Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Permasalahan kehutanan saat ini sudah berkembang semakin kompleks.


Permasalahan dan tantangan dalam mewujudkan kelestarian hutan dan
kesejahteraan masyarakat sekaligus tidak bisa lagi hanya didekati dengan solusi
yang bersifat teknis kehutanan saja. Saat ini, peta permasalahan kehutanan telah
bergeser dari permasalahan yang bersifat teknis ke permasalahan ekonomi, sosial
serta dampak kebijakan sektor kehutanan yang kian hari kian kompleks dan harus
ditangani segera termasuk dalam perencanaan pengelolaannya. Hutan sebagai
modal dasar dalam pembangunan nasional, maka hutan harus terus dijaga
kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan dimasa yang akan datang. Oleh
karena itu, hutan perlu dikelola dengan baik agar hasilnya dapat dimanfaatkan
secara optimal dan lestari. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
perencanaan hutan yang baik. Perencanaan hutan adalah suatu bagian proses
pengelolaan hutan untuk memperoleh landasan kerja dan landasan hukum agar
terwujud ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan hutan sehingga
menunjang diperolehnya manfaat hutan yang optimal, berfungsi serbaguna dan
pendayagunaan secara lestari (Akhadi, 2013).
Hutan yang lestari adalah hutan yang berfungsi sebagaimana mestinya dan
tentunya memberi manfaat baim dari segi ekologisnya maupun dari segi
ekonominya. Salah satu cara untuk mengetahui apakah fungsi hutan tersebut
masih baik adalah dengan mengetahui estimasi karbo dan nilai ekonomi suatu
lahan hutan. Seperti yang kita ketahui saat ini bahwa gas rumah kaca terus
meningkat dan pada akhirnya terjadi pemanasan global. Peran vegetasi saat ini
sangat penting dalam hal mengatasi pemanasan global. Karbon yang diserap oleh
tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara yang paling mudah
untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memlihara
pohon serta mempertahankan lahan agar tetap bervegetasi. Valuasi ekonomi lahan
adalah pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan
yang dilakukan pada suatu unit ruang dengan teknologi dan efisiensi manajemen
tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal (biasanya satu tahun).
Untuk dapat mengetahui estimasi karbon dan valuasi ekonomi suatu lahan,
tentunya tidak terlepas dari kondisi biofik suatu lahan hutan tersebut. Kondisi
biofisik adalah kondisi yang menggambarkan informasi mengenai komponen
biotok dan abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya. Dengan mengetahui kondisi biofisik suatu hutan, selain nilai ekologis dan
ekonomi hutan, maka penentuan pilihan penggunaan lahan suatu daerah akan
dapat dilakuakan dengan baik dan akan mengarah pada penentuan arahan
pemanfaatannya (Gunawan, 2013).

1.2. Tujuan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, tujuan dari laporan ini, yaitu:
1. Identifikasi kondisi biofisik Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin petak
III.4
2. Merumuskan Pemanfaatan Blok Hutan dan arahan penggunaan lahan
pendidikan Universitas Hasanuddin petak III.4
3. Estimasi cadangan karbon dan valuasi ekonomi lahan kondisi aktual dan
arahan pemanfaatan blok hutan pendidikan Universitas Hasanuddin petak III.4

1.3. Kegunaan

Kegunaan dari laporan ini, yaitu dapat memberikan gambaran mengenai


kondisi biofisik, pemanfaatan blok hutan, arahan penggunaan lahan, estimasi
cadangan karbon, valuasi ekonomi lahan dan arahan pemanfaatan blok suatu huta
sehingga dapat menjadi acuan dalam pengurangi permasalahan kehutanan saat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perencanaan Hutan

Permasalahan kehutanan saat ini sudah berkembang semakin kompleks.


Permasalahan dan tantangan dalam mewujudkan kelestarian hutan dan
kesejahteraan masyarakat sekaligus tidak bisa lagi hanya didekati dengan solusi
yang bersifat teknis kehutanan saja. Saat ini, peta permasalahan kehutanan telah
bergeser dari permasalahan yang bersifat teknis ke permasalahan ekonomi, sosial
serta dampak kebijakan sektor kehutanan yang kian hari kian kompleks dan harus
ditangani segera termasuk dalam perencanaan pengelolaannya. Perencanaan
dibuat untuk mencapai tujuan pada suatu organisasi (Akhadi, 2013).
Perencanaan merupakan suatu kegiatan pendahuluan yang harus dilakukan,
sebelum kegiatan pokok dilaksanakan. Perencanaan diperlukan karena adanya
keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang tersedia sehingga tidak
menyulitkan dalam menentukan suatu pilihan kegiatan. Perencanaan
pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif
atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang
akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian
kegiatan/aktifitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun
nonfisik (mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik.
Sedangkan perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan
tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur di dalamnya, guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah atau daerah
dalam jangka waktu tertentu (Riyadi dan Bratakusumah dalam Akhadi, 2013).
Perencanaan kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan
dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan
pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkanpenyelenggaraan kehutanan
yang efektif dan efisien untuk mencapai menfaat fungsi hutan yang optimum dan
lestari. Ilmu Perencanaan Hutan merupakan ilmu terapan yang bersifat
interdisiplin. Ilmu Perencanaan Hutan merupakan cabang dari Ilmu Kehutanan
yang membahas tentang pendayagunaan sumberdaya hutan beserta faktor-faktor
pendukungnya. Pendayagunaan termaksud mempersyaratkan adanya pemahaman
yang mendalam tentang ekosistem hutan serta pemahaman tentang ilmu-ilmu
pendukungnya seperti biologi, ekonomi, ilmu-ilmu sosial serta metode-metode
analisis kuantitatif untuk menganalisis dan mensintesis data dan informasi yang
relevan dengan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Ilmu Perencanaan Hutan
dapat didefenisikan sebagai ilmu yang membahas tentang penerapan konsep dan
teori ilmu-ilmu biologi, ekonomi, sosial dan analisis kuantitatif dalam pengelolaan
sumberdaya hutan. Pengelolaan yang dimaksudkan harus didasarkan atas hasil
analisis yang mendalam terhadap kondisi biofisik, ekonomi dan kondisi sosial-
budaya pada dan di sekitar hutan, dalam rangka menetapkan hasil berupa barang
dan jasa yang akan diperoleh, serta dampak yang mungkin ditimbulkan oleh
kegiatan-kegiatan pengelolaan terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan
biofisik maupun terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Malamassam,
2009).
Perencanaan hutan adalah upaya untuk mendayagunakan fungsi hutan
dengan menciptakan kegiatan yang dapat mempengaruhi proses yang sedang
berjalan, atau menciptakan proses baru, agar hutan memberikan sumbangan
maksimal untuk ikut mempengaruhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Dari definisi ini terdapat tiga kata kunci yaitu fungsi hutan; mempengaruhi proses;
dan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti hutan merupakan bagian dari suatu
sistem yang lebih besar sehingga memberikan sumbangan untuk memenuhi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Purwanto dan Yuwono dalam Akhadi,
2013).
Posisi vertikal perencanaan hutan menghendaki adanya hubungan yang
konsisten dari tingkat nasional, wilayah, sampai tingkat operasional. Hal ini
berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penjaga lingkungan maupun maupun
penghasil banyak komoditas yang diperlukan masyarakat luas. Kebijakan makro
harus dapat mengakomodasikan setiap kepentingan lokal, sebaliknya kegiatan
operasional harus dalam konteks kepentingan masyarakat luas serta untuk jangka
waktu yang panjang (Simon dalam Akhadi, 2013).

