1 Latar Belakang
Pembuatan petak kerja merupakan salah satu usaha pengelolaan yang lestari,
bahwa pemanfaatan jenis tanaman dan satwa harus diperhatikan kaidah-kaidah
konservasi. Di dalam penentuan luas petak areal kerja, pendekatan yang dilakukan
adalah pendekatan teknis. Yang dimaksud dengan pendekatan teknis adalah
menentukan luas petak kerja berdasarkan jangkaun terjauh (jarak sarad),alat sarad
sesuai keterbatasan atau kemampuan teknis alat-alat yang digunakan. Sistem
penyaradan yang digunakan adalah sisitem traktor dimana alat yang digunakan
adalah traktor. Menentukan titik-titik yang paling mungkin dijadikan TPn, syarat
suatu areal dijadikan TPn adalah (Gautama, dkk., 2019):
Pengawasan pada petak kerja dalam pengelolaan hutan, yaitu membuat unit
pengelolaan tertata penuh dan lestari, yang mempunyai petak dan unit tegakan
umur satu tanam sampai umur daur yang sama luasnya di kondisi tanah yang
hampir sama. Di dalam unit pengelolaan hutan produksi areal HPH terdapat lima
tingkat desain. Tingkat desain lapangan yang dibuat yaitu (Gautama, dkk., 2019):
Suatu unit anak petak memiliki jalan sarad dan TPn, jaringan jalan sarad ini
penebangan, pengumpulan, pembagian batang, permuatan kayu ke alat pemuat
transportasi mayor atau secara mudah dan sederhana bahwa petak tebang adalah
suatu areal yang dilayani oleh satu TPn dimana di dalam ini dilakukan pemanenan
kayu. Dengan demikian luas petak tebang ditentukan oleh jangkauan terjauh (jalan
dibuat untuk proses pengeluaran log yang berada pada petak tebang sampai log
dikumpulkan di TPn). Satu jaringan jalan sarad memiliki satu buah jalan utama ini
dibuat setelah pohon ditebang, yang berfungsi menghubungkan log dengan jalan
sarad utama. Jalan sarad terbuat dari galangan kayu berukuran pancang dan tiang
yang ditata berlapis. TPn berfungsi sebagai tempat pengumpulan kayu yang sudah
ditebang di dalam petak tebang sehingga memudahkan dalam pemuatan ke atas
lart. TPn dibuat oleh regu sarad setelah jalan sarad selesai dibuat. Penyaradan
merupakan kegiatan pertama dari pengangkutan kayu yang dimulai pada saat kayu
diikatkan pada rantai penyarad ditempat tebangan yang kemudian disarad ke
tempat tujuan (TPn/landing, tepi sungai, tepi jalan rei atau rel) dan berakhir
setelah kayu dilepaskan dari rantai sarad. Desain petak menampakan batas petak
luas dan bentuk petak. Unit pengelolaan dibagi ke dalam petak permanen dengan
menggunakan sungai dan jalan sebagai batas petak. Pétak merupakan alamat,
petak dipetakan Petak digunakan memonitor luas lahan dan kondisi vegetasi. Pada
tebang rumpang ini tidak diperlukan inventarisasi pohon sebelum dan sesudah
penebangan, tidak dilakukan penanaman pengayaan, tidak penunjukan pohon inti,
tidak ada penanaman tanah kosong dan tidak ada Petak Ukur Permanen (PUP).
Hiaya pembinaan areal tebangan tebang rumpang amat kecil (Gautama, dkk.,
2019).
Hutan alam produksi di Indonesia yang memiliki sertifikat dari FSC (Forest
Stewardship Council) hanya 5 unit manajemen dengan luas 632.345 ha atau
2,45% dari total luas hutan alam produksi (FSC, 2011). Hutan alam produksi yang
memiliki sertifikat dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) seluas 502.000 ha
yaitu 3 unit, dimana 2 unit diantaranya juga memiliki 15 sertifikat FSC dan
sertifikat dari Departemen Kehutanan (48 unit) seluas 6.517.489 ha (LEI, 2011).
