KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Pengelolaan Dan
Pengamatan Hutan, untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Hutan.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1. Ibu Dra. Nike Triwahyuningsih, MP selaku dosen pengampu mata kuliah hidrologi,
2. Teman-teman di Institut Pertanian Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan
motivasi,
3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang
telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis,
baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang
setimpal
pada
mereka
yang
telah
memberikan
bantuan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Tujuan............................................................................................................4
C. Batasan Masalah............................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN................................................................................10
A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati......10
B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan...........................................12
C. Pengelolaan Hutan Tanaman.......................................................................15
D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis..............................18
BAB III. PENUTUP.........................................................................................26
A. Kesimpulan..................................................................................................26
B. Kritik Dan Saran..........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................27
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1993 mengamanatkan bahwa titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua
(PJP II) diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama
pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia dan didorong
secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan
bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan
keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mencapai tujuan
dan sasaran pembangunan nasional.
Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan
memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati
lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan
dan pelestari keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya
pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup aspek
pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, baik di dalam maupun di luar hutan negara. Menurut
fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat
dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan
wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang diperuntukkan bagi
hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha,
masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan
yang telah ditetapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau kebun
kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang
disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberikan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan
usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik. dan sumber daya alam
hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga
kehidupan dan pelestari keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber
daya pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup
aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, baik di dalam maupun di luar hutan negara. Menurut
fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat
dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan
wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang diperuntukkan bagi
hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha,
masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan
yang telah ditetapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau kebun
kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang
disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberikan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan
usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik.
B. TUJUAN
Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan
di bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi
hutan antara lain; penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya;
rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh
berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru dunia yang
mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap
dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan
manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung
sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas
dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih
(overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan
produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi
tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi
seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur
trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan
pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara
dan
kebakaran
hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia,
konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang
ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus
diusahakan. Prinsip-prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara
berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara
internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
C. BATASAN MASALAH
Meskipun dihadapkan pada berbagai masalah, pembangunan kehutanan
selama PJP I telah memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan
nasional. Peranan hutan menjadi semakin penting terutama hasil hutan yang
diolah sebagai komoditas ekspor. Dalam PJP II mendatang, diperkirakan
pembangunan kehutanan akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala, di
samping ada pula peluang.
1. Tantangan
Luas kawasan hutan negara di Indonesia adalah 140,4 juta hektare, yang
terdiri atas 30 juta hektare hutan lindung, 19 juta hektare kawasan konservasi
alam dan hutan wisata, 64 juta hektare hutan produksi dan 27,4 juta hektare
hutan produksi yang dapat dikonversikan. Hutan produksi, hutan lindung dan
kawasan konservasi alam tersebut membentuk kawasan hutan tetap seluas 113
juta hektare. Batas kawasan hutan negara tersebut baru 32 persen yang telah
selesai dikukuhkan. Sementara itu, pembangunan di berbagai sektor terus
meningkat dan perubahanperubahan penggunaan lahan berlangsung cepat.
Untuk keperluan tersebut disediakan kawasan hutan konversi. Meskipun
demikian, perkembangan yang cepat dan Batas hutan yang belum tetap
tersebut membawa ketidakpastian batas-batas kawasan hutan negara dan
ketidakpastian usaha di bidang kehutanan dan di berbagai bidang lain yang
berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan. Hal ini menimbulkan disinsentif
bagi pengembangan upaya pelestarian hutan. Pada tahun 1993, dari 113 juta
hektare kawasan hutan tetap hanya 92,4 juta hektare yang masih berhutan
utuh. Karena itu, maka tantangan pertama pembangunan kehutanan dalam PJP
II adalah peningkatan mutu hutan alam, rehabilitasi hutan alam yang rusak dan
pemantapan kawasan hutan tetap agar fungsi hutan dalam mendukung
pembangunan
berkelanjutan
dapat
ditingkatkan.