2.2. Kawasan Hutan

Kawasan Hutan menurut Undang-Undang tentang Kehutanan No. 41 tahun


1999 pasal 1 adalah wilayah tertentu yng ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan kawasannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu
dipertahankan berdasarkan pertimbangan fisik, iklim dan pengaturan tata air serta
kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan negara.
Menurut Malamassam (2009), berdasarkan fungsí penggunaannya, hutan
dikelompokkan atas: Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Hutan Produksi.
Setiap bentuk fungsi penggunaan hutan tersebut memiliki fungsi pokok (fungsi
utama) tertentu sebagai berikut :
1. Hutan Lindung : memiliki fungsi pokok untuk perlindungan sistem
penyangga kehidupan, yaitu untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah
2. Hutan Konservasi : memiliki fungsi pokok sebagai kawasan tempat
pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan
Konservasi terdiri atas : Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam dan Taman Buru.
a. Kawasan HSA adalah kawasan untuk pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan. HSA dibedakan lagi atas Cagar
Alam dan Suaka Margasatwa
b. Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah kawasan untuk perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. KHPA dibedakan atas Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
c. Taman Buru : kawasan hutan konservasi yang diperuntukkan bagi
kepentingan wisata buru
3. Hutan Produksi : Kawasan hutan dengan fungsi pokok untuk memproduksi
hasil hutan, yaitu benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa
yang berasal dari hutan. Hutan Produksi dibedakan atas Hutan Produksi
Terbatas, Hutan Produksi Biasa dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi,
dengan fungsi pokok masingmasing sebagai berikut :
a. Hutan Produksi Terbatas : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan
secara terbatas (intensitas tertentu), yaitu pada tingkat pemanfaatan yang
masih meninggalkan keadaan tegakan hutan dengan kualitas minimal
tertentu yang dapat berfungsi dalam memberikan perlindungan terhadap
tata air, erosi tanah, dan pemeliharaan kesuburan tanah pada wilayah di
sekitarnya.
b. Hutan Produksi Biasa : hutan produksi yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal pada tingkat yang masih dapat menjamin kelestarian hutan
c. Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi : hutan produksi yang dapat
dimanfaatkan dan dikonversi peruntukannya untuk keperluan di luar
kehutanan, misalnya untuk perkebunan, transmigrasi dll
Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek
kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya
kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan
hutan (Rahmawati dalam Darma, 2017).
Berdasarkan Jenis komoditi, pengusahaan hutan memiliki pola yang berbeda
untuk setiap status kawasan hutan, disesuaikan dengan fungsi utamanya.
1. Pada kawasan hutan produksi dilaksanakan dengan tujuan utama untuk
memproduksi hasil hutan berupa kayu dan non kayu serta jasa lingkungan,
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan.
2. Pada kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan tujuan utama tetap menjaga
fungsi perlindungan terhadap tanah dan air (hidrologis), dengan memberi
hasil hutan berupa hasil hutan non kayu dan jasa rekreasi, baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan dan tidak
diperkenankan pemungutan hasil hutan kayu.
3. Pada kawasan pelestarian alam, dilaksanakan dengan tujuan utama untuk
perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang ada pada
hakekatnya perlindungan plasma nutfah. Oleh karena itu pada kawasan ini
kegiatan hutan kemasyarakatan terbatas pada pengelolaan jasa lingkungan
khususnya jasa wisata.

2.3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) pada
hakekatnya berbeda walaupun menggambarkan hal yang sama, yaitu keadaan fisik
permukaan bumi. Penutupan lahan merupakan perwujudan secara fisik objekobjek
yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap ojek-objek
tersebut, sedangkan penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia
pada suatu bidang lahan. Penggunaan lahan untuk pemukiman memiliki
penutupan terdiri dari atap, permukaan yang diperkeras, rumput dan pepohonan
(Arsyad, 2010).
Arsyad (2010) menyatakan bahwa lahan merupakan lingkungan fisik yang
terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya
sepanjang ada pengaruhnya terhadap penutupan dan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan (land use) berbeda dengan penutupan lahan (land cover),
penggunaan lahan meliputi segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan
aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutupan lahan
mencakup segala jenis kenampakan yang ada dipermukaan bumi yang ada pada
lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena penggunaan
lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya. Penutupan
lahan (land cover) mengacu pada penutupan lahan yang mencirikan suatu areal
tertentu, yang merupakan pencerminan dari bentuk lahan dan iklim lokal.
Penutupan lahan berkaitan dengan vegetasi berupa pohon, rumput, air dan
bangunan. Informasi penutupan dapat diperoleh dari citra penginderaan jauh, foto
udara, foto satelit dan teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penutupan lahan (Diana, 2009).
Klasifikasi Penutupan/Penggunaan Lahan Pemetaan penutupan lahan dan
penggunaan lahan sangat berhubungan dengan studi vegetasi, tanaman pertanian
dan tanah dari biosfer. Data tentang 5 penutupan lahan dan penggunaan lahan
biasanya dipresentasikan dalam bentuk peta disertai data statistik areal setiap
kategori penutupan dan penggunaan lahan (Syakur, et al., 2010). Satu faktor
penting untuk menentukan kesuksesan pemetaan penutupan lahan dan
penggunaan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang
untuk suatu tujuan tertentu. Klasifikasi penutupan lahan dan penggunaan lahan
merupakan upaya pengelompokan berbagai jenis penutupan lahan atau
penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu.
Klasifikasi tutupan lahan dan klasifikasi penggunaan lahan digunakan sebagai
pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk
tujuan pembuatan peta tutupan lahan maupun peta penggunaan lahan
(Ritohardoyo, 2013).
Pengetahuan tentang penutupan lahan dan penggunaan lahan penting untuk
berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan
permukaan bumi. Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada
dipermukaan bumi. Contoh jenis penutupan seperti bangunan perkotaan, danau,
pohon maple dan es glasial merupakan contoh penutupan lahan. Istilah
penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu.
Sebagai contoh, sebidang lahan di daerah pinggiran kota mungkin digunakan
untuk perumahan satu keluarga. Sebidang lahan tersebut mempunyai penutupan
lahan yang terdiri dari atap, permukaan yang diperkeras, rumput dan pepohonan
(Ritohardoyo, 2013).