Jumlah keseluruhan areal hutan alam produksi yang memiliki sertifikat
pengelolaan hutan lestari seluas 7.904.962 ha atau 29,69% dari hutan alam
produksi (Fitri, 2013).
Selama hutan yang didominasi oleh vegetasi berkayu itu tumbuh maka
hutan akan memindahkan karbon dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan
selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan-jaringan organ tanaman seperti
batang, kulit, dahan, ranting, akar, dan daun, namun ketika pohon sudah berumur
tua atau sudah mencapai umur tebang (overmature), pertumbuhan pohon tersebut
menjadi sangat lambat yang ditunjukkan dengan riap pertumbuhannya (increment)
yang sangat kecil, sehingga dalam konsep fungsi hutan sebagai penyimpan karbon
(carbon sink) pohon-pohon yang sudah tua tersebut lebih baik ditebang dan
dilakukan penanaman kembali karena pohon-pohon yang sudah tua secara
keseluruhan memiliki kemampuan serapan gas karbon dioksida (CO 2) dari
atmosfer yang kecil. Baik hutan tanaman yang dikembangkan di lahan milik
negara (state forest) maupun di lahan rakyat (community forest) mempunyai
kemampuan untuk mengabsorbsi gas CO2 dari atmosfer selama proses fotosintesis
dan menyimpannya sebagai materi organik dalam bentuk biomasa tanaman yang
tersimpan dalam jaringan-jaringan organ tanaman, seperti akar, batang, cabang
dan daun (Purwanto et al., 2012).
2.4 Tegakan Pinus
Hutan mempunyai berbagai jenis manfaat yang dapat dinikmati oleh semua
orang baik yang berwujud nyata (tangible benefits) maupun yang tak berwujud
nyata (intangible benefits). Pada umumnya, orang hanya memanfaatkan hutan dari
kayunya saja, potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) seringkali tidak. Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan bagian dari ekosistem hutan yang
memiliki peran terhadap alam maupun terhadap manusia. Salah satu HHBK yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan salah satu sumber pencaharian
masyarakat pedesaan adalah Arenga pinnata atau yang dikenal dengan enau atau
aren (Suhesti & Hadinoto, 2015).
Sistem pemanenan hasil hutan yang representatif adalah tahap tahap dalam
kegiatan pemanenan hasil hutan. Tahapan pemanenan dibagi dua jenis, yaitu
kegiatan di petak tebangan dan kegiatan selain di petak tebangan. Pada umumnya,
kegiatan selain di petak tebangan dilakukan di luar hutan, misalnya perencanaan
dan pembongkaran muatan. Kegiatan perencanaan dapat dilakukan di dalam
kantor, mungkin di kota, sedangkan kegiatan pembongkaran muatan dilakukan di
tempat yang sangat jauh dari wilayah hutan. Tugas sistem pemanenan adalah
memenuhi kebutuhan saat sekarang yang bersifat konsumtif. Sistem pemanenan
dengan pesat mengikuti perubahan - perubahan ekonomi dan kemajuan teknologi
demi efisiensi finansial dalam masa yang relatif pendek dan cenderung tanpa
banyak pertimbangan terhadap dampak negatifnya terhadap aspek silvikultur.
Semua ini mengarah kepada konflik kepentingan silvikultur dan pemanenan.
Selama konflik ini belum terselesaikan atau sedikit dikurangi, maka bahaya
punahnya hutan-hutan alam di dunia tetap terancam. Karena itu segala upaya
harus dikerahkan untuk mencari rekonsiliasi antara kepentingan silvikultur dan
pemanenan. Hal ini adalah masalah yang sangat pelik tetapi tidak mustahil
(Suparto 1995 dalam Elias 1999). Sebelum kegiatan pemanenan kayu dapat
dilaksanakan dihutan secara aktual, maka sebelumnya harus disusun perencanaan
pemanenan kayu terlebih dahulu (Puspojati & Mile, 2014).
