Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PENGELOLAAN DAN PENGAMANAN HUTAN

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Pengelolaan Dan
Pengamatan Hutan, untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Hutan.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1. Ibu Dra. Nike Triwahyuningsih, MP selaku dosen pengampu mata kuliah hidrologi,
2. Teman-teman di Institut Pertanian Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan
motivasi,
3. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang
telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis,
baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang
setimpal
pada
mereka
yang
telah
memberikan
bantuan.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
B. Tujuan............................................................................................................4
C. Batasan Masalah............................................................................................4
BAB II. PEMBAHASAN................................................................................10
A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati......10
B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan...........................................12
C. Pengelolaan Hutan Tanaman.......................................................................15
D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis..............................18
BAB III. PENUTUP.........................................................................................26
A. Kesimpulan..................................................................................................26
B. Kritik Dan Saran..........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................27

BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1993 mengamanatkan bahwa titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua
(PJP II) diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama
pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia dan didorong
secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan
bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan
keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mencapai tujuan
dan sasaran pembangunan nasional.
Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan
memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati
lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan
dan pelestari keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber daya
pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup aspek
pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, baik di dalam maupun di luar hutan negara. Menurut
fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat
dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan
wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang diperuntukkan bagi
hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha,
masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan
yang telah ditetapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau kebun
kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang
disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberikan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan
usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik. dan sumber daya alam
hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga
kehidupan dan pelestari keanekaragaman hayati maupun sebagai sumber
daya pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup
aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, baik di dalam maupun di luar hutan negara. Menurut
fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat
dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan
wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang diperuntukkan bagi
hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha,
masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan
yang telah ditetapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau kebun

kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang
disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberikan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan
yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan
usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik.

B. TUJUAN
Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan
di bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi
hutan antara lain; penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya;
rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh
berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru dunia yang
mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap
dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan
manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung
sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas
dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih
(overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan
produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi
tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi
seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur
trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan
pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara
dan
kebakaran
hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia,
konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang
ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus
diusahakan. Prinsip-prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara
berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara
internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
C. BATASAN MASALAH
Meskipun dihadapkan pada berbagai masalah, pembangunan kehutanan
selama PJP I telah memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan
nasional. Peranan hutan menjadi semakin penting terutama hasil hutan yang
diolah sebagai komoditas ekspor. Dalam PJP II mendatang, diperkirakan
pembangunan kehutanan akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala, di
samping ada pula peluang.

1. Tantangan
Luas kawasan hutan negara di Indonesia adalah 140,4 juta hektare, yang
terdiri atas 30 juta hektare hutan lindung, 19 juta hektare kawasan konservasi
alam dan hutan wisata, 64 juta hektare hutan produksi dan 27,4 juta hektare
hutan produksi yang dapat dikonversikan. Hutan produksi, hutan lindung dan
kawasan konservasi alam tersebut membentuk kawasan hutan tetap seluas 113
juta hektare. Batas kawasan hutan negara tersebut baru 32 persen yang telah
selesai dikukuhkan. Sementara itu, pembangunan di berbagai sektor terus
meningkat dan perubahanperubahan penggunaan lahan berlangsung cepat.
Untuk keperluan tersebut disediakan kawasan hutan konversi. Meskipun
demikian, perkembangan yang cepat dan Batas hutan yang belum tetap
tersebut membawa ketidakpastian batas-batas kawasan hutan negara dan
ketidakpastian usaha di bidang kehutanan dan di berbagai bidang lain yang
berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan. Hal ini menimbulkan disinsentif
bagi pengembangan upaya pelestarian hutan. Pada tahun 1993, dari 113 juta
hektare kawasan hutan tetap hanya 92,4 juta hektare yang masih berhutan
utuh. Karena itu, maka tantangan pertama pembangunan kehutanan dalam PJP
II adalah peningkatan mutu hutan alam, rehabilitasi hutan alam yang rusak dan
pemantapan kawasan hutan tetap agar fungsi hutan dalam mendukung
pembangunan
berkelanjutan
dapat
ditingkatkan.
Pada tahun 1993 produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri nasional diperkirakan mencapai 31,8 juta meter kubik dan meningkat
menjadi 40,23 juta meter kubik pada tahun 1998, yang terdiri atas produksi
lestari hutan alam sebesar 22,46 juta meter kubik per tahun, produksi dari areal
hutan konversi sebesar 3,20 juta meter kubik per tahun, panen dari HTI sekitar
5,37 juta meter kubik, dan potensi kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat dan
perkebunan
sebesar
9,20
juta
meter
kubik
per
tahun.
Kemampuan hutan untuk menghasilkan terus menurun karena gangguan dan
kerusakan. Kemampuan untuk mengembangkan hutan baru masih amat
sedikit, sedangkan kebutuhan akan hasil dan jasa hutan untuk pembangunan
dan pelestarian fungsi lingkungan terus meningkat. Di lain pihak, dalam
pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan masih terdapat banyak limbah
baik dihitung secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Kayu bernilai tinggi
diolah untuk produksi yang bernilai rendah dan tebangan hutan juga masih
menghasilkan banyak sisa kayu yang ditinggalkan membusuk di hutan. Oleh
karena itu, tantangan kedua pembangunan kehutanan dalam PJP II adalah
meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan alam dan industri
pengolahan hasil hutan agar lebih hemat dalam penggunaan hutan dan hasil
hutan, meningkatkan mute hutan dan hasil industrinya, serta meningkat-kan
pelestarian
fungsi
hutan.
Dalam upaya meningkatkan produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan

industri kehutanan, di samping peningkatan mutu hutan alam dikembangkan


pula HTI dan hutan rakyat. Dalam pengembangan hutan tanaman ini,
terutama pengembangan HTI, sering- kali digunakan jenis tanaman dan
teknologi yang kurang mendukung upaya pelestarian lingkungan hidup,
misalnya penggunaan jenis tanaman dan teknologi yang tidak sesuai dengan
keadaan ekologi dan sistem sosial setempat dan konversi hutan alam yang
mengurangi
keanekaragaman
hayati.
Seperti halnya dengan hutan alam, hasil hutan berupa kayu yang dihasilkan
dari hutan rakyat dan kebun campuran milik rakyat juga semakin berkurang
karena luasan lahan yang makin sempit, sedangkan kebutuhan masyarakat
semakin meningkat. Kekurangan ini seringkali ditutup dari hasil kayu di
kawasan hutan negara yang dipungut tanpa memperhatikan kelestarian hutan
sehingga menimbulkan kerusakan fungsi hutan alam. Oleh karena itu,
tantangan ketiga dalam hal ini adalah mengembangkan hutan tanaman baru,
baik HTI maupun hutan rakyat, yang serasi dengan lingkungan hidup
sekitarnya dan meningkatkan produktivitas dan nilainya sehingga tercipta
tambahan penghasilan yang tinggi bagi masyarakat terutama di daerah kritis,
sekaligus juga dalam rangka meningkatkan mutu lingkungan hidup.
Investasi dan peran serta swasta dalam bidang kehutanan sebagian besar
ditanamkan pada kegiatan pembalakan hutan produksi alam. Investasi
tersebut pada dasarnya lebih bersifat inves-tasi untuk memanen stok tegakan
hutan, bukan membangun hutan baru. Luasnya kawasan hutan tetap yang tidak
berhutan, yaitu sekitar 20,6 juta hektare menunjukkan besarnya kerugian
potensi usaha nasional sebagai akibat kerusakan sumber daya hutan. Oleh
karena itu, tantangan yang keempat adalah meningkatkan kemampuan dunia
usaha swasta dan masyarakat untuk mengembangkan pengelolaan hutan alam
yang berkelanjutan dengan sistem silvikultur dan sistem sosial-ekonomi yang
tepat.
Masyarakat di sekitar dan di dalam hutan pada umumnya tergolong ke dalam
golongan masyarakat tertinggal. Kondisi sosial ekonomi golongan masyarakat
ini pada umumnya adalah tergolong miskin. Pemanfaatan hutan oleh
pemegang HPH sering mengabaikan kepentingan masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan terhadap sumber daya hutan. Hal ini menyebabkan akses
penduduk tersebut kepada manfaat hutan menjadi sangat terbatas. Masyarakat sekitar hutan juga kurang mampu memanfaatkan kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha yang berkaitan dengan usaha kehutanan tersebut,
sehingga kesenjangan status ekonomi antara penduduk asli setempat dengan
penduduk yang berasal dari luar menjadi semakin tinggi yang kemudian
meningkatkan kecembu-ruan sosial. Kecemburuan sosial dan kemiskinan
masyarakat di sekitar dan di dalam hutan ini sering menjadi penyebab
kerusakan hutan yang mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman
hayati serta ekosistemnya. Oleh karena itu, tantangan kelima dalam
pembangunan kehutanan adalah membangun peranan kehutanan yang lebih
baik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin di sekitar dan di
dalam hutan melalui pengembangan usaha produktif yang didasarkan kepada
kemitraan yang mantap, denga sekaligus meningkatkan pendapatan daerah,

terutama

pendapatan

daerah-daerah

yang

tertinggal.

Sebagian besar hasil industri kehutanan Indonesia seperti kayu lapis ditujukan
untuk diperdagangkan di pasar ekspor. Perdagangan internasional pada masa
datang akan mengarah pada pola perdagangan yang makin kompetitif dengan
arus globalisasi yang makin cepat. Di samping itu masyarakat internasional
menilai bahwa pemanfaatan hutan tropis secara berlebihan mengakibatkan
gangguan terhadap lingkungan global. Hal ini menimbulkan dorongan dalam
perdagangan kayu tropis yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu,
tantangan keenam dalam pembangunan kehutanan adalah mengembangkan
hasil hutan untuk ekspor yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
Organisasi kehutanan pada waktu ini terdiri atas organisasi daerah tingkat I
dan pusat. Kegiatan kehutanan yang semakin meningkat yang berkaitan
dengan industri yang berorientasi ekspor telah membentuk kekuatan organisasi
kehutanan tingkat pusat, dan belum mengembangkan organisasi kehutanan di
tingkat daerah. Kesenjangan ini menimbulkan masalah yang berkaitan dengan
kemampuan dan kepedulian pemerintah daerah yang kurang memadai
terhadap kelestarian hutan dan pentingnya hutan untuk mendukung industri
dan lingkungan hidup, sehingga kerusakan hutan semakin sering terjadi. Oleh
karena itu, tantangan ketujuh yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan
adalah meningkatkan kemampuan, kepedulian, dan peran pemerintah daerah
dalam pelestarian fungsi hutan baik sebagai sumber daya ekonomi maupun
sebagai
penyedia
jasa
lingkungan
hidup.

2. Kendala
Untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan PJP II dan Repelita VI
terdapat berbagai kendala yang masih harus dihadapi dalam pengelolaan
kehutanan di masa depan baik dalam tata ruang kawasan hutan negara,
infrastruktur, kelembagaan, kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan
dan teknologi, maupun persepsi masyarakat dan aparatur negara.
Hutan negara yang mencapai luas 140,4 juta hektare dengan berbagai bentuk
penggunaannya masih sangat sedikit diketahui batas-batasnya di lapangan.
Penataan ruang daerah yang belum mantap menyebabkan terjadinya tumpang
tindih dalam pemanfaatan kawasan hutan serta menyebabkan kesulitan dalam
memantapkan sistem pengelolaan hutan secara lestari. Masih kurang
mantapnya tata ruang daerah tersebut menjadi kendala dalam pembangunan
kehutanan yang berkelanjutan, baik dari segi kepastian usaha bagi dunia
usaha kehutanan dan masyarakat maupun dari segi pengawasan dan
pengendalian pengusahaan hutan oleh pemerintah dan organisasi masyarakat
lainnya.
Kawasan hutan pada umumnya terdapat di daerah yang ter-pencil dengan

keadaan topografi yang berat sehingga upaya pemanfaatannya belum efisien.