2.4. Inventarisasi Potensi SDH

Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta


mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya
tersebut. Kegiatan inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data
tentang jenis-jenis tumbuhan bawah yang ada di suatu daerah. Kegiatan
inventarisasi meliputi kegiatan eksplorasi dan identifikasi. Kegiatan inventarisasi
dan karakterisasi terhadap morfologi tumbuhan bawah diharapkan dapat
mengungkapkan potensi dan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengenalkan jenis-jenis tumbuhan bawah yang ada di daerah kawasan
penelitian (Yuniarti, 2011).
Ilmu Inventarisasi hutan adalah cabang ilmu yang membahas tentang teori
danmetode pendataan kekayaan berupa hutan. Peranan inventarisasi hutan adalah
sama dengan peranan dari keberadaan atau ketersediaan data kekayaan hutan itu
sendiri. Kekayaan hutan akan mempunyai nilai jika dapat dimanfaatkanuntuk
memenuhi kebutuhan manusia. Dalam kaitan dengan pemanfaataninilah maka
diperlukan data atau informasi yang menjadi dasar di dalampenyusunan rencana
pemanfaatan termaksud. Tanpa adanya data yangcukup, baik dalam hal jumlah
maupun dalam hal mutu, maka adalahmustahil untuk menyusun suatu rencana
yang dapat mendukung suatupemanfaatan ‘kekayaan berupa hutan’ secara
optimum.Sejalan dengan itu pula, pengumpulan informasi atau data
harusmempertimbangkan faktor-faktor efisiensi dan efektifitas. Efisiensi
berartiinformasi dimaksud harus mempunyai nilai manfaat yang jauh lebih
besardaripada nilai pengorbanan tenaga, waktu dan biaya yang digunakan
untukmendapatkannya. Sedang efektif bermakna bahwa keberadaan
atauketersediaan data tersebut harus tepat waktu dan dapat menunjangpencapaian
suatu tujuan tertentu secara tepat waktu pula (Malamassam, 2009).

Menurut Malamassam (2009), peranan Inventarisasi Hutan dapat disebutkan


sebagai berikut :

1. Inventarisasi hutan berperan dalam penyiapan data yang akurat, melaluiupaya-


upaya yang efisien dan efektif
2. Inventarisasi hutan berperan dalam menentukan tersusunnya rencana
pemanfaatan kekayaan hutan secara optimum
3. Inventarisasi hutan berperan sebagai suatu langkah awal yang sangat
menentukan dalam pendayagunaan sumberdaya hutan secara lestari.
Kekayaan yang terdapat pada suatu lahan hutan tidak hanya dipengaruhi
oleh keadaan hutan pada saat pengamatan (saat inventarisasi) dilakukan, tetapi
juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor lain. Faktor-faktor tersebut berperan dalam
proses terciptanya keadaan hutan yang ada pada saat pengamatan dan juga
kemungkinan akan terus mempengaruhi proses pertumbuhan / perkembangan
hutan tersebut pada masa mendatang. Keseluruhan faktor-faktor tersebut
merupakan elemen-elemen yang perlu diamati atau dicatat melalui inventarisasi
hutan (Malamassam, 2009).
Menurut Malamassam (2009), secara garis besar, elemen-elemen tersebut
dapat digolongkan atas tiga kelompok, yaitu :
1. Keadaan lahan hutan, yang antara lain meliputi jenis tanah, kondisi fisik,
biologi dan kimia tanah, kondisi iklim, serta kondisi topografi. Faktor-faktor
inilah yang telah, sedang dan akan terus mempengaruhi kondisi pertumbuhan /
perkembangan vegetasi (khususnya pohon-pohon) yang ada pada suatu lahan
hutan.
2. Keadaan tegakan, antara lain meliputi : luas areal (yang produktif dan tidak
produktif), struktur tegakan dan komposisi jenis, penyebaran kelas umur,
penyebaran ukuran pohon, keadaan pertumbuhan, keadaan permudaan,
kerapatan tegakan, penyebaran kelas bonita, dan keadaan tempat tumbuh.
3. Keterangan yang bersangkut-paut dengan pemanfaatan, yang meliputi
aksesibilitas dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan, termasuk
pola penggunaan lahan.
Dalam pengertian sempit Inventarisasi hutan dapat diartikan sebagai
penaksiran massa tegakan atau penaksiran volume kayu yang terdapat pada suatu
lahan hutan. Pada pengertian ini, penekanan atau perhatian hanya diarahkan pada
potensi kayu yang terdapat dalam hutan pada saat pelaksanaan pengamatan.
Berdasarkan pada tujuannya dan penekanan elemen yang diamati, dikenal
beberapa macam inventarisasi hutan, yang antara lain adalah sebagai berikut
(Malamassam, 2009):
1. Inventarisasi Hutan Nasional
2. Inventarisasi Pendahuluan / Pengenalan
3. Inventarisasi untuk Penyusunan Rencana Karya
4. Inventarisasi untuk penyusunan Rencana Penebangan
5. Inventarisasi untuk Penyusunan Rencana Pembangunan Industri Kehutanan
6. Inventarisasi untuk Penaksiran Nilai Tegakan
7. Inventarisasi untuk Penyusunan Tata Guna Lahan Hutan
8. Inventarisasi untuk Pembangunan Hutan Rekreasi
9. Inventarisasi untuk Pengelolaan Daerah Alisan Sungai (DAS)