Pada tahun 1993 produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri nasional diperkirakan mencapai 31,8 juta meter kubik dan meningkat
menjadi 40,23 juta meter kubik pada tahun 1998, yang terdiri atas produksi
lestari hutan alam sebesar 22,46 juta meter kubik per tahun, produksi dari areal
hutan konversi sebesar 3,20 juta meter kubik per tahun, panen dari HTI sekitar
5,37 juta meter kubik, dan potensi kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat dan
perkebunan
sebesar
9,20
juta
meter
kubik
per
tahun.
Kemampuan hutan untuk menghasilkan terus menurun karena gangguan dan
kerusakan. Kemampuan untuk mengembangkan hutan baru masih amat
sedikit, sedangkan kebutuhan akan hasil dan jasa hutan untuk pembangunan
dan pelestarian fungsi lingkungan terus meningkat. Di lain pihak, dalam
pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan masih terdapat banyak limbah
baik dihitung secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kayu bernilai tinggi
diolah untuk produksi yang bernilai rendah dan tebangan hutan juga masih
menghasilkan banyak sisa kayu yang ditinggalkan membusuk di hutan. Oleh
karena itu, tantangan kedua pembangunan kehutanan dalam PJP II adalah
meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan alam dan industri
pengolahan hasil hutan agar lebih hemat dalam penggunaan hutan dan hasil
hutan, meningkatkan mute hutan dan hasil industrinya, serta meningkat-kan
pelestarian
fungsi
hutan.
Dalam upaya meningkatkan produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan
terutama
pendapatan
daerah-daerah
yang
tertinggal.
Sebagian besar hasil industri kehutanan Indonesia seperti kayu lapis ditujukan
untuk diperdagangkan di pasar ekspor. Perdagangan internasional pada masa
datang akan mengarah pada pola perdagangan yang makin kompetitif dengan
arus globalisasi yang makin cepat. Di samping itu masyarakat internasional
menilai bahwa pemanfaatan hutan tropis secara berlebihan mengakibatkan
gangguan terhadap lingkungan global. Hal ini menimbulkan dorongan dalam
perdagangan kayu tropis yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu,
tantangan keenam dalam pembangunan kehutanan adalah mengembangkan
hasil hutan untuk ekspor yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
Organisasi kehutanan pada waktu ini terdiri atas organisasi daerah tingkat I
dan pusat. Kegiatan kehutanan yang semakin meningkat yang berkaitan
dengan industri yang berorientasi ekspor telah membentuk kekuatan organisasi
kehutanan tingkat pusat, dan belum mengembangkan organisasi kehutanan di
tingkat daerah. Kesenjangan ini menimbulkan masalah yang berkaitan dengan
kemampuan dan kepedulian pemerintah daerah yang kurang memadai
terhadap kelestarian hutan dan pentingnya hutan untuk mendukung industri
dan lingkungan hidup, sehingga kerusakan hutan semakin sering terjadi. Oleh
karena itu, tantangan ketujuh yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan
adalah meningkatkan kemampuan, kepedulian, dan peran pemerintah daerah
dalam pelestarian fungsi hutan baik sebagai sumber daya ekonomi maupun
sebagai
penyedia
jasa
lingkungan
hidup.
2. Kendala
Untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan PJP II dan Repelita VI
terdapat berbagai kendala yang masih harus dihadapi dalam pengelolaan
kehutanan di masa depan baik dalam tata ruang kawasan hutan negara,
infrastruktur, kelembagaan, kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan
dan teknologi, maupun persepsi masyarakat dan aparatur negara.
Hutan negara yang mencapai luas 140,4 juta hektare dengan berbagai bentuk
penggunaannya masih sangat sedikit diketahui batas-batasnya di lapangan.
Penataan ruang daerah yang belum mantap menyebabkan terjadinya tumpang
tindih dalam pemanfaatan kawasan hutan serta menyebabkan kesulitan dalam
memantapkan sistem pengelolaan hutan secara lestari. Masih kurang
mantapnya tata ruang daerah tersebut menjadi kendala dalam pembangunan
kehutanan yang berkelanjutan, baik dari segi kepastian usaha bagi dunia
usaha kehutanan dan masyarakat maupun dari segi pengawasan dan
pengendalian pengusahaan hutan oleh pemerintah dan organisasi masyarakat
lainnya.
