DI SUSUN OLEH :
Ardyani
A181500003
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pengelolaan Dan Pengamatan Hutan”, untuk
memenuhi tugas mata kuliah HUTAN KEMASYARAKATAN.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang………………………………………………………………………………………………
B.Tujuan……………………………………………………………………………………………….
C.Batasan Masalah…………………………………………………………………………………..
C.Pengelolaan HutanTanaman………………………………………………………………………
A.Kesimpulan………………………………………………………………………………………...
DAFTARPUSTAKA………………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan bahwa titik berat
Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) diletakkan pada bidang ekonomi, yang
merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia
dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan
bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan
pembangunan bidang ekonomi dalam rangka menca¬pai tujuan dan sasaran pembangunan
nasional.
Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan
fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik
sebagai pelindung egara penyangga kehidupan dan pelestari keanekara¬gaman hayati
maupun sebagai sumber daya pembangunan. Dengan demikian, pembangunan kehutanan
mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan
kesejahte¬raan egara, baik di dalam maupun di luar hutan egara. Menurut fungsinya, hutan
terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi yang dapat dikonversi (hutan konversi),
hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata. Hutan egara adalah hutan milik egara
yang diperuntukkan bagi hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia
usaha, masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan yang
telah dite¬tapkan. Selain hutan egara terdapat pula hutan atau kebun kayu yang dibangun
oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya, yang disebut hutan milik atau hutan
rakyat. Pemerintah memberi¬kan pula bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat
dalam pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan
pengembangan usaha rakyat dalam kehutanan tumbuh dengan baik. Dan sumber daya
alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung egara penyangga kehidupan
dan pelestari keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan.
Dengan demikian, pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan
hidup, pembangunan ekonomi dan kesejahte¬raan egara, baik di dalam maupun di luar
hutan egara. Menurut fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan produksi
yang dapat dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata.
Hutan egara adalah hutan milik egara yang diperuntukkan bagi hutan dan kegiatan
kehutanan dan dapat dikelola baik oleh dunia usaha, masyarakat maupun oleh pemerintah
sesuai dengan tujuan dan fungsi hutan yang telah dite¬tapkan. Selain hutan egara terdapat
pula hutan atau kebun kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah
miliknya, yang disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberi¬kan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan usaha rakyat dalam
kehutanan tumbuh dengan baik.
B. TUJUAN
Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di
bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara lain;
penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya; rekreasi dan pengaturan bagi
ekosistem tanah, udara dan air; tempat tumbuh berkembangnya keanekaragaman hayati;
sebagai paru-paru dunia yang mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar
yang siap dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan
manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan daya dukung sumberdaya hutan.
Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan
luasan) akibat eksploitasi yang berlebih (overexploitation) dan Over-Harvesting, dan
konversi hutan menjadi hutan produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan,
permukiman). Tetapi tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai
segi seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi
(jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan pertanian (misalnya
program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara dan kebakaran hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi
hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan keanekaragaman
hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap
berlangsung harus diusahakan. Prinsip-prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip-
prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai
pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
C. BATASAN MASALAH
Meskipun dihadapkan pada berbagai masalah, pembangunan kehutanan selama
PJP I telah memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan nasional. Peranan
hutan menjadi semakin penting terutama hasil hutan yang diolah sebagai komoditas ekspor.
Dalam PJP II mendatang, diperkirakan pembangunan kehutanan akan menghadapi
berbagai tantangan dan kendala, di samping ada pula peluang.
1. Tantangan
Luas kawasan hutan negara di Indonesia adalah 140,4 juta hektare, yang terdiri atas
30 juta hektare hutan lindung, 19 juta hektare kawasan konservasi alam dan hutan wisata,
64 juta hektare hutan produksi dan 27,4 juta hektare hutan produksi yang dapat
dikonversikan. Hutan produksi, hutan lindung dan kawasan konservasi alam tersebut
membentuk kawasan hutan tetap seluas 113 juta hektare. Batas kawasan hutan negara
tersebut baru 32 persen yang telah selesai dikukuhkan. Sementara itu, pembangunan di
berbagai sektor terus meningkat dan perubahan¬perubahan penggunaan lahan berlangsung
cepat. Untuk keperluan tersebut disediakan kawasan hutan konversi.
2
Meskipun demikian, perkembangan yang cepat dan Batas hutan yang belum tetap
tersebut membawa ketidakpastian batas-batas kawasan hutan negara dan ketidakpastian
usaha di bidang kehutanan dan di berbagai bidang lain
yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan. Hal ini menimbulkan disinsentif bagi
pengembangan upaya pelestarian hutan. Pada tahun 1993, dari 113 juta hektare kawasan
hutan tetap hanya 92,4 juta hektare yang masih berhutan utuh. Karena itu, maka tantangan
pertama pembangunan kehutanan dalam PJP II adalah peningkatan mutu hutan alam,
rehabilitasi hutan alam yang rusak dan pemantapan kawasan hutan tetap agar fungsi hutan
dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dapat ditingkatkan.
Pada tahun 1993 produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri nasional
diperkirakan mencapai 31,8 juta meter kubik dan meningkat menjadi 40,23 juta meter kubik
pada tahun 1998, yang terdiri atas produksi lestari hutan alam sebesar 22,46 juta meter
kubik per tahun, produksi dari areal hutan konversi sebesar 3,20 juta meter kubik per tahun,
panen dari HTI sekitar 5,37 juta meter kubik, dan potensi kayu yang dihasilkan dari hutan
rakyat dan perkebunan sebesar 9,20 juta meter kubik per tahun.
tanaman baru, baik HTI maupun hutan rakyat, yang serasi dengan lingkungan hidup
sekitarnya dan meningkatkan produktivitas dan nilainya sehingga tercipta tambahan
penghasilan yang tinggi bagi masyarakat terutama di daerah kritis, sekaligus juga dalam
rangka meningkatkan mutu lingkungan hidup.
Investasi dan peran serta swasta dalam bidang kehutanan sebagian besar ditanamkan pada
kegiatan pembalakan hutan pro¬duksi alam. Investasi tersebut pada dasarnya lebih bersifat
inves¬-tasi untuk memanen stok tegakan hutan, bukan membangun hutan baru. Luasnya
kawasan hutan tetap yang tidak berhutan, yaitu sekitar 20,6 juta hektare menunjukkan
besarnya kerugian potensi usaha nasional sebagai akibat kerusakan sumber daya hutan.
Oleh karena itu, tantangan yang keempat adalah meningkatkan kemam¬puan dunia usaha
swasta dan masyarakat untuk mengembangkan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan
dengan sistem silvi¬kultur dan sistem sosial-ekonomi yang tepat.
2. Kendala
Untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan PJP II dan Repelita VI terdapat
berbagai kendala yang masih harus dihadapi dalam pengelolaan kehutanan di masa depan
baik dalam tata ruang kawasan hutan negara, infrastruktur, kelembagaan, kualitas sumber
daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun persepsi masyarakat dan aparatur
negara.
Hutan negara yang mencapai luas 140,4 juta hektare dengan berbagai bentuk
penggunaannya masih sangat sedikit diketahui batas-batasnya di lapangan. Penataan
ruang daerah yang belum mantap menyebabkan terjadinya tumpang tindih dalam
peman¬faatan kawasan hutan serta menyebabkan kesulitan dalam meman¬tapkan sistem
pengelolaan hutan secara lestari. Masih kurang mantapnya tata ruang daerah tersebut
menjadi kendala dalam pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, baik dari segi
kepas¬tian usaha bagi dunia usaha kehutanan dan masyarakat maupun dari segi
pengawasan dan pengendalian pengusahaan hutan oleh pemerintah dan organisasi
masyarakat lainnya.
Kawasan hutan pada umumnya terdapat di daerah yang ter-pencil dengan keadaan
topografi yang berat sehingga upaya pe¬manfaatannya belum efisien. Pemanfaatan hutan
seringkali dilaku¬kan hanya di sekitar daerah yang mudah dicapai yang sering menunjukkan
gejala eksploitasi yang berlebihan dan merusak kele¬starian hutan. Oleh karena itu, kondisi
lapangan yang berat ser¬ingkali menjadi kendala yang utama dalam pembangunan
infras¬truktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang produktif, efisien,
dan berkelanjutan.
Hutan alam Indonesia sangat luas dan beraneka ragam serta tersebar di seluruh kepulauan.
Untuk meningkatkan pengelolaan¬nya diperlukan sumber daya manusia yang berkeahlian,
terampil, berdedikasi tinggi, tahan keterpencilan, dan berjiwa pelopor. Kurangnya sumber
daya manusia yang profesional dan berdedikasi tinggi menjadi kendala yang berat dalam
pembangunan kehutanan di masa depan, terutama di kalangan dunia usaha kehutanan dan
di daerah-daerah. Upaya pelestarian hutan memerlukan ilmu dan teknologi yang tepat yang
sesuai dengan kondisi hutan yang beraneka ragam.
Pelestarian hutan juga memerlukan keserasian yang dinamis antara pengelolaan hutan,
perkembangan masyarakat dan penduduk, perkembangan industri kehutanan, perdagangan
dan pemanfaatan basil hutan. Sementara itu, penelitian yang telah dilaksanakan pada waktu
ini masih sangat terbatas karena berbagai kendala seperti kurangnya tenaga peneliti yang
ahli. Kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih kurang ini akan menjadi
kendala yang penting dalam pembangunan kehutanan di masa depan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati
Pendekatan ekologi
Ekologi membahas hubungan timbal balik antara manusia dangan lingkungan
hidupnya, dimana selalu terjadi interaksi antara keduanya. Interaksi itu terjadi karena
mereka saling membutuhkan, saling mempengaruhi, dan saling membentuk.Karena itu
sesungguhnya terdapat saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Selanjutnya manusia dengan lingkungan hidupnya terdiri atas berbagai macam
makhluk hidup beserta benda tak hidup membentuk suatu ekosistem, dimana masing-
masing merupakan suatu sub ekosistem yang mempunyai fungsi masing-masing dalam satu
kesatuan yang utuh. Kerusakan pada salah satu sub ekosistem akan mempengaruhi
ekosistem yang lain termasuk manusia.
Dengan demikian, pendekatan ekologi dalam operasionalisasi CATUR PROGRAM
pembangunan Kabupaten Belu menuntut seluruh lembaga pemerintah, swasta, LSM dan
segenap warga masyarakat Kabupaten Belu untuk senantiasa memelihara kelestarian
lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem ( pembangunan yang berwawasan
lingkungan ). Pembangunan yang merusak lingkungan dan menganggu keseimbangan
ekosistem harus dicegah sehingga tidak mengakibatkan bencana bagi masyarakat
Kabupaten Belu kini dan generasi mendatang.
Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam
Indonesia – TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di
seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas
penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm
untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas
dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di
banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat
menghasilkan kayu pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struk¬tur tertentu baik secara vertikal
(stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in¬ternal untuk
mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus
beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan
produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan
lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat di¬perlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih
Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun
sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang
lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang
per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal dapat
mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu
komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang selalu
meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. Pemenuhan
tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus
terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan (sistem
silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level
propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu penentuan
AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. Karena itu diperlukan
reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola
konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan
ekosistem hutan yang dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka penge¬lolaan hutan alam akan beralih ke
hutan bekas tebang¬an. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang
sebelum waktunya) hutan bekas tebang¬an perlu dipelihara untuk terus meningkatkan
produk¬sinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab
tertentu tebang ulang tam¬paknya tidak bisa dihindari.
Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika
kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI hasilnya tidak
efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas tebangan yang berupa
perapihan, pembebasan pertama, peng¬adaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman,
pem¬bebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang
secara langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini
terjadi karena tindakan pen¬jarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po¬hon
binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya
terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat per¬tumbuhan tertentu
yang paling responsif terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah.
Sementara itu pohon pendamping tetap berfungsi se¬bagai pembentuk struktur sehingga
terus memberi¬kan jasa lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan
konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang
sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan
konsep kesesuai¬an lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pe¬ngelolaan hutan
produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh fak-tor
lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama
baik produk¬tivitas maupun jasa lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan produksi
hendaknya di¬kaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hu¬tan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sa¬ngat tergantung sumber daya
manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baik¬nya.
b. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), sehingga
cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak
ramah lingkungan
c. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang
mengalami kemunduran ta¬pak hutan yang ditandai dengan penurunan produk¬tivitas atau
kejemuan jenis tertentu sehingga harus di¬ganti dengan jenis tanaman lain.
d. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat
dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim
penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya
sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai penge¬lolaan hutan berdasarkan
kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang
mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek
ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak
lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai
faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan ke-lembagaannya, masalah
ini dapat didekati dengan me¬nyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi
dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus
dilakukan pengelola¬an hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkung¬an yang
menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber
daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi di dalam
kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya pengembangan taman
nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan dan pembinaan wisata
alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak lingkungan, perlindungan dan
pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan prasarana. Sampai dengan tahun
1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan
kawasan konservasi alam yang sudah ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block board,
particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya dengan jumlah
pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993 kebutuhan bahan baku industri
perkayuan yang terkait dengan HPH diperkirakan mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik.
Perkembangan industri ini sangat bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan
kerja dan usaha, serta pendapatan masyarakat dan negara. Kapasi¬tas industri pengolahan
kayu telah melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987 dalam usaha meningkatkan
penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan, mulai dikembangkan pem¬bangunan
hutan tanaman industri (HTI) melalui pemanfaatan investasi swasta, badan usaha milik
negara (BUMN), kerja sama BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan koperasi. HTI ini
digolongkan ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan energi biomasa dan sebagian
dari investasinya dibiayai dengan dana reboisasi.
Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu hektare.
Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur masak tebang. Oleh karena
itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap produksi hutan alam, khususnya kayu lapis
dan penggergajian, tetap masih sangat besar. Pembangunan HTI Transmigrasi (HTI Trans)
yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi telah
pula dimulai dalam Repelita V.
Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai luas 92,4 juta
hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare, dan hutan konversi 21,6 juta
hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu bulat dari hutan produksi tetap mencapai
25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di samping itu dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan
getahan sebesar 35 ribu ton serta hasil hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan
rakyat dan kebun campuran juga menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang
digunakan untuk keperluan peru¬-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.
Pengelolaan hutan lindung, terumbu karang, taman nasional dan kawasan konservasi alam
ditingkatkan terus agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat pula bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan ekonomi. Dalam upaya
pelestarian kawasan lindung perlu diper¬hatikan pula kepentingan masyarakat sekitarnya,
terutama dalam memperoleh manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan manfaat ekonomi dari pengembangan pariwisata.
(1) pengembangan usaha rakyat dalam mengolah hasil hutan melalui berbagai teknologi
tepat guna dan mengembangkan akses ke pasaran hasil hutan olahan;
(2) meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial usaha pengolahan hasil hutan rakyat
melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan teknis, manajerial, dan kepemimpinan; (3)
menumbuhkembangkan koperasi usaha pengolahan hasil hutan rakyat dan mendorong
tumbuhnya kerja sama antara perusahaan swasta besar dan BUMN kehutanan dengan
koperasi usaha pengolahan hasil hutan tersebut berdasarkan prinsip kemitraan usaha; dan
(4) mengembangkan berbagai kemudahan berusaha bagi usaha menengah, kecil dan
tradisional dalam pengolahan hasil hutan rakyat. Kegiatan¬- kegiatan tersebut dikaitkan pula
dengan pengembangan perhutanan rakyat.
Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Pengelolaan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dalam pengelolaan hutan alam diupayakan untuk meningkat¬kan jenis hasilnya
sehingga hutan alam dapat memberikan semua jenis hasil yang dikandungnya bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan masyarakat Indonesia pada umumnya tanpa
merusak keanekaragaman jenis dan keutuhannya. Pemeliharaan kelestarian hutan akan
menjadi lebih berhasil apabila masyarakat sekitar hutan ikut serta memeliharanya. Hal ini
dapat dilaksanakan apabila masyarakat sekitar hutan ikut menikmati hasil dari hutan
tersebut, oleh karena itu masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan diberikan hak
dan kewajiban yang nyata atas manfaat dan kelestarian hutan alam di daerahnya melalui
berbagai insentif dan disinsentif ekonomi, pembangunan solidaritas sosial, dan peraturan
perundangan yang tepat.
Bersamaan dengan itu, kawasan hutan yang rusak terus dire¬habilitasi dengan jenis
tanaman hutan bermutu tinggi yang serasi dengan fungsi lingkungan hidup, permintaan
industri perkayuan, dan dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya. Areal bekas tambang
yang tandus dan semacamnya dikembalikan menjadi kawasan hutan dan direhabilitasi agar
menjadi hutan yang baik kembali. Semua usaha pembinaan sumber daya hutan yang baru,
peningkatan produktivitas hutan dan peningkatan efisiensi pengolahan hasil diarahkan untuk
menyerasikan kemampuan hutan dengan perkem¬bangan industri yang semakin
meningkat. Pembangunan industri perkayuan yang efisien dan produktif serta menghasilkan
hasil hutan bermutu tinggi dan barang jadi berkualitas lebih diutama¬kan.
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas hutan, produksi yang dipanen dari hutan,
baik dari hutan alam maupun hutan tanaman disesuaikan dengan kemampuan hutan
tersebut untuk menghasilkannya secara lestari. Kemampuan hutan tanaman untuk
menghasilkan jumlah dan mutu hasil yang lebih tinggi dan beraneka ragam ditingkatkan
melalui pemilihan jenis unggul dan pemanfaatan teknologi dan kemampuan manajemen
yang lebih baik. Dalam hubungan itu, upaya pemanfaatan limbah pembalakan hutan, dan
pengolahan hasil hutan terus ditingkatkan pula sehingga jumlah hasil yang termanfaatkan
menjadi lebih tinggi. Demikian pula insentif untuk melaksanakan pengurusan hutan yang
baik dan disinsentif untuk mencegah sistem pembalakan yang merusak kelestarian hutan
ditingkatkan. Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dari industri pengolahan hasil
hutan, maka nilai bahan baku hasil hutan diatur sehingga mendekati harga pasar,
sedangkan bagi pemakai hasil hutan yang kurang mampu dan miskin diberikan berbagai
kemudahan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraannya dan kemampuannya
berusaha, sekaligus merupakan perangsang untuk ikut memelihara keamanan dan
kelestarian fungsi hutan.
Untuk meningkatkan penghasilan negara dari pengusahaan hutan, maka pungutan nilai
tegakan yang harus dibayar oleh pengusaha hutan ditingkatkan secara bertahap sesuai
dengan ke¬adaan harga pasar. Pungutan tersebut dilaksanakan di hutan berda¬sarkan
volume dan jumlah pohon yang ditebang, yang senantiasa harus sesuai dengan rencana
kelestarian hasil yang ditentukan.
Peningkatan Kemampuan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan
Kelembagaan dan perangkat hukum di bidang kehutanan terus dikembangkan untuk
meningkatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat terutama usaha menengah, kecil
dan tradisional dan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan pemerintah daerah dalam
pembangunan kehutanan. Sejalan dengan upaya itu ditingkatkan pula kemampuan sumber
daya manusianya serta sistem pendukungnya sehingga peranan dunia usaha, masyarakat
sekitar hutan dan pemerintah daerah dapat menjadi lebih produktif lagi dalam upaya
pelestarian hutan dan peningkatan manfaat hutan bagi pembangunan nasional. Dalam
rangka peningkatan otonomi daerah, maka semua kegiatan kehutanan yang berkaitan
dengan konservasi tanah dan perhutanan rakyat secara bertahap dilimpah¬kan
tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Koordinasi yang lebih mantap
ditingkatkan antara pembangunan industri dengan pembangunan kehutanan dan lingkungan
hidup agar kelestarian hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelan¬jutan dapat mulai
terwujud dalam Repelita VI.
1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan , kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia , ternak , kebakaran , hama , serta penyakit.
2. mempertahankan dan menjaga hak hak negara , masyarakat dan perorangan atas hutan ,
kawasan hutan , hasil hutan , investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengelolaan hutan dan perlindungan hutan harus sangat diperhatikan karena hutan
mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di bumi ini, baik segi
ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara lain; penyedia
sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya; rekreasi dan pengaturan bagi ekosistem tanah,
udara dan air; tempat tumbuh berkembangnya keanekaragaman hayati; sebagai paru-paru
dunia yang mengubah gas karbon monooksida menjadi oksigen segar yang siap dikonsumsi
bagi hewan dan manusia. Dampak dari aktivitas atau tekanan manusia terhadap hutan telah
mengganggu keseimbangan daya dukung sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang
mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi
yang berlebih (overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan
produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi tekanan
aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi seperti pembebasan lahan
kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi (jalan, jembatan), telekomunikasi,
energi listrik, perluasan lahan pertanian (misalnya program satu juta Ha lahan gambut),
pencemaran udara dan kebakaran hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi
hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan keanekaragaman
hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air dan udara agar tetap
berlangsung harus diusahakan. Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional
dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip –
prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai
pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.