2.5. Nilai Ekonomi Lahan

Lahan memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda. Lahan di
perkotaan yang digunakan untuk kegiatan industri dan perdagangan memiliki nilai
pasar yang tertinggi karena di tempat tersebut terletak tempat tinggal dan sumber
penghidupan manusia yang paling efisien dan memberikan nilai produksi yang
tertinggi. Para pemilik sumberdaya lahan cenderung menggunakan lahan untuk
tujuan-tujuan yang memberikan harapan untuk diperolehnya penghasilan yang
tertinggi. Mereka akan menggunakan lahannya sesuai dengan konsep penggunaan
yang tertinggi dan terbaik. Konsep ini memperhitungkan semua faktor yang
mempengaruhi kemampuan lahan, seperti aksebilitas serta kualitas sumberdaya
lahan dan lingkungan. Penggunaan yang terbaik dan tertinggi biasanya untuk
daerah industri dan perdagangan, menyusul untuk daerah permukiman, kemudian
untuk daerah pertanian, dan yang terakhir untuk ladang penggembalaan dan
daerah liar yang tidak ditanami (Suparmoko dalam pambudi 2009).
Menurut Hardjowigeno dalam pambudi (2009), lahan paling sedikit
mempunyai tiga jenis nilai dalam ekonomi lahan, yaitu :
1. Ricardian Rent, nilai lahan yang berkaitan dengan sifat dan kualitas tanah
2. Locational Rent, nilai lahansehubungan dengan sifat lokasi relatif dari lahan
3. Enviromental Rent, sifat tanah sebagai komponen utama ekosistem
Menurut Barlowe dalam Pambudi (2009) nilai ekonomi lahan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Sewa Lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik
dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu.
2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus
pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang
memungkinkan
3. faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.
Land rent dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu merupakan
kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Sementara menurut Nasution
dalam Pambudi (2009), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh
suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unit ruang
dengan teknologi dan efisiensi manajemen tertentu dan dalam suatu kurun waktu
tertentu secara formal (biasanya satu tahun). Oleh karena itu, suatu bidang lahan
tidak mempunyai nilai ekonomi lahan selama tidak melakukan usaha atau
kegiatan pada lahan tersebut. Mubyarto dalam Pambudi (2009) menjelaskan pula
bahwa sewa ekonomi lahan merupakan bagian dari nilai produksi lahan yang
merupakan bagian dari nilai produksi secara keseluruhan sebagai hasil usaha yang
dilakukan pada lahan tersebut. Jasa produksi lahan tersebut merupakan jasa yang
diperoleh dari pengelolaan lahan bukan jasa karena pemilikan lahan tersebut.
Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena
kesuburan tanahnya dan surpuls ekonomi karena lokasi ekonomi.
David Ricardo memberikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam
kesuburan lahan terutama pada masalah sewa di sektor pertanian. Teori sewa
model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang
hanya melihat faktor-faktor kemampuan lahan untuk membayar sewa tanpa
memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi dalam menetukan nilai sewa
lahan diamati oleh Von Thunen yang menemukan bahwa sewa lahan di daerah
yang dekat dengan pusat pasar lebih tinggi daripada daerah yang lebih jauh dari
pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan perlunya biaya
transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar (Suparmoko dalam Pambudi 2009).
Lahan yang lokasinya dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk
daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan kapasitas
sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri
industri atau kegiatan lain yang lebih menguntungkan. Bila mekanisme pasar terus
berlangsung, maka penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih besar
relatif mudah menduduki lokasi utama dan menekan serta menggantikan posisi
penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang lebih kecil. Secara umum
besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan sebagai berikut : Industri
> Perdagangan > Permukiman > Pertanian Intensif > Pertanian Ekstensif . Hal ini
dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai
land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis
(Pambudi, 2009).
Menurut Mubyarto dalam Pambudi (2009), faktor-faktor yang
mempengaruhi land rent adalah :
1. Perbedaan kesuburan tanah
2. Perbedaan jarak dari pasar
3. Perbedaan biaya produksi
4. Perbedaan lahan yang terbatas (scarsity of land) sehubungan dengan kondisi
lingkungan lahan tersebut

2.6. Fungsi Ekologi Hutan

Manfaat hutan bagi kehidupan sehari-hari sangat nyata. Hutan


menghasilkan barang-barang yang diperlukan untuk berbagai keperluan seperti
kayu bangunan dan bahan untuk membuat alat-alat pertanian, hutan juga
memberikan lingkungan hidup yang nyaman bagi masyarakat, dan yang lebih
penting lagi adalah menyediakan lahan yang subur untuk bercocok tanam. Hasil
hutan yang berupa kayu, masyarakat masih memperoleh manfaat lain dari hutan,
yaitu sebagai sumber untuk mendapatkan bahan pangan dan untuk
menggembalakan ternak. Bahan pangan yang biasa tumbuh secara alami di dalam
hutan misalnya ubi, tanaman obat, buah buahan, dan lain lain (Simon, 2014).
Berdasarkan Undang-Undang No.41 tahun1999 tentang kehutanan tampak
lingkup hasil hutan pada umumnya dan hasil hutan bukan kayu pada menempati
ruang yang semakin luas. Perkembangan hasil hutan bukan kayu mula-mula
berupa produk-produk yang diperoleh melalui pemungutan atau pengolahan saja,
misalnya produk minyakan (minyak atsiri dan minyak lemak), produk
getahgetahan (getah karet, dan getah perekat), produk ekstraktif lainnya seperti
bahan penyamak, dan alkaloid serta produk-produk hasil hutan bukan kayu lain
yang berkembang (Fajar, 2013).
Peneliti banyak yang menjadikan pengetahuan masyarakat dalam
pemanfaatan hutan sebagai fokus utama dalam penelitiannya. Penelitian yang
dilakukan oleh Nurhayati (2016) mengkaji pengetahuan tradisional masyarakat
Paser dalam hal pemanfaatan tumbuhan, sedangkan penelitian oleh Sihombing
(2011) mengkaji pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh masyarakat
sekitar hutan Samarinda, Kalimantan Timur. Selanjutnya, Penelitian Asiah (2009)
tentang pengetahuan dalam pengelolaan hutan rakyat serta perubahan
pengetahuan dan perannya dalam kelestarian ekosistem. Penelitian-penelitian
tersebut menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Hal tersebut berarti bahwa
tingkat pengetahuan masyarakat akan memberikan pengaruh terhadap
pemanfaatan sumber daya alam yang ada pada lingkungannya.
Kajian etnoekologi menempatkan bahasan bahwa terdapat beberapa
kelompok pemaknaan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, seperti hutan,
ladang, kebun dan mata air . Makna-makna ini lahir dari proses yang
berkelanjutan dengan dua faktor utama yaitu, pengalaman sendiri bertahun-tahun,
cerita dan pengajaran dari orang tua, serta pengalaman dengan teman sebaya
(Yenrizal, 2016).
Hutan mempunyai peranan yang jauh lebih penting, karena keberadaannya
dapat dikatakan mempengaruhi hampir segala aspek kehidupan manusia. Peran
hutan dalam aspek biologisnya yang berdampak ekologik, seperti perlindungan
Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi ekologi, dan sumber plasma nutfah dan
keanekaragaman hayati dan lain-lain. Konsep pengelolaan sumber daya hutan
harus diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara penggunaan dan
pengembangan hutan (Yenrizal, 2016).
Hutan menurut peran ekologisnya, secara umum dapat dipandang
memiliki fungsi-fungsi sebagai habitat kehidupan liar, penghasil kayu bakar, kayu
gergajian dan produk kertas, tempat rekreasi, penting dalam daur ulang global
untuk air, oksigen, karbon, dan nitrogen. Ekosistem hutan mencerminkan
cadangan O2 paling penting di seluruh dunia, menyerap, menahan, dan melepas
secara perlahan siklus air sehingga mengurangi erosi dan banjir.

