawasan hutannya masih dalam proses berkontribusi dalam penyediaan pangan
penunjukan. Mengacu kepada Putusan dengan produksi sekitar 932.000 ton setara
Mahkamah Konstitusi nomor 45/PUU- pangan dari jenis padi, jagung dan kedelai
IX/2011 tentang uji Pasal 1 angka 3 UU (Bangsawan dan dwiprabowo, 2012).
kehutanan tanggal 21 Februari 2012, Ketersediaan pangan dari kawasan hutan
disebutkan bahwa kawasan hutan adalah diperoleh melalui pemanfaatan langsung flora
wilayah tertentu yang di tetapkan oleh fauna, baik secara alami ataupun hasil
pemerintah untuk dipertahankan budidaya. Hutan memiliki potensi yang besar
keberadaannya sebagai hutan tetap”. Ini sebagai penyedia pangan bagi masyarakat.
berarti bahwa penentuan kawasan hutan Menurut Suhardi (2002), di dalam kawasan
tidak hanya selesai pada tahap penunjukan hutan terdapat 77 jenis bahan pangan sumber
kawasan hutan saja, tetapi juga harus diikuti karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389
sampai kepada proses penetapan kawasan jenis biji-bijian dan buah-buahan, 288 jenis
hutan. sayur-sayuran, 110 jenis rempah-rempah dan
Proses legalitas penetapan kawasan HPT bumbu-bumbuan, 75 jenis minyak dan lemak,
Bukit Basa masih terus diperjuangkan oleh 40 jenis bahan minuman dan 1.260 jenis
pemerintah yang berwenang mengurusi tanaman obat.
bidang kehutanan, sedangkan pemerintah Potensi kawasan hutan sebagai lahan
daerah telah mengusulkan agar kawasan pertanian, tidak lantas membuat masyarakat
hutan ini dijadikan areal peruntukan lain dapat semaunya dalam memanfaatkan
(APL). Tutupan vegetasi berupa lahan kawasan hutannya. Hutan merupakan
pertanian intensif dan pemukiman, kekayaan alam yang dikuasai negara yang
menjadikan alasan pemerintah daerah untuk harus di urus dan dimanfaatkan secara
mengusulkan HPT Bukit Basa menjadi APL. optimal dan lestari untuk sebesar-besarnya
Saat ini, status lahan di HPT ini masih “abu- kemakmuran rakyat banyak. Oleh karena itu,
abu”, badan pertanahan tidak dapat pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
menerbitkan hak kepemilikan, sedangkan dilaksanakan melalui mekanisme pemberian
otoritas kehutanan telah menganggap lahan ijin usaha pemanfaatan hutan yang
ini sebagai kawasan hutan karena proses diterbitkan oleh pemerintah yang menangani
pengukuhannya terus berjalan. otoritas kehutanan. Pemanfaatan kawasan
Kebijakan pemerintah saat ini menuntut hutan untuk tujuan apapun termasuk sebagai
agar pengelolaan hutan harus memperhatikan lahan pertanian penghasil pangan, tanpa
keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan dilengkapi dengan ijin pemanfaatan dari
ekologi, yang menjadi indikator pengelolaan pemerintah merupakan tindakan melanggar
hutan lestari. pengelolaan harus memandang hukum dan dapat di kenakan sanksi hukum.
hutan sebagai satu kesatuan ekosistem, Hasil penelitian dikawasan HPT Bukit
lengkap dengan kandungan keanekaragaman Basa, menunjukkan bahwa seluruh petani
hayati sebagai sumber pangan (Dwiprabowo, penggarap tidak memiliki ijin pemanfaatan

5
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30
hutan. Mereka secara illegal memanfaatkan hutan akan meningkatkan kualitas
kawasan hutannya sebagai lahan pertanian lingkungan, produktivitas lahan, dan
penghasil pangan dan sebagian untuk meningkatkan kesejahteraan petani
pemukiman. Legalitas para penggarap lahan penggarap (Triwanto, 2012), serta sesuai
hutan perlu di lakukan untuk keberlanjutan dilakukan pada lahan kritis pada berbagai
pemanfaatannya sebagai lahan pertanian kondisi landscape (bukhari dan Febryano,
penghasil pangan dan sekaligus 2009) seperti halnya dikawasan hutan
mengembalikan fungsi hutan produksi produksi yang telah diokupasi masyarakat.
sebagai penghasil kayu. Saat ini agroforestri diyakini secara luas
Kondisi saat ini, hutan produksi mempunyai potensi besar sebagai alternatif
terbatasnya telah menjadi lahan pertanian pengelolaan lahan yang utama untuk
sebagai sumber pangan dan sumber konservasi tanah dan juga pemeliharaan
pendapatan bagi masyarakat penggarap. kesuburan dan produktifitas lahan di daerah
Kawasan hutan produksi ini tidak lagi tropis. Keyakinan ini di dasarkan pada
berfungsi sebagai penghasil kayu dan non hipotesa yang didukung data-data ilmiah
kayu sektor kehutanan, padahal penetapan bahwa pohon dan vegetasi besar lainnya
hutan produksi ini diutamakan untuk dapat meningkatkan kesuburan tanah di
memproduksi hasil hutan kayu dan non kayu bawahnya (Nair, 1993). Pengaturan jenis
bagi pemenuhan kebutuhan mansyarakat. tanaman pertanian dan tanaman penghasil
Pemerintah sebagai pihak pengelola kayu di HPT Bukit Basa menjadi sesuatu yang
hutan harus segera menerapkan kebijakan penting untuk mengembalikan fungsi hutan
yang dapat meningkatkan fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu dan non
produksi terbatas ini sebagai penghasil kayu kayu dengan tetap mempertahankan kawasan
dan non kayu, namun dengan tetap hutan ini sebagai lahan pertanian penghasil
mengakomodir keberadaan masyarakat di pangan.
hutan ini. tindakan pengusiran para petani
penggarap dari dalam hutan produksi ini, 4. KESIMPULAN
bukanlah solusi yang tepat, karena mereka Tutupan vegetasi di Hutan Produksi
menggantungkan hidupnya pada kawasan Terbatas Bukit Basa, seluruhnya berupa lahan
hutan ini. Tindakan represif seperti pertanian kering campur, yang merupakan
penggusuran lahan, pengusiran dan sumber pangan bagi masyarakat. Jenis
pembakaran lahan garapan, hanya akan dominannya adalah kopi. Seluruh petani
menimbulkan masalah baru yakni menggarap lahannya secara illegal, sehingga
meningkatnya jumlah masyarakat miskin dan
dapat dikenakan sanksi hukum. Hanya 38,1%
pengangguran disekitar kawasan hutan serta petani penggarap yang memiliki lahan
kekurangan pangan. garapan diluar kawasan hutan. Pendapatan
Pengelolaan kawasan hutan dengan yang disumbangkan dari dalam kawasan
sistem agroforestri merupakan salah satu hutan sabesar 77,2 %. Telah terjadi konflik
wujud kontribusi kehutanan dalam penggunaan lahan dalam kawasan hutan ini.
penyediaan pangan (bangsawan dan Legalisasi pemanfaatan kawasan hutan untuk
Dwiprabowo, 2012), karena agroforestri lahan pertanian penghasil pangan oleh
merupakan sistem pengelolaan lahan yang masyarakat merupakan pilihan resolusi
mengkombinasikan produksi pertanian konflik yang tepat, melalui skema
dengan tanaman kehutanan (Senoaji, 2012) pemberdayaan masyarakat dengan sistem
dengan tujuan untuk mempertahankan
agroforestri.
jumlah dan keragaman produksi untuk
memberikan manfaat lingkungan, ekonomi,
dan sosial bagi para pengguna lahan (hairah,
2004). Sistem agroforestri di dalam kawasan

