Anda di halaman 1dari 19

1.

1 Latar Belakang

Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan


merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, sehingga Indonesia
disebut sebagai negara mega–biodiversity. Keanekaragaman hayati diantaranya
yaitu keanekaragaman ekosistem, jenis dalam sekosistem dan plasma nutfah
(keanekaragaman genetik) yang berada dalam setiap jenisnya (Suhartini, 2009).
Hutan Indonesia adalah hutan yang sering disebut salah satu paru dunia yang
menyumbangkan oksigen untuk keberlangsungan makhluk hidup yang dapat
menyerap karbon dioksida yakni karbon yang berbahaya dan menghasilkan gas
oksigen yang diperlukan oleh manusia. Hutan merupakan sumber daya alam yang
berperan penting pada lini kehidupan, baik dari ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan. Areal hutan yang semakin berkurang tentunya menyebabkan
punahnya berbagai jenis spesies yang menyebabkan berbagai dampak termasuk
menimbulkan efek gas rumah kaca (Pradita, Ardita, & Muryantoro, 2019).

Beberapa waktu yang lalu Menteri Kehutanan Republik Indonesia


melaporkan kondisi hutan Indonesia saat ini. Dari laporan tersebut, diketahui
hutan primer Indonesia tinggal 24% dari 71% sebelumnya, hutan produksi 25%
dan 22% kawasan yang sudah tidak berhutan sama sekali. Dari data yang ada juga
terlihat bahwa telah terjadi deforestasi yang hebat selama sepuluh tahun terakhir.
Hal ini disebabkan oleh pembukaan hutan dan perubahan menjadi hutan produksi,
kebakaran hutan dan dampak elnino. Semua kerusakan hutan yang terjadi
berdampak pada kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati,
merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro
maupun global ( Barkey, & Daniel, 2011).

Hutan pendidikan bengo-bengo merupakan kawasan hutan dengan


tujuan khusus yang diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
mengenai penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, juga pada Pasal 34
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 mengenai Pemberian Pengelolaan
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus. Penataan batas Kawasan Hutan dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2013 tanggal 19 Agustus 2013 (Wirya, 2015)
Peningkatan status hutan pendidikan Unhas menjadi Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk Hutan Pendidikan Unhas
berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. SK 86/Menhut-II/2005, memberikian
peluang yang sangat besar dalam rangka peningkatan kapasitas hutan pendidikan
tersebut kedepan sebagai salah satu lokasi untuk pengembangan Tri Darma
Perguruan Tinggi. Implikasi dari peningkatan statuta tersebut adalah
pengelolaan hutan pendidikan Bengo-Bengo sepenuhnya menjadi tanggung
jawab Fakultas Kehutanan UNHAS (Bachtiar, 2010).

Keberadaan hutan pendidikan sebagai laboratorium lapangan, mutlak


diperlukan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pendidikan
kehutanan. Terlebih-lebih pada saat ini, sudah dapat dirasakan semakin sulit
mencari lokasi untuk penyelenggaraan praktikum mata ajaran tertentu, dan
penelitian bagi para siswa, mahasiswa danpenelitian. Oleh karena itu muncul
berbagai gagasan yang mengarah kepada kemungkinan intensifikasi
pengelolaan hutan pendidikan yang dapat memenuhi target yang diinginkan,
bahkan bila memungkinkan dapat menjadi income generatingunituntuk
menopang kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Untuk mengarah kepada
keinginan tersebut, diperlukan perencanaan yang baik dan rasional serta
didukung oleh berbagai pihak dan kebijakan-kebijakan yang terkait (Abbas,
2005).

Praktik Kerja Lapangan merupakan salah satu kegiatan akademik yang


berfokus pada kemampuan untuk mengembangkan dan menempa ilmu yang telah
dipelajari selama menjalani perkuliahan dalam praktiknya.Kegiatan ini dapat
menambah pengalaman mahasiswa khususnya mahasiswa di Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin dan memberikan wawasan mendalam terkait dunia kerja
sebelum lulus dari bangku perkuliahan kelak. Kegiatan PKL juga berguna untuk
Universitas Hasanuddin sebagai bentuk penyempurnaan kurikulum yang telah ada
di Universitas Hasanuddin dari para praktikan yang telah melaksanakan PKL.
2.1 Penataan Areal Kerja

Perencanaan pemanenan kayu penting dilakukan karena untuk bisa memanen


kayu harus dikumpulkan beberapa informasi mengenai hutan yang akan dipanen,
besar kecilnya perusahaan (kegiatan yang akan dilaksanakan), faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kelancaran pemanenan kayu, dan akhirnya dapat disusun
dan ditetapkan metode dan peralatan yang digunakan untuk dapat mencapai target
yang telah direncanakan. Hutan dapat tumbuh dalam berbagai kondisi iklim dan
topografi, maka untuk melaksanakan pemanenannya harus disesuaikan dengan
kondisi hutan yang dihadapi (spesies, ukuran baik diameter maupun tinggi,
persebarannya dan lain sebagainya). Disamping itu perlu juga diperhatikan letak
lokasi kerja dengan letak pemukiman terdekat (Gautama, dkk., 2019).