2.7. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan satu sistem yang banyak


dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Sistem ini telah berkembang menjadi satu
ilmu dan teknologi yang mapan sejalan dengan perkembangan bidang ilmu lain
khususnya teknologi informasi (Liu dan Mason, 2009). Perkembangan SIG ini
banyak diwarnai oleh latar belakang dari penggunanya yang tercermin dari
bervariasinya definisi dari SIG itu sendiri. Teknologi SIG digunakan untuk
mengatur dan memanfaatkan data geografis. Secara luas sistem ini dikenal sebagai
satu teknik analisis spasial dalam berbagai bidang seperti pengelolaan kehutanan,
perencanaan perkotaan, teknik sipil, pengelolaan permukiman, bisnis, dan studi
lingkungan hidup.
Menurut Demers (2013), ciri-ciri SIG adalah sebagai berikut:
1. SIG memiliki sub sistem input data yang menampung dan dapat mengolah
data spasial dari berbagai sumber. Sub sistem ini juga berisi proses
transformasi data spasial yang berbeda jenisnya, misalnya dari peta kontur
menjadi titik ketinggian.
2. SIG mempunyai subsistem penyimpanan dan pemanggilan data yang
memungkinkan data spasial untuk dipanggil, diedit, dan diperbaharui.
3. SIG memiliki subsistem manipulasi dan analisis data yang menyajikan peran
data, pengelompokan dan pemisahan, estimasi parameter dan hambatan, serta
fungsi permodelan
4. SIG mempunyai subsistem pelaporan yang menyajikan seluruh atau sebagian
dari basis data dalam bentuk tabel, grafis dan peta.
Subsistem SIG tersebut dijelaskan dibawah ini:
1. Data Input: Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan
data spasial dan data atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang
bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasi format
datadata aslinya ke dalam format yang digunakan oleh SIG.
2. Data Output: Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh
atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk
hardcopy seperti: tabel, grafik, peta dan lain-lain.
3. Data Management: Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial
maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah
dipanggil, dan diedit.
4. Data manipulasi dan analisis: Subsistem ini menentukan informasi-informasi
yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan
manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang
diharapkan.
Komponen SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi
dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan
jaringan. Menurut Gistut (2011), komponen SIG terdiri dari perangkat keras,
perangkat lunak, data dan informasi geografi, sera manajemen. Komponen SIG
dijelaskan di bawah ini:
1. Perangkat keras (Hardware): Pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai
platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga
multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan
dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang
penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM)
yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat
terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga
keterbatasan memori pada PC30 pun dpat diatasi. Adapun perangkat keras
yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer,
printer, plotter, dan scanner.
2. Perangkat lunak (Software): Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan
sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basisdata
memegang peranan kunci.Setiap subsistem diimplementasikan dengan
menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, hingga tidak
mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program
yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.
3. Data dan Informasi Geografi: SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data
dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara
mengimport-nya dari perangkatperangkat lunak SIG yang lain maupun secara
langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan
data atributnya dari table-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen: Suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan
dikerjakan oleh orang-orang memiliki keahlian yang tepat pada semua
tingkatan.
Model Data Dalam Sistem Informasi Geografis Data digital geografis
diorganisir menjadi dua bagian sebagai berikut:
1. Data Spasial: Data spasial adalah data yang menyimpan
kenampakankenampakan permukaan bumi, seperti jalan, sungai, dan lain-lain.
Model data spasial dibedakan menjadi dua yaitu model data vektor dan model
data raster.
2. Model data vektor diwakili oleh simbol-simbol atau selanjutnya didalam SIG
dikenal dengan feature, seperti feature titik (point), featuregaris (line), dan
featurearea (surface).
Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam
mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu
lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari
data spasial dan data atribut dalam bentuk dijital. Sistem ini merelasikan data
spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya
dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara. SIG
merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG
data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam
bentuk peta cetak, table, atau dalam bentuk konvensional lainya yang akhirnya
akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan (Barus dan
Wiradisastra, 2000 dalam As Syakur 2010).
Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa perlu menggunakan SIG,
menurut Anon 2003, dalam As Syakur 2010) alasan yang mendasarinya adalah:
1. SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintergarsi
2. SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data
3. SIG memiliki kemampuan menguraikan unsure-unsur yang ada dipermukaan
bumi ke dalam beberapa layer atau coverage data spasial
4. SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menvisualisasikan data
spasial berikut atributnya Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif
5. SIG dengan mudah menghasilkan peta -peta tematik
6. SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitanya dengan bidang spasial dan
geoinformatika