Pemanfaatan hutan seringkali dilakukan hanya di sekitar daerah yang mudah
dicapai yang sering menunjukkan gejala eksploitasi yang berlebihan dan
merusak kelestarian hutan. Oleh karena itu, kondisi lapangan yang berat
seringkali menjadi kendala yang utama dalam pembangunan infrastruktur
untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang produktif, efisien,
dan berkelanjutan.
Hutan alam Indonesia sangat luas dan beraneka ragam serta tersebar di seluruh
kepulauan. Untuk meningkatkan pengelolaannya diperlukan sumber daya
manusia yang berkeahlian, terampil, berdedikasi tinggi, tahan keterpencilan,
dan berjiwa pelopor. Kurangnya sumber daya manusia yang profesional dan
berdedikasi tinggi menjadi kendala yang berat dalam pembangunan kehutanan
di masa depan, terutama di kalangan dunia usaha kehutanan dan di daerahdaerah. Upaya pelestarian hutan memerlukan ilmu dan teknologi yang tepat
yang sesuai dengan kondisi hutan yang beraneka ragam.
Pelestarian hutan juga memerlukan keserasian yang dinamis antara
pengelolaan hutan, perkembangan masyarakat dan penduduk, perkembangan
industri kehutanan, perdagangan dan pemanfaatan basil hutan. Sementara itu,
penelitian yang telah dilaksanakan pada waktu ini masih sangat terbatas
karena berbagai kendala seperti kurangnya tenaga peneliti yang ahli.
Kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih kurang ini akan
menjadi kendala yang penting dalam pembangunan kehutanan di masa depan.
Keadaan kelembagaan di bidang kehutanan dan berbagai bidang
pendukungnya masih belum sepenuhnya mampu mendukung pengembangan
sistem produksi kehutanan yang tangguh dan lestari. Berbagai peraturan
perundangan yang sudah ada pada umumnya masih belum dilengkapi dengan
peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan keadaan lapangan dan yang serasi
dengan berbagai peraturan perundangan lainnya, sehingga pelaksanaan
pembangunan kehutanan seringkali berbeda dengan cita-cita yang tertulis
dalam peraturan perundangan yang pokok. Kelembagaan kehutanan dan
berbagai pendukungnya yang belum berkembang akan merupakan kendala
yang berat dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan sistem
produksi kehutanan dan dalam meningkatkan peran serta masyarakat di masa
depan.
Kerusakan hutan disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor manusia
dan masyarakat yang masih belum memahami fungsi hutan dalam
pembangunan nasional. Demikian juga apara-tur pemerintah dan dunia usaha
masih banyak yang belum memahami pentingnya pelestarian hutan dan
belum melaksanakan upaya untuk melestarikan fungsi hutan alam tersebut.
Persepsi masyarakat, dunia usaha, dan aparatur pemerintah yang masih sangat
kurang ini merupakan kendala yang penting dalam upaya meningkatkan
pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan di masa mendatang.

BAB II. PEMBAHASAN


A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati
Pendekatan ekologi
Ekologi membahas hubungan timbal balik antara manusia dangan lingkungan
hidupnya, dimana selalu terjadi interaksi antara keduanya. Interaksi itu terjadi
karena mereka saling membutuhkan, saling mempengaruhi, dan saling
membentuk.Karena itu sesungguhnya terdapat saling ketergantungan antara
manusia dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya manusia dengan
lingkungan hidupnya terdiri atas berbagai macam makhluk hidup beserta
benda tak hidup membentuk suatu ekosistem, dimana masing-masing
merupakan suatu sub ekosistem yang mempunyai fungsi masing-masing
dalam satu kesatuan yang utuh. Kerusakan pada salah satu sub ekosistem akan
mempengaruhi
ekosistem
yang
lain
termasuk
manusia.
Dengan demikian, pendekatan ekologi dalam operasionalisasi CATUR
PROGRAM pembangunan Kabupaten Belu menuntut seluruh lembaga
pemerintah, swasta, LSM dan segenap warga masyarakat Kabupaten Belu
untuk senantiasa memelihara kelestarian lingkungan hidup dan keseimbangan
ekosistem ( pembangunan yang berwawasan lingkungan ). Pembangunan yang
merusak lingkungan dan menganggu keseimbangan ekosistem harus dicegah
sehingga tidak mengakibatkan bencana bagi masyarakat Kabupaten Belu kini
dan
generasi
mendatang.
Cara

Melindungi

Keanekaragaman

Hayati

Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam


Hayati dan Ekosistemnya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas
keanekaragaman
dan
nilainya.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan
:
1.Perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan;
2.Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
Usaha untuk memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya dari sumber-daya
alam sering mengakibatkan menurunnya kemampuan sumberdaya alam yang
bersangkutan bahkan terkadang dapat mengakibatkan kepunahan dari

