OLEH :
DANI SUBAKRI
NIM. 1806124875
JURUSAN KEHUTANAN
PEKANBARU
2021
USUL TOPIK KHUSUS
OLEH :
DANI SUBAKRI
NIM. 1806124875
JURUSAN KEHUTANAN
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR
Dani subakri
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ditunjuk secara hukum pada tahun 1995
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.539/KptsII/1995 tanggal 21 Juni
dengan luas areal 144.223 hektar. Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
terdapat 22 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh. Salah satu nya merupakan Desa Rantau Langsat yang berdiri
pada tahun 1830, desa ini pernah menjadi bagian dari kerajaan keritang sebagai
desa tertua pada masa kerajaan keritang, wilayah ini dipimpin oleh datuk patih dan
dibantu pengawal, Batin adat. Untuk saat ini pemerintahan desa dipimpin oleh
kepala desa Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri
Hulu merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Taman
Nasional Bukit Tiga Puluh. Mayoritas masyarakat Desa Rantau Langsat memiliki
mata pencaharian sebagai petani kebun dan memanfaatkan hasil hutan. Hasil
hutan yang biasa diambil oleh masyarakat adalah buah-buahan, petai, jernang dan
durian (Zulmi, 2009).
Sistem Hutan Kerakyatan adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk
karena adanya interaksi dan hubungan timbal-balik antara sumber daya alam
(hutan, tanah, air, satwa, plasmanutfah, bahan tambang, dan lain-lain), serta
manusia dalam asatu kesatuan yang teratur”. Aspek-aspek dalam sistem hutan
kerakyatan tidak berdiri sendiri, tetapi terintegrasi sebagai komponen yang
berkaitan dalam suatu kesatuan Dalam hal ini di bentuk kebijakan oleh
kementrian lingkungan hidup dan kehutan dengan pembentukan kelompok tani
hutan.KTH Kelompok adalah kumpulan petani atau perorangan warga negara
Indonesia beserta keluarganya yang mengelola usaha di bidang kehutanan di
dalam dan di luar kawasan hutan yang meliputi usaha hasil hutan kayu, hasil
hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, baik di hulu maupun di hilir.
HHNK dari ekosistem hutan sanngat beragam jenis sumber penghasil
maupun produk serta produk turunan yang dihasilkannya. Sesuai dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang hasil hutan
nabati dan hewani dan produk turunannya dan budidaya kecuali kayu yang
berasal dari hutan. HHNK nabati meliputi semua hasil non kayu dan turunannya
yang berasal dari tumbuhan dan tanaman salah satu diantaranya ialah Madu
kelulut
Jenis hasil hutan ini sangat baik untuk dikembangkan untuk membantu
pendapatan masyarakat contoh saja hasil hutan non kayu yakni madu,Madu
adalah cairan manis alami yang dihasilkan oleh lebah yang berasal dari berbagai
sumber nektar, yaitu nektar cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar tumbuhan yang
memiliki kandungan berbagai jenis karbohidrat diantaranya sukrosa, fruktosa,
dan glukosa. Madu juga mengandung berbagai mikronutrisi (Bogdanov et al.,
2008). Hal inilah yang menjadikan madu populer sebagai suplemen penjaga
kesehatan dan stamina tubuh. Terdapat banyak jenis lebah yang dapat
menghasilkan madu, salah satunya adalah lebah kelulut atau lebah tanpa sengat
(stingless bee)
Kelulut merupakan salah satu jenis lebah yang mempunyai bentuk fisik
yang kecil dari lebah madu, hidup berkoloni terdiri dari ratu kelulut dan para
pekerja kelulut, bersarang ditempat yang tinggi seperti pohon, dinding rumah
dalam batang pohon. tempat masuknya kelulut berbentuk seperti corong
permukaannya bulat didalam sarang terdapat sarang kelulut yang berbentuk bulat
seperti buah anggur atau seperti bola-bola tempat menyimpan madu dan sari
bunga (tepung sari). Warnanya hitam dan kuning, bola-bola yang berwarna hitam
rasanya enak sangat manis dan bola-bola yang berwarna kuning manis ada rasa
kecut sedikit. madu kelulut mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan tubuh
seperti asma, maag dan lain-lain, karena rasanya yang enak dan kaya akan
manfaat dan harganya cukup mahal dipasaran
Menurut Peraturan Menteri No. P35/ Menhut-II/ 2007, Hasil Hutan Non
Kayu yang selanjutnya disingkat HHNK adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu (Menhut,
2007). Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction
menuju sustainable forest management, Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) atau
Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. Hasil
Hutan Non Kayu (HHNK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang
memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan
masyarakat sekitar hutan. Sehingga, tidak dipungkiri lagi bahwa masyarakat di
dalam maupun di sekitar kawasan hutan berhubungan langsung maupun tidak
langsung dengan hasil hutan bukan kayu (Sihombing, 2011).