2.8. Interpretasi Citra

Penginderaan Jauh adalah “Pengambilan atau pengukuran data / informasi


mengenai sifat dari sebuah fenomena, obyek atau benda dengan menggunakan
sebuah alat perekam tanpa berhubungan langsung dengan bahan study.“ Sebuah
platform Penginderaan Jauh dirancang sesuai dengan beberapa tujuan khusus.
Tipe sensor dan kemampuannya, platform, penerima data, pengiriman dan
pemrosesan harus dipilih dan dirancang sesuai dengan tujuan tersebut dan
beberapa faktor lain seperti biaya, waktu dsb (Sutanto, 2016).
1. Resolusi sensor, Rancangan dan penempatan sebuah sensor terutama
ditentukan oleh karakteristik khusus dari target yang ingin dipelajari dan
informasi yang diinginkan dari target tersebut. Setiap aplikasi PJ mempunyai
kebutuhan khusus mengenai luas cakupan area, frekuensi pengukuran dam
tipe energi yang akan dideteksi. Oleh karena itu, sebuah sensor harus mampu
memberikan resolusi spasial, spectral dan temporal yang sesuai dengan
kebutuhan aplikasi.
2. Resolusi spasial menunjukkan level dari detail yang ditangkap oleh sensor.
Semakin detail sebuah study semakin tinggi resolusi spasial yang diperlukan.
Sebagai ilustrasi, pemetaan penggunaan lahan memerlukan resolusi spasial
lebih tinggi daripada sistem pengamatan cuaca berskala besar.
3. Resolusi spektral menunjukkan lebar kisaran dari masing-masing band
spektral yang diukur oleh sensor. Untuk mendeteksi kerusakan tanaman
dibutuhkan sensor dengan kisaran band yang sempit pada bagian merah.
4. Resolusi temporal menunjukkan interval waktu antar pengukuran. Untuk
memonitor perkembangan badai, diperlukan pengukuran setiap beberapa
menit. Produksi tanaman membutuhkan pengukuran setiap musim, sedangkan
pemetaan geologi hanya membutuhkan sekali pengukuran.
Interpretasi Citra Landsat (Land satellite) adalah satelit sumberdaya bumi
Amerika Serikat yang telah digunakan dalam bidang kehutanan sejak tahun 1972.
Peluncuran satelit Landsat pertama dengan nama ERTS-1 (Earth Resources
Technology Satellite – 1) pada tanggal 23 Juli 1972 merupakan proyek
eksperimental yang sukses dan dilanjutakan dengan peluncuran selanjutnya, seri
kedua, tetapi berganti nama menjadi Landsat. ERTS-1 pun berganti nama menjadi
Landsat-1 (Danoedoro, 2012). Interpretasi citra adalah proses pengkajian citra
melalui proses identifikasi dan penilaian mengenai objek yang tampak pada citra.
Dengan kata lain, interpretasi citra merupakan suatu proses pengenalan objek
yang berupa gambar (citra) untuk digunakan dalam disiplin ilmu tertentu seperti
Geologi, Geografi, Ekologi, Geodesi dan disiplin ilmu lainnya (Danoedoro, 2012).
Interpretasi citra adalah salah satu bagian dari pengolahan citra
penginderaan jauh yang paling sering dibahas, digunakan dan dalam praktik
dipandang mapan. Lebih dari itu, hasil utama dari klasifikasi citra adalah peta
tematik (yang pada umumnya merupakan peta penutup atau penggunaan lahan),
yang kemudian biasanya dijadikan masukan dalam permodelan spasial dalam
lingkungan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Danoedoro, 2012).
Proses interpretasi citra dengan bantuan komputer dapat dibedakan menjadi
dua jenis berdasarkan tingkat otomatisnya. Keduanya ialah klasifikasi terbimbing
(supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised
classification). Klasifikasi terbimbing meliputi sekumpulan alogaritma yang
didasari pemasukan contoh objek (berupa nilai spectral) oleh operator. Contoh ini
disebut sampel, dan lokasi geografis kelompok piksel sampel ini disebut sebagai
daerah contoh (training area). Berbeda halnya dengan klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification), secara otomatis diputuskan oleh komputer, tanpa
campur tangan operator (kalaupun ada, proses interaksi ini sangat terbatas). Proses
ini sendiri adalah suatu proses iterasi, sampai menghasilkan pengelompokan akhir
gugus-gugus spectral (Danoedoro, 2012).
Pengenalan objek merupakan bagian penting dalam interpretasi citra. Untuk
itu, identitas dan jenis objek pada citra sangat diperlukan dalam analisis
pemecahan masalah. Karakteristik objek pada citra dapat digunakan untuk
mengenali objek yang dimaksud dengan unsur interpretasi. Lillesand dan Kiefer
(1994) dalam Danoedoro (2012), menyebutkan unsur interpretasi yang dimaksud
dalam hal ini adalah:
1. Rona dan Warna
Rona dan warna merupakan unsur pengenal utama atau primer terhadap suatu
objek pada citra penginderaan jauh. Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat
kecerahan objek pada citra, sedangkan warna ialah wujud yang tampak oleh mata
dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.
2. Bentuk
Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau
kerangka suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh.
3. Ukuran
Ukuran merupakan ciri objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi lereng
dan volume. Ukuran objek citra berupa skala.
4. Tekstur
Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur dinyatakan dengan
kasar, halus atau sedang. Contoh: hutan bertekstur kasar, belukar bertekstur
sedang, semak bertekstur halus.
5. Pola
Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek
bentukan manusia dan beberapa objek alamiah. Contoh: perkebunan karet atau
kelapa sawit akan mudah dibedakan dengan hutan dengan pola dan jarak tanam
yang seragam.
6. Bayangan
Bayangan sering menjadi kunci pengenalan yang penting bagi beberapa objek
dengan karakteristik tertentu. Sebagai contoh, jika objek menara diambil tepat dari
atas, objek tersebut tersebut tidak dapat diidentifikasi secara langsung. Maka
untuk mengenali objek tersebut adalah menara yaitu dengan melihat bayangannya.
7. Situs
Situs adalah letak suatu objek terhadap objek lain disekitarnya. Situs bukan ciri
objek secara langsung, tetapi kaitannya dengan faktor lingkungan.
8. Asosiasi
Asosiasi merupakan keterkaitan antara objek satu dengan objek yang lain.
Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu objek pada citra sering
merupakan petunjuk adanya objek lain. Sekolah biasanya ditandai dengan adanya
lapangan olahraga.