sumberdaya
alam
tersebut.
Belum semua sumber plasma nutfah yang ada di sekitar kita dapat
dimanfaatkan. Dengan usaha penelitian yang lebih baik di masa depan akan
diketahui sumber plasma nutfah bagi manusia yang dikembangkan
pemanfaatannya. Khususnya pada beberapa sumberdaya alam yang kini sudah
diketahui manfaatnya namun masih belum dapat diolah atau dibudidayakan.
1. Sampai saat ini masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam dengan 3 cara
yaitu:
2.
1. Memanfaatkan secara langsung sumberdaya alam hayati dari alam,
sehingga kesinambungan ketersediaannya semata-mata diserahkan kepada
alam.
2. Cara pemanfaatan seperti ini hanya berjalan baik bila ada keseimbangan
antara eksploitasi atau pengambilan dan kecepatan tumbuh untuk
memperbanyak diri atau berkembang biak. Namun jika sebaliknya, maka tentu
saja
akan
mengancam
sumberdaya
alam
hayati.
3. Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan cara mengolah atau
membudidayakannya. Pada cara ini kesinambungan ketersediaannya tidak
hanya semata-mata tergantung pada alam akan tetapi ada usaha dari manusia
untuk
menjaga
dan
memelihara
kelestariannya.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati
cenderung menurun atau rusak, bahkan beberapa jenis sumberdaya alam
hayati sudah dinyatakan punah. Dalam skala internasional, kayu hitam dan
burung Dodop dari Mauritius sudah punah dari muka bumi. Di Indonesia
Burung Gelatik (Padda oryzovora) misalnya, merupakan fauna yang
populasinya menurun. Sementara itu, Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah
dinyatakan punah. Penurunan dan perusakan diduga juga terjadi pada jenis
flora dan fauna yang belum diketahui manfaatnya secara langsung bagi
kehidupan manusia atau yang belum diteliti fungsinya dalam ekosistem.
Ekosistem hutan mengandung atau memiliki keanekaragaman jenis dan
genetika yang sangat tinggi. Akan tetapi ekosistem hutan mendapat tekanan
terus-menerus karena pemanfaatan ekosistem dan jenisnya yang mengancam
kelestarian dari keanekaragaman hayati tersebut. Eksploitasi hutan melalui
kegiatan pertambangan, konversi hutan menjadi lahan transmigrasi, pertanian
dan perkebunan akan mengakibatkan berkurangnya plasma nutfah. Dengan
demikian diperlukan adanya upaya perlindungan untuk mempertahankan agar
keaneka-ragaman genetik tetap tinggi sehingga pemanfaatannya tetap
menggunakan
prinsip
lestari.
Perlindungan terhadap keaneka-ragaman hayati dapat diwujudkan dengan
mempertahankan serta tidak merubah fungsi ekologi suatu kawasan yang
menunjang habitasi flora dan fauna. Usaha perlindungan yang dimaksud
adalah perlindungan terhadap ekosistem hutan beserta seluruh jenis dan
genetiknya. Konsep terbaru strategi konservasi sedunia bertujuan untuk
memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan,
mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis
serta
ekosistem
secara
lestari.

B.

Rehabilitasi

&

Konservasi

Sumberdaya

Hutan

Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi


sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan
konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di
dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung
oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan
monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta
pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah
terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan
kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan juga
ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabilitasi adalah untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya
hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan
melalui pengem-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah,
peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta
perhutanan
sosial.
Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas adalah
kekhasan, keterancaman, dan kegunaan. Beberapa pendekatan yang digunakan
dengan pendekatan jenis / spesies, pendekatan komunitas dan ekosistem,
pendekatan kawasan dan manusia. Penilaian kawasan konservasi berdasar
Pedoman Penetapan Kriteria Baku KKL yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995)
:
Keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan,
keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya,`luasan kawasan,`keindahan
alam ,`kenyamanan,`kemudahan pencapaian nilai sejarah, kehendak politik,
aspirasi masyarakat. Kriteria umum penetapan kawasan konservasi dalam
memilih calon lokasi konservasi adalah dengan mempertimbangkan Kriteria
Ekologi, Kriteria Sosial, Kriteria Ekonomi, Kriteria Regional, dan Kriteria
Pragmatik. Fungsi penetapan kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistem.
Pendekatan
Penetapan
Kawasan
Konservasi:
1.
Pendekatan
admistratif
dan
hukumPendekatan
fisik
2. Pendekatan ekologi, meliputi; keanekaragaman hayati, kondisi kealamian,
keunikan dan kelangkaan jenis, kerentanan kawasan, dan keterkaitan dengan
kawasan
lain.
3. Pendekatan sosial budaya, meliputi; tingkat dukungan dan kepedulian
masyarakat, kepemilikan lahan, konflik kepentingan, kebudayaan, dan
Keamanan.
4. Pendekatan ekonomi, meliputi; spesies ekonomis penting, kepentingan
perikanan, bentuk ancaman terhadap sumberdaya perairan, kawasan pesisir

dan
pulau-pulau
kecil.
5. Pendekatan kelembagaan, meliputi; keberadaan lembaga sosial, dukungan
infrastruktur sosial, dukungan pemerintah pusat dan atau daerah
Kelembagaan
Kawasan
Konservasi
Kriteria
Kelembagaan
dalam
pengelolaan
kawasan
konservasi:
1.Kelembagaan
Tingkat
Nasional
2.Kelembagaan
Tingkat
Daerah
3.Kelembagaan
Tingkat
Lokal
4. Bentuk kelembagaan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala
Daerah Tk. II dengan menunjuk badan pengelola yang bertanggung jawab
kepada
Kepala
Daerah
Tk.
II.
5. Kawasan konservasi lokal (yang dikelola oleh komunitas masyarakat lokal).

Jenis
Tujuan
Pengelolaan
Taman Nasional Perairan (TNP) Kawasan konservasi perairan yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang
menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.
Suaka Alam Perairan (SAP) Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas
tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan
ekosistemnya.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kawasan konservasi perairan dengan tujuan
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
Suaka Perikanan (SP) Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau,
maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat
berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi
sebagai
daerah
perlindungan.

Program

Penyelamatan

Hutan,

Tanah,

dan

Air

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam


memulihkan dan menjaga, serta meningkatkan kelestarian sumber daya hutan
terutama di kawasan lindung, sehingga fungsi hutan sebagai penyangga sistem
kehidupan meningkat dan lestari. Unsur sumber daya hutan dalam kegiatan ini
mencakup hutan lindung, Daerah Aliran Sungai (DAS), suaka alam dan
ekosistem khas lainnya, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya.
Kegiatan-kegiatan
utama
yang
dilaksanakan,
antara
lain
:
(1) memelihara fungsi dan kemampuan sistem tata air yang dikembangkan
secara
terpadu
dengan
pengelolaan
DAS;
(2) membina dan mengembangkan taman nasional, taman buru, taman wisata,
taman
hutan
raya,
pengelolaan
hutan
lindung;
(3) mengembangkan kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya;
(4)
membina
dan
mengembangkan
pemanfaatan
satwa;
(5)
membina
dan
mengembangkan
daerah
penyangga;
(6)
membina
dan
mengembangkan
kawasan
suaka
alam;
(7)
membina
dan
mengembangkan
konservasi
eksitu;
(8)
meningkatkan
pelestarian
keanekaragaman
hayati;
dan
(9) melaksanakan pengamanan hutan terpadu dengan meningkatkan partisipasi
aktif masyarakat dan instansi terkait dengan sumber daya hutan, secara
terkoordinasi
dengan
aparat
keamanan
setempat.