Pembuatan petak kerja merupakan salah satu usaha pengelolaan yang lestari,
bahwa pemanfaatan jenis tanaman dan satwa harus diperhatikan kaidah-kaidah
konservasi. Di dalam penentuan luas petak areal kerja, pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan teknis. Yang dimaksud dengan pendekatan teknis adalah
menentukan luas petak kerja berdasarkan jangkaun terjauh (jarak sarad),alat sarad
sesuai keterbatasan atau kemampuan teknis alat-alat yang digunakan. Sistem
penyaradan yang digunakan adalah sisitem traktor dimana alat yang digunakan
adalah traktor. Menentukan titik-titik yang paling mungkin dijadikan TPn, syarat
suatu areal dijadikan TPn adalah (Gautama, dkk., 2019):

a. Kelerengan < 5% (areal yang cukup datar)


b. Arealnya tidak tergenang air
c. Terdapat areal datar yang mencukupi untuk menampung basil tebangan
d. Jarak dari pinggir sungai minimal 100 m dan dari mata air minimal 200 m

Pengawasan pada petak kerja dalam pengelolaan hutan, yaitu membuat unit
pengelolaan tertata penuh dan lestari, yang mempunyai petak dan unit tegakan
umur satu tanam sampai umur daur yang sama luasnya di kondisi tanah yang
hampir sama. Di dalam unit pengelolaan hutan produksi areal HPH terdapat lima
tingkat desain. Tingkat desain lapangan yang dibuat yaitu (Gautama, dkk., 2019):

a. Desain tingkat tegakan


b. Desain tingkat jalan sarad
a. C. Desain tingkat hund
c. Desain tingkat petak
d. Desain tingkat pengelola

Suatu unit anak petak memiliki jalan sarad dan TPn, jaringan jalan sarad ini
penebangan, pengumpulan, pembagian batang, permuatan kayu ke alat pemuat
transportasi mayor atau secara mudah dan sederhana bahwa petak tebang adalah
suatu areal yang dilayani oleh satu TPn dimana di dalam ini dilakukan pemanenan
kayu. Dengan demikian luas petak tebang ditentukan oleh jangkauan terjauh (jalan
dibuat untuk proses pengeluaran log yang berada pada petak tebang sampai log
dikumpulkan di TPn). Satu jaringan jalan sarad memiliki satu buah jalan utama ini
dibuat setelah pohon ditebang, yang berfungsi menghubungkan log dengan jalan
sarad utama. Jalan sarad terbuat dari galangan kayu berukuran pancang dan tiang
yang ditata berlapis. TPn berfungsi sebagai tempat pengumpulan kayu yang sudah
ditebang di dalam petak tebang sehingga memudahkan dalam pemuatan ke atas
lart. TPn dibuat oleh regu sarad setelah jalan sarad selesai dibuat. Penyaradan
merupakan kegiatan pertama dari pengangkutan kayu yang dimulai pada saat kayu
diikatkan pada rantai penyarad ditempat tebangan yang kemudian disarad ke
tempat tujuan (TPn/landing, tepi sungai, tepi jalan rei atau rel) dan berakhir
setelah kayu dilepaskan dari rantai sarad. Desain petak menampakan batas petak
luas dan bentuk petak. Unit pengelolaan dibagi ke dalam petak permanen dengan
menggunakan sungai dan jalan sebagai batas petak. Pétak merupakan alamat,
petak dipetakan Petak digunakan memonitor luas lahan dan kondisi vegetasi. Pada
tebang rumpang ini tidak diperlukan inventarisasi pohon sebelum dan sesudah
penebangan, tidak dilakukan penanaman pengayaan, tidak penunjukan pohon inti,
tidak ada penanaman tanah kosong dan tidak ada Petak Ukur Permanen (PUP).
Hiaya pembinaan areal tebangan tebang rumpang amat kecil (Gautama, dkk.,
2019).

2.2 Hutan Alam

Pengelolaan hutan alam produksi lestari memperhatikan keseimbangan


fungsi produksi, ekologi dan sosial, dimana manfaat dari pengelolaan hutan lestari
cukup banyak, namun tantangan yang dihadapi untuk mencapai pengelolaan hutan
lestari juga cukup besar. Luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan data
Statistik Bina Produksi Kehutanan tahun 2009 sebesar 133.453.366 ha dan luas
hutan alam produksi yang dibebani hak (IUPHHKHA) seluas 25.770.887 ha
(Fitri, 2013).

Hutan alam produksi di Indonesia yang memiliki sertifikat dari FSC (Forest
Stewardship Council) hanya 5 unit manajemen dengan luas 632.345 ha atau
2,45% dari total luas hutan alam produksi (FSC, 2011). Hutan alam produksi yang
memiliki sertifikat dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) seluas 502.000 ha
yaitu 3 unit, dimana 2 unit diantaranya juga memiliki 15 sertifikat FSC dan
sertifikat dari Departemen Kehutanan (48 unit) seluas 6.517.489 ha (LEI, 2011).
Jumlah keseluruhan areal hutan alam produksi yang memiliki sertifikat
pengelolaan hutan lestari seluas 7.904.962 ha atau 29,69% dari hutan alam
produksi (Fitri, 2013).