2.9. Kesesuaian Lahan

Lahan adalah suatu area di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yaitu
dalam hal sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, pedologi, hidrologi, vegetasi dan
penggunaan lahan. Penggunaan lahan diartikan sebagai bentuk kegiatan manusia
terhadap lahan, termasuk di dalamnya keadaan alamiah yang belum terpengaruh
oleh kegiatan manusia. Langkah awal dalam proses penggunaan lahan yang
rasional adalah dengan cara melakukan evaluasi lahan sesuai dengan tujuannya.
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu,
sebagai contoh lahan sesuai untuk irigasi, tambak, pertanian tanaman tahunan atau
pertanian tanaman semusim. Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda
tergantung daripada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Untuk
mendapatkan kesesuaian suatu lahan terhadap suatu komoditas tanaman maka
dilakukan evaluasi lahan (Ade, 2010). Kesesuaian lahan mencakup dua hal
penting, yaitu kesesuaian aktual dan potensial (Sarwono dan Widiatmaka, 2011)
1. Kesesuaian Lahan Aktual
Lahan aktual atau kesesuaian lahan pada saat ini (current suitability) atau
kelas kesesuaian lahan dalam keadaan alami, belum mempertimbangkan usaha
perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala
atau faktorfaktor pembatas yang ada di setiap satuan peta. Seperti diketahui, faktor
pembatas dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: Faktor pembatas yang
sifatnya permanen dan tidak mungkin atau tidak ekonomis diperbaiki, dan Faktor
pembatas yang dapat diperbaiki dan secara ekonomis masih menguntungkan
dengan memasukkan teknologi yang tepat.
2. Kesesuaian Lahan Potensial
Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang akan dicapai
setelah dilakukan usaha-usaha perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial
merupakan kondisi yang diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan
tingkat pengelolaan yang akan diterapkan, sehingga dapat diduga tingkat
produktivitas dari suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnya. Menurut
Rayes (2009), kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan
tertentu. Kesesuaian lahan akan lebih spesifik bila ditinjau dari sifat – sifat fisik
lingkungan seperti iklim, tanah, topografi, hidrologi dan drainase yang sesuai
untuk usaha tani tanaman tertentu yang produktif.
1. Kesesuaian Lahan pada Tingkat Ordo
Pada tingkat ordo ditunjukkan, apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai
untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu:
a. Ordo S (sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat
digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan
yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu
akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan.
Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.
b. Ordo N (tidak sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang
mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah
penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat
digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian
karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam,
berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang
didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan).
2. Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas
Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan
menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang
ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang
makin jelek bila makin tinggi nomornya. Banyaknya kelas dalam setiap ordo
sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima
kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus
didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran.
Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo
N, maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut:
a. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai
pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya
mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap
produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.
b. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai
pembataspembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk
atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.
c. Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai
pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi
dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan
d. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan
mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi,
tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal
normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
e. Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable).
Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala
kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
3. Kesesuaian Lahan pada Tingkat Sub-kelas
Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu
atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini
ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas.
Misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat
menjadi sub-kelas S2s. Dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu, dua, atau
paling banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan
ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan
topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman
efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan.
4. Kesesuaian Lahan pada Tingkat Satuan (Unit)
Kesesuaian pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari
subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan atas besarnya faktor pembatas.
Dengan demikian, semua unit dari subkelas yang sama memiliki tingkat
kesesuaian yang sama dalam kelas dan memiliki jenis pembatas yang sama pada
tingkat subkelas. Perbedaan antara satu unit dengan unit yang lain merupakan
perbedaan dalam sifat-sifat atau gatra tambahan dari pengelolaan yang diperlukan
dan seringkali merupakan perbedaan detail dari pembatas-pembatasnya. Jumlah
unit dalam sub-kelas tidak dibatasi. Pemberian simbol kesesuaian lahan pada
tingkat unit dilakukan dengan angka setelah simbol subkelas yang dipisahkan oleh
tanda penghubung, misalnya S2n-1, S2n-2.

2.10. Arahan Penggunaan Lahan

Arahan Fungsi Kawasan Lahan merupakan kajian potensi lahan yang


digunakan untuk suatu kegiatan dalam suatu kawasan tertentu berdasarkan fungsi
utamanya (Nugraha, dkk 2016). Arahan fungsi kawasan lahan zonasinya
ditetapkan berdasarkan hasil skoring dari variabel curah hujan, kemiringan lereng
dan jenis tanah dengan menggunakan strategi tumpang susun atau overlay. Ketiga
variabel di atas masing-masing memiliki nilai skor, jumlah skor yang
mencerminkan fungsi kawasan lahan untuk masingmasing satuan lahan. UU RI
No. 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa “Kawasan lindung adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan”.
Fungsi utama kawasan lindung adalah sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Nugraha, dkk
2016). Berdasarkan fungsinya tersebut maka penggunaan lahan yang
diperbolehkan adalah pengolahan lahan dengan tanpa pengolahan tanah (zero
tillage) dan dilarang melakukan penebangan vegetasi hutan (Nugraha, dkk 2016).
Kawasan penyangga adalah kawasan yang ditetapkan untuk menopang
keberadaan kawasan lindung sehingga fungsi lindungnya tetap terjaga (Nugraha,
dkk 2016). Kawasan penyangga ini merupakan batas antara kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Nugraha, dkk 2016).
Kawasan budidaya dibedakan menjadi kawasan budidaya tanaman tahunan dan
kawasan budidaya tanaman semusim.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi
kawasan merupakan pemintakatan lahan berdasarkan karakteristik fisiknya
berupa lereng, jenis tanah dan curah hujan harian rata-rata menjadi kawasan
lindung, penyangga, budidaya tanaman tahunan dan budidaya tanaman semusim,
di mana setiap kawasan mempunyai fungsi utama yang spesifik.
Kriteria menentukan status kawasan berdasarkan fungsi tertuang dalam
SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 dan No. 683/Kpts/Um/8/1981
tentang kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi.
a. Kawasan Fungsi Lindung. Merupakan kawasan yang keadaan sumberdaya
alam, air, flora dan fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata,
daerah sekitar sumber mata air, alur sungai dan kawasan lindung lainnya.
b. Kawasan Penyangga. Suatu wilayah yang berfungsi lindung dan
budidaya seperti hutan produksi terbatas, perkebunan, kebun campur dan
lainnya yang sejenis.
b. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan. Merupakan kawasan budidaya
yang diusahakan dengan tanaman tahunan seperti hutan produksi tetap,
hutan tanaman industri, hutan rakyat, perkebunan (tanaman keras), dan
tanaman buah-buahan.
c. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim. Kawasan yang mempunyai fungsi
budidaya dan diusahakan tanaman musiman terutama tanaman pangan atau
untuk pemukiman.
Arahan penggunaan lahan berdasarkan kriteria dan tata cara
penetapan hutan lindung dan produksi yang berkaitan dengan karakteristik fisik
DAS yaitu: (1) kemiringan lereng; (2) jenis tanah menurut kepekaannya terhadap
erosi; dan (3) curah hujan rata-rata. Kemiringan lereng berdasarkan garis kontur
pada peta topografi. Jenis tanah dari interpretasi peta tanah tinjau DAS/sub
DAS. Besarnya curah hujan dari data hujan untuk menghitung EI30. Data-data
dan peta-peta kemudian di-overlay dengan skala sama. Karakteristik DAS
berupa kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan setiap satuan lahan
diklasifikasikan dan diberi bobot (skor). Penetapan penggunaan lahan setiap
satuan lahan ke dalam suatu kawasan fungsi dengan menjumlahkan nilai
skor ketiga faktor dengan mempertimbangkan keadaan setempat (Asdak dalam
Mechram, 2013).
Penilaian masing-masing parameter dapat ditentukan dengan mengalikan
nilai kelas dengan nilai skor sehingga didapatkan total (jumlah) skor suatu
kawasan yang kemudian diklasifikasikan ke dalam kelas fungsi kawasan.
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3. 1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu, 21 April 2019, bertempat di