Kawasan hutan pada umumnya terdapat di daerah yang ter-pencil dengan
Melindungi
Keanekaragaman
Hayati
sumberdaya
alam
tersebut.
Belum semua sumber plasma nutfah yang ada di sekitar kita dapat
dimanfaatkan. Dengan usaha penelitian yang lebih baik di masa depan akan
diketahui sumber plasma nutfah bagi manusia yang dikembangkan
pemanfaatannya. Khususnya pada beberapa sumberdaya alam yang kini sudah
diketahui manfaatnya namun masih belum dapat diolah atau dibudidayakan.
1. Sampai saat ini masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam dengan 3 cara
yaitu:
2.
1. Memanfaatkan secara langsung sumberdaya alam hayati dari alam,
sehingga kesinambungan ketersediaannya semata-mata diserahkan kepada
alam.
2. Cara pemanfaatan seperti ini hanya berjalan baik bila ada keseimbangan
antara eksploitasi atau pengambilan dan kecepatan tumbuh untuk
memperbanyak diri atau berkembang biak. Namun jika sebaliknya, maka tentu
saja
akan
mengancam
sumberdaya
alam
hayati.
3. Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan cara mengolah atau
membudidayakannya. Pada cara ini kesinambungan ketersediaannya tidak
hanya semata-mata tergantung pada alam akan tetapi ada usaha dari manusia
untuk
menjaga
dan
memelihara
kelestariannya.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati
cenderung menurun atau rusak, bahkan beberapa jenis sumberdaya alam
hayati sudah dinyatakan punah. Dalam skala internasional, kayu hitam dan
burung Dodop dari Mauritius sudah punah dari muka bumi. Di Indonesia
Burung Gelatik (Padda oryzovora) misalnya, merupakan fauna yang
populasinya menurun. Sementara itu, Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah
dinyatakan punah. Penurunan dan perusakan diduga juga terjadi pada jenis
flora dan fauna yang belum diketahui manfaatnya secara langsung bagi
kehidupan manusia atau yang belum diteliti fungsinya dalam ekosistem.
Ekosistem hutan mengandung atau memiliki keanekaragaman jenis dan
genetika yang sangat tinggi. Akan tetapi ekosistem hutan mendapat tekanan
terus-menerus karena pemanfaatan ekosistem dan jenisnya yang mengancam
kelestarian dari keanekaragaman hayati tersebut. Eksploitasi hutan melalui
kegiatan pertambangan, konversi hutan menjadi lahan transmigrasi, pertanian
dan perkebunan akan mengakibatkan berkurangnya plasma nutfah. Dengan
demikian diperlukan adanya upaya perlindungan untuk mempertahankan agar
keaneka-ragaman genetik tetap tinggi sehingga pemanfaatannya tetap
menggunakan
prinsip
lestari.
Perlindungan terhadap keaneka-ragaman hayati dapat diwujudkan dengan
mempertahankan serta tidak merubah fungsi ekologi suatu kawasan yang
menunjang habitasi flora dan fauna. Usaha perlindungan yang dimaksud
adalah perlindungan terhadap ekosistem hutan beserta seluruh jenis dan
genetiknya. Konsep terbaru strategi konservasi sedunia bertujuan untuk
memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan,
mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis
serta
ekosistem
secara
lestari.
B.
Rehabilitasi
&
Konservasi
Sumberdaya
Hutan
dan
pulau-pulau
kecil.