Rendahnya persentase luas hutan alam produksi yang memiliki sertifikat


pengelolaan hutan lestari di Indonesia mengindikasikan rendahnya motivasi
pengelola hutan untuk melakukan pengelolaan hutan lestari. Hasil studi Bahruni
(2011), menyatakan bahwa kendala yang menyebabkan rendahnya motivasi
pengelola hutan untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor tata kelola dan regulasi yang tidak mampu
menumbuhkan perilaku pengusahaan hutan yang baik serta birokrasi yang belum
efisien, ketidakpastian lahan, faktor kemampuan manajerial yang mencakup aspek
teknis, manajemen dan finansial yang masih rendah, serta faktor motif ekonomi
yang tidak disertai dengan kemauan untuk dapat mempertahankan ketersediaan
hutan dalam jangka waktu yang panjang (Fitri, 2013)

2.3 Hutan Tanaman

Hutan tanaman selain dapat berkontribusi secara ekonomi yaitu sebagai


penyedia bahan baku untuk industri kayu dan hasil hutan non kayu, juga dapat
berperan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti pengatur tata air pengendali
tanah longsor dan penyerapan karbon. Peran hutan dalam menyerap karbon saat
ini menjadi salah satu isu yang cukup banyak didiskusikan oleh para akademisi
karena dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim. Salah satu praktek
pengelolaan hutan yang dapat meningkatkan serapan karbon adalah dengan
melakukan penanaman vegetasi berkayu. Pemilihan jenis pohon dan praktek
pengelolaannya dapat menentukan jumlah karbon yang dapat diserap oleh lahan
hutan. Pada prinsipnya, pemilihan jenis pohon untuk penyerapan karbon
tergantung pada jumlah maksimum karbon yang dapat diserap dan waktu yang
dibutuhkan untuk mencapainya (Indrajaya, 2016).

Pembuatan hutan (forestation) menyangkut dua hal pokok yaitu penanaman


pepohonan/penghutanan kembali pada kawasan lahan hutan (reforestation) dan
penanaman pepohonan/penghutanan kembali pada lahan-lahan yang tidak
dijadikan hutan selama kurun waktu 50 tahun atau lebih, dan sering disebut
dengan istilah afforestation. Kegiatan penghutanan kembali baik pada lahan-lahan
hutan maupun non-hutan menunjukkan sangat besarnya luas lahan yang perlu
dihutankan kembali untuk mengurangi konsentrasi gas CO2 di atmosfer
(Purwanto et al., 2012).

Selama hutan yang didominasi oleh vegetasi berkayu itu tumbuh maka
hutan akan memindahkan karbon dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan-jaringan organ tanaman seperti
batang, kulit, dahan, ranting, akar, dan daun, namun ketika pohon sudah berumur
tua atau sudah mencapai umur tebang (overmature), pertumbuhan pohon tersebut
menjadi sangat lambat yang ditunjukkan dengan riap pertumbuhannya (increment)
yang sangat kecil, sehingga dalam konsep fungsi hutan sebagai penyimpan karbon
(carbon sink) pohon-pohon yang sudah tua tersebut lebih baik ditebang dan
dilakukan penanaman kembali karena pohon-pohon yang sudah tua secara
keseluruhan memiliki kemampuan serapan gas karbon dioksida (CO 2) dari
atmosfer yang kecil. Baik hutan tanaman yang dikembangkan di lahan milik
negara (state forest) maupun di lahan rakyat (community forest) mempunyai
kemampuan untuk mengabsorbsi gas CO2 dari atmosfer selama proses fotosintesis
dan menyimpannya sebagai materi organik dalam bentuk biomasa tanaman yang
tersimpan dalam jaringan-jaringan organ tanaman, seperti akar, batang, cabang
dan daun (Purwanto et al., 2012).
2.4 Tegakan Pinus

Pinus merkusii Jungh et de Vriese adalah satu-satunya jenis pinus tumbuh


secara alam di Indonesia yang selama ini dikenal pada tiga tempat yaitu : di Aceh,
Tapanuli dan Kerinci, semuanya berlokasi di Pulau Sumatera. Dukungan factor
lingkungan sangat optimum misalnya : temperatur udara, intensitas cahaya
matahari, kelembaban udara yang cukup untuk berlangsungnya proses fotosintesis
secara optimum. Proses fotosintesis tersebut memproduksi karbohidrat yang
cukup bagi perkembangan tanaman pinus. Pinus merkusii Jungh et de Vriese
merupakan jenis primadona (60%) yang ditanam dalam Program Penyelamatan
Hutan, Tanah dan Air khususnya kegiatan reboisasi dan penghijauan. Penanaman
Pinus secara luas tidak menjadi penyesalan karena hasil dari kegiatan baik
reboisasi maupun penghijauan tersebut tergolong sukses membentuk tegakan
pinus yang banyak menambah devisa negara dan meningkatkan kondisi ekonomi
masyarakat baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa sampai sekarang
(Sallata, 2013).

Seperti sifat pohon pada umumnya pertumbuhan pohon pinus sangat


dipengaruhi oleh adanya kombinasi faktor lingkungan yang berimbang dan
menguntungkan. Apabila satu faktor lingkungan tidak seimbang dengan faktor
lainnya, faktor tersebut dapat menekan pertumbuhan tanaman. Faktor lingkungan
yang dimaksud adalah cahaya, tunjangan mekanis, unsur hara, udara dan air.
Kuantitas cahaya pada wilayah tropis ditentukan oleh musim dan kelerengan
sedangkan kualitas ditentukan oleh Panjang gelombang yang diterima oleh
tanaman (Sallata, 2013).