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa non kayu dengan tidak
merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil hutan non kayu (IUPHHNK) yang tertuang pada Pasal 1 (13)
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 yang
merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun
2007, adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan non
kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau
penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran (Kemenhut, 2007)
Sumberdaya hutan juga bersifat multi guna dan memuat multi
kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil
Hutan Kayu yang hanya memberikan sumbangan 20%, melainkan juga manfaat
Hasil hutan non kayu (HHNK) dan jasa lingkungan, yang memberikan
sumbangan terbesar yakni 80 %, namun hingga saat ini potensi HHNK tersebut
belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa produk HHNK merupakan
salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling
bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. HHNK terbukti dapat
memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan
memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa Negara (Kemenhut,
2009).
Pemanfaatan hutan selama ini masih cenderung berorientasi pada
pengelolaan hutan sebagai penghasil kayu dalam kontek ekonomi. Kondisi ini
mendorong eksploitasi kayu secara intensif untuk memenuhi pasar dunia maupun
industri domestik tanpa memperhatikan nilai manfaat lain yang dapat diperoleh
dari hutan dan kelestarian ekosistem hutan. Oleh karena itu, paradigma tersebut
telah menyebabkan terjadinya penurunan luas, manfaat dan kualitas ekosistem
hutan. Padahal, di sisi lain, sumberdaya hutan (SDH) mempunyai potensi multi
fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi
kesejahteraan ummat manusia. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil
Hutan Kayu (HHK) seperti yang terjadi saat ini, melainkan juga manfaat hasil
hutan Non kayu (HHNK) dan jasa lingkungan (Kemenhut, 2009).
Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem
sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi
kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa
produk HHNK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki
keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar
hutan. HHNK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan
masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi
penambahan devisa negara. Ke depan pembangunan kehutanan diharapkan tidak
lagi hanya berorientasi pada hasil hutan kayu, tetapi sudah selayaknya menggali
potensi HHNK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil hutan kayu dari
ekosistem hutan hanya sebesar 10% sedangkan sebagian besar (90%) hasil lain
berupa hasil hutan Non kayu (HHNK) yang selama ini belum dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Kemenhut, 2009).
Kawasan hutan Indonesia mencapai luas 125,956,142.71 ha (KLHK,
2017) memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi 30 sampai dengan 40
ribu jenis tumbuhan tersebar di hampir seluruh pulau yang berpotensi
menghasilkan HHNK yang cukup besar (Kemenhut, 2009).
Beberapa jenis HHNK memiliki nilai cukup tinggi baik di pasar domestik
maupun di pasar global antara lain rotan, bambu, gaharu, atsiri, dan jenis lain.
Secara ekonomis HHNK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan
pendapatan negara. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun
pengembangan usaha dan pemanfaatan HHNK selama ini belum dilakukan
secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan
dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dan peningkatan devisa Negara
(Kemenhut, 2009).
Pemerintah dalam hal ini melalui kementrian lingkungan hidup
melakukan upaya pembentukan perhutanan sosial,perhutanan sosial itu sendiri
merupakan program mengajak masyarakat untuk mengelola hutan dengan lestari
salah satu nya merupakan pembentukan kelompok tani hutan(KTH)
Lebah tanpa sengat atau kelulut adalah kelompok lebah berukuran kecil
yang termasuk dalam sebuah kelompok bernama Meliponini dan masih
berkerabat dekat dengan lebah madu bersengat (Apis spp.) dalam suku Apidae.
Ciri-ciri lebah tanpa sengat antar lain tubuh nya terbagi ke dalam tiga bagian
meliputi kepala, dada (thorax), dan abdomen. Pada bagian thorax dapat dijumpai
dua pasang sayap dan tiga pasang tangkai. Khusus pada tungkai belakang
dilengkapi dengan pollen basket. Di bagian kepala terdapat sepasang mata
majemuk dan 3 mata sederhana (oseli). Sepasang antenna menjadi organ peraba,
berada di dekat mata. Kelompok lebah tanpa sengat hidup di kawasan tropis
sampai lintang yang sedikit lebih tinggi (subtropis). Di dunia ada lebih dari 500
jenis lebah tanpa sengat. Amerika tropis menyumbangkan sebanyak 300 jenis,
Afrika sebanyak 50 jenis. Asia memiliki setidaknya 60 jenis, sedangkan
Australia sekitar 10 jenis (Bradbear, 2009).