6
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30
DAFTAR PUSTAKA Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Cetakan
ke-7. Ghalia Indonesia. Bogor.
Anonim, 2016. Rejang Lebong dalam Angka. Senoaji, G. 2009. Kontribusi Hutan Lindung
Badan Pusat Statistik Kabupaten terhadap Pendapatan Masyarakat Desa
Rejang Lebong. Bengkulu. Sekitarnya : Studi Kasus di Desa Air
Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Lanang Bengkulu. Jurnal Manusia dan
Daerah Sungai. Gadjah Mada Lingkungan, 16 (1):12-22.
University Press. Yogyakarta. Senoaji, G., 2012. Pengelolaan Lahan dengan
Dassir, M., 2008. Resolusi Konflik Sistem Agroforestry oleh Masyarakat
Pemanfaatan Lahan Masyarakat dalam Baduy di Banten Selatan. Jurnal Bumi
Kawasan Hutan di Kabupaten Luwu Lestari, XII (2):283-293.
Timur. Jurnal Hutan dan Masyarakat Simon, H. 2001. Pengelolaan Hutan Bersama
III (1):1-10. Rakyat (Cooperative Forest
Heryatna, D., Zainal, S., Husni, H., 2015. Management) Teori dan Aplikasi pada
Persepsi Masyarakat terhadap hutan Jati di Jawa. Bigraf Publishing.
Keberadaan Hutan Kemasyarakatan di Yogyakarta.
Desa Meragun Kecamatan Nangan Suhardi, S.A., Sudjoko dan Minamingsih. 2002.
Taman Kab. Sekadau. Jurnal Hutan Hutan dan Kebun sebagai Sumber
Lesari IV (1) : 58-64. Pangan Nasional. Penerbit Kanisius.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Yogyakarta.
Bumi Aksara. Jakarta. Supyan, 2011. Pengembangan Daerah
Hidayat, Sofyan. 2015. Komposisi dan Konservasi sebagai Tujuan Wisata.
Struktur Tegakan Penghasil Kayu Jurnal Mitra Bahari, 5 : 53-69
Bahan Bangunan di Hutan Lindung Triwanto, J. 2001. Hutan sebagai Gudang
Tanjung Tiga Muara Enim Sumatera Keanekaragaman Plasma Nutfah.
Selatan. Jurnal Manusia dan
Wibowo, A. 2013. kajian penurunan emisi Gas
Lingkungan, 22 (2) : 194-200.
Rumah Kaca Sektor Kehutanan untuk
Kaimuddin. 2008. Analisa Perambahan Mendukung Kebijakan Perpres No. 61
Kawasan Hutan terhadap Kebocoran tahun 2011. Jurnal Analisis Kebijakan
Karbon dan Perubahan Iklim. Jurnal Kehutanan, 10 (3): 235-254
Hutan dan Masyarakat Vol. III (2): hal
Zubayr, M, Darusman, D, Nugroho, B, dan
: 119-123.
Nurrohmat, DR. 2014. Peranan dalam
Mantra, I.B. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pihak dalam Implementasi Kebijakan
Pelajar. Yogyakarta. Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Nair, R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Pertambangan. Jurnal Analisis
Kluver Academic Publisher-Boston in Kebijakan Kehutanan. 11 (3) : 2
cooperative with International Centre
for Research in Agroforestry.

Silakan diprint terlebih dahulu lembaran ini !!! untuk memudahkan proses ujian, soalnya
akan disampaikan pada saat waktu ujian…

7
Nama : Ujian Mid Metode Penelitian Sosial
NPM : Senin, 11 Oktober 2021, jam 08.30 – 09.30

Anda mungkin juga menyukai