Pinus merkusii tergolong jenis yang membutuhkan cahaya sinar matahari


secara penuh (jenis heliophytes) dalam proses pertumbuhannya. Berkurangnya
intensitas dan pendeknya waktu cahaya matahari yang diterima dapat
menghambat pertumbuhan pohon, karena kegiatan fotosintesa menjadi menurun.
Tanaman pinus berpotensi sangat besar untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat yang ada di sekitarnya. Selain kayu juga getahnya dapat menghasilkan
uang bagi yang mengelolanya. Pinus dikenal sebagai pohon penghasil
“gondorukem” yang bermanfaat bagi industri cat dan terpentin. Dari kawasan
hutan pinus dapat dipasarkan antara lain : kayu pertukangan, kayu bakar, getah
pohon dan biji pinus sebagai bahan bibit. Getah pinus diperoleh melalui sadapan
pohon pinus (oleo resin), dapat diolah untuk gondorukem, terpentin (Sallata,
2013).

2.5 Tegakan Aren

Hutan mempunyai berbagai jenis manfaat yang dapat dinikmati oleh semua
orang baik yang berwujud nyata (tangible benefits) maupun yang tak berwujud
nyata (intangible benefits). Pada umumnya, orang hanya memanfaatkan hutan dari
kayunya saja, potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) seringkali tidak. Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan bagian dari ekosistem hutan yang
memiliki peran terhadap alam maupun terhadap manusia. Salah satu HHBK yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan salah satu sumber pencaharian
masyarakat pedesaan adalah Arenga pinnata atau yang dikenal dengan enau atau
aren (Suhesti & Hadinoto, 2015).

Tanaman aren (Arenga pinnata MERR) adalah tanaman perkebunan yang


dapat menjadi solusi dalam masyarakat yang kekurangan pangan dan mudah
beradaptasi baik pada dataran rendah hingga 1400 m di atas permukaan laut. Saat
ini tanaman aren belum diusahakan dalam skala besar melainkan hanya
diusahakan oleh para petani. Hal ini disebabkan karena pengelolaan tanaman
belum menerapkan teknik budidaya yang baik sehingga produktivitas tanaman
rendah. Saat ini nira aren dari hasil penyadapan bunga jantan hanya dikelola
sebagai gula aren maupun minuman ringan, cuka dan alkohol. Selain itu tanaman
aren juga dapat menghasilkan produk makanan seperti kolang kaling dari buah
betina yang sudah masak dan tepung aren untuk bahan makanan dalam bentuk
kue, roti dan biskuit juga berasal dari pengolahan bagian empelur batang tanaman.
Tanaman aren atau enau adalah salah satu keluarga palma yang memiliki potensi
nilai ekonomi yang
tinggi dan dapat tumbuh subur di wilayah tropis seperti Indonesia. Tanaman aren
diambil niranya oleh masyarakat dan diolah menjadi gula arenuntuk sebagai salah
satu sumber pendapatan (Makkarennu & Ridwan, 2018).
Tanaman aren kini hanya dapat dijumpai di lereng-lereng perbukitan . Salah
satu faktor yang turut mempercepat penurunan populasi tanaman aren adalah
budaya masyarakat yang senantiasa menebang minimal satu tanaman aren setiap
kali ada kegiatan pesta adat untuk dijadikan sebagai salah satu menu wajib pesta.
Eksistensi tanaman aren baik sebagai pohon ikonik maupun sebagai sumber
pendapatan masyarakat serta bagian penting dari pesta budaya mengalami
ancaman serius. Padahal, potensi tanaman aren untuk menjadi salah satu
penopang utama ekonomi masyarakat setempat sangat tinggi. Tanaman aren
bukan hanya dapat dikembangkan sebagai penghasil nira aren untuk bahan baku
gula aren. Tapi lebih dari itu, apabila tanaman aren ini dapat dikembangkan, boleh
jadi suatu saat dapat menjadi pohon ikonik bagi pengembangan desa wisata
(Indasary, dkk., 2019).

2.7 Inventarisasi Hutan

Hutan dan gunung merupakan sumber daya alam yang memberikan


beragam jasa lingkungan baik dari pengaturan udara bersih, serapan air tanah,
keanekaragaman hayati, serta kehidupan masyarakat perdesaan. Namun tantangan
dengan adanya ancaman alih fungsi lahan akibat terbatasnya ketersediaan lahan
dan upaya peningkatan kebutuhan hidup manusia juga memberikan dampak
terhadap gas buang seperti emisi CO2. akibat alih fungsi tersebut yang
memberikan imbas pada perubahan iklim dan peningkatan suhu di atmosfer bumi.
Alih fungsi lahan pada kawasan hutan memberikan imbas pada perubahan iklim
dan peningkatan suhu di atmosfer bumi. Melihat permasalahan tersebut
inventarisasi dan pemantauan sumber daya hutan khususnya jumlah serta ragam
jenis dari vegetasi dan burung pada titik tertentu serta survei bentuk kebudayaan
di hutan (Indrarto ddk, 2013).

Melihat ancaman tersebut beberapa kegiatan dapat dilakukan untuk


memantau sumber daya hutan adalah dengan memperhatikan jumlah serta ragam
jenis vegetasi dan jumlah juga ragam jenis satwa dalam hal ini burung pada suatu
ekosistem hutan. Vegetasi memiliki peranan sebagai penyumbang udara bersih
dan oksigen (O2) untuk seluruh mahkluk hidup bernafas. Sedangkan burung
memiliki peranan dalam penyebaran biji tumbuhan sehingga memberikan tingkat
regenerasi suatu ekosistem hutan (Bharata dkk, 2021).