Hutan Pendidikan Universitas hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten
Maros.

3. 2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu:


1. Parang, digunakan untuk membuka jalur selama praktikum
2. Alat Tulis Menulis, digunakan sebagai tempat untuk mencatat hal yang
dianggap penting
3. Tally Sheet, digunakan untuk mencatat data hasil pengamatan
4. Avenza Maps, digunakan untuk mempermudah dalam mencari lokasi
pengamatan dan menentukan titik pengamatan
5. Kamera, digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum

3. 3. Sumber Data

Sumber data dalam praktikum ini, yaitu data primer yang diperoleh
langsung dari hasil pengukuran di lapangan. Data ini berupa data tutupan lahan,
kondisi topografi, potensi wilayah dan blok pada setiap titik pengamatan. Selain
itu data yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder merupakan data
ataupun study literature yang diperoleh dari buku maupun penelitian-penelitian
yang sudah pernah dilakukan. Data sekunder berupa data curah hujan, ketinggian
tempat, kemiringan lereng, dan jenis tanah.
3. 4. Proses Pengumpulan Data

3.4.1. Pengambilan Data Tutupan Lahan

Pada tahap ini, dilakukan pengambilan data tutupan lahan pada titik
pengamatan. Data tutupan lahan diperoleh dengan melakukan inventarisasi jenis
tumbuhan yang ada pada titik pengamatan tersebut. Dari data tutupan lahan yang
diperoleh dapat dijadikan acuan dalam estimasi cadangan karbon pada wilayah
tersebut.

3.4.2. Pengambilan Data Kondisi Topografi

Pada tahap ini, dilakukan pengambilan data kondidi topografi dengan


beberapa parameter yaitu ketinggian tempat, kemiringan lereng dan relief. Data
Ketinggian tempat atau elevasi diperoleh dengan menggunakan avenza, data
kemiringan lereng diperoleh menggunakan clinometer dan relif diperoleh dengan
pengamatan langsung sesuai kondisi lapangan.

3.4.3. Pengambilan Data Potensi Wilayah

Pada tahap ini, dilakukan pengambilan data potensi wilayah dengan


melihat kondisi langsung dilapangan. Potensi wilayah ditentukan sesuai dengan
kesesuaian lahan dengan kemampuan lahannya.

3.4.4. Penentuan Blok

Penentuan blok kawasan disesuaikan dengan data tutupan lahan dan


kawasan hutannya. Penentuan blok terdiri dari beberapa jenis yaitu blok inti, blok
khusus, blok perlindungan.

3.4.5. Analisis Citra

Analisis citra dilakukan untuk mengetahui lokasi titik-titik pengamatan


pada petak pengamatan dengan menggunakan data x dan y yang diperoleh
langsung dilapangan menggunakan GPS.
3. 5. Analisis Data

Analisis data dalam praktikum ini, yaiu:

3.5.1. Estimasi Cadangan Karbon

1. Pengukuran biomassa pohon dan permudaan

Penghitungan biomassa pohon menggunakan model persamaan allometrik


biomassa pohon sesuai dengan iklim trospis lembab dengan curah hujan 1500-
4000 mm/tahun maka digunakan rumus menurut Chave et al. (2005) yaitu:

AGB = π*exp(1.499+2.148ln(D)+0.207ln(D) 2 – 0.0281 ln(D))3

Keterangan:
AGB =biomassa pohon bagian atas tanah (kg/ph)
Π = berat jenis (gr/cm3)
D = dbh=diameter setinggi dada (cm)

2. Perhitungan biomassa akar

Perhitungan biomassa akar dilakukan dengan menggunakan rumus


(Anonim, 2011) yaitu:
Bbp = NAP x Bap
Keterangan:
Bbp : biomassa bawah permukaan (kg)
NAP : Nisbah akar pucuk (IPPC Guide line 2006)
Bap : nilai biomasa atas permukaan (kg)

Perhitungan biomassa serasah, kayu mati dan pohon mati Rumus


perhitungan yang digunakan :
Keterangan:
Bo = berat biomassa (kg)
Bks = berat kering contoh (kg)
Bbt = berat basah total (kg)
Bbs = berat basah contoh (kg)

Cadangan Karbon Perhitungan karbon biomassa Perhitungan karbon dari


biomassa, menggunakanakan rumus (Anonim, 2011) yaitu sebagai berikut :

CD = B x % C organik

Keterangan :
CD =kadungan karbon dari biomassa (kg)
B =total biomassa (kg) %
C organik = 0,47

3.5.2. Nilai Valuasi Ekonomi Lahan

TEV = DUV + IUV + OV

Keterangan :
TEV = Total Economi Value ( Total Nilai Ekonomi)
DUV = Direct Use Value ( Nilai Penggunaan langsung)
IUV = Indirect-Use Value (Nilai Penggunaan Tidak langsung)
OV = Option Value ( Nilai pilihan)
BAB III
METODE PRAKTIKUM

4.1. Kondisi biofisik

Anda mungkin juga menyukai