5. Pendekatan kelembagaan, meliputi; keberadaan lembaga sosial, dukungan
infrastruktur sosial, dukungan pemerintah pusat dan atau daerah
Kelembagaan
Kawasan
Konservasi
Kriteria
Kelembagaan
dalam
pengelolaan
kawasan
konservasi:
1.Kelembagaan
Tingkat
Nasional
2.Kelembagaan
Tingkat
Daerah
3.Kelembagaan
Tingkat
Lokal
4. Bentuk kelembagaan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala
Daerah Tk. II dengan menunjuk badan pengelola yang bertanggung jawab
kepada
Kepala
Daerah
Tk.
II.
5. Kawasan konservasi lokal (yang dikelola oleh komunitas masyarakat lokal).
Jenis
Tujuan
Pengelolaan
Taman Nasional Perairan (TNP) Kawasan konservasi perairan yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang
menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.
Suaka Alam Perairan (SAP) Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas
tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan
ekosistemnya.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kawasan konservasi perairan dengan tujuan
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
Suaka Perikanan (SP) Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau,
maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat
berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi
sebagai
daerah
perlindungan.
Program
Penyelamatan
Hutan,
Tanah,
dan
Air
ekosistemnya;
(4)
membina
dan
mengembangkan
pemanfaatan
satwa;
(5)
membina
dan
mengembangkan
daerah
penyangga;
(6)
membina
dan
mengembangkan
kawasan
suaka
alam;
(7)
membina
dan
mengembangkan
konservasi
eksitu;
(8)
meningkatkan
pelestarian
keanekaragaman
hayati;
dan
(9) melaksanakan pengamanan hutan terpadu dengan meningkatkan partisipasi
aktif masyarakat dan instansi terkait dengan sumber daya hutan, secara
terkoordinasi
dengan
aparat
keamanan
setempat.
C.Pengelolaan
Hutan
Tanaman
Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi
hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah
semestinya tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan
konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat
menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang
berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe
hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode
tertentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa
merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga
mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan
dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
I.
Pengelolaan
Hutan
Alam
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida
dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem
yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelolaannya sampai
saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi
yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan
pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya
penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia
untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock,
komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan
penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang
berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia TPTI) menetapkan
sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah
untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk
eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva &
Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture
Organization of The United Nations) juga melaporkan kondisi serupa di
banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore &
Fries:
1985).
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggitingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak
memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai
berikut:
a. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan
yang terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali
kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak
operasional
b. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi),
sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang
biayanya
mahal
dan
tidak
ramah
lingkungan
c. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman
yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan
produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan
jenis
tanaman
lain
d. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal
ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada
pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau
banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan
kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem
yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa
lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama
bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis
di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai
dari politik, sosial, ekonomi dan ke-lembagaannya, masalah ini dapat didekati
dengan menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan
jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang
harus dilakukan pengelolaan hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas
lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap
dipertahankan.
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi
sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan
konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di
dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung
oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan
monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta
pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah
terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan
kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan juga
ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabilitasi adalah untuk
D.
Hak
Pengusahaan
Hutan
dan
Rehabilitasi
Lahan
Kritis
Dari
Repelita
hingga
masa
Reformasi
Pada tahap awal pembangunan nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan
kebijakannya untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi
hutan diluar jawa, melalui ekspor log (kayu bulat) dan hutan menjadi agen
pembangunan
selama
tiga
dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan
pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan
Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan
Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya
hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia,
yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam
Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu Provinsi, yaitu Kalimantan
Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75
persen
diantaranya
eksport.
Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun
1969 menjadi US$ 564 juta tahun 1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam
bentuk log, diantaranya ke Jepang 5,5 juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta
m3, Afrika Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10 juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis
didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut
diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis,
Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi
urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian
nasional.
Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol
28,18 juta hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian
membentuk kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen
kayu lapis terbesar didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis
internasional, dan mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau
setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar
585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh
Indonesia. Menyita lebih dari 62,5 juta hektar (49%) hutan alam yang
selanjutnta disebut hutan negara. Sekitar 28,18 juta hektar dikuasai oleh 10
perusahaan.