Rencana pengelolaan hutan bisa disusun berdasarkan data dan informasi


biogeofisik maupun sosial budaya. Data informasi biogeofisik didapat dari
kegiatan inventarisasi hutan yang bertujuan mengetahui dan memperoleh data
serta informasi mengenai potensi, karakteristik, bentang alam serta informasi
lainnya. Data-data hasil inventarisasi hutan perlu di analisa sehingga dapat
menghasilkan informasi berupa struktur, komposisi dan potensi tegakan yang
dapat digunakan sebagai dasar penyusunan tata hutan dan pengelolaan hutan
(Almarief, 2018).

2.8 Pemanfaatan Hasil Hutan

Pemanenan hasil hutan, sering disebut eksploitasi hasil hutan. Kata


eksploitasi berasal dari kata "explicare" yang berarti membuka lipatan. Dengan
dibukanya lipatan berarti kelihatan Benda yang ada di dalamnya. Selanjutnya
eksploitasi berarti mengambil dan memanfaatkan. Biasanya yang di eksploitasi
adalah sumber daya alam, seperti minyak tanah, batu bara, emas dan hasil
tambang lainnya. Disini hutan dimasukkan sebagai sumber daya alam. Oleh
karena itu mengambil dan memanfaatkan hutan juga bisa disebut mengeksploitasi
hutan (Idris & Dulsalam, 2010).

Sifat sumber daya pada umumnya, setelah dieksploitasi terus menerus


pasti akan habis, karena terbentuknya membutuhkan waktu yang sangat lama
(jutaan tahun). Namun, sumber daya hutan mempunyai sifat yang berbeda dengan
sumber daya pada umumnya. Dalam waktu yang relatif dekat, hutan yang telah
dieksploitasi dapat - tumbuh kembali dapat mempermuda diri) atau dapat
dipermudakan kembali, yang biasanya disebut regenerasi alam dan regenerasi
buatan. Karena sifatnya yang demikian maka sumber daya hutan disebut "the
natural renewable resources". Hal inilah yang menyebabkan orang kehutanan
merasa kurang pas menggunakan kata eksploitasi untuk mengambil dan
memanfaatkan hasil hutan, dan sebagai gantinya mengambil kata pemungutan
atau pemanenan hasil hutan. Pengambilan hasil hutan (kayu) sebenarnya telah
lama dilakukan orang. Tetapi pada waktu dulu, pengambilan kayu itu terbatas
hanya dipakai sendiri, misalnya untuk pembuatan rumah tinggal, untuk perabotan
rumah, untuk pembuatan kapal, untuk pembuatan patung dan sebagainya. Belum
secara besar-besaran dan belum bersifat barang perdagangan (komoditas). Barulah
setelah keberadaan hutan mulai berkurang, sedangkan permintaan kayu sangat
meningkat, maka dapat disebut telah terjadi pemungutan atau pemanenan hasil
hutan khususnya kayu (logging), dan sifatnya bisnis (Prakosa, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan pemanenan hutan antara lain:


lokasi geografis, iklim, kondisi medan dan keadaan tegakan serta indusri yang
dimiliki. Aspek geografis biasanya ditunjukkan oleh ketinggian tempat di atas
permukaan laut dan letak lintang bujur di bumi. Unsur terpenting dari iklim
kaitannya dengan kegiatan pemanenan kayu adalah curah hujan (hari hujan,
intensitas, jumlah curah hujan dan penyebarannya). Pada musim penghujan, hari
kerja alat-alat pemanenan hutan berkurang sesuai dengan jumlah hari hujan. Pada
waktu hujan baik kegiatan penyaradan maupun pengangkutan praktis dihentikan.
Kondisi lapangan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan
teknik dan biaya pemanenan. Oleh karena itu, klasifikasi kondisi lapangan sangat
diperlukan. Informasi kondisi lapangan yang diperlukan antara lain: konfigurasi
lapangan, panjang lereng dan kemiringan lapangan serta hambatan-hambatan lain.
Teknik pemanenan yang efektif dan efisien serta berdampak minimal perlu dikaji
dalam usaha mengatasi kekurangan bahan baku kayu untuk industri bubur kayu
dan industri kayu pertukangan. Maka dari itu, sistem pemanenan yang tepat sangat
penting untuk memaksimalkan hasil hutan yang mampu dikeluarkan (Prakosa,
2012).

Sebenarnya sistem pemanenan hasil hutan hanyalah merupakan sub-sistem


dari sistem pengelolaan hutan. Namun dalam uraian berikut kegiatan pemanenan
akan dianggap satu sistem tersendiri, dimana di dalamnya terdiri atas komponen-
komponen sistem. Komponen sistem pemanenan hasil hutan merupakan tahap-
tahap kegiatan pemanenan hasil hutan, jadi merupakan pendukung utama
berlakunya sistem pemanenan hasil hutan. Tujuan sistem pemanenan ada yang
hanya menghasilkan kayu bulat. Tetapi ada juga yang tujuannya sampai
menyediakan kayu olahan (yang merupakan tujuan ganda). Dalam buku berikut
yang dimaksud dengan tujuan sistem pemanenan hasil hutan adalah semua proses
yang berkaitan dengan bagaimana pohon itu disiapkan agar dapat dikeluarkan dari
dalam hutan, dan bagaimana cara mengeluarkannya hasil tebangan itu. Pada saat
sekarang sistem pemanenan hasil hutan adalah merupakan kerja sama antara
manusia dan mesin, dan yang lebih menentukan adalah manusia (Puspojati &
Mile, 2014).

Sistem pemanenan hasil hutan yang representatif adalah tahap tahap dalam
kegiatan pemanenan hasil hutan. Tahapan pemanenan dibagi dua jenis, yaitu
kegiatan di petak tebangan dan kegiatan selain di petak tebangan. Pada umumnya,
kegiatan selain di petak tebangan dilakukan di luar hutan, misalnya perencanaan
dan pembongkaran muatan. Kegiatan perencanaan dapat dilakukan di dalam
kantor, mungkin di kota, sedangkan kegiatan pembongkaran muatan dilakukan di
tempat yang sangat jauh dari wilayah hutan. Tugas sistem pemanenan adalah
memenuhi kebutuhan saat sekarang yang bersifat konsumtif. Sistem pemanenan
dengan pesat mengikuti perubahan - perubahan ekonomi dan kemajuan teknologi
demi efisiensi finansial dalam masa yang relatif pendek dan cenderung tanpa
banyak pertimbangan terhadap dampak negatifnya terhadap aspek silvikultur.
Semua ini mengarah kepada konflik kepentingan silvikultur dan pemanenan.
Selama konflik ini belum terselesaikan atau sedikit dikurangi, maka bahaya
punahnya hutan-hutan alam di dunia tetap terancam. Karena itu segala upaya
harus dikerahkan untuk mencari rekonsiliasi antara kepentingan silvikultur dan
pemanenan. Hal ini adalah masalah yang sangat pelik tetapi tidak mustahil
(Suparto 1995 dalam Elias 1999). Sebelum kegiatan pemanenan kayu dapat
dilaksanakan dihutan secara aktual, maka sebelumnya harus disusun perencanaan
pemanenan kayu terlebih dahulu (Puspojati & Mile, 2014).

2.9 Survei Sosial dan Ekonomi

Pengertian sosial dapat berarti kemasyarakatan. Sosial adalah keadaan dimana


terdapat kehadiran orang lain. Dari adanya kehadiran orang lain di lingkungan
sekitar kita akan terjalin adanya interaksi sosial yang merupakan bentuk hubungan
sosial antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hubungan sosial
masyarakat desa dapat dilihat dari interaksi dan komunikasi sehari-hari dan
perilaku masyarakat desa itu sendiri terhadap masyarakat yang lain. Hubungan
sosial pada masyarakat desa dapat dilihat dalam hubungan yang Gemeinschalf
dari Ferdinand Tonnies dalam buku Soerjono Soekanto (1990:402), di mana
Gemeinschalf (paguyuban) adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-
anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat kekal. Dasar
hubungan adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang bersifat nyata dan
organis. Masyarakat tumbuh dan berkembang berdasar atas rasa cinta dan
kebersamaan sebagai satu kesatuan yang harmonis (Rohmatun, 2011).

Ekonomi adalah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan


produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Kata "ekonomi"
sendiri berasal dari kata Yunani (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan
(nomos), atau "peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar diartikan sebagai
"aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga”. Ilmu ekonomi
merupakan suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk
mencapai kemakmuran (kemakmuran suatu keadaan di mana manusia dapat
memenuhi kebutuhannyabaik barang-barang maupun jasa). Ekonomi mengandung
arti aturan yang berlaku untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam suatu rumah
tangga. Sedangkan Menurut Islam, Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari segala
prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan
memperoleh falah (kedamaian & kesejahteraan dunia-akhirat). Islam (dalam
Ekonomi) berfungsi sebagai identitas tanpa mempengaruhi makna atau definisi
ekonomi itu sendiri. Dengan demikian ekonomi merupakan suatu usaha dalam
pembuatan keputusan dan pelaksanaan yang berhubungan dengan pengalokasian
sumber daya masyarakat (rumah tangga dan pembisnis/perusahaan) yang terbatas
diantara berbagai anggotanya, dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha,
dan keinginan masing-masing (Rohmatun, 2011).

Sosial ekonomi adalah suatu hal atau aktivitas yang menyangkut seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya
(ekonomi). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan sosial ekonomi yaitu
menyangkut ciri/kondisi serta kegiatan atau aktivitas dari masyarakat desa dalam
melakukan segala usaha dengan cara bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dalam
peningkatan kesejahteraan hidup. Meneliti masalah sosial ekonomi masyarakat
dapat dilihat melalui analisis dari fungsionalisme Struktural menurut Talcott
Parsons dalam Ritzer (2004:121) dimana merupakan suatu fungsi yang ditujukan
kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem (Rohmatun, 2011).

2.10 Teknik Silvikultur

Bentuk pengelolaan hutan produksi di Indonesia diterapkan dalam bentuk


sistem silvikultur. Sistem silvikultur adalah proses pemanenan sesuai tapak/tempat
tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edaphis
dari tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau
teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai,
menanam, memelihara tanaman dan memanen. Sesuai dengan asas kelestarian
hasil yang mendasari pengelolaan hutan, maka pemilihan sistem silvikultur
memerlukan pertimbangan yang seksama, mencakup keadaan/tipe hutan, sifat
silvik, struktur, komposisi, tanah, topografi, pengetahuan profesional rimbawan,
dan kemampuan pembiayaan (KLHK, 2020).