Dalam catatan Rasmussen (2008), Indonesia sendiri memiliki setidaknya
40 jenis lebah tanpa sengat, terbagi dalam beberapa marga antara lain:
Geniotrigona, Heterotrigona, Lepidotrigona, dan Tetragonula. Nama-nama lokal
di Indonesia antara lain: kelulut (melayu), klanceng (jawa), teuweul (sunda),
gala-gala (minang), keledan (Lombok), ketape (Sulawesi), dll. Saat ini jenis jenis
yang telah banyak dipelihara oleh para pemelihara lebah antara lain:
Heterotrigona itama, Geniotrigona thoracica, Lepidotrigona terminata,
Tetragonula biroi, dan T. laeviceps.
Lebah kelulut memiliki cara hidup eusosial, sama seperti lebah Apis dan
beberapa serangga lain seperti semut, dan rayap. Eusosial adalah perilaku hidup
bersama, dengan sistem pembagian kerja. Dalam sistem sosial lebah ada satu
(atau terkadang lebih dari satu) ratu lebah, ratusan lebah jantan (drone), dan
ratusan sampai ribuan lebah pekerja. Ratu berkelamin betina dan fertil. Tugas
ratu adalah bertelur dan menjadi pemimpin. Satu „keluarga‟ lebah ini disebut
sebagai satu koloni. Lebah jantan atau drone dihasilkan dari telur yang tidak
dibuahi (Kwapong et al., 2010).
Satusatunya tugas lebah jantan adalah mengawini ratu. Lebah pekerja
merupakan lebah berkelamin betina steril (tidak menghasilkan keturunan). Lebah
pekerja memiliki beberapa tugas, baik dalam membangun dan merawat sarang,
menjaga keamanan, dan mengumpulkan pakan. membangun sarang adalah
campuran resin tanaman dan lilin lebah. Campuran material ini disebut sebagai
cerumen (Michener, 2013). Lebah-lebah pengumpul akan mengambil getah
tanaman dan diangkut di tungkai belakangnya. Resin tanaman ini bersifat lengket
dan digunakan untuk struktur sarang dan membangun kantong-kantong telur dan
cadangan makanan. Sedangkan lilin lebah dihasilkan oleh kelenjar pada bagian
ventral abdomen. Pada beberapa bagian, getah tanaman ini dicampur dengan
material padatan lain seperti pasir atau tanah liat untuk memperkuat struktur
(disebut batumen). Di dalam sarang, lebah-lebah membangun sebuah kota kecil –
jika boleh dianalogikan seperti itu – yang mendukung kehidupan koloni. Lebah
konstruksi membangun setiap bagian sarang, mulai dari pintu masuk, sampai
bagian dalam sarang. Lebah-lebah tersebut senantiasa menjaga agar sarang tidak
mengalami kebocoran dengan menutup setiap lubang selain pintu masuk sarang.
Bola-bola kecil berjumlah ribuan disusun dengan konfigurasi tertentu untuk
meletakkan telur. Bola-bola kecil yang masih terbuka kemudian diisi bahan
makanan bagi calon larva. Di atasnya ratu menempatkan telur. Setelah telur
diletakkan, kantong telur kemudian ditutup dengan sempurna.
Berbeda dengan lebah Apis yang memberi makanan pada larva setelah
telur-telur menetas, lebah tanpa sengat telah mempersiapkan makanan di awal,
sebelum telur diletakkan. Makanan larva terdiri dari pollen yang telah dicampur
dengan madu. Larva yang baru menetas akan memakan „bekal‟ yang telah
dipersiapkan untuk pertumbuhannya sampai kemudian menjadi pupa.
Aktivitas di luar sarang dilakukan mulai dari pagi hari sampai menjelang petang,
terdiri dari mencari dan mengumpulkan pakan, maupun material sarang.
Lebah-lebah pekerja yang bertugas mencari sumber pakan dan material sarang
(scout bees) akan mengeksplorasi lingkungan di sekitar sarang. Keberadaan
sumber pakan dan material sarang akan diinformasikan ke koloni. Selanjutnya
lebah pengumpul (collecting bees) akan bertugas memanen nektar (sari bunga)
dan serbuk sari sebagai pakan, dan propolis sebagai material utama sarang.
Nektar diambil dengan mulut dan masuk dalam suatu kantong di tubuh lebah
yang biasa disebut crop. Sedangkan serbuk sari dan propolis yang dipanen
kemudian dibawa pada bagian tibia kaki belakang lebah, yang biasa disebut
pollen basket. Jika diamati lebih detail, pollen basket sebenarnya adalah suatu
daerah di bagian tibia kaki belakang yang dilengkapi rambut-rambut halus yang
bisa menahan serbuk sari maupun propolis tetap menempel. Dalam proses
mengumpulkan nektar dan serbuk sari inilah peluang terjadinya penyerbukan
bunga. Serbuk sari seringkali menempel dalam tubuh lebah dan kemudian jatuh
pada putik. Jatuhnya serbuk sari pada putik memungkinkan terjadinya
pembuahan pada bakal biji di dalam bunga itu sendiri. Di kawasan tropis, lebah
tanpa sengat diperkirakan merupakan agen penyerbuk yang dominan. Ukuran
tubuh mereka yang kecil memungkinkan lebah mampu masuk ke bunga-bunga
berukuran kecil. Meskipun berukuran kecil, namun lebah-lebah tersebut mampu
menjangkau kanopi hutan, dan mengambil nektar dan serbuk sari di tajuk.
a. Penghasil nektar Nektar adalah cairan manis yang dihasilkan oleh tumbuhan
pada kelenjar nektarin. Kelenjar ini umumnya terletak pada bunga, meskipun
kelenjar ini juga bisa dijumpai di ketiak daun. Nectar yang dihasilkan kelenjar
pada bunga biasanya disebut nectar floral, sedangkan nectar dari kelenjar selain
pada bunga disebut nectar ekstrafloral. Tanaman penghasil nektar floral antara
lain: randu, kaliandra, tanaman air mata pengantin. Sedangkan tanaman
penghasil nektar ekstrafloral misalnya akasia daun lebar Acacia mangium, dan
karet. b. Penghasil serbuk sari (pollen)
Serbuk sari adalah pembawa gamet jantan pada perkembangbiakan tumbuhan.
Pollen bisa dijumpai pada bunga, tepatnya pada benang sari. Sumber pollen yang
disukai misalnya kelapa, bunga matahari, widelia, bayam. c. Penghasil resin
Resin adalah eksudat tanaman yang keluar pada saat tanaman mengalami luka.
Resin bisa muncul dari berbagai bagian tumbuhan, seperti batang, dahan, bahkan
bunga. Beberapa contoh tumbuhan penghasil resin yang disukai lebah kelulut:
mangga, manggis, nangka, damar, dan meranti-merantian.
Untuk mendapatkan gambaran ketersediaan kelompok tanaman
pendukung, maka perlu dibuat Kalender Pembungaan. Kalender pembungaan
berisi daftar jenis tanaman sumber pakan dan musim pembungaannya. Dengan
adanya informasi ini, peternak lebah bisa mengetahui bila ada masa-masa kurang
pakan, dan mengambil tindakan yang diperlukan.
Kondisi fisik lingkungan Kondisi fisik lingkungan antara lain terdiri dari:
• Suhu, suhu ideal Antara 20-30o C, paling ideal sekitar 26 oC • Kelembaban
sedang, tidak terlalu kering, dan tidak terlalu lembab • Angin, lokasi hendaknya
terlindung dari angin kencang
Kondisi lahan yang ideal Lahan ideal hendaknya dekat dengan sumber
pakan dan sumber material sarang (tanaman bergetah) sesuai dengan poin
pertama yang telah disebutkan di atas. Selain itu, hendaknya lahan tempat
budidaya memiliki pohon-pohon naungan. Tersedia air di sekitar lokasi. Bebas
III. METODOLOGI
KUISIONER
Nama:
Umur:
Pekerjaan:
Kuisioner dampak KTH
1.Bagaimana pendapat bpk/ibu dalam upaya taman nasional bukit tigapuluh
membentuk suatu kelompok tani hutan ini?
Jawab:
2.Apakah bpk/ibu paham mengenai tujuan pembentukan kelopok tani hutan ini?
Jawab:
4.Bagaimana perawatan yang bpk/ibu lakukan dalam budidaya madu kelulut ini?
Jawab:
5.bagaimana metode yang bpk/ibu lakukan apakah mengikuti anjuran dari
penyuluh atau tidak
Jawab
6:Bagaimana pemasaran yang bpk/ibu lakukan setelh melakukan pemanenan?
Jawab:
BAHAN EVALUASI
3
4