C.Pengelolaan

Hutan

Tanaman

Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi
hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah
semestinya tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan
konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat
menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang
berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe
hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode
tertentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa
merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga
mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan
dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
I.
Pengelolaan
Hutan
Alam
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida
dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem
yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelolaannya sampai
saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi
yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan
pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya
penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia
untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock,
komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan
penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang
berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia TPTI) menetapkan
sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah

Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas


penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan
rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk areal
hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini telah
mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak
dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi
kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur tertentu baik secara
vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme
internal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek
ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya
sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena
itu upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendahrendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi)
sangat
diperlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang
Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di
Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling
aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang
dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap
unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu
pertumbuhan
jenis-jenis
kayu
komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang
selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang
rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak
ada pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan
tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan
peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda,
setidaknya
dibedakan
pada
level
propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu
penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu
saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan
produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam
bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang
dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam akan
beralih ke hutan bekas tebangan. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci
mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebangan perlu
dipelihara untuk terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke
keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tampaknya
tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat
penting. Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem
silvikultur TPTI hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan
pemeliharaan bekas tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama,
pengadaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman, pembebasan kedua dan
ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara
langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif.

Hal ini terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh


optimal bagi pohon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan
tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future
harvest saja dan pada tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif
terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu
pohon pendamping tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur sehingga
terus memberikan jasa lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap
berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak
pekerjaan
dan
biaya
yang
sebenarnya
tidak
diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan
berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Dengan berbasis pendekatan
ekosistem, pengelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis
yang merupakan resultante dari seluruh fak-tor lingkungan (biofisik) sehingga
terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produktivitas
maupun
jasa
lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya
menjanjikan produksi hendaknya dikaji lebih mendalam terlebih dulu agar
kerusakan
hutan
dapat
lebih
dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sangat tergantung
sumber daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan
sebaik-baiknya.
II.
Pengelolaan
Hutan
Tanaman
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi
sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama.
Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilakukan
dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang
bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran),
input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis
ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pestisida dan lainlain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem
silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman
masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau
pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus
menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam
sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas ekosistem tidak dapat
dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi,
sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang
gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penurunan produktivitas
hutan
dalam
jangka
panjang
(Soekotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang
memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara
lain penurunan produktivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan
sebagainya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena
leucocephala) pada kelerengan 36 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca
hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area
dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th.
Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari hutan tanaman
cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam monokultur,
tidak berwawasan konservasi menjadi bencana besar bagi pelestarian
lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi

untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk
eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva &
Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture
Organization of The United Nations) juga melaporkan kondisi serupa di
banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore &
Fries:
1985).
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggitingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak
memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai
berikut:
a. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan
yang terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali
kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak
operasional
b. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi),
sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang
biayanya
mahal
dan
tidak
ramah
lingkungan
c. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman
yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan
produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan
jenis
tanaman
lain
d. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal
ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada
pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau
banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan
kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem
yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa
lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama
bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis
di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai
dari politik, sosial, ekonomi dan ke-lembagaannya, masalah ini dapat didekati
dengan menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan
jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang
harus dilakukan pengelolaan hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas
lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap
dipertahankan.
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi
sumber daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan
konservasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di
dalamnya pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung
oleh pengembangan dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan
monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta
pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah
terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan
kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan juga
ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabilitasi adalah untuk

memulihkan, mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya


hutan, tanah dan air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan
melalui pengem-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah,
peningkatan kegiatan konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta
perhutanan
sosial.

D.

Hak

Pengusahaan

Hutan

dan

Rehabilitasi

Lahan

Kritis

Dari
Repelita
hingga
masa
Reformasi
Pada tahap awal pembangunan nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan
kebijakannya untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi
hutan diluar jawa, melalui ekspor log (kayu bulat) dan hutan menjadi agen
pembangunan
selama
tiga
dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan
pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan
Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan
Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya
hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia,
yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam
Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu Provinsi, yaitu Kalimantan
Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta meter kubik. Sekitar 75
persen
diantaranya
eksport.
Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun
1969 menjadi US$ 564 juta tahun 1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam
bentuk log, diantaranya ke Jepang 5,5 juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta
m3, Afrika Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10 juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis
didunia, menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut
diekspor kemaca negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis,
Autralia, Jepang, Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi
urutan kedua setelah minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian
nasional.
Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol
28,18 juta hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian
membentuk kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen
kayu lapis terbesar didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis
internasional, dan mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau
setara dengan 15% dari keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar
585 konsesi HPH melakukan pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh
Indonesia. Menyita lebih dari 62,5 juta hektar (49%) hutan alam yang
selanjutnta disebut hutan negara. Sekitar 28,18 juta hektar dikuasai oleh 10
perusahaan.
Pada tahun 1996, pemegang HPH berjumlah 445 menguasai areal seluas 54
juta hektar lebih, hampir 50% masih dikuasai 10 perusahaan besar yang sama.
Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH
dicabut, sebagian disebabkan karena pelanggaran hukum dan menurunnya

nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya, pencabutan izi lebih dari 100 HPH
tidak berarti mereka menghentikan kegiatan. Sejumlah HPH dengan perioda
kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan kelia perusahaan kehutanan
milik negara (Inhutani I V) atau dibentuk kembali menjadi usaha patungan
antara perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan usaha milik negara.
Pada pertengahan tahun 1998, hanya 39 juta ha tetap berada ditangan
pemegang konsesi diperusahaan swasta, sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5
perusahaan Inhutani, 8 juta ha berada dibawah perusahaan patungan swasta
dan negara, dan 8 juta ha lainnya dicanangkan sebagai wilayah non
kehutanan.Pada tahun 2004, jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279, sekitar
107 diantaranya dinyatakan tidak aktif. Pada tahun 2006, dengan sisa hutan
produksi seluas 57.620.301,63 ha, tercatat ada 303 perusahaan yang memliki
izin IUPHHK (pengganti HPH) yang mengusai 28 juta ha lebih.
Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif
dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan
17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak
sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen,
konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan
rent seeker. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada
inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek
keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang
berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun pihak perusahaan
membenarkan alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya
biaya produksi akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang
berlaku yang harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya
produksinya .Pemerintah akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak
aktif ini untuk dijadikan kawasan HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu,
pemerintah berencana menaikkan jatah tebang dari 8,4 juta m3 pertahun
menjadi
9,1
juta
meter
kubik
pertahun.
Hampir seluruh hutan produksi merupakan hutan alam. Hutan produksi
tanaman terdapat di Jawa yang sebagian besar berupa hutan jati. Sejak tahun
1969 pengusahaan hutan sebagian terbesar dilakukan oleh swasta dengan
sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu tersebut produksi
rata-rata per tahun kayu bulat adalah 26 juta meter kubik. Selama empat tahun
terakhir Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu bulat turun menjadi 24,2
juta meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi 579 buah dengan luas
areal konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin kelestarian hutan, para
pemegang HPH dipersyaratkan untuk menyusun Rencana Karya
Pengusahaan Hutan selama jangka waktu pengusahaan hutan, melaksanakan
sistem tebang pilih Indonesia dan melaksanakan pemeliharaan dan
penanaman baru di areal yang tidak produktif serta melaksanakan
pengamanan
hutan.
Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian
hutan, para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan
penyuluhan agar mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan
ketentuan pengusahaan hutan (forestry agreement) yang telah disepakati
bersama. HPH yang tergolong baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun
1989 menjadi 25 persen pada tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang

baik menurun dari 56,0 persen pada tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun
1993, sedangkan HPH yang tergolong sedang pada tahun 1989 adalah sekitar
40 persen dan meningkat menjadi 62 persen pada tahun 1993. Tindakan
penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif dan represif juga
dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda atau pencabutan
hak.
Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block
board, particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya
dengan jumlah pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993
kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang terkait dengan HPH
diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik. Perkembangan industri
ini sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan kerja dan
usaha, serta pendapatan masyarakat dan negara. Kapasitas industri
pengolahan kayu telah melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987
dalam usaha meningkatkan penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan,
mulai dikembangkan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) melalui
pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik negara (BUMN), kerja sama
BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini digolongkan
ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan sebagian
dari
investasinya
dibiayai
dengan
dana
reboisasi.
Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu
hektare. Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur
masak tebang. Oleh karena itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap
produksi hutan alam, khususnya kayu lapis dan penggergajian, tetap masih
sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan
pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi telah pula
dimulai
dalam
Repelita
V.
Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai
luas 92,4 juta hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare,
dan hutan konversi 21,6 juta hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu
bulat dari hutan produksi tetap mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di
samping itu dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton
serta hasil hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun
campuran juga menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang digunakan
untuk keperluan peru-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.
Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992, investasi di bidang kehutanan
rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per tahun. Pada tahun 1993 total investasi
swasta pada bidang kehutanan diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun,
yaitu terdiri atas investasi industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun
dan
kegiatan
pembalakan
(logging)
sebesar
Rp8,1
triliun.
Industri penggergajian merupakan industri kehutanan terbesar. Walaupun
demikian produktivitas per unit industri penggergajian relatif rendah, yaitu
sekitar 9 ribu meter kubik per tahun dibanding dengan kapasitas per unit
industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter kubik per tahun. Pada tahun 1993

realisasi produksi kayu gergajian 4,0 juta meter kubik, kayu lapis 9,1 juta
meter
kubik
dan
pulpa
450
ribu
meter
kubik.
Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan
secara bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan.
Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam
negeri. Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu
bulat
menjadi
ekspor
kayu
olahan.
Pada tahun 1990 ekspor kayu gergajian setengah jadi dikenakan pajak ekspor
yang tinggi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian
hutan alam dan mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan
barang jadi di dalam negeri. Kebijaksanaan ini telah menurunkan ekspor kayu
gergajian setengah jadi, tetapi telah meningkatkan industri kehutanan dalam
negeri yang mengolah bahan jadi. Industri kehutanan ini yang mencakup
antara lain industri perabot rumah tangga, komponen bangunan dan pulpa dan
kertas, telah meningkatkan kesempatan kerja dan nilai tambah ekspor hasil
hutan
yang
berupa
barang
jadi.
Pada tahun 1973 total ekspor kayu Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter
kubik dengan nilai sekitar US$583,9 juta, dan ekspor kayu lapis baru
mencapai sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah kebijaksanaan pelarangan ekspor
kayu bulat dan peningkatan pajak ekspor kayu olahan setengah jadi
dilaksanakan, maka pada tahun 1993 volume ekspor kayu lapis telah
meningkat menjadi 9,6 juta meter kubik dengan nilai sekitar US$3,487 miliar.
Peningkatan ekspor hasil hutan olahan telah menghemat sumber daya hutan
per satuan nilai yang dihasilkan, di samping telah menghasilkan manfaat nilai
tambah. Kayu lapis Indonesia telah menguasai lebih kurang 80 persen pasaran
kayu
tropis
dunia.
Pelestarian

Hutan

dan

Ekosistem

Pelestarian manfaat hutan alam, perluasan hutan baru yang berkualitas dan
memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan upaya yang terus
ditingkatkan untuk meningkatkan peranan dan fungsi hutan dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup baik lingkungan lokal maupun lingkungan global. Di
samping itu, penetapan kawasan lindung yang berupa hutan gambut, hutan
bakau, hutan lindung, kawasan konservasi, dan kawasan pelindung sempadan
sungai dan danau, taman nasional, terumbu karang, dan sebagainya perlu
diikuti dengan pembinaan dan pengelolaannya yang lebih baik. Pengelolaan
hutan lindung, terumbu karang, taman nasional dan kawasan konservasi alam
ditingkatkan terus agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat pula
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan
ekonomi. Dalam upaya pelestarian kawasan lindung perlu diperhatikan pula
kepentingan masyarakat sekitarnya, terutama dalam memperoleh manfaat
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manfaat ekonomi
dari
pengembangan
pariwisata.