Sistem silvikultur di hutan alam merupakan salah satu bagian penting dari
sistem PHPL yang dapat menjamin kelestarian produksi,ekologi dan dampak
positif bagi sosial ekonomi termasuk mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas hutan. Sistem silvikultur yang pernah diterapkan pada kawasan
hutan alam produksi di Indonesia yaitu Sistem silvikultur TPI (Tebang Pilih
Indonesia, 1972-1989), TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia, 1989-Sekarang),
Sistem TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia
Intensif (Teknik Silvikultur Intensif/SILIN). Sedangkan sistem silvikultur yang
belum diterapkan adalah Sistem THPA (Tebang Habis dengan permudaan Alam)
dan Sistem TPTR (Tebang Pilih Tanam Rumpang (KLHK, 2020)

2.11 Konservasi Tanah dan Air

Tanah dan air merupakan sumber alam yang menyokong kehidupan


berbagai makhluk di bumi termasuk manusia. Kedua sumber alam tersebut mudah
mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah bisa terjadi karena
hilangnya unsur hara, penjenuhan tanah oleh air, dan erosi. Apabila tanah
mengalami kerusakan, maka kita bisa bayangkan bahwa tanah tersebut sangat
tidak produktif jika dimanfaatkan. Air juga rentan mengalami kerusakan.
Rusaknya air bisa berupa mengeringnya mata air dan juga menurunnya kualitas
air. Penyebabnya adalah erosi dan masuknya limbah-limbah pertanian maupun
industri. Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas fase padat,
cair dan gas dan mempunyai sifat serta prilaku yang dinamik (Roni, 2015)

2.11.1 Pengertian Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah dan air adalah serangkaian strategi pengaturan untuk


mencegah terjadinya erosi ataupun perubahan tanah secara mekanik, kimiawi atau
biologi akibat penggunaan yang berlebihan sehingga terjadi salinisasi, keasaman
atau kontaminasi lainnya (Harjadi, 2020)

Air merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup terutama bagi


manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk, maka aktifitas penggunaan sumber daya alam, khususnya sumber daya
air juga semakin meningkat, maka sumber daya air perlu ditingkatkan
pelestariannya dengan menjaga keseimbangan siklus air di bumi yang dikenal
sebagai daur hidrologi. Proses daur hidrologi di alam bermanfaat sebagai sumber
daya yang terbaharukan, secara global kuantitas sumber daya air di bumi relatif
tetap, sedangkan kualitasnya makin hari makin menurun (Harjadi, 2020).

Selain untuk kebutuhan makhluk hidup, air juga dapat dimanfaatkan untuk
pengairan, pembangkit listrik, industri, pertanian, perikanan dan sumber baku air
minum, terkait dengan kebutuhan yang beragam tersebut, ketersediaan air yang
memenuhi baik kuantitas maupun kualitas untuk kebutuhan sangatlah terbatas,
ketersediaan air terutama air permukaan sangat bergantung pada pengelolaan asal
air tersebut, yaitu sungai yang merupakan salah satu air permukaan yang perlu
dikelola, sungai-sungai tersebut tergabung dalam suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS). Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, maupun batas
bantuan seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut
memberikan kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet) (Harjadi, 2020).

Keberadaan air yang berbeda-beda tersebut dapat dimanfaatkan oleh


manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Hal terpenting
adalah bagaimana manusia dapat mengelola air dengan baik agar menjadi
bahan/modal kehidupanya secara lebih baik dan lestari (Harjadi, 2020).

Air hujan yang jatuh kepermukaan tanah dapat membawa butiran-butiran


tanah dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah disebut
(erosi). Erosi sebagai peristiwa pindahnya tanah atau bagian-bagiannya dari satu
tempat ke tempat lain oleh media alami. Media alami tersebut adalah air dan
angin. Butiran-butiran tanah yang dibawa oleh air atau angin di permukaan tanah
akan diendapkan di suatu tempat berupa sedimen. Sedang proses pengendapannya
sendiri disebut sedimentasi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi adalah
iklim (khususnya curah hujan), topografi, tanah, tumbuhan dan manusia. Curah
hujan berarti berkaitan dengan intensitas dan distribusinya (Simanjuntak, 2020).

2.11.2 Kriteria dan Penentuan Titik Rencana Bangunan KTA

Tata Cara Penyusunan Rancangan Kegiatan Penerapan Teknik Konservasi


Tanah adalah sebagai berikut (Permen No.23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan):

1. Analisis dan Identifikasi Peta

a. Identifikasi lokasi kegiatan penanaman RHL dilakukan melalui desk


analisis peta. Sasaran lokasi kegiatan penanaman RHL adalah DAS
prioritas, danau prioritas, daerah tangkapan air waduk, dan rawan
bencana yang ditapis dengan menggunakan antara lain peta Lahan
Kritis, SRTM (Kontur, Aliran Sungai, batas DAS), dan peta kelas
lereng.

b. Dalam melakukan analisis spasial bangunan konservasi tanah dan air


menggunakan ArcGis dan Global Maper, analisis menggunakan global
maper dimaksudkan untuk mempermudah dalam melihat topografi
secara 3D.

c. Verifikasi peta hasil penapisan dilakukan dengan Google Earth untuk


memudahkan pemeriksaan secara visual baik itu penutupan lahannya
ataupun kondisi areal yang akan di bangun bangunan konservasi tanah
dan air.
d. Perhatikan alur sungai yang terbentuk hasil analisis Global Mapper
dengan Google Earth, jika alur sungai yang terbentuk berbeda posisi,
maka yang digunakan adalah pada Google Earth dengan
memperhatikan hasil analisis Global Mapper.

e. Setelah dianalisis, maka letakkan penanda letak pada area alur sungai,
untuk selanjutnya dilakukan cek lapangan/ground check.