Pada tahun 1996, pemegang HPH berjumlah 445 menguasai areal seluas 54
juta hektar lebih, hampir 50% masih dikuasai 10 perusahaan besar yang sama.
Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH
dicabut, sebagian disebabkan karena pelanggaran hukum dan menurunnya
nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya, pencabutan izi lebih dari 100 HPH
tidak berarti mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH dengan perioda
kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan kelia perusahaan kehutanan
milik negara (Inhutani I V) atau dibentuk kembali menjadi usaha patungan
antara perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan usaha milik negara.
Pada pertengahan tahun 1998, hanya 39 juta ha tetap berada ditangan
pemegang konsesi diperusahaan swasta, sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5
perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada dibawah perusahaan patungan swasta
dan negara, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan sebagai wilayah non
kehutanan.Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279, sekitar
107 diantaranya dinyatakan tidak aktif. Pada tahun 2006, dengan sisa hutan
produksi seluas 57.620.301,63 ha, tercatat ada 303 perusahaan yang memliki
izin IUPHHK (pengganti HPH) yang mengusai 28 juta ha lebih.
Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif
dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan
17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak
sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen,
konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan
rent seeker. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada
inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek
keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang
berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun pihak perusahaan
membenarkan alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya
biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang
berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya
produksinya .Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak
aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu,
pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun
menjadi
9,1
juta
meter
kubik
pertahun.
Hampir seluruh hutan produksi merupakan hutan alam. Hutan produksi
tanaman terdapat di Jawa yang sebagian besar berupa hutan jati. Sejak tahun
1969 pengusahaan hutan sebagian terbesar dilakukan oleh swasta dengan
sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu tersebut produksi
rata-rata per tahun kayu bulat adalah 26 juta meter kubik. Selama empat tahun
terakhir Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu bulat turun menjadi 24,2
juta meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi 579 buah dengan luas
areal konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin kelestarian hutan, para
pemegang HPH dipersyaratkan untuk menyusun Rencana Karya
Pengusahaan Hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan, melaksanakan
sistem tebang pilih Indonesia dan melaksanakan pemeliharaan dan
penanaman baru di areal yang tidak produktif serta melaksanakan
pengamanan
hutan.
Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian
hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan
penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan
ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati
bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun
1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang
baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun
1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar
40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan
penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga
dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan
hak.
Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block
board, particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya
dengan jumlah pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993
kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang terkait dengan HPH
diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik. Perkembangan industri
ini sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan kerja dan
usaha, serta pendapatan masyarakat dan negara. Kapasitas industri
pengolahan kayu telah melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987
dalam usaha meningkatkan penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan,
mulai dikembangkan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) melalui
pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama
BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini digolongkan
ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan sebagian
dari
investasinya
dibiayai
dengan
dana
reboisasi.
Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu
hektare. Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur
masak tebang. Oleh karena itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap
produksi hutan alam, khususnya kayu lapis dan penggergajian, tetap masih
sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan
pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi telah pula
dimulai
dalam
Repelita
V.
Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai
luas 92,4 juta hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare,
dan hutan konversi 21,6 juta hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu
bulat dari hutan produksi tetap mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di
samping itu dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton
serta hasil hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun
campuran juga menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang digunakan
untuk keperluan peru-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.
Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992, investasi di bidang kehutanan
rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per tahun. Pada tahun 1993 total investasi
swasta pada bidang kehutanan diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun,
yaitu terdiri atas investasi industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun
dan
kegiatan
pembalakan
(logging)
sebesar
Rp8,1
triliun.
Industri penggergajian merupakan industri kehutanan terbesar. Walaupun
demikian produktivitas per unit industri penggergajian relatif rendah, yaitu
sekitar 9 ribu meter kubik per tahun dibanding dengan kapasitas per unit
industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter kubik per tahun. Pada tahun 1993
realisasi produksi kayu gergajian 4,0 juta meter kubik, kayu lapis 9,1 juta
meter
kubik
dan
pulpa
450
ribu
meter
kubik.
Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan
secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan.
Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam
negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu
bulat
menjadi
ekspor
kayu
olahan.
Pada tahun 1990 ekspor kayu gergajian setengah jadi dikenakan pajak ekspor
yang tinggi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian
hutan alam dan mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan
barang jadi di dalam negeri. Kebijaksanaan ini telah menurunkan ekspor kayu
gergajian setengah jadi, tetapi telah meningkatkan industri kehutanan dalam
negeri yang mengolah bahan jadi. Industri kehutanan ini yang mencakup
antara lain industri perabot rumah tangga, komponen bangunan dan pulpa dan
kertas, telah meningkatkan kesempatan kerja dan nilai tambah ekspor hasil
hutan
yang
berupa
barang
jadi.
Pada tahun 1973 total ekspor kayu Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter
kubik dengan nilai sekitar US$583,9 juta, dan ekspor kayu lapis baru
mencapai sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah kebijaksanaan pelarangan ekspor
kayu bulat dan peningkatan pajak ekspor kayu olahan setengah jadi
dilaksanakan, maka pada tahun 1993 volume ekspor kayu lapis telah
meningkat menjadi 9,6 juta meter kubik dengan nilai sekitar US$3,487 miliar.
Peningkatan ekspor hasil hutan olahan telah menghemat sumber daya hutan
per satuan nilai yang dihasilkan, di samping telah menghasilkan manfaat nilai
tambah. Kayu lapis Indonesia telah menguasai lebih kurang 80 persen pasaran
kayu
tropis
dunia.
Pelestarian
Hutan
dan
Ekosistem
Pelestarian manfaat hutan alam, perluasan hutan baru yang berkualitas dan
memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan upaya yang terus
ditingkatkan untuk meningkatkan peranan dan fungsi hutan dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup baik lingkungan lokal maupun lingkungan global. Di
samping itu, penetapan kawasan lindung yang berupa hutan gambut, hutan
bakau, hutan lindung, kawasan konservasi, dan kawasan pelindung sempadan
sungai dan danau, taman nasional, terumbu karang, dan sebagainya perlu
diikuti dengan pembinaan dan pengelolaannya yang lebih baik. Pengelolaan
hutan lindung, terumbu karang, taman nasional dan kawasan konservasi alam
ditingkatkan terus agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat pula
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan
ekonomi. Dalam upaya pelestarian kawasan lindung perlu diperhatikan pula
kepentingan masyarakat sekitarnya, terutama dalam memperoleh manfaat
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manfaat ekonomi
dari
pengembangan
pariwisata.
Program
Pembangunan
Hutan
Tanaman
Baru
Pengembangan
Usaha
Pengolahan
Hasil
Hutan
Program ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan baik
hasil hutan berupa kayu maupun nonkayu melalui pengembangan kesempatan
kerja dan berusaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi,.
usaha menengah, usaha kecil dan tradisional. Kegiatan utama dalam program
ini meliputi, antara lain (1) pengembangan usaha rakyat dalam mengolah hasil
hutan melalui berbagai teknologi tepat guna dan mengembangkan akses ke
pasaran hasil hutan olahan; (2) meningkatkan kemampuan teknis dan
manajerial usaha pengolahan hasil hutan rakyat melalui peningkatan
pendidikan dan pelatihan teknis, manajerial, dan kepemimpinan; (3)
Kemampuan
Daerah
Dalam
Pengelolaan
Hutan
DAN
PENGAMANAN
HUTAN
hutan
terjadinya
prosedur
kerja
mengetahui
perubahan
menghadapi
macam
fisik
atau
gangguan
faktor
sifat
fisiknya
hutan
:
pengganggu
Rehabilitasi
Lahan
Kritis
BAB
A.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan
manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung
sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas
dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih
(overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan
produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi
tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi
seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur
trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan
pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara
dan
kebakaran
hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia,
konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang
ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus
diusahakan. Prinsip prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara
berkelanjutan. Prinsip prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama
secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
B.
Kritik
dan
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA