Anda di halaman 1dari 4

Pelestarian

hutan

terkait

erat

dengan

pengelolaan

hutan

lestari,

(Iskandar dkk, 2003) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan lestari mengandung


iga dimensi utama untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan, yaitu
kelestarian fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Praktek pengelolaan hutan
lestari merupakan wujud nyata atas keberlanjutan usaha di sektor kehutanan
(dimensi

kelestarian

ekonomi)

serta

tinggi

rendahnya

kadar

harmonis

interaksi sosial budaya dengan komunitas lokal (dimensi kelestarian fungsi


sosial).
Nagel (2011) menjelaskan konsep pengelolaan hutan lestari mencakup
hutan sebagai : (1) fungsi ekonomi merupakan keseluruhan hasil hutan yang
dapat

dipergunakan

untuk

memenuhi

kebutuhan

hidup

manusia dalam

melakukan berbagai tindakan ekonomi, (2) fungsi ekologis merupakan


bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan
kualitas lingkungan, dan (3) fungsi sosial budaya merupakan barang dan jasa
yang dihasilkan dari hutan untuk memenuhi kepentingan kebutuhan hidup
masyarakat di sekitar hutan, serta berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka
kegiatan pendidikan, pelatihan serta kegiatan budaya dan keagamaan.
Menurut Kartodiharjo (2008) hutan merupakan sumber daya alam yang
cukup potensial dan memiliki peran strategis dalam pembangunan. Dengan
peran yang cukup strategis tersebut, konsep pengelolaan hutan di Indonesia
bersifat dinamis, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan yang ingin dicapai.
Pada masa orde baru, pengelolaan hutan lebih bersifat sentralistik. Pengelolaan
hutan lebih bertujuan ekonomi sebagai modal pembangunan pada saat itu.
Seiring dengan perubahan peta perpolitikan pada masa reformasi, pengelolaan
hutan bergeser ke arah desentralistik. Pemerintah daerah diberikan kewenangan
dalam pengelolaan hutan dengan harapan terwujudnya pengelolaan hutan yang
lebih baik. Dalam pelaksanaannya, kebijakan pengelolaan hutan yang dilakukan
pemerintah daerah lebih cenderung memanfaatkan sumberdaya hutan dengan
tujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Konsep pengelolaan hutan masa lalu seperti disebutkan di atas cenderung
mengejar aspek ekonomi tanpa memperhatikan aspek ekologis dan keberlanjutan
pengelolaan hutan. Perwujudan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan tidak
akan

dapat

terwujud

jika

konsep

pengelolaan

hutan

yang

dilakukan

cenderung atau

hanya

bertujuan

ekonomi.

Melihat

kondisi

demikian,

Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan


sejak tahun 2006 mengembangkan sebuah konsep pengelolaan hutan yang
menjadi

faktor pemungkin terwujudnya keberkelanjutan hutan (Kartodiharjo,

2008).
Konsep yang dikembangkan tersebut yakni dengan kolaborasi antara
pemerintah pusat dan daerah dalam kegiatan pengelolaan hutan dengan
memandang kawasan hutan sebagai sebuah ruang atau wilayah bagi sumberdaya
yang harus dijaga keberlanjutannya. Untuk mencapai keberlanjutan tersebut
kawasan hutan harus dapat memberikan kontribusi bagi daerah (PAD)
dengan tetap mempertimbangkan kondisi
masyarakat.

Dengan konsep pengelolaan

pengelolaan

hutan

terkait

ekologi
tersebut,

dan

sosial budaya

diharapkan

terwujud

yang

lebih memberikan kesempatan kepada para pihak

untuk mengelola

sumber daya hutan sesuai dengan karakteristik

sumberdaya hutannya.
Konsep pengelolaan hutan yang dimaksud yakni melalui pembangunan
Kesatuan

Pengelolaan

Hutan

(KPH),

sebagaimana

telah

diatur

dalam

UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Peraturan


Pemerintah Nomor

Tahun

2008

tentang

Perubahan

atas

Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan


Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Pembangunan tersebut
diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan hutan yang lebih baik dengan
mendorong tercapainya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta
dapat mengakomodir tuntutan dan kepentingan ekonomi daerah (PAD).
Dalam pelaksanaan pembangunan KPH, dibentuk suatu organisasi dengan
tujuan untuk melaksanakan

proses

kegiatan

pengelolaan

hutan

lestari.

Kegiatan tersebut meliputi tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan,


penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi
(PP No. 44 tahun 2004). Pengelolaan hutan dalam bentuk KPH merupakan
suatu bentuk organisasi teritory (wilayah) yang langsung berada di tingkat
tapak.

Organisasi tersebut

manajemen/pengelolaan

diharapkan

dapat

menjalankan

fungsi

di wilayahnya karena langsung berhubungan dengan

kondisi lingkungan yang ada. Sampai dengan saat ini, di Indonesia sudah
terbentuk 68 (enam puluh delapan) unit KPH (KPHP dan KPHL) yang
sudah berlembaga dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari
keseluruhan KPH yang sudah berlembaga tersebut, terbagi menjadi 44 KPHP
(Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi) dan 24 KPHL (Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung).
Menurut Hemosilla (2006) salah satu bentuk pemanfaatan secara tidak
langsung adalah kegiatan agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan
hutan yang mengkombinasikan produksi tanaman pertanian dan tanaman
hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang
sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan
penduduk setempat.
Hemosilla (2006) menejaskan bahwa kegiatan agroforestry di kawasan
hutan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan

masyarakat

di

dalam

dan sekitar hutan dengan tetap

mempertahankan kondisi hutan. Kegiatan agroforestry juga dilakukan sebagai


kegiatan untuk rehabilitasi hutan karena sifat kegiatan agroforestry yang
konservatif dan protektif. Manfaat-manfaat langsung yang didapat melalui
agroforestry dapat memberikan manfaat yang bersifat jangka panjang, seperti
peningkatan produktivitas tanaman, tata guna lahan yang lebih mantap dan
perbaikan konservasi lingkungan. Karena itu, bila dilaksanakan dengan baik,
sistem agroforestry dapat merupakan alat yang efektif untuk 2 merehabilitasi
dan mengelola lahan-lahan dan menggalakkan pembangunan di pedesaan.
Namun,

keberhasilan

pembangunan

kehutanan

melalui

kegiatan

agroforestry sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat dalam


berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia
yang mendukungnya. Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengembangan
kegiatan agroforestry dan upaya rehabilitasi lahan agar maju dan mandiri sebagai
pelaku pembangunan kehutanan mutlak dilaksanakan. Dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka hal yang
sangat

penting

dilaksanakan

adalah

membangun,

memperkuat

dan

mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan kegiatan


pembangunan kehutanan (Hemosilla, 2006)
FAO. 2001. Non Wood Forest Products and Income Generation. Rome:FAO
Corporate Document Repository. Departement of Forestry FAO.
Hemosilla, A. C. Fay Chip. 2006. Memperkokoh Hutan Indonesia Melalui
Pembaharuan Penguasaan Tanah. Bogor: World Agroforestry Centre.(ebook).
Irawanto, R. 2011. Pengujian Biji Koleksi Kebun Raya Purwodadi. Journal Of
Biological Researches. Volume 17 (1) 81-85.
Iskandar.U, Ngadiono & Nugraha.A, 2003. Hutan Tanaman Industri di Persimpangan
Jalan. Jakarta: Arivco Press.
Kamilia, I, & Nawiyanto. 2015. Kerusakan Hutan Dan Munculnya Gerakan
Konservasi Di Lereng Gunung Lamongan, Klakah 1999-2013. Publika
Budaya. Volume 1 (3): 72-85.
Kartodiharjo, H. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Alam : Krisis Ekologi
Matinohoru, 2000. Dampak Kerusakan Pada Ekosistem Hutan Pulau Kecil
(Kasus Ekosistem Hutan Desa Haruku). Ambon: Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura Ambon.
Nagel, P Julius F. 2011.Pelestarian Hutan dalam Hubungannya dengan
Lingkungan dan Potensi Ekonomi. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi,
Sastra, Arsitektur dan Sipil) Vol 4.ISSN 1858-2559. Universitas Gunadarma:
Depok.(Online),(http://repository.gunadarma.ac.id/1466/1/Pelestarian
%20Hutan%20dalam%20Hubungannya%20Dengan%20Lingkungan%20dan
%20Potensi%20Ekonomi_UG.pdf ), diakses pada 25 Agustus 2015.
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. (Jakarta: Rineka
Cipta 2007).
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB.
Surati. 2014. Analisis Sikap Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Hutan Penelitian
Parung Panjang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Volume
11 (4): 339 347.

Anda mungkin juga menyukai