Program

Pembangunan

Hutan

Tanaman

Baru

Program ini ditujukan untuk meningkatkan potensi hutan tanaman yang


dibangun di dalam kawasan hutan produksi. Sasaran dari program ini adalah
selain untuk meningkatkan produksi hasil hutan juga untuk meningkatkan
kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan hutan. Oleh
karena itu, kegiatan utama dalam program ini adalah membangun hutan-hutan
tanaman antara lain HTI baik yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta besar,
koperasi, pengusaha menengah dan kecil, maupun yang dilaksanakan oleh
rakyat. Pembangunan hutan tanaman baru tersebut dimaksudkan untuk
menambah luas kawasan yang berhutan dan tidak merubah hutan alam
menjadi hutan tanaman, sehingga konversi hutan alam yang masih utuh dan
produktif dapat dihindari. Produksi kayu sebesar 13,5 juta meter kubik akan
dihasilkan dari hutan tanaman selama Repelita VI. Selama Repelita VI
pembangunan HTI direncanakan seluas 1,25 juta hektare yang terdiri dari HTI
pulpa seluas 500 ribu hektare, HTI Trans seluas 300 ribu hektare, budi daya
tanaman unggulan (meranti) seluas 450 ribu hektare. Dikembangkan pula
dalam program ini budi daya tanaman lainnya melalui hutan kemasyarakatan
seperti rotan, sutera alam, dan lain-lain disertai pembuatan kebun benih yang
memadai. Keanekaragaman hayati dalam hutan tanaman baru juga
ditingkatkan, melalui pencampuran jenis yang tepat dan serasi dengan
ekosistem
setempat.
Kesadaran Pemerintah untuk mewujudkan kelestarian SDH sekaligus
keberlanjutan peran sosal ekonominya. Sumbangan SDH dari hutan alam
terhadap pembangunan nasional sangat signifikant selama 2 dekade (1967
1980-an). Sisi negatif : banyak terjadi kerusakan hutan di sisi lain industri
kayu telah dibangun besar-besaran. Tahun 1984 di Fakultas Kehutanan IPB
diadakan lokakarya Kini Menanam Esok Memanen dihadiri seluruh
komponen rimbawan. Kekhawatiran cukp rasional asumsi produksi kayu
hutan alam 47 juta m3/tahun, pertumbuhan industri perkayuan nasional ratarata 2 20 %, maka akan terjadi defisit bahan baku pada tahun 1988/1989
sebesar 1,92 juta m3/tahun untuk kayu perukangan dan 0.7 juta m3/tahun
untuk
pulp
dan
kertas
Program

Pengembangan

Usaha

Pengolahan

Hasil

Hutan

Program ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan baik
hasil hutan berupa kayu maupun nonkayu melalui pengembangan kesempatan
kerja dan berusaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi,.
usaha menengah, usaha kecil dan tradisional. Kegiatan utama dalam program
ini meliputi, antara lain (1) pengembangan usaha rakyat dalam mengolah hasil
hutan melalui berbagai teknologi tepat guna dan mengembangkan akses ke
pasaran hasil hutan olahan; (2) meningkatkan kemampuan teknis dan
manajerial usaha pengolahan hasil hutan rakyat melalui peningkatan
pendidikan dan pelatihan teknis, manajerial, dan kepemimpinan; (3)

menumbuhkembangkan koperasi usaha pengolahan hasil hutan rakyat dan


mendorong tumbuhnya kerja sama antara perusahaan swasta besar dan BUMN
kehutanan dengan koperasi usaha pengolahan hasil hutan tersebut berdasarkan
prinsip kemitraan usaha; dan (4) mengembangkan berbagai kemudahan
berusaha bagi usaha menengah, kecil dan tradisional dalam pengolahan hasil
hutan rakyat. Kegiatan- kegiatan tersebut dikaitkan pula dengan
pengembangan
perhutanan
rakyat.
Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Pengelolaan Hutan dan Pengolahan
Hasil
Hutan
Dalam pengelolaan hutan alam diupayakan untuk meningkatkan jenis
hasilnya sehingga hutan alam dapat memberikan semua jenis hasil yang
dikandungnya bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan masyarakat
Indonesia pada umumnya tanpa merusak keanekaragaman jenis dan
keutuhannya. Pemeliharaan kelestarian hutan akan menjadi lebih berhasil
apabila masyarakat sekitar hutan ikut serta memeliharanya. Hal ini dapat
dilaksanakan apabila masyarakat sekitar hutan ikut menikmati hasil dari hutan
tersebut, oleh karena itu masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan
diberikan hak dan kewajiban yang nyata atas manfaat dan kelestarian hutan
alam di daerahnya melalui berbagai insentif dan disinsentif ekonomi,
pembangunan solidaritas sosial, dan peraturan perundangan yang tepat.
Bersamaan dengan itu, kawasan hutan yang rusak terus direhabilitasi dengan
jenis tanaman hutan bermutu tinggi yang serasi dengan fungsi lingkungan
hidup, permintaan industri perkayuan, dan dengan kebutuhan masyarakat
sekitarnya. Areal bekas tambang yang tandus dan semacamnya dikembalikan
menjadi kawasan hutan dan direhabilitasi agar menjadi hutan yang baik
kembali. Semua usaha pembinaan sumber daya hutan yang baru, peningkatan
produktivitas hutan dan peningkatan efisiensi pengolahan hasil diarahkan
untuk menyerasikan kemampuan hutan dengan perkembangan industri yang
semakin meningkat. Pembangunan industri perkayuan yang efisien dan
produktif serta menghasilkan hasil hutan bermutu tinggi dan barang jadi
berkualitas
lebih
diutamakan.
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas hutan, produksi yang dipanen
dari hutan, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman disesuaikan dengan
kemampuan hutan tersebut untuk menghasilkannya secara lestari. Kemampuan
hutan tanaman untuk menghasilkan jumlah dan mutu hasil yang lebih tinggi
dan beraneka ragam ditingkatkan melalui pemilihan jenis unggul dan
pemanfaatan teknologi dan kemampuan manajemen yang lebih baik. Dalam
hubungan itu, upaya pemanfaatan limbah pembalakan hutan, dan pengolahan
hasil hutan terus ditingkatkan pula sehingga jumlah hasil yang termanfaatkan
menjadi lebih tinggi. Demikian pula insentif untuk melaksanakan pengurusan
hutan yang baik dan disinsentif untuk mencegah sistem pembalakan yang
merusak kelestarian hutan ditingkatkan. Untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas dari industri pengolahan hasil hutan, maka nilai bahan baku hasil
hutan diatur sehingga mendekati harga pasar, sedangkan bagi pemakai hasil
hutan yang kurang mampu dan miskin diberikan berbagai kemudahan yang
dapat membantu meningkatkan kesejahteraannya dan kemampuannya