2. Pengecekan Lokasi
Setelah identifikasi dan inventarisasi dengan menentukan titik-titik spasial
selesai, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengecekan
lokasi/ground check untuk memeriksa secara langsung titik-titik yang telah
dianalisis dan identifikasi
a. Dam Pengendali (Dpi)
1) Lokasi ground check (berdasarkan hasil identifikasi lokasi-
lokasi dengan analisis spasial) dengan memperhatikan
persyaratan teknis sebagai berikut:
a) Luas daerah tangkapan air 50-250 ha
b) Struktur tanah stabil (badan bendung)
c) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan ≤35 % tinggi
badan bendung maksimum 8 meter
d) Kemiringan alur sungai <10%
e) Prioritas pengamanan bangunan vital (bendungan, waduk
dan lain-lain)
f) Tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi dan mampu
menampung aliran permukaan yang besar
g) Merupakan lokasi penanganan dampak bencana alam
h) Diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan air antara lain
pengairan dan rumah tangga.
2) Pengumpulan Data Pendukung Lainnya
a) Struktur tanah stabil pada lokasi badan bendung
b) Kekeruhan air pada alur sungai
c) Aksesibilitas
d) Ketersediaan bahan di lapangan
e) Ketersediaan tenaga kerja
f) Tanggapan masyarakat sekitar atas pembangunan
konservasi tanah dan air.
b. Dam Penahan (DPn)
1) Lokasi ground check (berdasarkan hasil identifikasi lokasi-
lokasi dengan analisis spasial) dengan memperhatikan
persyaratan teknis sebagai berikut :
a) Luas daerah tangkapan air 10-30 ha;
b) Kemiringan alur ≤ 35%
c) Tinggi maksimum 4 meter
d) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan air 10-35%
e) Untuk DPn yang secara seri, persyaratan luas daerah
tangkapan air mengikuti kondisi lapangan
f) Dengan tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi dan
mampu menampung aliran permukaan yang besar
g) Merupakan lokasi penanganan dampak bencana alam.

2.12 Penanaman

Penanaman adalah Suatu kegiatan pemindahan bibit tanaman dari tempat


tumbuh sementara (polybag/polytube) ke tempat tumbuh permanen atau di
lapangan. Penanaman dapat dilakukan dua cara yaitu penanaman langsung dan
penanaman tidak langsung. Penanaman langsung adalah penanaman dengan
menggunakan biji tanpa melalui persemaian. Biji yang dapat ditanam langsung di
lapangan adalah biji yang berukuran besar, mudah diperoleh, harga murah, dapat
berkecambah dengan cepat dan tidak memerlukan perawatan istimewa.
Penanaman secara tidak langsung diterapkan pada benih-benih yang tidak
memungkinkan untuk ditanam secara langsung di lapangan dan bila diinginkan
hasil yang baik dan memuaskan. Biji yang tidak dapat ditanam langsung di
lapangan adalah biji yang berukuran kecil, tidak mudah untuk mendapatkannya,
harga biji mahal, tidak cepat berkecambah serta memrlukan perlakuan yang
istimewa. Oleh karena itu, pengadaan bibit melalui persemaian merupakan cara
yang lebih menjamin keberhasilan penanaman di lapangan (Masruroh, dkk.,
2014).
Penanaman merupakan kegiatan yang menjadi sasaran inti kegiatan
pembuatan tanaman. Oleh karena itu sebelum dilakukan penanaman maka perlu
diperhatikan Langkah-langkah dalam penanaman antara lain: Media bibit kompak
dan tidak mudah terhambur dari polybag, lubang tanaman telah dipersiapkan,
kondisi bibit dalam keadaan sehat dan memenuhi standar/kriteria yang telah
ditetapkan untuk ditanam, Waktu penanaman pada musim hujan. Pada saat
penanaman polybag dilepas dari media tanaman, lalu dturunkan tanah top
soil/tanah dicampur pupuk kandang. Bibit dan media diletakkan pada lubang
tanam dengan posisi tegak, lubang tanam ditimbun dengan tanah yang telah
dicampur pupuk dasar sampai lebih tinggi dari permukaan tanah. Tanah timbunan
harus dipadatkan secara hati-hati dengan tangan atau kaki. Permukaan tanah yang
ditimbunkan harus sama tinggi dengan permukaan tanah asal atau agak
dicembungkan di daerah basah atau dicekungkan di daerah kering. Ajir di tempat
lubang yang telah ditanami dimiringkan sebagai tanda bibit telah ditanam. Hasil
penanaman yang benar adalah tegak, berdiri dengan kokoh, akar tdak terlipat dan
leher akar sejajar dengan permukaan tanah (Masruroh, dkk., 2014).

Anda mungkin juga menyukai