Sosial ekonomi adalah suatu hal atau aktivitas yang menyangkut seseorang
dalam hubungannya dengan orang lain dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya
(ekonomi). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan sosial ekonomi yaitu
menyangkut ciri/kondisi serta kegiatan atau aktivitas dari masyarakat desa dalam
melakukan segala usaha dengan cara bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dalam
peningkatan kesejahteraan hidup. Meneliti masalah sosial ekonomi masyarakat
dapat dilihat melalui analisis dari fungsionalisme Struktural menurut Talcott
Parsons dalam Ritzer (2004:121) dimana merupakan suatu fungsi yang ditujukan
kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem (Rohmatun, 2011).
Sistem silvikultur di hutan alam merupakan salah satu bagian penting dari
sistem PHPL yang dapat menjamin kelestarian produksi,ekologi dan dampak
positif bagi sosial ekonomi termasuk mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas hutan. Sistem silvikultur yang pernah diterapkan pada kawasan
hutan alam produksi di Indonesia yaitu Sistem silvikultur TPI (Tebang Pilih
Indonesia, 1972-1989), TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia, 1989-Sekarang),
Sistem TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia
Intensif (Teknik Silvikultur Intensif/SILIN). Sedangkan sistem silvikultur yang
belum diterapkan adalah Sistem THPA (Tebang Habis dengan permudaan Alam)
dan Sistem TPTR (Tebang Pilih Tanam Rumpang (KLHK, 2020)
Selain untuk kebutuhan makhluk hidup, air juga dapat dimanfaatkan untuk
pengairan, pembangkit listrik, industri, pertanian, perikanan dan sumber baku air
minum, terkait dengan kebutuhan yang beragam tersebut, ketersediaan air yang
memenuhi baik kuantitas maupun kualitas untuk kebutuhan sangatlah terbatas,
ketersediaan air terutama air permukaan sangat bergantung pada pengelolaan asal
air tersebut, yaitu sungai yang merupakan salah satu air permukaan yang perlu
dikelola, sungai-sungai tersebut tergabung dalam suatu Daerah Aliran Sungai
(DAS). Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, maupun batas
bantuan seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut
memberikan kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet) (Harjadi, 2020).
e. Setelah dianalisis, maka letakkan penanda letak pada area alur sungai,
untuk selanjutnya dilakukan cek lapangan/ground check.
2. Pengecekan Lokasi
Setelah identifikasi dan inventarisasi dengan menentukan titik-titik spasial
selesai, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengecekan
lokasi/ground check untuk memeriksa secara langsung titik-titik yang telah
dianalisis dan identifikasi
a. Dam Pengendali (Dpi)
1) Lokasi ground check (berdasarkan hasil identifikasi lokasi-
lokasi dengan analisis spasial) dengan memperhatikan
persyaratan teknis sebagai berikut:
a) Luas daerah tangkapan air 50-250 ha
b) Struktur tanah stabil (badan bendung)
c) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan ≤35 % tinggi
badan bendung maksimum 8 meter
d) Kemiringan alur sungai <10%
e) Prioritas pengamanan bangunan vital (bendungan, waduk
dan lain-lain)
f) Tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi dan mampu
menampung aliran permukaan yang besar
g) Merupakan lokasi penanganan dampak bencana alam
h) Diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan air antara lain
pengairan dan rumah tangga.
2) Pengumpulan Data Pendukung Lainnya
a) Struktur tanah stabil pada lokasi badan bendung
b) Kekeruhan air pada alur sungai
c) Aksesibilitas
d) Ketersediaan bahan di lapangan
e) Ketersediaan tenaga kerja
f) Tanggapan masyarakat sekitar atas pembangunan
konservasi tanah dan air.
b. Dam Penahan (DPn)
1) Lokasi ground check (berdasarkan hasil identifikasi lokasi-
lokasi dengan analisis spasial) dengan memperhatikan
persyaratan teknis sebagai berikut :
a) Luas daerah tangkapan air 10-30 ha;
b) Kemiringan alur ≤ 35%
c) Tinggi maksimum 4 meter
d) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan air 10-35%
e) Untuk DPn yang secara seri, persyaratan luas daerah
tangkapan air mengikuti kondisi lapangan
f) Dengan tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi dan
mampu menampung aliran permukaan yang besar
g) Merupakan lokasi penanganan dampak bencana alam.
2.12 Penanaman