berusaha, sekaligus merupakan perangsang untuk ikut memelihara keamanan


dan
kelestarian
fungsi
hutan.
Untuk meningkatkan penghasilan negara dari pengusahaan hutan, maka
pungutan nilai tegakan yang harus dibayar oleh pengusaha hutan ditingkatkan
secara bertahap sesuai dengan keadaan harga pasar. Pungutan tersebut
dilaksanakan di hutan berdasarkan volume dan jumlah pohon yang ditebang,
yang senantiasa harus sesuai dengan rencana kelestarian hasil yang ditentukan.
Peningkatan

Kemampuan

Daerah

Dalam

Pengelolaan

Hutan

Kelembagaan dan perangkat hukum di bidang kehutanan terus dikembangkan


untuk meningkatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat terutama usaha
menengah, kecil dan tradisional dan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan
pemerintah daerah dalam pembangunan kehutanan. Sejalan dengan upaya itu
ditingkatkan pula kemampuan sumber daya manusianya serta sistem
pendukungnya sehingga peranan dunia usaha, masyarakat sekitar hutan dan
pemerintah daerah dapat menjadi lebih produktif lagi dalam upaya pelestarian
hutan dan peningkatan manfaat hutan bagi pembangunan nasional. Dalam
rangka peningkatan otonomi daerah, maka semua kegiatan kehutanan yang
berkaitan dengan konservasi tanah dan perhutanan rakyat secara bertahap
dilimpahkan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah tingkat II.
Koordinasi yang lebih mantap ditingkatkan antara pembangunan industri
dengan pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup agar kelestarian hutan
dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dapat mulai terwujud dalam
Repelita
VI.
PERLINDUNGAN

DAN

PENGAMANAN

HUTAN

UU no 41 no 1999 tentang kehutanan, perlindungan hutan dan kawasan hutan


merupakan
usaha
untuk
:
1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan , kawasan hutan, dan hasil hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia , ternak , kebakaran , hama , serta
penyakit.
1. mempertahankan dan menjaga hak hak negara , masyarakat dan perorangan
atas hutan , kawasan hutan , hasil hutan , investasi serta perangkat yang
berhubungan
dengan
pengelolaan
hutan.
perlindungan
hutan
menurut
Harley
dan
Stikel
(1956)
- perlindungan hutan merupakan bagian dari silvikultur yang membahas
tentang metoda perlindungan terhadap hutan dan berbagai faktor pengganggu/
perusak
gangguan hutan adalah setiap kejadian pada hutan yang dapat menimbulkan
kerusakan
hutan
kerusakan
urutan
1.

hutan

terjadinya

prosedur
kerja
mengetahui

perubahan
menghadapi
macam

fisik

atau

gangguan
faktor

sifat

fisiknya

hutan
:
pengganggu

2. mempelajari sebab sebab atau latar belakang terjadinya gangguan


3. mempelajari mekanisme atau proses terjadinya gangguan dan kerusakan
mempelajari pengaruh atau dampak dari gangguan dan kerusakan
mencari metoda metoda pengendalian gangguan hutan, sesuai dengan macam
gangguan
tersebut.
Program

Rehabilitasi

Lahan

Kritis

Rehabilitasi lahan kritis ditujukan untuk memulihkan kondisi lahan yang


sudah kritis, sehingga fungsinya meningkat baik seba-gai sumber daya
pembangunan maupun sebagai penyangga sistem kehidupan. Rehabilitasi
lahan kritis ini dilaksanakan pada kawasan hutan tetap yang rusak, tanah
kritis pada lahan pertanian, dan lahan kritis lainnya. Kegiatan-kegiatan
operasional yang dilaksanakan meliputi, antara lain (1) merehabilitasi
kawasan lindung yang kritis; (2) meningkatkan konservasi tanah pada lahan
usaha tani yang kritis dan tidak produktif; dan (3) meningkatkan peran serta
masyarakat perdesaan dalam upaya peningkatan produktivitas lahan usahanya.
Diutamakan rehabilitasi lahan kritis di daerahdaerah yang miskin untuk
meningkatkan mutu sumber daya alam agar kesejahteraan penduduk miskin
dapat
ditingkatkan.

BAB
A.

III.

PENUTUP
Kesimpulan

Pengelolaan hutan dan perlindungan hutan harus sangat diperhatikan karena


hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan
di bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi
hutan antara lain; penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya;
rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh
berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru dunia yang
mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap

dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan
manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung
sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas
dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih
(overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan
produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi
tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi
seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur
trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan
pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara
dan
kebakaran
hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia,
konservasi kehidupan keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang
ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap berlangsung harus
diusahakan. Prinsip prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan
melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara
berkelanjutan. Prinsip prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama
secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.

B.
Kritik
dan
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR

PUSTAKA

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. 2008. Rancangan Teknis


Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan
Lahan Kerjasama BBKSDA Propinsi Sumatera Utara dengan CV. Agriforest
Mandiri
Faperta.
Medan.
Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita.
Jakarta.
Departemen
Kehutanan
R.
I.
Indonesia.
Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan
Identifikasi
Lahan
Kritis
Mangrove.
Jakarta.

Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung


Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku ( Tesis).
Universitas
Gajah
Mada.
Yogyakarta.
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding
Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta, 10-12 Agustus
1995.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB-Press. Bogor.
http:// irwantoshut.com(diakses tanggal 17 desember 2008).

Anda mungkin juga menyukai